Risalah tentang Teks “Angkatan 00” dan Spekulasi (dari) Masa Lalu

Foto oleh Gregory Jasson

“Secara umum dapat dikatakan target A adalah menciptakan jaringan teks fiksi yang faktual dan sekaligus fakta yang fiktif. Orang awam boleh membayangkannya sebagai sebentuk teks paripurna, yang dengan presisi tinggi memadukan peristiwa-faktual dengan makna fiksional, persis seperti program siaran langsung di televisi, pemirsa menghadapi fenomena faktual dan fiksional sekaligus. Faktanya ada pada peristiwa yang sedang ditayangkan, sementara fiksinya terbongkar dari kenyataan bahwa pemirsa sesungguhnya hanya menghadapi sekotak perangkat elektronik bercahaya bernama televisi.”

“Risalah tentang Teks” (2003)

 

Petikan cerita di atas, dinaratori Tokoh A, memantulkan perspektif yang menggugah pemahaman saya atas keluwesan fiksi. Alkisah, Tokoh A terpesona estetika Futurisme yang menyajikan ekspresi gerak sebagai simbol dinamisme dunia modern. Tokoh A tahu dirinya terbatas.

Dalam fiksi, tidak ada gerak sesungguhnya, melainkan deskripsi visual tentang gerak.

Pemahaman itulah yang menyentak saya saat kelar membaca cerpen “Angkatan 00” karya A.A. Navis. Saya mulai pelacakan “Angkatan 00” sambil merangkai kemiripan pemirsa televisi dan pembaca cerpen. Keduanya menghadapi medan visual penuh simbol.

 

I – Risalah Teks

Bagian pertama ini mengurai hal-hal primer seperti data seputar “Angkatan 00” dan beberapa kata kunci sorotan. Turut dipaparkan komentar saya mengenai riwayat yang berkenaan dengan konteks “Angkatan 00”.

 

Ringkasan Cerita dan Pre-asumsi

“Angkatan 00” adalah cerpen A.A. Navis (1924-2003), dipublikasikan pertama kali pada Agustus 1968 di majalah Horison. Kategori cerpen ini sangat berbeda dari cerpen Navis lainnya. Cerita dibuka dengan sinisme terhadap eksistensi angkatan (generasi muda) di kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekilas cerpen ini menggeneralisasi makna “00” yang terbaca “Kosong-kosong”, menyiratkan tidak ada bedanya angkatan apa pun sepanjang sejarah negara. Itulah asumsi awal tatkala membaca judul dan beberapa paragraf awalnya. Usai pembacaan pertama, saya malah curiga jangan-jangan cerpen ini bukan soal angkatan, melainkan negara. “Angkatan 00” adalah dongeng Navis tentang Republik Indonesia.

Namun selanjutnya, di satu sisi, generalisasi tersebut membawa saya ke asumsi sinisme Navis yang mengandung semacam spekulasi gundah, yaitu “00” terbaca sebagai penanda untuk tahun 2000, milenium baru. Artinya, Navis mengarang cerita ini sebagai kisahan futuristik, prediksi masa depan saat 1968 adalah masa kini. Ditulis pada abad ke-20 untuk ancangan abad ke-21. Jika demikian, maka di lain sisi, konteks “Angkatan 00” dapat terbaca sebagai kenyataan hari ini, waktu ketika saya menulis tulisan ini, yaitu 2024. Sudah 23 tahun berlalu semenjak 2000, dan beberapa rekaan yang terdapat pada cerpen tidak sepenuhnya tepat, kendati sebagian besar kisahan ‘spekulasi’ di dalamnya menarik dibicarakan.

Ya, generalisasi tersebut mengantarkan saya kepada pengujian “Angkatan 00” sebagai fiksi.

Apabila kalimat pembukaannya berbunyi “Sebuah angkatan muncul lagi di gelanggang sejarah Republik Indonesia kita ini,” bagi saya cerpen ini tidak serta merta mempersoalkan angkatan sejarah an sich Republik Indonesia. Cerpen ini tentang sejarah Republik Indonesia rekaan menurut semesta fiksi yang dirangkai Navis. Menyadari konsekuensi penulisan yang diakronis, Navis leluasa memaksimalkan fiksinya.

“Angkatan 00” meminjam pola sejarah untuk mengonstruksi perunutan logis yang menautkan pembaca agar lekat kepada periodisasi angkatan:

“Sebenarnya angkatan 00 ini cucu kandung dari angkatan 66, cicit dari angkatan  45 atau piut dari angkatan  28. Tapi angkatan  00 tidak mau mengakuinya, karena  ingin mencocokkan dengan pola watak akademis rasional.”

Kutipan di atas meyakinkan saya bahwa Navis sedang memprediksi masa depan tatkala menulis “Angkatan 00”. Penyebutan cucu, cicit, dan piut sebagai penegasnya. Angkatan 28 merujuk ke generasi Sumpah Pemuda: kalangan cendekiawan di Kongres Pemuda 27-28 Oktober 1928 yang merilis tiga ikrar perihal pengakuan tumpah darah satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, dan  penjunjungan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Adapun angkatan 45 mengacu kepada generasi Revolusi Kemerdekaan Indonesia 1945 yang intens  mengalami  dan  mengawal  revolusi  kontra-penjajah. Angkatan 66 ialah generasi yang menumbangkan rezim Orde Lama Sukarno.

Namun, Angkatan 00 disebut tidak mengakui kesemuanya. Dengan kata lain, terdapat semacam penolakan sejarah dari internal Angkatan 00. Dengan nada satire, Navis menyatakan bahwa ketiga angkatan sebelumnya tidak berwatak akademis rasional. Saya mengira, dengan pernyataan tersebut Navis ingin mengejek bahwa isu angkatan sangatlah tidak penting, tidak mengedepankan nalar logis; hanya bualan atau gembar-gembor narasi politik belaka. Melalui negasi itulah, Navis meneruskan cerita berupa idealisasi tentang Republik Indonesia pada masa Orde Baru hingga ke milenium baru, yakni abad ke-21.

Sekujur “Angkatan 00” mendedahkan kisah futuristik yang dinaratori tokoh ‘aku’ sebagai pembaca “Manifes Kemanusiaan” setebal 300 halaman folio tanpa rangkap berisi 26 pasal yang digunakan untuk menggulingkan Pemerintah Kaul Modern (Kabinet Ultra Modern) yang secara tersirat subjek representasinya merujuk kepada generasi 66, ‘orang tua’ Orde Baru yang Navis ilustrasikan dengan “pemerintahan yang paling sempurna dalam sejarah Republik”. Sebuah rezim politik yang berpromotor utama militer. Sebuah rezim dengan praktik dwi fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).

Navis menghitung spekulasinya atas Orde Baru dengan menyebut “Pemerintah Kaul Modern ini telah berumur hampir 50 tahun tanpa seorang pun yang menaruh perhatian untuk menumbangkannya secara fisik ataupun parlementer.” Andaikan Orde Baru dimulai sejak penyerahan SUPERSEMAR 1966, maka butuh 34 tahun untuk menuju ke 2000. Tidak detail Navis menyebut tahun berapakah angkatan 00 lahir, alih-alih prakiraannya sangatlah signifikan bahwa di Republik Indonesia akan tiba suatu momen bersejarah tumbangnya rezim politik yang berumur panjang nan gemilang. Seperti tatkala saya iseng membayangkan, tidak ada yang menyangka Orde Baru tumbang sebelum Soeharto wafat.

“Angkatan 00” ditutup dengan spirit anti-hero dari kesaksian tokoh ‘aku’ yang berkata Pemerintah Kaul Modern berhasil ditumbangkan tanpa melahirkan pahlawan-pahlawan seperti dipunyai angkatan 66.

Spirit ini, bagi saya, menyindir peran dan kontribusi kepahlawanan militer pada dua tahun prahara 1965-1966, yakni pascaperistiwa G30S: masa pembenaran dalih pemberangusan massal atas siapa pun yang berafiliasi kepada Orde Lama, Sukarno, atau Partai Komunisme Indonesia. Selain itu, spirit anti-hero inilah yang juga mengingatkan saya bahwa term ‘angkatan’ berasal dari nomenklatur militer: Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan Angkatan Laut. Term itu beroperasi tidak terkecuali dalam sastra Indonesia.

 

Konteks Angkatan dalam Sastra

Telah saya utarakan sebelumnya term ‘angkatan’ karib dengan kemiliteran, dan dalam konteks sastra pengadopsiannya juga berlaku. Pada abad ke-20, dialog sastra tidak lepas dari persoalan tersebut. Jika bukan angkatan, maka disebut periodisasi atau generasi. Dari amatan saya, istilah tersebut masif diangkat setelah kemerdekaan Indonesia 1945; bahwa perkara angkatan sastra adalah juga perkara sejarah sastra. Dan sejarah sastra yang mikro itulah berkenaan dengan sejarah makro nasional Indonesia sebagai negara merdeka yang anak bangsanya barulah dapat mengatakan ‘aku’.

Konsekuensinya, setiap angkatan ingin menyatakan dirinya. Ada urgensi politis untuk menjadi relevan dengan menyandang predikat angkatan di kalangan sastrawan. Hal inilah yang heroik ditemukan pada Chairil Anwar, misalnya—ditambah kultus H.B. Jassin atasnya selaku Pelopor Angkatan 45.

Dengan konteks demikian, saya memeriksa di manakah posisi Navis selaku pengarang. Saya kira judul “Angkatan 00” tersendiri pun erat berkaitan dengan posisi Navis di pergaulan sastra, dan hal itu terbukti melalui uraian Ajip Rosidi pada 1960 yang meladeni isu krisis sastra nasional dekade 1950an yang, salah satunya, didengungkan Sutan Takdir Alisjabhana (STA).

Ajip menulis esai berjudul “Sumbangan Angkatan Terbaru Sastrawan Indonesia kepada Perkembangan Kesusastraan Indonesia”. Di esai Ajip, Navis dikategorikan sebagai bagian dari angkatan terbaru yang “menunjukkan langkah yang lebih maju dan lebih jauh daripada yang pernah dihasilkan oleh para sastrawan angkatan  sebelumnya”, yakni angkatan 45. Inilah heroisme Ajip yang repot membuat klaim untuk menghalau tudingan soal kelesuan, impasse, sastra pascakepergian Chairil Anwar. Ajip seperti juru bicara mewakili generasinya. Uniknya, terdapat pemeo soal angkatan tersebut, terkait dengan “Angkatan 00”, dalam esai Ajip:

“[…]  Para sastrawan muda (tanpa mengelompokkan diri dalam suatu lingkungan atau angkatan) terus menulis dan mencipta. Dan berdasarkan hasil-hasil yang mereka telurkan itu ada orang yang berkata: Telah lahir angkatan baru, karena ciptaan-ciptaan mereka berbeda dari buah tangan Angkatan ‘45. Malah ada pula orang yang segera menamakan angkatan itu dengan nama sindiran: ‘Angkatan  Kekosongan’, ‘Angkatan Kemerdekaan’ (dengan nada menyindir, demikian si pemberi nama sendiri). Dan orang yang melihat perbedaan itu, yang melihat telah hadir sebuah angkatan lagi dalam kesusastraan Indonesia, yang hasil-hasilnya berbeda dengan hasil-cipta para sastrawan angkatan sebelumnya, bukanlah orang sembarang orang. Ia bukan pula anak kemarin sore yang ingin berbangga agar dirinya tergolongkan kepada yang baru lahir itu. Ia seorang kepalanya yang telah botak karena menelaah sastra. Dan kakinya pun telah menjelajah separuh lingkaran bumi. Pengetahuannya tentang sastra barangkali tak ada duanya di seluruh penjuru tanah air. Tetapi sayang, bahwa pun orang ini tidak berkenan menelaah dengan pengetahuannya yang teramat luas itu, tentang perbedaan, kelainan dan apa sebabnya maka beliau melihat telah hadir angkatan yang dinamakannya  ‘Angkatan Kekosongan’ itu. Apa sebabnya maka ia menggolongkan para  sastrawan Angkatan ’45 dan Pujangga Baru? Hingga sekarang pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak pernah dibahas olehnya.”

Hemat saya, Ajip sedang berhadapan dengan kultus kanonisasi sastra yang dikerjakan H.B. Jassin sebagai sosok yang ditunjuk pada kutipan; dia yang telah kadung mengonsepsikan Angkatan 45 melalui Chairil Anwar sebagaimana STA untuk Amir Hamzah bagi Pujangga Baru. Secara motif, pendekatan Jassin ini meniru STA. Ajip pun sama saja. Dengan kata lain, pengultusan angkatan menandai suatu tren sastra.

Angkatan mewakili penjiwaan suatu kalangan di suatu kurun waktu tertentu. Angkatan menampilkan diri sebagai garda depan yang bersinambung dengan perkembangan sosial-politik sebuah negeri. Angkatan sebagai suatu unit pengontras yang berfungsi membedakan satu generasi dengan generasi lainnya.

Jika ejekan ‘Angkatan Kekosongan’ pada masa Ajip menulis telak meminta pengakuan eksistensi bagi generasinya yang ia sebut ‘angkatan terbaru’, saya pikir Navis membalikkan heroisme tersebut. Navis, yang kala itu masyhur berkat “Robohnya Surau Kami”, salah satu penulis yang Ajip kutip; dan ia mengalami betul pemaknaan ‘kosong’ tersebut yang 8 tahun kemudian menulis “Angkatan 00”. Navis, bagi saya, tidak ingin repot merayakan klaim (Ajip) tersebut, terhitung menimbang usia kelahiran Navis dengan Chairil pun terpaut dua tahun saja. Ke-kosong-an yang berarti pasca-Indonesia merdeka, yaitu keadaan sejarah berproses dari nol.

Saya tidak tahu pasti apakah Navis pernah merespons Ajip terkait isu angkatan. Namun, melalui “Angkatan 00”, Navis merefleksi tautan diri (dari generasinya), dari konteks sejarah ‘kecil’ sastra demi menerabas sejarah ‘besar’ di konteks nasional melalui fiksi spekulatif soal generasi nol di masa yang akan datang. Seperti saya sebutkan sebelumnya, angkatan 00 ialah yang mengedepankan “watak akademis yang rasional”. Siapa tahu, inilah lagak Navis untuk tidak bersepakat kepada Ajip. Menjadi rasional yang berarti tidak heroik, tapi menjelmakan suaranya ke tokoh ‘aku’ di “Angkatan 00” yang disebut mengintip Manifes Kemanusiaan.

Selama 1950-60an, terdapat sekurangnya tiga manifesto yang mengemuka di konteks sastra Indonesia: Mukadimah Lembaga Kebudayaan Rakyat  (1950), Surat  Kepercayaan Gelanggang (1950), dan Manifes Kebudayaan (1963). Ketiganya punya selisih dan irisan tendensinya masing-masing terkait kerja-cipta seni dan budaya, serta pemosisiannya dalam gelanggang wacana kekuasaan. Manifesto merupakan maklumat yang jadi pedoman lazim bagi setiap mereka yang meyakini konsepsinya. Khususnya, manifesto dijadikan basis cita-cita atas pemikiran yang menyuarakan suatu gagasan tertentu sebagai reaksi zamannya. Maka, penulisan Manifes Kemanusiaan menjadi syarat kemestian dalam “Angkatan 00”. Ironisnya, tokoh ‘aku’ mengaku dirinya tidak membaca seluruh manifesto tersebut.

Inilah salah satu satire yang membuat saya membatalkan Navis bukan tokoh ‘aku’, alih- alih ialah sidang pembaca yang sekiranya mengalami Pemerintah Kaul Modern,  yang representasinya merujuk ke Orde Baru. Jika bukan sidang pembaca, maka ‘aku’ secara figuratif ialah sang kala yang menghantarkan Indonesia kita hari ini, Indonesia  pasca-Reformasi, Indonesia abad ke-21: kita di milenium baru.

Membaca “Angkatan 00” membuat saya seperti mengapung di kapsul waktu. Selama pemeriksaan risalah teks, saya menemukan “Angkatan 00” rilis sebanyak empat kali dengan versi berbeda. Selanjutnya, saya jabarkan perbandingan atasnya sehingga dapatlah terukur sejumlah kata kunci dalam bagian I – Risalah Teks.

 

II – Empat Versi Cerpen

Bagian kedua ini untuk kebutuhan analisis awal: komparasi empat versi cerita dan elemen naratif pembentuknya, serta menindaklanjuti pre-asumsi sebelumnya, yang berjalin dengan interpretasi saya mengenai ‘spekulasi’ Navis dalam “Angkatan 00”.

Empat Versi: 1968, 1990, 2001, 2004

Hasil pelacakan saya menemukan seminimalnya cerpen “Angkatan 00” mengalami empat kali publikasi, antara lain (1) Horison, Agustus 1968, hlm. 230-234; (2) Pustakakarya Grafikatama, buku kumpulan cerpen Bianglala, 1990, hlm. 75-87; (3) Penerbit Gramedia Pustaka Utama, buku kumpulan cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati (2001), hlm. 58-72; dan Penerbit Kompas, Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis (2004), hlm. 447-459.

Empat versi tersebut saya periksa satu persatu dengan memerhatikan setiap rincian elemen-elemen naratifnya. Secara umum, “Angkatan 00” dari masa ke masa tidak mengalami perubahan signifikan terkait gagasan, selain penyesuaian ejaan versi 1968 ke versi 1990, disertai beberapa revisi minor. Namun, pengecualiannya, versi 2001 adalah versi yang paling berubah, dengan penambahan di sana-sini. Adapun versi 2004 terbaca mengembalikan versi 1968 hanya ejaannya sudah disesuaikan.

Perubahan “Angkatan 00” menuntut catatan perbandingan lanjutan. Namun, sebelum ke situ, saya asumsikan Navislah yang mengerjakan penyuntingan ulang pada versi 1990 dan versi 2001, sedangkan versi 2004 tidak ia kerjakan sebab terbit sebagai posthumous. Pada versi 1990,  Bianglala—terbit  aslinya pada 1963 (NV Nusantara)  berisi  empat  cerpen—diberi keterangan pada daftar isi: “kumpulan cerita pendek versi baru” oleh penerbit Pustakarya Grafikatama. Bianglala edisi 1990 menyapih cerpen “Ibu” dan menambahkan tujuh cerpen lain. “Angkatan 00” dalam Bianglala seperti mengalami fase pengarsipan ke dalam antologi karena sebelumnya tercecer.

Sementara itu, pada versi 2001, “Angkatan 00” kembali tergabung di Bertanya Kerbau pada Pedati. Bagi saya, ini keputusan politis Navis selaku penulis. Menimbang cerpen tersebut saya yakini memiliki relevansinya karena menggemakan Reformasi 1998 yang belum lama terjadi. Terutama penyuntingan ulang “Angkatan 00” versi 2001 mengisyaratkan bahwa Navis seperti  berupaya  mengontekstualisasikan spekulasinya di masa lalu. Masa depan, yakni milenium  baru, yang kini terpampang di depan wajahnya. Artinya, catatan perbandingan krusial memeragakan penyuntingan sebagai tindakan ‘menengok’ yang menggemakan ulang suara tokoh ‘aku’ sebagai agen naratif; dan Navis melihat kembali dengan penimbangan baru.

Bahasan selanjutnya akan berkutat pada kupasan elemen naratif “Angkatan 00” yang saya preteli, dengan fokus pada versi 1968 dan versi 2001: dari keduanya tampak perbedaan. Yang satu di awal Orde Baru, yang satu lagi di awal Reformasi. Yang satu abad ke-20, yang satu lagi abad ke-21.

Navis seperti bolak-balik menelusuri dua zaman yang terakumulasi melalui  pengalaman  empirisnya. Dengan narator yang  tersirat dan posisinya menengahi, “Angkatan 00” mengonstruksi masa depan sebagai masa lalu yang dibentuk lewat interaksi antara teks dan pembaca. Saya kira, pembaca kini mempertimbangkan spekulasi suara ‘aku’ dalam “Angkatan 00” sebagai refleksi Navis sesungguhnya, meskipun keduanya merupakan hasil konstruksi pembaca yang melakukan refleksi. Atas sejarah dan atas teks cerpen tentang sejarah.

Bahwa “Angkatan 00” telah menciptakan resepsi yang berlapis sedari spekulasinya akan masa depan. Sehingga pembaca disuguhkan realitas yang tidak tunggal: memilah fenomena faktual dan fiksional di semesta rekaan Navis. Semesta  tempat  narator-tokoh dengan kata ganti ‘aku’ dramatis melanturkan pengisahan: sosoknya tidak memainkan perannya selaku tokoh utama sebatas ia memicu keseluruhan cerita. Ialah yang diam-diam tampil kasat-mata melalui penceritaan orang-pertama. Narator dramatis yang hanya muncul sebagai narator, bukan sebagai figur dengan visualisasi lengkap.

 

Catatan Perbandingan: Versi 1968 & Versi 2001

Untuk menelaah spekulasi Navis, saya mulai dengan penjelasan mengenai narator-tokoh sebagai elemen naratif yang tidak dominan, tapi eksistensinya substansial. Tokoh ‘aku’ di “Angkatan 00” merupakan aku-penyaksi yang dramatis, yakni narator-serba-tahu (omniscent authorial narrator). Jenis narator yang berdiri di atas dunia rekaan, merangkum segalanya melalui kata-katanya sendiri. Kehadirannya tampak jelas walaupun kerap mengecoh dan tuturannya menghanyutkan seolah pembacalah subjek pertama cerita. Alih-alih, narator jenis ini sedang memperlihatkan apa yang ia pikirkan terkait khalayak banyak dan hal-hal yang ia beberkan. Narator-serba-tahu yang melenyapkan dirinya perlahan dengan menukar posisinya selayaknya pembaca.

Baik versi 1968 maupun versi 2001, narator “Angkatan 00” mengatasnamakan dirinya aku-narator tidak menjadikan karakteristiknya utuh dalam cerita, tapi suaranya membentuk sosok penokohan. Kutipan suaranya terbaca dari dalam cerita, alih-alih berasal dari luar cerita. Beberapa kutipan (Tabel 1) menunjukkan intervensi narator yang mengimplikasikan suatu ketergantungan jalannya cerita lewat keberadaannya.  Melalui pernyataan tidak langsung narator, diaculah sosok lain yang generalisasi acak, yaitu ‘engkau’ (pembaca) sebagai agen yang berada di luar cerita.

‘Engkau’ hadir di setiap versi “Angkatan 00” dan ia beralasan dipahami sebagai ‘sesuatu’. Posisinya di luar teks menjadikannya agen abstrak dan tidak termanifestasi secara konkret. Asumsi atas ‘engkau’ bergantung pada narator yang mengabstraksi jalannya cerita. Dengan begitu, ‘engkau’ punya signifikansi yang tinggi terhadap cerita. Melalui ‘engkau’, pembaca terkoneksi ke dalam narasi yang dijalin, beserta isinya. ‘Engkau’ adalah entitas pemegang amanat spekulasi yang mencermati proyeksi Navis secara futuristik.

No. “Angkatan 00” Versi 1968 “Angkatan 00” Versi 2001
1 Tentang struktur pemerintahan yang ditumbangkan oleh cucu Angkatan 66 ini, engkau sudah tahu. Dan tentunya engkau ingin banyak lebih tahu lagi, bukan? Sepertinya engkau yang menghendaki setiap rasa puasmu disempurnakan. Aku pun belum merasa puas apabila tidak menceritai engkau sepuas-puasku. Maka itu akan aku ceritakan pula tentang struktur ekonomi Negara Republik Indonesia yang diperintahi oleh pemerintah anaknya Angkatan 66. Tentang struktur pemerintahan yang ditumbangkan oleh cucu Angkatan 66 ini, engkau sudah tahu. Dan tentunya engkau ingin banyak lebih tahu lagi, bukan? Sepertinya engkau yang menghendaki setiap rasa puasmu disempurnakan. Aku pun belum merasa puas apabila tidak menceritai engkau sepuas-puasku. Maka itu akan aku ceritakan pula tentang struktur ekonomi Negara Republik Indonesia yang diperintahi oleh pemerintah anaknya Angkatan 66.
2 Oleh karena aku telah cerita tentang perkawinan di masa Pemerintahan Kaul Modern yang didongkel oleh Angkatan 00 ini, baiklah aku teruskan ceritaku ini dengan menceritakan cabang kehidupan yang ada hubungannya dengan perkawinan ini, yakni masalah kesenian. Oleh karena aku telah cerita tentang perkawinan di masa Pemerintahan Kaul Modern yang didongkel Angkatan 00 ini, baiklah aku teruskan dengan menceritakan cabang kehidupan yang ada hubungannya dengan sex dalam perkawinan ini, yakni masalah kesenian.

 

3 Aku tidak membaca Manifes Kemanusiaan yang setebal 300 halaman tik folio tanpa rangkap serta fasal-fasal yang 26 buah yang ditelorkan oleh Angkatan 00 itu dalam memulai aksinya mendongkel Pemerintahan Kaul Modern itu. Karena itu aku tidak dapat menerangkan alasan-alasannya secara mendetail kepadamu. Tapi demikianlah, Pemerintah Kaul Modern itu pun berhasil ditumbangkan tanpa melahirkan pahlawan-pahlawan seperti yang dipunyai oleh Angkatan 66 yang menjadi kakeknya dari Angkatan 00 ini. Aku tidak membaca Manifes Kemanusiaan setebal 300 halaman folio spasi rapat serta pasal-pasalnya yang 26 itu, yang ditelorkan oleh Angkatan 00 ketika hendak memulai aksinya mendongkel Pemerintah Kaul Modern. Karena itu aku tidak dapat menerangkan alasan-alasannya secara terinci. Tapi demikianlah, Pemerintah Kaul Modern itu pun berhasil ditumbangkan tanpa melahirkan pahlawan-pahlawan seperti yang dipunyai Angkatan 66 yang menjadi kakek Angkatan 00 ini. Sehingga terhindarlah bangsa ini dari mitos dan pengkultusan manusia oleh manusia.

 

Tabel 1.1 Narator “Angkatan 00”

 

Pada tabel di atas kentaralah intensitas narator ‘aku’ dalam teks “Angkatan 00”, sesekali dibarengi penunjukan sosok ‘engkau’ sebagai signifikan (amanat) cerita. Kemunculan ‘aku’ tidak di awal, tetapi di pertengahan cerita. Inilah yang membuat kehadirannya menyentak pembaca yang menjelma ‘engkau’ seakan-akan menjadi lawan bicara langsung. Inilah tahap pembacaan kedua, ‘engkau’ terbaca menyilih pembaca “Angkatan 00” yang sesungguhnya. Relevansinya bergantung pada sejauh mana memafhumi semesta fiksi yang Navis bentangkan.

Pada nomor 1, ‘engkau’ diasumsikan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi oleh ‘aku’. Yakni, rasa penasaran khas berupa haus akan pengetahuan. Suatu watak rasional yang boleh jadi mencirikan akademis. Narator sebisa mungkin menjaga ritme ceritanya, seolah dialah time traveler yang sedang menjelaskan pengalamannya agar bisa masuk      akal. Ketidakpuasan ‘aku’ apabila tidak bercerita amat menegaskan bahwa narator-serba-tahu mengendalikan cerita yang akan terdengar spekulatif—jika bukan  mengada-ada. Sayangnya, tidak terdapat kesaksian ‘engkau’ yang tersuarakan. “Angkatan 00” menyediakan komunikasi yang satu arah.

Sementara itu, nomor 2 mementaskan ‘aku’, dalam kalimat tidak langsung, menyebut “teruskan ceritaku” (1968) “teruskan dengan menceritakan” (2001) mengindikasikan betapa ketidakterbantahkan cerita ‘aku’ sebagai kesaksian: narator-serba-tahu ini seperti keluar-masuk ke dalam dan ke luar cerita. Dan inilah kelihaian Navis dalam mengarang kisah: peranan serba tahu narator menjadi corong pelancar satire yang diuraikannya sebagai fiksi. Pembaca dikecoh untuk bersangka-sangka sendiri perihal futuristik yang enigmatis. Kreativitas Navis merajut pengisahan yang ambigu, melalui elemen naratif, mengelabui persepsi pembaca manakah yang dunia rekaan dan manakah yang dunia sesungguhnya.

Namun, pengecohan tersebut terasa mengalami pembocoran di akhir cerita “Angkatan 00”. Pada nomor 3, terlihat perbedaannya. Versi 2001 ditutup dengan semacam penyuntingan ulang dari Navis: “Sehingga terhindarlah bangsa ini dari mitos dan pengkultusan manusia oleh manusia”. Inilah suara narator yang saya curigai dipinjam Navis setelah melihat Reformasi 1998 saat Soeharto lengser bersama Orde Baru tumbang. Suara yang mengafirmasi hikmah dari cerita spekulatif, yang disusun ulang. Saya taksir, “Angkatan 00” sangat berkesan personal bagi Navis hingga pembocoran mesti ada.

“Angkatan 00” adalah spekulasi masa lalu yang kemudian menjadi masa kini di mata Navis: ia seperti menulis untuk generasi Indonesia di kemudian hari—dengan pronomina ‘engkau’. Pembocoran yang menyindir mitos dan pengultusan inilah yang justru memikat saya untuk meneroka lebih dalam cerita. Mitos atas (kekuasaan) militer di balik Orde Baru dan pengkultusan jenderal Soeharto sebagai pucuk kuasa tertinggi. Dari catatan perbandingan ini, saya akan beranjak ke bahasan mengenai spekulasi, sambil lanjut mengupas elemen naratif “Angkatan 00”. Saya mempercayai semesta yang Navis narasikan tiada lain Orde Baru sebagai representasi. Maka dari itu, uraian berikutnya membuktikan koneksi ‘spekulatif’ Pemerintah Kaul Modern dengan Orde Baru melalui interpretasi yang mengupas penyepadanan keduanya, membedah ideologi teks, agar terklarifikasi pemaknaan tertentu tentang sejarah.

 

Ideologi Teks: Dua Katalisator Cerita

Konteks teks sastra senantiasa beririsan dengan ideologi. Yakni, ideologi—dalam pemaknaan luas—yang berarti kumpulan kesadaran atau ketidaksadaran pandangan dunia. Sesuatu tentang cara manusia menjadi dan terbebas dari konotasi sempit atasnya. “Angkatan 00” pertama kali terbit pada masa Orde Baru, 1968. Titimangsa itu menjadi perhatian saya untuk menempatkan teks (sastra) di tengah zaman yang sebenarnya, di Indonesia. Sebagai pembaca, yang tidak ‘mengalami’ Orde Baru, saya andalkan kepustakaan sekunder guna menunjang interpretasi atas ideologi teks “Angkatan 00” yang Navis karang.

Berformat cerpen, dimuat di Horison, “Angkatan 00” dikerangkai sekuens peristiwa yang terdiri atas beberapa rangkai urutan. Penuturannya bisa dianggap kronologis, bisa juga tidak. Dari pemeriksaan sekuens, ditemukan plot yang menyuplai keterhubungan yang alamiah antarperistiwa.“Angkatan 00” dibuka dan ditutup dengan narasi kelahiran Angkatan 00 yang berhasil menggulingkan Pemerintahan  Kaul Modern. Kelahiran tersebut memiliki dua katalisator, yaitu Manifes Kemanusiaan dan Watak Ilmu Pengetahuan.

Di antara pembuka dan penutup, cerita berisi kilas-balik berupa pemitosan Pemerintah Kaul Modern, yang saya namakan sebagai mitos. Inilah mitos kekuasaan yang diperinci oleh Navis, dan representasinya, bagi saya, merujuk ke Orde Baru. Saya istilahkan mitos, sebab maknanya sepadan dengan spekulasi fiktif yang Navis gubah:

Bagan 1.1 Sekuens Cerita “Angkatan 00”

 

Bagan sekuens di atas memperlihatkan mula cerita bertitik di tengah, yaitu Kelahiran Angkatan 00—lalu cerita membandul secara kilas-balik guna mengonstruksikan mitos kuasa Pemerintah Kaul Modern. Kelahiran tersebut mesti disertai latar belakang fiktif yang mengoneksikan ke masa lalu-cerita; sebagai relevansi hadirnya Angkatan 00. Katakanlah, narasi soal Pemerintah Kaul Modern adalah rangkaian peristiwa, maka ia penting untuk dikupas. Enam unsur yang terdapat pada mitos Pemerintah Kaul Modern (lihat Bagan 1.1) adalah bagian esensial dari “Angkatan 00” karena di sanalah letak spekulasi Navis—menyugesti ideologi teks. Namun, pembahasan itu menyusul lebih detail di bagian III – Jaringan Spekulasi.

Pada bagan tampaklah dua katalisator cerita, yang menebalkan sekuens; dan sekiranya berfungsi sebagai faktor penentu atas urgensi Kelahiran Angkatan 00. Manifes Kemanusiaan menasbihkan suatu pedoman sikap politis yang merespons kondisi  sosial-politik. Dengan pengakuan membaca manifes tersebut, narator secara implisit mengatakan bahwa isi Manifes Kemanusiaan adalah juga tentang zaman yang sedang dilewati Angkatan 00. Yaitu, zaman saat Pemerintah Kaul Modern berkuasa. Sehingga manifesto tersebut merupakan ‘pandangan dunia’ yang meliputi kondisi objektif masyarakat terhadap kenegaraan. Bertolak dari pengalaman literer tersebut, narator lalu beranggapan bahwa Angkatan 00 mengedepankan Watak Ilmiah Pengetahuan—yang menjadi katalisator kedua dalam cerita.

Watak  itulah  yang  beradu  dengan  ironi,  tatkala  pembaca  menyadari  bahwa  mitos ‘kesempurnaan’ Pemerintah Kaul Modern memiliki watak yang sebaliknya sehingga layak digulingkan. Lewat keterangan berikut, dari versi 2001, Navis menetaskan ironi tersebut secara satire:

“Kelahiran Angkatan 00 […] Mereformasi segala liku kehidupan manusia modern yang telah melahirkan struktur piramida terbaik sebagai suatu tradisi baru yang muncul karena konsekuensi logis dari pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan.
Dalam pasal 26 yang dikemukakan Angkatan 00 ini, lebih banyak mengandung kecemasan pada kemampuan generasi dalam membendung proses modernisasi      itu sendiri. Di mana angka kelahiran menjadi sangat rendah jika dibandingkan dengan angka kematian para remaja. Sebaliknya setiap orang yang mampu melampaui masa remajanya akan mencapai umur 100 tahun, kalau tidak ada kecelakaan yang fatal.
Angkatan 00 ini telah berhasil menumbangkan pemerintah bapaknya yang bernama Pemerintah Kabinet Ultra Modern, yang disingkat menjadi Pemerintah Kaul Modern. Kebangkitan Angkatan 00 ini jauh lebih berhasil dari Angkatan 66 di kala menumbangkan Pemerintahan Sukarno. Sialnya Angkatan 00 ini tidak melahirkan pahlawan-pahlawan. Karena tidak ada seorang pun dari mereka dilaga popor senapan ataupun dilanggar peluru. Sehingga tidak ada makam pahlawan dan tugu-tugu bagi mereka.
Sebagai galibnya manusia modern, perjuangan Angkatan 00 ini tidak membutuhkan rangsangan emosi. Emosi menurut perhitungan mereka hanya dibutuhkan untuk menghancurkan. Sebab yang menjadi pelopor dari Angkatan 00 ini adalah para mahasiswa yang berkubu pada Fakultas Kimia dan Universitas Teknologi di ibukota negara. Mereka bangkit tanpa sorak sorai ataupun demonstrasi dengan mengenakan jaket-jaket. Mereka bekerja diam-diam selama lima tahun penuh. Secara beruntun di dalam tahun-tahun itu sekelompok demi sekelompok pejabat yang berkuasa gugur dari jabatannya. Bukan karena  ditangkap lalu dijebloskan ke penjara, melainkan mereka itu datang sendiri kepada dokter jiwa, lalu dokter jiwa memasukkan mereka ke rumah sakit di Grogol untuk dididik dengan sistem komputerisasi. Cara kerja Angkatan 00 di dalam  aksi-aksinya sederhana saja. Yakni dengan menukar-nukarkan etiket dari ampul kromosom X dan Y.”

Yang dapat termaknai dari kutipan, Angkatan 00 dibayangkan mengalami suatu tatanan masyarakat yang luar biasa ideal dengan ‘struktur piramida terbaik’. Taraf kualitas manusia pada masa Pemerintah Kaul Modern seperti berada di atas rata-rata, sebab berada di tengah kemajuan peradaban.

Klausa “konsekuensi logis dari pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan” menunjukkan bahwa inilah zaman ketika sains dan  teknologi menorehkan prestasi demi prestasi yang mensolusikan kompleksitas kemauan dan kebutuhan manusia. Kondisi semacam itu berpengaruh terhadap percepatan di segala lini kehidupan, termasuk sosial-politik—selagi Perang Dingin adalah blokade Blok Timur dan Blok Barat yang berseteru perihal siapa yang paling antariksa di antara keduanya.

Dari konsekuensi tersebut, ironisnya, Angkatan 00 yang telah menjadi ‘warga dunia’ menghadapi fase yang pelik: modernisasi yang ditunggangi kemajuan ilmu  pengetahuan berimbas pada psikologi generasi muda. Angkatan 00 adalah generasi muda yang menyelami proses disrupsi dengan mentalitas gamang. Itulah yang sebenarnya dimaksud ‘kecemasan’. Kegegapgempitaan yang menekan laku sosial sehingga angka kelahiran mengalami penurunan, seiring dengan angka kematian. Dalam dunia riil, di luar cerita, pada dekade 1980-1990an, modernisasi didengungkan dengan embel-embel bombastis seperti globalisasi dan teknologi informatika. Persis  demikian, inilah masa yang terspekulasi dialami Angkatan 00 yang berpikiran logis, kendati pada saat bersamaan dipusingkan oleh gelombang tsunami informasi.

Begitulah satire yang Navis sampaikan sebagai rasionalisasi tumbangnya Pemerintah Kaul Modern. Dengan watak yang mengedepankan ilmu pengetahuan, Angkatan 00 tidak menjadi pahlawan bagi zamannya. Penumbangan rezim tidak menumpahkan darah. Bagi saya, di sinilah letak ideologi teks “Angkatan 00” yang mengajukan pengontrasan secara tersirat bahwa Angkatan 66 (di Indonesia) terlahir dari konflik yang menimbulkan ‘makam’ dan ‘tugu’ di mana-mana: misalnya, peristiwa G30S  pada 1965—dibahas pada bagian III.  Navis menyodorkan satire tatkala merefleksikan  sejarah kelam lahirnya Orde Baru. Satire yang mensarkaskan komparasi spekulatif bahwa keburukan Angkatan 66 (yang membidani Orde Baru) tidak ‘lebih berhasil’ dari Angkatan 00 yang sebetulnya fiktif belaka.

Kembali ke kutipan. Angkatan 00 yang mengalami kedahsyatan modernisasi berjuang dengan ‘tidak membutuhkan rangsangan emosi’. Simpelnya, emosi adalah pengacau nalar: yang merancukan kemasukakalan cara kerja pikiran. Merekalah angkatan yang  Navis replikasikan sebagai ‘manusia modern’ beridentitas nirbatas, tanpa keriuhan  “sorak sorai ataupun demonstrasi dengan mengenakan jaket-jaket”—yang referensinya mengacu kepada identitas mahasiswa. Merekalah yang menginstrumentasikan kejatuhan suatu rezim melalui keheningan ala ilmuwan. Sebuah angkatan yang pengorkestrasi teknologi ‘sistem komputerisasi’ guna menghilangkan akal sehat ‘pejabat’ hingga mengalami gangguan jiwa. Satire yang begitu nyinyir, yang mereduksi kepelikan siasat penggulingan kekuasaan rezim berupa tukar-menukar etiket dari ampul kromosom X dan Y saat mencontohkan “cara kerja Angkatan 00 di dalam aksi-aksinya sederhana saja.” Alangkah ironis.

Konyolnya, semua pemandangan kejadian tersebut diintisarikan oleh narator ‘aku’ selaku tokoh tersembunyi dalam cerita. Saya membayangkan betapa jeli Navis menyisipkan testamen politis yang lesap ke dalam pengisahan spekulatifnya. Dengan kata lain, ideologi teks “Angkatan 00” ternyatakan dalam kemandirian cerita yang semestanya begitu liat, sehingga pembaca yang tidak awas atas tabiat fiksi akan tidak sempat menyangsikan apakah cerita ini gurauan fiktif atau betul-betul kritik sosial yang tajam. Satire juga terlacak pada revisi satuan kata seperti “mereformasi” saat dikonkretkan “Kelahiran Angkatan 00 […] Mereformasi segala liku kehidupan manusia modern”. Pada versi 1968, kata tersebut tercetak “mencakup”.

Selanjutnya, pengisahan bergerak ke masa-depan-cerita, yaitu Kejatuhan Pemerintah Kaul Modern. Sebuah rezim spekulatif di mata Angkatan 00 sebagai ‘pemerintah bapaknya’, yang maknanya mengantarkan pada mitos tentang patronasi kepemimpinan laki-laki, serba maskulin, yang representasinya menghinggapi sejarah  kepresidenan di Indonesia. Yaitu, pemerintahan Orde Baru dengan sosok kunci Jenderal Soeharto, Sang Bapak Pembangunan. Kejatuhan ini ancangan spekulasi dalam rupa kilas-balik cerita yang Navis babarkan kepada pembaca sejak 1968 (lewat Horison yang notabene digawangi Angkatan 66). Yakni, 30 tahun sebelum rezim tersebut dikecam massa nasional dan internasional supaya mundur. Rezim yang keropos dari dalam akibat pemitosan atas dirinya sendiri.

Kedua katalisator cerita yang saya interpretasikan sebelumnya memberi impak kepada pembawaan Angkatan 00 yang berspirit anti-hero. Spirit yang keniscayaannya sangat menegasi dirinya—sebagaimana angkatan, seperti saya singgung di Bagian I, merupakan term militer—yang apabila dicerabut dari cerita, julukan Angkatan 00 seperti olok-olok bahwa militer adalah nonsens. Dalam nada satire, Angkatan 00 ialah mereka yang mencemooh militer sejak namanya sendiri—dan nama manifestonya yang memparadokskan kondisi kemanusiaan pada konteks tersebut (Pemerintah Kaul Modern) tidak manusiawi. Logislah mengapa Navis mengonstruksi Angkatan 00 sebagai generasi yang enggan heroik, meski, andaikata, (mereka) diasosiasikan representasinya ke Angkatan (Reformasi) 1998 relatif tidak setimbang.

Dari kupasan elemen naratif sejauh ini, terkuaklah ideologi teks “Angkatan 00” yang diketengahkan oleh narator-serba-tahu melalui kesaksiannya membaca Manifes Kemanusiaan. Segala urgensi kelahiran angkatan tersebut merujuk kepada Orde Baru yang direpresentasikan melalui Pemerintah Kaul Modern. Analisis saya berikutnya adalah tinjauan kesejarahan untuk memverifikasi seperti apakah spekulasi fiksi dan kenyataan faktual; antara Pemerintah Kaul Modern dan Orde Baru. Analisis tersebut dilengkapi nukilan “Angkatan 00” sebagai bukti tekstualnya.

 

III – Jaringan Spekulasi

Bagian ketiga ini ialah lanjutan analisis ideologi teks, memuat aspek-aspek spekulasi lainnya. Analisis yang memaparkan pengontrasan hal-hal ekstrinsik yang berpijak pada Bagian II dan I, mengupas aspek-aspek futuristik dalam “Angkatan 00”.

 

Mitos Orde Baru: Atas Nama Pembangunan

Sebelum lanjut ke pembahasan ideologi teks, mari berkilas-balik sejarah Republik Indonesia untuk meninjau titik awal pemitosan Orde Baru. Semua bermula dari Peristiwa G30S 1965. Peristiwa yang menyisakan dilema moral bagi kalangan cendekiawan. Terjadi pembelahan besar-besaran antara masa lalu yang dilihat sebagai trauma dan masa depan yang belum tentu harapan. Kenyataan 1960an di Indonesia: politik berakhir menjadi semacam serambi penyiksaan—sehingga muncul ketakutan dan alergi yang seram terhadap isme-isme. Di situlah militer tampil sebagai ratu adil yang memegang seluruh piranti gerak skala nasional dengan kampanye yang  mengontraskan diri mereka dengan rezim Orde Lama. Militer sebagai heroisme baru. Militer mensubtitusi rezim lama, untuk kemudian mengadakan Orde Baru.

Orde Baru memetakan tata hidup baru di Indonesia sebagai babak yang memunculkan teori masa transisi seputar peristiwa G30S. Tentang siapakah dalang dari kudeta tersebut tidak akan saya bahas di sini. Yang jelas, apa pun teorinya, rezim Orde Baru mengabsahkan teori resmi versi militer yang merupakan pegangan bagi teori Orde Baru. Bahwa peristiwa G30S di baliknya berdalang Partai Komunis Indonesia adalah satu hal, dan militer yang membenarkan tindakan berupa deideologisasi Orde Lama sampai ke pensakralan Pancasila sebagai eksesnya adalah basis ide yang menjadi tuntunan-pijakan Orde Baru.

“Angkatan 00” terbit pada masa ketika militer menjalankan roda kekuasaan: periode debut yang menempatkan kontrol ketentaraan di atas segalanya. Navis adalah cendekiawan yang menyaksikan hiruk-pikuk formasi wacana politik bentukan Orde Baru tersebut. Yakni, ketika militer menebang-pilih golongan cendekiawan secara biner: kiri atau kanan, kawan atau lawan. Mereka yang dilabeli kiri atau lawan (atau yang berseberangan dengan Orde Baru) tersisih dari masyarakat: diasingkan, dipenjara, kegiatan berkarya dan bekerjanya dihentikan, jika tidak dibatasi secara sepihak oleh negara—dalam hal ini oleh pemerintah pusat.

Mitos Orde Baru dalam “Angkatan 00” mengalami pembentukan identitasnya melalui pembayangan atas idealisasi-idealisasi yang mengatasnamakan tujuan klise:  kemaslahatan bangsa. Bangsa adalah salah satu kata yang beriringan nongol dalam “Angkatan 00” bilamana Navis menceritakan negara. Bangsa ialah entitas politik yang seakan diidamkan secara massal dan terwujud melalui kedaulatan berkat keberhasilan proyek-proyek teknokrasi demi kemajuan ekonomi. Inilah masa yang digambarkan lewat kenyataan fiktif Pemerintah Kaul Modern. Menghalalkan berbagai cara ‘atas nama pembangunan’, Orde Baru memulihkan krisis warisan Orde Lama. Di balik seragam kenegaraannya, militer Orde Baru berambisi merekonstruksi identitas nasional kebangsaan yang baru.

Proyek-proyek teknokrasi yang dicitrakan dalam “Angkatan 00” dikedepankan lewat semangat demokrasi di bawah kepemimpinan para jenderal. Bahwa militer berkiprah secara sistemik sampai ke satuan pranata terkecil di masyarakat. Inilah demokrasi ketika jenderal ialah jabatan keren yang secara satire Navis jitu betul mengolok-olok demokrasi Orde Baru. Setelah menguraikan keberadaan jenderal di setiap ranah  sosial, narator ‘aku’ seperti bertatapan langsung dengan pembaca yang diajaknya bicara, melalui kata ganti ‘engkau’.

Proyek-proyek tersebut digarisbawahi sebagai proyek negara untuk melayani cita-cita harkat hidup orang banyak, yang pastinya sesuai koridor utama penguasa, yaitu  militer. “Angkatan 00” ditulis persis di masa transisi luar biasa: peralihan rezim.  Betapa kontras implementasi dan pendekatan kuasa Orde Baru dengan Orde Lama. Di masa inilah militer bertransformasi menjadi neglected armed forces as armed forces seperti istilah Benedict Anderson: militer yang nyaris metamorfosisnya menjadi sekaliber ‘partai politik’ bersenjata nan fasis. Senjata tidak hadir sebagai pegangan langsung, tetapi alat kendali yang memberi sense keangkeran.

Pada masa Orde Baru, militer melebur di setiap lini bersama rakyat. Bersama yang tidak membarengi. “Angkatan 00” tidak memamerkan jenderal sebagai aparatur negara yang siap terjun perang, tapi sebagai pemitosan yang totalitas di tengah kehidupan bernegara. Perspektif ini Navis gunakan manakala menulis “Angkatan 00” yang spekulatif dan penjabatan jenderal menjadi satire paling tegas darinya. Perspektif yang mencecar kelewatbatasan militer yang selama masa-depan-di-luar-teks bertransformasi jadi pengusir hantu komunisme. Sialnya, di saat bersamaan masyarakat sedang memerlukan kepemimpinan politik baru yang kharismatik.

Krisis nasional pasca G30S menjadi momentum pembaruan relasi sipil-militer. Seolah-olah tidak ada pilihan selain menganggap pengambilalihan kuasa militer ini sebagai harapan di tengah dekadensi kemanusiaan. Melalui dwifungsi ABRI, narasi-narasi kerakyatan pun diturunkan lewat pengujungtombakan Soeharto sebagai Sang Bapak Pembangunan dan Golkar (Golongan Karya)—sewujud organisasi politik—yang bernakhoda militer sebagai sponsor nomor satu. Begitulah bentukan mitos Orde Baru dan uraian setelah ini mengupas jaringan spekulasinya dalam “Angkatan 00”.

 

Ideologi Teks: Pemerintah Kaul Modern dan Orde Baru

Bagian II telah menunjukkan pemeriksaan elemen naratif mengerucutkan pre-asumsi yang saya ajukan di awal tulisan bahwa cerpen “Angkatan 00” adalah tentang sejarah Republik Indonesia dalam rumusan yang spekulatif. Navis menulisnya pada Agustus 1968 seperti dengan cara kerja fiksi sains atau fiksi futuristik.

Inilah dekade 1960, suatu dekade di sastra Indonesia yang penuh dengan kehebohan. Pada bulan saat “Angkatan 00” rilis, “Langit Makin Mendung” karya Kipandjikusmin di majalah Sastra: sebuah cerpen yang juga spekulatif dalam artian pengandaian imajinatif atas kesaksian seorang nabi dan malaikat yang melihat Indonesia sebagai negeri bobrok. Cerpen ini kritik sosial eksperimental hingga menyulut kecaman karena dianggap menghina agama. Jassin diadili di pengadilan selaku redaktur Sastra lantaran memuatnya.

Demikianlah latar konteks sastra Indonesia saat “Angkatan 00” terbit. Saya rasa, para pengarang saat itu mengolah berbagai kemungkinan gaya karangan untuk menimpali situasi sosial-politik yang amat dinamis. Mereka mengomposisi hal-hal ideologis dengan pendekatan ekspresi kritis yang baru sesuai pemaknaan masing-masing. Pada masa itulah, di kancah prosa, pengarang seperti Budi Darma, Danarto, Iwan Simatupang mengerjakan cerita bertendensi absurd, surealistik. Cerita-cerita karangan mereka seperti ‘melampaui’ tradisi penulisan realis yang barangkali tidak begitu menantang; atau sebetulnya realistas an sich memang terlalu menjijikkan untuk digubah persis sebagai ‘mimikri’ belaka.

Melalui  penulisan  spekulatif, Navis memilih “Angkatan  00” sebagai opsi darinya menarasikan kisahan futuristik berbasis kondisi objektif kala itu: pengandaian-pengandaian di kemudian hari dengan meletakkan narator ‘aku’ yang berargumen layaknya time traveler. Kesaksian narator adalah kunci dari bukaan ideologi teks “Angkatan 00” yang membuat suara Navis menyaru, tidak berterus terang. Dengan kata lain, di sini saya meyakini bahwa konteks cerita pun punya cerminannya dengan perkembangan sastra di luar teks (karya) itu sendiri. Yakni, perkembangan yang juga memosisikan sastra merupakan bagian dari ekspresi kesenian tentang keadaan sosial-politik tertentu, sebagai ‘tinju bayangan’.

“Angkatan 00” bergantung pada eksisnya narator yang mengundang keyakinan bahwa

cerita bisa dipercaya. Bahwa fiksi tetaplah fiksi, namun ia berdaya menjangkau masa-depan-di-luar-cerita dengan logika futuristiknya. Pernyataan-pernyataan narator ‘aku’ “Angkatan 00” adalah ideologi teks; dan di bagian ini saya selaku pembaca ingin mengomunikasikannya lewat penyepadanan antara Pemerintah Kaul Modern dan Orde Baru. Dengan kupasan enam unsur mitos Pemerintah Kaul Modern umpamanya termafhumi jaringan spekulasi “Angkatan 00”.

No. Unsur Pemitosan Pemerintah Kaul Modern
1 Struktur Kuasa “Semua pejabat utama semenjak dari pusat sampai ke daerah tingkat tiga memperoleh pangkat jenderal.”
2 Struktur Kuasa “Kepala negara waktu itu disebut Preral, singkatan dari Presiden Jenderal. Para Menteri disebut Meral, pendekan dari Menteri Jenderal. Gubernur disebut Gural. Yah, tentu saja pendekan dari Gubernur Jenderal. Bupati menjadi Bural. Sedangkan Walikota disebut Wakoral, tapi rakyat biasa menyebutnya Wak Oral.”
3 Struktur Kuasa “Tentang kependekan nama pangkat ini baik juga diterangkan.Waktu itu ketagihan orang zaman sekarang dengan memotong-motong nama majemuk diteruskan, tapi dengan sistem yang teratur. Khusus nama kepangkatan, yang dikutip ialah kepala dan buntut dari kata majemuk itu. Maksudnya demi pengertian simbolik belaka.”
4 Struktur Kuasa “[karena] semua jabatan itu dipangku oleh para jenderal semata, atau oleh orang-orang yang pernah jadi jenderal. Entah jenderal ABRI, entah Direktur Jenderal, entah Jenderal Manajer atau pun agen General Motor. Memang pula di masa itu semua orang pada ketagihan disebut atau menambahkan istilah jenderal di belakang nama yang sudah ada. Hal ini telah disahkan oleh undang-undang.”
5 Institusi  Pemerintah “Apabila para jenderal saja menjadi kepala pemerintahan, hal ini adalah karena konsekuensi logis dari pada demokrasi yang melakukan pemilihan umum sekali 4 tahun itu. Undang-undang Pemilihan Umum waktu itu dilakukan bertingkat sejak dari kelompok masyarakat terbawah, yakni dari RT ke RK, dari RK sampai seterusnya ke atas. Pada setiap RT senantiasa ada orang-orang yang berpangkat jenderal. Makanya setiap diadakan Pemilihan Umum, orang tentu akan memilih penjabat yang paling tinggi statusnya. Karena itulah dengan sendirinya setiap jabatan eksekutif ataupun wakil-wakil golongan ataupun partai senantiasa jatuh pilihan kepada para jenderal. Dan sistem integrasi antara rakyat dan ABRI waktu itu betul-betul telah sempurna, sehingga ABRI tidak membutuhkan asrama untuk mereka lagi. Mereka tinggal pada flat-flat perumahan rakyat. Prajurit di lantai terbawah. Bintara sampai perwira menempati lantai atas berikutnya. Sedangkan perwira menengah sampai jenderal, berbaur pada flat-flat tertinggi bersama rakyat. Dengan peraturan demikian semua penduduk akan merasa aman dari serangan pihak luar. Rata-rata pada setiap flat yang pada umumnya bertingkat 66, tentunya anggota ABRI itu pula yang dipilih menjadi ketua dari tingkat-tingkat flat itu. Penempatan anggota ABRI pada setiap flat alasannya yang terutama karena alasan psikologis, seperti yang termaktub dalam Peraturan Militer Khusus.”

 

6 Institusi Pemerintah “[…] Lembaga Kenegaraan seperti DPA, MPR, DPR dan sebagainya telah dirombak nama-namanya. DPA sekarang disebut Lempung, kependekan dari Lembaga Pemikiran Agung. Anggotanya ialah para pensiunan dari pejabat utama dan orang-orang yang pernah memperoleh prestasi internasional  […] Anggota Lempung ini ialah orang-orang yang telah berusia sekurang-kurangnya 90 tahun. Jadi dengan demikian anggota Lempung ini benar-benar telah mencerminkan manusia yang telah memperoleh prestasi tertinggi di dalam hidupnya, baik dalam kemampuannya ataupun dalam umurnya.”
7 Institusi Pemerintah “MPR […] disebutkan dengan Lemper. Kepanjangannya ialah Lembaga Permusyawaratan Rakyat. Sedang anggota-anggotanya ialah semua Jetor, Jetur, Jejer, Jemur, serta Jetis di daerah dan di pusat. Semua pimpinan partai politik di daerah dan di pusat. Mereka ini terbagi dalam tiga kelompok. Kelompok parpol, kelompok karyawan, kelompok daerah.”
8 Institusi Pemerintah “Tentang partai politik, hanya ada tiga macam partai mampu berdiri. Ketiga partai ini anggotanya ialah terdiri dari oknum potensi riil belaka. Nama ketiga partai itu ialah Partai Potensi Mentalita, yang anggotanya terdiri pemimpin kerohanian, potensi pendidikan, kesehatan seniman dan sebagainya. Partai Potensi Fisika, anggotanya ialah anggota ABRI yang bekerja di bidang swasta. Partai Potensi Energika anggotanya ialah orang-orang yang bekerja di lapangan perjasaan swasta. Setiap orang yang menerima gaji dari pemerintah tidak boleh masuk partai apa pun. Betapa idealnya.”
9 Sistem Ekonomi “Sistem ekonomi di masa itu ialah sistem joint venture dengan negara asing mana saja. Sistem join ini ditempuh berdasarkan prinsip perwatakan bangsa kita sendiri dari angkatan ke angkatan setelah melalui studi-studi psikologi yang sangat mendalam bersama sarjana asing yang terkenal. Karenanya, sistem join ini ternyata mendapat sukses sehingga kekayaan negara melimpah-limpah tanpa sebutir risiko pun. Pemerintah hanya menyediakan tanah dan tenaga, lain-lainnya pengusaha-pengusaha asing. Sedangkan setiap penghasilan kotor dibagi dua sama banyaknya. Demikianlah ekonomi Indonesia telah menampung ratusan industri yang besar luar biasa.”
10 Sistem Ekonomi “Oleh karena sistem join ini, maka politik di Indonesia menjadi sangatlah stabil. Tidak ada lagi demonstrasi-demonstrasi. Tidak ada lagi gembel yang mencari sisa-sisa makanan dalam tong sampah seperti hampir setiap hari kita lihat di ibukota. Setiap demonstrasi ataupun usaha untuk melakukan demonstrasi hanyalah suatu yang menggelikan saja, karena telah dipandang kuno dan barbar oleh masyarakat modern waktu itu.”
11 Lapangan Kerja “Setiap warga negara asli pasti memperoleh pekerjaan. Dan setiap orang dapat pekerjaan bila mau tanpa memerlukan surat keterangan berkelakuan baik dan sebagainya. Satu-satunya surat keterangan yang berharga pada waktu itu bukanlah kartu penduduk atau sebangsanya,

 

melainkan semacam kartu kredit. Jabatan yang sangat disukai oleh rakyat pada waktu itu selain menjadi anggota ABRI, ialah jabatan duane yang menempati nomor dua. Jabatan-jabatan lainnya yang disukai ialah menjadi pesuruh, portir, guide, peragawati, model, penjual foto, calo, supir taksi, kacung golf dan yang sejenis dengan itu. Mereka ini selain mendapat gaji tetap,  juga berhak memperoleh tip. Dan itu diatur oleh undang-undang kepegawaian dan perburuhan.”
12 Pariwisata, Hiburan, Seni- Budaya “Demikian jugalah penghasilan kasino dan lontong ini dapat pula dibangun museum-museum, perpustakaan, tugu-tugu, mesjid-mesjid, gereja, kelenteng, dan candi-candi. Pendeknya usaha-usaha kenegaraan yang nonproduktif telah dapat ditutup pembiayaannya oleh hasil kasino-kasino itu. Malah kasino-kasino di Monte Carlo menjadi sirna. Pusat perjudian telah pindah ke negara kita. Setiap kasino menghilangkan segala macam perjudian yang ada di dunia, bahkan perjudian mengadu jago pun tersedia. Di kota Jakarta saja tersebar 23 museum. Sejak museum ilmu pengetahuan, seni dan kebudayaan, sampai museum sejarah bangsa-bangsa di dunia ini. Ada 9 perpustakaan, yang jumlah judul bukunya semua sama banyaknya dengan judul buku yang pernah diterbitkan di dunia ini. Termasuk buku komik.”
13 Pariwisata, Hiburan, Seni- Budaya “Jakarta pun menjadi pusat gelanggang olahraga sedunia. Soalnya adalah sederhana saja, hingga Jakarta dapat menggantikan kedudukan kota dunia lainnya. Yakni oleh karena hadiahnya bukan lagi semacam medali atau piala, akan tetapi pengakuan sebagai warga istimewa dari Republik, di mana mereka memperoleh hak-hak sebagai seorang jenderal yang sedang cuti keliling dunia atas tanggungan negara. Jakarta Cup menjadi lambang supremasi olahraga sedunia.”
14 Praktik Agama dan Perkawinan “[…] Undang-undang yang dimajukan oleh Menteri Jenderal Keagamaan (logika mereka waktu itu, agama tidak punya menteri, itu sebabnya jabatan Menteri Agama dihapuskan dan yang ada hanya Menteri Jenderal Keagamaan) diterima oleh Lempung, Lemper dan Lempur serta dideking sepenuhnya oleh Lemang Saksi telah dapat meredakan persoalan pertentangan agama itu. Antara lain isinya ialah: tidak seorang pun dibolehkan berpindah-pindah agama. Agama seseorang ialah agama yang dianut bapaknya, tidak boleh lain. Tapi proses terlaksananya undang-undang tersebut, adalah karena jauh sebelumnya proses asimilasi telah berhasil dilaksanakan. Proses asimilasi ini jadi begitu lancar oleh karena kampanye ratu-ratu kecantikan dan artis film dan TV yang mengkampanyekan mode perkawinan kilat dan tidak perlu berlama-lama. Perkawinan yang sampai berumur 5 tahun saja sudah dianggap sebagai peradaban kuno.”
15 Praktik Agama dan Perkawinan “Peraturan perkawinan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kaul Modern ialah peraturan yang paling maju dalam sejarah Republik, bahkan di seantero dunia. Peraturan-peraturan itu telah dapat mencegah hubungan kelamin di luar nikah antara orang-orang yang telah kawin. Suami istri yang merasa dikhianati oleh pasangannya dapat menuntut ganti rugi melalui Biro Asuransi Perkawinan. Dan setiap pasangan yang hendak bercerai, dengan cara baik-baik, haruslah mengusahakan jodoh baru dari pasangan baru bagi pasangannya. Mencari-cari pasangan pengganti tidak begitu sulit. Bisa melalui iklan di media massa cetak atau elektronik.”

 

16 Pariwisata, Hiburan, Seni- Budaya “[…] Kesenian pada waktu itu sangatlah hebat. Setiap orang akan terpesona secara aktif di bidang ini. Gadis-gadis menyukai kesenian tari dan menjadi model, pemain drama, film dan TV, menjadi peragawati, guide dan pelayan hotel dan restoran. Tarian klasik Indonesia meningkat sangat maju. Oleh karena orang Indonesia tetap tidak mendoyani untuk menonton tarian klasik ini. Depari atau Dewan Pariwisata mengirimkan ratusan rombongan penari ini ke seluruh dunia. Untuk bangsa Indonesia didatangkan kabaret dari Tokyo, Hongkong, New York dan lain-lain kota di dunia. Klub-Klub seperti Miraca dan Nirwana diperbanyak untuk menampung kabaret seperti ini. Depari zamannya Pemerintahan Kaul Modern ini bertindak lebih maju lagi, dengan rencana yang terperinci dan ilmiah, sehingga pusat-pusat turisme di dunia sirna. Moto Depari menjadi terkenal di seantero dunia: “Ke Jakarta = ke Surga”.”
17 Pariwisata, Hiburan, Seni- Budaya “Seorang Jeri (ingat, Jenderal Menteri) Urusan Kebudayaan yang pernah bekerja di BPS (Biro Pusat Spionase) sangatlah menakjubkan rencana dan usahanya. Untuk menjadikan Indonesia menjadi pusat kebudayaan Internasional, ditetapkan suatu perencanaan rahasia agen- agennya dipimpin oleh Atase Kebudayaan kita di luar negeri. Cara kerjanya ialah sama halnya dengan apa yang dilaksanakan oleh Atase Militer negara asing di bidang rahasia militer dan ilmu pengetahuan nuklir. Setiap seniman kenamaan, terutama pelukis, musisi dan lain- lainnya dibujuk agar mau menjadi warga negara kita. Kalau mereka tidak mau, tentu diculik dengan kekerasan. Dan kalau ini juga tidak mungkin, maka agen rahasia kebudayaan a la James Bond dengan nomor kode 00 boleh menembak mati orang itu.”

 

Tabel 1.2 Ideologi Teks “Angkatan 00”

 

Barangkali Navis tidak pernah menyangka berapa tahun lamanya Orde Baru berkuasa, namun prediksi struktur kuasa pemerintahan Orde Baru melalui Pemerintah Kaul Modern sahih. Militer menjadi elite politik paling superior sejak masa surut Orde Lama. Memiliki sistem komando terpusat, relasi struktur kuasa Orde Baru  berkarakteristik militer yang tersentralisasi hulu ke hilir: daerah ke pusat. Negara bekerja dalam utilitarianisme intervensi militer. Penguasaan ‘struktur kuasa’ inilah yang tampak pada kutipan nomor 1-4 (Tabel 1.2) tatkala jenderal adalah siapa pun yang layak menjadi pemimpin di negara.

Jenderal Soeharto sebagai pucuk kekuasaan tertinggi Orde Baru, sosok Preral. Ia tampil sebagai figur presiden yang mengepalai TNI, khususnya TNI Angkatan Darat usai peristiwa G30S. Figur yang mempostulatkan dongeng heroisme militer yang lantas mendekonstruksi sejarah nasionalisme Indonesia. Bahwa kepahlawanan militer perlu dikedepankan sebagai penentu arah kemajuan masyarakat. Katakanlah, lewat sejarah. Rezim Orde Baru menyadari bahwa pengukuhan sejarah resmi sebagai doktrinasi bisa menjadi ‘obat tidur’ masyarakat baru: masyarakat traumatis dengan binaan ideologi yang terstruktur. Itulah mengapa jabatan strategis militer di masa Orde Baru berlapis-lapis sebagai pengestafetan kepentingan doktrinasi tersebut seperti halnya pembubuhan jenderal pada presiden, menteri, gubernur, bupati, dan walikota yang Navis istilahkan.

Jabatan strategis nan fungsional yang pangkatnya selalu jenderal dalam cerita berciri pembagian kuasa Orde Baru; sebagai tugas kenegaraan yang artifisial. Dalam ungkapan satire, Navis menyebut penamaan jabatan sebatas “demi pengertian simbolik belaka”. Simbolik yang berarti kedok saja. Sebab, pada akhirnya, semua jabatan tersebut “dipangku oleh para jenderal semata”. Sebelum G30S, militer hanya segugus Faksi ABRI di DPR, setelah SUPERSEMAR 1966; mereka tergabung dalam naungan Golkar. Pada masa transisi, terjadi penggeseran besar- besaran di parlemen sisa Orde Lama; orang-orang partisan dari partai PNI dan Masyumi, misalnya, disudahi jabatannya lalu digantikan oleh para jenderal.

Selanjutnya, pada kutipan nomor 5-8, terpampanglah ironi demokrasi. Navis lagi-lagi mencemooh sistem politik yang ditunggangi militer. ‘Jenderal’ menjadi simtom kuasa yang menjangkiti institusi pemerintah Orde Baru sama halnya dengan Pemerintah Kaul Modern. Bahwa jika memang “integrasi antara rakyat dan ABRI waktu itu telah betul-betul sempurna”, menjadi sipil di semesta “Angkatan 00” bukan privilese. Pembawaan egaliter militer dalam cerita pun berlangsung atas “Peraturan Militer Khusus”, jadi kemanusiaan seperti apa yang bisa diharapkan bila demikian. Mungkin kemanusiaan “piramida terbaik”, tempat rakyat selamanya di lapisan terbawah, termiskinkan secara struktur. Kemanusiaan yang dilipur lewat program seperti ABRI Masuk Desa.

Orde Baru mengesahkan program ABRI Masuk Desa pada 1980. Tujuannya adalah penugasan di luar militer, yaitu pembangunan nasional. Sehingga tidak cuma militer pejabat fungsional di institusi pemerintah, mereka yang turba (turun ke bawah) menyukseskan ‘atas nama pembangunan’ lewat angsuran implementasi Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) secara top-down, misalnya. Inilah kenyataan sosial-politik dengan ketergantungan yang tersistemasi di “Angkatan 00” sebagai representasi negara Orde Baru. Negara yang mempunyai kebijakan garib bernama dwifungsi ABRI, yaitu (1) menjaga keamanan dan ketertiban negara serta (2) memegang kekuasaan dan mengatur negara.

Dengan kebijakan tersebut, militer berada di posisi teratas dalam mengemban tugas pelayanan publik nasional secara permanen. Mereka menjaga keselarasan sampai pada tingkat terendah di masyarakat. Akan tetapi, Navis membelokkan fakta tersebut dengan cemooh yang jenaka, yakni menyamakan jenderal dengan tetek-bengek otomotif—seperti menyebut MPR sebagai Lemper singkatan Lembaga Permusyawaratan Rakyat (lemper juga berarti penganan lembek berbahan ketan berisi daging cincang):

“Kalau untuk jabatan eksekutif, istilah Jenderal ditaruh di belakang, maka Jetor artinya bukan Jenderal Motor (General Motor—edisi 1968, pen) seperti yang kau kira, akan tetapi Jenderal Rektor, Jetur ialah Jenderal Direktur; Jejer, Jenderal Manajer dan sebagainya dan sebagainya.”

Cemooh sejenis tampak pada penyebutan juara, rekor, serta “Panglima Pramuka” pada kutipan berikut:

“[…]  Anggotanya bukan saja tokoh-tokoh yang menang dalam Pemilihan Umum, juga yang menang dalam pemilihan semua kejuaraan nasional. Karena itu jangan kau sampai heran apabila anggotanya terdiri dari raja kumis nasional, sampai juara pencak silat. Sejak ratu kecantikan nasional sampai ratu kebaya, ratu kacamata, ratu luwes. Sejak pemenang hadiah kesusastraan, seni lukis hingga pemenang rekor puasa dan rekor tidur; sejak juara balap sampai juara terjun payung. Lama  jabatan keanggotaan golongan ini ialah selama kejuaraannya tidak berpindah kepada orang lain. Dengan sistem begitu, lembaga ini benar-benar mencerminkan utusan rakyat yang terbaik. Dengan demikian terjaminlah tabunya “Yes man Mindness” di lembaga ini.”
“[…] Di samping lembaga yang sudah diterangkan tadi, ada sebuah lagi lembaga lainnya. Lembaga ini lembaga khusus. Namanya Lemang Saksi, yang kepanjangannya ialah Lembaga Angkatan Semua Kesatuan Aksi. Anggotanya ialah semua Panglima Kesatuan Aksi, yaitu Angkatan Bersenjata, semua Panglima Pramuka, semua Panglima Kesatuan Aksi. (Catatan: Pimpinan Kesatuan Aksi di masa itu dinamakan juga dengan Panglima, karena jabatan itu telah diplatmerahkan).”

Tidak dipungkiri, berada dalam status penting institusi pemerintah adalah prestise. Dan untuk mencapainya diperlukan rekam jejak prestasi. Prestasi tersebut Navis sangsikan secara ironis pada kutipan di atas saat menyebutkan para pemenang Pemilihan Umum (Pemilu). Saya tidak bisa membayangkan negara yang memiliki pemimpin dengan keberhasilan memegang rekor puasa/tidur, juara balap atau terjun payung. Pada kenyataannya, prestasi dalam konteks masa permulaan Orde Baru dimiliki oleh mereka yang terpandang mengambil posisi moderat di antara ketegangan transisi yang terbelah jadi dua kubu: anti-Sukarno dan pro-Sukarno. Mereka “yes man mindness” atau yang berasal dari militer dan pro-Soeharto.

Posisi moderat tersebut dalam konteks militer disebut jalan tengah: the army’s middle way. Representasi kemiliteran di parlemen dan institusi pemerintah bekerja atas dorongan mengembalikan marwah Pancasila, khususnya setelah G30S. Pada Juli 1968, petinggi militer berkonsolidasi mengamankan posisinya dengan meregulasi sistem Pemilu seperti Pemilu 1955 yang memungkinkan kalangan lokal-ternama nonpartai meraih jabatan terkemuka. Di saat yang sama, terjadi perdebatan antarjenderal di MPRS mengenai isu pembentukan sistem dua partai politik muncul dari kalangan perwira militer “Orde Baru radikal”, namun reformasi sistem tersebut tidak terlaksana, sebab khawatir menimbulkan keterbelahan yang menegangkan antara oposisi dan pemerintah.

Isu tersebut diusulkan oleh Jenderal Dharsono yang kemudian dialihtugaskan sebagai Duta Besar di Bangkok, Thailand. Pemilu diundur sampai negara siap. Barulah pada 1971 dilaksanakan Pemilu dengan keikutsertaan 10 partai yang lolos tahapan seleksi: yang kemudian sudah barang pasti Soeharto menjadi kampiunnya. Tidak lama berselang setelah diangkat, dalam pidato pertanggungjawaban di Sidang Umum MPR 12 Maret 1973, Soeharto menyatakan penyederhanakan sistem partai politik yang hanya terdiri atas dua partai dan satu organisasi karya. Lalu pada Pemilu 1977 ketiganya tampil, yaitu Golkar, Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pemilu ini melegitimasi kuasa Orde Baru dengan torehan 39.750.096 suara yang berarti sekitar 62,11% pemilih membawahi PPP (29,29%) dan PDI (8,60%).

Penyederhanaan tersebut sudah Navis spekulasikan dengan jumlah tiga partai yang disebutnya dalam “Angkatan 00”, antara lain Partai Potensi Fisika, Partai Potensi Mentalita, dan Partai Potensi Energika. Dengan catatan tambahan Partai Potensi Fisika “anggotanya ialah anggota ABRI” yang sebetulnya kiasannya mengacu kepada  Golkar. Dengan penyusutan sistem kepartaian, Orde Baru ingin mengidealisasikan stabilitas politik bahwa partai—yang jadi wasilah menuju institusi pemerintah—mesti mewadahi pembinaan masyarakat ‘atas nama pembangunan’. “Betapa idealnya,” tulis Navis. Ya, seideal masyarakat tidak ribet saat Pemilu: hanya mencoblos satu dari tiga gambar saja di kertas suara—walau hasilnya sama saja.

Selanjutnya, pemitosan lapangan kerja. Pada kutipan nomor 11 terlihat bahwa jurang pekerjaan dari menjadi anggota ABRI dan duane ke pesuruh dan seterusnya. Suatu jurang yang menakik kesenjangan ekonomi dan bahwa menjadi anggota ABRI atau duane nyaris seperti isapan jempol. Selain keduanya, semua kerja yang Navis sitir dalam “Angkatan 00” tidak ada yang politis. Tidak ada cendekiawan (guru, dosen, atau pakar) di situ. Saya membacanya sebagai spekulasi, sebab Orde Baru yang menekankan sistem kapitalisme industri di mana hak pekerjaan warga menjadi apolitis karena diatur pemerintah. Dengan aturan yang membuat kaum buruh mengidap demobilisasi akibat potensi latennya menciptakan gerakan sosial yang dikhawatirkan subversif dan mengganggu roda pembangunan.

Pemitosan lapangan kerja terkait juga sistem ekonomi. Pada kutipan nomor 9-10, mitos Orde Baru yang terepresentasi pada Pemerintah Kaul Modern sangatlah riil terbaca. Bahwa sampai lebih-kurang 1975, Orde Baru tercatat berjibaku menekan krisis di sektor ekonomi dengan menerapkan joint-venture modal asing. Perkongsian ini diurus petinggi militer yang bekerja sama dengan pengusaha swasta/asing. Bidang-bidang yang teraktivasi antara lain, konstruksi, transportasi, properti, dsb. Inilah sistem ekonomi dengan politik birokrasi yang hasil produksinya menguntungkan kalangan elite penguasa yang tiada lain dideking militer. Salah satu kebijakan Orde Baru, yaitu UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA).

Perwujudan ekonomi joint-venture mungkin dapat menstabilkan politik, namun tidak menyejahterakan masyarakat. Idealisasi tersebut Navis spekulasikan sebagai utopia ‘sempurna’ Pemerintah Kaul Modern bahwa ketika itulah masa di mana “demonstrasi hanyalah suatu yang menggelikan”. Barangkali, menggelikan bagi penguasa. Pada 1974 terjadi kerusuhan Malari (Malapetaka Limabelas Januari) di Jakarta yang dipicu oleh kritik terhadap kebijakan ekonomi dan dominasi pihak asing. Inilah bentrokan yang berasal dari aliansi yang menolak kongsi para elite penguasa dengan  cendekiawan-teknokrat. Demonstrasi terjadi pada saat kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka. Inilah fakta brutal sejarah. Implisitas “Angkatan 00” mengukuhkan bahwa stabilitas politik cuma urusan penguasa.

Pemitosan berikutnya, yaitu pariwisata, hiburan, seni-budaya. Kutipan nomor 12, 13, 16, 17 secara kentara menggarisbawahi bahwa Orde Baru bergerak dengan pola sentralisasi. Misalnya, di era Ali Sadikin, gubernur yang juga berlatar militer, Jakarta ialah metonimia kota masa depan Indonesia; seiring pembekenan istilah  metropolitan. Ali Sadikin mensahkan kebijakan yang kontroversial selama jabatannya (1966-1977), yaitu legalisasi perjudian—salah satu hiburan. Pajak hasil perjudian digunakan untuk percepatan atas nama pembangunan. Pada masa inilah urbanisasi menjadi arus, sebab kota adalah janji kegemilangan ‘Indonesia’ yang mengasosiasikan ‘posisi’ yang tidak melulu geografis.

Pada masa Ali Sadikin, Jakarta dibangun di atas Rencana Induk Pembangunan DKI sampai 1985. Dengan master plan itulah Jakarta tergelembung pembangunan nasional lantaran pembebanannya sebagai ibu kota negara. Jakarta adalah sinonim “surga”. Ajakan yang pada konteks hubungan bilateral termanifestasi berupa pariwisata. Dari sekian aktivasi pariwisata Orde Baru, olahraga merupakan primadonanya. Terbukti lewat realisasi, antara lain SEA-Games (1979, 1987, 1997), Thomas Cup (1970, 1973, 1976, 1979, 1984, 1994, 1998), Uber Cup (1975), dan Pekan Olahraga Nasional (1973-1996). Semuanya berlangsung di Jakarta. Termasuk kedatangan Muhammad Ali untuk tanding eksibisi nongelar pada 1973.

Jakarta ialah ‘posisi’ menentukan hal-hal imateriel: pusat seni-budaya lewat pendirian Taman Ismail Marzuki pada akhir 1960an dan Taman Mini Indonesia Indah awal 1970an: keduanya mengetalasekan seni-budaya ‘Indonesia’. Uniknya, Navis menayangkan kekerasan militer dalam cerita pada pemitosan unsur seni-budaya. Pasase soal penculikan seniman oleh Jeri untuk pemajuan kebudayaan mengingatkan kepada Petrus. Orde Baru memiliki operasi rahasia di paruh 1980an, yaitu  Penembakan Misterius (Petrus). Operasi ini ditujukan mengurangi tingkat kriminalitas melalui pembunuhan individu yang meresahkan keamanan dan ketertiban sosial. Petrus dominan terjadi di Jakarta dan Pulau Jawa. Sekurangnya tercatat pada 1983, 532 orang tewas; pada 1984, 107 orang tewas, dan pada 1985, 74 orang tewas. Mereka terindikasi sebagai kriminal di mata negara, matinya juga di tangan negara.

Terakhir, pemitosan praktik agama dan perkawinan pada kutipan nomor 14 dan 15. Spekulasi Navis yang memerikan “agama tidak punya menteri” selaras dengan semangat pluralisme Orde Baru yang memperlakukan agama secara sekuler hingga turunan kebijakan ibadahnya. Yang terpenting adalah berprinsip Pancasila; dan selama bukan komunisme, tidak membahayakan. Narasi kerukunan dipelihara oleh  Orde Baru. Kerukunan yang sampai mengatur skema pranata sosial terkecil, yaitu  keluarga. Orde Baru mengadakan program Keluarga Berencana Nasional dengan istilah Management for the People yang puncaknya pada 1980an: dengan nama resmi Norma Keluarga Kecil dan Sejahtera (NKKBS). Kebijakan ini, salah satunya berupa anjuran kepemilikan hanya dua anak di setiap keluarga. Inilah kontrol sosial terhadap masyarakat yang dilakukan Orde Baru. Ketentuan praktik dari KB ini, yaitu penggunaan kontrasepsi yang menanggulangi kelahiran.

Paparan jaringan spekulasi yang menubuh dalam “Angkatan 00” telah memperlihatkan bahwa masa lalu fiksi dapat menjelma masa depan fakta. Pemerintah Kaul Modern sepadan untuk disandingkan bersebelahan dengan Orde Baru, dengan simpulan bahwa negara, dalam cengkeraman militer, bisa mencapai kesempurnaannya. Namun, sejarah tidak mengajari saya sendiri untuk pesimistis kalau yang demikian ternyata memenjarakan nilai-nilai kemanusiaan. Narator “Angkatan 00” menyudahi kesaksian masa-lalu-cerita kepada tokoh ‘engkau’: “Kalau hendak dicari-cari juga kejelekan itu barangkali hanya sebuah saja yang dapat dikatakan. Itu pun mengandung unsur kecemasan dan perasaan iri hati dari golongan angkatan muda.”

Kejelekannya satu: negara digentayangi kuasa militer. Kejelekan, yang minimalnya bagi ‘angkatan muda’, menimbulkan kecemasan apabila Indonesia kembali dipimpin rezim totaliter seperti Orde Baru. Adapun iri hati: kalau ternyata ‘angkatan muda’ bungkam meski berwatak ilmu pengetahuan. “Angkatan 00” menjelma reality show bertajuk ‘Sejarah tentang Republik Indonesia’ dalam sekotak televisi yang saya tonton berulang kali. Ideologi teks “Angkatan 00” adalah tantangan perihal bagaimana sejarah dipandang bukan sebagai masa lalu, melainkan masa depan—yang pada gilirannya bersalin jadi masa lalu. Adalah bagaimana sebuah fiksi mengoptimasi kapasitas dan kapabilitas futuristiknya, sebab dunia kian canggih, sedangkan realitas faktual di hadapan mata seringkali bukan realitas sesungguhnya. Dengan spekulasi, Navis memvisualisasikan realitas-yang-mungkin dan “Angkatan 00” menawarkan simbol-simbol yang termaknai pada konteks Indonesia sekarang ini.

 

IV – Kesimpulan

Berkelindan satire dan humor yang ironis, “Angkatan 00”, pada akhirnya, menjadi fiksi yang menerobos sekat-sekat biografi pembaca, bahkan Navis, pengarangnya sendiri—yang nantinya bergabung ke instansi pemerintah, ke parlemen, lebih kurang empat tahun pasca “Angkatan 00” terbit. Artinya, spekulasi bisa keliru. Sejarah, ternyata, proses yang tidak pernah final. Pemitosan dan pengultusan manusia oleh manusia di pangggung sejarah adalah kepahlawanan yang percuma. Meski begitu, saya nyaman menikmati dan menafsirkan “Angkatan 00” sambil, secara mandiri dan skeptis, menimbang relasi narator-serba-tahu dengan pengarangnya.

Inilah risalah tentang teks “Angkatan 00”, yang naratornya mengalami pembelahan diri, memiuhkan gagasannya ke tokoh kedua cerita: jika ia bersaksi dengan penyebutan pronomina ‘engkau’ itu berarti kepada dirinya sendiri. Ibarat monolog, “Angkatan 00” mengilustrasikan dunia futuristik, tempat negara mengawang di ketinggian menara langit untuk memandang ke bawah, mengatur tatanan di hamparan bumi, hingga sampai di suatu penglihatan: tidak semua bisa dikuasai. Memang tidak perlu. Humor tidak selalu ada dalam “Angkatan 00”, walau satire terbaiknya sanggup membuat pembaca terkekeh lalu mengernyitkan dahi: memikirkan hal-hal yang perlu dikritik. Demikianlah, kesimpulan saya sebagai pembacaan ketiga.

Akhir kalam, cerpen dengan kenyataan fiksional mungkin tidak berkontribusi secara materiel terhadap kehidupan—melainkan ia bisa menstimulasi, bahkan menisbikan perspektif terhadap kenyataan faktual. “Angkatan 00” tidak mengalusikan kebenaran sejarah sepenuhnya, tapi ia menyalakan imajinasi tentang sejarah. Di dalamnya, terdapat spekulasi yang jamak dari persenyawaan masa lalu dan masa depan. Navis telah menulis cerpen dan merevisinya secara wajar tanpa heroisme, dan tentu saja saya tidak sendirian membacanya di masa kini. Dari spekulasi ‘menyejarah’ Navis, saya teringat kepada tayangan berita tentang Multifungsi TNI baru-baru ini. Pertanyaannya, siapakah narator-masa-depan?

Esai21 Mei 2025

Hamzah Muhammad


Sejak 2009 Hamzah Muhammad aktif terlibat di berbagai aktivasi seni-budaya; ia bekerja sebagai copywriter, penerjemah, editor, serta kurator. Pada medio 2019, ia merintis Atelir Ceremai: ruang kolektif seni lintas disiplin di Rawamangun, Jakarta Timur. Karya terbarunya, antara lain seberapa indie (Warning Books, 2025) dan aku yang siapa pun kelak (Penerbit Ramu, 2025).