“Membaca Kembali A.A. Navis: Sastra, Satir*, Spiritualitas” adalah sebuah bedah buku yang diadakan dalam rangkaian peringatan 100 tahun hari lahir A.A. Navis, yang diselenggarakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikdasmen RI dan UNESCO. Diskusi dipandu oleh Dewi Kharisma Michellia, bersama narasumber Hilmi Faiq dan Avianti Armand.
Bertumpu pada Antologi Lengkap A.A. Navis yang dikumpulkan oleh Ismet Fanany dan diterbitkan oleh penerbit buku Kompas, satirisme A.A. Navis dibedah melalui serangkaian strategi yang membuat cerpen-cerpennya berhasil merebut tempat dalam sastra Indonesia dan dunia. Dengan kepengrajinan sastra yang baik, Navis menjelajahi tema yang luas, dan menghadirkan masalah-masalah manusia yang konkret dalam konteks sosial-budaya-politik yang jernih dalam karya-karyanya.
Meski kompilasi cerpen ini menyuguhkan spektrum topik yang beragam, kritik Navis terhadap kehidupan beragama yang lebih berfokus pada yang ritual—seperti dalam “Robohnya Surau Kami”, juga yang transaksional—seperti dalam “Man Rabuka”, menjadi titik berat pembahasan. Dalam satirenya, ia menggunakan cerita berbingkai dan tokoh-tokoh anekdotal sebagai alat provokasi untuk membongkar paradigma beragama lama, sekaligus menyiratkan sikap dan pandangannya sebagai seorang reformis islam.
Bincang buku “Membaca Kembali A.A. Navis: Sastra, Satir, Spiritualitas” dapat disaksikan melalui tautan berikut.
*) Kata “Satir” di sini memang sesuai dengan judul acara.
DEWI KHARISMA MICHELLIA
Malam ini kita akan membincangkan buku antologi lengkap cerpen A.A. Navis yang diterbitkan kembali oleh penerbit buku Kompas. Tajuk diskusi malam ini “Membaca Kembali A.A. Navis, Sastra, Satir*, Spiritualitas”, bersama dua pembicara kita, Hilmi Faiq, Editor Sastra Budaya Kompas, dan Avianti Armand, Penulis, Redaktur Utama tengara.id. Diskusi kali ini diadakan untuk memperingati 100 tahun A.A. Navis yang peringatan ulang tahunnya dirayakan oleh UNESCO mengingat kontribusinya sebagai seorang sastrawan yang membahas isu-isu sosial dalam karya-karyanya. Buku antologi lengkap cerpen A.A. Navis ini, oleh penerbit buku Kompas, diterbitkan kembali demi merayakan juga peringatan ulang tahun oleh UNESCO.
Ali Akbar Navis atau A.A. Navis adalah sastrawan legendaris asal Padang Panjang, telah meninggalkan jejak yang tak terlupakan dalam sejarah sastra Indonesia. Karyanya berhasil memadukan nuansa lokal Minangkabau dengan dilema dan tantangan universal yang kita semua hadapi. Dalam rangka memperingatinya tahun ini, diskusi kali ini akan mengupas lebih lanjut kiprah beliau sebagai sastrawan dan intelektual dengan karya-karya yang penuh nada satire. Kontribusinya sebagai aktor sejarah yang kerap menyampaikan kritik melalui karya-karyanya yang bernada cemooh baik melalui fiksi maupun non-fiksinya mengenai adat Minangkabau, akan kita kupas malam ini dengan dua pembicara kita. Untuk gambaran, perlu kita ketahui lebih dulu mengenai program peringatan 100 tahun A.A. Navis yang diinisiasi oleh Kemendikbudristek melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang merupakan upaya apresiasi penetapan 100 tahun A.A. Navis sebagai perayaan internasional UNESCO.
Saat penutupan sidang umum ke-42 UNESCO pada 22 November 2023, disepakati bahwa pertahun ini kita akan merayakan hari lahir A.A. Navis. Kemudian seterusnya tetap merayakan hari lahirnya demi menghormati sumbangsihnya, kontribusinya, karya-karya beliau di kancah internasional maupun nasional, yang mengangkat isu sosial dengan nada satire dan juga kekuatan satirismenya. Kegiatan ini menjadi pintu masuk yang membawa sastra Indonesia ke tataran global. Penetapannya sebagai salah satu agenda resmi di UNESCO memberikan peluang bagi bangsa Indonesia untuk memperkenalkan sastra Indonesia di forum yang lebih luas dan terbuka. Jadi, itu akan meningkatkan kesadaran masyarakat, terutama internasional, untuk melihat karya-karya, terutama pada periode ketika A.A. Navis menuliskan karya-karyanya. Untuk selanjutnya, saya akan mengundang langsung kedua pembicara, Avianti Armand dan Hilmi Faiq.
Sebelumnya, saya akan membacakan terlebih dahulu profil kedua narasumber kita malam ini. Hilmi Faiq menjadi wartawan Kompas sejak 2005, menyukai sastra, seni rupa, dan film, kerap diundang sebagai pembicara dalam forum seni rupa, sastra, dan film, menjadi juri Cerpen Pilihan Kompas sejak tahun 2019, dan sering mengisi kelas menulis. Bukunya, antara lain kumpulan cerpen Pesan Dari Tanah (2020), Pemburu Anak (2021), Mengabadikan Tabungan Kenangan (2022), Crossing the Wall: The Stories of the 20 Indonesian Muralists (2022) bersama Seno Joko Suyono dan Samuel Indratman, serta antologi puisi Perkara-perkara Nyaris Puitis, diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, tahun 2023.
Pembicara Avianti Armand, seorang penulis, Redaktur Utama tengara.id. Ia adalah seorang arsitek, kurator, dan penulis. Pada 2008, ia mendapatkan penghargaan Ikatan Arsitek Indonesia untuk desain rumah kampung miliknya. Cerpennya, “Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian”, dipilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas tahun 2009. Ia menerima penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2011 untuk kumpulan puisinya, Perempuan yang Dihapus Namanya, dan Kusala Sastra Khatulistiwa 2018 untuk Museum Masa Kecil. Avianti Armand menulis beberapa buku arsitektur, salah satunya adalah kumpulan esai Arsitektur Yang Lain.
Selamat malam, Mbak Vivi dan Mas Faiq. Terima kasih sudah hadir di sini sebagai narasumber utama kita untuk mendiskusikan kembali antologi lengkap A.A. Navis yang tebal ini. Sebelum kita memulai diskusi, ada baiknya cerita dulu ya bagaimana pengalaman Mas Faiq dan Mbak Vivi dalam membaca buku ini? Apa yang membedakan buku tebal antologi lengkap A.A. Navis ini dengan buku-buku lain A.A. Navis yang mungkin Mbak Vivi dan Mas Faiq sudah baca sebelumnya?
HILMI FAIQ
Ya, pertama tentu dari tebalnya ya. Ternyata dengan membaca buku tebal dan berisi karya satu orang, kita bisa menemukan garis merah pemikiran-pemikiran dia di banyak cerita yang berserak, dan, karena ini sudah dibukukan jadi satu, yang berserak itu kemudian lebih mudah untuk dihubungkan. Jadi, membaca buku ini saya tinggal connecting the dots. Misalnya, saya menemukan tema-tema selain satirisme, A.A. Navis itu punya perhatian khusus tentang agama, bukan hanya ritual-ritual agama yang penting, ternyata A.A. Navis juga sangat concern dengan memuliakan perempuan. Itu juga sangat tergambar di buku ini. Dua hal itu yang kemudian lebih banyak membetot perhatian saya untuk membaca lebih jauh tentang A.A. Navis. Meskipun, ada juga misalnya soal perempuan, ada cerpen yang kesannya objektifikasi terhadap perempuan. Ada kesan seperti itu. Tapi tentu saja kesan saya bisa saja salah karena saya hanya membaca teks yang saya tidak tahu teks itu kira-kira muncul dalam ruang dan kondisi seperti apa. Itu sekilas dari pengalaman saya, di luar hal-hal yang menggelitik ya, yang kadang membuat kita tertawa kecut sekaligus, kayak, “Oh, itu kok gue banget yang disindir.”
MICHELLIA
Jadi, connecting the dots ya, Mas. Ya, saya juga merasa walaupun setebal ini tapi enak dibaca, ya. Jadi, memang kita dari awal bisa merasa ada di tahun 1964 melalui cerpen “Pak Menteri Mau Datang”, terus di tahun 1990 melalui cerpen “Sepasang Jas dari Menteri”. Jadi kita bisa langsung tahu, ada kemiripan dari cerpen-cerpen pada periode tertentu, dan juga tetap ringan kita baca.
HILMI
Tetap ringan, betul. Bahasanya tidak susah. Tidak susah untuk dicerna. Saya kira selain mencemooh, kemahiran Pak Navis adalah mendongeng, ya. Dia kayak teman lama yang bercerita begitu saja. Kita tidak perlu berpikir lebih jauh untuk memahami apa yang dia maksud. Meskipun kadang-kadang itu sifatnya simbolis, atau metaforis bahkan.
MICHELLIA
Terima kasih, Mas Faiq. Saya juga sempat dengar hal itu selama Mbak Vivi melakukan pembacaan atas cerpen-cerpen A.A. Navis di buku ini. Mbak Vivi tertarik dengan kesegaran yang ditawarkan A.A. Navis tadi, persis seperti yang Mas Faiq bilang. Bisa cerita ke teman-teman di sini lebih lanjut soal itu?
AVIANTI ARMAND
Sebetulnya, saya mau disclaimer dulu nih, kalau tadi pertanyaannya apa bedanya membaca buku ini dengan buku A.A. Navis yang lain, terus terang, saya belum pernah baca buku A.A. Navis yang lain. Jadi, saya hanya baca “Robohnya Surau Kami”, saya lupa dari mana. Tapi, kemudian, tiba-tiba saya dihadiahi kumpulan cerpen setebal hampir 800 halaman dengan kata pengantar atau penutup yang merupakan gabungan dari keseluruhan karya cerpen beliau. Memang betul bahwa kita bisa menemukan kesegaran-kesegaran diksi maupun kesegaran-kesegaran metafora di dalam cerpen-cerpennya yang cukup mencengangkan buat saya, karena itu ditulis di tahun-tahun 1950-an. Bahkan, katakanlah ditulis tahun 1960-an saja dan kita baca hari ini, itu masih menarik dan tidak menjadi basi atau out of date. Yang membacanya pun masih bisa punya kekaguman, “Kok dia bisa kepikiran dengan frase-frase seperti ini di masa itu?”.
Terus terang, waktu itu juga saya sempat bilang sama Mimi, “Kenapa orang tidak menulis lagi seperti ini?” atau “Kenapa kok tidak banyak yang mendedah dan kemudian mencoba menstrategikan penulisannya dengan merujuk pada Navis?”. Meskipun ya zamannya berbeda, konteksnya juga pasti berbeda, apa yang kita tulis juga pasti akan menggunakan kata, kalimat, dan ekspresi yang berbeda. Tetapi, sebetulnya, masih banyak langkah atau strategi yang masih bisa kita pelajari dari karya-karyanya, yang menurut saya, tidak kemudian menjadi obsolete.
MICHELLIA
Betul. Jadi, kalau teman-teman membaca buku ini, mungkin seperti yang Mbak Vivi bilang tadi, terasa sekali penuturan untuk tahun itu. Kalau kita lihat cerpen yang tanggalnya tidak diketahui, atau paling tidak cerpen-cerpen awal yang dimuat di sini dari periode 1955, terus secara kronologi ke-1960, 1970, 1980, 1990, dan seterusnya. Tapi, ketika kita lihat cerpennya tahun 1955 saja, atau cerpen-cerpen yang paling awal ini saja, terasa sekali penuturannya lugas. “Rencananya Ben Virgil, penyair itu, mau bangun pagi pada hari Minggu itu”. Itu penuturan yang dituturkan 70 tahun lalu, dan bayangan kita Sastra Indonesia 70 tahun lalu itu banyak petatah-petitihnya. Tapi, oleh A.A. Navis, Idrus, mungkin juga oleh Chairil Anwar, kesegaran-kesegaran ini sudah ditawarkan ketika itu, dan, kalau kita melihat lagi, atau teman-teman penulis hari ini merujuk, mungkin akan merasakan kesegaran yang sama seperti yang kita sering baca di tulisan-tulisan hari ini.
Lalu tadi Mbak Vivi sempat menyebut juga tentang “Robohnya Surau Kami”. Kita tahu bahwa “Robohnya Surau Kami” memang dianggap sebagai semacam magnum opus, karya terbaik A.A. Navis, dan cerpen itu yang paling banyak diperbincangkan. Mas Faiq dan Mbak Vivi, bisa tidak mengeksplorasi tentang apakah ada karya-karya yang serupa dengan cerita “Robohnya Surau Kami”, semacam motif yang muncul kemudian di dalam cerita-ceritanya A.A. Navis yang lain dalam buku ini. kita juga ingin dengar lagi gitu mengapa “Robohnya Surau Kami” bisa sekuat itu, dibicarakan bertahun-tahun Apa yang membuat karya itu sangat penting untuk melihat ketokohan A.A. Navis?
HILMI
Oke, “Robohnya Surau Kami” itu, saya mulai dari ini ya, saya mulai dari kenapa itu menggugah sekali. Sebenarnya, pada fase-fase itu saya membayangkan, seseorang yang beragama kan mengandalkan atau mengutamakan sekali ritual. Kalau dalam tradisi Minang itu salat, lalu mengaji, lalu berada di musala seolah-olah sesuatu yang wajib dan itu satu-satunya cara untuk bisa menyelamatkan diri dari siksa neraka. Tetapi, kemudian, di cerpen ini, [hal] itu dibalik oleh A.A. Navis. A.A. Navis bilang secara tidak langsung, kalau kita sibuk dengan urusan-urusan ilahiah, urusan-urusan yang hablum minallah itu, hubungan dengan Tuhan, dan menyingkirkan atau mengabaikan hal-hal yang terkait dengan hubungan manusia, itu sebenarnya kita juga zalim, kita juga orang yang sesat. Karenanya tempat kita di neraka, dan itulah yang kemudian terjadi dalam tokoh kakek. Ini kan cerita tentang seorang kakek yang hanya beribadah, bahkan dia menghidupi diri sendiri saja mengandalkan pemberian orang lain. Dari situ, datang satu orang, provokator sebutlah begitu, yang kemudian memberi semacam kesadaran baru, bahwa kalau kakek ini hanya mengandalkan ibadah-ibadah, ritual tadi, maka dia tempatnya di neraka. Nah, sialnya, provokasi ini berhasil, dan si kakek akhirnya mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
Dengan kata lain, A.A. Navis menyelipkan pesan, bahwa si kakek pun yang sudah beribadah dengan sangat rajin itu sebenarnya juga tidak yakin dengan kediriannya sendiri. Dia tidak yakin bahwa yang dilakukan itu benar. Maka, dalam kegoyahan itu ketika diterpa provokasi sedikit, dia akhirnya roboh. Saya memaknai “Robohnya Surau Kami” bahwa surau itu kalau semata-mata dipakai hanya untuk urusan-urusan yang itu tadi, hubungan dengan Tuhan semata, dia tidak menemukan kejatian dirinya sebagai tempat ibadah. Makanya, kalau kita tarik sekarang ini, ketika banyak orang di masjid mau mampir, istirahat, ataupun mandi, terus dilarang, itu juga sebenarnya sesuatu yang mengingkari hakikat tempat ibadah itu dan mengingkari cara orang beribadah. Bahkan, kalau misalnya pengumuman di masjid itu kan sering ada pengumuman begini, “Hari ini terkumpul uang kotak masjid 900 juta rupiah”, dan itu terdengar sampai dengan rumah warga yang tiga hari tidak makan, nah, ini sebenarnya kumpulan orang-orang yang beriman itu sudah mengingkari agama karena dia tidak peduli pada lingkungan. Itu pesan yang saya kira sangat kuat sekali. Dan apakah kemudian cara seperti itu lalu berdampak pada sastra-sastra setelah A.A. Navis.
Saya kira banyak sekali sastra-sastra yang berbicara tentang hal itu. Misalnya, yang baru-baru, taruhlah punya Raudal Tanjung Banua, “Doa Bilal Jawad”, itu kan bercerita tentang bagaimana seorang pendatang, yang kemudian mengandalkan bahwa cara beribadah harus seperti dia. Dia memprovokasikan penyeragaman cara beragama. Dan itu kemudian sebagian orang lama merasa kehilangan kediriannya karena cara beribadah itu tidak harus seperti dia. Ada cara-cara lain yang lebih humanis, yang lebih bisa melibatkan orang lain. Lalu juga mungkin cerpennya Damhuri Muhammad, “Kandang Kambing Nurjawilah”. “Kandang Kambing Nurjawilah” ini bercerita tentang sekelompok warga di dalam satu kampung itu protes dengan kandang kambing Nurjawilah gara-gara di kandang kambing itu ada palang yang bentuknya mirip salib. Nah, bagi orang-orang ini, salib itu mengganggu keimanannya. Lalu dengan cara yang sangat cerdas, Damhuri Muhammad bilang, ada tokoh yang non-muslim di situ bilang, saya itu sehari lima kali mendengar azan dan iman saya tidak pernah goyah untuk masuk Islam. Nah, ini saya kira cara-cara yang motif-motif yang sama dilakukan oleh cerpenis-cerpenis lain setelah A.A. Navis untuk menyuguhkan betapa iman-iman yang rapuh itu sebenarnya kadang-kadang berasal dari kita sendiri, dari dalam, bukan dari luar. Saya kira kalau kita inventarisir, dari tahun ke tahun, cerpen-cerpen model seperti ini akan banyak sekali. Saya hanya menyebut dua itu sebagai contoh yang barangkali sebangun dengan semangat dari “Robohnya Surau Kami”. Itu, Mbak Mimi. Semoga tidak kepanjangan.
MICHELLIA
Makasih, Mas Faiq. Jadi, yang saya catat, Raudal Tanjung Banua dan Damhuri Muhammad ya, perlu kita lacak jejak kekaryaannya, karena mungkin kalau kita tanya ke pengarangnya, ada pengaruh jelas dari A.A. Navis, barangkali.
HILMI
Kalau Raudal Tanjung Banua, saya kira sangat jelas, karena berkali-kali dia mention A.A. Navis itu punya relevansi. Kebetulan juga sama-sama orang Minang ya. Meskipun Raudal Tanjung Banua hidup di Jogja.
MICHELLIA
Damhuri Muhammad juga kan? Uda Damhuri, ya? Oke, terima kasih, Mas Faiq. Mbak Vivi?
AVIANTI
Saya mau menambahkan Febi Indirani yang bukan cuma menghasilkan satu cerpen, tapi kumpulan cerpen yang berjudul “Bukan Perawan Maria”. Dalam kisah-kisah itu, dia dengan sangat berani membalikkan hal-hal yang sementara ini dianggap tabu, haram, dan sebagainya di dalam satire-satire yang juga kurang lebih mempunyai bangunan yang mirip dengan A.A. Navis, seperti, misalnya, “Babi ingin masuk Islam”. Saya lupa judulnya, tetapi ada cerita tentang seorang yang menggunakan cadar dan kemudian pelan-pelan kehilangan wajahnya: mulai dari hidungnya hilang, mulutnya hilang, dan sebagainya. Itu sebetulnya kan sebuah parodi atau mungkin sindiran bahwa begitu menggunakan cadar, ada sugesti bahwa sebetulnya dia kehilangan wajahnya. Atau cerita-cerita lain di dalam kumpulan cerpen tersebut yang menurut saya cukup menohok, dan pada era buku tersebut keluar, saya tahu bahwa ada pertentangan atau komentar yang cukup keras terhadap karya tersebut. Tapi kemudian karya tersebut didampingi dengan satu gerakan yang namanya relaksasi beragama. Itu saya rasa satu hal yang cukup berani yang dilakukan oleh seorang penulis perempuan terhadap satu tema yang cukup sensitif.
Kalau boleh minggir sedikit dari tema, sebetulnya saya ingin menyoroti kepengrajinan yang dari cerpen A.A. Navis ini menurut saya menarik, menarik untuk kita amati bersama-sama. Karena kepengrajinan ini yang sebetulnya sering luput dari pengamatan pembaca yang lebih tertarik untuk menelaah tema dan cerita tanpa menyadari bahwa sebetulnya cerita tersebut tidak dapat hidup tanpa kepengrajinan yang mumpuni. Kita tahu bahwa itu sebetulnya semacam budaya jalan pintas dalam mempelajari Sastra Indonesia yang sudah terlanjur ada di sekolah-sekolah. Setiap kali kita membaca, guru dengan cepat akan meminta murid untuk menyimpulkan moral of the story-nya, tanpa berusaha mendedah yang menyebabkan pengalaman pada waktu membaca cerita itu menyenangkan. Paling tidak ada tiga poin. Pertama adalah deskripsi yang impresif. Ada banyak cara untuk mendeskripsikan suasana atau orang atau peristiwa, tapi keterampilan seorang penulis menentukan apabila deskripsinya akan meninggalkan impresi yang cukup dalam untuk bisa diingat oleh pembaca. Dan A.A. Navis punya keterampilan untuk melakukan itu dengan menggunakan cara-cara yang, dalam tanda kutip, tidak lazim tapi juga tidak berlebihan, sehingga menghasilkan deskripsi yang sangat melekat dalam benak pembaca.
Ada beberapa contoh lain yang sebetulnya saya sudah catat, tetapi saya akan langsung lompat ke deskripsi tentang situasi surau di dalam cerpen “Robohnya Surau Kami”. Ini saya bacakan saja karena pendek.
Kalau beberapa tahun yang lalu, tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bus, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya ke arah barat. Maka, kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah tuan di jalan kampungku. Pada simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu, dan di ujung jalan itu nanti, tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.
Nah, di sini kita bisa lihat bahwa penggambaran yang presisi dan detail itu menghadirkan pembaca ke lokus kejadian peristiwa. Dengan demikian, secara tidak sadar, pembaca seperti terbawa oleh suasana bus antarkota, kemudian sampai di suasana pasar, masuk ke jalan kampung, dan akhirnya tiba di surau yang asli. Itu yang pertama saya amati dari strateginya A.A. Navis untuk mengisahkan tentang surau tersebut.
Kedua adalah kalimat pertama atau paragraf pertama yang menyentak. Menyentak ini, dalam arti bukan hanya mengagetkan karena ada kontradiksi yang kuat, tetapi juga yang seperti tadi, yang deskriptif dan sangat detail dan bisa menyihir pembaca untuk terus membaca. Itu adalah salah satu contoh. “Robohnya Surau Kami” memberikan contoh satu paragraf pertama yang sangat menarik. Yang lain-lain, tentu saja ada, misalnya contohnya “Orang dari Luar Negeri” dan “Maria”. Tapi itu nanti kita bicarakan belakangan.
Satu lagi, sebetulnya yang sangat menarik adalah strategi cerita berbingkai. Itu menurut saya adalah strategi penceritaan yang unik dari satire-satire A.A. Navis yang mungkin rujukannya adalah parabel atau cerita berbingkai klasik seperti “Seribu Satu Malam” atau yang lain-lain. Saya melihat ini sebagai satu strategi bercerita yang memberi kebebasan pada narator atau aku-lirik atau protagonis untuk melepas tanggung jawab penceritaan pada orang lain. Dengan demikian, cerita bisa menjadi bola liar yang sangat bebas, yang bisa mencela, menertawakan, mengolok-olok subjek. Dengan menggunakan cerita berbingkai ini, Navis membebaskan imajinasinya mendorong cerita sampai ke titik ekstrim. Benar saja kan, kelompok cerpen “Robohnya Surau Kami” dan “Man Rabuka” kan ekstrim pada zamannya dan banyak mendapatkan pertentangan pada zaman itu juga. Ibaratnya seperti orang bermain layangan, kemudian protagonis atau aku-liriknya yang bermain layangan, sementara layangan itu bebas bermanuver di udara. Dalam “Robohnya Surau Kami”, kita tahu bahwa A.A. Navis menggunakan Ajo Sidi untuk membawakan cerita di dalam bingkainya, sementara protagonis atau aku-liriknya sendiri itu berdiri di luar bingkai sebagai pengamat yang menyaksikan efek atau akibat dari kisah atau parabel Ajo Sidi kepada Kakek Garin, si penjaga musala.
Terakhir adalah plot twist. Kita mungkin sudah mendapat sugesti dari awal, ini akan ada sesuatu yang terjadi, tapi kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Plot twist ini juga merupakan keahlian dalam kepengrajinan Navis. Dia mengirim kita, tapi pada saat yang sama juga menggocek di akhir cerita. Rasanya selain dari “Robohnya Surau Kami”, hampir semua ceritanya Navis itu menyuguhkan kejutan di akhir cerita dan membuat kita terhenyak pada saat membaca akhirnya tersebut. Hal yang sulit dari membuat plot twist sebetulnya adalah mempertahankan dan menjaga logika cerita agar semuanya tetap masuk akal meski tidak sesuai dengan kemauan pembaca atau sugesti awalnya. Kurang lebih itu yang saya bisa baca dari “Robohnya Surau Kami”, lepas dari tema cerita atau muatan konten yang ingin disampaikan.
MICHELLIA
Menurut saya seru, sih. Kita seperti langsung ditawarkan beberapa nama penulis hari ini yang kira-kira juga memiliki teknik atau nada penceritaan yang serupa dengan A.A. Navis. Dari Mas Faiq ada nama Raudal Tanjung Banua dan Damhuri Muhammad, dan Mbak Vivi ada nama Febi Indirani. Ada semacam gerakan supaya kita beragama secara santai sekarang. Jadi, kita diajak untuk membicarakan penulis hari ini dalam kaitannya dengan diskusi tentang A.A. Navis.
Tadi Mbak Vivi juga membahas mengenai teknik-teknik A.A. Navis; deskripsi, cerita berbingkai, juga plot twist, yang kita bisa bayangkan konteks sejarah yang melahirkan pemikiran semacam itu dalam benak A.A. Navis untuk kemudian mengeksplorasi teknik berceritanya, untuk kemudian melakukan kritik terhadap adat Minang atau terhadap religiusitas atau cara beragama ketika itu. Tiga nama yang Mbak Vivi dan Mas Faiq sebutkan melakukannya dalam konteks hari ini, dengan melihat peristiwa cara kita beragama, dan dalam 10–20 tahun terakhir ini lumayan perlu diberikan penyegaran agar kita rileks beragama.
Kalau kita lihat A.A. Navis sendiri dalam konteks sejarahnya, apa yang membuat A.A. Navis menulis tema-tema seperti ini atau mengeksplorasi teknik ini? Karena sebelum A.A. Navis kan ada Pujangga Lama. Kok dia tidak dapat pengaruh dari Pujangga Lama? Melainkan seperti teman-teman Pujangga Baru; bikin ekspresi yang lebih baru. Kenapa itu terjadi pada A.A. Navis?
HILMI
Saya hanya bisa menebak-nebak saja karena saya tidak membaca lebih jauh tentang A.A. Navis, baik tentang masa kecilnya atau lingkungannya, melainkan hanya dari karya-karyanya, dan juga dari beberapa info yang minim yang saya dapat itu. A.A. Navis adalah orang yang rileks, suka guyon. Sepertinya kepribadian itu juga nampak dalam tulisan-tulisannya. Saya dapat afirmasi itu dari beberapa penjelasan kecil.
Nah, dalam hal beragama saya kira A.A. Navis juga orang yang melihat Tuhan sebagai zat yang suka bercanda. Tuhan bukan sesuatu yang menakutkan. Jadi, tafsir ketakutan terhadap Tuhan bukan seperti kita takut pada penguasa. Tetapi ketakutan kepada Tuhan yang ditafsirkan oleh A.A. Navis adalah seperti ketakutan kita kepada kekasih yang begitu kita cintai. Bukan ketakutan karena terintimidasi, tapi ketakutan akan kehilangan. Sehingga untuk merayu Tuhan, A.A. Navis di dalam narasi-narasi cerpennya meminta kita harus bersikap semanusiawi mungkin kepada sesama manusia.
Tetapi pada saat yang sama, A.A. Navis juga mengingatkan dengan cara yang ekstrem, bahwa kita sebagai manusia, ini langsung masuk ke tema lain barangkali ya, itu kadang-kadang ingin memanipulasi Tuhan. “Man Rabuka” bercerita tentang dua anak kembar, yang satu sangat taat beribadah, sangat baik, sangat ideal untuk ukuran masyarakat yang beragama, yang satu ini sebaliknya, sangat ekstrem, suka mabuk, main perempuan, minum alkohol, judi, dan sebagainya. Nah, ketika meninggal, yang suka mabuk-mabukan dan bandel ini di dalam peti matinya membawa alkohol, bawa madat, dan lain-lain. Ketika ditanya oleh malaikat, “Man Rabbuka?” atau “Siapa Tuhanmu?”, dia tidak tahu harus jawab apa, tetapi menyodori bekal itu tadi; alkohol, madat. Lalu malaikat diajak mabuk bareng.
Saya cek “Man Rabuka” ditulis tahun 1957. Terbayang tidak tahun 1957, ada orang menulis dengan gaya seperti itu, mendobrak cara berpikir umum. Bahkan orang-orang yang punya latar belakang pesantren dan punya cukup ilmu untuk tahu mana tahapan makrifat, hakikat, dan lain-lain, saya kira juga belum seberani itu. Tapi, A.A. Navis berani membongkar itu.
Nah, yang saya tangkap sebenarnya, pertama, kenakalan, kedua, yang lebih substansial adalah, A.A. Navis membawa logika manusia, bahwa manusia yang rusak, manusia yang mengingkari nilai-nilai kemanusiaan, yang mengingkari nilai-nilai ketuhanan berpikir semuanya bisa dibeli dengan apa yang dia bawa. Pada akhirnya, dalam cerita itu [“Man Rabuka”], malaikat kan salah tendang. Mestinya tokoh itu ditendang ke neraka, tapi nyatanya ditendang ke surga. Nah, sekarang kita perhatikan. Ada orang menyumbang ke masjid pakai duit hasil korupsi. Ada orang memberangkatkan orang haji pakai duit hasil korupsi. Ada orang mendirikan sekolah, membiayai anak yatim, merawat para janda pakai duit korupsi. Mereka bukan sekadar menghibur diri agar hati tenang. Tidak. Mereka sudah berhitung…
Sangat matematis hitung-hitungannya. Kalau menyumbang 1 miliar berarti hitungan pahala jariahnya bisa jadi 1 triliun. Mau membeli Tuhan. Saya kira konteks cerpen yang ditulis tahun 1957 ditarik ke zaman sekarang itu masih sangat relevan. Banyak orang y akan menyadari betapa sebenarnya cara kita beragama itu tidak jauh berbeda dengan yang dulu-dulu. Tidak ada progresivitas yang berarti. Atau, bahkan kita malah mengalami regresi.
MICHELLIA
Terima kasih Mas Faiq. Di sini ada banyak keluarga Navis yang bergabung sepertinya. Saya baca nama-nama Navis.
Ya, tadi kita sudah diajak untuk menelusuri lagi tentang “Man Rabuka”, konteks zaman itu, dan apa yang menyebabkan A.A. Navis terpikir menuliskan cerita ini. Mbak Vivi, apakah ada pendapat yang sama atau malahan mau menambahkan sesuatu?
AVIANTI
Saya mau meneruskan sedikit tentang pendapat Mas Faiq tadi, tentang manusia. Saya melihat kenapa cerpen-cerpen A.A. Navis bisa sedemikian berelasi dengan kita, dengan pembacanya, baik pada masa itu maupun masa sekarang. Tentu ini adalah sebuah spekulasi. Pertama, dia menempatkan dirinya sebagai manusia, dengan arti yang bukan cuma sekedar wadak, tetapi manusia dalam keseluruhannya. Itu membuatnya menjadi peka terhadap masalah-masalah manusia. Dalam penutup yang merangkum keseluruhan kumpulan cerpen ini, Ismet Fanany menyebutkan sesuatu yang menurut saya sangat tepat dan sangat ringkas, tapi bisa menceritakan karakter atau keseluruhan bangun cerpen dari A.A Navis; Suara Manusia.
Itu betul. Karena, meskipun dalam keseluruhan tema Navis hampir selalu menggunakan latar orang-orang Minang atau kampung halamannya, tetapi sebetulnya masalah-masalah yang disampaikan itu sangat universal dan masalah manusia pada umumnya. Hal yang sangat terasa di dalam penceritaannya adalah kedalaman. Ia bisa mendekati masalah-masalah tersebut dengan detail dan dengan pemahaman yang peka akan situasi orang-orang yang terlibat. Sebetulnya saya tidak tahu kenapa bisa begitu. Bisa jadi itu karena beliau terhindar dari kehidupan yang hiruk pikuk di ibu kota atau di Jawa misalnya, karena dia tetap tinggal di tempat kelahirannya, sehingga memberi jarak yang membuatnya bisa melihat segala macam persoalan dengan lebih jernih. Itu lagi-lagi sebuah spekulasi. Tetapi, saya hampir yakin bahwa dengan menempatkan dirinya sebagai manusia, maka beliau memiliki kepekaan untuk melihat, meneropong masalah-masalah manusia dengan sangat baik.
Sebetulnya kalau kita bicara tema, dia sudah terkenal sebagai seorang pengarang satire tentang religiusitas. Tapi kalau kita dedah keseluruhan 68 cerpennya, itu banyak sekali temanya. Tidak cuma bicara soal agama, tetapi soal adat dan pernikahan, seperti misalnya di cerpen “Ganti Lapik” dan “Cina Buta”. Atau emansipasi wanita, seperti dalam cerpen “Maria”. Atau pergulatan antara agama dan rasa kemanusiaan, seperti dalam cerpen “Datangnya dan Perginya”. Atau gegar budaya, seperti dalam cerpen “Orang dari Luar Negeri.” Tema yang sering juga diolah adalah tentang birokrasi, kemunafikan, feodalisme, seperti dalam cerpen “Pak Menteri Mau Datang” atau “Orde Lama”, atau masalah-masalah yang sederhana seperti misalnya inta dalam “Perebutan”, atau cinta yang berbahaya dalam cerpen “Si Bangkak”, atau penderitaan rakyat seperti misalnya dalam “Bertanya Kerbau pada Pedati”. Jadi range-nya atau spektrum dari cerpen-cerpennya itu luas sekali, mencakup banyak hal, dan itu menurut saya hanya bisa dilakukan oleh penulis yang peka terhadap masalah-masalah manusia.
MICHELLIA
Terima kasih, Mbak Vivi. Di diskusi kali ini, untuk teman-teman yang sudah ikut diskusi sejak tadi dan mungkin yang baru bergabung, kami mengundang teman-teman untuk memberikan komentar dulu di kolom chat. Nanti setelah satu pertanyaan terakhir ini, teman-teman akan saya tunjuk untuk mengajukan pertanyaan.
Sedari tadi Mas Faiq dan Mbak Vivi sudah membahas mengenai penulis-penulis hari ini mendapatkan pengaruh dari A.A.Navis. Itu penting bagi kita untuk mengetahui pengaruh A.A. Navis kepada penulis hari ini, karena itu merupakan salah satu cara untuk mengukur ketokohan suatu karya atau seorang penulis bagi generasi selanjutnya, seperti apa dan siapa pelanjutnya. Tradisi, tradere, penerus selalu merupakan hal yang penting dibahas ketika membahas ketokohan seorang penulis.
Lalu, tadi kita sudah mendiskusikan mengenai konteks zaman Navis atau kebaruan yang ditawarkan Navis pada tahun 1957 melalui “Man Rabuka”. Tadi Mbak Vivi sudah menyebutkan beberapa karya yang range-nya sangat luas. Jadi ketika kita membicarakan A.A. Navis, sebetulnya bukan hanya membicarakan judul besar acara ini. Bukan hanya membahas soal satire, teknik berceritanya satire, atau parodi, atau cerita berbingkai yang tadi dikatakan oleh Mba Vivi. Bukan juga tentang spiritualisme luas semata atau adat, tapi juga lebih luas daripada itu isu-isunya, yaitu sosial politik. Kalau kita hari ini menyaksikan teman-teman turun ke jalan, mendemonstrasi DPR, dalam cerpen A.A. Navis banyak juga yang membahas soal menteri, perkara DPR, presiden juga, dan itu yang bisa dibaca lebih lanjut.
Pertanyaan terakhir saya—sebelum nanti ke teman-teman—ke Mbak vivi dan Mas Faiq lebih pada melihat konteks bahwa tadi kita sudah mendiskusikan A.A. Navis tahun ini, pada hari ulang tahunnya, hari jadinya, 100 tahunnya, diperingati oleh UNESCO. Jadi kita bersama-sama warga dunia memperingati A.A. Navis sebagai tokoh sastra kita. Saya ingin tanya ke para pembicara: karya-karya apa saja dari A.A. Navis yang perlu dibaca lagi oleh para anak muda hari ini, dan juga terutama publik dunia, ketika kita membicarakan A.A. Navis. Jadi, apa yang ditawarkan A.A. Navis melalui cita-cita yang tadi. Mbak Vivi sudah ngasih sedikit clue. Tapi, mungkin bisa beberapa cerpen saja, satu sampai tiga cerpen.
HILMI
Oh, satu sampai tiga cerpen. Saya kira “Datangnya dan Perginya” itu salah satu yang penting ya. Saya akan menambah ulasan sedikit. “Datangnya dan Perginya” itu kan pertarungan antara nilai agama atau nilai kemanusiaan. Jadi, cerita besarnya kira-kira begini. Ada seorang laki-laki yang meninggalkan keluarganya, lalu bertemu dengan perempuan. Karena meninggal istrinya, dia bertemu dengan perempuan-perempuan lain. Tapi, anaknya waktu itu masih kecil. Ketika anaknya sudah besar, dia ingin sebagai ayah ini dipanggil untuk pulang. Dia juga rindu pada anaknya. Nah, ketika sampai di rumah, anak dan menantu beserta cucunya ini tidak ada di rumah. Tetapi, ada satu perempuan. Dia tahu perempuan itu adalah perempuan yang pernah dia tidurin. Ternyata punya anak. Tapi, lacurnya, anak dari hubungannya itu menjadi menantunya atau menjadi istri dari anak kandungnya.
Nah, di situ ada dorongan sebagai seorang yang taat beragama, si laki-laki merasa harus memberi tahu bahwa hubungan itu terlarang karena mereka sedarah; satu ayah meskipun beda ibu. Tetapi, kekasihnya, atau ibu, atau besannya itu, agak membingungkan memang, ya, mertua dari anaknya itu bilang: jangan dikasih tahu, cukup kita yang menanggung dosanya. Karena kalau kamu kasih tahu, kamu merusak hubungan mereka. Kamu tidak bisa membayangkan bagaimana nasib cucu-cucumu itu, anak-anak mereka, yang mengetahui ternyata ayah ibunya bersaudara. Nah, di sini ada benturan nilai dengan sangat…, saya kira crafting-nya itu penting ya, bagaimana A.A. Navis membenturkan nilai agama dan nilai kemanusiaan.
Hal yang saya salut adalah, A.A. Navis memenangkan nilai kemanusiaan. Karena pada akhirnya si laki-laki tadi pergi dari rumah dan membiarkan menantu, anaknya, dan cucu-cucunya hidup bahagia. Kira-kira ending-nya seperti itu. Ini penting. Saya teringat pada satu ungkapan: mementingkan kepentingan manusia di atas kepentingan Tuhan. Karena sebenarnya apa sih kepentingan Tuhan? Tuhan itu nggak perlu dibela. Tuhan itu mahakuasa, sehingga yang perlu dibela adalah nilai-nilai kemanusiaan. Yang justru manusia itulah yang lemah, yang harus kita temani, yang harus kita sapa. Nah, cerpen ini saya kira bukan hanya relevan hari ini, tetapi pada 50, 40 tahun ke depan, cerpen ini tetap relevan. Itu satu. Kedua, jelas “Man Rabuka”. Yang ketiga ini agak susah pilihannya kalau pilihan cuma tiga, karena banyak ya. Yang bagus-bagus banyak. “Datangnya dan Perginya”, “Tamu Yang Datang di Hari Lebaran”, itu saya kira juga A.A. Navis sudah bisa menerobos ruang dan waktu, ya. Dalam pengertian begini, itu kan kegelisahan manusia urban, orang yang hidup berkecukupan, pejabat, tetapi kemudian di masa akhirnya merasa kosong karena ditinggal oleh anak-anaknya. Anak-anaknya sibuk dengan urusannya sendiri, sementara mereka rindu di hari lebaran yang semestinya waktu berkumpul, tidak ada yang datang. Ini problem psikologis masyarakat urban yang ditulis dengan cantik oleh A.A. Navis.
Ketika membaca itu, terus terang saya, yang ayah dari tiga anak ini, membayangkan apakah ketika tua nanti saya akan mengalami seperti tokoh utama dalam cerita itu. Agar tidak mengalami hal yang sama, apa yang harus aku lakukan? Ada permenungan atau dengan kata lain, cerpen itu setidaknya mengajak saya untuk berdialog ke dalam dan berpikir lebih jauh cara mendidik anak agar kita tidak dilupakan. Karena pada satu masa, anak saya bilang begini, “Apakah Ayah sudah nabung?”, “Loh kok, tiba-tiba kamu nanya seperti itu?” Iya, karena ketika saya besar, saya tidak mau jadi sandwich generation.”
Kebayang, anak saya baru SMP waktu itu, dan bertanya seperti itu, saya membayangkan, “Kok kurang ajar sekali anak ini?”, dalam satu sisi saya berpikir begitu. Biaya hidupnya masih saya tanggung, makannya masih saya tanggung, hidup masih seatap dengan saya. Kalau saya tidak bisa bayar listrik, dia tidak bisa main HP, kok berani-beraninya dia menggugat ayahnya. Tetapi, ada kesadaran lain yang kemudian menampar saya, ya cara berpikir orang-orang urban kira-kira begitu. Dia tidak mau menjadi… eh, mendapat beban yang sebenarnya beban itu sudah bisa diantisipasi jauh-jauh hari, gitu kan. Makanya dia bertanya, “Apakah Ayah sudah menabung?”, dan ketika saya membaca cerpen ini, saya teringat dengan pertanyaan itu, kegelisahan-kegelisahan orang urban. Saya kira itu dulu, Mbak Mimi. Semoga membantu dan menjawab.
MICHELLIA
Tiga cerpen ya tadi, Mas. “Datangnya dan Perginya”, “Man Rabuka”, “Tamu Yang Datang di Hari Lebaran”. Tadi sudah dibahas panjang sama Mas Faiq di depan. Mbak Vivi, silakan. Tiga cerpen.
AVIANTI
Yang pertama, “Maria”. Saya sangat tertarik kepada cerpen tersebut. Bukan hanya karena temanya. Jadi, cerpen ini menggambarkan tentang seorang perempuan yang sangat progresif pada saat itu dan menggambarkan keinginannya untuk memperjuangkan emansipasi perempuan, meskipun pada akhirnya dia dalam tanda kutip menyerah atau memilih lelaki yang ternyata punya kontrol kuat terhadap dia. Itu saja sudah membuat kita bertanya-tanya. kenapa kok akhirnya dia memilih lelaki itu. Tetapi, yang kedua adalah karena cerita ini dibungkus dalam sebuah latar yang meskipun sayup-sayup, tetapi ternyata sangat membekas di kepala saya, yaitu latar perang saudara. PRRI Permesta ya, pada saat itu. Itu membuat keseluruhan cerita, yang meskipun di awal ada sugesti bahwa ini akan berakhir tragis, sepanjang cerita itu kita dibikin lupa, karena ceritanya sangat ceria, enerjik, sangat hidup, vibrant gitu ya.
Tetapi, kemudian kita diingatkan lagi di akhir cerita tentang akhir yang tragis tersebut. Ini yang membuat cerita ini sangat berkesan. Tapi selain temanya, craftsmanship-nya atau kepengrajinannya juga luar biasa. Mulai dari hal yang tadi saya ceritakan, yaitu paragraf pertama yang impresif. Paragraf pertamanya itu luar biasa. Di sini dia menceritakan, saya bacakan sedikit dengan cepat:“Air batang antokan yang mengalir deras ke Samudra Hindia itu, demikian gemuruh bunyinya di tempat aku berdiri sekarang. Tak pernah berhenti mengalir sejak dari Danau Maninjau sumbernya. Pada masa PRRI, banyak orang mati dihanyutkan kedua belah pihak yang bermusuhan. Salah seorang daripadanya, Maria, temanku.”
Lalu, cerita beralih ke penggambaran Maria yang sangat hidup, sangat bersemangat, sangat enerjik. Itu yang membuat otak kita ternyata mudah sekali dipermainkan. Dari paragraf pertama yang sangat hitam, yang sangat gelap, kemudian kita didorong untuk masuk ke dalam situasi yang sangat remaja, sangat menyenangkan. Ini bisa berhasil karena cara deskripsi Navis yang sangat lincah, sangat meyakinkan. Seperti misalnya saya bacakan di sini ya, pada saat dia melihat Maria: “Kali pertama kulihat dia tergores di hatiku kata lain, di dalam tanda kutip. Kali keduanya kata lain dari yang lain. Sampai sekarang goresan itu masih kurasakan.”
Itu penceritaan yang pertama. Kemudian dia menceritakan lagi perjumpaan keduanya dengan Maria. “Kali kedua aku melihat dia, karena jangkungnya, Cok yang lebih dulu melihat dia.” Cok itu adalah temannya. “Itu dia, katanya sambil menyikut pinggangku. Dalam nanarku yang belum lenyap karena baru keluar dari bioskop yang kebanjiran penonton, […]” ini metaforanya luar biasa ya, kebanjiran penonton, “[…] aku segera maklum bahwa ada pemandangan umum sedang berita.”
Pemandangan umum ini kan sebenarnya satu hal yang kalau kita rapat, ini pemandangan umumnya apa, topik yang akan kita bahas itu apa. Tapi ini pemandangan umum digaris miring, disematkan pada kalimat yang seolah-olah menandai sesuatu yang sudah dipahami oleh semua orang. “Mataku ibarat sinar laser mencari-cari si Itu Dia. Lain dari yang lain, kataku, ketika si Itu Dia tampak, orang-orang yang berdesakan macam itik keluar kandang itu memberi jalan kepadanya seraya memelototkan mata seperti hendak lepas dari […]” Di sini kita bisa perhatikan Navis, dengan nakalnya, menggunakan ‘Itu Dia’ sebagai kata ganti dari kata ganti dia. Jadi kata ganti dia diganti lagi dengan ‘Itu Dia’. Juga, menggunakan pemandangan umum sebagai suatu hal yang dibahas dan dipahami bersama. Kita juga bisa perhatikan Navis menggambarkan bioskop yang penuh itu sebagai, tadi, “kebanjiran penonton” dan penonton yang berdesak-desakan keluar itu sebagai “sekumpulan itik yang keluar dari kandang.” Itu menurut saya sesuatu yang sangat menarik dan dengan cerdik dimainkan untuk membuat kita terlupa pada gambaran tragis yang tadi sudah ditaruh pertama, itu luar biasa. Itu yang pertama.
Yang kedua, sebenarnya sama tadi seperti yang dikatakan oleh Mas Faiq, saya juga sangat tertarik dengan “Datangnya dan Perginya”, dengan alasan-alasan yang kurang lebih sama. Ada satu lagi yaitu “Dokter dan Maut”. “Dokter dan Maut” adalah cerita tentang seorang dokter yang berhadap-hadapan dengan Maut seperti seorang teman. Itu ternyata bukan pertama kalinya dia bertemu dengan si Maut, tapi sudah yang kedua kalinya. Perlu diketahui bahwa Dokter ini adalah dokter bedah yang terkenal di kotanya. Yang pertama kalinya adalah Maut datang kepada dia ketika sedang berpraktik dan meminta untuk dibedah. Dikeluarkan satu bintik merah di hatinya yang menurut si Maut adalah benih setan. Jadi, kalau misalnya benih setan itu dibiarkan tumbuh dan tidak diambil, maka si benih setan itu akan menyebar dan membuat Maut memiliki kejahatan-kejahatan setan. Tetapi, Dokter berhasil membuangnya dan menyelamatkan si Maut dari benih setan tersebut. Dokter yang bijaksana ini pada akhirnya berhadapan-hadapan dengan Maut kembali dan dia ingat siapa si Maut ini. Tetapi, ternyata kebijaksanaan atau kebijakan atau kebaikannya ini membuat dia sombong sehingga dia mencoba bernegosiasi dengan Maut untuk menunda kematiannya.
Nah, kenapa saya bilang cerita ini menarik? Bukan saja dari kontennya, tetapi juga sebetulnya sepanjang cerita ini tuh tanpa kita sadari kita sedang berhadapan dengan satu format realisme magis yang tidak pernah diomong-omongin. Kita seolah-olah baru ketemu realisme magis pada saat membaca cerita Eka Kurniawan. Tapi, sebenarnya pada “Dokter dan Maut” itu tidak dipisahkan antara mana yang realis dan mana yang magis? Dan ini bukan cerita fantasi karena pada saat yang sama kita tahu bahwa si Dokter betul berpraktik, si Dokter ini tetap ada di dunia orang biasa seperti kita, bukan di dunia rekaan fantasi yang kita dapat seperti di Narnia. Ini tetap sebuah cerita realisme. Nah, itu tidak pernah dibahas, dan menurut saya, mudah-mudahan sesudah ini orang juga menjadi terbuka bahwa ternyata realisme magis sudah dimulai jauh pada zaman A.A. Navis dengan satu cerpen saja yang sebetulnya cukup menghentak dan menurut saya meninggalkan kesan yang mendalam atas pemahaman kita antara kehidupan, kematian atau maut dan kehidupan sesudah mati.
MICHELLIA
Jadi, “Maria”, dan “Dokter dan Maut” ya, Mbak?
AVIANTI
“Maria” dan “Dokter dan Maut”, iya.
MICHELLIA
Iya, kalau dengar dari cuplikan yang tadi Mbak Vivi sampaikan sih sangat menarik, ya. Yang pertama, “Maria” itu ada meet cute-nya/. Berkali-kali bilang, ‘Yang lain’, ‘Lain daripada yang lain’. Itu kan meet cute; bagaimana pertemuan pertama kali melihat sosok yang jadi pujaan. Jadi, ada kesan keremajaannya, padahal tadi di paragraf awal agak-agak lebih gelap dibandingkan ketika dia bilang ‘Yang lain daripada yang lain’. Lalu, yang kedua, soal “Dokter dan Maut” itu menarik. Pendapat Mbak Vivi tadi mengenai, ada satu tonggak soal realisme magis di Indonesia sebelum Eka Kurniawan. Kalau teman-teman di sini pengkaji sastra yang punya kepekaan lebih, mungkin bisa menggali lagi lebih lanjut ya, apakah sebelum Eka Kurniawan ada karya-karya serupa seperti “Dokter dan Maut” yang juga ada nada realisme magisnya. Terima kasih Mas Faiq dan Mbak Vivi.
Kebetulan juga diskusi kita hari ini selain memperingati 100 tahun A.A. Navis yang akan diberikan oleh UNESCO, nanti puncaknya bulan November. Juga, merupakan satu kerjasama antara penerbit buku Kompas dengan Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta yang sekarang sedang membuka Sayembara Kritik Sastra bertemakan “100 Tahun A.A Navis”. Mungkin di sini, sebelum saya mempersilahkan para penanya, ada beberapa pertanyaan di kolom chat. Saya akan mengundang Mas Anton Kurnia dari Komite Sastra DKJ, selaku Ketua Komsas DKJ, untuk memberikan pendapat dulu mengenai diskusi kita malam ini.
Tadi saya sudah melihat beberapa nama, ini ada Dedi Navis, ada Rika Navis, mungkin saya akan juga minta Pak Dedi untuk berpendapat mengenai diskusi kali ini. Mas Anton, apa ada dengan kita di sini? Halo? Oh, terlempar ya. Ada persoalan teknis ya… Kalau begitu mungkin saya langsung persilahkan Pak Dedi Navis dulu untuk menceritakan kepada kita terkait sosok A.A. Navis. Dari tadi Pak Dedi sudah sangat khusyuk menyimak kedua pembicara kita. Boleh berbagi Pak dengan teman-teman di sini, cerita mengenai A.A. Navis lebih jauh, mungkin lebih tentang sosok personalnya yang Bapak kenal?
DEDI NAVIS
Terima kasih, Mimi. Jumpa lagi kita, ya. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Para pakar-pakar sastra yang dirahmati Allah. Tadi saya cukup menyimak, tapi walaupun tidak dari awal sekali, karena masuknya sudah lewat sekitar lima menitan. Saya senang sekali pada dasarnya, karena yang membahas sekarang ini adalah generasi berikutnya dari A.A. Navis. Generasi para penulis-penulis yang juga seperti Mas Hilmi Faiq, Mbak Avianti Armand yang juga memberi pencerahan banyak hal. Kadang saya terperangah, analisanya sampai ke cerpen-cerpen yang belum umum dibaca orang. Dulu cerpen “Robohnya Surau Kami” cerpen “Datangnya dan Perginya”, itu sudah cukup banyak yang dibahas, tapi tentang “Dokter dan Maut” itu jarang sekali. “Maria” juga jarang sekali. Tapi, bisa masuk ke dalam jiwa para pembaca, suatu anugerah tersendiri juga lah buat Papi kami. Saya manggil ‘Papi’.
Jadi, tadi memang Mas Faiq menyebut tentang “Man Rabuka” agar dibaca. Wah, ini gawat. Itu cerpen yang bermasalah betul, sempat di-demo juga Bapak Navis di Bukit Tinggi dulu. Jadi kontroversi betul sebelum terbitnya “Robohnya Surau Kami”. Dulu kan ada di majalah… di harian “Nyata” di Bukittinggi, dulu itu dimuat para ulama di Bukittinggi. Itu pada ribut, sehingga dianggaplah cerpen itu tidak ada. Akhirnya Pak Ismet Fanany betah dia mencari, ketemu itu, cerpen yang sudah lama hilang. Hidup lagi dia oleh Mas Hilmi Faiq ini.
Mengenai Papi. Dia tidak saja sebagai seorang sastrawan, tidak saja sebagai seorang penulis, dia juga aktivis dulu. Aktivis yang cukup militan mempersoalkan masalah-masalah kemanusiaan dan kebudayaan. Pada masa muda, tahun 50-an dia sebagai pegawai negeri malah membuat surat terbuka untuk memprotes keras kepada gubernur adanya suatu acara kebudayaan tapi dikemas dengan musik modern. Nah, namanya kebudayaan tapi musik modern. Itu Papi ribut sekali sehingga membuat surat terbuka kepada gubernur dan gubernur pun marah, dan kepala jawatannya pada waktu itu memindahkan Pak Navis ke Palembang sehingga Pak Navis berhenti lah jadi pegawai negeri pada waktu itu, tidak mau dibuang ke Palembang. Itu pada umur 20-an, sekitar 25 tahun, Pak Navis berbuat demikian. Di mana-mana selalu ikut kegiatan-kegiatan, bersama teman-temannya yang lain. Baik itu teman-temannya yang orang agama, orang dari aktivis-aktivis lingkungan, aktivis perempuan, semuanya ikut campur. Mungkin karena daerahnya waktu itu di Bukittinggi, daerah yang cukup terkenal dulu sebagai ibu kota. Jadi, pemikiran-pemikiran orang di situ sangat terbuka dan kota itu sangat kecil, jadi Papi bisa saja kemana-mana dengan enak.
Itu kehidupan Papi. Dia pergi ke suatu tempat, bergaul dengan tentara, bergaul dengan polisi, bergaul dengan kalangan politisi, sepanjang hidupnya selalu begitu, sehingga karakter-karakter orang-orang yang ada dalam setiap pergaulan, Papi memahami itu. Dia pelajari semua. Saya pikir cara hidup seperti itu melahirkan cerpen-cerpen yang masuk ke berbagai macam genre. Ada persoalan kemanusiaan, ada persoalan kebudayaan, ada persoalan politik, ada persoalan hubungan antarmanusia. Saya waktu kecil, tahunya sudah besar saja, bahwa Papi itu memang orang yang suka bercanda, bergurau. Dan itu selalu membuat orang pada tertawa, bahkan juga Emak-emak. Emak-emak kalau ada berkumpul dengan Papi itu, Papi bercanda, Emak-emak itu pukul Papi. Dipukulnya punggung Papi, ah Pak Navis ini ada-ada saja. Itulah kira-kira. Itulah yang membuat Papi, saya rasa, seluruh kehidupannya adalah bagian dari cerpen-cerpen itu. Seperti di dalam PRRI kata Papi tadi.
Nah, slogan Papi memang waktu itu tidak ikut bertempur, tetapi dia aktivis. Orang yang dulu perang saudara itu ada yang pihak dari pemerintah pusat, ada yang PKI-nya, ada yang tentara dari sipil dari Sumatera Barat sendiri. Nah, perang segitiga lah pada waktu itu. Ada yang bilang Papi waktu itu berpihak kepada PKI, ada yang bilang juga kepada APRI, ada juga yang bilang berada di pihak PRRI. Nah, di sini Papi menemukan kisah-kisah macam-macam orang. Sebagian waktu perang PRRI itu Papi ada di Maninjau. Maninjau itu tempat, kebetulan karena tempat persinggahan sehingga banyak menemukan kisah-kisah orang-orang PRRI itu. Orang PKI juga ngobrol-ngobrol di sana, orang tentara APRI juga ngobrol-ngobrol di sana. Lahirlah cerita-cerita tentang PRRI yang Papi bilang tadi. Jadi, di mana Pak Papi itu berada, dia selalu merekam orang.Dia memang orang daerah, tetapi sering kemana-mana, seminar ke Jakarta, ke Malaysia, ke Bali, dan sebagainya, dan semua itu masuk ke dalam analisis-analisisnya dalam membuat cerpen. Tidak saja cerpen sebenarnya, dalam makalah-makalah juga kritis sekali. Berbagai macam makalah juga banyak. – Papi bilang begini, seorang sastrawan harus semestinya seorang intelektual. Jadi begitu. Nah, seorang intelektual harus memahami seluruh keadaan manusia. eorang sastrawan itu tidak saja menulis. Do something dong buat manusia, gitu.
Papi orangnya tidak suka diam. Sampai tuanya menjadi aktivis. Sempat jadi politisi gitu. Mbak Avianti dan yang muda-muda yang lainnya, saya pikir karena sudah bisa berkarya menulis ini, ya siap bertempur aja untuk manusia lebih banyak. Sebab seorang sastrawan bagi Papi itu adalah seorang pemikir yang selalu menganalisis apa yang dia lihat. Papi mengharapkan para pelajar-pelajar di sekolah-sekolah, memahami betul sastra itu sebagai apa, agar otaknya encer. Otaknya melihat manusia itu sesungguhnya seperti apa, sehingga bisa berbuat optimal, sehingga kalau nanti ada generasi sandwich ya, Mas Hilmi ya, mudah-mudahan tidak tercipta lagi keadaan demikian buat keseluruhan bangsa Indonesia. Itu mungkin dari saya.
MICHELLIA
Terima kasih, Pak Dedi. On point sekali, Pak. Saya senang tadi mendengar cerita Pak A.A. Navis dulu bergaul dengan berbagai kalangan ya, politisi, dan sebagainya. sehingga memang betul-betul tahu daging-dagingnya itu seperti apa, seluk-beluk ngobrol dengan para politisi. Saya juga teringat dengan beberapa penulis luar negeri, Alice Munro misalnya, yang juga selalu setiap makan malam mendengarkan cerita dari teman-teman sekitarnya dan jadi bahan cerita. Kalau kita dari tadi dengar Mas Faiq dan Mbak Vivi bercerita , kesannya seperti melihat fragmen atau potongan-potongan Balzac yang bercerita tentang kota Paris, jadi kesan kepengarangan, kepengrajinan, kalau pakai bahasanya Mbak Vivi tadi didapat dari Pak A.A. Navis. ini ya memang dengan bisa bergaul dengan berbagai kalangan, mendengarkan semua cerita, kemudian menyadapnya jadi cerita. Terima kasih, Pak Dedi. Di sini ada keluarga yang lain lagi, Pak, yang ikut dalam diskusi.
HILMI
Mbak Mimi, saya boleh tanya?
DEDI NAVIS
Ada. Ada Rika, ada Rinto juga.
MICHELLIA
Mas Faiq mau tanya ke Pak Dedi. Silakan.
HILMI
Pak Dedi, saya penasaran saja soal bacaan-bacaan Pak Navis ini. Tentu saja banyak. Tapi, saya mau tanya satu hal. Apakah Pak Navis membaca Tan Malaka?
DEDI NAVIS
Baca.
HILMI
Oh, baca, oke. Berarti dugaan saya benar. Karena ada kecenderungan di dalam logika-logikanya itu Pak Navis meninggalkan logika mistika, sehingga, alurnya terjaga dengan baik. Terima kasih. Itu saja. Nanti ulasannya kapan-kapan.
DEDI NAVIS
Kapan-kapan kita ketemu lagi. Seru. Hehehe…
MICHELLIA
Ya, kalau di cerpen “Maria” itu ada satu nama ya, ‘Fidel Castro’ muncul di akhir cerita. Kelihatan kirinya juga. Tadi Pak Dedi bilang ada anasir-anasir aktivismenya. Cuma saya juga penasaran apakah ada keterkaitan dengan kubu-kubu kebudayaan ketika itu. . Tapi, mungkin nanti dibahas di luar saja.
Kita tadi mengundang Mas Anton Kurnia sebagai Ketua Komite Sastra, tapi tadi jaringannya rupanya lumayan terganggu. Masih nge-lag. Jadi, yang akan mewakili dari Komite Sastra dan Kesenian Jakarta ada Fadjriah Nurdiarsih. Yang biasa kami panggil Mpok Iyah. Mungkin bisa menyampaikan pendapat atau bercerita tentang Sayembara Kritik Sastra bertema 100 tahun A.A. Navis.
FADJRIAH
Halo, terima kasih Mimi, atas kesempatan bagi Komite Sastra dan penerbit buku Kompas pada malam hari ini bisa mengadakan diskusi buku mengenai karya-karya lengkap dari Ali Akbar Navis. Terima kasih kepada dua pembicara, Mbak Vivi dan Mas Faiq. Kemudian ada juga dari perwakilan Pak Dedi. Kalau kita mendengarkan dari awal ternyata banyak sekali karya-karya Pak Navis yang mungkin belum banyak dikenal oleh pembaca masa kini. Yang paling terkenal memang adalah “Robohnya Surau Kami”. Tapi, kemudian dari beberapa yang tadi disebutkan, karya-karya terbaik, tiga terbaik itu, banyak sekali pengetahuan baru yang bisa kita dapat dan ternyata relevan.
Bagi para penulis pada hari ini, yang dilakukan oleh Pak Navis di luar dari karir kepengarangannya yang sangat cemerlang, yaitu bagaimana dia menggali ide dari pergaulan dengan sesama seniman di Kota Padang dan sekitarnya, dan juga karir politiknya ternyata juga bisa menjadi ilham bagi kita menulis. Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta ikut menyambut 100 tahun peringatan lahirnya A.A. Navis dengan menggelar Sayembara Kritik Sastra. Sayembara ini tadinya akan kami tutup pada sekitar tanggal 30 Agustus, akan tetapi mengingat penerbitan buku ini baru saja terjadi, kemudian jumlah pendaftar dan pengirim naskah. Masih ada selisih, artinya yang mendaftar itu belum semuanya mengirimkan karya, maka Komite Sastra memperpanjang masa pendaftaran dan penerimaan naskah hingga 14 September 2024. Jadi waktu ini, waktu yang tambahan ini, bisa dimanfaatkan untuk kembali menggali lagi tema-tema, makna-makna atau cerpen-cerpen A.A. Navis yang akhirnya bisa dituliskan menjadi sebuah karya kritik sastra. Dan kami masih menunggu sampai 14 September.
Saya mewakili Komite Sastra dan teman-teman yang lain sangat bersyukur dan berterima kasih karena ternyata peserta di ruang Zoom ini cukup banyak, ya, dan di kolom chat juga masih banyak pertanyaan. Ini menunjukkan bahwa minat terhadap karya-karya Navis dan karya Sastra Indonesia secara keseluruhan masih sangat baik. Terima kasih, Kak Mimi, teman-teman dari Penerbit Buku Kompas. dan keluarga. Semoga ke depan kita masih bisa terus melaksanakan diskusi-diskusi seperti ini lagi. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
MICHELLIA
Ya, terima kasih, Mpok Iyah, sudah mewakili Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta yang berhalangan hadir malam ini. Teman-teman di sini yang ikut diskusi Zoom, saya rasa sebagian mungkin ada juga yang sedang harap-harap cemas, mau menulis kritik soal apa tentang A.A. Navis. Tadi dapat bocoran dari kedua pembicara kita, bonus juga dari Pak Dedi. Cerpen-cerpen yang sangat menarik untuk dikupas lagi tentang A.A. Navis. Juga seperti yang Mpok Iyah bilang, di kolom chat ini ada banyak pertanyaan, dan ini bahkan ada yang tahun lahirnya, tahun meninggalnya Pak A.A. Navis. Jadi, ada beberapa pertanyaan yang tadi dalam percakapan ini terjawab pertanyaannya. Mungkin saya langsung persilakan kepada para penanya di kolom chat ini. Kalau ada yang mau open mic atau buka video. Yang pertama dari Nasef Nugraha. Apakah mau buka kamera? Atau langsung menunjukkan pertanyaan di dalam kolom chat?
NASEF NUGRAHA
Terima kasih banyak atas kesempatannya. Salam kenal, saya Nasef dari Cianjur, Jawa Barat. Izin bertanya, tadi pertanyaan kesatu dan kedua sudah dijawab. Yang saya tanyakan yang nomor tiga. A.A. Navis itu kan melewati fase pergantian pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru karena beliau sudah menulis dari tahun 1950-an. Nah, yang ingin saya tanyakan adalah, apakah A.A. Navis merekam pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru itu dalam bentuk cerpen atau setidaknya ada singgungan di dalam dunia politiknya? Apalagi tadi diperkuat oleh Bapak Dedi mengenai A.A. Navis membaca bukunya Tan Malaka. Apakah pemikiran-pemikiran politiknya terpengaruh juga dari sana? Apakah ada cerpen yang direkomendasikan khusus untuk merekam fase pergantian itu? Mungkin itu. Terima kasih. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
MICHELLIA
Ya, makasih, Mas Nasef. Pertanyaannya menarik sekali. Mungkin langsung dijawab sama Mbak Vivi dan Mas Faiq. Nanti kita akan membuka pertanyaan lagi.
AVIANTI
Saya mulai dulu, boleh, ya? Oke, justru sebetulnya peralihan kekuasaan yang paling besar itu kan terjadi pada tahun 1965-1967 ya, Orde Lama berganti dengan Orde Baru, dan di situ ada tragedi kemanusiaan yang luar biasa, sekian banyak orang dibunuh atas nama politik pertempuran idealisme. Tetapi, justru ini kalau kita teliti dari cerpen-cerpen, yang bisa kita lihat pada tahun 1964 memang ada cerpen-cerpen yang berupa kritik-kritik terhadap birokrasi seperti “Pak Menteri Mau Datang”, atau gegar budaya seperti “Orang dari Luar Negeri”, juga “Politik Warung Kopi”. Tetapi pada 1965 itu justru seperti, ini sebenarnya juga spekulasi lagi, pada 1965 itu hanya ada satu cerpen yang dihasilkan oleh Navis, dan temanya adalah tentang cinta. Jadi, sama sekali tidak bicara tentang politik di tahun 1965. Pada 1966 itu tersirat sedikit, tapi justru menyoroti kehidupan tentara pinggiran, yang ada di pinggir revolusi. Ceritanya diambil dari protagonis yang adalah orang dengan kebutuhan khusus, judulnya “Si Bangkak”, yang terpaksa menahan gairah dengan membunuh object of desire-nya. Lagi-lagi latar perang atau latar situasi politik hanya disugestikan secara samar-samar. Dan Dari 1966-’1975 tidak ada cerpen. Di sini saya justru berpendapat bahwa jangan-jangan memang sulit sekali di dalam situasi yang sangat bergolak, sangat mengancam keselamatan, di mana identitas itu bisa menjadi sangat berbahaya bagi jiwa raga dan keluarga, justru ada kekangan untuk menulis, karena kalau menulis itu kemudian bisa menjadi berbahaya. Pada tahun-tahun vakum itu kita tidak bisa tahu kecuali kalau kita bertanya atau mewawancara keluarga, yang kebetulan sekarang ada. Tapi, dari yang saya lihat, sepertinya memang ada resistensi, ada restriksi internal yang menghalangi seorang A.A. Navis untuk menyuarakan zamannya atau menyuarakan manusia seperti pada masa-masa atau zaman-zaman lain pada waktu itu. Itu yang bisa saya baca. Terima kasih.
MICHELLIA
Thank you, Mbak Vivi. Membuat kita membayangkan pergolakan ketika itu, terutama fisik dan juga batin A.A. Navis, sehingga ketika kita menceritakan periode transisi 1965-’1966 dan seterusnya kita perlu lebih hati-hati melihat seperti apa pengalaman yang ditulis oleh A.A. Navis. Mas Faiq, silakan.
HILMI
Ya, saya punya dugaan yang sama dengan Mbak Vivi bahwa pada masa-masa itu, memang kalau dilihat tahunnya, itu masa yang paling tidak produktif bagi A.A. Navis. Misalnya, tahun 1965 cuma 1 [judul], tahun 1966 [ada] 1 [judul], lalu kosong, hanya 1 judul “Jodoh”, tahun 1981 [ada] 1 [judul], baru tahun 1988 [ada] 1 [judul] juga, baru tahun 1990. Saya ada dua dugaan. Pertama adalah seperti yang dipaparkan oleh Mbak Vivi. Yang kedua, barangkali dia menulis dalam bentuk lain. Nah ini betul sekali, perlu dikonfirmasi kepada orang dekat.
Tetapi, setelah itu, itu seperti memasuki musim semi. Karena A.A. Navis kemudian produktif kembali. Tema-tema [cerpen] juga kembali seperti dulu, dalam pengertian sangat variatif. Bahkan pada tahun, kalau kita lihat catatan di sini, ada 2021, setelah 1998 tentu saja lewat. Itu kan ada tragedi lagi, itu kalau kita lihat di sini. [Tahun] 1998 itu juga tidak begitu produktif, meskipun masih tiga cerpen. Tapi, ada satu cerpen yang saya pikir ada kritismenya terhadap dunia politik atau dinamika pemerintahan, masih tajam. Misalnya, bisa kita lihat di “Kaos Kaki”. Cerpen “Kaos Kaki”ini kan bercerita tentang seorang pejabat akhirnya meninggal setelah mulutnya disumpal oleh “Kaos Kaki” berbau busuk. Ini ending yang sangat metaforik dan bisa kita terjemahkan misalnya ke sekarang itu, betapa rakyat kalau sudah muak itu, pejabat bisa dibunuh dengan kemuakan yang sudah busuk sekali itu. Satirisme-satirisme juga tetap, A.A. Navis tetap sangat vital sekali, sangat bertenaga dalam ngomongin soal satire-satire itu. Misalnya ada satire sedikit, satire di “Mak Pekok”. Itu ada dialog, saya bacakan aja ya sedikit, untuk menangkap secara lebih utuh satirismenya itu. Di “Mak Pekok” itu ada pertanyaan begini, “Sekali Mak Pekok menanyai Aku,” ‘Aku’ ini adalah tokoh utamanya, ya. “kamu sudah besar, kamu mau jadi apa? Jadi polisi? Mengapa? Supaya bisa nonton cuma-cuma, nonton sepak bola, nonton film.” Kebayang di sini, agar bisa ‘nonton cuma-cuma, nonton bola, nonton film’. Itu kan satu kalimat yang kemudian bagi kita yang mengalami realitas di Indonesia, bisa menarik jauh ke dalam pengalaman kita bahwa menjadi polisi itu sangat otoritatif dan sekaligus koruptif, bahwa kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut itu korupnya absolut juga. Sekarang, kalau kita tanya dalam kasus-kasus, taruhlah kasus Vina yang tidak ada ujungnya, itu kan karena korupsi berjejalin dengan korupsi yang lain. Kasus Ferdy Sambo itu juga, faksi-faksi di dalam kepolisian bertarung antara kelompok tambang, kelompok judi, kelompok sabu-sabu, kelompok narkoba, dan sebagainya. Nah, dari kalimat itu saja, itu akan sangat relevan untuk melihat zaman kekinian, untuk membedah fenomena sekarang yang dari cerpen yang ditulis 20, 23, atau 22 tahun yang lalu. Saya kira itu sih. Semoga sesuai dengan yang diharapkan jawaban saya.
MICHELLIA
Seru banget. Mas Nasef, apa ada pertanyaan lain?
NASEF
Ya, sudah terbayang bagaimana ketakutan tadi, ya, dalam periode tahun 1965-1966. Untuk pemikirannya Tan Malaka tadi, Mas Faiq, apakah tergambar dalam cerpen-cerpennya, Mas?
HILMI
Ya, secara tersirat, ya. Tidak secara gamblang. Tapi, saya berpikir begini. Tan Malaka itu, salah satu yang diperangi adalah logika mistika. Tan Malaka itu bilang negara ini tidak akan maju-maju kalau masih percaya pada takhayul dan sebagainya. Dengan kata lain juga, Tan Malaka mengukuhkan bahwa kita harus bersikap manusiawi juga. Di dalam cerpen-cerpen ini nilai-nilai itu sangat kental, bahwa logika mistika itu harus diketepikan, tetapi kita harus punya logika yang lurus tentang bagaimana menghargai manusia. Itu catatan atau paling tidak impresi saya secara garis besar sejauh ini setelah membaca beberapa cerpen yang ada di dalam buku ini. Begitu, Mas.
NASEF
Terima kasih banyak, Mas Faiq, Mbak Vivi.
MICHELLIA
Ya, terima kasih, Mas Nasef. Seru banget. Saya jadi tertarik untuk lanjut, “Kaos Kaki” lalu “Mak Pekok” pada periode 2021, terus tadi tahun 1965 [ada] 1 cerpen, tahun 1966 1 cerpen, terus loncat ke 1975, baru kemudian tahun 2000-an masih dengan sangat tajam seperti itu. Seru banget. Selanjutnya ini ada lagi, saya langsung undang. Eva Lestari dari Cisarua, apa bisa membuka kamera? Ini sebetulnya diskusi kita sampai 8.30, tapi kita mungkin bisa perpanjang 20 menit lagi. Mbak Eva? Mbak Eva Lestari, Cisarua, apa mau dibacakan atau mau membuka kamera?
HILMI
Ya, tapi Mbak Eva ini kayaknya sudah dijawab, Mbak. Dijawab oleh Mbak Lusi.
MICHELLIA
Ya, sudah dijawab. Tapi apakah perlu dijawab lagi oleh para pembicara? Tidak, ya?
HILMI
Kayaknya tidak.
MICHELLIA
Oke, selanjutnya ada dari Harun Maulana. Kalau Mbak Eva tadi bertanya tentang karya A.A. Navis yang paling best seller dalam percakapan di kolom chat ini, sudah dijawab oleh Mbak Lusi Berbasari, “Robohnya Surau Kami”, yang merupakan satu karya yang banyak dibicarakan mengenai A.A. Navis. Harun Maulana, apakah mau membuka kamera? Tidak, ya? Oke, saya langsung bacakan saja, ya. “Izin bertanya, sampai sekarang saya masih menduga apakah ada indikator bahwa penulis cerpen kontroversial yang berjudul “Langit Makin Mendung”, yang menggunakan nama Kipandjikusmin, itu adalah A.A. Navis?” Silahkan berspekulasi, Mas Faiq.
HILMI
Waduh, ini butuh kajian lebih mendalam. Misalnya, taruhlah kita menduga bahwa itu A.A. Navis, kan tidak bisa hanya berdasarkan kayaknya nada kritiknya sama, menggugat kemapanan berpikir tentang cara bertuhan, cara beragama. Tetapi mungkin bisa juga dari struktur kalimat, bangunan cerita atau crafting-nya, alur, penokohan dan sebagainya. Saya kebetulan tidak punya kompetensi untuk mendedah lebih jauh, apalagi dengan bahan yang sangat terbatas dan Kipandjikusmin sampai sekarang juga masih misterius. Bagi saya, tidak ada salahnya kita membiarkan Kipandjikusmin itu tetap misterius. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul, bagi saya, adalah kalau memang ketemu siapa orangnya, terus kita mau apa? Itu saja sih jawaban saya. Tidak menjawab karena saya melempar pertanyaan baru. Terima kasih.
MICHELLIA
Oke, terima kasih Mas Faiq. Mbak Vivi?
AVIANTI
Saya juga tidak tahu. Pertama, saya, terus terang, belum pernah baca “Langit Makin Mendung”, jadi belum bisa membandingkan. Meskipun kalau misalnya saya baca dan mencoba melakukan pembacaan secara dekat, mencoba membandingkan alur, ritme, kemudian diksi, dan sebagainya, tetap saja hasilnya akan cocoklogi. Kalaupun ada beberapa bukti, tetap saja kita tidak bisa mengkonfirmasi. Akhirnya juga cuma menduga-duga. Jadi, sama seperti Mas Faiq, saya tidak tahu dan belum bisa menjawab atau menambahkan apapun untuk mendukung argumen bahwa A.A .Navis adalah Kipandjikusmin. Demikian.
MICHELLIA
Ya, terima kasih, Mbak Vivi. Ini di kolom chat juga ada jawaban-jawaban rupanya atas pertanyaan itu ya, dari Mbak Lusi Berbasari. Dia berpendapat bahwa A.A. Navis tidak pernah menggunakan nama samaran. Jadi, tampaknya tidak mungkin Kipandjikusmin itu adalah A.A. Navis. Nanti mungkin kita bisa tanya Pak Dedi lagi, ya, untuk mengkonfirmasi. Banyak tanggapan-tanggapan teman-teman sedari tadi. Di kolom chat ada juga dari Teguh Affandi. Ini hanya pendapat, tapi apakah Teguh mau menyampaikannya? Buka kamera atau tidak? Halo, Teguh.
Teguh juga cerpenis hari ini. Saya bacakan pendapatnya Teguh: “bahwa tema lain soal bentang dan kerusakan alam juga didedah sangat apik oleh A.A. Navis di “Kemarau”. Pada masa itu dia sudah begitu peduli pada isu lingkungan.” Mas Faiq atau Mbak Vivi atau Pak Dedi, apakah mau memberikan tanggapan mengenai isu lingkungan hidup yang dibahas oleh A.A. Navis dalam karya ini? Pertama, dari tadi kita membahas soal bagaimana politik hari ini masih relevan ketika kita baca cerpen 20 tahun lalu, 40 tahun lalu, dari A.A. Navis. Bagaimana dengan isu lingkungan hidup yang memang hari ini juga banyak dibicarakan dan A.A. Navis sudah menulisnya dalam “Kemarau”.
AVIANTI
Mas Faiq saja. Sayang sekali saya belum membaca yang “Kemarau”.
MICHELLIA
Karena novel ya kalau tidak salah.
HILMI
Saya baca tapi belum sampai tuntas yang “Kemarau”, tapi saya punya utang sama Mas Teguh, dan mungkin di forum ini nanti utangnya saya akan tebus ke Mas Teguh untuk diskusi lebih jauh tentang “Kemarau”. Yang menjadi concern saya setelah mendapat pertanyaan itu adalah betapa beragam tema-tema yang Navis tampilkan di cerpen-cerpennya, mulai dari feminisme, lalu bahkan orientasi seks yang berbeda itu pun, dia sudah berani. Saya tidak heran kalau kemudian masalah lingkungan juga diangkat. Di cerpen yang judulnya “Perempuan Itu Bernama Lara” kan bicara tentang orientasi seksual yang berbeda. Seorang tentara yang punya orientasi seksual yang berbeda, pada saat yang sama, A.A. Navis juga menggambarkan perempuan yang independen. Dia berani melawan terhadap suaminya yang ternyata tidak suka perempuan, dan dia lari.
Lalu, pemberontakan yang lebih nyata di sini, saya kira, juga pemberontakan kultural, ditanya perempuan itu ketika ketemu dengan tentara yang dulu menemaninya, kamu sekarang kerja apa? Saya kerja dagang. Dagang apa? Dagang apa lagi kalau bukan terlanjur dari dulu? Aku dagang diriku sendiri. Ini sebuah statement yang sangat kuat, bahwa seseorang itu harus berani mengakui siapa dirinya. Dan berani bersikap karena itu sudah pilihan. Nah, ini cerpen kalau mau digugat, kayaknya Pak Navis itu berpikir, saya dulu pernah digugat lebih parah daripada kasus ini. Jadi, kalau tarafnya hanya digugat soal ada orang yang men-declare berani jual diri, ya itu sih enteng lah. Jadi, secara mental dia lebih kuat. Nah, dengan kata lain, terpaan-terpaan atau resistensi sebagian orang terhadap karya-karya Pak Navis itu membentuk pribadi yang jauh lebih kuat di kemudian hari dan makin berani untuk menyuarakan apa yang menggelisahkan dia.
Merespon pertanyaan Mas Teguh, saya tarik kepada tema yang lain yang mungkin lebih sensitif, termasuk di cerita soal ‘Nurul’ tentang perempuan yang men-deny atau menolak dirinya sebagai perempuan, tetapi kemudian dia akhirnya hamil punya anak. Anaknya ditelantarkan, tapi di kemudian hari dia mengakui bahwa memang takdirnya [adalah] sebagai perempuan. Ini juga sebuah dinamika psikologis yang menarik yang kalau kita telaah lebih jauh sekarang ini mungkin itu adalah teman kita, mungkin itu adik kita, mungkin itu adalah bibi kita atau tetangga kita atau kenalan kita. Jadi, tokoh-tokoh di dalam cerita cerpen-cerpen Pak Navis ini sangat manusiawi dan sangat ada di dunia yang sebenarnya.
MICHELLIA
Ya, makasih Mas Faiq. Mbak Vivi, ada tidak?
AVIANTI
Saya cuma mau menambahkan sedikit saja dari tadi yang dikatakan oleh Mas Faiq, yaitu mengenai, ini yang saya sangat kagum, mengenai nyali. Maksudnya, pada saat itu, dengan dua cerpen yang dalam tanda kutip bermasalah saja, itu sudah cukup merepotkan mestinya buat karir kepenulisan Pak A.A. Navis. Tetapi, itu tidak menyurutkannya untuk mengambil tema-tema lain yang sama sensitifnya untuk dikemukakan dan disuarakan, seperti misalnya kritik terhadap birokrasi, terhadap feodalisme, kerusakan lingkungan, terhadap hukum adat, terhadap nilai-nilai yang bertentangan dengan kemanusiaan. Ada satu kalimat yang menurut saya bagus sekali yang dijadikan kalimat—mungkin bisa dikatakan—penutup oleh Pak Ismet Fanany. Mungkin ini juga satu alasan kenapa Pak Navis lepas dari tema-tema sensitif yang dia sampaikan, dan dengan tetap berani dia suarakan, mungkin karena dia merasa bahwa dia memang bisa menjadi pelantang atau penyampai hal-hal yang tidak bisa disampaikan oleh orang lain. Sebentar, saya tadi sudah nyatet cuma kok kelewat. Sebentar…
MICHELLIA
Menarik ya, kalau kita menimbang konteks zaman itu, dia menjadi pelantang, sementara sekarang ini kayak sebagian besar orang menjadi kompromis.ya.
AVIANTI
Apa yang disampaikan oleh Pak Ismet Fanany itu kurang lebih kalimatnya seperti ini: “bahwa Pak A.A. Navis ini seperti pemancar radio yang menjangkau radio penerima atau gelombang penerima yang sudah ada di dalam hati setiap orang”, Jadi, menurut saya itu satu kalimat yang sangat menyentuh dan mewakili apa yang sebetulnya dilakukan oleh Pak Navis.
MICHELLIA
Menarik. Satu pelantang, pendapat dari Ismet Fanany tadi. Ini rupanya yang sedari tadi membalas di kolom komentar, Lusi Berbasari, tadi ada komentar dari Rinto Navis, adalah putri A.A. Navis, anak kedua. Mungkin boleh saya undang, ya, Mbak Lusi Berbasari untuk bicara seperti Pak Dedi Navis sebelumnya. Terutama untuk pendapatnya soal Kipandjikusmin tadi, bahwa Pak A.A. Navis ini tidak pakai nama samaran. Di sini juga ada tanggapan lagi dari penanya sebelumnya bahwa masih mungkin sebetulnya menurut Harun Maulana karena pada periode itu semua orang pakai nama samaran, kayak Iwan Simatupang nulis “Kooong” itu. Menurut Haji Prof. Sidi begitu. Mbak Lusi Berbasari ada? Ya, silakan, Mbak Lusi.
LUSI
Ya, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Salam kenal semuanya. Terima kasih gagasan yang sangat bagus tentang membaca kembali A.A. Navis dan karya-karya beliau yang rasanya sampai saat ini masih menyentuh segala lapisan masyarakat. Itu adik saya, Dedi Andika, langsung di bawah saya, itu paham betul bagaimana sejarahnya almarhum Papi dengan karya-karyanya. Dedi juga lagi mengumpulkan semua karya Papi, tidak hanya dalam bentuk cerpen, novel, juga karya-karya lain yang masih tersimpan rapi di perpustakaan keluarga. Terima kasih semuanya atas apresiasinya terhadap Papi kami. Saya speechless ya, tidak bisa ngomong.
MICHELLIA
Kami juga senang sekali ini membaca komentar-komentar Bu Lusi di sini.
LUSI
Iya, terharu. Sangat terharu. Terima kasih. Terima kasih. Demikian. Wabilahitaufik walhidayah. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
MICHELLIA
Terima kasih, Bu Lusi. Ini hangat sekali rasanya. Saya membaca di kolom chat ini Bu Lusi memberikan tanggapan, jawaban ke teman-teman yang bertanya di sini. Membantu para narasumber kita di sini.
LUSI
Maaf, kalau salah ya.
MICHELLIA
Sangat-sangat hidup. Sangat-sangat vibrant, kalau istilahnya Mbak Vivi. Dalam diskusi di kolom chat ini ada tanggapan Atta Satriawan juga mengenai kiprah Pak Navis, rata-rata ini sangat terpantik oleh karya-karya Pak Navis, dan kehadiran para keluarga di sini memberikan semangat lebih bagi mereka untuk membaca lebih lanjut karya-karya Pak Navis. Saya mungkin lanjut langsung ke Antonius Aji. Apa mau membuka kamera karena ini pertanyaan? Ya. Silakan. Antonius Aji.
ANTONIUS
Terima kasih, Mbak Dewi. Saya Antonius dari Bandung. Pertanyaan saya itu sudah saya tuliskan di chat. Saya tidak banyak membaca karya A.A. Navis, tapi saya punya kesan yang sangat dalam tentang tulisan A.A.Navis, meskipun saya tidak membaca banyak. Sudah saya tuliskan di chat, antara lain bisa dibacakan di situ. Nanti kalau ada kekurangan, boleh saya tambahkan. Terima kasih.
MICHELLIA
Baik, saya bacakan. Terima kasih Pak Antonius sudah menyimak sedari tadi. Oke. Saya hanya baca sedikit dari Navis. Salah satunya dari sedikit itu adalah “Robohnya Surau Kami”. Saya memiliki kesan bahwa A.A. Navis memahami betul masyarakat yang melingkupinya dan ideologi apa yang dianutnya. Satu hal yang sangat menarik bagi saya adalah A.A. Navis mampu mengambil jarak dari masyarakat yang melingkupinya dan ideologi agamanya, sehingga beliau bisa berpikir kritis dan kekritisannya itu dituangkan dalam cerpen “Robohnya Surau Kami”. Di sini dia mengkritik perilaku beragama sebagian orang dalam masyarakatnya. Baginya beragama mesti sampai pada intinya yaitu Tuhan dengan mengutamakan kemanusiaan. Bukan sekadar menjalankan ritual agama. A.A. Navis tidak mempertentangkan agama dengan kemanusiaan, tapi dengan beragama orang harus sampai pada Tuhan melalui sikap dan perilaku kemanusiaannya. Bagaimana tanggapan para narasumber? Walaupun tadi Mbak Vivi dan Mas Faiq sudah sedikit di depan membahas soal “Robohnya Surau Kami”. Apakah lagi ada pantikan-pantikan soal religiusitas dalam karya A.A. Navis ini?
HILMI
Ya, saya di awal tadi sih juga mengedepankan itu, ya, bahwa pada akhirnya A.A. Navis itu memenangkan kemanusiaan. Jadi, ada keseimbangan. Artinya, beginilah, kalau di dalam Islam, dan saya meyakini Pak A.A. Navis sangat paham itu, misalnya mendirikan salat, itu yang dimaksud bukan hanya rukuh, bukan hanya sujud, bukan hanya tahiyat, bukan hanya membaca bacaan-bacaan di dalam salat itu. Tetapi, mendirikan salat itu adalah menjalankan di dalam kehidupan sehari-hari nilai-nilai dari salat. Makanya di situ mendirikan salat, bukan menjalankan salat. Nilai-nilai yang ada di dalam salat itu harus ditegakkan. Misalnya, ketika terakhir salam kanan ke kiri itu artinya kita harus peduli kepada sesama. Nah, nilai-nilai itulah yang kemudian diterjemahkan oleh A.A. Navis dalam “Robohnya Surau Kami”, kemudian dalam “Kaos Kaki”, dalam “Tamu yang Datang di Hari Lebaran”, di dalam “Ibu”, di dalam “Jodoh”, dan sebagainya. Di sana terbentang luas sekali nilai-nilai kemanusiaan tanpa meninggalkan nilai ketuhanan. Dengan kata lain, A.A. Navis ingin mengetengahkan bahwa hubungan antarmanusia harus seimbang dengan hubungan manusia dengan Tuhan. Hablum minannas dan hablum minallah itu harus seimbang. Nah, pada titik keseimbangan itulah sebenarnya seseorang sudah menemukan jati dirinya sebagai manusia sekaligus sebagai hamba. Menemukan jati dirinya bertuhan sekaligus bermanusia. Nah, saya kira nilai-nilai itu tersebar berserak dan mudah sekali kita temukan di dalam cerpen-cerpen ini. Misalnya, kalau mau nyebut satu contoh di luar yang sudah-sudah tadi adalah, saya akan mengambil satu contoh cerpen, “Mak Pekok”, misalnya. Mak Pekok itu bercerita tentang orang yang hidup sendirian. Kemudian dia meninggal dan tidak ada yang tahu. Ini kan sekilas seperti pengabaian. Tetapi di situ ada kalimat, “Kalau dia dibiarkan mati dan tidak tahu atau dibiarkan kelaparan,” ada kalimat yang mengugat begini, “bagaimana kita bisa mengaku sebagai orang yang beragama? Bagaimana kita bisa mengaku sebagai orang yang bertuhan?” Itu sebuah gugatan yang saya kira akan menyadarkan banyak orang ketika dia mengaku cukup saleh, mengaku cukup beragama dengan baik. Begitu jawaban saya. Terima kasih.
HILMI
Ya, terima kasih Mas Faiq.
AVIANTI
Mungkin cuma mau menambahkan sedikit, ya. Hal yang membedakan A.A. Navis dengan penulis Disney yang happily ever after adalah ketika kita, pembaca, sudah menarik sebuah kesimpulan bahwa hubungan antarmanusia itu ternyata sesuatu hal yang penting untuk diperhatikan juga, bukan cuma sekedar hubungan ke yang atas, sebenarnya di dalam cerpen-cerpennya itu A.A. Navis tidak pernah membuat satu kesimpulan. Maksudnya kesimpulan yang seperti ‘kita kayak dibukain pintu, ini lo masuk apa enggak?’. Tapi, dia cuma mau buka pintu. Karena sebetulnya, kalau kita perhatikan di cerpen “Robohnya Surau Kami”, Kakek garin itu bunuh diri. Itu menggambarkan satu goncangan. Buat yang belum baca, ini sorry ya, ini spoiler alert. Tapi, itu menggambarkan satu goncangan kejiwaan yang apakah betul kita bisa menutup itu dengan sebuah kesimpulan bahwa hubungan antarmanusia itu lebih penting atau harus diperhatikan juga di samping hubungan ke atas? Satu itu.
Kedua gambaran-gambaran bahwa sesudahnya surau itu berangsur-angsur rusak, tidak ada yang menjaga. Itu mau ngomong soal apa? Anak-anak kecil yang berlarian di situ, kayu-kayu surau yang dipreteli oleh ibu-ibu untuk kayu bakar memasak makanan sehari-hari, itu akan kita artikan apa? Jadi, banyak sekali sebetulnya lapisan-lapisan simbol yang, kalau kita mau baca lagi, mau kita dedah lagi, masih bisa bicara banyak hal. Itu kayak minyak wangi, lapisan paling atas, hablum minannas, misalnya, lapisan kedua, baru tercium sesudah setengah jam pertama, lalu lapisan ketiga. Jadi, rasanya ada banyak dimensi yang sebetulnya kita bisa baca lagi.
Di situ kehebatannya. Bahkan, di “Man Rabuka” yang orang dengan seketika langsung bilang bahwa ini zaman sekarang sudah pasti kena tuntutan pelecehan agama. Dalam “Man Rabuka” itu ending-nya apa? Ending-nya kan aku-lirik, atau si pencerita, akhirnya menjadi orang yang gamang, tidak tahu bagaimana menghadapi situasi membingungkan dari sebuah realita di mana adiknya, yang menyampaikan cerita berbingkai di dalam cerita ini, si Raman, yang konon adalah pejuang, tidak jelas makamnya. Seorang pejuang yang sama sekali tidak dihargai, mati menderita. Lalu, bagaimana mengukur nilai manusia di dalam kehidupan ini? Kalau tadi kita bilang bahwa perhatian terhadap manusia itu harus sama besarnya dengan perhatian kepada yang di atas. Jadi, dengan sengaja dan, menurut saya sih, dengan sangat cerdik memang A.A. Navis meninggalkan bagian akhir dari ceritanya ke dalam lapis demi lapis simbol, makna yang masih terbuka untuk pembacaan lebih jauh. Itu kalau saya boleh mencoba menelaah dari dua cerita itu. Demikian, terima kasih.
MICHELLIA
Ya, soal detail ya, Mbak Vivi, yang perlu diperhatikan. Ini mengingatkan saya ke status Facebook A. S. Laksana, soal bagaimana pencerita yang baik itu ya bercerita dengan detail, lebih rinci lagi, satu paragraf panjang mengenai satu peristiwa saja.
Oke, karena waktu kita yang sangat terbatas, ini sudah penghujung akhir, mungkin saya hanya akan membacakan dua pertanyaan lagi ini menjadi satu. Pertanyaan dari Nasef Nugraha lagi lanjut mengenai apakah kemudian ketika menuliskan tema yang sensitif seperti ini, ada kekhawatiran untuk saat ini terutama rawan ditarik ke isu penodaan agama. Jadi, cerita-cerita kayak gini mungkin akan membuat orang-orang lebih sensitif lagi. Terus ada juga pertanyaan dari Munif, yaitu mungkin lebih ke siapa pengarang yang sezaman dengan Pak Navis yang juga menulis dengan gaya satire atau beririsan dengan tema-tema yang dibahas Pak Navis ketika itu.
AVIANTI
Saya boleh jawab yang pertama tadi, ya, yang penodaan agama. Kalau jauh dari tahun pemilu sebenarnya aman. Atau, jauh dari tahun pemilihan pemimpin daerah sebenarnya lumayan aman. Karena biasanya isu-isu penodaan agama itu tidak cukup kuat untuk menggerakkan massa atau untuk menggerakkan roda-roda hukum apabila dia tidak dicantolkan pada kepentingan yang lain. Tapi, begitu dia dicantolkan kepentingan yang lain itu sudah kayak api disiram bensin, tetapi sejauh dia berdiri sendiri sebagai satu isu biasanya dengan mudah, bukan dengan mudah sih, tapi tidak akan berdampak besar. Tapi ini pendapat saya, ya, kalau melihat beberapa kasus ke belakang, kejadian-kejadian yang mendapat label penodaan agama itu biasanya memang dicantolkan pada momen-momen kritis. Ada pergerakan-pergerakan politik.
MICHELLIA
Terima kasih, Mbak Vivi. Mas Faiq?
HILMI
Ya, saya setuju dengan Mbak Vivi bahwa pelaporan atau isu-isu penodaan agama itu sebenarnya adalah politisasi, ya. Bisanya ditunggangi di masa-masa tertentu. Dengan kata lain, kalau kita ingin menulis isu-isu yang kita anggap sensitif, tetapi itu perlu disuarakan, kita harus bisa menakar atau membaca batin suasana saat itu. Itu yang pertama. Yang kedua, kan itu juga sangat tergantung dari kelihaian kita, ya. Kalau kita memakai metafornya pas, dengan bahasa-bahasa yang pas, saya kira kita sangat mudah sekali terhindar dari tuduhan penodaan agama. Jadi kita bisa mengukur itu, kita bisa menguji sendiri kalau pakai kalimat seperti ini kira-kira dari mana dia bisa diserang. Kalau pakai plot seperti ini dari mana dia bisa dihantam. Itu bisa diukur dari situ. Artinya kita juga harus punya kemampuan atau punya jurus-jurus yang cukup memadai untuk menampung gagasan yang satire, ya itu tadi, yang menggugah, yang kemudian di tepi jurang, pijakan kita harus kokoh. Karena jangankan di tepi jurang, bahkan isu-isu yang kita berada di tengah lapangan, kalau kita tidak kokoh kuda-kuda, kita juga bisa ambruk. Tapi, kalau di tepi jurang, kalau kuda-kuda kita kokoh, kita tidak akan jatuh. Itu sih, Mbak.
MICHELLIA
Kalau nama, nama pengarang yang sezaman. Nama pengarang sezaman, yang mirip karakternya?
HILMI
Nama sezaman… hmm… yang mirip karakternya, ya. Agak susah. Dia sezaman dengan Pram, ya. Sezaman dengan Chairil Anwar. Mungkin perlu dilihat juga satirenya memang pada wilayah yang agak berbeda meskipun isunya bisa jadi sama. Selain itu, kan ada Taufik Ismail saya kira juga pernah hidup di masa yang sama dengan A.A. Navis. Selain itu, coba saya ingat-ingat ya. Semoga ingatan saya yang terbatas ini cukup bisa membantu. Idrus saya kira juga iya ada. Sitor Situmorang juga saya kira hidup pada masa-masa kejayaan A.A. Navis. Dari situ kayaknya ini perlu dibuat kajian tersendiri nih Mbak Mimi, untuk membandingkan karya-karya mereka, apakah punya garis-garis yang sama terhadap gugatan terhadap fenomena sosial atau satirismenya dan lain-lain. Kebetulan, saya mohon maaf, saya tidak punya cukup bahan dan saya kira waktunya juga tidak cukup kalau harus menyandingkan kata-kata mereka itu. Tapi, sekedar untuk pop-up nama-nama, saya kira nama-nama mereka lah yang hidup sezaman dengan A.A. Navis. Terima kasih.
MICHELLIA
Terima kasih, Mas Faiq, Mbak Vivi. Jadi, kalau tadi Mas Munif mau membahas mengenai sastra sezaman dengan A.A. Navis secara komparatif, ada beberapa nama tadi yang sudah ditawarkan oleh Mas Faiq. Karena waktu kita yang terbatas, jadi mungkin kita perlu akhiri acara ini. Jadi dari sini, dari diskusi ini, kita sudah banyak informasi dari para narasumber. Ya, bahwa nama besar A.A. Navis ini dalam jagad kepenulisan sastra Indonesia tidak perlu diragukan lagi.
Karyanya yang terbit Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis ini, yang dicetak ulang oleh penerbit buku Kompas adalah satu bentuk penghargaan terhadap salah satu tokoh Indonesia yang punya nama besar dan akan terus dan perlu kita baca, perlu kita kaji dari berbagai dimensinya. Tadi kita sudah bahas bagaimana konteks zamannya, bagaimana kemudian tadi di akhir juga kita bahas pengarang-pengarang yang hidup sezaman dengannya, yang bisa kita bandingkan suaranya, temanya, teknik berceritanya, dan juga sampai siapa pengarang-pengarang hari ini yang mendapatkan pengaruh juga dari A.A. Navis.
Kita mungkin perlu berbicara, berbincang dengan Febi Indirani, Raudal Tanjung Banua, atau tadi Damhuri Muhammad. Terima kasih sekali lagi untuk para pembicara. Terima kasih juga kepada narasumber hari ini, Mas Hilmi dari Kompas, dan juga Mbak Vivi dari situs kritik tengara.id, dan juga penulis Sastra Indonesia hari ini. Terima kasih juga kepada keluarga A.A. Navis, Mbak Lusi Berbasari, Pak Dedi Navis, dan juga keluarga Rinto Navis, tadi ada banyak nama yang terlibat dalam diskusi hari ini. Terima kasih buat para teman-teman yang hadir, dan juga teman-teman Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta dan penerbit buku Kompas.
Selamat malam. Semoga kita akan terus membaca karya A.A. Navis dan mendiskusikannya seperti ini, dan berlanjut ke tema-tema berikutnya. Terima kasih selalu.
*) Kata “Satir” di sini memang sesuai dengan judul acara.

tengara.id
tengara.id adalah upaya strategis untuk meningkatkan kualitas karya sastra Indonesia melalui pembacaan, pembedahan, dan penilaian yang dilakukan dengan landasan argumen dan teori yang bermutu.