Konstruksi Satire dan Transformasi Subjek Feminin
Di Lintasan Mendung dalam Pusaran Generasi Femina
NOVEL terakhir A.A. Navis, Di Lintasan Mendung, dipublikasikan saat sedang terjadi ledakan jumlah perempuan pengarang memantik publikasi beragam novel keluarga yang, dalam istilah Budi Darma (382), “menampilkan gambaran wanita yang mereka inginkan, baik dari segi ketangguhannya, kehormatannya, maupun kemudahan-kemudahannya”. Novel ini dirilis sebagai cerbung dalam surat kabar tahun 1983, kemasannya jika diterbitkan sebagai buku[1] kira-kira akan sedikit lebih tipis dari novel lain A.A. Navis, Kemarau, dan akan tak jauh beda dari standar novel-novel Seri Femina yang dipublikasikan pada dekade 1976-1990[2].
Komposisi teks Di Lintasan Mendung memiliki kesamaan dengan Kemarau dan Gerhana dalam hal sama-sama berawal dari cerpen dan memuat cerpen terkait dengan beberapa perubahan. Ketiga novel memiliki relasi hipertekstualitas (Genette 5) dengan cerpen karya pengarang yang sama, relasi yang sekaligus menempatkan ketiganya sebagai hiperteks dan masing-masing cerpen yang “dicangkokkan” sebagai hipoteks. Hipoteks Kemarau (1964) adalah cerpen “Datangnya dan Perginya” (1956) dan hipoteks Gerhana (1975) adalah cerpen “Fragmen[3]”, sedangkan hipoteks Di Lintasan Mendung (1983) adalah cerpen “Kisah Seorang Pengantin”. Menurut pengakuan Navis (Proses Penciptaan 299), cerpen “Kisah Seorang Penganten [sic]” terinspirasi “dari perkawinan yang terpaksa dari teman dekat” dia.
Titimangsa “Kisah Seorang Pengantin” sedikit problematis karena sementara Ismet Fanany (771) dengan merujuk pada antologi Jodoh mencantumkan titimangsa tahun 1957 sebagaimana tertulis di akhir cerpen, Kratz (336) justru mencatat pemuatan cerpen tersebut di Majalah Djaja pada tahun 1965. Terlepas dari kemungkinan apa pun terkait titimangsa cerpen ini, termasuk apakah cerpen tersebut ditulis tahun 1957 tetapi baru dipublikasikan tahun 1965 ataukah ada publikasi cerpen tersebut sebelum publikasinya di Djaja, dua penanda tahun tersebut sama-sama merujuk pada titimangsa lebih awal dari titimangsa Di Lintasan Mendung sehingga yang mana pun yang benar dari keduanya tidak akan mengubah posisi “Kisah Seorang Pengantin” sebagai hipoteks novel tersebut.
Terkait media publikasi, Ivan Adilla (197) sedikit keliru ketika menyebut Di Lintasan Mendung dipublikasikan dalam harian Suara Pembaruan tahun 1983. Jika cerbung tersebut dipublikasikan tahun 1983 maka Suara Pembaruan tidak mungkin menjadi media publikasinya karena harian sore tersebut baru terbit pertama kali tahun 1987. Suara Pembaruan merupakan lanjutan dari Sinar Harapan yang diberedel pada 9 Oktober 1986[4] dan, merujuk Abrar Yusra (244), dalam Sinar Harapan-lah Di Lintasan Mendung dipublikasikan tahun 1983.
Perubahan-perubahan hipoteks dalam Di Lintasan Mendung lebih mirip perubahan-perubahan hipoteks dalam Gerhana daripada Kemarau yang selain terkait aspek estetika juga memuat solusi alur berlawanan dari hipoteksnya. Akan tetapi bukan berarti perubahan-perubahan tersebut tidak penting. Sebagai contoh, usia karakter Meli saat dijodohkan dalam “Kisah Seorang Pengantin” adalah 23 tahun, sementara dalam Di Lintasan Mendung 24 tahun. Perbedaan angka tersebut tidak memberi konsekuensi ekstrem tetapi mungkin penting bagi siapa pun yang ingin menelusuri kemungkinan perbedaan pandangan masyarakat terkait usia layak nikah perempuan pada tahun 1957/1965 dengan tahun 1983. Penelusuran tersebut akan menarik karena pada cerpen lain Navis, “Jodoh” (1975), tergambar bahwa usia perempuan disebut oleh masyarakat masa itu sebagai “perawan tua” justru 25 tahun lebih.
Ucapan ayah tiri Meli tentang perjodohan tersebut juga menarik untuk dibandingkan. Pada “Kisah Seorang Pengantin” tertulis sebagai berikut:
“Menurut pendapat kami sudah waktunya kami mencarikan kau jodoh yang cocok. Agar kau bisa berbahagia sampai hari tuamu. Kami sangat senang kalau kau dapat melakukannya.” (Kisah Seorang Pengantin 212).
Sementara pada Di Lintasan Mendung tertulis:
“Menurut pendapat kami ayah dan ibumu, sudah pada waktunya kau dijodohkan. Kami sangat bergembira kalau dapat melakukannya.” (Di Lintasan Mendung 5).
Dibanding pada Di Lintasan Mendung, ungkapan perjodohan pada “Kisah Seorang Pengantin” tampak lebih halus. Selain itu, pada Di Lintasan Mendung tidak ada penjelasan basa-basi bahwa perjodohan tersebut berkaitan dengan kebahagiaan Meli di masa depan. Ungkapan penutup pada versi “Kisah Seorang Pengantin” agak ambigu terkait apa yang dimaksudkan “kau [Meli] dapat melakukannya”, salah satu tafsir adalah hal tersebut bermakna orang tua Meli akan gembira kalau Meli menerima perjodohan. Pada Di Lintasan Mendung, makna ungkapan penutup yang disodorkan lebih tegas: orang tua Meli gembira kalau mereka bisa sukses menjodohkan Meli, satu tambahan tekanan halus supaya Meli menerima perjodohan yang mereka tawarkan.
Di akhir cerpen, dugaan Meli bahwa perubahan sikap Jalal dari suami dingin menjadi suami penuh kasih sayang disebabkan oleh rasa kasihan disajikan dalam bentuk dialog dan cerpen ditutup dengan suara batin narator aku (Meli) yang merasa sangat bahagia. Dalam Di Lintasan Mendung, bagian tersebut disajikan dalam bentuk narasi yang memvisualisasikan adegan seorang istri merajuk kemudian dibujuk dan diyakinkan oleh suaminya. Dengan kata lain, suara batin narator digantikan dengan lakuan yang menunjukkan bahwa dia bahagia. Satuan cerita tersebut kemudian ditutup dengan suara batin narator aku (Meli) meminta ampun pada Tuhan dan kemudian pada suaminya “karena aku pernah mencercamu sebagai bajingan” (Di Lintasan Mendung 24).
Oleh sebab itu, bisa disimpulkan bahwa perubahan-perubahan pada novel Di Lintasan Mendung terutama disebabkan perbedaan struktur cerpen dengan novel. Bentuk Di Lintasan Mendung sebagai sebuah novel memungkinkan karakterisasi diolah lebih mendalam daripada pada “Kisah Seorang Pengantin” yang memiliki ruang terbatas sebagai cerpen. Perubahan-perubahan lain terkait aspek semantik juga menampakkan perkembangan pemikiran dan teknik mengarang A.A. Navis.
Dalam historiografi arus utama Sastra Indonesia, A.A. Navis biasa dikategorikan sebagai Angkatan 66 dan dengan demikian bersesuaian pula dengan angkatan yang disebut oleh Subagio Sastrowardojo (68) dan Jakob Sumardjo (Sinopsis Roman Indonesia 281) sebagai Generasi Horison atau Angkatan Horison. Zen Hae (5) menyebut “masa akhir 1960-an dan sepanjang dasawarsa 1970” sebagai “masa eksperimentasi bagi seni Indonesia” dan hampir semua varian “eksperimentasi cerpen” pada periode tersebut diterbitkan di Majalah Horison. Akan tetapi A.A. Navis tidak termasuk pengarang yang lahir ataupun dibesarkan oleh Horison. Dalam rentang waktu 1966 (berdirinya Horison) sampai 1983 (publikasi Di Lintasan Mendung), hanya ada 1 cerpen A.A. Navis dipublikasikan di Majalah Horison, yaitu “Angkatan 00”, dalam Majalah Horison edisi Agustus 1968[5]. Di luar itu, hanya ada satu tulisan nonfiksi A.A. Navis dimuat di Majalah Horison dalam rentang tahun yang sama, yaitu “Kesan2 Di Sekitar Seminar Sastra Ini”, dimuat dalam edisi Mei-Juni 1973 yang bertajuk “Nomor Seminar Kesusastraan Nusantara”. Menurut pengakuan Navis, dia tidak membatasi publikasi karyanya hanya di majalah sastra dan mengirimkan cerpen-cerpennya ke “berbagai majalah non sastra, seperti majalah ‘Roman’, ‘Waktu’, ‘Aneka’”[6] karena alasan sederhana: tuntutan ekonomi, terutama setelah dia “berhenti jadi pegawai pada akhir tahun 1955” (Proses Penciptaan 294).
Sepanjang hidupnya, A.A. Navis tercatat memublikasikan delapan novel dan tujuh darinya dipublikasikan pertama kali sebagai cerbung di surat kabar. Selain pola publikasi tersebut mirip dengan pola publikasi novel-novel Generasi Femina, dua dari tujuh novel tersebut memang dipublikasikan pada era Generasi Femina, yaitu Gerhana (1975) dan Di Lintasan Mendung (1983). A.A. Navis juga pernah menulis resensi salah satu buku Seri Femina, Amir Hamzah Pangeran dari Seberang (1981) karya Nh. Dini, dipublikasikan di Majalah Optimis (Navis, Amir Hamzah: Pangeran dari Seberang 431-438). Akan tetapi, jika pun semua fakta itu dianggap hanya kebetulan, persentuhan A.A. Navis dengan Majalah Femina terlacak secara tekstual ketika cerpennya, “Kawin”, menjadi pemenang sayembara cerpen Femina tahun 1977[7].
“Kawin” kemudian diterbitkan bersama 16 cerpen lain sebagai Album Cerpen Femina Volume III pada September tahun yang sama. Titimangsa tersebut problematis jika merujuk pada dokumentasi Kratz (336) yang mencatat publikasi cerpen “Kawin” di majalah Aneka tahun 1957. Antologi Lengkap Cerpen AA Navis, dengan merujuk antologi Jodoh (1999) sebagai sumber, menyematkan titimangsa 1957 untuk cerpen tersebut, tahun yang sama dengan catatan Kratz. Perlu penelusuran tersendiri untuk mencari fakta yang bisa mendamaikan perbedaan titimangsa ini semisal apakah cerpen tersebut memang pernah dipublikasikan di media tahun 1957 kemudian diikutkan sayembara cerpen Femina tahun 1977 ataukah ada penjelasan lain.
Di Lintasan Mendung penting dan menarik karena novel tersebut merupakan satu-satunya novel A.A. Navis yang mengangkat topik-topik domestik melalui sudut pandang narator-karakter perempuan. Topik-topik tersebut menjauhkannya dari prosa-prosa kanon Sastra Indonesia angkatan yang sama dan sezaman, setidaknya merujuk pada korpus data Majalah Horison edisi Juli 1966-Desember 1983, Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968), Laut Biru Langit Biru (1977), dan Cerita Pendek Indonesia I-IV (1979).
Bersepakat dengan postulat Sapiro (75) dalam ranah Sosiologi Sastra bahwa “para penulis tidak melakukan penciptaan dari ketiadaan, melainkan memahatkan diri mereka dalam ruang representasi dan wacana-wacana sosial, dan juga dalam satu ruang kemungkinan yang terstruktur”, situasi semacam itu memantik kebutuhan pembanding di luar prosa-prosa kanon dalam proses pembacaan sosiologis Di Lintasan Mendung untuk tidak tergesa menarik kesimpulan sungsang bahwa keterasingannya dari prosa-prosa kanon sezaman merupakan pertanda kekhasan karya sastra adiluhung.
Saat melakukan telaah diakronis dinamika pemikiran feminis dalam novel para perempuan pengarang di Indonesia tahun 1933-2005, Ahyar Anwar (182) mengategorikan periode 1965-1998 sebagai Fase Liminal dengan “isu domestik seputar rumah tangga” sebagai salah satu tema dominan. Beberapa karya yang Ahyar singgung sebagai contoh adalah La Barka (1975) karya NH. Dini, Selembut Bunga (1978) dan Getaran-Getaran (1990) karya Aryanti, dan Aku Supiyah Istri Hardhian (1998) karya Titis Basino.
Jika simpulan telaah tersebut ditautkan dengan topik Di Lintasan Mendung, novel ini lantas memiliki posisi unik sebagai karya pengarang Generasi Horison yang sekaligus berada di tengah pusaran karya Generasi Femina. Sebagai sastrawan Angkatan 66, posisi A.A. Navis juga unik karena karya-karya dia yang dikomentari “konvensional” oleh Ajip Rosidi (Pengantar 6) menempatkannya pada sisi berbeda dari para prosais eksperimental yang menjadi ciri khas angkatan tersebut, yakni Iwan Simatupang, Danarto, Putu Wijaya. Dengan demikian, telaah sosiologis karya menjadi lebih menjanjikan dan menarik diarahkan pada anomali dan keselarasan antara representasi subjek feminin dalam Di Lintasan Mendung dan karya-karya Generasi Femina awal dibandingkan pada kedekatan Di Lintasan Mendung dengan karya-karya Generasi Horison. Selain itu, upaya tersebut juga penting dan relevan disebabkan fakta lain bahwa telaah yang khusus membedah subjek feminin di ranah domestik dalam karya-karya A.A. Navis masih jauh dari memadai.
Generasi Femina Awal: Aryanti dan Formulasi Gagasan Subjek Feminin
Frasa Generasi Femina merupakan neologisme untuk merujuk generasi pengarang, mayoritas perempuan, yang karya-karya awalnya dipublikasikan di Majalah Femina atau diterbitkan sebagai bagian dari Seri Femina. Generasi ini bersesuaian dengan kategorisasi Sumardjo (Sinopsis Roman Indonesia 281) tentang “banyak penulis wanita yang mempublisir novel-novel mereka lewat majalah-majalah wanita” bersamaan dengan munculnya Generasi Horison.
Majalah Femina merupakan majalah perempuan lokal pertama era Orde Baru, pertama kali terbit 18 September 1972 atas inisiatif Sofjan Alisjahbana dengan konsep susunan 3 perempuan: Mirta Kartohadiprojo, Widarti Gunawan, dan Tika Makarim (Alisjahbana 185). Sofjan Alisjahbana menjadi Pemimpin Umum/Usaha, Mirta Kartohadiprojo Pemimpin Redaksi/Penanggungjawab, Widarti Gunawan Wakil Pemimpin Redaksi/Redaktur Pelaksana, dan Pia Alisjahbana awak redaksi (Winda 929)[8]. Sofjan Alisjahbana adalah putra Sutan Takdir Alisjahbana, arsitek kebudayaan modern Indonesia yang banyak mengungkapkan gagasannya tentang perempuan modern baik dalam tulisan nonfiksi ataupun dalam fiksi-fiksinya, terutama Layar Terkembang (1937)[9].
Femina rutin memuat cerpen dan cerbung serta menyelenggarakan sayembara penulisan fiksi. Fiksi yang menang kemudian biasa diterbitkan oleh Gaya Favorit Press dengan label Seri Femina (Danardana 16). Meski demikian, karya yang diterbitkan sebagai Seri Femina tidak selalu merupakan karya pemenang sebagaimana juga pada dekade 1980-an karya pemenang tidak selalu diterbitkan oleh Gaya Favorit Press. Kumpulan cerpen Aryanti yang termasuk Seri Femina, Kaca Rias Antik (1987), bukan merupakan pemenang sayembara, meski mayoritas cerpen di dalamnya pernah ditayangkan di Majalah Femina. Sebaliknya, novel Dwianto Setyawan, Bayangan di Pohon Belimbing (1986), merupakan pemenang Sayembara Novelet Femina 1983, tetapi diterbitkan oleh CV Rosda.
Sapardi Djoko Damono menyatakan bahwa Femina mengadakan sayembara penulisan fiksi secara teratur sejak 1977 dan menjadi satu-satunya majalah yang melakukannya tanpa jeda selama 20 tahun. Menggambarkan peran Femina dalam mendorong ledakan jumlah perempuan pengarang, Sapardi menulis bahwa
Jumlah pemenang sayembara cerpen dan novel femina selama 20 tahun sekitar 100 orang, 50 di antaranya adalah perempuan. Jumah [sic] ini setidaknya melebihi semua nama perempuan pengarang Indonesia sejak sebelum perang yang disebut-sebut dalam pelajaran sastra di sekolah. Perlu juga disebut bahwa pemenang sayembara ini adalah ibarat gunung es, di bawah permukaan masih ada ratusan perempuan yang berminat menulis fiksi tetapi belum dianggap cukup baik untuk menang. (Damono 231)
Terlepas dari tepat atau tidaknya angka yang Sapardi sebutkan, nama-nama para perempuan pengarang tersebut belum terdokumentasi dengan baik. Lema “Sayembara Femina” dalam Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern yang diterbitkan Pusat Bahasa misalnya hanya memberikan informasi pemenang sayembara mengarang cerpen dan novelet Femina tahun 1980 yang melibatkan Umar Kayam sebagai juri novelet, sementara lema “Femina” mencantumkan hanya nama pemenang sayembara novel Femina tahun 1976 dan 1977 sekaligus memberi catatan bahwa sayembara Femina “hampir selalu melibatkan H.B. Jassin, kritikus kesusastraan Indonesia, sebagai salah seorang anggota tim juri” (Sugono 107, 230).
Rekaman karya pokok dan tokoh Generasi Femina tidak memadai karena mereka umumnya diposisikan di luar garis waktu historiografi arus utama Sastra Indonesia pada ranah prosa dan hanya disinggung sepintas dalam tulisan beberapa kritikus, sesekali positif, kerap kali negatif.
Pada ranah puisi, posisi kurang lebih sama dialami oleh Generasi Puisi Mbeling yang, merujuk Soedjarwo (7) juga muncul tahun 1972, tahun ketika majalah musik dwimingguan Aktuil membuka “rubrik sajak-sajak remaja dengan nama Puisi-Puisi mBeling” (Danardana 35).
Alasan utama dan umum pengabaian Generasi Femina oleh mayoritas kritikus tergambar paling kentara dari karakterisasi negatif yang disematkan oleh Budi Darma (382) bahwa “kebanyakan pengarang wanita tidak menulis untuk sastra dan wawasan mereka memang wawasan pop” dan Jakob Sumardjo (Sinopsis Roman Indonesia 281) bahwa “kebanyakan karya-karya mereka bersifat populer saja”. Sumardjo bahkan lebih jauh menyatakan bahwa novel populer dekade 1970-an merupakan “kelanjutan jalur dari novel picisan dari masa sebelum perang dunia kedua” sebagaimana juga pasarnya
masih terbatas untuk konsumsi “pembaca wanita” yang lebih menyukai derita dalam gelombang percintaan. Segi intelektualitas belum dibutuhkan oleh pembaca novel populer Indonesia. Jenis “pembaca pria” belum merupakan massa dalam dunia novel populer Indonesia. (Novel Populer Indonesia 46-47)
Karya-karya Generasi Femina lazim diposisikan sebagai oposisi biner “sastra tinggi” dan status pembacanya disematkan pada wanita dengan karakteristik “sentimental” yang diposisikan sebagai oposisi biner pria dengan karakteristik “intelektual”.
Generasi Horison | Generasi Femina | |
Pengarang | Mayoritas Laki-laki | Mayoritas Perempuan |
Karya | Sastra Tinggi | Populer/pop[10] |
Pembaca | Laki-laki | Perempuan |
Karakteristik pembaca | Intelektual | Sentimental |
Gb. 1. Tabel oposisi biner Generasi Horison dan Generasi Femina
Labelisasi picisan lazim diberlakukan sebagai semacam hukum awal untuk karya-karya Generasi Femina yang bisa berubah hanya jika karya terkait mendapatkan legitimasi kesastraan dari pihak yang dipandang kredibel. Raumanen karya Marianne Katoppo memenangkan Sayembara Penulisan Novel DKJ tahun 1975, maka meski novel tersebut diterbitkan oleh Gaya Favorit Press tahun 1977 tetapi ia biasa dimasukkan ke dalam kanon sastra. Novel lain Marianne Katoppo, Anggrek Tak Pernah Berdusta, yang diterbitkan Gaya Favorit Press sebagai Seri Femina pada tahun 1979, meski tak kalah berkualitas dari Raumanen dan mengangkat topik sangat progresif bahkan dari sudut pandang kekinian, yakni persoalan homoseksualitas dalam ranah domestik, tak mendapatkan apresiasi memadai dari para kritikus.
Pada dekade pertama Majalah Femina, ada 32 buku Seri Femina yang diterbitkan, ditulis oleh 23 pengarang, 14 perempuan dan 9 laki-laki. Dua puluh tiga pengarang tersebut bisa dikategorikan sebagai Generasi Femina awal. Jika mengecualikan pengarang laki-laki dan menimbang perempuan pengarang yang paling mencolok maka Aryanti[11] paling representatif menjadi wakil generasi tersebut. Dua novelet Aryanti memenangkan Hadiah Harapan Sayembara Mengarang Novel Femina pada 1976 dan Hadiah Pertama pada 1977. Dari 46 prosa yang dia tulis pada tahun 1974-1993, setengahnya dipublikasikan pada dekade awal Majalah Femina dan hanya tiga karya yang tidak dipublikasikan oleh Majalah Femina serta Gaya Favorit Press[12]. Dengan demikian, Aryanti bisa disebut perempuan pengarang yang karier kepengarangannya diawali di dan kemudian dibesarkan oleh Majalah Femina. Selain itu, karakteristik Aryanti yang disebut oleh Sumardjo (Novel Populer Indonesia 98) sebagai perempuan pengarang yang memiliki pencapaian setara N.H. Dini “dalam novel-novel problim [sic] keluarganya” sebagaimana juga mayoritas wirawati prosanya adalah perempuan menjadikan prosa-prosanya pembanding sepadan untuk karakteristik Di Lintasan Mendung sebagai novel keluarga yang dinarasikan oleh karakter perempuan.
Dipertimbangkan pada lanskap lebih luas, dari 50 novel dan kumpulan cerpen Seri Femina yang terbit pada tahun 1976-1990, perempuan pengarang secara berurutan kronologis penerbitan (yang tidak selalu selaras kronologi publikasi awal di Majalah Femina) adalah Marga T, Marianne Katoppo, Sri Subakir, Aryanti, Ike Soepomo, Mustika Heliati, Mira W., Theresia Emir, Surtiningsih Wt., NH. Dini, Rohyati Salihin, Prasanti, Maria A. Sardjono, Anggraini, Laily Lanisy, dan Wiraprasti.
Dari 16 nama itu, yang paling produktif—tanpa menghitung publikasi mereka di luar Seri Femina yang, berdasarkan daftar Noor (187-201) memuncak pada dekade 1980-1990—adalah Marga T. (5 buku) dan Aryanti (4 buku). Meski topik-topik karya keduanya berkisar pada ranah yang kurang lebih sama dan Marga T. tercatat lebih produktif daripada Aryanti, latar tempat prosa Aryanti yang lebih umum dengan latar belakang karakter lebih bervariasi daripada prosa Marga T. yang cenderung spesifik berlatarbelakang dunia elit kedokteran membuat karya-karya Aryanti tampak lebih sepadan menjadi pembanding Di Lintasan Mendung.
Selain itu, Aryanti juga sekaligus seorang intelektual yang memiliki kedekatan nasab dengan Kartini dan tampak menghadirkan subjek feminin dalam karya-karyanya dengan berbasis gagasan-gagasan perempuan modern pendahulunya itu, figur yang disebut oleh Goenawan Mohamad (vii) sebagai “pemikir feminisme Indonesia awal” dan oleh Pramoedya Ananta Toer (14)[13] sebagai “pemikir modern Indonesia pertama-tama”. Gagasan-gagasan dari “empat bidang dalam kehidupan bermasyarakat yang termasuk dalam perjuangan Kartini” yang menurut Aryanti tetap relevan bahkan setelah hampir satu abad lantas diformulasikan berupa konsep mitra sejajar dalam kehidupan berkeluarga, pernikahan sebagai ikatan yang meniscayakan komitmen bersama, peranan orang tua dalam pendidikan anak, dan kemandirian generasi muda (Soebadio and Sadli 117).
Gagasan-gagasan tersebut memiliki keselarasan dengan berbagai tuntutan kaum Feminis Gelombang Kedua yang keaktifannya sezaman dengan momen Aryanti memublikasikan prosa-prosanya. Dengan demikian, 4 konsep yang Aryanti suling dari pemikiran Kartini dan sedikit banyak meresap dalam prosa-prosanya sebagai representasi Generasi Femina awal bisa sekaligus dijadikan tolok ukur untuk menakar representasi subjek feminin dalam novel A.A. Navis Di Lintasan Mendung.
Melalui anomali dan keselarasan yang muncul maka bisa ditakar dengan lebih cermat seberapa dekat pandangan A.A. Navis dalam novel terkait mengenai subjek feminin dengan pandangan Generasi Femina awal yang karya-karyanya dipublikasikan sezaman.
Transformasi Subjek Feminin dan Konstruksi Satire
Di Lintasan Mendung mengisahkan keluarga yang terdiri dari Meli, Jalal, dan anak-anak mereka secara kronologis kelahiran: Gindo, Marni, Endi, dan Rosa. Jika dipecah ke dalam episode dengan menempatkan karakter Meli sebagai poros cerita, konstruksi Di Lintasan Mendung tersusun dari 5 episode: episode Meli pranikah, episode Meli sebagai istri Jalal yang diperlakukan oleh suaminya dengan cuek, episode Meli sebagai istri Jalal pascaperubahan sikap suaminya, episode Meli sebagai istri yang suaminya dipenjara sekaligus sebagai ibu bagi anak-anak yang bapaknya dipenjara, dan episode Meli sebagai istri yang ditinggal mati suaminya.
Kelima episode tersusun dari berbagai satuan cerita dan tidak selalu berlangsung selaras kronologis narasi. Artinya, jika episode tersebut berbasis waktu cerita (story time, waktu kronologis cerita) maka episode-episode tersebut tidak selalu selaras waktu naratif (narrative time, waktu pen-cerita-an). Episode Meli sebagai istri yang ditinggal mati suaminya justru menjadi pembuka naratif, kemudian setelahnya naratif dilanjutkan secara analepsis dengan peralihan yang halus tetapi mudah dideteksi, teknik yang juga kerap Navis gunakan dalam prosa-prosanya yang lain.
Sebagai contoh, pada saat cerita akan berpindah dari episode Meli sebagai istri yang ditinggal mati suaminya ke episode Meli pranikah, episode yang lebih dahulu ditutup dengan paragraf berikut:
Tapi Meli tidak tertidur. Matanya masih menatap terus pada wajah laki-laki yang terbaring di hadapannya, sambil ia melamunkan masa silamnya berdua dengan laki-laki itu. Laki-laki yang jadi suaminya, ayah dari keempat anaknya. (Navis, Di Lintasan Mendung 3)
Kemudian episode selanjutnya dibuka dengan kalimat: “Ketika kita mulai menikah dulu, aku bukan main benci padamu. Sakit hati. Marah.” (Di Lintasan Mendung 3).
Dari contoh tersebut tampak bahwa Di Lintasan Mendung tersusun dari 2 lapis cerita. Pada cerita lapis pertama, narator bukan merupakan tokoh cerita melainkan fokalisor yang melihat semuanya. Lapis cerita ini muncul kembali di akhir cerita sebagai penutup novel:
Ketika beduk subuh berbunyi, Gindo terbentak [sic]. Ia melihat berkeliling. Semua orang tergolek di lantai dalam kenyenyakan. Ia melihat kearah ayahnya yang terbaring diam. Kemudian kearah ibunya yang duduk tersandar ke dinding dekat ayahnya yang terbaring. Gindo berdiri. Lalu mendekati ibunya. Kemudian ia perbaiki letak kain ibunya. (Di Lintasan Mendung 103)
Lapis cerita kedua berupa penyajian solilokui Meli dengan suaminya sebagai komunikan imajiner dalam atmosfer nostalgik sepanjang novel: narator sekaligus karakter perempuan yang menapak tilas perjalanan hidup bersama suaminya. Dengan demikian, narator tidak lagi memiliki karakteristik mahatahu seperti pada cerita lapis pertama dan segala persoalan justru ditinjau dari sudut pandang Meli berdasarkan keterbatasan pengalaman dan pemikirannya.
Perjodohan dan Transformasi Tradisi
Perjodohan, dengan orang tua sebagai pihak penentu pasangan anaknya, merupakan topik yang beberapa kali muncul dalam prosa-prosa A.A. Navis, yakni dalam “Ganti Lapik”, “Cina Buta”, “Kawin”, “Datangnya Sepucuk Surat” dan Gerhana. Masing-masing teks menyajikan situasi dan dampak sendiri-sendiri terkait perjodohan, tetapi semuanya memiliki satu kesamaan: pihak-pihak yang dijodohkan terpaksa menerima perjodohan mereka.
Dalam Di Lintasan Mendung, perjodohan menandai akhir episode Meli sebagai perempuan lajang. Akan tetapi tergambar sejak awal bahwa perjodohan itu tak terhindarkan bukan sekadar didorong motif mengikuti tradisi, melainkan juga status kekeluargaan Meli yang rumit:
Ayahku meninggal waktu usiaku 5 tahun. Lalu ibu kawin lagi. Dengan ayah tiriku, ibu memperoleh 2 orang anak tiri dan melahirkan 3 orang anak. Dan pada waktu melahirkan anak keempat ibu pun meninggal bersama si bungsu. Ayah tiriku kawin lagi dengan janda yang punya 2 orang anak. Ibu baruku ini melahirkan 3 orang anak pula dengan ayah tiriku. (Di Lintasan Mendung 4)
Dengan demikian, Meli pada dasarnya sudah tidak punya orang tua kandung pada saat dia beranjak dewasa, sementara saudara tiri dia berjumlah 10 orang dan dia tidak digambarkan memiliki saudara kandung. Terlepas dari sikap baik kedua orang tua tirinya, Meli jelas dituntut untuk segera menikah demi meringankan tanggungan kedua orang tua tirinya.
Orang tua Meli menawarkan dua opsi pria, yakni Munandar, duda 4 anak yang usianya beda 17 tahun dengan Meli dan merupakan kakak ibu tiri Meli; dan Jalal, bujangan tampan yang sudah memiliki pacar Rini, “gadis tercantik di kota” tempat Meli tinggal. Meli tidak mempermasalahkan perbedaan usia dengan Munandar, tetapi fakta bahwa andai dia menikah dengan Munandar maka dia langsung memiliki 4 anak tiri membuatnya teringat pengalaman yang enggan dia ulang meski dengan posisi terbalik. Terkait Jalal, Meli memiliki kekhawatiran berbasis inferioritas pembandingan dirinya dengan Rini yang kontras: Meli menggambarkan dirinya sendiri cantik, tetapi beban karena status kekeluargaannya yang rumit membuat wajahnya tanpa ekspresi, “tak pernah berombak” dan “beku seperti topeng” (Di Lintasan Mendung 4). Kelak Meli tahu bahwa Dalima, ibu Jalal, menjodohkan Jalal dengannya karena khawatir jika Jalal menikah dengan Rini maka perhatian Jalal terhadap ibunya menjadi berkurang.
Pada akhirnya, Meli yang diberi waktu 3 hari untuk memutuskan pilihan ternyata tidak mampu menjawab dan berujung menurut pada pilihan orang tuanya, yaitu Jalal. Uniknya, ibu tiri Meli mengatakan alasan mereka memilih Jalal:
Aku tahu betapa perasaanmu selama ini, sehingga kau hampir tak pernah tersenyum. Memang tidak enak punya anak tiri, Meli. Memang tidak enak. (Di Lintasan Mendung 11)
Navis tidak menyodorkan Meli sebagai subjek feminin yang bersikap frontal menghadapi perjodohan, sikap yang jelas lebih feminis tetapi justru akan merusak karakterisasi Meli sekaligus menihilkan situasi khusus yang melingkupinya. Dalam situasi seperti yang Meli hadapi, sukar membayangkan sikap frontal menolak perjodohan dan mengedepankan kebebasan perempuan untuk memilih pasangan, satu sikap yang tampak dalam sosok Maria pada cerpen “Maria” (1956) dan Navis sebut sebagai “seorang gadis modern menurut ukuran masa itu”[14] (Kata Pengantar vi). Kebalikan dari Maria, sikap Meli yang menerima perjodohan, meski dengan terpaksa, menyiratkan karakterisasinya sebagai representasi perempuan tradisional.
Selain itu, Navis menggunakan kesenjangan waktu cerita dengan waktu penceritaan untuk membocorkan motif di balik sikap moderat terhadap tradisi. Dengan menempatkan ujung cerita sebagai pembuka novel, di mana sosok Jalal direpresentasikan sebagai suami dan ayah yang kematiannya menimbulkan kesedihan istri dan anak-anaknya, kemudian dengan kisahan analepsis meloncat pada masa lampau di mana pernikahan Jalal dengan Meli berawal dari jalan masuk perjodohan yang cenderung memiliki konotasi negatif, Navis dengan cerdik menunjukkan bahwa tradisi yang tampak negatif di awal bisa bertransformasi menjadi positif di akhir.
Dengan demikian, satuan cerita terkait perjodohan Meli juga sekaligus merupakan konstruksi satire. Satire, menurut teori Paul Simpson, selalu melibatkan 3 pihak: satiris, komunikator satire; satiree, komunikan satire; dan satirized, target satire. Ketiganya saling terhubung dan sama-sama mengitari tatanan diskursus dalam organisasi sosial, kultural, dan politik. Impetus atau dorongan untuk menghasilkan satire adalah tegangan antara satiris dengan target satire (Simpson 86). Menurut teori yang sama, teks satire selalu terdiri dari unsur utama dan unsur dialektis. Unsur utama “menggemakan semacam peristiwa diskursif lain” dan unsur dialektis adalah “mekanisme internal-teks yang menghasilkan gagasan atau pergerakan berlawanan dalam pengertian Popperian”. Melalui pergulatan tesis dan sintesis tersebut, satiree didorong “menuju satu resolusi, menuju satu sudut pandang baru” (Simpson 196).
Pada satuan cerita perjodohan Meli, unsur utama satire adalah perjodohan Meli yang menggemakan peristiwa diskursif dalam sistem matrilineal Minangkabau. Dalam komentar terhadap cerpen “Jodoh”, Jassin (Sayembara Kincir Emas 4) menyebut Navis sebagai salah satu dari “sekian banyak pengarang Minangkabau yang berdamai kembali dengan adat”. Adat yang Jassin maksudkan adalah sistem matrilineal pada suku bangsa Minangkabau, satu sistem komunal yang juga banyak beririsan dengan persoalan perjodohan.
Karakter Ismet dalam “Kawin” yang semula bersikap frontal terhadap gagasan perjodohan pada akhirnya secara tersirat lebih memilih opsi menerima perjodohan dengan putri mamaknya daripada dengan Yulia yang berbeda suku, pilihan yang selaras konsep pulang ke mamak (mengawini anak mamak) sebagai pernikahan “paling ideal” dalam tradisi Minangkabau dibandingkan pernikahan dengan orang luar yang “kurang disukai, meskipun tidak dilarang” (Navis, Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau 194). Konsep tersebut juga menjelaskan mengapa ayah tiri Meli dalam Di Lintasan Mendung semula tampak menginginkan Munandar sebagai satu-satunya calon suami Meli.
Namun, Navis juga tampak memperlakukan tradisi dengan kritis, terbukti misalnya dari dipasangkannya Meli dengan Jalal, keputusan yang lahir melibatkan peranan besar perempuan, yakni ibu tiri Meli. Itulah unsur dialektis dalam konstruksi satire, suatu antitesis dari tradisi yang cenderung akan memasangkan Meli dengan Munandar sebagai “keluarga dekat”.
Selain itu, konsep cina buto (pernikahan-langsung-cerai dengan suami bayaran untuk menggugurkan ketidakbolehan rujuk pasca-talak tiga) dan ganti lapik (pernikahan janda/duda dengan saudara pasangannya yang meninggal) yang merupakan 2 jenis pernikahan lazim dalam tradisi Minangkabau (Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau 198) digambarkan negatif dalam “Ganti Lapik” dan “Cina Buta”: Rahman hidup sengsara dalam pernikahan ganti lapik yang dipaksakan karena sang ibu enggan harta mendiang anaknya dimiliki pria lain, sementara Nas tidak bisa menikahi Nurna kekasihnya karena perubahan status Nurna menjadi mahram yang tidak boleh dia nikahi sebagai konsekuensi dari posisi dia sebagai cina buta demi menggugurkan talak tiga yang dijatuhkan oleh ayah Nurna terhadap ibunya.
Sikap Navis terhadap tradisi juga bisa ditautkan dengan basis pemikirannya sebagai, mengutip penilaian Ajip Rosidi (Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia 151), “pengarang islam”. Konsep perjodohan banyak dipraktikkan di kalangan umat Islam dengan otoritas pada ayah sebagai wali seorang gadis berdasarkan hadis populer yang menyatakan bahwa sikap diam merupakan izin seorang gadis terkait pernikahan.
Terlepas dari kerapnya hadis tersebut dimaknai literal dan dijadikan pasal karet karena faktanya sikap diam seorang gadis yang sudah terdidik dalam kultur tradisional di mana relasi kuasa antara sang ayah dengan dirinya sangat kuat bisa bermakna ketidaksetujuan yang tidak berani diungkapkan, satu situasi yang tampak dialami oleh Meli, sikap Navis yang memilih mencari potensi maslahat dari perjodohan bisa dianggap sebagai upaya berdamai dengan tradisi-agama tanpa mengorbankan sisi kemanusiaan: inilah poin yang merupakan sintesis atau resolusi dalam konstruksi satire terkait perjodohan Meli.
Irisan dengan tradisi-agama semacam itu tidak kentara pada karya Aryanti yang cenderung menampilkan penolakan penuh terhadap perjodohan atau menyoroti dampak buruk perjodohan paksa. Sikap tersebut selaras pernyataan Kartini yang selain menolak poligami, terlepas dari tafsir umum ajaran Islam memperbolehkan praktik tersebut, juga mendeskripsikan proses perjodohan paksa berbasis Islam sebagai praktik yang menyengsarakan perempuan:
Atas perintah bapak, paman, atau saudaranya, anak gadis itu haruslah bersedia mengikut seorang-orang yang asing sama sekali baginya. Tiada jarang pula orang itu sudah beristri dan beranak-anak. Betapa pikiran dan kehendaknya, itu tiada ditanyai, dia wajib saja menurut. (Kartini 111)
Meski sikap Navis terhadap tradisi perjodohan cenderung lebih moderat dari sikap Generasi Femina, dia menyoroti satu hal yang kerap luput dari tangkapan pengarang perempuan, termasuk Aryanti, bahwa perjodohan bukan hanya bisa menyebabkan korban perempuan, tetapi juga laki-laki. Dalam Di Lintasan Mendung, korban perjodohan bukan hanya Meli tetapi juga Jalal, Rahman-Rosmali dalam “Ganti Lapik” dan Ismet-Hasni dalam “Kawin”. Rahman, sebagaimana Jalal, merupakan korban egoisme orang tua, lebih spesifik lagi ibu: dia menikahi janda kakaknya, Rosmali, karena keserakahan sang ibu, sosok yang memang berdasarkan tradisi Minangkabau “menjadi figur sentral dalam sistem kekeluargaan, yang mendominasi kehidupan dalam kekerabatan” (Navis, Tradisi Sastra Minangkabau 151). Kasus Ismet dalam “Kawin” sedikit berbeda karena dia dijodohkan dengan Hasni supaya “dia tetap menjadi anggota keluarga” dan menetap di kampung halaman sehingga bisa membantu memajukan anggota keluarga yang lain: suatu gambaran positif tentang sistem matrilineal.
Mitra Sejajar: Perempuan sebagai Istri
Selaras sikap pasif Meli menerima perjodohan, pengetahuan awal dia tentang peran perempuan sebagai istri pun tampak sebagai hasil didikan tradisional, yakni istri sebagai perempuan pasif dengan relasi kuasa yang kuat antara suami dengan istri: “seperti hubungan atasan-bawahan” dalam istilah Aryanti (Soebadio and Sadli 117). Maka Meli menggambarkan sikapnya dalam adegan malam pertama sebagai berikut:
Aku harus telentang dengan diam. Aku harus terlihat seperti puteri tidur. Bibir tak boleh ternganga. Bedak tak boleh terhapus. Aku harus telentang diam dalam kimono tipis, dan meski hawa dingin, aku tidak boleh memakai selimut […] Kalau kau sudah berbaring dekatku, aku harus tetap diam, dan menanti dengan penyerahan penuh. (Di Lintasan Mendung 13-14)
Adegan senada muncul dalam Gerhana, dialami oleh karakter Kartini:
Ia harus tidur di situ [ranjang] dengan daster sutera yang berwarna biru muda mentah dan selain celana nilon yang tipis itu, ia tidak boleh memakai apa-apa lagi.
Dengan cara yang demikian ia akan menanti seorang laki-laki yang sebentar lagi akan masuk ke kamarnya. (Navis, Gerhana 247)
Sebagaimana Meli, Kartini pun menikah bukan dengan suka rela, melainkan karena paksaan ibunya. Kartini dinikahkan dengan Binsar, pria yang sudah dia kenal dan tidak dia sukai, karena alasan ekonomi. Berbeda dengan Binsar yang memang sejak awal menyukai Kartini sehingga malam pertama itu dijalani dengan persetubuhan, meski dengan mode aloerotisme Kartini yang membayangkan Binsar sebagai Ben Virga, penyair yang dia sukai, Jalal tidak pernah “berbaring dekat” Meli. Dia memilih tidur terpisah di dipan dan pergi dari kamar sebelum beduk subuh berbunyi.
Satuan cerita ini merupakan contoh satire lain yang dikonstruksi Navis dalam Di Lintasan Mendung. Unsur utama dalam satire ini adalah adegan Meli menanti Jalal yang menggemakan peristiwa diskursif berupa tradisi: dalam Di Lintasan Mendung, sikap istri malam pertama itu berbasis “kata orang tua-tua” yang dalam Gerhana ditegaskan melalui kata-kata ibu karakter Kartini. Gerhana menunjukkan adegan lanjutan yang selaras unsur utama, yakni adegan persetubuhan. Oleh sebab itu, sikap Jalal dalam Di Lintasan Mendung yang memilih melakukan hal sebaliknya merupakan antitesis, unsur dialektis dalam konstruksi satire.
Berbagai strategi naratif dalam Di Lintasan Mendung yang memengaruhi munculnya resolusi atau sudut pandang baru satiree adalah sikap Jalal selanjutnya yang tak pernah makan di rumah meski Meli terus menyediakan makanan untuknya. Jalal selalu pulang lewat tengah malam dan jangankan memakan makanan yang Meli siapkan, sekadar menyentuh atau menyapa Meli pun tidak. Sikap Jalal terhadap Meli bisa dikatakan sebagai pembendaan perempuan oleh laki-laki dan merupakan dampak umum perjodohan yang akan terjadi bahkan seandainya Jalal memilih bersikap kasar terhadap Meli seperti sikap Pak Ismu dalam cerpen “Belasungkawa” karya Aryanti: Bu Ismu menikah karena dipaksa oleh ibu tirinya saat dia berusia 17 tahun dan pernikahannya tampak harmonis dalam pandangan orang tetapi ternyata penuh KDRT.
Sikap pasif Meli berubah setelah 3 bulan, momen yang diisi jeda ibu tiri Meli membelikan lauk baru setiap hari dari pasar dan Ita, adik ipar Meli, yang mengisahkan pertengkaran Jalal dengan ibunya di rumah. Dalam momen-momen tersebut, Meli menyadari bahwa Jalal telah berkorban mematuhi perintah sang ibu untuk menjalani perjodohan dan menikah bukan dengan kekasihnya supaya adik-adiknya tidak mendapatkan teladan buruk darinya, satu sikap yang menurut Meli akan membuat siapa pun bersimpati dan menghormati Jalal.
Namun, Meli juga kemudian mempertanyakan fakta yang Jalal abaikan bahwa sementara Jalal berkorban dengan tujuan yang pasti maka Meli sebagai pihak terdampak pengorbanan Jalal justru “menjadi korban terus-menerus tanpa mengetahui untuk apa ia berkorban dan tidak mengetahui berapa lama ia harus dijadikan korban” (Di Lintasan Mendung 18-19).
Dengan demikian, resolusi atau sudut pandang baru yang diproduksi oleh konstruksi satire perjodohan Meli adalah bahwa perjodohan yang memakan korban kedua belah pihak, perempuan dan laki-laki, menyebabkan perempuan menjadi korban ganda: sementara pihak laki-laki hanya menjadi korban akibat relasi kuasa dengan orang tua, pihak perempuan menjadi korban akibat relasi yang sama sekaligus menjadi korban akibat relasi kuasa dengan suaminya.
Terjebak berlarut-larut dalam situasi semacam itu, Meli akhirnya memutuskan akan membicarakan situasi pernikahan mereka dengan Jalal tanpa mengobrolkannya terlebih dahulu dengan orangtuanya. Ada nada pemberontakan khas perempuan modern ketika dia menarasikan bahwa kini dirinya “telah menjadi seorang perempuan, bukan lagi gadis yang mesti dilindungi” (Di Lintasan Mendung 20). Akan tetapi ternyata pada malam yang sama Jalal pun sudah luluh hatinya atas sikap Meli selama 3 bulan tersebut dan meminta maaf sehingga pernikahan mereka justru berlanjut dan berubah harmonis. Di sini tampak bagaimana proses transformasi negatif-positif tradisi mulai berlangsung: sikap baik Meli terhadap Jalal selama 3 bulan awal berbasis tradisi, kelanjutan dari sikap dia menerima perjodohan, dan sikap tradisional itulah yang justru membuat Meli bisa terlepas dari posisi korban relasi kuasa dengan suaminya.
Maka bisa dipahami jika sikap tegas yang tadinya akan Meli tunjukkan masih berupa cetusan temporer sehingga setelah perbaikan relasi dengan suaminya pun sikap awal dia sebagai istri pasif tetap tersisa dalam perjalanan pernikahan sampai mereka memiliki 3 anak. Meli mulai merasa cemburu membandingkan dirinya dengan Rini mantan Jalal yang ceria dan lincah, juga Erna, gadis sekretaris Jalal yang cekatan dan modern. Meli kemudian mulai berubah setelah mendapat saran dari Ita, adik iparnya, bahwa sebagai istri dia termasuk kurang responsif dan terlalu pasif.
Motif Meli terkait konsep istri pasif memang positif, karena dia menganggap Jalal pasti lelah sepulang dari kantor sehingga perlu istirahat di rumah, jangan sampai diganggu baik oleh dirinya ataupun anak-anak. Demikian juga setiap Jalal menanyakan tentang rumah, keadaan Meli dan anak-anak, Meli selalu menjawab semuanya beres karena tidak ingin menyusahkan Jalal. Akan tetapi sikap kurang responsif dan pasif istri yang tampak positif semacam itu justru merupakan sikap istri dalam tradisi yang ditentang oleh Kartini:
Alangkah berbahagianya laki-laki, bila perempuannya bukan saja menjadi pengurus rumah tangganya, ibu anak-anaknya saja, melainkan juga jadi sahabatnya, yang menaruh minat akan pekerjaannya itu. (Kartini 184)
Dengan kata lain, apa yang sepintas tampak sebagai tradisi positif ternyata berbasis relasi suami-istri yang analog dengan relasi atasan-bawahan dan dengan demikian justru bertentangan dengan konsep mitra sejajar. Sikap semacam itu mungkin menyenangkan bagi suami tradisional, tetapi jelas tidak bagi suami modern.
Puncaknya, setelah tanpa sengaja melihat foto Erna bergayut di tangan Jalal, Meli bermimpi Jalal meminta izin melakukan poligami, meracau, dan lantas demam sehingga dia dirawat oleh Jalal dan mertuanya. Saat sudah baikan, Meli sadar bahwa foto yang dia lihat sebenarnya foto ketika Erna hendak terjatuh sehingga harus berpegangan pada tangan Jalal. Meli kemudian mulai berubah menjadi lebih aktif ikut mengobrol saat teman-teman Jalal dan istri mereka berkunjung ke rumah. Dari segi penampilan, Meli pun berubah menjadi lebih modern:
Aku pun mulai berhias dan memperhatikan keadaan tubuhku dengan alat-alat kosmetik. Pakaianku mulai kugunting menurut mode. Tidak lagi asal ada. (Di Lintasan Mendung 42)
Ketika anak keempat mereka lahir, Meli juga ikut memutuskan namanya, padahal untuk ketiga anak sebelumnya Meli memasrahkan pemberian nama pada suaminya. Dalam kultur Islam, memberi nama merupakan tugas luhur dan identik dengan tugas natural laki-laki, bertolak dari kisah dalam kitab suci dan tafsir bahwa Tuhanlah yang memberitahu nama-nama kepada Adam dan Adamlah yang pada gilirannya menamai perempuan pertama: laki-laki adalah wakil Tuhan sebagai pemberi nama. Oleh sebab itu, keikutsertaan Meli dalam pemberian nama bagi anaknya yang keempat menjadi simbol penting menandai inisiasi fase dia yang semula istri/bawahan menjadi istri/mitra sejajar.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa dalam pergaulan dengan Jalal, suaminya, Meli semula memosisikan diri sebagai “bawahan” sesuai ajaran tradisional. Akan tetapi dia kemudian dipaksa oleh kehadiran perempuan-perempuan modern yang berpotensi menjadi saingan dan disadarkan oleh saran Ita, perempuan yang lebih modern sebagaimana tergambar dari karakterisasinya sebagai “banyak pergaulannya dan mempunyai kesenangan membaca” (Di Lintasan Mendung 43), untuk berubah menjadi mitra sejajar suaminya. Situasi semacam itu disebut oleh Kartini (68) sebagai “hidup bersama-sama dengan laki-laki dengan damai dan selaras” dan oleh Aya di akhir novel Dunia Tak Berhenti Berputar karya Aryanti sebagai bersama-sama memikul baik dan buruk dalam hidup.
Di sisi lain, Jalal tidak menunjukkan potensi selingkuh, sehingga perubahan Meli tidak bisa dikatakan dilakukan demi Jalal. Meli berada pada posisi inferior, tetapi inferioritas tersebut bukan bawaan melainkan dampak pengasuhan. Jalal menjadi pihak yang ikut menyokong pereduksian dampak tersebut sebagaimana tergambar dari fakta bahwa dia tampak lebih nyaman dengan sikap Meli pascaperubahan. Fakta tersebut sekaligus menyiratkan karakterisasi Jalal sebagai laki-laki modern.
Simpulan ini sepintas menimbulkan paradoks karakterisasi Jalal karena sikap Jalal yang di awal cerita menerima perjodohan bisa memicu tafsir karakterisasi dia sebagai laki-laki tradisional. Akan tetapi, teks menegaskan bahwa alasan Jalal menerima perjodohan bukan karena patuh terhadap tradisi atau takut pada ibunya, melainkan karena takut jika dia membangkang pada ibunya maka adik-adik perempuannya akan latah meniru pembangkangan dia. Selain itu, dengan menerima perjodohan dan menunjukkan dirinya tidak bahagia, Jalal sekaligus memprotes supaya ibunya tidak melakukan hal sama pada adik-adiknya (Di Lintasan Mendung 17-18).
Situasi Meli-Jalal analog dengan situasi Mira-Rawi dalam Kemelut di Masa Senja karya Aryanti. Mira berusaha berubah menjadi istri modern setelah menurutnya Rawi menunjukkan potensi selingkuh dengan perempuan muda dan modern. Dua pengarang berbeda gender ternyata sama-sama memotret perempuan sebagai hasil didikan tradisional yang kemudian berubah menjadi lebih modern, sama-sama memotret kecemburuan perempuan yang menghasilkan dugaan perselingkuhan, dan sama-sama juga menyodorkan perkembangan sikap perempuan menjadi lebih modern dengan melibatkan kehadiran dan saran dari perempuan lain: Rini (mantan Jalal), Erna (sekretaris Jalal), dan Ita (adik Jalal) dalam Di Lintasan Mendung; Ida (sekretaris Rawi) dan Santi (anak Rawi-Mira) dalam Kemelut di Masa Senja.
Bedanya, jika pihak yang diberi saran dalam Di Lintasan Mendung adalah pihak perempuan, dalam Kemelut di Masa Senja adalah pihak laki-laki. Selain itu, Jalal dalam Di Lintasan Mendung tidak digambarkan mengungkapkan keinginan dia supaya Meli menjadi perempuan modern, artinya, Meli membangun sendiri pemahaman dia tentang citra perempuan modern dengan dibantu oleh Ita, sementara Rawi dalam Kemelut di Masa Senja mengungkapkan secara terang-terangan kepada anaknya, Santi, tentang tipe perempuan modern yang dia inginkan.
Koedukator: Perempuan sebagai Ibu
Pada momen relasi Meli dan Jalal sebagai suami istri sudah berkembang menjadi mitra sejajar, Meli dan Jalal memiliki peran sama sebagai pendidik anak. Meski demikian, keduanya memiliki sikap berbeda disebabkan perbedaan nature dan nurture: Meli cenderung ingin memanjakan anak-anaknya, Jalal cenderung ingin anaknya mandiri. Meli misalnya menginginkan anak-anaknya diantar sekolah oleh Jalal menggunakan mobil dinas, tetapi Jalal menolak. Jika Meli beralasan dirinya kasihan melihat anak mereka berjalan pada musim hujan basah-basahan, Jalal berpendapat bahwa situasi semacam itu justru bisa membuat mereka tidak terasing dari kawan-kawan yang juga sama basah-basahan.
Perbedaan sikap mereka juga tampak ketika Meli menemukan novel porno di bawah kasur Gindo dan “banyak novel untuk orang dewasa” di raknya (Di Lintasan Mendung 52), padahal pada saat itu Gindo masih remaja. Meli yang panik semula akan langsung memarahi Gindo, tetapi dia memutuskan untuk terlebih dahulu mengobrolkan hal tersebut dengan Jalal. Jalal memang menetapkan peraturan bahwa jika mereka ingin memarahi anak-anak maka tidak boleh berbarengan, harus hanya salah seorang, sehingga anak-anak bisa menemukan penetralisir pada salah satu orang tua. Sikap yang kemudian Jalal ambil terkait kasus Gindo adalah mengajaknya mengobrol sebagaimana orang dewasa sehingga pada akhirnya Gindo justru merasa malu dengan sendirinya.
Contoh lain yang juga penting terkait pendidikan anak perempuan sekaligus merupakan satire lain dalam Di Lintasan Mendung tampak pada momen Marni yang sudah berusia 16 tahun meminta izin kemping dan mendaki gunung bersama teman-teman sekolahnya. Meli memiliki kekhawatiran berlebihan terhadap anaknya sehingga cenderung akan tidak mengizinkan. Ini merupakan unsur utama satire yang menggemakan sikap edukasi kebanyakan ibu berpikiran tradisional.
Unsur dialektis dalam satuan cerita tersebut adalah sikap Jalal yang sebaliknya mengizinkan Marni. Strategi naratif yang memengaruhi relasi dialektis dua unsur itu adalah alasan sederhana yang Jalal katakan bahwa dia malah sudah mendaki gunung yang sama saat berusia 14 tahun. Alasan tersebut dibantah oleh Meli dengan membandingkan bahwa Jalal laki-laki sementara Marni perempuan dan jawaban Jalal terhadap pembandingan itu merupakan sintesis, resolusi, atau satu sudut pandang baru terkait edukasi anak:
Apa bedanya anak perempuan dengan anak laki-laki? Anak perempuan juga harus diberi kesempatan yang sama dengan anak laki-laki untuk mengenal lingkungan dan untuk belajar mengatasi kesulitan. (Di Lintasan Mendung 61)
Jawaban tersebut analog dengan pernyataan Kartini dalam salah satu suratnya tentang pendidikan anak-anak:
Anakku, laki-laki maupun perempuan, akan aku ajar, supaya menghargai dan pandang memandang sama rata, makhluk yang sama, dan didikannya akan kusamakan benar, yakni tentu saja masing-masing menurut kodrat kecakapannya. (Kartini 69-70)
Tradisi membeda-bedakan anak berbasis jenis kelamin dan gender, dengan kecenderungan pembatasan lebih banyak bagi perempuan, sebagaimana yang diyakini oleh Meli, justru merupakan salah satu faktor yang ikut berperan membentuk sikap laki-laki dewasa untuk egois, merendahkan dan mengekang perempuan. Anak laki-laki yang terbiasa melihat saudara perempuannya mendapatkan perlakuan berbeda dan lebih dikekang daripada dirinya berpotensi tumbuh menjadi pria yang menganggap sikap merendahkan dan mengekang perempuan sebagai sikap natural dan meyakini dirinya sebagai laki-laki dengan sendirinya merupakan kelas istimewa. Kecenderungan semacam itu diperingatkan sejak dini oleh Kartini:
Tidak usah kita herankan lagi apa sebabnya nafsu laki-laki memikirkan dirinya sendiri saja, bila kita ingat, bahwa laki-laki itu sejak semasa kecilnya, sudah diperlebih-lebihkan daripada anak perempuan. Dan semasa kanak-kanak, laki-laki itu sudah diajar merendahkan derajat anak perempuan itu. (Kartini 69)
Karakter Jalal dalam Di Lintasan Mendung tampak dicitrakan sebagai bukan hanya suami tetapi juga bapak yang berpikiran modern, hal itu tersurat pula dari ucapannya terkait kasus Gindo dan buku porno. Jalal mengomentari perbedaan situasi antara dirinya yang sudah membaca Salah Asuhan dan Layar Terkembang[15] saat baru berusia 12 tahun dengan Gindo yang hidup pada masa 2 novel tersebut “dijadikan buku perpustakaan anak SMA”. Menurut Jalal, perbedaan bahan bacaan tersebut menyebabkan generasi dia “lebih cepat matang” daripada generasi Gindo (Di Lintasan Mendung 57, 58).
Sebaliknya, Meli ditampilkan tidak memiliki basis pengetahuan yang sama dengan Jalal sehingga dia menyadari pada momen Jalal mengungkapkan pemikiran-pemikirannya seperti itu “baiknya aku diam saja mendengarkannya” karena apa yang Jalal ungkapkan “tidak sepenuhnya terjangkau oleh isi kepalaku” (Di Lintasan Mendung 58). Meli tergambar sebagai figur istri sekaligus ibu hasil didikan tradisional yang kemudian berubah sedikit demi sedikit menjadi ibu modern berkat dialog antara dirinya dengan suaminya. Dialog itu sendiri hanya dimungkinkan ketika dirinya sudah terlebih dahulu berposisi sebagai istri modern yang menjadi mitra sejajar suaminya.
Peran Jalal semacam itu selaras peran figur-figur yang Kartini sebut sebagai “laki-laki terpelajar dan ingin kemajuan” (Kartini 136). Dalam surat-suratnya, Kartini beberapa kali mengeluhkan adat yang menganggap persahabatan antara laki-laki dan perempuan sebagai “suatu hal tak boleh terjadi”. Situasi Kartini pada dasarnya analog dengan situasi Meli, yakni perempuan yang tertinggal dan membutuhkan sokongan dari laki-laki untuk membantunya mengejar ketertinggalan pengetahuan modern.
Secara keseluruhan, pola edukasi dalam keluarga Jalal-Meli mirip dengan pola edukasi dalam keluarga Didit pada novel Hidup Perlu Akar karya Aryanti. Meski peran subjek feminin ibu dalam Hidup Perlu Akar lebih menonjol daripada peran Meli, satu hal yang sebabnya bisa dirunut pada perbedaan fokus kedua novel—anak (Ita) dalam Hidup Perlu Akar dan ibu (Meli) pada Di Lintasan Mendung—sehingga memungkinkan elaborasi perkembangan karakter Meli lebih menonjol daripada Ibu Didit, sikap kedua ibu untuk berpegang pada tradisi sekaligus terbuka menerima perkembangan pemikiran modern pada kedua novel relatif sama. Hasil dari pola edukasi semacam itu dalam kedua novel juga sama: kelahiran generasi baru yang tidak lagi terombang-ambing antara tradisi dan modernitas, melainkan mengukuhkan diri sebagai manusia-manusia modern seutuhnya.
Genesis Perempuan Modern
Karakter Marni, anak perempuan tertua pasangan Meli dan Jalal, bisa dipandang sebagai representasi perempuan generasi baru hasil didikan orang tua modern yang memiliki karakteristik kontras dari Meli pada usia yang sama. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Meli terkait momen Marni mendapatkan haid pertama. Jika Meli dulu merasa ketakutan dan bahkan beberapa waktu menyembunyikan fakta haid pertamanya, Marni justru merasa bangga, sama bangganya dengan “Gindo ketika hendak dikhitani” (Di Lintasan Mendung 63).
Jalal kemudian mereduksi relasi kuasa antara orang tua dan anak, yang dalam didikan tradisional tergambar dalam momen perjodohan Meli dengan dirinya di awal cerita, dengan mengatakan kepada Marni bahwa
Itu artinya Marni sudah menjadi teman mama dan papa. Sebagai teman, antara kita harus saling membantu. Tidak masanya lagi Marni sebagai anak yang disuruh, dilarang atau dimarahi. Kalau ada masalah marilah kita rundingkan. (Di Lintasan Mendung 63)
Sikap Jalal berbeda dengan sikap awal Meli sebelum dia berkembang menjadi istri modern yang menjauhkan anak-anak dari Jalal disebabkan kekhawatiran akan terganggunya Jalal di rumah sepulang bekerja (Di Lintasan Mendung 40). Sikap tersebut berdampak pada renggangnya relasi Jalal dengan anak-anak dan situasi tersebut hanya bisa membaik saat Meli berubah menjadi sepaham dengan sikap Jalal.
Salah satu isu lain yang muncul dalam Di Lintasan Mendung adalah isu yang juga Kartini perjuangkan, yakni hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan sama dengan laki-laki. Dalam novel tersebut, dua anak perempuan Meli, Marni dan Rosa, mendapatkannya tanpa diskriminasi. Di akhir cerita, Marni digambarkan sedang mempersiapkan skripsi, sementara Rosa, anak bungsu, digambarkan sebagai “bintang lapangan olahraga sekolahnya” (Di Lintasan Mendung 102): gambaran bahwa bukan hanya mereka berdua mendapatkan hak pendidikan, melainkan juga hak untuk bersaing setara laki-laki dalam ranah tersebut. Situasi tersebut berbeda dengan yang dialami Kartini dalam Gerhana. Kartini memang didorong ibunya untuk kuliah di Padang, tetapi sebagaimana sudah disadari sejak awal oleh Kartini dan kemudian dinyatakan terang-terangan oleh ibunya, tujuan ibunya bukan supaya Kartini menjadi sarjana, melainkan “untuk mendapat jodoh yang pantas” (Gerhana 250).
Marni tumbuh menjadi perempuan yang tidak malu mengungkapkan pendapat bersama saudara-saudaranya yang lain ketika mereka dimintai pendapat apakah akan membeli kulkas atau TV, satu karakteristik yang menandai “gambaran positif tentang pengembangan diri seorang anak muda” (Soebadio and Sadli 121). Pada satuan cerita ini tampak juga contoh satire lain dengan unsur utama sikap Meli dalam naratif awal yang digambarkan merasa jenuh dengan pekerjaan mencatat anggaran belanja rumah tangga. Meli bahkan pernah pura-pura membakar buku catatan tersebut sebagai cara memancing emosi Jalal, insiden yang hanya ditanggapi Jalal dengan mengatakan bahwa “Nanti [buku catatan itu] akan ada gunanya bagi kita” (Di Lintasan Mendung 28). Unsur dialektis adalah tindakan Marni yang merupakan antitesis: menurut dugaan Meli sebagai narator-karakter, Marni adalah pemrakarsa penyusunan anggaran belanja baru pada saat Jalal masuk penjara disebabkan fitnah dan uang gajinya dipersulit sampai bahkan pada akhirnya tidak bisa dicairkan sama sekali. Sudut pandang baru yang lahir dari relasi dialektis kedua anasir tersebut adalah kemandirian perempuan, bahwa kalau diberi kesempatan, perempuan modern (Marni) bisa juga melakukan pekerjaan yang umumnya dianggap identik dengan pekerjaan laki-laki (Jalal).
Untuk menuju pada resolusi tersebut, strategi naratif yang digunakan adalah adegan Jalal yang saat masih berada dalam kehidupan normal biasa mengikutsertakan anak-anaknya untuk menyusun anggaran belanja (Di Lintasan Mendung 87). Tradisi tersebut baru Meli pahami gunanya ketika dia mampu menghemat pengeluaran berkat anggaran belanja baru yang Marni susun bersama ketiga saudaranya dengan mempertimbangkan ulang beberapa pengeluaran lazim. Marni dan ketiga saudaranya juga berinisiatif menjual pakaian bekas mereka yang sudah tidak terpakai dan menggunakan uang yang diperoleh untuk modal berdikari: menjual es mambo, kue kering, dan membuka penyewaan buku (Di Lintasan Mendung 89).
Tumbuhnya Marni menjadi gadis modern mandiri dan tabah juga tampak pada momen ayahnya meninggal. Meski Marni meratap sebagaimana saudara-saudari dan ibunya, kesedihannya berada pada tataran wajar seorang anak yang ditinggal mati ayahnya. Setelah itu dia ditampilkan sebagai sosok kakak yang tabah memomong adiknya sambil ikut menyimak Endi yang sedang membaca Al-Qur’an.
Meli dalam Di Lintasan Mendung memang tampil sebagai karakter bulat yang sepanjang cerita ikut berkembang menjadi perempuan modern mandiri, tetapi karakteristiknya tetap kurang modern dibandingkan dengan Marni yang sepenuhnya subjek feminin hasil edukasi modern. Hal tersebut tergambar misalnya dari fakta bahwa alih-alih Meli, justru Marni yang mampu mengambil alih posisi kepala keluarga pada momen Jalal sedang berada di penjara, terlepas dari kemungkinan lebih eratnya relasi Jalal-Meli dibanding Jalal-Marni sehingga dipenjaranya Jalal menorehkan kesedihan lebih dalam pada Meli daripada pada Marni. Karakterisasi Marni diperkuat juga oleh fakta bahwa dia, perempuan yang merupakan anak kedua, yang mengambil posisi tersebut dan bukan Gindo, kakak laki-lakinya yang sekaligus merupakan anak sulung dalam keluarga.
Gb. 2. Transformasi subjek feminin Meli dalam Di Lintasan Mendung
Fase Meli sebagai perempuan lajang adalah fase subjek feminin tradisional. Karakteristik tersebut berkembang menjadi lebih modern pada fase Meli sebagai istri dengan sokongan terutama dari Ita, adik iparnya yang lebih modern daripada dirinya, sedangkan Rini dan Erna muncul sebagai 2 perempuan pembanding yang memantik kesadaran Meli. Pada fase Meli sebagai ibu, dia kembali berkembang menjadi subjek feminin lebih modern dengan sokongan dari laki-laki modern, yaitu Jalal suaminya. Pada fase penutup, Meli sebagai subjek feminin yang sudah mengalami transformasi dari tradisional menjadi modern merupakan pembanding generasi perempuan modern baru, yakni kedua putrinya, Marni dan Rosa sebagai subjek feminin yang sepenuhnya modern. Pada titik itu cerita Di Lintasan Mendung selesai sehingga tidak sampai menyajikan sisi-sisi negatif kehidupan subjek feminin modern dewasa dalam situasi yang lebih kompleks seperti tergambar pada novelet Aryanti Bagai Beringin Rindang (1987).
Klimaks transformasi Meli menjadi perempuan modern dalam Di Lintasan Mendung disodorkan berupa penutup solilokui Meli menjelang peralihan narasi kembali ke lapis pertama cerita:
Mulai besok dan besok-besoknya kau tidak akan hadir di rumah ini, suamiku. Tidak akan hadir. Aku ingin sementara mengenangmu. Tapi aku harap janganlah aku sentimental. Janganlah. (Di Lintasan Mendung 103)
Gambaran perempuan yang menolak memperpanjang perkabungan dan berlarut-larut dalam sentimentalitas tersebut sangat selaras gambaran perempuan modern yang Kartini bayangkan dalam surat-suratnya dan Aryanti hadirkan dalam prosa-prosanya, perempuan “yang berani, yang sanggup tegak sendiri” dan “melalui jalan hidupnya dengan langkah yang tangkas, dengan riang suka hati, tetap gembira dan asyik” (Kartini 36). Karakteristik tersebut juga menggemakan pidato Tuti dalam Layar Terkembang tentang
perempuan yang baru, yang bebas berdiri menghadapi dunia, yang berani membentangkan matanya melihat kepada siapa jua pun. Yang percaya akan tenaga dirinya dan dalam segala soal pandai berdiri sendiri dan berpikir sendiri. (Alisyahbana 37-38)
Keselarasan-keselarasan karakterisasi tersebut setidaknya membuktikan dua hal penting yang sederhana dan karenanya sangat mungkin terabaikan. Pertama, dimungkinkannya pengarang laki-laki memiliki pandangan positif terkait pemberdayaan perempuan. Kedua, kurang tepatnya generalisasi label melodrama yang Budi Darma sematkan pada novel-novel karya para pengarang perempuan Generasi Femina: sebagaimana melodrama bukan aspek menonjol dalam Di Lintasan Mendung karya A.A. Navis, demikian juga dalam prosa-prosa Aryanti.
Gb. 3. Konteks sosiologis Di Lintasan Mendung
Dengan demikian, menempatkan A.A. Navis dalam ruang sosiologis arus utama sastrawan Angkatan 66, sebagaimana lazim dilakukan oleh para kritikus selama ini, sering kali tidak memadai untuk membongkar lapis-lapis makna prosa-prosanya. Terkait Di Lintasan Mendung, isolasinya dalam historiografi sesempit tempurung semacam itu tidak memadai karena alih-alih memiliki kedekatan tema dan topik dengan karya-karya Generasi Horison, konstruksi subjek feminin di dalamnya justru memiliki kedekatan dengan karya-karya generasi yang berada di luar historiografi arus utama Sastra Indonesia dan selama ini terlupakan dan dilupakan sehingga menyebabkan minimnya rekaman nama perempuan dalam kanon sastra pra-Angkatan 2000, yakni Generasi Femina.
Berbagai teks satire yang ada dalam Di Lintasan Mendung, terutama yang memiliki target satire terkait subjek feminin sebagaimana 4 di antaranya dibahas dalam tulisan ini, cenderung lebih mudah ditangkap maknanya melalui pembandingan dengan gagasan subjek feminin Generasi Femina. Pada akhirnya, melalui penggambaran transformasi subjek feminin Meli dari tradisional menjadi modern dengan sokongan Ita dan Jalal, Di Lintasan Mendung menunjukkan keyakinan sederhana dan penting bahwa pemberdayaan perempuan merupakan ranah kerja bersama lintas anatomi jenis kelamin dan identitas gender: yang bukan-perempuan pun mesti ambil bagian.
Kepustakaan
Adilla, Ivan. A.A. Navis: Karya dan Dunianya. Jakarta: Grasindo, 2003.
Alisjahbana, Pia. Menembus Zaman: Sebuah Memoar. Jakarta: Gaya Favorit Press, 2013.
Alisyahbana, St. Takdir. Layar Terkembang. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Anwar, Ahyar. Geneologi Feminis: Dinamika Pemikiran Feminis dalam Novel Pengarang Perempuan Indonesia 1933-2005. Jakarta: Penerbit Republika, 2009.
Aryanti. Bagai Beringin Rindang. F5/XV. Jakarta: Majalah Femina, 1987. Buklet.
Aryanti. “Belasungkawa.” Album Cerpen Femina Volume VI: Angan-Angan Laura. Jakarta: Gaya Favorit Press, 1978. 38-41, 49.
—. Dunia Tak Berhenti Berputar. Jakarta: Gaya Favorit Press, 1982.
—. Hidup Perlu Akar. Jakarta: Gaya Favorit Press, 1981.
—. Kemelut di Masa Senja. 43/XIII. Jakarta: Majalah Femina, 1985. Buklet.
Damono, Sapardi Djoko. Politik Ideologis dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
Danardana, Agus Sri. Peran Majalah Hiburan Tahun 1970-1989 dalam Perkembangan Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta: Pusat Bahasa, 2004.
Darma, Budi. “Novel Indonesia adalah Dunia Melodrama.” Horison 9 (1983): 376-392.
Fanany, Ismet, penyunt. Antologi Lengkap Cerpen AA Navis. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004.
Genette, Gerard. Palimpsests: Literature in the Second Degree. Penerj. Channa Newman dan Claude Doubinsky. Lincoln: University of Nebraska Press, 1997.
Hae, Zen. “Eksperimentasi, Cerpen Koran, Senjakala Realisme.” Antologi Cerpen Indonesia Pilihan Yayasan Lontar Jilid 2: Masa Orde Baru dan Sesudahnya, 1965-2000. Penyunt. John H. McGlynn, Zen Hae dan Andy Fuller. Jakarta: Yayasan Lontar Nusantara, 2017. 3-9.
Hoerip, Satyagraha, penyunt. Cerita Pendek Indonesia 1. Vol. 1. Jakarta: Gramedia, 1986. 4 vol.
—. Cerita Pendek Indonesia II. Penyunt. Satyagraha Hoerip. Vol. 2. Jakarta: Gramedia, 1986. 4 vol.
—. Cerita Pendek Indonesia III. Penyunt. Satyagraha Hoerip. Vol. 3. Jakarta: Gramedia, 1986. 4 vol.
—. Cerita Pendek Indonesia IV. Penyunt. Satyagraha Hoerip. Vol. 4. Jakarta: Gramedia, 1986. 4 vol.
Jassin, H. B., penyunt. Angkatan 66: Prosa dan Puisi. Bandung: Pustaka Jaya, 2013.
Jassin, H. B. “Sayembara Kincir Emas.” Jassin, H. B. Koran dan Sastra Indonesia. Jakarta: Puspa Populer, 2008. 3-5.
Kartini, R. A. Habis Gelap Terbitlah Terang. Penerj. Armijn Pane. Jakarta: Balai Pustaka, 2021.
KM, Cep Subhan. Kosmos Perempuan Modern Aryanti: Dari Soal Pasangan dan Pelakor sampai Hak untuk Tak Punya Anak. 2023. 22 Juni 2024. <https://cepsubhankm.com/kosmos-perempuan-modern-aryanti-dari-soal-pasangan-dan-pelakor-sampai-hak-untuk-tak-punya-anak/>.
Kratz, Ernst Ulrich. Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah: Drama, Prosa, Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988.
Mahayana, Maman S., Oyon Sofyan dan Achmad Dian. Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern. Jakarta: Grasindo, 2007.
Matanasi, Petrik. “Sinar Harapan: Harga Sebuah Keberanian.” Seabad Pers Kebangsaan (1907-2007). Penyunt. Muhidin M. Dahlan. Jakarta: I:BOEKOE, 2007. 794-796.
Mohamad, Goenawan. “Kartini, Sebuah Persona.” Aku Mau…Feminisme dan Nasionalisme: Surat-Surat Kartini Kepada Stella Zeehandelaar, 1899-1903. Penerj. Vissia Ita Yulianto. Jakarta: Buku Kompas, 2004. vii-xix.
Navis, A. A. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: PT Grafiti Pers, 1984.
Navis, A. A. “Amir Hamzah: Pangeran dari Seberang.” Navis, A. A. Yang Berjalan Sepanjang Jalan: Kumpulan Karangan Pilihan. Jakarta: Grasindo, 1999. 431-438.
—. “Angkatan 00.” Horison 8 (1968): 230-234.
—. “Di Lintasan Mendung.” Komp. Bachtiar Ibrahim. Malang, 2010. Manuskrip.
—. Gerhana. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004.
Navis, A. A. “Jodoh.” Antologi Lengkap Cerpen AA Navis. Penyunt. Ismet Fanany. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004. 419-424.
Navis, A. A. “Kata Pengantar.” Navis, A. A. Jodoh. Jakarta: Grasindo, 2018. v-vii.
Navis, A. A. “Kawin.” Album Cerpen Femina Volume III: Sepuluh Menit Lagi. Jakarta: Gaya Favorit Press, 1977. 46-47, 50.
—. “Kesan2 Di Sekitar Seminar Sastra Ini.” Horison 5-6 (1973): 186-188.
Navis, A. A. “Kisah Seorang Pengantin.” Antologi Lengkap Cerpen AA Navis. Penyunt. Ismet Fanany. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004. 211-222.
Navis, A. A. “Mengapa Sastra Islam Tidak Berkembang?” Navis, A. A. Yang Berjalan Sepanjang Jalan: Kumpulan Karangan Pilihan. Jakarta: Grasindo, 1999. 327-333.
Navis, A. A. “Proses Penciptaan.” Navis, A. A. Yang Berjalan Sepanjang Jalan: Kumpulan Karangan Pilihan. Jakarta: Grasindo, 1999. 284-310.
Navis, A. A. “Sosiologi Minangkabau dalam Novel Indonesia Sebelum Perang.” Navis, A. A. Yang Berjalan Sepanjang Jalan: Kumpulan Karangan Pilihan. Jakarta: Grasindo, 1999. 156-175.
Navis, A. A. “Tradisi Sastra Minangkabau.” Navis, A. A. Yang Berjalan Sepanjang Jalan: Kumpulan Karangan Pilihan. Jakarta: Grasindo, 1999. 145-155.
Noor, Redyanto. Perempuan Idaman Novel Indonesia: Erotik dan Narsistik. Semarang: Bendera, 1999.
Rosidi, Ajip. Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia. Bandung: Pustaka Jaya, 2013.
—. Laut Biru Langit Biru: Bungarampai Sastra Indonesia Mutakhir. Penyunt. Ajip Rosidi. Bandung: Pustaka Jaya, 2013.
Rosidi, Ajip. “Pengantar.” Laut Biru Langit Biru: Bungarampai Sastra Indonesia Mutakhir. Penyunt. Ajip Rosidi. Bandung: Pustaka Jaya, 2013. 5-20.
Sapiro, Gisele. The Sociology of Literature. Stanford: Stanford University Press, 2023.
Sastrowardojo, Subagio. “Antara Generasi ‘Kisah’ dan ‘Horison’.” Sastrowardojo, Subagio. Bakat Alam dan Intelektualisme. Djakarta: Pustaka Jaya, 1971. 68-72.
Simpson, Paul. On the Discourse of Satire: Toward a Stylistic Model of Satirical Humour. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company, 2003.
Soebadio, Haryati dan Saparinah Sadli. Kartini: Pribadi Mandiri. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990.
Soedjarwo, Th. Sri Rahayu Prihatmi dan Yudiono K.S. Puisi Mbeling: Kitsch dan Sastra Sepintas. Magelang: IndonesiaTera, 2001.
Sofia, Adib dan Sugihastuti. Feminisme dan Sastra: Menguak Citra Perempuan dalam Layar Terkembang. Bandung: Katarsis, 2003.
Sugono, Dendy, penyunt. Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern. Bandung: PT Remaja Rosdakarya & Pusat Bahasa, 2009.
Sumardjo, Jakob. Novel Populer Indonesia. Yogyakarta: CV Nur Cahaya, 1982.
—. Sinopsis Roman Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995.
Toer, Pramoedya Ananta. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lentera Dipantara, 2007.
Winda, Dian Andika. “Femina: Ratu Majalah Wanita Indonesia.” Seabad Pers Kebangsaan (1907-2007). Penyunt. Muhidin M. Dahlan. Jakarta: I:BOEKOE, 2007. 929-931.
Yusra, Abrar. Otobiografi A.A. Navis: Satiris & Suara Kritis dari Daerah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994.
[1] Sampai saat karangan ini selesai ditulis, Di Lintasan Mendung belum diterbitkan sebagai buku. Tulisan ini menggunakan data teks novel Di Lintasan Mendung versi manuskrip ketik ulang dalam bentuk buku stensilan berukuran 10,5×17,5 cm dengan ketebalan 114 halaman. Berdasarkan informasi pada halaman kover dalam, pengetikan ulang cerbung Di Lintasan Mendung karya A.A. Navis tersebut dilakukan atas prakarsa Bachtiar Ibrahim di Malang pada tahun 2010.
[2] Seri Femina adalah seri novel yang diterbitkan oleh Gaya Favorit Press, penerbit yang juga menerbitkan Majalah Femina dan wakil pemimpin umumnya dipegang oleh Widarti Gunawan, Wapemred Femina masa awal. Ketebalan rata-ratanya 120 halaman, meski ada satu dua yang jauh lebih tebal, misalnya N.H. Dini, Amir Hamzah Pangeran dari Seberang (192 hal.), atau jauh lebih tipis, misalnya Sri Subakir, Kemelut Tidak Selalu Berbunga Duka (80 hal.). Seri Femina dicetak berukuran 13×18,5 cm dan pada tahun 1990 berubah menjadi lebih kecil, 10,5×18 cm.
[3] Titimangsa cerpen ini, merujuk keterangan dalam Antologi Lengkap Cerpen AA Navis, tidak diketahui.
[4] Sinar Harapan terbit kembali pada 2 Juli 2001 (Matanasi 795).
[5] Ismet Fanany menempatkan 1990 sebagai titimangsa cerpen “Angkatan 00”, tampaknya berdasarkan tahun terbit edisi kedua antologi Bianglala (1990) yang memuat cerpen ini. Kratz (336) menyodorkan data sama tentang cerpen “Angkatan 00” sebagai satu-satunya cerpen Navis yang dipublikasikan di Horison.
[6] Roman adalah majalah populer tahun 1955 s/d kurang lebih 1962, Waktu adalah mingguan yang terbit di Medan dan menurut Kratz (30-32) “mungkin merupakan mingguan umum paling penting yang telah terbit di pulau Sumatra antara tahun 1947-1962”, sedangkan Aneka adalah majalah yang terutama menyajikan tulisan mengenai olahraga dan film.
[7] Titimangsa ini berdasarkan sumber primer penjelasan Redaksi dalam “Pengantar” Album Cerpen Femina Volume III: Sepuluh Menit Lagi yang menyatakan bahwa album tersebut “dimeriahkan oleh cerpen beberapa pemenang sayembara cerpen femina 1977” dan salah satunya cerpen “Kawin” karya A.A. Navis. Titimangsa tersebut berbeda pada berbagai sumber sekunder: 1971 dalam situs Ensiklopedia Sastra Indonesia Kemdikbud, 1976 dalam Ivan Adilla (78), 1978 dalam situs Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, dan 1979 dalam Abrar Yusra (255).
[8] Bisa dikatakan Femina didirikan dan dikelola oleh tokoh-tokoh keluarga besar Sutan Takdir Alisjahbana. Mirta Kartohadiprojo adalah adik Sofjan Alisjahbana dan Pia Alisjahbana adalah istri Sofjan Alisjahbana. Tokoh-tokoh lain juga memiliki keterkaitan dengan para intelektual berpengaruh saat itu: Widarti Gunawan saat itu staf pengajar di Fakultas Sastra UI sekaligus istri Goenawan Mohamad (pendiri Majalah Tempo [1971]), Atika Makarim adalah istri Nono Anwar Makarim (direktur pertama LP3ES [1971]) dan saat itu menjadi Sekretaris Redaksi Majalah Horison.
[9] Adib Sofia dan Sugihastuti (216, 212) dalam kesimpulan akhir telaah Layar Terkembang menyebutnya sebagai novel feminis yang menyodorkan feminisme moderat.
[10] Istilah populer dan pop dalam kajian Sastra Indonesia sering dipersamakan sehingga menyebabkan kerancuan. Kedua istilah pada dasarnya merujuk ranah berbeda: populer merupakan ranah resepsi pembaca (pragmatik), sementara pop merupakan ranah komposisi teks (objektif). Meski demikian, pembedaan ini pun bukan tanpa masalah, karena dikotomi pop dan sastra tinggi selalu membutuhkan telaah konsep kesastraan (literariness) sebuah karya yang hampir tak mungkin bisa diformulasikan secara absolut dan universal, melainkan cenderung politis dan karenanya tentatif.
[11] Nama samaran Prof. Dr. Haryati Soebadio (1926-2007) yang dicantumkan dalam publikasi karya-karya fiksinya selain novel Getaran-Getaran (menggunakan nama Haryati Soebadio) dan 6 judul adaptasi cerita anak (menggunakan nama Amirati). Daftar karya lengkap dan analisis citra subjek feminin modern dalam karya-karyanya bisa dibaca dalam Cep Subhan KM, “Kosmos Perempuan Modern Aryanti: Dari Soal Pasangan dan Pelakor sampai Hak untuk Tak Punya Anak” (2023).
[12] Salah satu dari 3 karya itu adalah cerpen “Isyarat” yang dipublikasikan di Majalah Horison edisi 11 (1980), hal. 379-380.
[13] Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya dipuji oleh A.A. Navis (Amir Hamzah: Pangeran dari Seberang 433) sebagai contoh “buku biografi yang ditulis oleh tangan terampil dan penulis yang tepat”, buku yang “memperkenalkan Kartini sebagai manusia” dan membuat dirinya setelah membaca lantas membatin bahwa “memang layak Kartini ditempatkan lebih besar dibandingkan dengan perempuan pelopor sezamannya”. Tampaknya bukan tanpa alasan Navis memberi nama Kartini untuk salah satu karakternya dalam Gerhana. Sebagai sebuah alusi, lakuan, pemikiran, dan juga nasib karakter tersebut memiliki beberapa kemiripan dengan Kartini historis.
[14] A.A. Navis menyebutkan hal itu pada tahun 1999 dan mengatakan bahwa cerpen “Maria” ditulis sekitar 50 tahun yang lalu. Titimangsa cerpen tersebut adalah 1956.
[15] A.A. Navis (Mengapa Sastra Islam Tidak Berkembang? 329-330) berpendapat bahwa Abdul Muis memandang “manusia Indonesia yang membabi buta hendak menjadi seperti orang Barat”, satu hasil pendidikan Belanda, sebagai “tokoh yang salah asuhan”. Terkait Layar Terkembang, Navis menyoroti pandangan Sutan Takdir Alisjahbana yang menyarankan manusia Indonesia menjadi rasional, yakni “seperti orang Barat dalam arti yang positif”, bebas dari “tradisi yang telah jumud yang menghambat kemajuan”, dan perempuan sebagai “tokoh dominan” dalam novel tersebut yang mengungkapkan emansipasi perempuan. A.A. Navis juga menulis satu esai membahas representasi berbagai tradisi Minangkabau dalam Salah Pilih, Sengsara Membawa Nikmat, Salah Asuhan, dan Merantau ke Deli (Sosiologi Minangkabau dalam Novel Indonesia Sebelum Perang 156-175). Penyebutan Salah Asuhan dan Layar Terkembang oleh Jalal bisa ditafsirkan sebagai gambaran sikap moderat Jalal, yakni menjadi manusia modern sambil tetap bernegosiasi dengan tradisi, satu sikap yang dengan hati-hati bisa ditafsirkan sebagai sikap A.A. Navis sendiri sekaligus menautkan pemikirannya tentang perempuan modern dengan pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana.

Cep Subhan KM
Cep Subhan KM adalah penulis, penerjemah dan penyunting lepas asal Ciamis, Jawa Barat. Buku-buku terbarunya adalah dwilogi novel Yang Tersisa Usai Bercinta (2020) dan Yang Maya Yang Bercinta (2021) serta antologi esai Tiga Menguak Chairil: Media, Perempuan, & Puitika Kiri (2024) dan Perempuan dalam Bibliografi Pembaca (2025). Puisi, cerpen, dan esainya juga bisa dibaca di beberapa media daring, termasuk di web pribadinya cepsubhankm.com . Esai-esai kritik sastranya menjadi Pemenang II Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 yang mengusung tema "Modernisme Chairil Anwar", pemenang II Lomba Kritik Sastra Dunia Puisi Taufiq Ismail 2023, Pemenang I sekaligus Naskah Pilihan Juri Sayembara Kritik Sastra DKJ 2024 yang mengusung tema "Satirisme A. A. Navis", dan Pemenang I Sayembara Kritik Puisi Kalam 2024.