Karya-karya A.A. Navis lahir dari satu masa ketika situasi sosial politik di Indonesia memaksa terbentuknya polarisasi dalam tubuh masyarakat.
Pasca penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda ke Republik Indonesia Serikat pada tahun 1949 adalah periode ketidakstabilan politik yang panjang. Era 1950-an ditandai dengan pertumbuhan partai-partai politik, pemberlakuan sistem parlementer, dan jatuh bangun satu pemerintahan sesudah yang lain. Berbagai gerakan separatis mulai muncul, terutama dari daerah-daerah di luar Jawa, untuk memisahkan diri dari Republik. Dekade selanjutnya ditandai dengan pertentangan ideologi dan politik yang keras. Krisis moneter dan ekonomi memperburuk situasi, dan berakibat pada melambungnya harga kebutuhan pokok. Keadaan tersebut diperparah dengan tragedi G30S yang menelan banyak sekali korban jiwa.
Kondisi penuh guncangan dalam upaya merealisasikan cita-cita kemerdekaan memaksa para penulis, golongan elit baru dalam masyarakat yang lahir dari pendidikan modern, bergulat dengan perbedaan faham, pendirian, atau ideologi. Kehidupan sastra Indonesia pada era 1950-an hingga 1960-an terbelah menjadi dua orientasi kebudayaan yang berseberangan: realisme sosialis di satu sisi dan humanisme universal di sisi lain. Kemerdekaan ternyata membuka satu medan kontroversi: antara (1) seni sebagai sebagai refleksi dari realitas dan bertujuan menggugah kesadaran masyarakat dan (2) seni sebagai kegiatan mencipta yang jujur, sungguh-sungguh, dan menghormati martabat manusia.
Polarisasi mengeras dengan terbentuknya Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada 17 Agustus 1950, sebagai organ kebudayaan Partai Komunis Indonesia (PKI). Karya para penulis yang berafiliasi dengan Lekra cenderung sejalan dengan slogan rezim pada saat itu, “politik adalah panglima”. Sebagai perlawanan, para penulis yang berseberangan menyusun “Manifes Kebudayaan” yang menekankan penciptaan (seni) sebagai “perdjoangan untuk mempertahankan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa”.
Polarisasi lain yang terbentuk oleh kontroversi antara Pusat dan Daerah dipicu oleh pembangunan dan kesejahteraan yang tidak merata. Pusat mengeruk hampir semua kekayaan daerah, meninggalkan Daerah bertahan dengan sisa-sisa. Ketidakadilan ini menimbulkan gejolak di Sumatera Barat, tempat asal dan tinggal Navis, dalam bentuk perlawanan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) antara tahun 1956 hingga 1961. Pemberontakan itu berhasil ditumpas oleh operasi militer Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Jumlah korban jiwa yang tidak sedikit, serta martabat dan kehormatan yang hilang meninggalkan luka sejarah yang dalam bagi masyarakat Sumatera Barat.
Pada situasi seperti itulah A.A. Navis menulis: dalam ketegangan ideologis yang ekstrim, bahkan berbahaya, dan dengan memanggul luka sejarah sebagai orang yang kalah.
Mungkin karena itu ia memilih bentuk satire sebagai ekspresinya. Ini tentu sebuah spekulasi. Seperti kita tahu, satire membebaskan penulis untuk melakukan kritik atau reformasi etika terhadap satu pandangan, sikap, dan perilaku secara tersirat, sambil mengasumsikan bahwa pembaca dapat menangkap petunjuk moralnya. Dalam cerpen-cerpennya sering kali Navis menggambarkan kenyataan sosial dengan cara yang pahit, mengenaskan, dengan imbuhan kondisi tertentu yang menggelikan. Tak jarang Navis menggunakan ejekan, sarkasme, atau ironi untuk menyingkap keburukan, kebodohan, sembari menciptakan emosi yang menggugah pembaca untuk berpikir ulang. Pada saat yang sama, satire juga memungkinkan Navis “berlindung” dalam ambiguitas dan innuendo, sekaligus membebaskannya dari medan kutub-kutub yang berseberangan. Bertumbuh dalam konteks budaya, sosial, politik Indonesia yang bergejolak, satire kemudian menjadi kekuatan ekspresi Navis. Membaca ulang satire Navis, dengan berbagai pendekatan, sangat penting untuk menghadirkan apresiasi baru dan pemaknaan yang mungkin terlewatkan.
Situs kritik sastra tengara.id edisi ke-10 kali ini mengambil bagian dalam perayaan 100 tahun sastrawan A.A. Navis dengan menampilkan naskah-naskah pemenang dan unggulan Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta bertema “Satirisme A.A. Navis” yang diselenggarakan pada 2024. Hingga sayembara ditutup, terkumpul 166 naskah kritik sastra. Satu jumlah yang cukup untuk menunjukkan antusiasme para penulis kritik sastra di Indonesia membaca dan membahas karya A. A. Navis yang buku-bukunya masih relevan hingga kini.
Navis menulis dalam berbagai genre. Tampaknya, dengan tidak adanya pembatasan genre karya dalam Kriteria dan Ketentuan Sayembara menyebabkan cakupan objek kritik menjadi terlalu luas, seluas bentang khazanah karya Navis yang meliputi cerpen, novel, puisi, esai, bahkan sandiwara radio. Meski begitu, cerpen adalah karya sastra Navis yang paling penting, baik dari segi jumlah, konsistensi, maupun dampaknya. Dalam cerpen-cerpennya, Navis hampir selalu menggunakan latar Minangkabau – orang-orang Minang dan kampung halamannya. Meski demikian, masalah-masalah yang disajikan universal, masalah-masalah manusia pada umumnya.
Merentang kepenulisannya selama lima dasawarsa, karya Navis menjelajahi tema yang kaya: adat, pernikahan, emansipasi wanita, kehidupan dan kematian, gegar budaya, birokrasi, hipokrisi, otokrasi, feodalisme, perang, penderitaan, dan cinta. Meski demikian, cerpen bertema agama/religi, “Robohnya Surau Kami”, adalah karya yang mendudukkannya pada jajaran sastrawan penting era 50-an dan 60-an, juga menyematkan label “satiris”—dan “pencemooh ulung”—padanya. Penerjemahan cerpen ini ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Jerman, dan Jepang, mengangkat nama Navis (dan sastra Indonesia) ke skena sastra internasional.
Beberapa naskah pemenang sayembara menyoal dan menganalisis konstruksi satire Navis dengan beragam pendekatan dan pisau analisis. Selebihnya, karya-karya yang lain bergerak menjelajahi aspek visual penceritaan yang imajinatif, posisi protagonis/antagonis dalam cerita, representasi historis dan biografis dalam sosok tokoh cerita, juga aspek spekulatif dari cerpen yang dibaca ulang di tahun yang berbeda. Dari sekian banyak naskah yang masuk, Dewan Juri mencatat bahwa cukup banyak naskah menawarkan gagasan segar, menarik, berani bahkan provokatif dalam membaca karya Navis (https://dkj.or.id/pertanggungjawaban-dewan-juri-sayembara-kritik-sastra-dewan-kesenian-jakarta-2024/). Sayang, elaborasinya belum berhasil menampilkan analisis dan pemikiran yang jernih dan tajam.
Dalam terbitan ini, tengara.id menampilkan 3 karya pemenang sayembara dan 5 karya unggulan, sesuai dengan naskah asli yang dikirimkan kepada Dewan Juri. Penyuntingan dilakukan hanya untuk menyesuaikan naskah dengan teknik dan standar penulisan di tengara.id. Selain itu, untuk rubrik Marginalia kami memuat 1 resensi oleh Heru Joni Putra berjudul “Cerita Pendek A.A. Navis dan Politik Kewilayahan” dari antologi lengkap cerpen A.A. navis yang dikumpulkan oleh Ismet Fanany, serta tautan ke satu diskusi daring yang diselenggarakan oleh Komite Sastra DKJ, bekerjasama dengan Kompas, berjudul “Membaca Kembali A.A. Navis: Sastra, Satir*, Spiritualitas”.
Artikel Cep Subhan yang memenangkan juara I, “Konstruksi Satire dan Transformasi Subjek Feminin Di Lintasan Mendung dalam Pusaran Generasi Femina”, mengupas novel Navis yang belum pernah diterbitkan, Di Lintasan Mendung, dengan pembahasan yang tidak lumrah dalam wacana kritik karya Navis, yaitu subjek feminin dalam latar domestik. Esai memperlihatkan bagaimana Navis, yang kerap dimasukkan dalam Generasi Horison atau Angkatan 66, pada karya ini lebih dekat dengan tradisi karya para penulis perempuan Generasi Femina yang sering diabaikan dan diremehkan dalam sejarah arus utama Sastra Indonesia, dan karya-karya mereka kerap dilabeli sebagai novel pop.
Sebuah pembacaan eksperimental dilakukan oleh pemenang II, Eka Sari Wijayanti, dengan naskahnya “Ing Chitra Lekha”. Dalam esai metanaratif ini, penulis melakukan pembacaan dekat dan jauh atas teks “Robohnya Surau Kami” dengan mengalihwahanakan unsur-unsur deskriptif cerita ke berbagai “lukisan” dalam sebuah galeri pamer imajiner, dengan rujukan pada lanskap dan skena seni, juga arsitektur, yang kaya. Pembaca diajak mendalami dan memahami cerita melalui pengalaman menelusuri galeri dan perjumpaan dengan lukisan-lukisan yang direka secara kronologis, mendetail dan imajinatif.
Pada artikel “Tinjauan Materialisme Kultural dan Wacana Kekuasaan dalam Relasi Pelik Sosok-sosok Rekaan A.A. Navis” yang menjadi juara III, Iin Farliani membahas beberapa “sosok” rekaan yang sering muncul dalam sejumlah karya Navis. Sosok ini dapat bertindak sebagai penutur dengan sudut pandangnya atas peristiwa dalam cerita, dapat menjelma tokoh “Aku” yang lebih berada di pinggir, sebagai pengantar cerita atau pendamping protagonis, atau sekadar numpang lewat saja mengomentari cerita. Relasi “sosok” ini dan karakter-karakter lain dibaca secara dekat melalui wacana materialisme dan operasi kekuasaan dalam dua cerita Navis, yaitu “Robohnya Surau Kami” dan “Datangnya dan Perginya”.
Dengan memanfaatkan dua kerangka waktu yang berbeda untuk membedah teks Navis, pemenang unggulan Hamzah Muhammad menyuguhkan “Risalah tentang Teks “Angkatan 00” dan Spekulasi (dari) Masa Lalu”. Artikel ini menyajikan cara pembacaan cerpen “Angkatan 00” versi orisinal (1968) dan versi tulis ulang (2001). Melalui analisis atas elemen naratif—narator dan ideologi teks—, esai ini memperlihatkan bahwa sementara cerpen “Angkatan 00” versi orisinal merupakan fiksi spekulatif futuristis tentang pemerintahan Orde Baru, versi tulis ulangnya merupakan refleksi atas masa pemerintahan Orde Baru, dengan kata lain fiksi spekulatif yang menyejarah. Esai ini juga menunjukkan bahwa Angkatan “00” merupakan karya yang mampu mengoptimalkan kapasitas spekulatifnya untuk membayangkan realita yang mungkin terjadi sekaligus menawarkan simbol-simbol historis yang dapat dimaknai dalam konteks masa kini.
Kembali menggugat konstruksi satire Navis, Cep Subhan, melalui “Cerita Selipan sebagai Pusat, Antropomorfisme Malaikat sebagai Alat: A.A. Navis dan Konstruksi Satire” membongkar trope pemanusiaan tokoh malaikat (antropomorfisme) di dalam “Robohnya Surau Kami” (1955) dan “Man Rabuka” (1957) serta menunjukkan bahwa trope tersebut berfungsi sebagai analogi antara alam manusia dan alam barzakh, sementara trope yang sama tidak bekerja sebagai analogi di dalam “Langit Makin Mendung” oleh Kipandjikusmin (1968). Dengan pembuktian tersebut, Cep Subhan menegaskan premisnya bahwa kedua cerpen Navis, yang mengangkat tema pengadilan manusia di akhirat, lebih mampu menampilkan konstruksi cerita satire sebagaimana mestinya jika dibandingkan dengan “Langit Makin Mendung”, dan menjadikan cerpen-cerpen Navis memiliki nilai kesastraan yang lebih tinggi daripada cerpen Kipandjikusmin.
Esai unggulan lain, “Mengupas Lapisan Satire sang Pencemooh dalam Risalah Kemarau”, karya Abdulmunib S. Almuthahhari, mengupas cara kerja satire dalam Kemarau dengan menelisik struktur naratif tentang moral baik dan buruk yang disajikan oleh narator. Dengan membahas bagaimana informasi ditata dalam ukuran moral, peran atau posisi narator, juga standar keimanan, penelisikan naratif menunjukkan dua hal dalam semesta Kemarau. Pertama, bagaimana dalam konteks dan hubungan yang kompleks tiap tokoh pada akhirnya selalu hadir dengan sisi baik dan buruk, dan kedua, tendensi narator yang utilitarian-religius dalam pengisahan tentang alam dan yang derogatif tentang perempuan.
Dalam “Tahun-tahun Kesunyian Minangkabau”, Riki Fernando membaca Saraswati Si Gadis dalam Sunyi sebagai representasi visi AA Navis terhadap Minangkabau, juga representasi biografisnya. Perjuangan Saraswati untuk bisa diterima sebagai warga “biasa” melambangkan perjuangan Navis untuk memerdekakan orang-orang Minang dari situasi psikologis traumatik pasca penumpasan PRRI, sementara kesunyian Saraswati, si gadis bisu, dikaitkan secara paralel dengan motif kesunyian dalam sastra, yang bertaut dengan berbagai peristiwa politik dalam sejarah. Dengan rujukan pada teks-teks non-fiksi Navis dan berbagai kritik atas teks-teks bermotif kesunyian lain, penulis berupaya untuk menunjukkan bahwa realitas dalam fiksi merefleksikan realitas historis masyarakat Minangkabau yang terepresi.
Karya unggulan terakhir, “Membaca Ulang “Robohnya Surau Kami” dan “Man Rabuka”” oleh Sunlie, membahas dua cerpen A.A. Navis, “Robohnya Surau Kami” dan “Man Rabuka” yang pada masanya dianggap sebagai karya yang mencemooh agama Islam. Esai ini mencermati model cerita berbingkai dengan narator yang tidak bisa dipercaya (unreliable narrator) sebagai strategi naratif pengarang untuk memancing kemarahan pembaca. Menurut esai ini, tujuan Navis tidak lain sebagai kritik atas kemandekan pemikiran dan gerakan Islam dalam masyarakat Indonesia karena dipengaruhi ajaran tarekat. Esai ini turut pula menyinggung kondisi mutakhir sekelompok Muslim Indonesia yang mempercayai dongeng-dongeng tak masuk akal (khurafat) guna memperlihatkan bahwa kegelisahan Navis masih relevan sampai sekarang.
Meski berbeda tema, sebuah esai menarik dalam rubrik Blog turut memberi warna pada edisi kali ini. Dwi Pranoto, dengan “Afrizal Membunuh Aku-Lirik?”, membahas pemaknaan puisi-puisi Afrizal yang selama ini dianggap memberontak dari tradisi lirisisme di Indonesia. Melalui penelaahan sejumlah puisi Afrizal dalam kumpulan puisi Teman-temanku dari Atap Bahasa (2008), Museum Penghancur Dokumen (2013), dan Berlin Proposal (2015), esai ini menunjukkan bahwa sebenarnya “aku-lirik” tidak sungguh-sungguh mati di dalam puisi Afrizal, melainkan pindah ke dalam dunia tulisan yang dicirikan melalui komodifikasi informasi dan simultanitas ruang sebagai dampak dari kultur internet global.
Seratus tahun adalah waktu yang terlalu panjang untuk sekadar mendengar kembali apa yang disebut A. Teeuw sebagai “suara Sumatra yang menarik di tengah konser Jawa” dalam sastra Indonesia. Semoga kita tidak perlu menunggu seabad lagi untuk kembali menikmati dan mengkaji karya-karya A.A. Navis, sastrawan dari Padangpanjang ini.
Selamat membaca.

tengara.id
tengara.id adalah upaya strategis untuk meningkatkan kualitas karya sastra Indonesia melalui pembacaan, pembedahan, dan penilaian yang dilakukan dengan landasan argumen dan teori yang bermutu.