Ing Citra Lekha

Foto oleh Gregory Jasson

Ing Chitra Lekha[1]

 

Pambukaning[2]

Kalau saja, tidak boleh ia sebentuk cerita pendek, setidaknya, perkenan, “Robohnya Surau Kami” terbangun sebagai galeri seni rupa, di mana pada bidang dindingnya lukisan-lukisan Bapak Ali Akbar Navis dalam beragam-langgam, hikmat tersaji.

Salira[3]

Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada  simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung  jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya  mengalir melalui empat buah pancuran mandi.

Lihat, begitu memasukinya, sebentang lukisan lanskap tampil menyongsong menjadi sebuah  mula. Dalam sekali pandang, lekas-lekas dikenali alam Minangkabau itu, dikarenakan ada  surau, mendasari tampilan objek bangunannya. Berakar Melayu, istilah tersebut sedari nun jauh di kelampauan, lekat sekali terhadap budaya Sumatra Barat. Kaidahnya sendiri selaku tempat  peringatan akan leluhur juga tidak malih. Hingga kini, tetap dan masih rumah ibadah perannya,  kendati masa ke masa tradisi kepercayaan senantiasa cair. Terlebih, kata tua mengesahkan dugaan bila telah silih berganti surau itu menaungi ritus demi ritus sebelum menemui keberadaan terakhirnya sehingga wujudnya terang-benderang, bangunan lawas beratap limas tumpang. Hendak melugasi bahwa objek surau ini krusial, pelukis mendetailkan keberadaannya dengan sebuah kolam di halaman depannya, dan kian terdetailkan lagi, di permukaan kolam tersebut terlukis empat buah pusaran air dari empat pancuran. Lantas masih lagi dimunculkan noktah-noktah kecil berwarna kemerahan sebagai penunjuk bahwa cukup banyak ikan mas hidup di genangannya, sehingga jelas, ada kesengajaan  menggamblangkan implementasi aianyo janiah bak mato kuciang, cando gariangnyo jinak-jinak, sananlah puyu baradai ameh  (airnya jernih seumpama mata kucing, canda garingnya jinak-jinak, di sanalah puyu baradai emas), pakem tata atur griya gadang. Bagaimana mungkin masih belum Minangkabau lukisan ini.

Mata burung perspektifnya, setara posisi seekor elang tengah mengudara, menampakkan panorama perkampungan. Perspektif ini memungkinkan sekali garis-garis  jalan bisa digarisbawahi, karena sesungguhnya, terhadap objek tersebut, lukisan ini bertitik fokus. Bagaimana segaris jalan panjang ditarik sejak dari penampakan atap-atap lapak di pasar, menerus hingga mencapai klaster atap-atap lain, lalu sesudah menembus klaster tersebut, jalan dilukiskan memiliki lima simpangan. Dua simpangan berada di ujungnya sedang salah satunya digambar lebih sempit, lantas titik ujungnya diakhiri oleh atap tumpang tadi.

Menilas sudah kenangan akan lukisan-lukisan lanskap karya Pelukis Wakidi, di antaranya  Senja Di Dataran Mahat (1970), Lembah Ngarai (1977), atau Baralek Gadang (1960), sewaktu memandanginya. Realis. Naturalis. Sorotnya mengerucut ke kontur ekologi, tradisi, corak hidup setempat, melewati impresi personalnya.

Ketika memulasi cat buatannya sendiri kepada kemolekan Senja Di Dataran Mahat, sesungguhnya sedang dirinya warnai masa-masa pengungsiannya di Mahat, Kabupaten Lima Puluh Kota, kisaran 1969, sewaktu Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia bergolak di Sumatra, maka rasa-rasanya, rincian demi rincian pada lukisan pembuka ini juga muskil serta-merta hanya memajang ketentraman berikut ketenangan pemandangan.

Mestinya ada maksud tersimpan begitu lebar jalan dilukiskan berbeda. Mengapa jalan menuju ke limas tumpang terujung ditorehkan begitu sempit? Lambang lengangnya  kedatangan itukah? Lalu, menyirati maksud apa saat bangunan tersebut diletakkan di ujung simpang ke lima? Mungkinkah menyentuh butir rukun tertentu? Bilakah terkandung isyarat  dari pilihan pelukis terhadap keloknya jalan ke kanan? Mengapa bukan kiri? Perkara benar salah? Jikalau atap-atap pasar juga atap-atap di perkampungan terlukis berkelompok, membaur bahkan menyaru kepada tampilan vegetasi, mengapa atap di ujung jalan sempit itu berbeda? Terisolir keberadaannya seakan sengaja menggiring pandangan untuk menyendiri, bercenung.

Sedang kolam itu? Air, barangkali perlambang hidup, oleh objek ikan karunia terwakilkan. Namun, mengapa harus empat titik pancurannya? Isyarat keseimbangankah, ataukah sebaliknya, menunjuki pelafalan bahasa tertentu, sehingga justru menandakan malapetaka terhadap kurnia kehidupan? Lukisan pembuka ini memang benar sukses memaparkan panorama sedemikian rinci sekalian informatif. Akan tetapi, termuat juga kesempatan bagi pertanyaan demi pertanyaan untuk berkembang, dengan masih membuka diri terhadap sekian kemungkinan jawaban.

Sesudahnya, lukisan kedua telah menunggu untuk ganti dipandang-pandangi.

Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di  sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat.

Bahkan sebelum menelusuri surih detail lukisan, mendapati sesosok figur didudukkan oleh pelukis di sisi sebelah kiri pelataran sebuah bangunan, akan menyulutkan praduga jika itu sebagai siasatnya mengumpamai keberadaan jantung dalam tubuh manusia. Bahwa sosok tersebut  menghidupkan bangunan, sebagaimana jantung memompa darah ke sekujur badan. Posisi itu, siratan kedekatan. Isyarat jalinan. Atau, kiri tersebut merambahi interpretasi jika sosoknya berbeda. Ia liyan dari kanan selaku mayoritas. Duh, betapa komposisinya saja sudah juga daya tarik, jauh sebelum kemudian jatuh lena penglihatan menekuri figur seseorang berfitur ketuaan beserta ketaatannya. Objek utama.

Berbeda dari sebelumnya, lukisan ini tersuguhkan lewat perspektif mata manusia, sehingga  sosok itu seperti tepat ada di hadapan penglihatan. Ketuaannya diserukan melalui detail garis-garis penanda usia di dahi, cekungan di kantung mata, serta dipungkasi lewat warna putih di  helai tipis rambutnya, sehingga mempunyai cukup kepantasan untuk mengemban sebutan  Kakek. Dimusababkan surau masih tergambar di detail limas tumpang bangunan, padan sudah  kemeja putih gunting cina, celana panjang batik, peci hitam juga sarung, lazimnya sandangan laki-laki Minang menggenapi luaran figur kakek. Sedangkan ketaatannya, adalah jawaban mengapa garis-garis usia di wajahnya digambarkan senada dengan gurat serat dinding kayu dari  bangunan sebagai latarnya. Seakan mengutarakan, telah juga waktu jadikan kedua objek  tersebut menyatu, “Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu.”

Pelukis terbaca sangat mencermati wilayah gestur serta spesifikasi figur Kakek, ingatan dilanglangkan menuju lukisan-lukisan potret diri buah karya Pelukis Affandi. Pada  kulit jua isi. Terbalut lengkung urat di kening, sosok dalam Saya Di Bawah Lampu (1940) mengesankan kernyitan berisi pikiran tanpa kesudahan, terus saja berkutat atas sesuatu. Begitu  juga lukisan bertajuk HOS Tjokroaminoto (1974), tampak figur terbalut busana cendekia, ningrat, sebagai kulitnya. Dilatari sosok-sosok samar, objek tersebut sedang menggenggam  gulungan kertas, merelasikan kedekatan persona terhadap ilmu, guru, literasi, dan hal-hal eksklusif pada masanya. Di lukisan kedua ini, kulit tergambar menggandeng ketuaan, sementara isinya? Diterangkan melalui ketaatan dan itu terurai lewat duduk bersila di sisi  pelataran bangunan, sebatang rokok terjepit jari kanan sedangkan ujungnya hilang di sela mulut Kakek, garis bibir melengkung membentuk cawan, kedua mata digambarkan menyipit oleh senyuman. Betapa ia, bangunan itu, serta sebatang rokok begitu terikat. Tidak ada apa-apa lagi di sekitarnya, dan dilugaskan: “Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. … Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa.

Ingsut ke lukisan ketiga, objek anak-anak pun menanti. Laki-laki juga perempuan. Di  tiap-tiap wajah, suasana tawa memenuhi. Gesturnya dibekukan sapuan kuas dalam keadaan  saling bersenda riang, berkejaran. Pelataran sebuah bangunanlah panggung keriangan anak-anak itu. Akan tetapi, terasa, bukan di figur mereka lukisan ini satu-satunya menudingkan fokus, melainkan juga kepada bangunan tempat keceriaan itu terbangun.

Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu  tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.
Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu  kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat  anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang  terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang  tidak dijaga lagi.

Divisualisasikan lewat perspektif mata manusia, bangunan itu selengkapnya rumah gadang. Wujudnya limasan, gonjong[4], beratap tumpang, bidang berikut saka-sakanya murni kayu.  Hadirnya genap sekaligus sebaliknya. Menunjukkan ketidakutuhan. Ada nganga rongga  ditimpali keausan di hampir segenap permukaan dinding, atap, hingga dasarnya. Dan ketika  pelukis enggan menggandeng objek flora maupun fauna, semisal penampakan unggas kuau raja di belakang perdu, atau menampilkan rumpun purun belukar, serindang beringin, bahkan biru langit atau semaraknya awan, ia seakan-akan tengah bersikeras meyakinkan bila koyak usang bangunan ini, bukan dikarenakan oleh tindak laku alam. Detail soal rongga serta rentanya bahkan melebihi kiasan kulit tanpa isi, atau raga tanpa jiwa. Bangunan itu mendekati penghujungnya.

Dan lihat, bagaimana keusangan, kelapukan, disenandungkan warna-warna kehitaman,  kecoklatan, menyelubungi inci ke inci bangunan, sementara cerah merah, cerianya kuning,  gelaknya biru, menyaput di sandang figur anak-anak. Kuatnya kontradiksi lukisan ini, betapa  dekat memori pada napas Bedoyo – The Spirit of Life (1970), persembahan Pelukis Srihadi Soedarsono. Ayun alus khidmat bedhaya[5], disandingkan dengan warna merah menyala, membahasakan alir sungai tiada beriak meski hilirnya kelak menghantam ke mana saja.  Manakala tenang dipertemukan golak, sebagaimana objek rusak, keropos juga renta  dibenturkan dengan kemudaan serta belianya tubuh anak-anak, senyum tawa di raut wajah  berikut ceriaan dan polahnya; begitupun tatkala keadaan tiang-tiang, dinding-dinding melaju  menuju remuk, diletakkan bersisian dengan jejeg[6] tungkai kaki anak-anak, kontras mengemuka. Indah, berdinamika, sekalian ironis.

Setelahnya, lukisan keempat kini rasanya sudah lumrah bila tampilnya terliputi warna-warna gelap, seperti sengaja menghindari permainan cahaya, tanpa dilengkapi citra pantulan sinar  srengéngé [7], di mana kilap landhep[8] pisau cukur bisa punya kesempatan untuk  menegaskan, atau bagaimana minyak dalam wadah mampu menemui estetika oleh karena kilau meling[9]nya, adalah karena semata-mata harus muram ia, harus durja tampilannya, juga sebisa mungkin membisu.

Di sudut benar ia duduk.” Di sudut sebuah ruang, objek utama ditempatkan. Seolah ia ingin  tertelan. Ingin terkucilkan. Ingin lesap. Ditemui posenya tengah duduk dengan lutut menegak,  lantas tangan berikut dagu tertopang di atasnya. Gestur keengganan, gestur sirna gairah, arah,  bahkan sebatas alasan untuk jegangkan punggung, berhasil tersampaikan. Menghadap ke depan wajahnya, sehingga nilai-nilai ketuaan sesosok laki-laki tuntas dijelaskan. Akan tetapi, kedua matanya tidak pelukis isi dengan detail corak kehidupan melainkan warna di  permukaan, seluruhnya suram sayu, nirspektrum, dan kelopak-kelopaknya dilukis kulai,  separuh menyembunyikan bola mata, sementara bilah bibir kerut berikut mengatup. Sosok itu,  muram pula diam, terkepung perletakansebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah  asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua.

Semenarik ketika bermacam interpretasi berusaha menyelami simbolisme dalam Self Portrait with Thorn Necklace and Hummingbird (1940), buah karya terkemuka pelukis Frida Kahlo, mulai dari kalung duri melingkari leher hingga melukai, kemunculan monyet hitam tengah  memegang kalung tersebut, seekor burung kolibri tergantung di durinya lantas di sisi kanan  belakang bahunya muncul seekor kucing hitam, maka di lukisan muram ini, di samping seraknya menanggung ungkapan sesuatu mengamuki pikiran, objek-objek di sekitar figur utama itu pun menantang agar disibak, kalau-kalau tengah membunyikan kisaran petunjuk mengenai objek utama.

Pilihan pelukis untuk menghadirkan objek pisau cukur, walau tidak didetailkan, sehingga samar narasi kemelekatan terhadap figur, akan tetapi, sekalipun tergolong benda tajam, sejak mula ditemukan dan diciptakan, desainnya telah sedemikian mengedepankan keselamatan,  guna menghindarkan penggunanya dicederai ketajamannya, sehingga, bisakah melalui objek itu ditakar betapa pribadi figur utama ini sesungguhnya dekat pada tabiat ingin senantiasa bersih juga sangat memperhitungkan keselamatan diri? Lalu, objek asahan itu? Tentu bukan sebentar atau hanya sekali dua kali asah saja untuk menjadikan bilah pisau tua tajam kembali. Durasi berikut pengulangan mesti terlibat di sana. Sehingga bilakah benda itu boleh dihitung sebagai laku tekun dari waktu ke waktu, sampai nyaris mendekati taat? Lantas kehadiran sol kulit di samping asahan batu itu, ungkapan bila figur utama telah terbiasa bersinggungan terhadap hal-hal keras sekaligus lenturkah? Keduanya sama-sama mengasah dirinya. Demikian juga  minyak. Licin, sifatnya pliket[10], bahkan agak sulit dilepaskan bila kadung menyentuh permukaan, terkadang harus membilasnya berulang kali dengan air untuk sepenuhnya kembali kesat. Lukisan ini sedang menerakan segala kematangan waktu, ketekunan, sarat pengalaman, bukan begitu saja meluputkan figur utama dari rundungan pucat, muram juga kedurjaan.

Lantas, bagaimana lukisan kelima bertampak?

Bayangkan, tokoh Ajo Sidi menjelma pakeliran[11]. Layar polosnya terkembang,  menjadi latar pagelaran wayang kulit. Ia kanvas. Sedangkan, kisah bualannya, sebentuk satu bayangan gelap menayang di permukaannya, berhias gradasi kuning putih oleh blencong senthir[12], bertindak selaku satu-satunya objek. Demikian lukisan kelima ini tampil.

Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi  ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan  bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak.

Melalui perspektif pirsawan, objek wayang digambar pelukis dengan umumnya sikap tubuh  tokoh wayang alusan. Postur tubuhnya sedang, hidungnya lancip, mata liyepan[13] atau biasa disebut gabahan[14], sementara arah wajah mendongak, posisi kaki depan dan belakangnya saling merapat. Objek ini dilukiskan di bagian kanan media lukis. Dipulasi gelap sebagaimana warna bayangan, namun gelapnya objek tidak sempat memungkinkan munculnya  pertanyaan, tokoh apa, tokoh siapa, sebab dari siluetnya sudah langsung mudah dikenali, ialah Raden Danasmoro.

Wujud siluetnya memang terasa begitu akrab. Mudah diterka, akan tetapi, tengah menyandang nama apa ia, dan sedang dalam lakon goro-goro[15] apa, di pengembaraan hidup mana ia mengulas kali ini, siluetnya tidak mampu memastikan. Ia bisa tengah ada di seribu nama dan seribu perangai juga di satu dari seribu wiracarita riwayat hidupnya.

Ia mungkin sedang melakoni Pandu Tanaya, menapaktilasi kelahirannya di lereng gunung  Himalaya bernaung sumunar[16] lintang Uttara Phalguna. Atau, lagi selaku Palguna ia. Sewaktu  lewat keflamboyanannya, merayu Anggraini Dewi, sebelum lantas lesap nyawanya di pucuk panah Raden Bambang Ekalaya, kekasih dewi tersebut. Tapi mungkin saja Ksatria  Svetavahana dalam lukisan itu, karena sigrak[17] laganya mengendarai kereta perang berkuda-kuda putih anugerah dari Dewa Agni. Meski juga tanpa menutup kemungkinan lukisan ini mengabadikan masa-masanya sebagai Begawan Mintaraga, nama panggungnya di kala menjalani laku tapa di antara bukit-bukit Indrakila. Atau malah sebagai Prabu Kariti, begitu gandiwa pasupati-nya berhasil menancapi laring[18] Prabu Niwatakawaca. Atau, Arya-kah ia, gemingnya paripurna ketika memandang lentik idep[19] Drupadi Dewi menaungi butiran bening duka ragawi beserta luka manah[20]sewaktu di tengah-tengah mimbar hinggil[21] Astinapura, disaksikan segenap hadirin, oleh Raden Dursasana, bebatan sinjang[22] perempuan tersebut, luruh?

Bahkan, walau bukan berlakon apa-apa, ia masih bisa saja Lelananging Jagad[23], Kersaning Dewa[24], Kumbawali, Parta, Margana, Panduputra, Kuntadi, Indatanaya, Dananjaya, dan seterusnya, sebagaimana bualan-bualan tokoh Ajo Sidi, ia beragam rupa, nama, alurnya pun mengarai hampir ke semua carita, baik asmara, suka, duka,  senjata, perang, bahkan pemeo ia, manakala laku serta lakonnya terasa berkarib dengan  kehidupan sekitar. Begitu pun warna hitamnya. Itu, sejatinya bayangan dari banyaknya kemungkinan warna. Sungguh berkebalikan dari lukisan selanjutnya, di mana garis-garis warna digurat sengaja, saling beririsan.

Leres[25]. Seribu garis warna seakan-akan mawujud di muka bidang kanvas. Merah bertindihan dengan kuning, bersinggungan dengan hijau, diadu dengan kuning, dihantam oranye, ungu, merah jambu turut serta, masih juga kesemuanya ditumpangi garis nila, biru laut, biru langit, biru lebam serta warna-warna lainnya. Warna-warna itu didatangkan sebagai latar guna menyokong suaran ekspresi, pigmen watak, rona laku figur sosok Kakek.

Diawali oleh gimik, “Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek?”, figur kakek berdetail fitur garis kerutan, di kening, pipi, leher, lengan; rambut tipis dipulasi warna putih, ekspresi pertama, kemurungan, sedih tertekan, rahangnya terlukis sangat turun.

Ekspresi kedua menimpali, “Kurang ajar dia,’ Kakek menjawab”. Muatannya amarah, dilukiskan melalui wujud mata membesar, membelalak.

Berikutnya,

Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya.” Ada kebengisan. Tersalurkan oleh gestur lengan kanan terangkat menudingkan pisau cukur. Amuk amarah itu, terbaca hendak disangkal, “Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua… Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal.’

Berusaha menepis kegengsian dan itu tergambar dari tegaknya tubuh, walaupun ada diamnya sejenak. “Tapi Kakek  diam saja.” Diutarakan melalui arah tubuh lurus menghadap ke pirsawannya.

Meski begitu kentara, keributannya lebih banyak mengambil proporsi dari gesturnya, “Kau kenal padaku, bukan?… Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?” …Tapi aku tak  perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.” Kengototan disamar kebijakan, alisnya terangkat berselaras terhadap garis kerut di dahinya, dagunya meninggi, sementara jakun di kisut kulit leher, timbul menyaing-nyaingi tegang urat nadi.

Dan belum pamungkas itu. “Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri… Segala kehidupanku, lahir  batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. …. Aku puji-puji Dia… Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.” Pose pamer, angkuh,  sesumbar sekaligus bersikeras, kuat dikesankan lewat bagaimana wajah terangkat, garis pundak terangkat menyamarkan lehernya, serta mulut terbuka simbol asyik melugaskan kata-kata.

Akan tetapi, ada kandungan tangis kesedihan, “Ketika Kakek terdiam agak lama, aku  menyelakan tanyaku, ‘Ia katakan Kakek begitu, Kek?’” / “‘Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi  begitulah kira-kiranya.’” Manakala tampak lengan kanan mengacungkan benda tajam, lengan kirinya justru lunglai kulai. “Dan aku melihat mata Kakek berlinang.”, detail di kedua  pelupuknya tampak genangan air mata.

Segenap tumpang-tindih itu seperti gaung di The Scream (1893) buah karya Pelukis Edvard Munch, manifestasi dari cara pelukisnya memandang hidup penuh kecemasan juga ketidakpastian. Kalau pada The Scream terbaca sebagai rangkuman ekspresionis berpangkal pada pengalaman nyata tentang jeritan di kala pikiran objek figurnya berada dalam keadaan tidak normal, maka lukisan keenam di galeri “Robohnya Surau Kami” ini juga tengah meneriakkan pengalaman, lepasnya beribu rasa dari figur Kakek lantas membiarkan tiap-tiap ekspresinya ditegasi oleh warna-warni garis saling serang saling sengkarut di belakangnya.

Sampai juga di hadapan lukisan ketujuh. Lukisan ini memanggul citra sejak kalimat, “’Pada suatu waktu’, kata Ajo Sidi memulai, ‘di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang orang yang sudah berpulang...” hingga “Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’“

Mematrakan frasa di akhirat tentu saja berat. Bahwa lewat perspektif apa pun, rasa-rasanya  tidak akan mudah imajinasi dilayangkan menanggalkan kefanaan, sehingga pertama juga  utama sesudahnya ialah, Tuhan Allah memeriksa, pelukis menghadirkan bentuk Tuhan. Sebuah  ujud tan wujud[26], namun begitu kentara, diposisikan di tengah-tengah, menjadi poros titik minat, titik utama sehingga keseluruhan komposisi mengacu padanya, orang-orang yang sudah  berpulang. Sesak sudah media lukis dikarenakan terisi figur-figur manusia, sehingga  bagaimana mungkin lukisan ini tidak menggugah kenangan atas mural mahakarya seniman  Michelangelo nan terpatri di dinding altar hingga mencapai langit-langit Kapel Sistina.

Ditajuki The Last Judgment (1541), mural masif tersebut, dalam realismenya terpulas detail-detail komedi, sebab konon perupanya tersulut oleh puisi panjang karya penyair Dante Alighieri, The Divine Comedy (1320), maka ketika Tuhan dilukiskan sebagai sosok berotot, tanpa janggut, tanpa tahta kerajaannya, sedangkan pasukan malaikatnya dihadirkan tiada bersayap-sayap, muatan komedinya bukanlah setengah-setengah. Lukisan ketujuh galeri “Robohnya Surau Kami” ini pun sama. Kejenakaan demi kejenakaan, ada terkandung.

Kejenakaan pertama sudah dimulai sedari Tuhan tidak diwujudkan sebagaimana seniman Michelangelo menampilkan Tuhan sepersis wujud manusia lengkap. Ketidakhadiran secara  dimensional ini sesungguhnya menggambarkan keberadaannya dalam frasa segala sifat-Nya, termasuk sifat tiada tersamai-Nya, tidak sewujud apapun, setidaknya dalam daya pengindraan  insan fana. Walaupun tiada sanggup tergatrakan, keberadaannya disangga oleh   “…para malaikat bertugas di samping-Nya”, menekankan bila lokasi-Nya jelas tengah bersisian  dengan posisi malaikat. Maka guyonan pelukis, Tuhan, meski sudah dengan segala sifat-Nya, ternyata masih juga didampingi malaikat. Belum habis kejenakaan itu, karena sepersis kelompok malaikat terompet di The Last Judgment, di mana di antaranya ada Malaikat  Michael tengah menyisir buku berisi jiwa-jiwa terselamatkan, sementara ada buku berukuran  lebih besar di sebelah kanannya, konon termuat di sana nama-nama bakal penduduk neraka,  maka di lukisan ketujuh ini juga muncul citra serupa, “Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia”, mengundang gelitik, bagaimana selain dihadirkan dalam bentuk sepola dengan manusia, malaikat ndilalah[27] pun butuh catatan berikut panduan dalam menunaikan mandatnya.

“Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah di mana-mana ada perang.” Kata maklumlah menjadi haluan kejenakaan lainnya. Diwujudkan sebagai sebuah tuntutan bagi penglihatan untuk memahami bagaimana komposisi objek manusia-manusia memenuhi latar lukisan. Berjejalan, berhimpitan, sepintas tiada beralur, tetapi itu sebetulnya tumpukan antrian, menyimbolkan ketakterhinggaan. Padat. Tidak terhitung. Dan mengingat, “di mana-mana ada  perang”, menunjuk lurus soal pertumpahan darah atas pergelutan sesama manusia, di kala hal tersebut masih, sedang, bahkan sengit berlangsung saat ini, juga akan terus senantiasa ada di waktu-waktu mendatang, mengesankan bahwa kepadatan objek-objek manusia itu masih  belumlah seberapa. Maklum menjadi pelarian dari ketidaksanggupan pelukis untuk  menyusutkan bilangan atau ketidakberdayaannya menghadirkan ketakberhinggaan perang manusia dalam lukisannya.

Selanjutnya, “Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, …. Kedua tangannya ditopangkan di  pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya  orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia  melihat orang yang masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat ketemu nanti’”. Beberapa detail gestur berikut polah ditampakkan sangat komikal. Tersenyum, melambai, berkacak pinggang sambil membusungkan dada, menekurkan kepala ke kuduk, mengejek. Kejenakaan remeh juga tidak luput, di mana tampak figur malaikat menjewer manusia, “Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka”, lawakan ini sehaluan dengan adegan Charon, pengayuh perahu dalam mitologi  Romawi-Yunani, di The Last Judgment, tengah menadahi jatuhnya calon penumpang-penumpang perahunya setelah diputuskan tidak turut terselamatkan untuk dikayuhkan ke neraka.

Kalau seniman Michelangelo pada The Last Judgment menyertakan wajah-wajah familiar: Bunda Maria, murid-murid Kristus, orang-orang kudus, tokoh-tokoh dari mitologi Yunani, Charon, Hades, Minos, juga malaikat, bahkan gamblang ia melukiskan parasnya  sendiri di objek kulit tercengkram St. Bartholomew, maka kisi-kisi serupa pun ditebarkan pelukis di lukisan ketujuh ini.

“Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia  terpanggang hangus, merintih kesakitan.” Figur-figur bersimbol gelar haji, kopiah berwarna  putih, berkudung sorban, bersarung, dimunculkan. Kemudian, “Dan ia tambah tak mengerti  dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang  ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke  Mekah dan bergelar syekh pula.” Di kelompok Santo Petrus, pemegang kunci surga, justru ada martir-martir kekristusan. Ada Santa Catherine di sana, tengah didera pasung roda tubuhnya,  simbol pengultusannya; sementara tepat di atasnya Santo Blaise juga menanggung keadaan tidak jauh beda. Penggembur tanah dari besi, alat bantunya sebagai petani, justru ditampakkan merobek daging dari tubuhnya, selagi dalam genggaman Santo Sebastian sebilah anak panah siap untuk ditancapkan ke tubuhnya sendiri. Mereka sedang disengsarakan oleh atributnya masing-masing, dan segala kekudusannya tidak meloloskannya dari duka, sebagaimana Haji Saleh bersama temantemannya, kendati syekh gelarnya di dunia, kendati berjanggut panjang, sekalipun senantiasa ada tasbih tergenggam, namun segala atribut itu justru musabab dilukiskannya api melatari mereka.

Ada juga kelompok Biagio da Cesena, seorang pemimpin upacara kepausan, dan seniman Michelangelo menyinggungnya dalam The Last Judgment sebagai Minos, salah satu dari  tiga hakim neraka. Tubuhnya tergambar terbelit, selagi bagian di sela kakinya dalam terkaman seekor ular. Rasa-rasanya gestur tersebut mengilustrasikan sifat keduaan neraka itu sendiri. Siksa namun purgatif, juga purgatif melalui siksa. Seperti api, menghanguskan namun juga mensucikan, ular  tidak lain dari simbol racun sekaligus obat. Keimanan bisa membuahkan diyu[28], namun dari diyu, ilham bisa dilahirkan. Dan napas keduaan tersebut pelukis ilustrasikan melalui komposisi Haji Saleh beserta teman-teman mualimnya dalam sandang atribut fakihnya justru ditampilkan dengan gestur sarat amarah, dilatari merahnya api.

Kejenakaan terselubung pun tidak luput. Meski di tengah-tengah kepadatan, di tengah linieritas tersebut tampak gangguan komposisi-komposisi radial figur manusia satu dan figur manusia lain berhadapan, berkerumun lebih dari satu. Dilatari merah api, kumpulan manusia beberapa membentuk klaster radial, bahwa di akhirat pun manusia tetap dengan kefanaannya, seperti bertegur sapa, berkumpul, berkerumun, saling bincang, berdiskusi, bergunjing, bersorak, ramai, mengarak bersama-sama.

Terlihat, Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya”, satu figur tengah dalam gestur meminta perhatian pendengar di sekitarnya dengan mengangkat jari telunjuk kanannya ke atas, selaiknya berpidato. Sementara figur-figur di sekelilingnya meninggikan kepalan tangan. “Kita protes. Kita resolusikan,” diletakkan bersisian, mengesankan keduanya terpisah sekaligus terkait. Protes seringkali menjadi pintu resolusi. Tindakan enggan menyetujui, menentang, menyangkal, dan ketidakpuasan. Protes lebih sering menjadi jalan terbukanya kesempatan bagi resolusi, baik sebentuk wacana, rencana, tujuan dan cita-cita.

Disusul kata revolusi. “Apa kita revolusikan juga?Walau  konotasinya bisa menjadi tanpa terbatasi ruang dan masa, bisa begitu runcing kalau ditudingkan ke peristiwa di tahun tertentu. Bahkan saking sempitnya, muncul sebagai seraut wajah dalam lukisan, presisi, sebagaimana wajah Bagio de Cesna. Terdekat dengan kesan ini tentu pada tahun galeri “Robohnya Surau Kami” didesain dan lukisan ini diciptakan, 1956, yaitu guncangan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Sebuah gerak ketidakpuasan terhadap pemerintahan Presiden Soekarno di Jawa, dari sanalah kemudian resolusi lahir, memindahkan pusat pemerintahan ke Sumatera. Kesemuanya, dari gelombang protes, resolusi mengombak, revolusi menggulung menyamudra, nyaris mengikis persatuan.  Revolusi di tahun itu menorehkan 22.174 jiwa sebagai korban, 4.360 menanggung luka-luka, sedangkan 8.072 orang menjadi tawanan.

Tentu dimunculkannya figur-figur tergambar lengkap dengan atribut juangnya, “…tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner”, simbol kebenderaannya, topi organisasinya, lambang institusinya, sampai ke detail wajah bisa terasa demikian realistis terhadap sejarah dan peristiwa nyata, adalah sebentuk kesengajaan. Barangkali upaya pengingat, mulianya sebuah  gagasan, dalam perjalanannya rentan tergelincir menuju kondisi mendekati api. Sedangkan, wajah-wajah lain terlihat sematra segatra, potret dari laku meniru-niru, sekadar ikut-ikutan, ungkapan dari pengulangan, “Benar. Benar. Benar”, dan “Setuju. Setuju. Setuju”.

Lukisan ini bukan sekujurnya menyangkut jenaka. Seperti paras berpandangan seakan pejam, garis bibir halus senyum, tanpa ada sedikit pun tanda kemarahan terlihat di wajah Tuhan di The Last Judgment. Apabila dibandingkan dengan mural serupa di kubah Katedral Florence oleh Pelukis Gregori Vasari,  yakni cahayanya latar Tuhan dinilai banyak pengamat seumpama matahari, pusat dari tata surya, menghidupi sekaligus con faccia orribile e fiera (murka mengutuki pendosa), di lukisan ketujuh ini, sebaliknya, tidak pelukis tampakkan amukan Tuhan, justru tampil sapaan, “Engkau?” Sewaktu menempatkan hambanya ke neraka, “Masuk kamu.”, tidak terupa tanda seru di sana, bahkan kalau  melompat ke, “Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini  kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!” Betapa kalimat ini, sekalipun bertanda seru berikut ada, kerak tergandeng sebelumnya, sehingga jelas merujuk ke wilayah paling jahanam di jagat neraka, akan tetapi masih ada halau di sana, ketimbang menghadirkan surung, tepis, singkir, atau setaranya. Halau, masih tentang irama berkonotasi lembut.

Betapa pelukis berupaya menuturkan jika cahaya di tengah-tengah lukisan itu, walau pancarnya megar megah terpusat, terangnya berkelembutan, welas asih. Berkontras terhadap latar api dari objek kerumunan manusia.

Dan sangat mengusik, mendapati pelukis menempatkan proporsi api lebih besar ketimbang wujud surgawi. Tekstur, detail, selain optikal, pada indrawi lainnya pun menggapai.  Bisa terasa panasnya api, aroma sangit beruntai bunyi gemeletak objek menuju abu. Warna  didominasi warna lumrah, warna tubuh manusia, warna kulit beragam, rona kemerahan,  mewakilkan keresahan, kemarahan, gugatan, sedangkan latar keseluruhan diwarnai terang, menandakan kehadiran Tuhan. “Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.”

Neraka juga digambarkan begitu dekat, intim dengan keseharian. Mengilustrasikannya lewat visualisasi sedemikian kerumun, beramarah, bahkan berpidato, seakan berkata, mengampu amarah, ketergesaan, sekadar meniru, ikut-ikutan refleksi dari sikap menyisihkan pengetahuan serta pengendalian diri. Sehingga jangankan resolusi, apalagi revolusi, justru mendekat sudah vandalisme merusak diri, memantik perang di mana-mana, seperti gigitan ular, bukan mengobati melainkan meracuni, saat itulah neraka sudah dirasakan, bahkan dalam, “O, Tuhan kami yang Mahabesar.  Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya.”  Ruku, sujud, sembah, telapak tangan bertengadah, serba ritual tanpa muncul gestur hening perenungan, melugaskan kepongahan, kesombongan, kelewat ngrumangsani[29], “Haji Saleh itu tersenyum senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan dimasukkan ke dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan.”.

Selebihnya hanya soal gestur rasa takut.

Latar api, manusia sendiri sulut dan penyulutnya. Mengunggunkannya, memeliharanya. Neraka, kalau benar sebuah tempat, rupanya tengah dibangun manusia tanpa harus menanti penghakiman di kemudian hari. Dan bila itu kata sifat, betapa terhadap manusia begitu berkarib. Lukisan ini, sungguh perspektif kefanaan tidak akan habis mencerna objek demi objeknya. Hal-hal sakral bersemuka guyonan, itu saja sudah tasawuf. Falsafi. Uraian ini pun hanya sanggup menyentuh di permukaan.

Lalu serta merta mooi indie menyerbu, menyerap kesima. Molek panorama betapa  membangunkan kekaguman. Dipulas sempurna, presisi. Kemegahannya memerikan decak selaksa memandangi karya Raden Saleh, hasil perspektifnya mengabadikan peristiwa  penangkapan Pangeran Diponegoro.

‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan …. Tanahnya yang mahakaya raya, penuh  oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan.’
‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’

Garis-garis membentuk objek seperti hidup dan bernapas. Bahkan dikarenakan presisinya, terkenang polah kangmas Sukab[30] sewaktu memotong panorama senja dari cakrawala untuk dirinya kirimkan kepada kasihnya, diajeng Alina,  begitu juga dengan lukisan kedelapan ini. Seakan-akan diunduh langsung dari paras buana semesta, genap dengan gradasi warna nan paripurna alaminya, selaksa memang suryakala benar-benar ada selinap di nyiur-nyiur, “‘O, di  negeri yang tanahnya subur itu?’”, mencurahi gunung jua perbukitan, “‘Tanahnya yang  mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?’”, tergelincir di antara lembar-lembar beringin, waru, akasia, jati, juga segala wujud vegetasi, di mana kesemuanya saling baur saling awur serta saking rimbunnya sehingga lukisan tersebut hanya menggemakan gemah ripah loh jinawi semata-mata, “Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?”, sampai-sampai terasa hadirat ilahi di keberlimpahan cahayanya.

“Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali.” Seperti itu juga perasaan ketika memandangnya. Menerangi detail-detail menyenteri wajah-wajah objek manusia, raut Haji Saleh di antaranya. Akan tetapi, semakin dipandangi, semakin selam detail ditelusuri dalam keromantisannya, inci ke inci kejanggalan mengemuka.

‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’
‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’
‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’
‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’ ‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’

Manakala Haji Saleh bersama teman-temannya hanya mampu membunyikan kata ya, benar, sebab dalam lukisan ini tahu-tahu terkepung mereka oleh panorama bagai sempalan swargaloka. Tersalurkan ketidakberdayaan bagaimana kumpulan manusia tergambar melalui  runduk wajah di siraman cahaya dari atas cakrawala. Hampir sama persis dengan simpuhnya  objek-objek manusia dalam lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857).

Tunduknya tanpa  perlawanan, ikhlas, mengiringi gering tubuh sebab gagal sandang seadanya menutupi. Kepasrahan membuat detail mata gagal dicapai, merangkai tanya, digelimangi keberlimpahan alam, mengapa kesengsaraan masih terpelihara? Dan di tengah berdiri gagah seorang beratribut. Asing. Menerangkan bahwa datangnya jauh dari benua nun seberang sana. Tampilannya tidak membauri figur-figur manusia bersimpuh di lukisan tersebut. Akan tetapi sikap tubuh bertindak sebaliknya. Tegap, gagah kecak pinggang, pandangannya lurus, matanya kebiruan, jernih percaya diri, dilengkapi kebergasan, ketegapan. Walau asing, wujudnya masih manusia.

Lalu bagaimana bisa, terasa sekali kesamaan antara manusia bersimpuh di atas tanah keemas-emasan –sebagaimana juga sarat gembur sehingga tanaman saja bersedia tumbuh meski tidak ditanam dalam Penangkapan Pangeran Diponegoro tersebut– dengan simpuhnya Haji Saleh di bawah cahaya keilahian. Kesengajaankah pelukis menampilkan itu? Membersitkan jika dahulu, bahkan mungkin hingga sekarang, bumi pertiwi ini masih menundukkan diri di hadapan asing. Runduk seperti kumpulan hamba menghadap Hyang-nya. Duh, betapa sebuah singgungan nan mooi. Halus sekali. Saking alus[31] alusinya, mustahil akan mungkin bisa tertangkap hanya bila sekejap saja memandang.

Dan selanjutnya, sulit untuk tidak membayang ke Soft Construction with Boiled Beans  (Premonition of Civil War) (1936), kali ini. Oleh Pelukis Salvador Dali, karya itu satu bentuk  curahan tafsirnya atas pembantaian dikarenakan perang saudara di tanah airnya, Spanyol.  Lukisan itu memamerkan detail sefigur raksasa menjulang tinggi di atas lanskap dinaungi  matahari dan sedang khusyuk mencabik-cabik dirinya sendiri. Anggota badannya tertukar,  terbalik, saling cengkram saling injak. Ketidaksesuaian skalanya ialah usaha pancingan kepada kerja pikiran bawah sadar. Kiranya hal seirama hadir di lukisan kesembilan ini. Pada

ketidakharmonian, ketiadaselarasan dan pada raibnya keseimbangan, berfokus. Ihwal tersebut  dikiaskan oleh runtun-beruntunnya kehadiran kata tapi.

te.ta.pi /têtapi/
bentuk tidak baku: tapi
p kata penghubung intrakalimat untuk menyatakan hal yang bertentangan atau tidak selaras:  orang itu kaya, — kikir; rumah ini besar, — sudah rusak

Demikian termaktub pengertian tapi oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dan  kemunculannya terasa optikal sejak, “Di negeri yang selalu kacau itu,… sehingga  mereka itu kucar-kacir selamanya.”

“‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil  tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’ / ‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal  harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji  Engkau.’”

Tapi pertama ini, lugas sekali ketidakselarasannya. Cerai-berai. Semestinya bersatu, malah  berai dan beradu. Ibarat kaki, tangan, berikut kepala terberai dari batang tubuhnya.

“‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’ / ‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’ / ‘Karena  kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’ / ‘Sungguhpun anak cucu kami itu  melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.’” Tapi kedua menunjukkan jika kemelaratan dan kepandaian semestinya bukan sejalan, karena  bukankah seharusnya pengetahuan melepaskan dari kemelaratan. Ketidaksesuaian ini bak  tanggalnya kedua bola dari ceruk mata disusul pencarnya muatan tempurung tengkorak keluar  meninggalkan kepala. Kedua daun telinga pun ranggas.

“‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?’ / ‘Ada,  Tuhanku.’”

Tapi berikutnya menanggung ketidakselarasan antara bunyi di lidah terhadap bunyi di relung  kalbu, seakan-akan letak mulut berada di dada, sedang jantung ibaratnya kalbu, tergeletak  begitu saja di luar tubuh.

“Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua.  Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan  engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras.” Beribadah namun alpa dilakoni dalam kehidupan. Kiranya begitu, kandungan tapi ini, seolah usai hilang segenap indera, lepas juga menjauhi tubuh, kedua lengan ke hasta, lantas saling beradu kepalan, bergulat dengan bagian dari dirinya sendiri.

“Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin.” Sekilas, harfiahnya pun menunjukkan ketimpangan. Begitu juga dengan, “Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka.” Dipuja, tapi pemujanya ditempatkan di neraka. Ini juga bentuk ketidaksesuaian.

“…kaya raya, tapi kau malas”, tapi di antara dua kosa kata menunjukkan makna berat sebelah. Rasanya itu semaksud juga dengan, “Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang”. Meski tidak tersurat, kalimat tersebut mengandung tapi, membersitkan sikap mencari keselamatan tapi enggan ditemui kesulitan. Ini pun menunjukkan kepasifan. Menyia saja walau tubuh berlutut, wajah merunduk, menunjukkan ketaatan, namun tungkai-tungkai kaki lepas dan bersandar ke tubuh, tanda kemalasan.

“Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang.”, ini menyoal laku taat tapi  berpangkal dari rasa takut, dan masih dilantangkan lagi oleh, “Semua menjadi pucat pasi tak  berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia.  Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan dikerjakannya di dunia itu salah atau  benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan.” Kata tapi bahkan bukan hanya beruntun  melainkan bertumpuk. Meski sudah tahu, masih mencari kepastian dan sudah  dirundung rasa ingin kepastian pun masih turut juga rasa takut dipenuhi kepucatpasian.

“Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya”, diletakkan di antara dua kalimat, tapi pula menunjukkan ketidakselarasan antara kasat dan absurd. Antara langit dan pijakan. Selubung dan hakekat.

Sehingga jikalau umumnya lukisan cenderung berusaha mencapai prinsip visual art, utamanya kesatuan, keseimbangan juga harmoni, lukisan ini justru berusaha menghindarinya. Objek Haji Saleh memang tampak masih dikenali sebagai wujud dari manusia, namun ditampilkan tidak  seimbang. Tangan kanan bertelapak tangan kiri, mulut, mata, berada dalam keadaan asimetris. Titik di mana seharusnya mata kanan berada, justru ditempati hidung. Menandakan sesuatu  tidak pada tempatnya, bukan pada padanannya, sehingga menjadikannya kehilangan  keselarasan.

Kalau Soft Construction with Boiled Beans dihadirkan objek kacang-kacang merah sebagai metafora atas kesulitannya memamah daging sebab senantiasa terbayang-bayangi pembantaian manusia, maka di lukisan kesembilan ini, di sekeliling figur cerai-berai hadir juga objek-objek sureal membahasakan kata: surga, cahaya, warna terang. Bulan bintang, unsur ketuhanan. Burung selaku malaikat. Sedang simbol neraka, “hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!”,  dihadirkan sebagai kobaran api.

Garis-garis objek dan latar melebur, sehingga butuh waktu untuk membedakan mana objek mana latar. Bahkan garis tepi wajah berikut tubuh menyambung ke simbol-simbol: kitab,  bintang delapan, bulan sabit, api, pintu, helai bulu, menuntun pada simbol religius, melankolia  keterikatan, ketergantungan manusia akan ketuhanan. Warna wajah dipulasi cat abu-abu,  menunjukkan kepasian. Lukisan ini sengaja mengusik kestabilan serta kenyamanan nalar.  Sengaja menciptakan gangguan, sebelum kemudian segalanya biru di lukisan berikutnya.

“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan  sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur.” Subuh di sana menyampaikan keadaan serta keredupan cahaya kekuningan, akan tetapi, lukisan kesepuluh ini berlatar biru. Bukan karena memuat panorama langit atau bentangan samudra, melainkan biru mungkin satu-satunya warna di mana kesedihan berikut kengerian bisa terangkul sekaligus. Sepersis manakala biru mendasari ratapan dari kata blues, —blues /bluês/ n Mus jenis lagu ratapan orang Afrika-Amerika yang berkembang mulai tahun 1911 sebagai perintis musik  jazz— seperti itu juga biru melandasi blue era-nya Pelukis Picasso. Leres. Kali ini, segera menilas kenangan ke sosok laki-laki renta tengah memeluk gitarnya dilatari gradasi biru. Gitar dalam pelukannya mewakili seluruh kehidupannya sekaligus segenap pengharapannya untuk  bertahan hidup. Lukisan kesepuluh ini mengenangkan pada The Old Guitarist (1904).

“Kakek kedapatan mati […]”, menunjukkan ketiba-tibaan, tanpa isyarat, tanpa aba-aba, tanpa firasat. Sebuah akibat tanpa mengetahui sebab, menguarkan pertanyaan-pertanyaan serta misteri. Warna misteri sendiri cenderung gelap juga dingin, sedangkan biru ada dalam deretan warna bernada dingin. Kata kedapatan juga sangat melibatkan indra penglihatan. Dan umumnya pada  kata itu penglihatan berfokus ke satu objek saja, sehingga dekat pada kesendirian. Tersampaikan bagaimana figur kakek didapati tengah sendiri, sedang kematian dalam kesendirian itu biru. Meratap.

“[…] di suraunya”. Akhiran –nya di kata surau diletakkan pelukis, sebagaimana objek gitar terdekap pada The Old Guitarist. Sifatnya personal, dekat, akrab, satu-satunya objek dalam gapaian. Kemelekatan itu ditampilkan dengan lantai surau didetailkan sebagaimana dikenai basah getih[32] dan tersiram cahaya, teksturnya berkilau. Surau ditampilkan dalam perspektif interior, dari dinding, jendela, langit-langit, sementara tubuh kakek tergeletak di tengah-tengahnya, seakan dalam rengkuh pangkuan. Kata subuh hadir menjadi warna latar menimpali warna cahaya lampu.

“[…] dalam keadaan yang mengerikan sekali.” Bila pada The Old Guitarist figur gitaris tua diwujudkan menyandang kebutaan sehingga sebagian besar interpretasi tentang itu ialah karena tidak lagi melihat dunia di sekitarnya, mampu ia melihat lebih dalam luk realitas atas dirinya, maka kakek dalam lukisan ini dimelankolikan serupa. Tuna pejam. Tengah membuka lebar matanya, dengan jejak genangan air mata seperti mengundang kematiannya sendiri, namun bukan untuk melepaskan kesedihannya, melainkan justru ia seakan ingin memuncakkan bahkan enggan melepaskannya. Keadaan di luar umum itu menimbulkan nuansa kengerian dan melankolia sekaligus.

“Ia menggoroh lehernya […]” Penghabisan oleh diri sendiri, memiliki sedikit siratan keberanian. Sebetulnya, kematian sendiri walau cenderung diwarnai hitam kedukaan, tapi sifatnya condong pada kewajaran, terlebih bagi individu renta lansia. Akan tetapi, menggoroh leher sendiri, menggarisbawahi bahwa kematian ini diundang sendiri, didatangkan sendiri, hingga kengeriannya berbeda, kedukaannya juga berbeda. Hitam terasa belum genap mewakilkan perasaan menyayangkan, pertanyaan-pertanyaan, juga ratapan.

“[…] dengan pisau cukur.” Sebuah pisau cukur tampil di lukisan, masih tergenggam, sehingga bisa dimaknai lewat benda itu kematian dihampiri. Dan seperti di lukisan-lukisan sebelumnya, objek tersebut masih tidak pelukis detailkan. Tampilnya masih sekilas lalu, apa adanya. Menunjukkan bahwa figur kakek tidak memiliki kedekatan personal selekat seperti terhadap latarnya. Terbersit jua ironi, manakala sesuatu diciptakan agar tidak melukai, justru merenggut hidup.

Lalu, hampir-hampir saja terlupakan, aku. Iya, aku. Gerangan apa ia? Memerani apa dalam galeri Robohnya Surau Kami ini? Rasanya, sebelum beringsut mengendapi lukisan terakhir, keterlibatannya butuh disibak.

Bagi sebagian pengertian, ruang selalu saja senantiasa menyangkut konstruksi, tempat  berteduh dan segala definisi terbangun untuk ditempati. Bagi sebagian lain, juga paling sering  barangkali, diharfiahi sebagai penangkup fungsi tertentu, katakanlah kamar, taman, aula, dan  sebagainya, sehingga kadung istilah ruang berkelindan di antara lini-lini struktural serta  fungsional. Sebuah gubahan positif di antara padatan negatif. Padahal, karuan kikis makna  karenanya. Dinding, langit-langit, lantai, bayangan, sinar, cahaya, tekstur, kesemuanya  sejatinya hanya mendefinisikan batas-batas ketimbang sejatinya ruang. Sehingga, apakah ruang itu?

Sejak, “Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar.”, terasa sekali bagaimana aku menyambut, menyilakan, bahkan ketika penyambutan dan penyilaan itu hanya sebentuk andai-andai, kesan selamat datang itu tetap ada. Suara-suara dari jalan masuk masih menggapai pendengaran. Ada teras sedang, cukup untuk berhenti sebentar sebelum menjejakkan niat serta hasrat untuk  melangkah melintasi ambang pintu. Seperti merasa belum cukup jika hanya menyambut, aku mengingatkan kalau-kalau akan ada di ambang penyambutan, momen bagai tertegun di tepi pasar. Momen riuh rendah kebisingan dari pelataran, parkiran barangkali jalan, menegur keragu-raguan, hendak masuk atau tidak, seumpama sebuah tawar-menawar, tarik-menarik, pertukaran lumrahnya transaksi jual beli di sebuah pasar. Bahwa ada kemungkinan, setelah pintu itu dilewati, pengharapan kelak terpenuhi, atau sebaliknya, ketidakpuasan diteguk, atau malah tidak menemui apa-apa. Ia menciptakan keraguan, akan tetapi, sebagai sebuah pintu masuk, kalimat pembuka dari aku tersebut dengan jelas menyibak daun-daunnya, melapangkan bukaannya, sementara di bawah ambangnya tergelar sugeng rawuh[33]. Saestu[34], aku adalah ruang.

Sedangkan ruang? Ruang ialah sesuatu untuk dialami. Dialami melalui pengindraan. Dari piranti penetraan, ilusi optik terangsang memahami batas-batas spasial, kemudian lewat indra perungu, pantulnya gelombang-gelombang suara di permukaan bidang mampu mencitrakan batas sementara jumlah gaung gemanya menuntun pada volume. Kebisingan, celoteh percakapan, tetesan air, memberikan indikasi tujuan ruang dan dapat digunakan sebagai alat bantu navigasi. Lalu penghidu. Kendati penting dalam pencitraan ruang, unsur aroma sering diabaikan. Begitu pun suhu, peralihan udara, pergantian temperatur seringkali dapat diidentifikasikan sebagai ruang, bahkan bersama aroma, suara, dan tekstur di indra peraba, ketiganya penting manakala penetraan digelapkan.

Selain mampu dialami sensorik, ruang juga mengandung pergerakan. Sifat atau fungsi ruang  sering kali menentukan sifat pergerakan. Ruang panjang dan sempit barangkali akan  memudahkan perlaluan, akan tetapi biasanya gagal membetahkan dibanding aula besar dengan lebih banyak tawaran kelegaan. Pergerakan dari satu ruang ke ruang lain sangat memengaruhi impresi baik maupun buruk. Bayangkan, tadinya berada di ruang besar kemudian berpindah ke ruang sempit, terasa sekali bagaimana sensasi lengang bebas atau hilang arah, bisa begitu saja berganti menjadi rasa terlindungi atau bahkan sesak. Ini musabab mengapa aku, dan mengapa bukan Kakek, Ajo Sidi, Haji Saleh, Tuhan, malaikat, atau surau. Aku terasa lebih sebagai ruang, sebab selain teremban padanya unsur-unsur untuk bisa diserap pengindraan, sedari awal, aku sudah terasa pergerakannya hingga di titik penghujung. Tentu, sebagai ruang, aku memiliki interaksi terhadap apa-apa dalam kandungannya. Ada romantisme antara ia dan isinya. Ada percakapan antara dirinya dengan  lukisan-lukisan. Akan tetapi, sebagai penaung, aku bertindak padu padan. Tidak ada polemik tentang dirinya. Tidak sampai berproblema ia, berdrama, kecuali murni menyoroti meruncingkan point of view pengunjung terhadap lukisan ke lukisan, sehingga bobot seni selaku bintang utama tiada tertutupi, tiada terbantahkan. Demikian tata letak lukisan diuntai bukan oleh serta-merta. Hal itu dipikir, diolah, sampai-sampai pemilihan furnitur serta cahaya pun melengkapi. Bersama-sama menyuguhkan pengalaman pengunjung. Lantas, bagaimana pergerakan itu?

Sehabis sambutan sedemikian ramah-tamah di ambang pintu, seakan ditegasi oleh keindahan  panorama alami oleh lukisan pertama. Kalau siang, barangkali masih akan terasa hangat cahaya matahari dari ambang pintu masuk, masih selinap menerpa permukaan dinding di mana lukisan tersebut tergantung. Hangat. Lembut. Permulaan, ia harus membuka hasrat, tanpa memberati. Namun begitu menemui lukisan potret diri?

“Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena  aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram”. Suasana ruang membalik dari kekaguman keindahan panorama menjadi muram. Berjarak dari pintu masuk, cahaya alami berkurang, tapi sorot lampu tidak dilebihkan.

Meliuk ke lukisan ketiga, “Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal.  Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. / Jika Tuan datang sekarang, hanya akan  menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh.” Padhang[35] ruang  menerangkan, sorotnya cahaya menuding ke lukisan, memungkinkan pandangan benderang pada detail-detail kerusakan dalam lukisan.

Berlekuk menuju lukisan keempat, “Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum  pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk disampingnya dan aku  jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek, ‘Pisau siapa, Kek?’ / ‘Ajo Sidi.’ / ‘Ajo Sidi?’ Kakek tak  menyahut.” Masih lewat sorot lampu, sebagaimana sapaan serta panggilannya beruntun pada lukisan, akan tetapi latar dinding gelap, disengaja menyerap cahaya itu, hingga ia memperoleh kesunyian sebagai sahutan. Suasana sunyi diperoleh sebab semakin dalam dan kian jauh sedari ambang pintu masuk, semakin terlindung dari noise di luar galeri. Aku menekankan keakraban dengan kesunyian.

Bergeser ke lukisan kelima. “Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya.” Dari kesunyian, tiba-tiba nuansa malih senang. Dan senang, akrab sekali dengan kenyamanan. Dalam definisi ruang, kenyamanan menyangkut kelegaan, kesesuaian ukuran, kecukupan cahaya, kelapangan sirkulasi sehingga mampu merayu akan perasaan ingin berlama-lama, ingin terus, lagi dan lagi, berulang-ulang. Kerasan. Maka bukan pajangan, jika di hadapan lukisan kelima, sebuah bangku ditempatkan dengan ketinggian 45 cm, berjarak cukup jauh, sehingga memungkinkan pengunjung untuk duduk memandangi mengambil waktu atas penglihatannya, tanpa menghalangi pengunjung lain.

Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi. ‘Apa ceritanya, Kek?’
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi  Kakek, ‘Bagaimana katanya, Kek?’
Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang  bertanya, lalu ia yang bertanya padaku,
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.

Menaungi lukisan keenam aku berdialog sebatas dalam dirinya, bertanya-tanya ke hatinya,  memendam rasa penasaran, aku menerangkan penglihatan, cahaya dinaikkan, lalu berlipat  dipantulkan putih dinding-dindingnya, membentur licin lantai sebelum gelombang cahaya  dibelokkan ke seluruh permukaan, menggandakan benderang seperti ingin tekun mengupas  selaput perselaput saputan di tiap warna-warna lukisan.

Dan sebagai pernyataan dari  keterlibatannya pada setiap emosi. Ambiens urun trenyuh. Ikut mengumpati, ikut prihatin. Lampunya berisik, dari hangat, jadi terang, ganti nyalang, ke temaram, lantas balik redup,  dalam selang semenit berganti-ganti menerpa lukisan. Menyesakkan. Sebelum ada gerbang  akhirat menanti setelahnya.

Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, ‘Ia katakan Kakek begitu, Kek?’ ‘Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya.’
Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku  mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku  nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.

Meski mula-mula sepintas hanya senyap, sebab tadinya aku telah lebih dahulu mengalami  untai-untaian rasa, pada akhirnya kesemuanya lepas membentuk ruang lebih besar, lebih tinggi, dari ruang sebelumnya, menyadarkan bahwa ruang di awal terasa sebagai jalur pencapaian, sebuah tuntunan menuju kulminasi. Pada puncak. Kini, terpampang, tiga lukisan di tengah-tengah. Lukisan ketujuh, delapan berikut sembilan. Jarak antara ketiganya sekadar sebatas pigura ke pigura. Menandakan ketiganya menyangga kesamaan maksud, dan atau bisa dipandang bergantian tidak dalam selang jarak terlampau jauh. Dan bagaimana ruang itu diawali serta disudahi? Ialah sama. Sama-sama oleh, “Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.”

Demikian, manakala jika dijenguk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia, tercantum tentang itu:  de.mi.ki.an /dêmikian/

pron kata untuk menunjukkan sesuatu yang sudah dibicarakan; begitu; seperti itu; sebagai itu:  dalam keadaan — tidak seorang pun merasa dirinya aman.

Kata tersebut menjinjing ketelahberlaluan. Harfiah dari kesudahan. Pada keadaan stabil, mencapai datar sehabis guncangan kembang-kempis nan akut. Tidak mengandung getar. Putih tulang warna dindingnya, tekstur bidang kesat, tidak berkilap. Demikian juga lantai.  Menerangkan bagaimana justru ketika mencapai puncak lukisan, aku sengaja meredam  keterlibatannya. Sebagai ruang, sebagai latar, aku merasa belum harus berlebih kali ini, bahkan merendah, agar ketiga lukisan dalam naungannya ini tidak tercemar oleh eksistensinya.

Lalu meninggalkan puncak, ingkah ke lukisan kesepuluh, “Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk. ‘Siapa yang meninggal?’ tanyaku kaget… ‘Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara,’ kataku seraya cepat-cepat meninggalkan  istriku yang tercengang-cengang. Kaget dan tercengang itu sendiri ibarat kilatnya pergantian gelap pada seketika terang.” Seperti sinar cahaya pagi, sorot lampu kejinggaan menyoroti kebiruan lukisan. Kesedihannya, keterkejutannya, ketergesaannya, campur-baur, diteruskan oleh dinding gelapnya. Kiranya itu, sebelum merengkuh lukisan terakhir, lukisan penghujung, di mana aku sebagai ruang, lebur, seakan turut menjadi bagian dari lukisan.

Sepersis Untitled (Black on Grey) (1970) oleh Pelukis Mark Rothko, ada sensasi tercipta saat dalam interpretasi konvensional, fitur-fitur menyangkut dimensi, wujud, objek, serta segala rangsangan untuk membuat sesuatu tampak ada, dihilangkan. Tumpul sudah cara-cara  lumrah dalam memandang sebuah lukisan. Sekalipun oleh sebuah pigura tebal lukisan terakhir ini terbingkai, namun muatannya menyaru terhadap aku sebagai bidang dinding galeri. Wujudnya tanpa perspektif sehingga pirsawan boleh melihatnya sebagai hasil tangkapan mata burung, mata manusia, mata semut, bahkan ketiganya.

“Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja.” Aku sebagai ruang  diniatkan untuk ditempati satu objek khusus, tapi akhirnya ditempati objek selain objek khusus itu, sehingga ruang boleh dikatakan masih dalam keadaan belum dipenuhi oleh fungsinya. Dan keadaan belum — be.lum /bêlum/ adv masih dalam keadaan tidak. —, mencondongkan ke arti, masih dalam tidak berfungsi, tidak terisi.

“Ia sudah pergi”, sudah dan pergi ini pun mengandung ketiadaan. Begitu juga di kalimat,  “tanyaku mengulangi hampa”. Hampa itu sendiri berulang. Sewaktu kehampaan itu berusaha  diisi objek bermuatan proton, “tidak sedikit pun bertanggung jawab”, lalu berusaha mencari-cari objek bermuatan elektron dengan bertanya pada kanvasnya, “dan sekarang kemana dia?”, ruang justru mendapati kembali objek bermuatan proton, Kerja, sehingga tidak tercipta  tegangan. Tidak ada dialog. Nir. Maka menyangkut, nihil, tiada, sunyi, hampa, hampa, dan  hampalah lukisan ini berfokus.

Kehampaan barangkali hal paling sulit untuk dilukiskan secara bentuk. Bukan karena dirinya  sendiri adalah negasi dari kesadaran atas ada, segala bentuk, segala keberadaan, namun juga  tidak ada wujud mampu merepresentasikannya secara genap. Tidak cukup hanya menghapus  segala keberadaan sehingga muncul kehampaan. Kehampaan hanya bisa dirasakan, sehingga lukisan ini bukan tengah menghadirkan gambaran keadaan melainkan menggiring pada ambangnya semata. Hanya ke keadaan hampir kehampaan.

Tidak ada kehadiran objek. Objek terbesar adalah kanvas itu sendiri. Dan barangkali pigura  sebagai usaha membatasi bidang pandang. Warna menjadi satu-satunya suara. Pada lukisan  terakhir di galeri ini, putihlah warna itu. Putihnya bahkan menyaru di latar pada dinding, sehingga usaha pigura membatasi pandangan sia-sia, warna itu seperti menyelinap di balik pigura, melampaui pigura, dan pigura hanya menggantung di bidang dindingnya.

Karena merupakan kombinasi dari mejikuhibiniu, putih menghantarkan pada kebutaan. Pada  silau, sehingga segala objek tergelincir olehnya dari penglihatan. Pada ketidaktahuan apa-apa.  Pada suasana menunggu, masih saling memastikan antara kenyataan atau mimpi. Apakah putih itu adalah kehampaan, atau putih menyembunyikan kehampaan, sebagaimana aku bertanya mengulangi hampanya. Warna putih membuat seluruhnya terisap menuju kosong dan sunyi, juga mengisyaratkan adanya ambiguitas dalam cara penyajiannya.

Ketidakadaan objek membuat detail serat kanvasnya tidak tersembunyi. Tentu bukan kebetulan bila “kain kafan buat Kakek tujuh lapis”, menjadi tersurat keberadaannya. Bukan hanya sebatas menyimbolkan warna dari kain pembalut ketika raga peninggalan ruh hendak disemayamkan ke lahatnya, tapi sebab di masa lalu filsuf Martin Heidegger pernah bercerita tentang pertemuannya dengan ketiadaan, khususnya gagasannya tentang melenyapnya keseluruhan. Baginya, kehampaan tidak berarti tidak ada benda, tidak juga keberadaan hampa itu dapat dibuktikan secara ilmiah, melainkan hanya bisa diasumsikan jika ada, serta cenderung menjumpai di saat rasa cemas. Dan pelukis seperti sangat tahu gambaran lembaran kafan, selalu lewat caranya sendiri, mampu memagut kecemasan.

Lantas, gerangan siapa Tuan? Tuan tidak lain ialah pirsawan, pengunjung, pengalam Aku, penikmat lukisan ke lukisan. Leres. Tuan adalah Panjenengan[36] seorang. Dan Bapak Ali Akbar Navis merancang galeri ini dengan menempatkan Panjenengan sebagai insan berkelengkapan karunia sehingga memungkinkan mampu meruang di dalamnya, mengalaminya, menerima respons berasas kedirian.

Pengalaman diawali dengan menyepakati seniman Wassily Kandinsky bahwa waktu dapat  dibaca lewat garis. Jelas, butuh waktu lebih lama untuk menuruti garis lengkung ketimbang garis lurus. Semakin lekuk, semakin keluknya sebuah garis, terasa, semakin panjang waktu tempuhnya.

Pemahaman itu disisipkan Bapak Ali Akbar Navis untuk menggugah pengalaman dengan menampilkan objek jalan sebagai sorotan utamanya di lukisan pembuka, mengilustrasikan panjangnya, mendesain kelokannya, jembar juga sempitnya, bahkan jumlah simpangannya, sebagai cita-cita bahwa saat telusur di garis tersebut, perasaan Panjenengan bergerak, setidaknya membangun kenangan, sehingga secara sensorik perlahan tergugah.

Bila sebatas hendak menyuguhkan warna panorama Minangkabau, mestinya detail-detail posisi tidak akan dipertimbangkan kehadirannya sedemikian tersirat, menyuluti pertanyaan demi pertanyaan, sampai-sampai belum habis bergelut tanya, Panjenengan sudah dinanti untuk menilik potret ketuaan serta ketaatan, sebelum dikelokkan ruang untuk menjenguk raut kontras, saling tentang, saling tolak, berkebalikan namun tetap mengalun beriringan.

Begitu menikung menjumpai lukisan tentang nestapanya kemuraman, naluri sentuhan dituntut kesertaannya menghadapi ragam tekstur baik licin, tajam, keras, lentur, lantas sesudahnya diajak menerka-nerka tokoh serta carita di balik pakeliran, hingga sampailah di suasana tinggi rendahnya saturasi cahaya berganti-ganti karena urun pagut pada ekspresi demi ekspresi dalam lukisan. Di sana, penetraan dihunjami leburan aneka wujud warna emosi.

Lalu, sehabis terasa menyusur di jalur panjang dengan beberapa liukan bagai selasar, kini ambang ruang menyambut, masuk Panjenengan di sebuah ruang berdimensi tinggi, luas, sekalian terang. Bidang-bidangnya netral, kendati tidak condong melegakan sebab anggaplah terhadap tiga lukisan di sana, interaksinya kepada Panjenengan menyerupai Virgil terhadap Dante. Memerani Virgil, ruang menemani perjalanan Panjenengan melintasi The Divine Comedy, menyambangi Inferno dengan kejenakaan saat menyaksikan perlagaan dalam lukisan akhirat. Ada keagungan jua kelembutan, walau melihat objek terbakar api, kerumunan tersulut amarah, jelas mengiangkan  indra perungu akan suara gemeletaknya massa padat menuju abu selagi aroma sangit  menyentuh penghirupan, sebelum selanjutnya ada, hangat, panas, terbakar, mengemuka di tiap pori.

Dan cekaman itu menggenap, manakala ruang tersebut pun memaparkan Purgatory siksa, ganjaran, dislokasi, malposisi, ketidakseimbangan, penyesalan dalam lukisan sureal dan  mengutuhkan ironi Paradiso melalui kesempurnaan mooi. Meski terengah sesudahnya, sekalipun lepas dari ruang kulminasi dan kembali ditemui temaram cahaya ruang menyamai subuh, Panjenengan tidak bisa tidak disergap kebiruan dari tampilan dinginnya kematian. Terasa sudah benar, ada putih kehampaan diletakkan sebagai penghujung sehingga  rasa-rasanya hampa itu memang bukan serta-merta atau digeletakkan di ujung begitu saja. Ada maksud teremban. Bilakah sebagai penyudah, mampu menawarkan cemaran serta paparan atas warna, rupa, dari lukisan-lukisan sebelumnya, atau untuk diakhiri pengalaman ini pada sensasi mengambang dengan ketidakadaan. Apapun itu, kehampaan justru melegakan bagai cerlang pagi sehabis gelayutnya gulita.

 

Panutuping[37]

Galeri ini, sedari isi hingga wadahnya, ditata sedemikian, tidak hanya membulatkan  imajinasi, seutuhnya justru menggagaskan sebuah pengalaman optikal serta dimensional untuk  Panjenengan. Seusai segenap indrawi dikenai terpaan-terpaan montase beruntun bertubi namun sebelum mencapai ambang kesudahan, segalanya dikembalikan menuju kehampaan. Apakah di  dalam kehampaan itu kemudian lahir pemahaman baru dalam menakar, menilai butir buliran renik, aspek masif, ihwal wujud tanpa wujud, hal nir-, terang, redup, atau, tiada henti-hentinya mempertanyakan, adakah kejenakaan dan sindiran itu tegak lurus pada figur, pada tindak laku menyerupai tokoh-tokoh tersebut, sehingga terkesan mengemban maksud untuk meluruskan mematutkan sesuatu, utawi[38] sebaliknya, sedang menyinggung mengejek paningalan lan panggalih[39]. Panjenengan sebab ada kalanya, atau sering barangkali, terluputi dari kemungkinan-kemungkinan sempit, pada sirat jua surat nan selubung, atau mendapati jika perangai langgam di tiap-tiap lukisan ialah sahajanya Bapak Ali Akbar Navis menunjukkan kasunyatan urip[40]. Bahwa memiliki kecacatan, memanggul kedurjanaan, menopang mala, tidaklah gelincir dari niscaya serta senantiasa menjadi bagian kefanaan, kesempurnaan, kelebihan bahkan keluhungan spiritual. Atau malah memilih Panjenengan untuk meniadakan batas, membuka negative space[41] membiarkan ruangnya terpusat keluar, sebab sebagaimana hanya menahan, galeri ini bukan menawannya, karena masih tetap di balik batas-batasnya, gagasan “Robohnya  Surau Kami”, luas dan terbuka. Akan tetapi, sekadar mengunduh kelegaan kehampaan, itu pun, tentu saja dipersilakan.

 

Pareng[42].

[1] Ing Chitra Lekha. Ing, adalah Bahasa Jawa dengan makna ‘pada’, sedang dalam Jawa Kuna, chitra dan lekha memiliki arti ‘gambar’ dan ‘tulisan’, maka Ing Chitra Lekha dapat diartikan, Pada Gambaran Kata-kata.

[2] Pambukaning, Bahasa Jawa untuk istilah ‘pembuka’ atau ‘permulaan’.

[3] Salira, Bahasa Jawa untuk ‘batang tubuh’ atau dalam konteks ini adalah ‘isi’.

[4] Gonjong, dalam arsitektur tradisional Minangkabau, adalah nama gaya atap rumah gadang. Artinya, semakin ke ujung semakin lancip.

[5] Bedhaya, tari klasik Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

[6] Jejeg, Bahasa Jawa untuk kata ‘kokoh’.

[7] Srengéngé, Bahasa Jawa untuk kata ‘matahari’.

[8] Landhep, Bahasa Jawa untuk kata ‘tajam’.

[9] Meling, Bahasa Jawa untuk kata ‘mengkilap’.

[10] Pliket, istilah Jawa-nya dari penggambaran kondisi tidak nyaman sebab terasa lengket di permukaan kulit tubuh.

[11] Pakeliran, merujuk pada dunia pagelaran wayang.

[12] Blencong senthir, alat penerangan tradisional, dalam konteks ini adalah untuk menciptakan bayangan wayang kulit di layar.

[13] Liyepan. Penamaan bentuk mata bagi tokoh-tokoh wayang kulit berwatak luhur bijaksana.

[14] Gabahan. Istilah lain dari liyepan, merujuk pada bentuk mata mendekati wujudnya biji gabah.

[15] Goro-goro, adalah bagian prahara, babak kekacauan dalam alur cerita pagelaran wayang.

[16] Sumunar, adalah Bahasa Jawa untuk ‘bersinar’.

[17] Sigrak. Dalam konteks ini hendak menyampaikan sikap tidak lesu, mantap. ‘Sigrak-laganya’, dapat dibaca sebagai ‘laga nan begitu mantap’.

[18] Laring, adalah pusat produksi suara, bagian dari organ pernapasan mamalia.

[19] Idep, penamaan dalam Bahasa Jawa untuk bulu mata.

[20] Manah, artinya hati nurani.

[21] Hinggil, artinya area utama.

[22] Sinjang, adalah istilah dalam Bahasa Jawa untuk menamai kain panjang atau kampuh.

[23] Lelananging Jagad, artinya laki-laki sejati.

[24] Kersaning Dewa, dalam Bahasa Indonesia berarti ‘dambaan dewa-dewi’.

[25] Leres. Bahasa Jawa untuk kata ‘benar’.

[26] Ujud tan wujud. Semakna dengan ‘ada namun tanpa bentuk’.

[27] Ndilalah. Bahasa Jawa untuk menggambarkan kata ‘ternyata’, dengan efek terkejut-kejut.

[28] Diyu. Diambil dari penggambaran sifat angkara durjana dalam pemahaman Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.

[29] Ngrumangsani. Pada dasarnya memiliki makna ‘mampu merasa’, ‘merasa disentuh sebelum disentuh’, namun dalam konteks esai ini mengikuti kosa kata sebelumnya, dimaksudkan untuk mengungkapkan perspektif negatif; terlalu merasa, kelewat sensitif, gede rasa, sok.

[30] Sukab dan Alina. Nama dua tokoh dalam cerita-cerita pendek karya Penulis Seno Gumira Ajidarma.

[31] Alus. Bahasa Jawa untuk menggambarkan tekstur, sifat dari ‘halus lembut’.

[32] Getih. Bahasa Jawa untuk kata ‘darah’.

[33] Sugeng rawuh. Ungkapan selamat datang dalam Bahasa Jawa.

[34] Saestu. Sungguh. Sangat benar.

[35] Padhang. Bahasa Jawa untuk mengilustrasikan suasana terang dalam penglihatan.

[36] Panjenengan. Sebutan ‘Anda’, dalam Jawa Krama.

[37] Panutuping, artinya ‘penutupan’.

[38] Utawi. Bahasa Jawa Krama untuk kata ‘atau’.

[39] Paningalan lan panggalih, artinya adalah ‘penglihatan dan benak’.

[40] Kasunyatan urip, adalah frasa Jawa untuk memanggul makna ‘hakekat, kenyataan paling mendasar dari hidup dan kehidupan’.

[41] Negative space. Bidang atau ruang di sekitar (berbatasan langsung dengan garis siluet) dari keutuhan dan kebulatan sebuah objek utama dalam seni rupa serta arsitektur. Sedang bidang atau ruang dalam garis siluet objek utama, diistilahkan positive space.

[42] Pareng, adalah bahasa Jawa untuk menghaturkan salam pamit, permohonan undurkan diri.

Esai21 Mei 2025

Eka Sari Wijayanti


Eka Sari Wijayanti. Penikmat nirmana dwimatra dan trimatra, berkediaman di Yogyakarta. "Ing Chitra Lekha" adalah esai sastra pertamanya, ditulis ketika tahu-tahu saja ingin menuangkan pengalaman membacanya. Esai keduanya, "Ing Rosée", menjadi salah satu naskah terpilih dalam Sayembara Kritik Puisi KALAM 2024: Menyigi Sitor Situmorang dan Subagio Sastrowardoyo.