Tinjauan Materialisme Kultural dan Wacana Kekuasaan
dalam Relasi Pelik Sosok-sosok Rekaan A.A. Navis

Foto oleh Gregory Jasson

Ada satu sosok yang diceritakan seluk-beluknya. Ia tampil tersorot, satu-satunya.  Sementara apa yang melingkupinya sebatas latar, sebatas suara kerumunan. Bila ia berada di  atas panggung, seolah-olah hanya ia yang menjadi pelakon tunggal. Ia bisa seorang yang berjarak dengan pembaca. Segala seluk-beluknya diwartakan oleh narator ketiga dengan nada  narasi yang__katakanlah__seperti mendengar sang empu cerita sedang mendongeng di  hadapan puluhan mata di bawah pohon beringin atau pada malam api unggun. Tapi terkadang  pewarta itu menjelma “Aku”. “Aku” yang dengan kerendahan hati memilih berada di pinggir,  mempersilahkan “sang sosok” berdiri paling depan dengan segala atribut yang menjadi corak khasnya. Sosok ini sedemikian rupa menghadirkan dirinya dengan kecenderungan membawa satu masalah yang menjadi titik pusat. Tak begitu kita temukan cabang-cabang yang  memungkinkan penceritaan perihal sosok itu meluber ke arah lain. Bagaikan menempuh satu  jalan lurus. Segala tebaran pemandangan yang ada di kanan dan kiri tak dihiraukannya. Kita pun, pembaca, turut merasakan hal yang sama, terhanyut pada tuturan tunggal itu. Sampai kemudian ketika kita masuk pada pembacaan yang kedua, ketiga, dan pembacaan ulang  berikutnya, baru timbul kesadaran di manakah si “Aku” tadi? Siapa “Aku” dalam cerita ini?  Apa hubungan “Aku” dengan “sosok” tersebut? Mengapa ia muncul sesaat untuk selanjutnya  tak lagi dapat diterka keberadaannya? Apa fungsinya si “aku” tiba-tiba masuk ke dalam  narasi perihal “sosok” lalu tak meninggalkan peran yang bisa diingat? Padahal ia mengucap  sebagai “Aku”, yang berarti ia personal, yang mestinya ada ke-diri-an di sana. Tetapi “diri”  ini justru tak teraba. Tak ubahnya bayangan yang sekadar melintas.

Barangkali pembukaan di atas terkesan dipenuhi nada kesamaran yang  menyembunyikan “maksud” sesungguhnya. Menghindari kegamangan lebih lanjut, maka langsung saja saya katakan bahwa ungkapan panjang di atas adalah kesan yang melekat  begitu rupa dalam benak saya selama membaca karya-karya A.A. Navis. Dari kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami (cetakan ke 16, 2010), Hujan Panas dan Kabut Musim (1990),  Bertanya Kerbau pada Pedati (2002) Kabut Negeri si Dali (2001), hingga Jodoh (1999).  Dalam penilaian saya, kecenderungan yang selalu tampak pada karya-karya tersebut adalah  munculnya satu sosok yang tak ubahnya berperan sebagai kompas cerita. Kita mengenal  sosok itu sebagai Kakek dan Haji Saleh dalam cerpen “Robohnya Surau Kami”.[1] Ada sosok  Ompi dalam cerpenAnak Kebanggaan”. Dalam cerpen “Topi Helm” ada sosok Pak Kari yang  tindak-tanduknya terhadap obsesi kepemilikan topi helm warisan mantan bosnya sulit dipercaya akal sehat. Lalu ada sosok “Dali” dalam setiap cerpen yang ada di buku Kabut  Negeri si Dali.[2] Posisi Dali agak membingungkan apakah ia adalah satu sosok yang sama  dengan Dali-Dali lainnya atau Dali hanya sekadar “nama” untuk menyiasati berbagai rupa sosok-sosok. Sebab pertama, sosok-sosok itu perlu perantara untuk menyatakan bahwa dunia  yang tersaji (barangkali) merupakan dunia yang dekat dengan dunia si pemilik point of view. Sebab kedua, seringkali juga ditemukan Dali hanya tampil sebagai pendamping dalam dunia sosok lain seperti yang tampak dalam cerpen “Si Bangkak”, “Penumpang Kelas Tiga”, “Rekayasa  Sejarah si Patai”. Setelah narasi panjang tentang kehidupan Bangkak (“Si Bangkak”), sesudah  tersiar kemelut hidup saudara kembar Nuan dan Nain (“Penumpang Kelas Tiga”), usai habisnya riwayat si Patai (“Rekayasa Sejarah si Patai”), Dali tiba-tiba muncul di antara  ketiganya sekadar melintas lewat, memberi satu-dua komentar, atau ingar-bingar yang  sebentar, lalu lekas diakhiri dengan penutupan yang terburu-buru.

Kehadiran Dali yang seakan tersaruk-saruk dalam rimba dunia sosok lain senada  dengan timbul-tenggelamnya “Aku” dalam cerpen-cerpen yang terkumpul di buku Robohnya  Surau Kami. Siapa “Aku” yang mengunjungi Kakek (“Robohnya Surau Kami”)? Siapa “Aku” yang tiba-tiba muncul di pertengahan cerita dengan maksud ingin melipur hati si Ompi (“Anak  Kebanggaan”)?

Kita tak memperoleh jalan untuk menalikan diri dengan “Aku” maupun si Dali sebagai pribadi sebab selain kehadiran mereka timbul-tenggelam, mereka seperti tak  ingin turut membenahi ruang yang telanjur dipenuhi oleh kedramatisan kisah sosok lain. Karena itulah mereka tak benderang menampakkan diri.

Berbicara tentang “sosok” dalam cerita, ingatlah pula bahwa yang menulis cerita-cerita ini adalah “sosok” yang punya kehidupan khas juga, tak kalah hebat dengan sepak  terjang “sosok” dalam karangan-karangannya. Dalam tulisan pengantar di buku Otobiografi A.A. Navis: Satiris dan Suara Kritis dari Daerah,  ia, A.A. Navis, terkenal dengan julukan “pencemooh kelas wahid”. Ada pula sebutan yang lebih canggih “intelektual par excellence”. Julukan-julukan yang terpatri hingga akhir hayatnya. Tentu sematan julukan itu tak lahir dari ruang kosong. Julukan itu tak ubahnya “ringkasan” dari perjalanan panjang nan berliku yang  telah ditempuhnya serta keluasan bidang yang digelutinya. Dari seorang yang merambah  bermacam rupa kesenian: sebagai pematung, pelukis, pemusik, penulis. Lalu memilih jalur sebagai birokrat, melewati hari-hari sebagai pegawai negeri dengan banyak intrik yang hampir membuat sakit  jiwa. Meski begitu, rupanya ia masih memiliki tenaga yang meluap-luap, kepedulian terhadap  orang banyak. Ia pun terjun ke peristiwa-peristiwa sosial. Di persimpangan jalan yang seringkali membuat lengan baju harus disingsingkan, ia mengambil peran sebagai pemrakarsa hingga menjadi anggota dewan. Peran itu bersinggungan dengan orang-orang bermacam latar  belakang. Salah satunya ketika ia sampai bisa bertamu ke rumah Jenderal Widodo yang disegani, bersama sastrawan Nasjah Djamin yang kala itu menemani. Keleluasaan ruang gerak  yang masih bersatu padu dengan geliat intelektual di mana “sang pencemooh” menyampaikan pemikirannya melalui tampil sebagai pemakalah, penceramah, dan tentu saja  sastrawan. Singkatnya, bila dihubungkan dengan unsur elit tradisional Minangkabau, A.A.  Navis menduduki posisi sebagai cadiak pandai. Posisi ini menempatkannya sebagai seseorang yang perlu didengar saran dan kritiknya. Tak jarang mesti berhadapan dengan  “sosok-sosok”, yang balik menentang, mengkritik, membenci, meski tak sedikit pula yang memberi dukungan.[3]

Kepedulian terhadap kepentingan orang banyak ini seperti memposisikan si “Aku”  berada di pinggir, menempatkan kepentingan pribadi si “Aku” tak lebih terang dengan  kepentingan “sosok-sosok”. Seperti juga “Dali” yang sering hanya sebagai pengantar bagi dunia sosok-sosok di sekitarnya. Begitu pula situasi mirip ini kita temukan pada  kehidupan pengarangnya, A.A. Navis. Ia selalu mendahulukan kepentingan orang banyak di atas kepentingan diri sendiri.

Kegandrungan menampilkan “sosok-sosok” dalam karangan-karangannya, saya kira  tentu tak lepas dari pengalaman empiris A.A. Navis mencermati setiap “sosok” dari  bermacam latar belakang yang dihadapinya. Pergaulan yang luas, bersentuhan dengan otoritas yang heterogen, melibatkan banyak relasi dengan kekusutan wacana di baliknya, hingga timbullah kecenderungan perhatian pada satu masalah, satu topik menyita kesadaran. Ambillah kecenderungan perhatian yang paling terang melekat berkaitan langsung dengan lingkungan masyarakat Minangkabau tempatnya hidup, yakni kehidupan beragama masyarakat Islam. Kecenderungan perhatian pada situasi kondisi kehidupan beragama masyarakat Islam Minangkabau ini dengan segera mengingatkan kita akan cerpen A.A. Navis  yang terkenal “Robohnya Surau Kami” (1955) serta konflik antara aturan agama dengan nilai  kemanusiaan dalam cerpen “Datangnya dan Perginya” (1955).

Saya akan mengurai satu per satu perihal dua cerpen tersebut dengan kehati-hatian  yang barangkali akan menguji kesabaran sidang pembaca. Kehati-hatian ini diperlukan untuk  menjabarkannya secara rinci. Dalam kehati-hatian itu tentu tak bisa diharapkan berlangsungnya narasi dengan nada yang langsung memberi “pukulan telak” atau sentakan cepat yang menjurus ke kesimpulan. Maka kiranya ia memilih jalur lapang agar lebih leluasa  melayari berbagai rupa kemungkinan dari pendekatan pembacaan yang coba diterapkan.

Dalam cerpen “Robohnya Surau Kami”, melalui narator “Aku” kita disuguhkan pemandangan  surau yang hampir roboh. Surau itu dulunya dijaga oleh seorang Kakek yang bekerja sebagai  pengasah pisau. Anehnya, dibandingkan sebagai garin, ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Hingga pada suatu hari narator “Aku” menemui Kakek. Dilihatnya Kakek bermuram  durja. Muram wajah dan suasana hati tak menentu si Kakek ternyata disebabkan oleh cerita  yang disampaikan Ajo Sidi perihal Haji Saleh beserta orang-orang saleh lainnya yang  dimasukkan ke dalam neraka lantaran mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk beribadah ketimbang memenuhi kewajiban duniawi. Mereka pun diberi teguran keras oleh  Tuhan:

“…kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua.  Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka… Kau  lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting  tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan  menyembahku saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka…” (Navis 2010: Hal.11-12)

Perhatikan ada kata “melarat” di sana. Kenapa si engkau melarat? Karena waktunya  dihabiskan untuk beribadah saja ketimbang membanting tulang. Kerjanya hanya memuji dan  menyembah-nyembah Tuhan. Kakek pun merasa tersinggung dengan cerita yang  disampaikan Ajo Sidi. Lalu Kakek bercerita kepada si Aku bagaimana sejak mudanya ia  sudah menghabiskan waktunya di surau. Menyerahkan segala kehidupan lahir batin hanya  kepada Allah Subhanahu wataala, dengan penekanan bahwa ia mengabaikan kehidupan  duniawi yang terdiri dari keluarga, istri, anak, keinginan membangun rumah, dan sebagainya.

“Sedari mudaku aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya  keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari  kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu  wataala.” (Navis 2010: Hal. 5)

Atas pembelaan si Kakek, muncullah pertanyaan-pertanyaan ini di benak penelaah: a) Apakah mungkin seseorang bisa hidup sejak ia muda sampai tua hanya dengan mengandalkan pekerjaannya sebagai penjaga surau di suatu lingkungan masyarakat yang tak begitu peduli dengan kelangsungan sebuah surau? Meski tidak begitu eksplisit tertera pada  teks seperti apa kondisi masyarakat di sekitar surau itu, namun kita bisa  membayangkan kurang lebih gambaran masyarakatnya melalui narasi berikut:

Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya  sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang  kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.
Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan  suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa  yang tidak dijaga lagi. (Navis 2010: Hal. 2)

Pertanyaan berikutnya b): Bagi seseorang yang menyatakan dirinya bahwa ia  pengabdi Tuhan dan taat beragama, mengapa hanya dengan satu cerita dongengan yang  disampaikan seorang “pembual” bernama Ajo Sidi menyebabkan Kakek mengambil  keputusan yang teramat drastis dengan menggorok lehernya sendiri? Sikap keagamaan  semacam apa yang dianutnya hingga ia mengakhiri hidup seperti itu? Mengapa kata-kata  seorang “pembual” dengan satu kali tebasan bisa meruntuhkan “keyakinan”, “kesetiaan”  “pengabdian” yang sudah dibangun Kakek sejak ia masih muda? Bentuk tafsiran semacam apa yang diambil Kakek dari kisah Haji Saleh?

Terakhir pertanyaan tentang Ajo Sidi c): Relasi semacam apa yang berlangsung antara  Ajo Sidi dan Kakek? Kehendak apa yang mendorong Ajo Sidi untuk mengolok-olok Kakek  melalui kisah rekaannya? Menilik isi kisahan yang disampaikan, mengapa Ajo  Sidi bisa tiba pada kesimpulan bahwa Kakek adalah seorang yang hanya mementingkan  agama sementara Kakek sendiri lebih dikenal sebagai “pengasah pisau”?

Mencoba menjawab pertanyaan pertama, mari kita hubungkan pembelaan Kakek  terhadap keterangan yang disampaikan “Aku” di permulaan cerpen. Kita dapati dari  pemberitahuan “Aku”: meski si Kakek adalah penjaga surau, namun ia lebih dikenal sebagai  “pengasah pisau”. Bisa dikatakan itulah sumber nafkahnya selain dari menerima sumbangan dari jamaah, sedekah jumat, juga hasil dari pemunggahan ikan mas yang ada di  kolam surau. Sebagai “pengasah pisau” ia dikatakan “mahir” dengan keahliannya itu. Bisa diduga inilah keahlian yang diandalkan untuk kehidupan sehari-hari bila kita  menghubungkannya lagi dengan “pembelaan Kakek” yang mengatakan “sejak masih muda”  ia sudah hidup di surau.

Sebelum kita menjawab pertanyaan b, kita kumpulkan inti sari dari pertanyaan a. Dari  pertanyaan a yang kita dapati yakni perihal “pekerjaan” Kakek selain sebagai seorang garin dan bagaimana karakter masyarakat di lingkungan surau. Lalu dari pertanyaan b, kita  temukan inti sari perihal “agama”, bagaimana hubungan keyakinan tentang ketuhanan pada  keputusan ekstrem yang dibuat Kakek. Di sini kita akan menyilangkan inti sari a dengan inti sari b. Tegangan macam apa yang terbentuk antara sesuatu yang bersifat praktis/materi/ekonomi dengan sesuatu yang bersifat keyakinan/agama/dogma? Tilikan inti sari dari pertanyaan a dan b ini akan mendapat porsi yang lebih signifikan sebelum kita  menempuh jalan penuh semak belukar untuk sampai pada jawaban atas pertanyaan c.

 

Motif Ekonomi di Balik Praktik Beragama

Apa yang tersembunyi di dalam, tidak selalu bisa terkuak seluruhnya ke permukaan. Begitu pula bila kita melakukan pembacaan teks “Robohnya Surau Kami” secara lebih dekat. Sudah sangat sering kita dengar cerpen ini ditelaah melalui aspek keimanan, kritik terhadap  praktik beragama yang timpang sebelah, islam dan sastra, hingga meluas ke berbagai topik  hubungan praktik agama dan masyarakat. Sebab tampaknya “secara permukaan” memang demikian yang terlihat. Apalagi hal itu dipertebal dengan narasi imajiner percakapan Haji  Saleh dengan Tuhan yang luapannya seakan semata bermuara pada tak imbangnya berat  antara kehidupan beragama dan kehidupan duniawi. Di situ kemudian si Kakek berdiri dalam  keadaan merana karena ia bagai menjadi “tersangka utama” yang harus menanggung  “hukuman tragis”; yang ironisnya hukuman itu dilakukan oleh tangannya sendiri dengan membunuh diri.

Barangkali jarang ada yang melontarkan pertanyaan: Mengapa Kakek melakukan  semua itu? Adakah motif lain di balik praktik ketaatan beragama yang dijalani si  Kakek? Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan ini menemui titik kupasan yang sama seperti  pertanyaan a dan b dan melalui inti sari yang kita temukan dari dua pertanyaan di atas. Pada titik ini bisa dikatakan ada “sebab-sebab material” yang melandasi ketergantungan Kakek pada surau yang ditempatinya. Di sini kita mulai bisa memandangnya melalui teori materialisme kultural untuk menjelaskan “sebab-sebab material” yang tak hanya tampak pada Kakek, namun tersirat pula pada Ajo Sidi.

Materialisme kultural atau materialisme kebudayaan adalah suatu paradigma dalam ilmu  antropologi yang tak lepas dari ahlinya yakni Marvin Harris.[4] Paradigma ini menekankan  pendekatan realitas empiris (materi) sebagai penentu dari berbagai variasi sosiokultural. Paradigma ini merupakan perluasan dari materialisme Marxisme dengan orientasi yang  memandang infrastruktur suatu masyarakat sebagai landasan bagi keberlangsungan struktur dan suprastruktur. Infrastruktur disebut sebagai basis materialnya, terdiri dari upaya-upaya masyarakat dalam penyesuaian terhadap lingkungannya, melalui proses produksi dan reproduksi yang dipengaruhi lingkungan, ekologi, teknologi, demografi. Aspek struktur disebut sebagai pengorganisasiannya atau sistem yang mengatur tatanan yang ada pada produksi dan reproduksi, di antaranya struktur keluarga, pembagian kerja domestik, sosialisasi politik, hierarki kelas. Pengulangan yang berlangsung sekian lama pada infrastruktur dan struktur akhirnya melekat ke dalam bentuk ideologi, nilai-nilai yang dianggap benar dan salah, keyakinan yang melembaga, simbol, ritual__ yang paling terlihat dalam hubungannya dengan cerpen ini adalah “agama”. Poin-poin ini masuk ke dalam  aspek suprastruktur.[5]

Tuhan dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” tak menginginkan umatnya “melarat”. Ia menghendaki ada “kerja“ (produksi: infrastruktur) untuk menghasilkan sesuatu agar anak cucu siapapun tidak teraniaya (ekonomi domestik: struktur). Tuhan sebagai perpanjangan dari “kehendak Ajo Sidi” menginginkan agar basis infrastruktur itulah yang dibereskan lebih dulu. Bukannya melarutkan diri begitu lama dalam perilaku suprastruktur. Sejak  pembukaan cerpen ini kita bisa menemukan tanda-tanda yang menghubungkan kita dengan  pengertian infrastruktur dalam paradigma materialisme kultural. Berikut beberapa kalimat kalimat yang telah dipilih sesuai kerangka tersebut:

“Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu.”
“Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu.”
“Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting,  memberinya sambal sebagai imbalan.”
“Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang.”
“Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya.”
“Dan sekarang ke mana dia?”
“Kerja.”
“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.
“Ya, dia pergi kerja.” (Navis 2010: Hal.2-13)

Sebagian rincian di atas akan menjawab pertanyaan perihal tegangan seperti apa yang  tercipta antara sesuatu yang bersifat praktis/materi/ekonomi (infrastruktur) dengan sesuatu  yang bersifat keyakinan/agama/dogma (suprastruktur).

Baiklah pertama-tama tentu kita akan kembali pada pertanyaan motif apa yang  mendasari si Kakek menggantungkan hidupnya di surau. Jawaban atas pertanyaan ini sudah bisa kita raba lewat rincian-rincian di atas. Dengan satu kalimat singkat, motif Kakek menggantungkan hidupnya di surau adalah demi terpenuhinya kebutuhan ekonomi (infrastruktur). Motif ini sekaligus menjawab mengapa Kakek sejak muda sampai tuanya bisa bertahan hidup di surau, juga menjawab mengapa kemudian ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau dibandingkan sebagai garin. Bisa dibayangkan ia menjadikan surau itu sebagai tempatnya bekerja mencari nafkah. Ia tak perlu repot-repot menyewa bangunan sebagai bakal tokonya sebab ia bisa memanfaatkan surau yang tak begitu dihiraukan keberadaannya oleh masyarakat sekitar. Sebab pula surau itu “…mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh.”, maka yang tinggal adalah kebermanfaatan praktisnya. Manfaat praktis yang dikelola  dengan baik oleh Kakek sejak ia masih muda. Setelah kematiannya pun, surau itu masih  dimanfaatkan secara praktis. Oleh anak-anak surau itu dijadikan tempat bermain,  “…memainkan segala apa yang disukai mereka.” Lalu bagi perempuan yang kehabisan kayu bakar, mereka mencopoti kayu dinding dan lantai surau. Baik sebagai tempat bermain  maupun persediaan kayu bakar, semuanya memiliki nilai praktis.

Telaah lebih mendalam perihal landasan praktis di balik perilaku beragama bisa  ditemukan dalam penelitian Marvin Harris tentang praktik Sapi Suci di India dan larangan memakan babi pada umat Islam dan Yahudi.[6] Marvin Harris memaparkan beberapa motif praktis di balik tabu religius memakan daging sapi bagi umat Hindu. Landasan praktis itu di antaranya adalah sapi-sapi bermanfaat untuk tenaga membajak lahan, penyedia sumber  nutrisi dalam bentuk susu, pupuk, bahan bakar, kotorannya bisa digunakan sebagai bahan  pembuatan keramik. Tabu memakan daging sapi secara tak langsung memberi dampak luas bagi negara India yang secara kondisi alam tak memungkinkan memiliki industri agrikultur  yang maju. Dengan tidak memakan sapi, maka masyarakat India memiliki simpanan produksi berbiaya rendah.

Begitu pula dalam tabu memakan babi ditemukan landasan praktis di balik aturan  beragama itu. Kondisi iklim yang tidak memungkinkan untuk beternak babi di alam Timur  Tengah, paparan mengenai kerugian waktu, materi, dan tenaga yang akan didulang bila tetap  memaksakan beternak babi pada geografis alam Timur Tengah yang tak mendukung,  sekaligus fungsi sosial yang membuat orang-orang merasa menjadi satu kesatuan dalam  sebuah komunitas yang besar, itulah yang diuraikan Marvin Harris sebagai alasan rasional di  balik tabu memakan babi pada umat Muslim dan Yahudi.

Tentu saja kasus Kakek dalam “Robohnya Surau Kami” tidak sejelimet kasus Sapi Suci dan tabu makan babi yang melibatkan faktor ekologis dan evolusi kebudayaan. Namun melalui kerangka yang ada dalam paradigma materialisme kultural serta dibuktikan melalui teks cerpen, kita bisa menemukan bahwa ada landasan praktis di balik perilaku beragama Kakek, sebagaimana teori materialisme kultural yang menggaungkan gagasan mengenai adanya respon adaptif manusia atas situasi infrastrukturnya yang kemudian mempengaruhi  aspek suprastruktur. Materialisme kultural sendiri hadir sebagai perluasan dari ideologi  Marxis. Teori Marx yang materialistis menyatakan[7]:

Menurut Marx, pergulatan utama dan pertama manusia adalah pergulatan untuk  memenuhi kebutuhan materialnya. Pergulatan itu membawa manusia berhadapan dengan alam sebagai sumber pemenuhan kebutuhan. Agar alam dapat menjadi sesuatu yang dapat  memenuhi kebutuhannya, manusia dituntut untuk melakukan transformasi terhadap alam. Usaha-usaha transformasi tersebut membuahkan teknologi dan hubungan-hubungan sosial. (Faruk 2014: Hal.25-26)

Pada titik ini, bisa dikatakan Kakek memiliki pandangan yang serupa dengan Ajo  Sidi, yakni mengutamakan ekonomi atau landasan praktis. Kakek melalui pemanfaatannya pada keberadaan surau, Ajo Sidi melalui aktivitasnya yang selalu sibuk bekerja. Bahkan pandangan praktis Ajo Sidi pun masih terlihat menonjol ketika ia merespon kabar kematian Kakek. Lewat istrinya, Ajo Sidi menitip pesan agar dibelikan “kain kafan tujuh lapis”.[8] Ia  lebih mengutamakan pemenuhan materi (kain kafan) dibandingkan turut menyumbang doa-doa untuk iringan kematian kakek. Ia pun memilih pergi bekerja ketimbang pergi melayat. Mereka sama-sama memiliki landasan praktis. Perbedaannya terletak pada bagaimana cara mereka dalam memenuhi kebutuhan ekonomi tersebut.

Lalu bila Kakek dan Ajo Sidi memiliki landasan praktis yang serupa, mengapa Ajo  Sidi mengolok-olok Kakek melalui kisahannya tentang Haji Saleh yang lebih mengutamakan beribadah hingga Haji Saleh pun dihukum masuk neraka?

Di sinilah kemudian pertanyaan c perihal Ajo Sidi yang sudah saya terakan di atas  bisa disisipkan. Saya ulangi pertanyaan itu: Relasi semacam apa yang berlangsung antara Ajo  Sidi dan Kakek? Kehendak apa yang mendorong Ajo Sidi untuk mengolok-olok Kakek  melalui kisah rekaannya? Menilik berdasarkan isi kisahan yang disampaikannya, mengapa Ajo Sidi bisa tiba pada kesimpulan bahwa Kakek adalah seorang yang hanya mementingkan agama sementara Kakek sendiri lebih dikenal sebagai “pengasah pisau”?

Kita tak bisa menemukan jawaban atas pertanyaan c ini lantaran pada teks cerpen, tak  banyak keterangan yang bisa menjadi acuan untuk jawaban tuntas atau yang bisa dijadikan sebagai bukti utama. Sebab Ajo Sidi tak muncul di waktu cerita dan waktu penceritaan. Ia hanya hadir melalui mulut ke mulut, yakni melalui percakapan antara narator “Aku” dengan Kakek. Pun pembaca hanya mengetahui gambaran Ajo Sidi melalui dua tokoh itu yang  memiliki versi masing-masing tentang Ajo Sidi, sehingga seperti apa sesungguhnya Ajo Sidi ini tak dapat diketahui secara bulat.

Mungkinkah telah terjadi silang pengertian antara Ajo Sidi dengan Kakek sehingga  timbullah kesalahpahaman yang menyentuh inti batin terdalam si Kakek? Kakek memiliki tafsiran sendiri atas cerita Ajo Sidi. Dikatakannya:

“…Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.
Ia katakan Kakek begitu, Kek?”
Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya.” (Navis 2010: Hal. 5)

Barangkali sampai di sini, sidang pembaca ada yang bertanya bagaimana tilikan atas  keputusan ekstrem berupa bunuh diri yang dilakukan Kakek. Sebenarnya secara permukaan pun dapat diketahui bahwa keputusan bunuh diri itu tak mencerminkan seseorang yang  religius. Religiositas, bila kita hubungkan dengan pengertian Romo  Mangunwijaya dalam bukunya Sastra dan Religiositas[9], berarti:

Religiositas lebih melihat aspek yang “di dalam lubuk hati”, riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan  intimitas jiwa, “du coeur” dalam arti Pascal, yakni cita rasa yang mencakup totalitas  (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman si pribadi manusia. Dan karena itu, pada dasarnya religiositas mengatasi, atau lebih dalam dari agama yang tampak formal, resmi. (Mangunwijaya 1982: Hal. 12)

Melalui keputusan bunuh diri itu, maka bisa dilihat perilaku beragama yang  dijalankan Kakek selama ini: bersuci, pukul beduk membangunkan manusia untuk bersujud kepada Tuhan, sembahyang setiap waktu, membaca kitab, semuanya tak lebih dari perilaku beragama yang bersifat permukaan semata. Tak lebih dari menjalankan sesuatu yang melembaga tanpa menembus ke kedalaman spiritual. Perilaku beragama yang semata permukaan ini ditutup getir dengan peristiwa bunuh diri yang terjadi esoknya setelah Kakek  menceritakan kepada “Aku” cerita tentang Haji Saleh yang disampaikan Ajo Sidi.

Mengapa Kakek demikian lekas mengambil keputusan bunuh diri tersebut hanya  karena dipantik oleh kisahan Ajo Sidi? Karena kita tak bisa menemukan jawabannya  langsung pada teks cerpen, pertanyaan selanjutnya akan mengarah pada tafsir: Benarkah bunuh diri Kakek semata karena cerita Ajo Sidi seperti yang diterangkan “Aku”? Bagaimana kalau ternyata penyebabnya adalah hal lain? Barangkali suatu akumulasi dari motif-motif praktis (infrastruktur) yang selama ini dijalankannya yang tertutupi oleh perilaku  beragamanya?

Pengertian apakah yang diamini oleh si Kakek usai ia mendengarkan kisahan dari  Ajo Sidi yang dikatakannya bahwa ia seperti menjadi “manusia terkutuk” itu? Sementara pengertian apa yang dibawa Ajo Sidi dalam kehendaknya untuk mengutarakan kisah begitu panjang perihal hukuman untuk orang yang hanya mementingkan ibadah ketimbang duniawi? Di sinilah lagi-lagi bisa kita sematkan pertanyaan tentang: mungkinkah telah terjadi silang pengertian antara Kakek dan Ajo Sidi sehingga menimbulkan kesalahpahaman? Namun, dalam bentuk apakah itu?

Sepanjang tulisan ini kita belum menemukan motif sesungguhnya dari beberapa  pertanyan perihal tindakan dua tokoh itu selain dugaan semacam ini: andaikata Kakek sebenarnya menyadari__dalam arti ada pengakuan diri__atas motif praktis dalam ketergantungannya pada surau, barangkali bentuk pengertian yang terlintas sebelum akhirnya ia bunuh diri adalah: “Orang (Haji Saleh) yang menghabiskan waktu untuk beribadah saja dihukum. Apalagi mereka yang memanfaatkan fasilitas ibadah untuk kepentingan ekonomi. Kedua-duanya sama-sama masuk neraka.”

Tentu saja pengandaian ini apabila diletakkan secara tertulis dalam cerpen akan  menutup celah-celah yang bisa dijadikan pintu masuk tafsir. Dan syukurlah hal itu tak terjadi, sehingga memungkinkan pembacaan cerpen ini menjadi lebih luas, meski pada akhirnya menghadapkan pembaca pada sengkarut tilikan atas kemungkinan apa yang bisa dikenakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan sejak tilikan atas cerpen ini  dimulai.

Dalam Otobiografi A.A. Navis: Satiris dan Suara Kritis dari Daerah, terdapat pernyataan A.A. Navis yang bisa kita hubungkan dengan tindakan bunuh diri Kakek. Tulisan  berjudul Catatan Kaki tentang Cerpen ‘Robohnya Surau Kami’” memaparkan pemantik ide  cerpen ini.[10] Berangkat dari joke Syafei yang menceritakan Tuhan bertanya kepada orang orang dari berbagai bangsa: Amerika, Inggris, Belanda. Semua orang dari berbagai bangsa itu masuk surga kecuali orang Indonesia. Alasannya? Karena orang Indonesia tak memanfaatkan alam yang diberikan Tuhan.

Joke Syafei itu kemudian mengalami pengembangan dengan digabungkannya  pengalaman empiris A.A. Navis ketika ia pulang ke Padangpanjang dan melihat surau tempatnya mengaji semasa kecil sudah runtuh. Mengapa sampai runtuh? Penyebabnya karena tak ada lagi orang yang sudi merawat sejak kakek garin meninggal. Tentang kematian kakek  itu, A.A. Navis menulis:

“Menurut penjelidikan saja, kakek (garin) itu mati karena kelaparan. Di negeri jang  kaja ini kalau ada orang jang mati karena lapar, menurut saja pada hakikatnja sama dengan  bunuh diri.” (Navis 1994: Hal. 79)

Tentu dugaan A.A. Navis ini tak bisa secara “mentah” digunakan untuk mengafirmasi bunuh diri Kakek dalam cerpen “Robohnya Surau Kami”, sebab pandangan yang diterakan  Navis adalah untuk kakek garin yang ada di masa kecilnya. Tetapi hal menarik yang bisa kita  lihat dari dugaan A.A. Navis itu adalah bahwa ia menghadirkan sebab-sebab material (kelaparan) sebagai dugaan atas penyebab kematian kakek garin. Mengapa kelaparan? Sebab tak terpenuhinya aspek infrastruktur dalam kehidupannya. Tak terpenuhinya aspek infrastruktur di negeri yang sangat kaya ini (Indonesia) tentu dipandang sebagai suatu ironi. Sebab itulah A.A. Navis pun menganggap “mati karena kelaparan” sama dengan “bunuh  diri”.

Bisakah kita menganggap pernyataan A.A. Navis ini sebagai “penguat” dari  pemaparan panjang perihal landasan praktis yang melatarbelakangi ketergantungan Kakek  pada surau? Barangkali ada “pembayangan ideal” di benak pengarang: mestinya si Kakek di masa kecil Navis itu bisa memenuhi kebutuhan materialnya agar tak kelaparan, lalu diwujudkan dalam tokoh Kakek yang menjadikan surau sebagai tempatnya mencari nafkah.

Dan bisakah kita menganggap bunuh diri tokoh kakek sebagai simbol dari tak  terpenuhinya aspek infrastruktur itu? Tentu kemungkinan-kemungkinan itu bisa dicoba bila kita tak melupakan bahwa setiap karya sastra, secara langsung atau pun tak langsung, mengandung ideologi pengarangnya. Mengutip Terry Eagleton yang menyatakan bahwa teks sastra tak bertindak secara pasif, melainkan aktif menentukan struktur ideologi yang membentuknya. Teks sastra memproduksi ideologi tertentu hasil dari interaksi penulis sebagai produsen dengan aspek-aspek eksternal di sekitarnya.[11]

Melihat dari pandangan pengarang inilah kiranya bisa kita nilai sebagai “penguat” dari kemungkinan-kemungkinan yang dimunculkan di awal, perihal motif tokoh atau  pengertian yang diamini oleh Ajo Sidi dan Kakek. Meski tentu saja tak bisa menjadi  pegangan mutlak sebab yang disampaikan A.A. Navis itu merupakan pemantik awal. Artinya sebelum cerpen ini ditulis ia memiliki pandangan seperti itu. Namun, di bagian lain terkait pembelaannya terhadap cerpen “Robohnya Surau Kami” saat menjawab kritik H.B. Jassin, A.A. Navis menyatakan bahwa apa yang dikerjakan tokoh Kakek sebagai pengasah  pisau adalah kegiatan Kakek untuk mengisi waktu luang, bukan pekerjaan utama.[12] Bila berpatokan pada pembelaan ini maka analisis perihal landasan praktis di balik perilaku beragama mengalami pertentangan dari sudut pandang pengarang. Tegangan muncul di antara dua hal: a) Tafsir Navis sebelum cerpen ini ditulis yang bisa dijadikan “penguat” atas analisis awal; dan b) Tafsir Navis setelah cerpen ini ditulis yang menjadi “pertentangan” atas analisis cerpen ini.

Tentu saja sang pengarang berhak mengatakan apa saja untuk membela karyanya,  bahkan mengada-adakan sesuatu yang tak ada dalam teks sebagai bentuk pembelaan. Tetapi pembaca hanya bisa berpegang pada “teks” sebagai barang bukti untuk bangunan analisisnya. Sebab yang ditelaah adalah teks cerpen bukan apa yang terdapat di kepala pengarang.  Pun bila pengarangnya tetap bersikukuh mengatakan sesuatu sebagai pembelaan yang tak bisa ditemukan dalam teks, yang dapat dilakukan penelaah dalam “pembacaan dekat” tak lain dan tak bukan tetap berpegang teguh pada teks sebagai barang bukti utama. Kita sudah mencoba membangun hipotesis perihal motif tokoh meski hal ini masih tak tuntas. Pertanyaan-pertanyaan baru terus bermunculan yang lagi-lagi membuat kita  membayangkan alangkah jauhnya menjangkau kesimpulan. Sebab kesimpulan masih sangat  jauh, mari kita coba menempuh jalan lain berupa analisis lanjutan perihal relasi yang terbentuk antara Ajo Sidi dan Kakek, sambil perlahan-lahan melihat juga relasi yang ada pada  sosok-sosok rekaan A.A. Navis dalam cerpen “Datangnya dan Perginya”, serta cerpen “Penolong” yang akan menjadi penutup telaah.

 

Subjek dan Wacana Kekuasaan: Koreksi atas Nilai-Nilai

Sepanjang telaah ini kita sudah melihat tegangan antara Ajo Sidi dan Kakek. Dalam  tegangan itu kita sudah pula menemukan kesamaannya yakni mereka sebenarnya memiliki  pandangan yang serupa: landasan praktis mempengaruhi yang suprastruktur. Kita juga  menemukan hal lain bahwa mereka sama-sama memanfaatkan wacana agama sebagai pintu  masuk kepentingan. Ajo Sidi melalui kisahan pengadilan akhirat; dan Kakek melalui pemanfaatan atas keberadaan surau. Kisahan agama Ajo Sidi bertujuan untuk  menyampaikan pesan bahwa perlu untuk mendahulukan hal-hal yang bersifat materi. Di sisi Kakek, surau menjadi tempatnya untuk memenuhi kebutuhan materi. Tetapi dari kesamaan-kesamaan itu, yang terkena dampak dari wacana berupa “hukuman” adalah Kakek lewat keputusan bunuh dirinya. Di sini kita akan melanjutkan analisis perihal relasi pelik antar  keduanya melalui teori Michel Foucault Wacana dan Kekuasaan.

Kekuasaan dalam pandangan Michel Foucault adalah sesuatu yang netral.[13] Tak  ada definisi mutlak mengenai kekuasaan. Ia lebih dilihat sebagai “strategi” yang selalu ada dalam relasi antar individu. Di mana ada relasi, di situ kekuasaan terus diproduksi. Kekuasaan bisa hadir karena ada pengetahuan. Tak ada kekuasaan tanpa pengetahuan. Begitu  pula sebaliknya, tak ada pengetahuan tanpa kekuasaan.

Pengetahuan menghadirkan dirinya dalam bentuk wacana. Wacana inilah yang  memainkan peran kekuasaannya. Berbeda dengan definisi kekuasaan pada umumnya yang bersifat hierarki, penindasan dan represif, kekuasaan versi Foucault terjadi melalui normalisasi dan regulasi.[14] Sebagaimana melalui penelitian Foucault yang mengkaji rezim pengetahuan di setiap zaman, terlihat bahwa terjadi perubahan di mana penundukan melalui tubuh sebagai sasaran utama perlahan-lahan melenyap digantikan oleh seperangkat aturan yang terikat tanda-tanda.[15] Jadi bukan dikontrol langsung melalui fisik (tubuh) tetapi melalui mekanisme atau aturan-aturan yang terdapat dalam wacana tersebut. “Hukuman” tak  lagi berat hanya pada batasan-batasan atas tubuh, melainkan dalam bentuk “koreksi” yang  menyasar jiwa, kesadaran, pikiran individu.

Dalam relasi antara Ajo Sidi dan Kakek, wacana agama menghubungkan tegangan di  antara keduanya. Kekuasaan melingkupi melalui sifat-sifat agama yang memiliki klaim kebenaran absolut, pengesahan, apa yang benar dan apa yang salah.

Bagaimana kekuasaan wacana itu bekerja? Melalui “koreksi” atas apa yang selama ini dijalankan Kakek. Koreksi yang dilakukan Ajo Sidi menyentuh “kesadaran” Kakek, membuatnya mempertanyakan lagi nilai-nilai yang selama ini dianutnya. Dalam hal ini, wacana agama yang dibawa Ajo Sidi memproduksi nilai baru yang selama ini tak disadari Kakek: Tuhan tak suka bila hambanya hanya menghabiskan waktu untuk beribadah. Tuhan ingin agar ada keseimbangan antara yang duniawi dan akhirat. Kakek menerima “koreksi” itu melalui pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan kembali apakah perbuatannya selama ini menyalahi aturan, apakah perbuatannya terkutuk.

Koreksi itu berjalan secara tak langsung melalui dua pintu: a) Kisahan Ajo Sidi tentang Haji  Saleh; b) Refleksi Kakek atas perbuatannya. Lalu koreksi itu membuahkan “hukuman” bagi  Kakek berupa bunuh diri dengan pisau. Ia menggunakan “pisau cukur”; fitur utama yang ada dalam dunia sehari-harinya di mana ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau ketimbang garin.

Melalui relasi antara Ajo Sidi dan Kakek dapat kita lihat betapa wacana agama  menyusupkan kekuasaannya dalam lingkup privat, individu antar individu. Tercipta sebentuk koreksi, lalu hukuman. Tentang hukuman, betapa sering kita temukan dalam cerpen-cerpen A.A. Navis tokoh-tokoh yang dihukum atas perbuatannya.

Hukuman sebagai bentuk pengingat tak hanya bagi yang melanggar, tapi demi  keberlangsungan kekuasaan yang berada dalam wacana. Subjek bisa merasa terhukum hanya dengan melalui koreksi tak langsung yang menyasar kesadaran, pikiran, dan jiwanya. Cerpen “Datangnya dan Perginya”[16] memperlihatkan bagaimana strategi kekuasaan itu membuat tokoh Ayah merasa terhukum, mempertanyakan kembali nilai-nilai yang dianutnya. Manakah  yang lebih bermoral, memberitahukan hal yang sejujurnya kepada Masri dan Arni bahwa  mereka adalah saudara sekandung demi mengutamakan nilai agama, atau membiarkan mereka tenggelam dalam ketidaktahuan atas nama nilai kemanusiaan?

Dua nilai itu dipertentangkan. Tokoh Iyah sebagai subjek paling frontal menunjukkan  strategi kekuasaannya melalui pertanyaan yang ia lontarkan terus-menerus kepada tokoh  Ayah. Ia tak perlu berlaku menindas melainkan cukup menyerang dengan nilai-nilai yang dianggap benar pada konteks tertentu sehingga membuat Ayah tak berdaya. Pernyataan-pernyataan Iyah yang mengandung muatan koreksi atas nilai-nilai, berikut di antaranya:

“Rela aku menderita segala dosa-dosa ini, asal mereka tetap bahagia.” “Oh, alangkah tamaknya kau. Maumu hanya supaya kau saja bebas dari akibat  perbuatanmu yang salah dulu. Sehingga kini kau juga ingin merusakkan kebahagiaan anak anakmu sendiri. Hanya karena kau takut memikul hukuman atas dosa-dosamu seorang.” “Kaupikir, dapatkah ampunan itu dikejar dengan menyerahkan diri begitu saja tanpa  berani menanggung risiko dari kesalahan yang telah kaulakukan sendiri?”
“Omong kosong. Akal kau, iman kau, hanya suatu ucapan pelarian dari ketakutan  pada pembalasan atas kesalahanmu.”
“Kurangkah imanku, kalau dosaku adalah dosaku. Dan dosaku itu takkan kubagi bagikan ke orang lain, apalagi kepada anak-anakku.”
“Kau sebagai laki-laki tak pernah merasakan pahitnya hidup bercerai dari suami. Aku  merasakan itu. Dan aku tak rela kalau Arni akan menelan kepahitan seperti yang kutelan  dulu.”
Iyah juga merasa, bahwa lawannya tak hendak mundur dari pendiriannya. Tapi ia  tahu juga, bahwa kepercayaan manusia sukar dilenyapkan dengan perdebatan dan dengan dalil-dalil apapun. Dia kenal manusia seperti bekas suaminya itu, bahkan manusia lainnya, yang akan kalah oleh tusukan yang melalui perasaan kemanusiaannya. (Navis 2010: Hal. 69 -72)

Kita lihat melalui kutipan-kutipan di atas betapa Iyah meletakkan strategi kekuasaan  pada nilai-nilai kemanusiaan dengan membandingkan apa yang sudah dilakukannya demi tujuan kebahagiaan anak-anaknya. Kepentingan ini berbanding terbalik dengan keyakinan yang dianut Ayah. Iyah membentuk perbandingan nilai-nilai yang dianggap baik dengan nilai-nilai yang dianggap buruk. Nilai-nilai baik menurutnya: tak apa menanggung dosa demi  kebahagiaan anak-anak; nilai-nilai buruk baginya: apabila Ayah membongkar rahasia itu  maka Ayah adalah seorang yang tamak sebab hanya ingin sendiri terbebas dari dosa. Bila Ayah tak melakukan “nilai-nilai baik” versi Iyah, maka ia termasuk orangtua yang hanya peduli dengan kepentingan pribadinya. Iyah membentuk wacananya sendiri tentang bagaimana seharusnya sikap dan tindakan orangtua yang berbuat baik kepada anaknya.

Di akhir cerita, kita mendapati Ayah “kepalanya terpekur sebagai orang kalah.” Wacana Iyah berhasil mendudukkan idenya sebagai sesuatu yang diterima sebagai sebuah kebenaran. Berterimanya kebenaran itu sama artinya dengan diterimanya kekuasaan itu.

Persoalan tak berhenti sampai di sana. Sebab ada pertanyaan lain yang kemudian  terlontar: Mengapa Iyah memunculkan nilai-nilai itu sebagai kebenaran? Darimana asal usulnya? Adakah kepentingan lain di baliknya? Pertanyaan bernada sama yang dimunculkan  Foucault dalam analisanya tentang diskursus atau wacana[17]:

Diskursus yang muncul tidak lebih dari sekedar kehadiran akibat tekanan (represif)  dari apa yang tidak diucapkan; apa yang “tidak dikatakan” ini adalah sebuah rongga yang  menjadi cikal bakal dari apa yang dikatakan. (Foucault 2012: Hal. 55)
Pertanyaan-pertanyaan tentang diskursus ini tidak akan berkesudahan: artinya, apa  yang sedang dikatakan dalam apa yang telah dikatakan?… Di balik apa yang termanifestasi,  kita tidak akan mencari-cari desahan separuh diam dari diskursus lain; sebaliknya kita harus  memperlihatkan kenapa analisa tersebut tidak bisa menjadi sesuatu yang lain saja, dengan  cara apa dia menolak diskursus lain… Pertanyaan yang cocok dengan analisa ini bisa  diformulasikan sebagai berikut; eksistensi spesifik seperti apa yang muncul dari sesuatu  yang telah dikatakan dan kenapa tidak dari yang lainnya? (Foucault 2012: Hal. 60-61)

Dalam kasus Iyah sederhananya pertanyaan yang muncul atas wacana yang ia  suguhkan adalah: Apa yang sedang dikatakan Iyah dalam apa yang telah  dikatakannya?. Mengapa pertanyaan ini mesti dilontarkan, sebab mengutip kata Foucault  “Kebenaran bukanlah sesuatu yang ditemukan tetapi realitas yang dicipta”.[18] Adanya wacana adalah hasil dari reproduksi realitas. Ia disalurkan melalui hubungan sosial, di mana di dalam relasi itulah terbentuk kategorisasi mengenai perilaku mana yang disebut baik atau  buruk.[19] Jadi kita perlu memeriksa keberadaan khusus apa yang ada di balik pernyataan-pernyataan Iyah.

Relasi antara Iyah dan Ayah memiliki benang merah yang sama seperti yang ada pada relasi antara Ajo Sidi dan Kakek. Dalam hal ini Iyah dan Ajo Sidi sebagai pihak yang melemparkan wacana ke tengah relasi, menggerakkannya melalui strategi dengan kepentingan tertentu. Kakek dan Ayah sama-sama menjadi “terhukum” sebab dianggap tak menjalankan apa yang sudah terbentuk dalam kategorisasi perilaku baik. Namun, sebagaimana kekuasaan versi Foucault adalah sesuatu yang tersebar, bukan sesuatu yang bisa dimiliki atau dipindahtangankan, bukan pula sesuatu yang hierarkis dan permanen[20], pertanyaan tentang Apa yang sedang dikatakan dalam apa yang telah dikatakan? bisa pula  kita kenakan pada Kakek dan Ayah. Keduanya memiliki kesamaan: menggunakan nilai-nilai agama sebagai tameng. Ada apa di baliknya?

Kita menemukan hal sama pada Kakek dan Ayah bahwa ketaatan beragama mereka  adalah hasil dari “kesimpulan”. Kita tak menemukan landasan kuat yang bisa jadi rujukan dalam cerpen ini mengapa mereka ujug-ujug mengabdikan dirinya sepenuhnya pada surau (Kakek) dan Masjid (Ayah). Dalam “Datangnya dan Perginya” tertulis:

Kemudian aku tobat, Anakku. Aku lemparkan kehidupan duniawi. Aku jual segala harta benda kita. Aku wakafkan. Dan aku pergi ke dusun jauh. Aku tinggal di mesjid sana. Aku serahkan diriku kepada Allah. Bertahun-tahun lamanya. (Navis 2010: Hal.64)

Seperti yang kita temukan pada Kakek yang mengabdikan dirinya di surau sejak ia  muda sampai tua, begitu pun pada Ayah, kita mendapati ketaatan mereka berdua sudah dalam bentuk “kesimpulan”. Tak ada asal-usul mengapa mereka akhirnya memutuskan jalan hidup seperti itu. Peristiwa genting apa yang menjadi landasan atas keputusan yang bersifat ideologis itu? Pada Kakek, hal itu sama sekali tak diterangkan. Pada Ayah, memang kita disuguhkan pergolakan jiwa akibat kehilangan yang membuatnya melampiaskan pada perbuatan maksiat hingga akhirnya bertobat, tetapi hal ini tak cukup menjawab dorongan utama di balik perubahan ekstrem yang ia lakukan. Keputusannya mewakafkan harta benda dan hidup di masjid terkesan tiba-tiba dan seperti menempuh jalan pintas dari dunia kemaksiatan tempat ia  menceburkan diri sebelumnya. Dengan kata lain, semuanya sudah dalam bentuk “kesimpulan”.

Perilaku “ketaatan beragama” yang cuma hadir dalam bentuk “kesimpulan-kesimpulan” ini membuat ia mudah untuk dikenakan berbagai motif  kemungkinan, menjadikan landasan awal yang semula tak cukup kuat itu pun bertambah goyah. Sebab ia tak menghadirkan dirinya secara kokoh, maka bermacam rupa motif di balik perilaku “ketaatan beragama” bisa kita sematkan. Termasuk motif dari sesuatu yang paling dasar, paling bersifat material, seperti telaah motif ekonomi di balik perilaku beragama yang sudah terurai panjang lebar di atas.

Pertanyaan yang kemudian muncul: Mengapa pengarangnya menghadirkan perilaku ketaatan beragama itu cuma dalam bentuk kesimpulan-kesimpulan? Mengapa tidak dalam bentuk yang kokoh di mana terdapat alasan yang cukup kuat atas pilihan hidup beragama tokohnya? Jawaban yang langsung terlintas adalah: tentu saja supaya perilaku “ketaatan beragama” itu mudah untuk dikritik, ditelaah ulang, diganyang, diperbandingkan, dirintangi, diselisihkan dengan pandangan lain. Seperti tujuan A.A. Navis yang menyatakan ia ingin memancing kemarahan para ulama di daerahnya melalui penulisan cerpen.[21]

Perilaku “ketaatan beragama” yang mewujud dalam “kesimpulan-kesimpulan” itu sama halnya dengan perilaku ketaatan beragama yang tanpa kesadaran, tanpa diimbangi pikiran kritis: suatu sikap beragama yang dikritik betul-betul oleh A.A. Navis.

Kembali pada situasi relasi dalam “Datangnya dan Perginya”, maka pertanyaan yang  mungkin bisa kita sematkan pada “kegoyahan landasan beragama” Ayah salah satunya: Mengapa baru di kedatangan surat yang ketiga, baru si Ayah memutuskan untuk  mengunjungi Masri? Surat ketiga yang disertakan uang wesel di dalamnya. Tidakkah sebenarnya karena kebutuhan akan uang itulah maka si Ayah akhirnya mengunjungi Masri?

Artinya ada motif praktis di balik tindakannya. Ada jarak berapa tahun perpisahan mereka dengan keputusan Ayah untuk mengunjungi anaknya? Mengapa sebelum itu tak ada diterangkan adakah Ayah pernah berusaha untuk mencari Masri andaikata ia memang betul-betul menyesali perbuatannya dan ada dalam pertobatan yang sesungguhnya? Kita memperoleh jawaban yang ragu-ragu tentang hal itu seperti yang terdapat pada kutipan:

Tapi, Masri, uang itu aku ambil juga ke kantor pos akhirnya. Karena terpaksa. Karena  ada orang lain yang hendak kutolong dengan uang kirimanmu itu. Kalau aku sudah  mengambil uangmu, Anakku, aku terpaksa juga mengunjungimu. Terpaksa bukan berarti  aku tak mau, tapi karena aku sangat malu bertemu denganmu. (Navis 2010: Hal.64)

Tak kuatnya landasan sikap Ayah ini pernah disinggung pula oleh Umar Junus dalam  esainya berjudul “Navis dan/sebagai Teks/Wacana: Kemarau yang Mengg/Halang Robohnya  Surau Kami”.[22] Umur Junus membandingkan tokoh Ayah dengan tokoh Duano dalam novel Kemarau. Sikap beragama Ayah barangkali cuma setengah-setengah itu sebab ia akhirnya menyerah atas sikap Iyah. Berbeda dengan Duano yang sudah mengalami transformasi pemikiran sehingga sikap keagamaannya lebih kuat dan berpengaruh pada keputusannya yang tak hendak mengalah atas Iyah.

Tentang Iyah ini pun kita akan menyematkan juga pertanyaan lanjutan atas  pertanyaan pertama yang sudah disinggung sebelumnya: Apa yang sedang dikatakan dalam apa yang telah dikatakan?

Barangkali dengan mudah dikira itulah bentuk kasih sayang orangtua yang tak ingin anak-anaknya menderita sehingga biarlah rahasia tentang Masri dan Arni yang aslinya bersaudara ditutup rapat. Tetapi dalam situasi Iyah kita juga mendapati “kesimpulan” seperti  yang ada pada situasi Ayah. “Kengototan” Iyah agar rahasia itu tak terbongkar sudah tiba pada kita dalam bentuk “kesimpulan” yang betul-betul selesai. Tak ada keterangan yang  memadai untuk dapat mengetahui mengapa ia sampai kasip mengetahui hubungan Masri dan Arni, mengapa akhirnya ia tutup mulut saja. Sebab landasan atas sikap Iyah ini pun sama  goyahnya dengan sikap Ayah, tak kuat topangannya, maka pertanyaan yang berisi motif  praktis pun bisa kita sematkan kepada Iyah: Mungkinkah sebenarnya sikap Iyah didasarkan pada kepentingan pribadinya bahwa ia menumpang hidup di rumah menantunya sehingga ia tak ingin rahasia itu terbongkar, sebab bila terbongkar ada kemungkinan Masri dan Arni bercerai, maka Iyah pun akan turut kehilangan tunjangan hidup? Dalam cerpen, dikatakan itulah rumah Masri, dan di sana sudah ada Iyah yang menyambut si Ayah. Hal-hal yang menandakan si Iyah tinggal di rumah itu yakni ia tahu sejak lama bahwa Ayah akan datang dan ia berupaya mencegah kedatangan itu, namun tak berhasil. Ia tahu kapan Masri, Arni, beserta cucu-cucunya akan pulang ke rumah itu. Dari sana kita dapat menduga bisa jadi Iyah menumpang hidup di rumah menantunya si Masri.

Lagi-lagi motif praktislah yang paling mungkin dapat disematkan pada dua situasi di  atas yang memiliki kesamaan pada “tak kuatnya landasan mengenai ide/ideologi/ritus agama/kebenaran/moral”. Sebab bagaimana mungkin bisa mencapai hal yang lebih tinggi bila yang paling dasar pun__dalam hal ini pemenuhan material__belum beres?

 

Etika dan Moral

Pada cerpen “Robohnya Surau Kami” dan “Datangnya dan Perginya” kita menemukan kelindan moral yang begitu saja disepakati oleh subjek. Kakek menerima begitu saja koreksi Ajo Sidi atas nilai-nilai yang dianutnya. Pun Ayah mengalah atas rongrongan nilai-nilai yang  disodorkan Iyah. Mereka tak bebas menentukan sikap. Mereka tak lolos dari subjektivitas  dominan yang nilai-nilainya dibawa oleh pihak luar. Dengan kata lain, mereka tak bisa  mewujudkan eksistensi.

Terkungkungnya subjek dalam bayang-bayang moral bisa kita temukan di hampir  setiap cerpen A.A. Navis. Ada moral dan ada hukuman. Moralitas sebagaimana yang  disampaikan Michel Foucault merupakan salah satu aspek yang menentukan subjektivitas individu.[23] Moralitas mengandung kode moral, perilaku moral, dan etika. Kode moral terdiri atas seperangkat aturan dan nilai, sedangkan perilaku moral adalah praktik atas aturan-aturan itu. Selain itu ada etika yang mewujudkan subjektifitas dalam tataran yang lebih tinggi. Etika dalam pandangan Foucault adalah hubungan yang dibangun antara diri dengan dirinya sendiri. Pencarian etika pribadi akan membuat seseorang tak serta merta dikuasai oleh subjektivitas dominan, melainkan mampu berkontribusi pada realisasi kode moral melalui tindakan etiknya sendiri.[24]

Berbeda dengan cerpen “Robohnya Surau Kami” dan “Datangnya dan Perginya” di mana moral begitu saja diamini, dalam cerpen “Penolong”[25] kita menemukan pilihan moral yang mengalami serentetan tinjauan dan refleksi yang membuat subjek tak hanya menjalankan kepatuhan buta terhadap moral, tapi pencariannya itu membentuk “etika pribadi”.

Cerpen “Penolong” tersusun atas adegan-adegan yang filmis. Sidin, tokoh utama cerpen ini, bersama rombongan penolong berupaya menyelamatkan para korban kecelakaan kereta  api. Pada situasi yang carut-marut membedakan mana korban yang mesti segera ditolong, mana yang pertolongannya ditunda dulu, pembaca diperlihatkan kompleksitas batin Sidin.

Pada mulanya ia tak tahu harus melakukan apa. Saat sedang menolong korban pun, Sidin masih mempertanyakan “nilai” perbuatannya:

Dan dalam menggotong korban yang terus mengerang itu, Sidin berpikir, apakah  memang orang seperti ini perlu diberi pertolongan?… Dan dalam hatinya ia sesungguhnya  menyetujui semua komentar orang yang tidak dikenalnya tapi sama-sama menggotong itu. (Navis 2010: Hal.117)

Dari pertanyaan-pertanyaan Sidin di cerpen ini kita bisa melihat bahwa ia tak  langsung menerima nilai-nilai yang dianggap bermoral itu. Ia tak langsung menghakimi keadaan di depannya. Ia tak begitu saja menentukan mana yang benar dan salah. Meskipun ia ragu menolong Mak Gadang__seorang yang dikenal dengan perbuatan buruknya__Sidin pada akhirnya tetap menunaikan pertolongan itu. Pada Sidin, erangan Mak Gadang sama menghantuinya dengan erangan korban-korban lain. Di situasi itu Sidin memberi waktu kepada dirinya untuk menemukan etika pribadinya. Pandangan ini terutama jelas terlihat di akhir cerita, ketika Sidin merasa sangat bersalah sebab tak cepat mengambil tindakan menolong seorang gadis. Gadis itu berakhir dengan kehilangan kakinya. Seorang gila telah  memotong kaki gadis itu.

Perasaannya tersentak ketika ia ingat pada gadis kecil yang kakinya dipotong dengan kampak oleh seorang gila. Emosi dan sesalan Sidin tak terbendung lagi. Dan orang pun menyangkanya juga gila. (Navis 2010: Hal.130).

Sepanjang cerpen ini kita diperlihatkan refleksi pribadi Sidin atas kejadian kecelakaan di depannya yang kontras dengan “mental kerumunan” penolong-penolong lainnya:

“Wah, susah amat menggotong buaya ini. Letakkan saja di sini. Biar orang lain yang  menggotongnya lagi,” kata laki-laki yang pertama tadi, seraya merendahkan tubuhnya untuk  benar-benar hendak meletakkan tubuh itu ke tanah.
“Tahanlah. Sedikit lagi,” kata temannya.
“Familimu?”
“Tidak. Tapi ia korban kecelakaan.”
“Banyak yang lain lagi yang patut ditolong.”
“Tanggung menolong. Sedikit lagi kita sudah sampai.” (Navis 2010: Hal.118)

Sidin berada dalam kerumunan tapi ia tak serta-merta larut dalam “mental  kerumunan”, mental orang-orang yang bahkan tak memiliki kesadaran atas apa yang  diperbuatnya. Apakah memang benar-benar niat menolong? Atau karena sudah telanjur berada di sana sehingga mau tak mau ikut menggotong korban juga, seperti kata salah satu penolong di cerpen itu: tanggung menolong.

Berbeda dengan “Robohnya Surau Kami” dan “Datangnya dan Perginya” di mana  keyakinan beragama semata sebagai sesuatu yang sifatnya melembaga sehingga sikap yang tergambarkan berhenti sebatas “kesimpulan”, di cerpen “Penolong” nilai-nilai yang dianggap benar itu membawa Sidin kepada sesuatu yang bersifat spiritualitas. Ia mengalami langsung pergulatan antara hubungan kode moral dengan dirinya sendiri sehingga ia tak serta-merta menjalani “kepatuhan buta”, melainkan bertanya terus-menerus kepada dirinya sampai ia menemukan kebebasannya sendiri untuk menentukan kode etik pribadinya. Sidin yang mulanya hanya datang ke tempat kejadian kecelakaan karena mengikuti “suara rombongan”, memiliki pandangan pribadi terhadap moral yang telah mapan itu dengan  serangkaian pertanyaan yang menggelisahkan hatinya:

Namun Sidin masih kebingungan karena tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Tak  seorang pun famili atau kenalannya yang diperkirakannya ikut menjadi penumpang kereta  api yang sial itu. Ia datang ke tempat itu hanya untuk melihat peristiwa. Tidak lain maka ia  menyesali dirinya sendiri. (Navis 2010: Hal.122)
Tapi begitu lamanya, tak ada korban lagi di gerbong itu. Kalau memang tidak ada  kenapa masih ada orang berbanjar di tepi sungai itu? Kalau masih ada, kenapa begitu lama  mereka menanti? (Navis 2010: Hal.122)
Sehingga ia tak bisa lagi untuk mundur tersebab rasa ngerinya melihat mayat yang  saling berimpitan di dalam gerbong itu. Kenapa hanya seorang penolong saja, pikir Sidin. (Navis 2010: Hal.123)
Sidin tidak bisa membalas senyum itu, perasaan ngeri yang sangat menyebabkan  seluruh sendinya demikian goyahnya. (Navis 2010: Hal.124)
Hati Sidin bagai terlecut jadinya. Dan ketika anak muda itu memandang kepadanya, kemudian mengajaknya ikut membantu, Sidin tak sempat berpikir banyak lagi. (Navis 2010:  Hal.124)
Dan Sidin mengutuki dirinya yang hanya memikirkan dirinya seorang. Kutukan itu  dirasakannya kurang cukup untuk mengajari dirinya. (Navis 2010: Hal.125)

Ia tahu bahwa semua mereka adalah korban kecelakaan kereta api, dan dia sendiri  bukan salah seorang di antara mereka. Tapi rasa nyeri di sekujur tubuhnya bagai tak terderitakan lagi. (Navis 2010: Hal.129-130)

Situasi moral Sidin amat berbeda dengan situasi moral yang dialami sosok-sosok dalam “Robohnya Surau Kami” dan “Datangnya dan Perginya”. Pada Sidin ada refleksi, dialektika, dan transformasi. Transformasi diri Sidin hasil dari dialektika antara dirinya, nilai kebenaran, hingga tiba pada spiritualitas. Sejalan dengan yang disampaikan Michel Foucault  bahwa normativitas etika versinya berkaitan erat dengan pemahamannya terhadap spiritualitas.[26]

Saya pikir kita dapat menyebut “spiritualitas” sebagai pencarian, praktik, dan  pengalaman yang melaluinya subjek melakukan transformasi yang diperlukan pada dirinya sendiri untuk memperoleh akses ke kebenaran. Kita akan menyebut “spiritualitas” sebagai  serangkaian penelitian, praktik, dan pengalaman ini, yang dapat berupa pemurnian, latihan  asketis, penolakan, perubahan cara pandang, modifikasi eksistensi, dsb., yang bukan untuk pengetahuan tetapi untuk subjek, untuk keberadaan subjek itu sendiri, harga yang harus dibayar untuk memperoleh akses ke kebenaran.

 

Penutup

Tulisan ini dibuka dengan uraian panjang mengenai “sosok dalam fiksi” dan “sosok  pengarang”. Sosok dalam fiksi yang meminggirkan “aku”, membuat sosok itu berada paling  depan dengan segala kemelutnya, sementara si “aku” timbul-tenggelam. “Sosok pengarang” mirip seperti “aku” dalam fiksi, mengedepankan kepentingan orang lain ketimbang kepentingan pribadi. Namun benderangnya “sosok pengarang” mirip seperti “sosok fiksi”  yang diceritakan, karena sosok-sosok fiksi itu sama kekalnya dengan sosok pengarangnya sendiri di ingatan pembaca. Misalnya orang dengan mudah membayangkan kalau Ajo Sidi adalah A.A. Navis, sebab sama-sama si tukang kritik.

Selain tukang kritik apa lagi? Mengutip kata Taufik Abdullah dalam tulisan “A.A.  Navis, Pengantar Sebuah Otobiografi[27]:Ia mempersoalkan semua, malah juga hal yang semestinya bisa diterima begitu saja. Ia memang selalu mempertanyakan apa saja.”

Ya, seperti Sidin yang tak serta-merta menjalankan “kepatuhan buta”, begitu pula  A.A. Navis, ia mempertanyakan segalanya, mempertanyakan aturan, menilik ulang apa yang dipercaya sebagai moral. Hingga ia pun mampu berdiri kokoh pada pilihan-pilihan etiknya. Bahkan setelah tiada, suaranya masih lantang terdengar, lewat karya-karyanya, suara-suara yang bermalam di mulut sosok-sosok fiksinya. Suara-suara yang masih menggema dalam  tinjauan-tinjauan yang tak sudah. Salah satunya tinjauan yang meng-“ada”- dalam tulisan ini. Tinjauan yang telah melalui jalan penuh semak belukar dan duri. Sebagian belukar telah dipangkas untuk melapangkan jalan menuju penutup tinjauan ini. Semoga tak ada duri yang  tersisa.

Kepustakaan

[1] A.A. Navis. Robohnya Surau Kami. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010).

[2] A.A. Navis. Kabut Negeri Si Dali. (Jakarta: Grasindo, 2001). Cerpen-cerpen dalam  buku ini menyertakan tokoh Dali baik sebagai point of view, tokoh utama, maupun tokoh  pinggiran yang sekadar mampir berkomentar terhadap kisah tokoh lain. Di antaranya paling  terlihat pada cerpen “Si Bangkak” (Hal.5), “Penumpang Kelas Tiga” (Hal.33), dan “Rekayasa Sejarah si Patai” (Hal.46). Dalam cerpen “Si Bangkak”, Dali baru muncul di akhir cerita  memberi pendapatnya tentang nasib Bangkak. Di “Penumpang Kelas Tiga”, pusat cerita adalah  kehidupan saudara kembar Nuan dan Nain. Dali baru dimunculkan lagi dengan peran yang  betul-betul tak signifikan lewat dialog singkat di akhir cerpen. Pada “Rekayasa Sejarah si  Patai”, Dali muncul di penutupan cerpen. Dari tiga cerpen tersebut terlihat Dali dimunculkan secara tiba-tiba tanpa motif yang kuat. Cerpen-cerpen di buku ini seperti tak menunggalkan  sosok Dali. Tak jelas apakah Dali adalah seorang mantan pejuang kemerdekaan, seorang sastrawan, ataukah kedua-duanya.

[3] Abrar Yusra. Otobiografi A.A. Navis: Satiris dan Suara Kritis dari Daerah.  (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994). Dalam buku ini banyak diceritakan sepak terjang  A.A. Navis di lingkup sosial masyarakatnya. Tentang sepak terjang itu dalam bentuk  ringkasan yang padat bisa dibaca salah satunya pada tulisan Taufik Abdullah, “A.A. Navis, Pengantar Sebuah Otobiografi”, yang menjadi pengantar dalam buku ini.

[4] Achmad Fedyani Saifuddin. Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. (Jakarta: Kencana, 2005). Tulisan mengenai paradigma Materialisme  Kultural ada di Hal. 235. Bila membicarakan materialisme kultural atau materialisme  kebudayaan maka tak bisa lepas dari sosok Marvin Harris. Paradigma ini berlandaskan teori  Marxis yang telah mengalami perluasan. Tentang perbedaan materialisme kultural dengan  materialisme Marxis dapat dibaca pada tulisan Catherine Buzney and Jon Marcoux, “Cultural Materialism – Department of Anthropology – The University of Alabama”.  http://anthropology.ua.edu/theory/cultural-materialism/.

[5] Achmad Fedyani Saifuddin. Ibid. Hal. 245-248.

[6] Marvin Harris. Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir: Menjawab Teka-Teki  Kebudayaan. (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2021). Benang merah dari dua tulisan berjudul  “Sapi Suci” (Hal.7) dan “Pecinta Babi dan Pembenci Babi” (Hal.30), bahwa selalu ada alasan-alasan rasional di balik tabu-tabu religius. Pada dua konteks tersebut, erat kaitannya  dengan motif-motif praktis atau infrastruktur.

[7] Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post Modernisme. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2014).

[8] A.A. Navis. Ibid. (2010). Tentang frasa “kain kafan tujuh lapis” ada di bagian akhir  cerpen ketika tokoh Aku bertandang ke rumah Ajo Sidi (Hal.13).

[9] Y.B. Mangunwijaya. Sastra dan Religiositas. (Jakarta: Sinar Harapan, 1982). Buku ini memaparkan karya-karya sastra Indonesia dan karya-karya sastra dunia ditinjau dari  makna tentang sikap religius yang menyentuh inti terdalam pribadi, lalu dipertentangkan dengan sikap agama formal yang hanya bersifat permukaan semata.

[10] Abrar Yusra. Ibid. Pada tulisan berjudul Catatan Kaki tentang Cerpen ‘Robohnya  Surau Kami’” (Hal.76), A.A. Navis menceritakan pengalaman empiris yang memantik ide cerpen tersebut.

[11] Kutipan-kutipan teori Terry Eagleton dari buku Criticism and Ideologi: A Study in  Marxist Literary Theory disertakan dalam Jurnal Ilmiah Peradaban Islam karya Moch. Zainul Arifin “Ideologi (dan) Estetika  Seno Gumira Ajidarma: ‘Saksi Mata’ dalam Ruang Perjumpaan Ideologis.” 15(2): 227-242.

[12] Lihat tulisan “Catatan Kaki tentang Cerpen ‘Robohnya Surau Kami’”. Selain berisi proses  kreatifnya, A.A. Navis menceritakan bagaimana ia menjawab kritik H.B. Jassin. Di sana  dijelaskan tentang pekerjaan garin sebagai pengasah pisau: “Pekerdjaannja mengasah pisau  jang ada guna ada fungsinja. Meski ketjil, (tapi) bukan suatu pekerdjaan. Melainkan suatu  hobby, pengisi waktu luang.” (Hal.81). Dalam tulisan itu, A.A. Navis menyatakan  keheranannya mengapa karangan-karangannya menimbulkan banyak pertanyaan pada H.B.  Jassin. Kesulitan yang tak dialami Bachrum Rangkuti. Menurut A.A. Navis, interpretasi  Bachrum Rangkuti perihal mengapa tokoh garin harus bunuh diri sama dengan interpretasinya.

[13] Jurnal Al-Khitabah karya Umar Kamahi. 2017. “Teori Kekuasaan Michel Foucault: Tantangan Bagi Sosiologi Politik”. III (1): 117-133.

[14] Eriyanto. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. (Yogyakarta: LkiS  Yogyakarta, 2001). Hal.66-67

[15] Chris Horrocks dan Zoran Jevtic. Mengenal Foucault for Beginners. (Bandung: Mizan Pustaka, 1997). Hal. 114-116.

[16] A.A. Navis. Ibid. (2010). Cerpen “Datangnya dan Perginya” ada di Hal.59

[17] Michel Foucault. Arkeologi Pengetahuan. (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012). Hal. 55- 61.

[18] Jurnal Dekonstruksi karya Sunaryo. 2023. “(Inter-)Relasi Kekuasaan dan Kebenaran Menurut Michel  Foucault”. 09 (03): 117-133.

[19] Masih dari buku Eriyanto. Ibid. Tentang kekuasaan yang memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi perilaku ini ada di halaman 67.

[20] Jurnal Filsafat dan Pemikiran Keislaman karya Arif Syafiuddin. “Pengaruh Kekuasaan atas Pengetahuan (Memahami Teori Relasi Kuasa Michel Foucault)”. 18(02): 141-155.

[21] Tentang keinginan memancing kemarahan ulama melalui penulisan cerpen “Robohnya  Surau Kami” diterangkan A.A. Navis dalam tulisannya “Catatan Kaki tentang Cerpen  ‘Robohnya Surau Kami’”. Tepatnya pada halaman 81.

[22] Masih dari buku Otobiografi A.A. Navis: Satiris dan Suara Kritis dari Daerah, tulisan Umar Junus ini ada di halaman 409.

[23]Jurnal Springer karya Gavin Rae. 2022. The Ethical Self in the Later Foucault: the Question of  Normativity. Vol.62:381-403.

[24] Lihat ceramah Michel Foucault “Technologies of the Self: Lectures at University of  Vermont in October 1982”. Bisa dibaca melalui website  http://foucault.info/documents/foucault.technologiesOfSelf.en/

[25] Lihat A.A. Navis. Ibid. (2010), cerpen “Penolong” ada di halaman 113. Mengapa memilih  cerpen “Penolong” untuk dibandingkan dengan cerpen “Robohnya Surau Kami” dan “Datangnya  dan Perginya”, sebab menilik dari sisi religiositasnya terlihat jelas perbedaan tentang pencarian spiritual versi Sidin diperbandingkan dengan perilaku agama formal yang ada di  dua cerpen lainnya.

[26] Masih dari Jurnal Springer karya Gavin Rae. 2022. “The Ethical Self in the Later Foucault: the Question  of Normativity”. Vol.62:381-403.

[27] Abrar Yusra. Ibid. Hal.xvii.

Esai21 Mei 2025

Iin Farliani


Iin Farliani, penulis fiksi pendek, novel, puisi, dan esai. Dua buku terbarunya terbit 2024, Mei Salon (Mizan Pustaka, 2024) dan Soraya (Basabasi, 2024). Novelnya Soraya masuk dalam Tiga Besar Buku Sastra Pilihan TEMPO 2024. Kumpulan cerpennya Mei Salon masuk dalam Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025. Ia meraih Juara III Sayembara Kritik Sastra (Satirisme A.A. Navis) yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada 2024. Bukunya yang lain kumpulan cerpen Taman Itu Menghadap ke Laut (Akarpohon, 2019) dan kumpulan puisi Usap Matamu dan Ciumlah Dingin Pagi (Basabasi, 2022). Ia bergiat di Komunitas Akarpohon sejak 2013.