Cerita Selipan sebagai Pusat
Antropomorfisme Malaikat sebagai Alat: A.A. Navis dan Konstruksi Satire

Foto oleh Gregory Jasson

DARI enam puluh delapan cerpen yang A.A. Navis tulis selama kurang lebih setengah abad dan dibukukan dalam Antologi Lengkap Cerpen AA Navis (2005) [1], ada tiga cerpen bernafas Islam yang sekaligus kontroversial: “Datangnya dan Perginya” (1956) yang menampilkan lakuan pembiaran terhadap pelaku inses atas pertimbangan emosional, “Robohnya Surau Kami” (1956) yang menampilkan sosok kakek garin rajin beribadah tetapi kemudian melakukan bunuh diri, dan “Man Rabuka” (1957) yang menampilkan lakon carangan tentang orang alim masuk neraka sementara pelaku kemaksiatan malah masuk surga karena menyogok malaikat dengan tuak dan candu. Ketiga cerpen ditulis pada masa berdekatan dan tampak menandai fase berbeda dari fase penulisan novel A.A. Navis yang menggarap tema dan topik-topik serupa, Kemarau (1964).

Cerpen “Datangnya dan Perginya” merupakan hipoteks Kemarau, terbukti pertama-tama dengan pelesapan tekstual cerpen tersebut ke dalam novel, meski dengan beberapa perubahan signifikan, sehingga menciptakan relasi hipertekstualitas dengan Kemarau sebagai hiperteksnya. Akan tetapi karakterisasi Sutan Duano sebagai garin dalam Kemarau yang rajin beribadah sekaligus rajin bekerja juga bisa ditafsirkan sebagai kombinasi karakteristik positif kakek garin (rajin beribadah) dan Ajo Sidi (rajin bekerja) dalam “Robohnya Surau Kami”, sementara pemikiran Sutan Duano menunjukkan pandangan analitis lebih matang terkait teodisi yang disajikan dalam cerita selipan “Man Rabuka”.

Dengan demikian, memahami ketiga cerpen tersebut penting bukan hanya untuk memahami karya-karya Navis terkemudian, khususnya Kemarau, tetapi juga untuk menelisik perkembangan proses kepengarangan A.A. Navis sebagai sastrawan muslim. Akan tetapi objek material dan formal tulisan ini dibatasi pada konstruksi cerpen “Robohnya Surau Kami” dan “Man Rabuka” serta resepsi publik terhadap keduanya yang sama-sama memiliki cerita selipan memuat eskatologi Islam dan memicu reaksi keras dari sebagian umat Islam pada saat keduanya dipublikasikan. Adapun cerpen “Datangnya dan Perginya” lebih pantas dibahas terpisah bersama dengan Kemarau karena relasi hipertekstualitas keduanya yang kuat.

Ismet Fanany (761-762) mencatat bahwa ketika “Robohnya Surau Kami” dipublikasikan di Majalah Kisah pada tahun 1955 dan memenangkan hadiah sastra majalah tersebut, Navis dituduh komunis atau Murba karena cerpen tersebut “dianggap memberikan potret yang tidak baik tentang Islam”. Kemudian ketika cerpen dibukukan dalam antologi berjudul sama pada tahun 1956, Navis dituduh mengejek Islam.

Tuduhan yang sama kembali Navis terima saat “Man Rabuka” dipublikasikan oleh harian Nyata (Bukittinggi) pada akhir tahun 1957 sampai akhirnya harian tersebut menyatakan bahwa cerpen “Man Rabuka” dianggap “tidak ada”. Cerpen kemudian dipublikasikan ulang pada tahun yang sama dalam mingguan Siasat (Jakarta) dan mendapat reaksi keras yang sama sehingga mingguan tersebut mengambil langkah sama pula dengan harian Nyata (Fanany 762).

Satu dekade kemudian, H.B. Jassin mengajukan pertanyaan menarik dalam pertanggungjawabannya terkait polemik cerpen “Langit Makin Mendung” (1968) karangan Kipandjikusmin:

Salah satu tuduhan orang terhadap pengarang Kipandjikusmin ialah bahwa ia telah menghina Tuhan dan Nabi-nabi, karena telah mempersonifikasikan mereka, mengapakah orang tidak melontarkan tuduhan yang sama kepada Navis karena hal yang sama? (Heboh Sastra 1968: Suatu Pertanggunganjawab 8).

Sebelumnya Jassin mengulas potensi “tuduhan yang sama” terhadap Navis berdasarkan cerpen “Robohnya Surau Kami” dan “Sebuah Wawancara” (1963), cerpen A.A. Navis yang mengisahkan seorang wartawan bermimpi mewawancarai beberapa nabi dengan topik perbandingan moral zaman mereka dengan zaman kontemporer. Pertanyaan Jassin menarik sekurang-kurangnya karena tiga alasan. Pertama, informasi dalam pertanyaan tersebut tidak sepenuhnya benar, terbukti “Robohnya Surau Kami” pun membuat Navis dituduh “mengejek Islam”. Kedua, Jassin tidak menyinggung “Man Rabuka”, cerpen yang jelas mendapatkan reaksi jauh lebih keras dari publik dibandingkan “Robohnya Surau Kami”. Sukar membayangkan Jassin sebagai arsiparis hebat dan cermat tidak mengetahui peristiwa tersebut sehingga bisa diduga bahwa alasan Jassin tidak menyinggungnya serta memilih menyinggung hanya “Robohnya Surau Kami” dan “Sebuah Wawancara” adalah karena jika dia menyinggung “Man Rabuka” maka dia tidak bisa mengajukan pertanyaan tentang ketidakadilan tuduhan publik terhadap Kipandjikusmin. Ketiga, polemik-polemik sastra tampak sebagai pucuk dari kelindan banyak faktor yang sebagian kerap kali bersifat acak sehingga pembahasan tentang gesekan antara tradisi sastra dengan sistem non-sastra dalam kesusastraan Indonesia, sebagai salah satu contoh polemik yang terus berulang tanpa solusi memadai dari sudut pandang Ilmu Sastra, akan selalu relevan.

A.A. Navis menyebut “Langit Makin Mendung” sebagai “jelas merupakan karya sastra tidak bermutu dan penalaahan [sic] agamanya yang sangat konyol”. Mengenai sosok Kipandjikusmin, Navis menyebut bahwa jelas sekali dia “mempunyai pengetahuan yang dangkal tentang Islam”, hal mana tampak dari kelancangannya “merupakan wajah Tuhan dan wajah Nabi-Nabi malah sampai merupakannya seperti burung elang”, satu perbuatan yang menurut Navis “paling pantang bagi aqidah agama Islam” (Langit Makin Mendung: Simalakama Kreativitas 268). Penilaian Navis tersebut selaras penilaian Ali Audah (Siahaan, Imadjinasi Didepan Pengadilan (Satu Rekaman) III 293, 297) yang saat menjadi saksi ahli di pengadilan H.B. Jassin menyebut nilai sastra cerpen tersebut “tidak bermutu” dan “pengertian dia [Kipandjikusmin] mungkin jang kurang tentang agama”.

Dua pernyataan Navis tersebut tampak paradoksal karena dia terkesan meyakini bahwa fakta “Langit Makin Mendung” merupakan cerpen buruk adalah satu hal sedangkan tuduhan bahwa “Langit Makin Mendung” menghina Tuhan adalah hal lain. Problemnya, Navis tidak mengatakan lebih jelas alasan mengapa cerpen tersebut adalah cerpen buruk, tetapi berdasarkan komentarnya tentang sosok Kipandjikusmin sebagai pengarangnya bisa disimpulkan bahwa label “buruk” yang dia sematkan itu bertaut dengan fakta pengetahuan dangkal keislaman pengarangnya dan pengetahuan dangkal itu pula yang menyebabkan dia melakukan hal yang dilarang dalam agama Islam.

Artinya, Navis tidak mengatakan cerpen itu menghina Tuhan dan sekadar mengatakan cerpen tersebut buruk, tetapi basis penilaian yang dia gunakan sama dengan basis penilaian yang publik gunakan untuk menuduh cerpen tersebut menghina Tuhan. Navis, bisa jadi, mengacu pada pemikiran modernis dengan meyakini bahwa apa yang bisa dianggap menghina Tuhan jika dilakukan di luar sastra, saat dilakukan di dalam sastra maka levelnya hanya sampai membuat karya tersebut sekadar buruk: ada pemisahan hukum dunia umum dengan dunia sastra, atau dalam istilah Jassin (Heboh Sastra 1968: Suatu Pertanggunganjawab 74), “kenyataan artistik tidak identik dengan kenyataan objektif”.

A.A. Navis juga mengkritik sikap Kejaksaan Tinggi Medan yang memberangus majalah Sastra akibat memuat cerpen “Langit Makin Mendung” dan pengeroyokan kantor majalah tersebut oleh massa (Langit Makin Mendung: Simalakama Kreativitas 262). Bagi Navis, kasus tersebut “sepatutnya dilanjutkan ke pengadilan untuk diuji benar tidaknya cerita pendek itu telah menghina agama Islam”, bahwa karya tersebut “tidak disita sebelum diketahui kesalahannya”, dan “biarkan masyarakat menilainya terus menerus dalam diskusi atau polemik” (Langit Makin Mendung: Simalakama Kreativitas 266). Akan tetapi, pendapat Navis tampak berubah setahun kemudian ketika dia menyatakan bahwa

apapun macam putusan pengadilan [terkait perkara “Langit Makin Mendung”]—bebas atau dihukum secara maksimal—tidaklah ada suatu hal yang dapat dibanggakan oleh pihak manapun. Karena betapapun adilnya timbangan hakim, namun dalam perkara yang abstrak ini, unsur-unsur subjektivitas zaman kinilah yang paling menentukan (Kesusasteraan Dihukum Karena Tidak Punya Dukungan Formal 274).

Jika semula Navis tampak meyakini kemungkinan pembuktian tuduhan apa pun terhadap karya sastra di pengadilan, kini dia tampak ragu karena perkara semacam itu merupakan “perkara abstrak” dan “lain zaman akan lain pula pertimbangan” sehingga “putusan hakim pun akan berbeda pula terhadap perkara yang serupa”. Sebagai contoh penguat, dia membandingkan reaksi publik terhadap cerpen tersebut dengan reaksi publik terhadap cerpennya “Man Rabuka” kemudian menyimpulkan bahwa “masyarakat dan organik pemerintah di masa 13 tahun yang lalu adalah lebih supel dan lebih dewasa”, karena pada masa itu

tidak ada kesatuan-kesatuan pemuda yang mengobrak-abrik kantor redaksi, tidak ada jaksa yang membrendel [sic] dan menuntut, dan tidak ada Menteri Agama yang mengutuk (Kesusasteraan Dihukum Karena Tidak Punya Dukungan Formal 274-275).

Bisa disimpulkan bahwa Navis mendukung penilaian teks berdasarkan pembahasan teks itu sendiri yang dilakukan secara dialogis, bukan berdasarkan hanya pendapat satu golongan yang kemudian berujung dengan tindakan anarkis baik terhadap karya, pengarang, maupun media atau penerbit yang memublikasikan. A.A. Navis dan H.B. Jassin, yang sama-sama membandingkan perbedaan sikap publik dan pihak berwenang terhadap “Langit Makin Mendung” dengan terhadap “Robohnya Surau Kami” dan “Sebuah Wawancara”, mempertanyakan tolok ukur yang digunakan untuk memutuskan sebuah karya bisa dituduh menghina Tuhan atau tidak. Keduanya tampak melihat bahwa ketiadaan tolok ukur yang jelas akan menjadikan berlakunya pasal karet yang bisa merugikan pengarang atau pihak tertuduh. Pleidoi yang disampaikan oleh Jassin dan saksi ahli Ali Audah, yang bisa dikatakan sebagai satu tolok ukur, ternyata gagal meyakinkan hakim yang lebih diyakinkan oleh tuntutan jaksa dan dua saksi ahli yaitu Buya Hamka dan Abdul Kadir Bahalwan[2], tolok ukur yang lain.

Namun, mungkin juga Jassin mempertanyakan hal tersebut bukan untuk mendapatkan jawaban, melainkan untuk menunjukkan bahwa ketiadaan tolok ukur tersebut menandakan lebih logisnya menolak kemungkinan penyematan tuduhan semacam itu terhadap karya sastra. Bagi Jassin (Heboh Sastra 1968: Suatu Pertanggunganjawab 20, 70), “pengarang harus diberikan kebebasan mencipta yang mutlak”.

Jawaban untuk pertanyaan Jassin sebenarnya sudah disodorkan secara tersirat oleh Navis ketika dia menyebut aspek yang paling menentukan adalah “unsur-unsur subjektivitas zaman” dan relativitas putusan hakim untuk perkara yang sama. Navis tampaknya percaya bahwa tolok ukur sebuah karya menghina Tuhan atau tidak bersifat tentatif. Terhadap jawaban tersebut bisa ditambahkan konsekuensi selanjutnya bahwa penilaian yang muncul pun cenderung politis.

Keyakinan Navis kemudian terbukti benar berdasarkan historiografi cerpen “Man Rabuka”. Pasca-penarikan paksa dari dua media yang memublikasikannya, cerpen tersebut lenyap dari peredaran sampai kemudian arsipnya ditemukan kembali di perpustakaan Monash, Australia, berkat kerja keras Ismet Fanany sebagai kurator sekaligus editor Antologi Lengkap Cerpen AA Navis (2005). Dalam pengantar Bertanya Kerbau pada Pedati (2002), Navis menyinggung pertanyaan Bre Redana tentang amankah menerbitkan “Robohnya Surau Kami” saat itu dan juga memutuskan mengganti dua cerpen yang dianggap riskan, “Tanpa Tembok” dan “Sebuah Wawancara”, dengan dua cerpen lain, “Pendekar dengan Ayam Jago” dan “Kaus Kaki”. Akan tetapi publikasi ulang “Robohnya Surau Kami” (2005) ternyata tidak menimbulkan reaksi keras dari pihak mana pun.

Oleh sebab itu, tulisan ini lebih memilih menelusuri hal yang tampak sama menarik dan penting sekaligus lebih terukur, yaitu kemungkinan alasan mengapa A.A. Navis menyebut “Langit Makin Mendung” buruk, padahal sepintas lalu cerpen tersebut memiliki kesamaan dengan “Robohnya Surau Kami” dan “Man Rabuka” yang menyajikan eskatologi di luar pakem. Untuk sampai pada jawaban, pertama-tama penting membahas konstruksi naratif kedua cerpen Navis tersebut.

 

Cerita Selipan Sebagai Pusat

Dalam pengantar Mata Yang Indah: Cerpen Pilihan KOMPAS 2001, Hasif Amini menyebut kisah-kisah dalam kitab Seribu Satu Malam sebagai “nenek moyang” genre cerita pendek. Menurut dia ada dua hal yang membuat kisah-kisah tersebut “menarik dan penting”:

Keanekaan corak naratifnya (ada fantasi, fabel, parabel, legenda, anekdot, bahkan realisme di sana) dan kecerdikan pola tuturnya (cerita-bingkai, cerita-dalam-cerita-dalam-cerita, silang-seluk puisi dan prosa, persahutan motif dan permainan gema, …) (Amini xviii).

Dalam kosmos tersebut, Syahrazad, menurut Hasif, “hanyalah semacam titik/momen transit”, karena tokoh-tokoh ceritanya sering kali juga menjadi “pencerita yang menurunkan kisah-kisah lain”.

Dua cerpen A.A. Navis masing-masing memenuhi dua poin yang Hasif sebutkan. Baik “Robohnya Surau Kami” maupun “Man Rabuka” merupakan cerita berbingkai, frame story. Keduanya sama-sama memuat cerita selipan, embedded story. Jika cerpen-cerpen A.A. Navis adalah keturunan kesekian dari Seribu Satu Malam, maka bisa dikatakan bahwa A.A. Navis adalah versi kontemporer dari para penjelajah gurun yang merangkai cerita demi cerita sambil berdiang mengitari api unggun pada malam langit penuh bintang.

Dengan kata lain, A.A. Navis bukan Syahrazad, tetapi dalam “Robohnya Surau Kami” dan “Man Rabuka” kita temukan sosok itu pada karakter Ajo Sidi/kakek garin dan Raman/Atik Peto. Hal tersebut mengisyaratkan adanya kelisanan ganda terkait kedua cerpen. Pertama, proses kreasi mereka mengadopsi mode lisan. Kedua, karakter-karakter di dalamnya menerapkan mode lisan sehingga memunculkan cerita dalam cerita. Kelisanan pertama bisa dirunut pada proses kreatif A.A. Navis yang banyak memanfaatkan obrolan lisan untuk dijadikan bahan baku karyanya, proses yang sangat mirip dengan terciptanya kisah-kisah Seribu Satu Malam. Kelisanan kedua tampak pada fakta bahwa cerita selipan dalam “Robohnya Surau Kami” dan “Man Rabuka” merupakan cerita lisan salah satu karakter.

A.A. Navis mengatakan bahwa ide cerita “Robohnya Surau Kami” berasal dari lelucon yang disampaikan M. Sjafei kepada A. Chalik, kepala jawatan tempat Navis bekerja saat itu. Lelucon tersebut mengisahkan adegan di akhirat Tuhan bertanya kepada beberapa orang yang berasal dari negara berbeda, termasuk Indonesia. Sementara orang-orang lain langsung masuk surga, orang Indonesia menjadi satu-satunya yang langsung masuk neraka karena “orang Indonesia tidak memanfaatkan alam yang diberikan Tuhan” (Yusra 78-79). Bagian tersebut kemudian menjadi topik pada cerita selipan dalam “Robohnya Surau Kami”.

Adapun kisah kakek garin dan surau dalam “Robohnya Surau Kami” bersumber dari pengalamannya melihat surau tempat dia mengaji saat kecil runtuh. Penyebabnya ternyata surau tersebut sudah tidak ada yang mengurus sejak kakek garin yang biasa mengurus surau tersebut meninggal. A.A. Navis sendiri dalam salah satu surat kepada H.B. Jassin mengatakan bahwa “Kisah surau itu saja buat sebagai introduction sedangkan jang (tokoh) pokoknya ialah Hadji Saleh, jang sudah lama ada di dalam kepala saja” (Yusra 79).

Cerpen “Robohnya Surau Kami” dibuka dengan naratif tentang surau yang terbengkalai akibat kakek garin pengurusnya sudah meninggal. Naratif kemudian beralih melalui fokalisor aku dengan kisahan analepsis menceritakan hari-hari akhir si kakek. Si kakek tampak sedang mengasah pisau dalam kondisi muram saat narator aku mendatanginya. Ternyata kemuraman tersebut terkait dengan dongeng Ajo Sidi, karakter yang terkenal sebagai pembual. Si kakek menegaskan posisi dirinya sebagai orang yang rajin beribadah, hidup sendiri, dan tak tertarik mencari kekayaan, tetapi dalam bualan Ajo Sidi dia, menurut tafsir si kakek, “dikatakan manusia terkutuk”.

Kemudian bualan Ajo Sidi diceritakan ulang oleh si kakek kepada narator aku. Cerita tersebut berlatar pengadilan Tuhan di akhirat, ketika Tuhan menanyai satu demi satu arwah orang-orang yang sudah meninggal. Di antara orang-orang tersebut terdapat Haji Saleh. Dia merasa sangat percaya diri akan masuk surga karena selama di dunia dia sangat rajin beribadah. Akan tetapi, Haji Saleh sangat heran karena pascatanya jawab itu dia justru dimasukkan ke neraka.

Di dalam neraka dia berjumpa dengan banyak kawannya yang juga setahu dia di dunia rajin-rajin beribadah. Akhirnya, karena merasa tidak puas, mereka kemudian melakukan demonstrasi kepada Tuhan. Berlangsunglah kembali tanya jawab antara Tuhan dengan mereka dan terbongkarlah alasan Tuhan memasukkan mereka ke dalam neraka: mereka rajin beribadah tetapi malas menggarap kekayaan alam yang sudah Tuhan berikan pada negeri tempat mereka tinggal, Indonesia.

Naratif kemudian kembali ke alur utama bahwa keesokan harinya, narator-karakter aku kaget mengetahui kakek garin mati bunuh diri “menggorok lehernya dengan pisau cukur”. Merasa bahwa hal tersebut ada kaitannya dengan bualan Ajo Sidi, dia pergi ke rumah Ajo Sidi. Akan tetapi dia tidak bisa bertemu dengan Ajo Sidi yang menurut istrinya sudah pergi bekerja.

Adapun cerpen “Man Rabuka” sejak awal dibuka dengan naratif dari fokalisor aku yang mengisahkan kepulangannya ke kampung halaman. Dia ingin menziarahi dan memperbaiki pusara kedua orang tuanya dan adiknya “yang mati sengsara”. Si aku sendiri sejak awal mengatakan bahwa orang-orang kampung memandangnya sebagai pengkhianat, meski dia tidak peduli. Dia kemudian pergi bersama Atik Peto, satu-satunya tukang batu yang pandai di kampungnya, menuju pusara mereka.

Narator-karakter aku ternyata pada masa revolusi “melupakan kampung dan bekerja sama dengan musuh”, sementara ayah dan adiknya, Raman, adalah para pejuang. Adiknya itu kemudian tertangkap musuh dan setelah bisa lepas kembali ke kampung, dia terjangkit tebese. Atik Peto mengatakan bahwa dia sempat merasa tidak nyaman jika Raman berlama-lama di dekatnya, karena setahu dia tebese menular.

Karakter aku sempat mengomentari bahwa sebagai pejuang, Raman harusnya diobati dengan biaya dari pemerintah, tetapi hal itu ditanggapi dengan senyum mengejek oleh Atik Peto. Akhirnya, karena penyakitnya memang tidak diobati, Raman pun meninggal menyusul ayahnya. Atik Peto juga kemudian mengisahkan cerita yang dikisahkan oleh Raman kepadanya 3 hari sebelum meninggal.

Cerita selipan tersebut mengisahkan dua saudara kembar, Jamain dan Jamalin. Keduanya memiliki watak bertolak belakang: Jamain tukang judi, main perempuan, maling, pemadat, sementara Jamalin sangat alim. Keduanya sama-sama memiliki pengikut. Didorong oleh keluhan para pengikutnya, Tuanku Jamalin akhirnya menasihati Jamain supaya tobat dan sebagai dampaknya Jamain kemudian pergi dengan alasan “mencari bekal kubur”.

Suatu hari, Jamain kembali dalam kondisi sudah sangat sakit-sakitan dan tak lama kemudian meninggal. Dia memberi wasiat kepada anaknya supaya kalau dia mati maka ada segerobak peti yang harus ikut dikuburkan bersamanya. Saat ditanyai “Man Rabuka” oleh malaikat di dalam kubur, Jamain mengeluarkan isi peti-peti itu yang ternyata “botol tuak, bertube candu dan berbagai pose dari gambar wanita telanjang”. Dia mengatakan bahwa itulah bekal kuburnya. Dia kemudian menawarkan tuak dan candu kepada malaikat yang lama-kelamaan merasa enak. Hal tersebut kemudian terjadi berulang-ulang setiap hari selama berbulan-bulan sehingga malaikat lupa melakukan tugasnya menanyakan Man Rabbuka, Siapa Tuhanmu.

Ketika lama kemudian Tuanku Jamalin meninggal, dia dikuburkan di samping Jamain. Dia kaget karena malaikat yang menanyainya bukan menanyakan Man Rabbuka sebagaimana lazimnya diajarkan dalam eskatologi pakem, melainkan te es te: kode yang biasa diucapkan Jamain ketika memberikan tuak kepada malaikat. Jamain kemudian membantu dengan memberikan botol tuak, tetapi botol tersebut ternyata sudah kosong. Malaikat yang marah menendang Jamain dengan kaki kanan dan membuatnya melayang masuk surga, sementara Tuanku Jamalin ditendang dengan kaki kiri dan membuatnya melayang masuk neraka.

Setiap tahun, orang-orang yang masuk neraka dan sudah habis masa hukumannya dipanggil untuk dimasukkan ke surga, tetapi Tuanku Jamalin tidak juga dipanggil-panggil karena dia memang tidak ada dalam daftar penghuni neraka. Maka diduga ada kesalahan administrasi, Tuanku Jamalin terus mendekam di neraka menunggu “malaikat bagian arsip dapat memeriksa riwayat Tuanku Jamalin”.

Naratif kemudian kembali ke alur utama, Atik Peto dan narator aku sudah tiba di makam. Setelahnya, narator aku menemukan bahwa ternyata makam Raman sudah ditumpangi oleh makam Ramisah yang kemudian diketahui sebagai seorang perempuan gila berdasarkan penjelasan dari Atik Peto. Naratif ditutup dengan renungan narator aku: “jika adikku yang dikatakan orang pahlawan itu sampai-sampai ke kuburnya dilupakan orang juga, apalagi aku yang dikatakan pengkhianat”.

“Robohnya Surau Kami” dan “Man Rabuka” tampak memiliki kemiripan struktur tekstual yang bisa dirumuskan sebagai a + (b) = a’. A sebagai narator diegesis atau cerita berbingkai, (b) sebagai metadiegesis atau cerita selipan, dan a’ sebagai a yang mengalami perubahan kesadaran.

Pada “Robohnya Surau Kami”, a adalah narator-karakter aku yang semula tampak berpihak pada kakek garin, tergambar dari kedekatan relasinya. Merujuk pada konsep Gérard Genette (248), status narator pada cerita berbingkai ini adalah ekstrahomodiegetik: narator berada pada tataran pertama dan dirinya merupakan bagian dari cerita.

Selanjutnya, (b) adalah cerita selipan tentang Haji Saleh yang memiliki sikap analog dengan sikap kakek garin dan masuk neraka. Cerita selipan berasal dari cerita Ajo Sidi yang dikisahkan ulang oleh kakek garin pada a. Dengan demikian, status narator cerita selipan—atau metadiegetik, cerita pada tataran kedua, dalam terminologi Genette (228)—sama seperti Syahrazad, yaitu intraheterodiegetik: kakek garin adalah narator pada tataran kedua dan dirinya bukan merupakan bagian dari cerita.

Adapun A’ adalah narator-karakter a pada cerita berbingkai setelah mengetahui fakta bahwa Ajo Sidi si pembual ternyata rajin bekerja menafkahi keluarganya. Tidak secara tersurat digambarkan perubahan keyakinan a pada “Robohnya Surau Kami”, tetapi ekspresi dia di akhir cerita yang mengulang jawaban istri Ajo Sidi dengan “hampa” tampak sebagai ekspresi seorang yang sudah memiliki asumsi awal (Ajo Sidi adalah pembual yang menyebabkan kematian kakek garin) kemudian berubah akibat fakta baru yang seperti cetusan.

Dengan kata lain, pascamendengar cerita Ajo Sidi melalui kakek garin, dalam pikiran a Haji Saleh analog dengan kakek garin dan masuk neraka. Prabunuh diri kakek garin, cerita itu hanya cerita dan analogi itu hanya bualan. Akan tetapi, pascabunuh diri kakek garin, analogi itu mendapatkan fakta pendukung karena kakek garin bunuh diri dan ancaman hukumannya jelas masuk neraka. Pada momen itu, belum ada fakta yang mendukung tautan antara antagonis Haji Saleh/kakek garin dengan Ajo Sidi. Fakta itulah yang kemudian muncul di akhir cerita sebagai cetusan: Ajo Sidi yang rajin bekerja adalah antagonis Haji Saleh/kakek garin.

Namun, menjadi antagonis Haji Saleh/kakek garin yang dinarasikan masuk neraka tidak lantas menempatkan Ajo Sidi sebagai calon ahli surga, satu konklusi biner yang sangat mungkin diyakini oleh sebagian pembaca. Syarat masuk surga, sebagaimana difirmankan Tuhan dalam “Robohnya Surau Kami”, adalah “beramal di samping beribadat” (Navis, Robohnya Surau Kami 179), sedangkan Ajo Sidi digambarkan hanya rajin beramal dan bekerja serta tidak ada bukti tekstual bahwa dia rajin beribadat. Dialog penutup cerita yang menunjukkan pesan Ajo Sidi terhadap istrinya untuk membelikan tujuh lapis kain kafan bagi kakek garin bisa ditafsirkan sebagai simbol kedangkalan pengetahuan agama Ajo Sidi: dalam ajaran Islam, kain kafan untuk mayat laki-laki adalah lima lapis. Dengan kata lain, kakek garin dan Ajo Sidi adalah simbol dua ekstrem, yang satu hanya rajin beribadah, yang lain hanya rajin beramal. Dua ekstrem tersebut kelak Navis gabungkan dalam Kemarau: Sutan Duano merupakan karakter yang rajin beribadah dan beramal.

Pada “Man Rabuka”, a adalah narator-karakter yang semula tampak tak peduli dengan status dirinya yang mendapat cap pengkhianat. Statusnya sebagai narator sama dengan aku narator-karakter pada “Robohnya Surau Kami”, yaitu ekstrahomodiegetik. (b) adalah cerita selipan atau metadiegetik tentang Tuanku Jamalin dan Jamain yang analog dengan karakter dirinya dan Raman. Narator metadiegetik tersebut adalah Atik Peto yang menceritakan ulang cerita Raman, sama dengan kakek garin menceritakan ulang cerita Ajo Sidi. Adapun a’ adalah narator-karakter a dalam cerita berbingkai pascamengetahui fakta bahwa Raman yang pahlawan saja bisa dilupakan orang, apalagi dirinya yang hanya pengkhianat. Dengan kata lain, status pahlawan dan pengkhianat yang semula tidak penting menjadi sesuatu yang penting.

Dengan demikian, tampak masuk akal jika Navis sendiri mengatakan bahwa cerita berbingkai (naratif tentang kakek garin dan surau) sebagai pengantar dan tokoh utama cerita adalah Haji Saleh. Meski demikian, perlu diperjelas bahwa bisa dikatakan jika pusat atau kunci cerita sebenarnya adalah (b) atau cerita selipan, karena perubahan kesadaran pada narator-karakter hanya terjadi dan bisa dimengerti karena adanya cerita selipan tersebut, sama dengan perubahan kesadaran Raja Syahriyar hanya dimungkinkan karena adanya cerita-cerita selipan selama “1001 malam” dari Syahrazad.

Formula yang sama kemudian bisa juga diterapkan pada narator-karakter dalam “Man Rabuka”. Perubahan kesadarannya terjadi dan bisa dimengerti karena adanya cerita selipan tentang Tuanku Jamalin dan Jamain. Selain itu, cerita selipan menjadi pusat karena ia berposisi sebagai cermin yang merefleksikan karakter-karakter dalam cerita berbingkai: Haji Saleh dengan kakek garin, antonim Haji Saleh dengan Ajo Sidi, Tuanku Jamalin dengan Raman, dan Jamain dengan narator-karakter Aku.

Gb. 1. Struktur naratif “Robohnya Surau Kami” dan “Man Rabuka”

 

Dari pemetaan tersebut sekaligus tampak perbedaan posisi narator-karakter, Tuhan, dan malaikat dalam “Robohnya Surau Kami” dan “Man Rabuka”. Dalam “Robohnya Surau Kami”, posisi narator-karakter adalah pengamat, dia tidak terlibat dalam refleksi cerita selipan dan cerita berbingkai. Sebaliknya, dalam “Man Rabuka”, narator-karakter adalah sekaligus bagian dari sosok yang direfleksikan. Dalam “Robohnya Surau Kami”, peran Tuhan dominan dan malaikat hanya memiliki peran minor, sebaliknya dalam “Man Rabuka” peran Tuhan tidak tampak sementara peran malaikat justru dominan.

Konsekuensi dari perbedaan semacam itu akan lebih jelas jika cerita selipan dibahas lebih lanjut dalam kaitannya dengan konstruksi satire. Tentu saja sejak awal harus ditekankan bahwa format cerita berbingkai dan cerita selipan bukan prakondisi satu-satunya untuk satire, tetapi nanti akan tampak bahwa kehadiran cerita selipan tersebut sangat menunjang konstruksi satire pada “Robohnya Surau Kami” dan “Man Rabuka”.

 

Antropomorfisme Malaikat dan Konstruksi Satire

Korrie Layun Rampan (127) menempatkan satirisme sebagai salah satu dari 32 “aliran-jenis cerita pendek”. Setelah mengutip beberapa pengertian satire, dia menyimpulkan satu pengertian umumnya sebagai “karya sastra yang isinya mengajarkan moral dan mengkritik suatu keadaan, kadang-kadang secara karikatural”. Empat nama pengarang lokal yang dia sebutkan sebagai contoh satiris adalah Alex Leo, Budi Darma, A.A. Navis, dan B. Soelarto.

Ajip Rosidi (Kamus Istilah Sastera Indonesia 215-216) memberikan definisi yang bisa memperkuat gambaran tersebut sebagai “tulisan sindiran, cara untuk mengejek atau merendahkan” dengan “menggunakan ironi dan sarkasme, sering dibungkus oleh humor”. Terkait cerpen Navis, Ajip Rosidi juga pernah mengomentari “Robohnya Surau Kami” dan “Orde Lama” sebagai memuat sindiran sosial yang “menggigit di balik kuluman senyum” (Engku Navis 263).

Berbeda dengan resepsi publik pembaca yang mayoritas memandang negatif “Robohnya Surau Kami” dan “Man Rabuka”, sebagian tokoh, terutama dari kalangan sastra, memandang keduanya secara positif. H.B. Jassin menyebut “Robohnya Surau Kami” sebagai

satu cerita alegoris yang plastis dalam lukisannya, aktual dalam pengambilan contoh-contoh dan dengan gaya dan nada sindiran yang pahit dan tajam serta dengan isi yang merangkum persoalan dunia dan akhirat (Robohnya Surau Kami, Kumpulan Cerita Pendek A.A. Navis 128).

Ajip Rosidi (Permasalahan Islam dalam Roman Indonesia 143) menyebut “Robohnya Surau Kami” memiliki tema yang “terasa sangat segar dan memberikan warna baru kepada kehidupan hasil sastera Indonésia yang bernafaskan Islam”. KH Abdurrahman Wahid (260) menyatakan dengan nada memuji bahwa “Robohnya Surau Kami” mengangkat “masalah tanggung jawab sosial kepada anak keturunan yang menjadi melarat di kemudian hari”. Soewardi Idris (388, 390) menyebut “Robohnya Surau Kami” sebagai “cerpen dunia akhirat” sementara “Man Rabuka” merupakan sindiran terhadap “pahlawan kesiangan” di tahun 1950 yang “dianggap dan dihargai sebagai pejuang” padahal mereka tidak pernah melakukan apa pun untuk bangsa dan negara.

Salah satu cara yang paling mungkin untuk menjembatani kesenjangan resepsi publik pembaca dengan kalangan pembaca ahli yang lebih kritis adalah membedah teks-teks terkait dengan saksama dan seobjektif mungkin. Berbagai resepsi positif sebagaimana disajikan beberapa di antaranya di atas, sayangnya, tidak disertai upaya pembedahan teks dan hanya berdasar pembacaan sumir sehingga potensinya untuk meyakinkan publik tidak terlalu tinggi, terlebih lagi publik yang sejak awal memiliki keyakinan berseberangan berbasis pemaknaan teks secara literal.

Dari sudut pandang linguistik, proses penciptaan satire adalah praktik diskursif, artinya teks yang dihasilkan memiliki tujuan utama mengeksplorasi sebuah gagasan. Dari sudut pandang ini, sebagaimana diteorikan oleh Paul Simpson, teks satire dianggap harus memiliki dua anasir. Unsur pertama adalah unsur utama dan unsur kedua adalah unsur dialektis. Unsur utama “menggemakan semacam peristiwa diskursif lain”, sementara unsur dialektis adalah mekanisme internal-teks yang menghasilkan gagasan atau pergerakan berlawanan dalam pengertian Popperian, sedemikian rupa sehingga pergulatan kedua anasir tersebut mendorong satiree menuju satu resolusi, menuju satu sudut pandang baru (Simpson 196).

Dengan kata lain, jika unsur utama teks satire adalah tesis maka mekanisme internal-teks selanjutnya menghasilkan antitesis. Dari pergulatan antara tesis dengan antitesis itu lahirlah resolusi, sudut pandang baru sebagai sintesis.

Dari sudut pandang yang sama, satire melibatkan 3 pihak: satiris, komunikator satire; satiree, komunikan satire; dan satirized, target satire. Ketiganya saling terhubung dan sama-sama mengitari tatanan diskursus dalam organisasi sosial, kultural, dan politik. Impetus atau dorongan untuk menghasilkan satire adalah tegangan antara satiris dengan target satire (Simpson 86). Sesuai pembahasan tulisan ini, satiris adalah A.A. Navis, satiree adalah publik pembaca cerpen “Robohnya Surau Kami” dan “Man Rabuka”, sementara satirized akan tampak nanti setelah pembahasan.

Cerita selipan A.A. Navis pada “Robohnya Surau Kami” dan “Man Rabuka” sama-sama memuat oposisi biner, meski pada yang pertama tersirat dan pada yang kedua tersurat. Pada “Robohnya Surau Kami”, oposisi biner muncul sebagai Haji Saleh/Neraka dan antonim Haji Saleh/Surga. Antonim Haji Saleh dkk tidak muncul secara tersurat, melainkan hanya tersirat dalam firman Tuhan. Sementara dalam “Man Rabuka”, oposisi biner muncul tersurat antara Tuanku Jamalin/saleh/Neraka dengan Jamain/pendosa/Surga.

Baik “Robohnya Surau Kami” maupun “Man Rabuka” sama-sama memuat cerita selipan berlatar eskatologi dan menyimpang dari cerita eskatologi pakem. Poin yang sama-sama ada di dalam kedua cerpen tersebut adalah antropomorfisme malaikat, yaitu karakterisasi malaikat menjadi mirip karakterisasi manusia. Dalam “Robohnya Surau Kami”, antropomorfisme malaikat memang hanya muncul sedikit, yaitu menjelang akhir cerita selipan ketika Haji Saleh bertanya kepada “para malaikat yang menggiring” mereka pascademonstrasi: “Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menyembah Tuhan di dunia?”

Terhadap pertanyaan itu, malaikat menjawab:
“Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.” (Navis, Robohnya Surau Kami 180).

Pasase tersebut menggambarkan malaikat berpendapat dan memberi penilaian personal tentang manusia. Dalam eskatologi pakem, berbasis ayat Al-Qur’an Surah Al-Anbiya (21): 27, la yasbiqunahu bi al-qaul, “mereka [malaikat] tidak mendahului-Nya dengan perkataan”, malaikat dipahami sebagai makhluk yang tidak memiliki inisiatif sendiri (Shihab 440) baik dalam lisan maupun perbuatan, artinya, mereka hanya mengucapkan dan melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah. Memiliki inisiatif adalah karakteristik manusia yang berbasis kehendak bebas dan itulah alasannya mengapa manusia bisa benar atau salah, sementara malaikat selalu benar.

Dalam “Robohnya Surau Kami”, antropomorfisme malaikat memiliki fungsi memperjelas penjelasan Tuhan. Jika Tuhan menjelaskan panjang lebar dalam dialog dengan Haji Saleh dkk, maka malaikat mengucapkan kesimpulannya dan dalam versi lebih ringkas. Malaikat tampak mengucapkan ulang sebagian apa yang sudah Tuhan nyatakan tetapi dengan ungkapan berbeda. Jika Tuhan menyebutkan tentang perilaku manusia yang “lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras” (Navis, Robohnya Surau Kami 179), maka malaikat menyimpulkan dengan kalimat “padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya”. Jika Tuhan menyatakan perihal anak cucu Haji Saleh dkk yang tetap melarat akibat perbuatan mereka, maka malaikat menyimpulkan dengan kalimat “anak istrimu sendiri, […] mereka itu kucar-kacir selamanya”. Akan tetapi di samping itu ada juga hal yang tidak dikatakan oleh Tuhan tetapi justru dinyatakan oleh malaikat dan bagian itulah yang terutama menjadi bukti kuat antropomorfisme: Tuhan tidak menyatakan apa pun terkait motivasi Haji Saleh dkk rajin beribadat, tetapi malaikat justru menyatakan bahwa motivasi mereka adalah karena “takut masuk neraka”.

Antropomorfisme malaikat yang lebih dominan, secara tekstual disebabkan terutama karena peran karakter malaikat dalam naratif yang juga dominan, tampak dalam “Man Rabuka”. Bisa dikatakan bahwa mayoritas aspek dalam karakter malaikat pada “Man Rabuka” terkena antropomorfisme sejak awal kemunculannya. Pertama, malaikat digambarkan bisa disogok menggunakan “botol tuak, bertube candu dan berbagai pose dari gambar wanita telanjang” (Navis, Man Rabuka 236). Kedua, malaikat yang sama kemudian melalaikan tugasnya. Ketiga, malaikat marah dan membuat kesalahan dengan memasukkan orang saleh ke neraka dan orang pendosa ke surga. Keempat, malaikat bagian arsip lalai administrasi sehingga menyebabkan Tuanku Jamalin menjadi satu-satunya manusia yang abadi di neraka.

Semua karakteristik tersebut jelas merupakan karakteristik-karakteristik manusia yang tidak mungkin dimiliki oleh para malaikat terkait dalam eskatologi pakem sehingga bisa juga dikatakan bahwa cerita selipan dalam kedua cerpen adalah lakon carangan, terminologi dalam dunia pewayangan merujuk pada cerita yang menyimpang dari pakem. Dalam eskatologi pakem agama Islam misalnya malaikat tidak dikisahkan bercakap-cakap dengan manusia dalam situasi seperti yang tergambar dalam “Robohnya Surau Kami” dan juga tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan manusia masuk neraka atau surga seperti dalam “Man Rabuka”, tugasnya hanya memasukkan manusia ke dua tempat tersebut berdasarkan perintah Tuhan.

Dalam eskatologi pakem sebenarnya ada juga naratif tentang dua malaikat yang melakukan dosa besar, yaitu malaikat Harut dan Marut yang kisahnya berbasis Al-Qur’an surah Al-Baqarah (2): 102. Menurut versi lain, jumlah malaikat tersebut 3, yaitu dengan tambahan malaikat ‘Izriyail tetapi yang disebutkan dalam Al-Qur’an memang hanya 2 nama dan dalam versi tafsir yang menyebutkan 3 nama pun malaikat ‘Izriyail memisahkan diri dari Harut dan Marut serta tidak melakukan dosa. Menurut salah satu cerita umum dalam sebagian kitab tafsir, mereka bertiga merupakan malaikat pilihan yang diturunkan ke bumi setelah para malaikat mencela para manusia yang melakukan maksiat di bumi. Tuhan menurunkan mereka sebagai cara membuat para malaikat sadar akan “logika dosa” manusia, satu hal yang memang tidak masuk akal bagi para malaikat yang tidak punya kehendak bebas. Kedua malaikat tersebut diturunkan setelah mereka diberi syahwat sebagaimana manusia: satu bentuk antropomorfisme.

Naratif kemudian menjelaskan bahwa kedua malaikat yang sudah dimanusiakan tersebut tidak tahan godaan, mereka membocorkan rahasia langit, mabuk, berzina, dan membunuh orang (Ats-Tsa’labi 48-49). Akan tetapi meski kisah tersebut bisa ditemukan dalam beberapa sumber eskatologi pakem, sebagian ulama yang lebih kritis lazim mengklasifikasikannya sebagai kisah israiliyat, kisah yang bersumber dari agama Yahudi atau Kristen, yang menyusup ke dalam kitab-kitab tafsir. Ulama-ulama yang memiliki metodologi tafsir lebih ketat biasanya menafsirkan ayat terkait dengan berbeda (Audah 437). Selain itu, perlu juga ditekankan bahwa kalaupun kisah tersebut mau diterima, ada perbedaan situasi antara “malaikat melakukan dosa besar” dalam kisah Harut dan Marut dengan dalam “Man Rabuka”: pada kisah Harut dan Marut antropomorfisme disajikan dengan kausa yang jelas, yakni malaikat dimanusiakan terlebih dahulu baru kemudian ditampilkan melakukan dosa besar, sementara pada “Man Rabuka” malaikat melakukan dosa besar tanpa didahului penjelasan logis tentang kausa.

Meski sama-sama memuat antropomorfisme malaikat, tetapi antropomorfisme malaikat dalam “Man Rabuka” memiliki fungsi berbeda dari hal sama dalam “Robohnya Surau Kami”. Antropomorfisme malaikat dalam “Man Rabuka” berfungsi bukan sebagai penjelas, melainkan sebagai pembanding karakter manusia. Jika Tuanku Jamalin dan Jamain muncul sebagai pembanding karakter yang juga muncul dalam naratif cerita berbingkai, Raman dan narator-karakter Aku, malaikat muncul sebagai pembanding karakter yang memengaruhi jalan hidup Raman dan Aku: birokrat dan masyarakat.

Dalam awal naratif, sudah muncul ungkapan narator-karakter aku bahwa “aku pulang bukan hendak meninjau, seperti yang dilakukan anggota parlemen dan pemerintahan” (Navis, Man Rabuka 232), satu ungkapan yang menyiratkan pembandingan antara Aku yang memiliki niat baik dan melakukan hal berarti dengan birokrat yang semata melakukan tugas dengan mewujudkannya berupa tindakan remeh. Jika kemudian karakter Aku dianalogikan dengan karakter Jamain, maka sisi buruk birokrat pun menjadi semakin tinggi.

Antropomorfisme malaikat dalam cerita selipan, dengan segala karakteristik buruk dari manusia, melengkapi pembandingan itu. Karakteristik rentan disogok, gandrung bersenang-senang, bertindak semau sendiri, melalaikan tugas, birokrasi sangat lambat, merugikan orang lain, menjadi predikat yang melengkapi keburukan birokrat yang lebih buruk dari karakter jahat Jamain. Bahwa semua itu merujuk pada karakteristik birokrat yang korup maka tampak terutama dari adegan kedua penyogokan malaikat oleh Jamain:

“Ketika malaikat besoknya telah sampai pula ke kubur si Jamain, ia hejan [sic] benar-benar suaranya untuk menyebut ‘Man Rabukaaa.’
“Tapi si Jamain sekuat itu pula bersorak. ‘Te es te,’ katanya seraya menyuguhkan seseloki tuak.
“Alangkah terkejutnya malaikat mendengar teriakan ‘Te es te’ itu. Ia kira tuak itu adalah te es te. Maka lupalah dia pada tugasnya kembali. Ia menuak lagi. mencandu pula. (Man Rabuka 237)

Pada adegan awal penyogokan malaikat, kata kunci te es te tersebut belum muncul. Malaikat hanya secara tidak sengaja mencicipi tuak dan candu. Baru pada adegan kedua inilah istilah te es te muncul. Te es te adalah singkatan dari tahu sama tahu, frasa yang biasa diucapkan oleh orang yang berhadapan dengan birokrasi dan ingin urusannya lancar. Dengan kata lain, te es te adalah mantra populer era Orde Baru yang menghadirkan keajaiban lancarnya urusan tanpa harus melalui tertib birokrasi yang rumit dan melelahkan. Supaya mantra tersebut berfungsi, harus ada sajen. Dalam dunia nyata, sajen tersebut bisa berupa uang pelicin, perempuan, atau hal-hal lain, sementara dalam “Man Rabuka”, sajen tersebut berupa tuak dan candu.

Uniknya, karena malaikat tidak mengetahui apa arti te es te dan mengira bahwa “tuak itu adalah te es te”, maka ketika menanyai Tuanku Jamalin, malaikat yang sudah kecanduan tuak mengucapkan te es te alih-alih Man Rabbuka (Navis, Man Rabuka 238). Satuan cerita tersebut menunjukkan secara tersirat bahwa bahkan orang yang berhati sebersih malaikat, sekali dia menerima sogokan maka selanjutnya dia akan cenderung kecanduan pula sebagaimana malaikat yang bersih sekali menerima te es te lantas menjadi kecanduan.

Petunjuk akan karakteristik buruk birokrat sebenarnya sudah tampak sebelum Atik Peto menceritakan metadiegesis antropomorfisme malaikat, yakni saat narator-karakter digambarkan melihat senyuman mengejek Atik Peto ketika dirinya menyinggung kewajiban pemerintah mengurus pengobatan pahlawan. Kesadaran pada narator-karakter itu kemudian memuncak di akhir cerita: Raman sejak awal sudah dilupakan oleh birokrat, tetapi di akhir dia juga dilupakan oleh masyarakat, sebagaimana Tuanku Jamalin dilupakan pertama-tama oleh malaikat utama yang memasukkan dia ke dalam neraka, kemudian dilupakan juga oleh malaikat-malaikat bagian arsip. Kita juga boleh menafsirkan lebih jauh jika pembandingan terakhir itu terasa kurang pas dengan masyarakat: dalam cerita tidak terdapat gambaran para pengikut Tuanku Jamalin di dunia memanjatkan sekadar doa untuknya.

Gb. 2. Fungsi antropomorfisme malaikat dalam “Robohnya Surau Kami” dan “Man Rabuka”

 

Gérard Genette (233-234) membagi relasi antara metadiegesis dengan diegesis menjadi dua tipe. Tipe pertama, “kausalitas langsung antara peristiwa-peristiwa dalam metadiegesis dengan dalam diegesis”, sehingga naratif metadiegesis memiliki fungsi memberikan penjelasan. Tipe kedua, relasi murni tematik, artinya “tidak ada kesinambungan ruang dan waktu antara metadiegesis dengan diegesis”. Pada tipe kedua ini relasi tersebut dibagi menjadi relasi kontras dan relasi analogi.

Relasi metadiegesis dengan diegesis dalam “Robohnya Surau Kami” dan “Man Rabuka” jelas bukan tipe pertama, tampak terutama dari fakta bahwa karakter-karakter dalam metadiegesis atau cerita selipan berbeda dari karakter-karakter dalam diegesis atau cerita berbingkai. Tidak ada relasi ruang dan waktu antara cerita selipan dengan cerita berbingkai kedua cerpen tersebut sehingga relasi keduanya jelas merupakan relasi tipe kedua, murni tematik, dan berbasis pembahasan sebelumnya, relasi tematik tersebut berbentuk analogi.

Analogi yang termasuk juga melibatkan antropomorfisme malaikat dalam cerita selipan pada “Robohnya Surau Kami” dan “Man Rabuka” kemudian menciptakan satire. Perilaku Haji Saleh dkk dalam “Robohnya Surau Kami” jelas merupakan “sindiran” sekaligus “ejekan” yang “dibungkus dengan humor” terhadap perilaku orang yang lebih mengedepankan ibadah ritual daripada ibadah sosial. Dengan sendirinya, hal tersebut sekaligus merupakan “kritik terhadap suatu keadaan”, satu hal yang diarahkan pada sosok berbeda dalam “Man Rabuka”.

Unsur utama dalam satire “Robohnya Surau Kami” adalah adegan malaikat menggiring manusia di akhirat. Adegan ini menggemakan peristiwa diskursif yang bisa ditemukan dalam kisah-kisah eskatologi pakem tentang akhirat. Kemudian muncul adegan malaikat menyajikan opini, satu antitesis terhadap naratif unsur utama yang berbasis teks eskatologi berupa tafsir Al-Quran bahwa malaikat adalah makhluk yang tidak memiliki inisiatif sendiri. Antitesis ini sekaligus berpotensi memicu humor yang bertolak dari bayangan tentang situasi dimungkinkannya Haji Saleh bercakap dengan malaikat. Relasi dialektis kedua anasir tersebut disokong oleh berbagai strategi naratif dalam tataran diegesis, termasuk adanya oposisi biner antara kakek garin dengan Ajo Sidi. Resolusi yang muncul dari relasi dialektis tersebut adalah satu sudut pandang baru tentang status calon penghuni surga sebagai bukan orang yang melulu rajin beribadah melainkan orang yang rajin bekerja. Bisa dikatakan bahwa satirized atau target satire dalam “Robohnya Surau Kami” adalah orang yang memiliki karakteristik seperti Haji Saleh, termasuk kakek garin.

Dengan demikian, antropomorfisme malaikat dalam metadiegesis “Robohnya Surau Kami” berfungsi sebagai unsur utama dan unsur dialektis satire yang memberi analogi untuk menunjukkan keberpihakan pengarang dan narator terhadap salah satu oposisi biner pada tataran diegesis. Tanpa adanya antropomorfisme malaikat, keberpihakan terhadap salah satu oposisi biner yang ditegaskan secara eksplisit melalui firman Tuhan akan hambar: karakter Tuhan tidak mengalami penyimpangan dari Tuhan-historis, sementara resolusi satiree atau perubahan kesadaran a menjadi a’ yang tampak menyimpang dari pandangan eskatologi pakem membutuhkan pula analogi penyimpangan malaikat dari pandangan eskatologi pakem yang sama.

Peran antropomorfisme malaikat dalam mengonstruksi satire jauh lebih kentara dalam “Man Rabuka”. Tanpa ada hal tersebut maka satire terkait perilaku kaum birokrat, termasuk situasi ironi di akhir cerita, tidak akan eksis. Hal tersebut disebabkan malaikat yang dimanusiakan berfungsi sebagai pembanding karakter-karakter birokrat di dunia manusia. Ini menjelaskan mengapa, berbeda dengan kisah Harut dan Marut yang menyajikan prakondisi antropomorfisme negatif dengan terlebih dahulu mengubah identitas malaikat menjadi berkarakteristik manusia, “Man Rabuka” menyajikan antropomorfisme negatif secara langsung. Melalui strategi teknik naratif tersebut, pengarang dan narator memancing pembaca untuk merevisi ulang ingatan mereka tentang kesucian malaikat melalui penautan anomali naratif dengan konsep tentang satire. Dengan demikian, target satire “Man Rabuka” adalah birokrat, masyarakat, serta orang yang memiliki karakteristik seperti narator-karakter aku.

Unsur utama satire dalam “Man Rabuka” adalah malaikat yang menanyai manusia di dalam kubur, adegan yang menggemakan teks diskursif teks tafsir Al-Qur’an. Dalam eskatologi pakem yang bisa ditemukan pada teks-teks tafsir Al-Qur’an, malaikat memang digambarkan menjadi petugas yang menangani hal-hal terkait dunia arwah, baik di akhirat ataupun alam barzakh. Kemudian unsur dialektis menyodorkan antitesis terhadap teks diskursif tersebut—disertai atmosfer humor—dengan menunjukkan malaikat mempan disogok menggunakan barang-barang duniawi, melalaikan tugas, memasukkan manusia ke surga dan neraka seenaknya, marah-marah, dan birokratis.

Ketika terjalin relasi dialektis antara unsur utama dan unsur dialektis pada tataran metadiegesis atau cerita selipan “Man Rabuka”, satiree atau pembaca didorong melalui berbagai petunjuk yang disebarkan oleh satiris di dalam naratif untuk menautkan penyimpangan naratif berupa antropomorfisme malaikat dengan berbagai karakteristik manusia dalam tataran diegesis atau cerita berbingkai. Petunjuk tersebut disebar secara merata pada awal diegesis, dalam metadiegesis, kemudian di akhir diegesis. Pada awal diegesis misalnya adegan Atik Peto tersenyum mengejek ketika narator-karakter menyinggung tanggung jawab pemerintah membiaya pengobatan pahlawan seperti Raman. Pada metadiegesis paling kentara dari frasa te es te yang mengukuhkan penyogokan malaikat. Sedangkan pada bagian akhir diegesis berupa kekeliruan administrasi penguburan yang membuat kuburan Raman ditimpa oleh mayat perempuan gila dan ungkapan penutup narator-karakter tentang pelupaan pahlawan bukan hanya pada masa hidup tetapi juga saat pahlawan tersebut sudah meninggal.

Penautan tersebut kemudian mendorong satiree kepada sintesis, resolusi, satu sudut pandang baru tentang manusia yang dijadikan satirized, target satire. Baik dalam “Robohnya Surau Kami” maupun dalam “Man Rabuka”, resolusi yang sama digambarkan juga dialami oleh narator-karakter (a’), sehingga kemungkinan satiree untuk mendapatkan resolusi yang sama pun lebih besar dari sudut pandang teori resepsi: sepanjang publik pembaca bisa terpengaruh menempatkan dirinya pada posisi narator-karakter maka mereka akan bisa mendapatkan resolusi yang sama.

Gb. 3. Konstruksi satire “Robohnya Surau Kami” dan “Man Rabuka”

 

Perbedaan posisi malaikat dalam kedua cerpen tersebut juga bisa ikut menjelaskan mengapa reaksi sebagian satiree atau publik terhadap “Man Rabuka” lebih keras daripada terhadap “Robohnya Surau Kami”. “Robohnya Surau Kami” memang menampilkan karakter Tuhan, tetapi dialog yang terjadi antara Tuhan dengan Haji Saleh dkk masih berada pada tataran wajar, sementara antropomorfisme malaikat di dalamnya pun memiliki konotasi positif. Yang kemudian lazim dianggap menyinggung agama adalah adanya sosok kakek garin yang ditampilkan sebagai karakter rajin beribadah tetapi ujug-ujug melakukan bunuh diri[3].

Sebaliknya, “Man Rabuka” dengan frontal menyematkan karakteristik-karakteristik buruk manusia pada sosok suci malaikat. Penyimpangan semacam itu jelas memiliki potensi lebih tinggi untuk mendapat resepsi negatif publik, terlepas dari layak tidaknya resepsi semacam itu dari sudut pandang kritik sastra, sebagai menyinggung agama. Jika publik menakarnya dengan eskatologi pakem, kemunculan Tuhan dan malaikat dalam “Robohnya Surau Kami” memang karangan, tetapi karangan tersebut masih sejalur dengan koridor eskatologi pakem sehingga statusnya masih bisa diterima sepanjang ada pesan moral yang jelas, seperti lazim ditemukan dalam kisah-kisah sufistik. Akan tetapi hal yang sama jelas tidak berlaku pada antropomorfisme malaikat dalam “Man Rabuka”. Selain itu, strategi naratif “Man Rabuka” yang mengincar kesuksesan satire melalui pengupayaan publik pembaca mengidentifikasi diri dengan narator-karakter juga merupakan strategi yang bisa dikatakan lemah. Narator-karakter pada awal diegesis digambarkan sebagai pengkhianat revolusi (Navis, Man Rabuka 232, 233) sehingga potensinya untuk menjadi sumber identifikasi publik pembaca sangat kecil. Jauh lebih mungkin publik pembaca mengidentifikasi diri dengan sosok Raman yang digambarkan sebagai pejuang muda heroik pada masa revolusi.

Dalam analisis Simpson (196), sebuah satire cenderung gagal ketika teks tersebut tidak memenuhi dua anasir satire yang wajib ada. Selain itu, sebuah satire yang berhasil cenderung mempererat posisi diskursif antara satiris dengan satiree. Menimbang bahwa baik “Robohnya Surau Kami” maupun “Man Rabuka” memiliki dua anasir satire lengkap tetapi ternyata masih memancing reaksi penolakan keras dari sebagian publik, maka bisa dikatakan bahwa yang menjadi problem adalah pihak satiree: posisi diskursif antara A.A. Navis dengan sebagian satiree terkait target satire masih jauh. Problem tersebut jelas melibatkan banyak faktor lain dari mulai daya baca, paradigma tentang karya sastra, sampai situasi sosial politik masa publikasi, tetapi tulisan ini akan mencoba memperjelas posisi dan peran konstruksi teks itu sendiri melalui telaah ringkas lanjutan pembandingan resepsi publik terhadap keduanya dengan resepsi publik terhadap “Langit Makin Mendung”.

 

“Robohnya Surau Kami”, “Man Rabuka”, dan “Langit Makin Mendung”

Interpretasi teks sastra, dalam konsep estetika-resepsi Wolfgang Iser, bergantung pada interaksi dinamis antara teks dan pembaca. Alih-alih menjadi penerima pesan pengarang melalui teks sebagai komunikan pasif, pembaca justru berada pada posisi aktif ikut memproduksi makna teks. Akan tetapi proses produksi tersebut bukan melulu hasil subjektivitas pembaca sehingga menghasilkan situasi yang dalam ranah kritik sastra biasa disebut sebagai sesatan emosi (affective fallacy), melainkan “dikendalikan dengan cara tertentu oleh teks” (Iser 1454). Iser membedakan tiga tataran kerangka tekstual yang menyusun orientasi pembaca: repertoar, strategi, dan realisasi.

Repertoar adalah “sistem sastra dan konvensi-konvensi, norma, dan nilai non-sastra seperti politik, agama, dan filosofi dalam masyarakat”, sementara strategi adalah “teknik semantik dan naratif yang diterapkan oleh pengarang dan narator untuk memandu para pembaca melewati kerumitan teks, mengatur jalannya peristiwa-peristiwa dan menyiapkan leraian yang terduga ataupun tidak” (Zima 71, 72). Repertoar sebuah teks sastra, dengan demikian, menautkan teks tersebut dengan sistem non-sastra, menautkan antara fiksi dengan realitas, sepanjang repertoar itu mampu menyerap tradisi sastra dan sistem non-sastra, sementara teks itu sendiri menyediakan konstruksi semantik dan naratif hasil produksi pengarang dan narator yang dibaca oleh pembaca untuk memproduksi makna teks melalui proses realisasi. Proses realisasi berlangsung melalui proses dialektis antara ekspektasi dan ingatan pada diri pembaca: proses konstan “revisi ekspektasi dan menimbang ulang para karakter, lakuan-lakuan, dan situasi-situasi dalam satu perspektif anyar” (Zima 73).

Gb. 4. Konsep estetika-resepsi Wolfgang Iser

 

Pada teks “Robohnya Surau Kami” dan “Man Rabuka”, sambil mempertimbangkan hasil analisis konstruksi teks pada bagian sebelumnya, kita bisa mengatakan bahwa repertoar kedua teks memuat tautan antara agama dan birokrasi sebagai bagian dari sistem non-sastra dengan cerpen, satire, dan cerita berbingkai sebagai bagian dari tradisi sastra. A.A. Navis sebagai pengarang, bersama dengan narator, menciptakan cerita selipan menjelaskan dan membandingkan karakter, lakuan, dan situasi-situasi yang terjadi dalam naratif utama. Dengan demikian, pembaca didorong untuk merevisi ekspektasi mereka tentang eskatologi pakem malaikat yang suci akibat tautan dengan ingatan tentang lakuan-lakuan Haji Saleh dan kakek garin (“Robohnya Surau Kami”) dan narator-karakter aku serta situasi Raman (“Man Rabuka”) sekaligus mempertimbangkan ulang lakuan-lakuan dan situasi tersebut berbasis ekspektasi tentang konsep cerpen dan satire. Dari relasi dialektis itulah pembaca didorong untuk memproduksi salah satu dari sekian potensi makna kedua teks tersebut, misalnya “pentingnya menyeimbangkan ibadah ritual dengan ibadah sosial” pada cerpen pertama dan “penghargaan atas peran manusia” pada cerpen kedua.

Dengan demikian, konstruksi teks kedua cerpen yang tersusun dari metadiegesis dan diegesis serta aspek eskatologi sebagai lakon carangan pada metadiegesis merupakan strategi yang bersesuaian dengan repertoar teks. Konstruksi tersebut menimbulkan fungsi relasi analogi antara dua cerita pada tataran berbeda—tataran satu (diegesis) dan dua (metadiegesis) dalam terminologi Genette—sehingga memungkinkan proses dialektis ekspektasi dan ingatan pembaca memproduksi makna teks selaras “pembaca tersirat” dalam konsep Iser, yakni “pembaca ideal yang dituntut oleh struktur teks”, “penerima berpengetahuan luas yang mampu menyadari secara optimal potensi semantik, naratif, dan pragmatik sebuah teks” (Zima 74). Hal tersebut pula yang menjadi pembeda pertama antara kedua cerpen A.A. Navis dengan “Langit Makin Mendung”: meski menyajikan aspek eskatologi sebagai lakon carangan, Kipandjikusmin dan narator memperlakukan lakon carangan tersebut sebagai bagian dari alur tunggal.

A.A. Navis menyatakan bahwa keberanian Kipandjikusmin untuk “merupakan wajah Tuhan dan wajah Nabi-Nabi malah sampai merupakannya seperti burung elang” mengindikasikan pengetahuan keagamaan Kipandjikusmin yang dangkal. Dalam “Robohnya Surau Kami” dan “Man Rabuka” memang tidak ditemukan hal serupa. A.A. Navis tidak melakukan penggambaran fisik baik terhadap Tuhan, malaikat, ataupun nabi-nabi. Satu cerpen A.A. Navis yang lain yang juga disinggung oleh Jassin dan kerap Navis singgung ketika membahas kebebasan kreativitas dalam kaitannya dengan agama, “Sebuah Wawancara” (1963), memang ada menyebutkan deskripsi fisik nabi-nabi, tetapi hanya secara umum dan selaras dengan naratif kitab tarikh, misalnya Nabi Musa digambarkan sebagai “seorang yang berbadan besar dan kuat serta kukuh”, Nabi Yusuf digambarkan sebagai “Tuan tampan manis” (Navis, Sebuah Wawancara 291-292).

Selain problem dalam deskripsi fisik, antropomorfisme dalam “Langit Makin Mendung” juga tampak berbeda dari apa yang Navis lakukan dalam cerpen-cerpennya. Cerpen tersebut menyematkan banyak karakteristik umum manusia pada Tuhan, malaikat, dan nabi, tetapi fungsi dari strategi penyematan tersebut sukar ditebak. Jika antropomorfisme dalam dua cerpen Navis bisa ditafsirkan berfungsi sebagai “penjelas” dan “pembanding”, maka dua fungsi itu tidak tersajikan dengan baik dalam “Langit Makin Mendung”. Jika Jassin (Heboh Sastra 1968: Suatu Pertanggunganjawab 72) mengatakan bahwa cerpen tersebut adalah “satu satire terhadap keadaan, peristiwa-peristiwa dan orang-orang semasa pematangan Gestapu”, maka bisa dikatakan bahwa konstruksi semantik dan naratif di dalamnya tidak disusun berdasarkan strategi yang saling mendukung dengan repertoar teks cerpen tersebut sebagai satire.

Dua dunia berbeda, dunia arwah dan dunia manusia, memang dihadirkan sebagai latar tempat cerita “Langit Makin Mendung”, tetapi kehadirannya bukan dalam kerangka cermin atau refleksi sebagaimana dalam “Robohnya Surau Kami” dan “Man Rabuka” sehingga relasi analogi antara kedua dunia tersebut yang dalam dua cerpen Navis mengonstruksi satire pun tidak muncul. Memang tidak menutup kemungkinan pembaca menafsirkan karakterisasi berbagai karakter dunia arwah di dalamnya sebagai pembanding berbagai karakter di dunia manusia, tetapi sikap tersebut tidak bisa dilakukan tanpa menyebabkan kerancuan semantik dan karakterisasi karena status dunia arwah dan dunia manusia sebagai bagian dari alur tunggal.

Oleh sebab itu, tafsir lebih logis terhadap dua latar tempat dalam “Langit Makin Mendung” adalah dunia yang satu bukan merupakan refleksi dari dunia yang lain. Penyajian karakteristik buruk manusia pada karakter-karakter eskatologis dalam “Langit Makin Mendung” memang bisa dikatakan sama berlebihannya dengan pelukisan hal sama dalam “Man Rabuka”, tetapi karena “Man Rabuka” menyajikannya sebagai bagian dari antropomorfisme dalam cerita selipan, maka sisi berlebihan tersebut membuat konstruksi tekstual “Langit Makin Mendung” memiliki potensi lebih sedikit untuk menyodorkan humor: satu aspek yang merupakan bagian khas dari repertoar teks satire dan muncul dengan sangat jelas baik dalam “Robohnya Surau Kami” maupun dalam “Man Rabuka”.

Dengan demikian, jika reaksi keras sebagian publik terhadap dua cerpen A.A. Navis lebih menunjukkan kegagalan pihak satiree memahami repertoar teks dan strategi pengarang serta narator, pada kasus cerpen “Langit Makin Mendung” hal tersebut lebih kompleks dan melibatkan dua pihak yang terlibat, yaitu (1) satiris yang gagal memilih strategi semantik dan naratif untuk menyajikan satire dalam teks sehingga sebagai konsekuensinya (2) satiree pun gagal menangkap muatan satire—yang diandaikan ada—dalam teks cerpen tersebut. H.B. Jassin sangat mungkin sepakat dengan poin kedua karena dalam pertanggungjawabannya dia juga menyinggung mengenai “kekurangpekaan pembaca terhadap berbagai jenis alat gayabahasa” (Jassin, 1970: 39), tetapi sangat mungkin dia tidak akan setuju dengan poin pertama: dia menyebut Kipandjikusmin sebagai “pengarang yang berbakat” (Heboh Sastra 1968: Suatu Pertanggunganjawab 33).

H.B. Jassin misalnya menyebutkan bahwa dirinya “tersenyum karena kejenakaan pengarang melukiskan peristiwa itu [Tuhan dan nabi di surga]” dan bahwa dengan demikian “pengarang mempunyai rasa humor”, kemudian menyinggung adanya “pembaca yang tidak punya rasa humor dan karena itu tidak dapat menangkap dan menghargai cerita-cerita humor” (Heboh Sastra 1968: Suatu Pertanggunganjawab 39). Akan tetapi tafsir Jassin tidak berbasis teori humor apa pun dan lebih merupakan kesan personal pembaca tanpa sokongan analisis teks yang cermat. Jassin memang mengatakan bahwa meski penilaian karya sastra bersifat relatif, tetapi “dalam kerelatifan itu kita dapat berpegang pada pengetahuan teori” dan mencoba menyajikan apa yang dia sebut sebagai “analisa intrinsik” (Heboh Sastra 1968: Suatu Pertanggunganjawab 39, 33-38), tetapi hasilnya bisa diperdebatkan dan dalam beberapa poin tidak tampak meyakinkan.

Sebagai contoh, Jassin mencoba menunjukkan bahwa arwah para nabi dalam cerpen tersebut “dipelihara kemuliaannya” dengan mengutip dan memparafrase beberapa bagian cerpen termasuk kata perpisahan Nabi Adam (Heboh Sastra 1968: Suatu Pertanggunganjawab 33), tetapi dia tidak menunjukkan bahwa kata perpisahan tersebut disambut oleh teriakan penghuni surga yang mengingatkan pada teriakan beringas massa identik dengan golongan kiri pada masa Orde Lama: “Ganyang!!!” (Kipandjikusmin 21). Situasi adegan seremonial pelepasan arwah Nabi Muhammad saw dan Malaikat Jibril melakukan “turba”—diksi yang digunakan oleh karakter Nabi Muhammad saw dalam dialog dengan Tuhan pada cerpen “Langit Makin Mendung”—ke bumi jika dibaca secara utuh tentu kontradiktif dengan tafsir Jassin tentang tetap terjaganya kemuliaan arwah para nabi dalam cerpen tersebut, tafsir yang berbasis hanya fragmen-fragmen cerita.

Dengan kata lain, jika Jassin mengatakan bahwa “suatu cerita […] haruslah dilihat dalam perkembangan peristiwa, setjara keseluruhan, tidak boleh di-potong2 dan ditjabut dari keseluruhan rangka intensi sipengarang” (Siahaan, Imadjinasi Didepan Pengadilan (Satu Rekaman) II 267), Jassin sendiri bisa dikatakan telah memotong-motong cerita dan membahasnya dengan menampilkan hanya bagian-bagian yang mendukung penafsirannya. Konsekuensinya, meski mungkin tafsir Jassin membuktikan sesuatu terkait cita rasa humor dirinya sendiri tetapi tafsir tersebut tidak membuktikan tingginya kualitas teks “Langit Makin Mendung” terkait statusnya sebagai teks satire.

Sedangkan ketika Jassin melompat dari tafsir dia soal sisi humor dalam cerpen tersebut ke konklusi bahwa pengarang memiliki rasa humor atau dari “analisa intrinsik” ke “tidak ada maksud penghinaan oleh pengarang terhadap Tuhan, Nabi-nabi dan Rasul-rasul dan […] terhadap agama, Pancasila dan Undang-undang Dasar” (Heboh Sastra 1968: Suatu Pertanggunganjawab 41) maka dia, sadar atau tidak, pada dasarnya telah tersesat ke dalam dua sesatan yang ditentang oleh aliran Kritik Sastra Baru (New Criticism), sesatan emosi (affective fallacy) dan sesatan maksud (intentional fallacy). Sesatan pertama cenderung terjadi pada pembacaan karya yang mengedepankan kesan subjektif pembaca, sementara sesatan kedua pada pembacaan karya yang menempatkan posisi dominan pada—menggunakan terminologi Jassin—“intensi pengarang” dalam memproduksi karya.

Yang terakhir tersebut tergambar pula dari pembelaan Jassin atas “Langit Makin Mendung” yang berulang kali menyebut bahwa Kipandjikusmin tidak memiliki niat buruk. Jassin bisa dikatakan membaca “Langit Makin Mendung” dengan menggunakan pendekatan ekspresif sekaligus pendekatan pragmatik, tetapi pembacaan tersebut tidak menunjukkan objektivitas yang bisa dan biasa ditakar salah satunya melalui penggunaan teori sastra sebagai bagian dari tradisi panjang kritik sastra.

Sudah dijelaskan di awal bahwa konsep kritik sastra Iser menolak pemaknaan karya sastra berbasis isolasi teks atau pendekatan objektif ala Kritik Sastra Baru tetapi sekaligus juga menolak sesatan emosi dan memilih pendekatan pragmatik yang menekankan makna karya sebagai produk dari interaksi antara keduanya. Berbeda dengan Iser, Stanley Fish, teoretikus sastra satu aliran dengan Iser tetapi lebih radikal, membantah keras pandangan Kritik Sastra Baru atas sesatan emosi dengan mengatakan bahwa kritik terhadap sesatan emosi itu sendiri justru merupakan sesatan (Zima 77). Apakah dengan demikian konsep respons-pembaca Fish bisa digunakan untuk melegitimasi sikap dan pandangan-pandangan Jassin terkait “Langit Makin Mendung”?

Sayangnya tidak, karena Fish justru mengemukakan bantahannya untuk membela pembaca umum alih-alih kritikus atau pembaca ahli. Dengan kata lain, jika menggunakan konsep Fish maka baik resepsi Jassin yang membela “Langit Makin Mendung” maupun resepsi negatif publik terhadap cerpen tersebut yang bertolak belakang dengan resepsi Jassin sebagai kritikus atau pembaca ahli nilainya setara, masing-masing tidak bisa mengaku lebih sahih dari yang lain. Ketika Jassin membantah “pembuktian” Teuku Hanafiah terkait “Langit Makin Mendung” dan Kipandjikusmin yang tidak selaras resepsi positif dia dengan mengatakan bahwa hal tersebut “adalah suatu prasangka si pembahas, seperti juga kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya sendiri dari cuplikan-cuplikan di sana-sini” (Jassin, Heboh Sastra 1968: Suatu Pertanggunganjawab 48) maka komentar sama sebenarnya bisa diarahkan pada Jassin yang juga mencuplik dari sana-sini hanya bagian-bagian yang mendukung tafsir dia dan bersikeras tentang maksud baik pengarang dengan mengabaikan bagian-bagian dalam teks yang tidak mendukung tafsir dia.

“Intensi pengarang”, dalam konsep Jassin, tampak ditakar melalui pernyataan pengarang dan ketika teks tidak selaras dengan intensi itu, Jassin tampak lebih memilih berpegang pada pernyataan pengarang. Dalam kritik sastra, setidaknya apa yang dalam ranah lokal biasa disebut sebagai “kritik sastra akademis”, yang biasa dilakukan adalah sebaliknya: karena objek material kritik sastra pertama-tama dan terutama adalah karya sastra, maka jika ada ketidakselarasan antara pernyataan pengarang tentang intensi kreasi karyanya dengan apa yang terbaca dari teks karya terkait maka yang dimenangkan adalah apa yang terbaca dari teks karya. Ketidakselarasan itu mungkin disebabkan oleh berbagai faktor tetapi terutama mengindikasikan kegagalan pengarang untuk mengejawantahkan intensinya pada konstruksi tekstual karya sastra. Berpihak pada pernyataan pengarang tentang intensi kreasi karyanya dalam situasi semacam itu menyiratkan paham aneh bahwa dengan demikian pengarang tidak perlu menulis karya sastra dan cukup berceramah atau menulis teks nonfiksi untuk mengungkapkan intensinya dengan lebih efektif dan efisien.

A.A. Navis menilai “Langit Makin Mendung” sebagai cerpen buruk sambil merujuk pada kedangkalan pemahaman agama Kipandjikusmin sebagai pengarangnya, satiris, tetapi sebagaimana semoga tampak dari analisis ringkas yang sudah dilakukan dalam tulisan ini maka dengan merujuk hanya pada konstruksi tekstualnya pun cerpen tersebut memang terbukti sukar disebut bagus. Seandainya cerpen tersebut dimaknai—sebagaimana dilakukan oleh Jassin—sebagai satire terhadap situasi akhir Orde Lama, maka justru bertambah lagi satu poin yang membuat nilainya lebih rendah dari kedua cerpen A.A. Navis.

Berbasis klasifikasi Simpson (71), target satire atau satirized “Langit Makin Mendung” bisa diklasifikasikan sebagai tipe episodik, yaitu target satire berupa satu tindakan khusus atau peristiwa spesifik yang berlangsung di ruang publik, sementara target satire kedua cerpen A.A. Navis termasuk tipe eksperiential, yaitu aspek-aspek kondisi manusia yang lebih stabil dan pengalaman yang dipertentangkan dengan episode atau peristiwa-peristiwa spesifik. Perbedaan target satire itulah yang tampaknya juga memengaruhi status kesastraan ketiganya.

Secara tersirat, sebagaimana sudah dijelaskan di awal, Navis menunjukkan penilaian terhadap sebuah karya bersifat tentatif. Terbukti kemudian bahwa cetak ulang “Robohnya Surau Kami” dan “Man Rabuka” sama-sama tidak memantik kehebohan apa pun. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa jauh dekatnya posisi diskursif antara satiris dengan satiree bisa berubah pada periode yang berbeda dan salah satu hal yang bisa mengubah jarak tersebut dalam ranah sastra adalah kritik sastra yang kredibel dan meyakinkan.

Berhubung problem dalam resepsi negatif awal kedua cerpen itu merupakan problem terkait pembaca, bukan teks, ditambah pula relevansi target satirenya yang langgeng, maka berubahnya resepsi publik menjadi positif—artinya perubahan posisi diskursif satiris dengan satiree menjadi lebih dekat—berbanding lurus dengan penghargaan terhadap mereka sebagai teks. Sebaliknya, karena sejak awal problem resepsi negatif terhadap “Langit Makin Mendung” adalah problem teks dan pembaca, maka ketika resepsi publik berubah positif pun penilaian terhadap teksnya tidak lantas ikut berubah. Konsekuensinya, kedua cerpen A.A. Navis masih tetap dibaca dan dimaknai sampai saat ini, sementara “Langit Makin Mendung” terlupakan dan kalaupun menjadi bahan bacaan masa kini maka lebih disebabkan aspek historis-politisnya yang menandai peristiwa besar dalam dua ranah berbeda: Heboh Sastra 1968 dalam historiografi sastra, runtuhnya Orde Lama dalam politik nasional Indonesia.

 

 

Kepustakaan

Amini, Hasif. “Cerita Pendek di Dunia Eksentrik.” Mata yang Indah: Cerpen Pilihan Kompas 2001. Penyunt. Kenedi Nurhan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001. xvii-xlvi.

Ats-Tsa’labi, Ahmad bin Muhammad. Qasas al-Anbiya al-Musamma ‘Arais al-Majalis. Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2009.

Audah, Ali. Nama dan Kata dalam Qur’an: Pembahasan dan Perbandingan. Bogor: Litera AntarNusa, 2011.

Bahalwan, Abdul Kadir. “Keterangan dan Pendapat Abdul Kadir A.K. Bahalwan selalu Saksi Ahli dari Departemen Agama di depan Majlis Hakim yang mengadili perkara ‘CERPEN LANGIT MAKIN MENDUNG’.” Saridjo, Marwan. Sastra dan Agama: Tinjauan Kesusastraan Indonesia Modern Bercorak Islam. Jakarta: Yayasan Ngali Aksara dan Penamadani, 2006. 278-297.

Dahlan, Muhidin M. dan Mujib Hermani, Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Kipandjikusmin. Jakarta: Melibas, 2004.

Fanany, Ismet. “Cerpen Navis, Suara Manusia.” Antologi Lengkap Cerpen AA Navis. Penyunt. Ismet Fanany. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004. 749-769.

Genette, Gerard. Narrative Discourse: An Essay in Method. Penerj. Jane E. Lewin. New York: Cornell University Press, 1980.

Idris, Soewardi. “A.A. Navis dan Cerpen Dunia Akhirat.” Yusra, Abrar. Otobiografi A.A. Navis: Satiris & Suara Kritis dari Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994. 385-392.

Iser, Wolfgang. “Interaction between Text and Reader.” The Norton Anthology of Theory and Criticism. Penyunt. Vincent B. Leitch. 3. New York: W.W. Norton & Company, 2018. 1452-1460.

Jassin, H. B. Heboh Sastra 1968: Suatu Pertanggunganjawab. Jakarta: Gunung Agung, 1970.

—. “Imajinasi di Depan Pengadilan (Duplik H. B. Jassin dalam Perkara ‘Langit Makin Mendung’).” Horison 11 (1970): 324-329.

Jassin, H. B. “Robohnya Surau Kami, Kumpulan Cerita Pendek A.A. Navis.” Jassin, H. B. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei. Vol. III. Jakarta: Gramedia, 1985. 4 vol. 126-135.

Kipandjikusmin. “Langit Makin Mendung.” Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Kipandjikusmin. Penyunt. Muhidin M. Dahlan dan Mujib Hermani. Jakarta: Melibas, 2004. 17-41.

Navis, A. A. Bertanya Kerbau pada Pedati: Kumpulan Cerpen A.A. Navis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009.

—. Kemarau. Jakarta: Grasindo, 2018.

Navis, A. A. “Kesusasteraan Dihukum Karena Tidak Punya Dukungan Formal.” Navis, A. A. Yang Berjalan Sepanjang Jalan: Kumpulan Karangan Pilihan. Jakarta: Grasindo, 1999. 274-276.

Navis, A. A. “Langit Makin Mendung: Simalakama Kreativitas.” Navis, A. A. Yang Berjalan Sepanjang Jalan: Kumpulan Karangan Pilihan. Jakarta: Grasindo, 1999. 262-269.

Navis, A. A. “Man Rabuka.” Antologi Lengkap Cerpen AA Navis. Penyunt. Ismet Fanany. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004. 232-240.

Navis, A. A. “Robohnya Surau Kami.” Antologi Lengkap Cerpen AA Navis. Penyunt. Ismet Fanany. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004. 171-181.

Navis, A. A. “Sebuah Wawancara.” Antologi Lengkap Cerpen AA Navis. Penyunt. Ismet Fanany. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004. 290-294.

Navis, A. A. “Sikap Sastrawan Terhadap Kebijaksanaan Pemerintah dalam Masalah Kesusastraan.” Navis, A. A. Yang Berjalan Sepanjang Jalan: Kumpulan Karangan Pilihan. Jakarta: Grasindo, 1999. 277-283.

Rahman, Darsjaf. Antara Imajinasi dan Hukum: Sebuah Roman Biografi H.B. Jassin. Jakarta: Gunung Agung, 1986.

Rampan, Korrie Layun. Aliran-Jenis Cerita Pendek. Ende: Nusa Indah, 1995.

Rosidi, Ajip. “Engku Navis.” Yusra, Abrar. Otobiografi A.A. Navis: Satiris & Suara Kritis dari Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994. 262-269.

—. Kamus Istilah Sastera Indonesia. Bandung: Pustaka Jaya, 2018.

Rosidi, Ajip. “Permasalahan Islam dalam Roman Indonesia.” Rosidi, Ajip. Masalah Angkatan dan Periodisasi Sejarah Sastera Indonesia. Bandung: Pustaka Jaya, 2019. 143-147.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Vol. 8. Jakarta: Lentera Hati, 2005. 15 vol.

Siahaan, J.E. “Imadjinasi Didepan Pengadilan (Satu Rekaman).” Horison 08 (1970): 228-235, 255.

—. “Imadjinasi Didepan Pengadilan (Satu Rekaman) II.” Horison 09 (1970): 260-268, 286.

—. “Imadjinasi Didepan Pengadilan (Satu Rekaman) III.” Horison 10 (1970): 292-306.

Simpson, Paul. On the Discourse of Satire: Toward a Stylistic Model of Satirical Humour. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company, 2003.

Wahid, Abdurrahman. “Karya-Karya A.A. Navis: Pencarian Ethos Sosial Baru.” Yusra, Abrar. Otobiografi A.A. Navis: Satiris & Suara Kritis dari Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994. 259-261.

Yusra, Abrar. Otobiografi A.A. Navis: Satiris & Suara Kritis dari Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.

Zima, Peter V. The Philosophy of Modern Literary Theory. London: The Athlone Press, 1999.

 

[1] Buku dicetak ulang tahun 2024 dengan revisi ejaan nama “AA Navis” menjadi “A.A. Navis” dan pencantuman “Daftar Pustaka” di “Daftar Isi”.

[2] Dalam sidang “Langit Makin Mendung” dengan H.B. Jassin sebagai tergugat, ada 3 saksi ahli yang diajukan, yaitu Buya Hamka, Abdul Kadir Bahalwan, dan Ali Audah. Buya Hamka dan Abdul Kadir Bahalwan berada di satu pihak yang kontra “Langit Makin Mendung”, sementara Ali Audah, sebagaimana H.B. Jassin, termasuk pihak yang pro (Rahman 296-297). Pembelaan H.B. Jassin sebelum pengadilan bisa dibaca dalam Jassin (Heboh Sastra 1968: Suatu Pertanggunganjawab). Versi ringkas teks duplik Jassin sebagian bisa dibaca dalam Rahman (Antara Imajinasi dan Hukum: Sebuah Roman Biografi H.B. Jassin 299-331) dan Jassin (Imajinasi di Depan Pengadilan (Duplik H. B. Jassin dalam Perkara ‘Langit Makin Mendung’) 324-329). Teks Abdul Kadir Bahalwan bisa dibaca dalam Bahalwan (Keterangan dan Pendapat Abdul Kadir A.K. Bahalwan selalu Saksi Ahli dari Departemen Agama di depan Majlis Hakim yang mengadili perkara ‘CERPEN LANGIT MAKIN MENDUNG’ 278-297). Rekaman pengadilan juga bisa dibaca dalam Siahaan (Imadjinasi Didepan Pengadilan (Satu Rekaman) 228-235, 255) (Imadjinasi Didepan Pengadilan (Satu Rekaman) II 260-268, 286) (Imadjinasi Didepan Pengadilan (Satu Rekaman) III 292-306). Teks Buya Hamka bisa dibaca dalam Dahlan (Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Kipandjikusmin) bersama dengan teks para penulis lain terkait polemik Heboh Sastra 1968.

[3] Menyoroti unsur karakterisasi “Robohnya Surau Kami”, Jassin (Robohnya Surau Kami, Kumpulan Cerita Pendek A.A. Navis 131) juga mempermasalahkan soal bunuh diri kakek garin yang menurutnya “satu perbuatan di luar perhitungan dan mengherankan”. Soal tersebut dijawab oleh A.A. Navis melalui surat bahwa “memang kematian si garin tidak kena psikologisnja” disengaja “sebagai sugesti bagi orang-orang seperti itu, lebih baik ia memilih mati”. Selain itu, Navis juga mengatakan motivasi lain, yaitu “ingin memantjing kemarahan para ulama di daerahku” (Yusra 80-81).

Esai21 Mei 2025

Cep Subhan KM


Cep Subhan KM adalah penulis, penerjemah dan penyunting lepas asal Ciamis, Jawa Barat. Buku-buku terbarunya adalah dwilogi novel Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021) serta antologi esai Tiga Menguak Chairil: Media, Perempuan, & Puitika Kiri (2024) dan Perempuan dalam Bibliografi Pembaca (2025). Puisi, cerpen, dan esainya juga bisa dibaca di beberapa media daring, termasuk di web pribadinya cepsubhankm.com . Esai-esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 yang mengusung tema "Modernisme Chairil Anwar", pemenang II Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023, Pemenang I sekaligus Naskah Pilihan Juri Sayembara Kritik Sastra DKJ 2024 yang mengusung tema "Satirisme A. A. Navis", dan Pemenang I Sayembara Kritik Puisi Kalam 2024.