Hari ini aku datang kepadamu, wahai Sukarno sahabatku. Harus aku katakan bahwa kita belum merdeka, karena merdeka haruslah 100 persen.
[Tan Malaka]
But what Freud showed us … was that nothing can be grasped, destroyed, or burnt, except in a symbolic way, as one says, in effigie, in absentia.
[Jacques Lacan]
Hal pertama yang menahan perhatian saya sewaktu membaca novel Saraswati Si Gadis Dalam Sunyi ialah soal penamaan tokoh utama. Seperti segera diketahui dalam cerita, Saraswati merupakan gadis Minangkabau. Nama itu, Saraswati, bukanlah nama khas Minangkabau. Jika kita periksa sejarah peradaban dunia, nama Saraswati akan lebih identik dengan kebudayaan India yang berbasis pada agama Hindu. Konon, Minangkabau pernah juga didominasi oleh kebudayaan Hindu jauh di masa lampau. Namun, kebudayaan Islam yang datang setelahnya, bahkan sejak dominasi kaum padri dua abad lalu, telah mengubah wajah Minangkabau untuk seterusnya. Nama Saraswati adalah ketidaklaziman bagi perempuan Minangkabau. Karena Navis tak mungkin ugal-ugalan memberi nama tokoh utama dalam novelnya, maka hal tersebut perlu didudukkan terlebih dahulu secara mantap.
Konon, sudah menjadi perhatian ramai orang bahwa orang-orang Minangkabau punya nama yang unik, jika bukan tergolong nyeleneh. Sebut saja, Life Iswar, John Kenedy Azis, Reydonnyzar Moenek, Williardi Wizard, Jeffrie Geovanie, Philips Jusario Vermonte, Arzeti Bilbina, semua terkesan seperti nama-nama orang Barat, atau orang dari planet entah. Padahal, jika meninjau catatan sejarah, nama-nama yang lazim digunakan orang-orang Minangkabau zaman baheula bisa dikatakan relatif khas, terutama jika dibandingkan dengan nama-nama dari etnis lain. Misalnya, terdapat panggilan adat, seperti ‘Sutan’, ‘Malin’, ‘Marah’, atau tambahan nama suku,[1] seperti ‘Caniago’, ‘Koto’, ‘Piliang’, dan ‘Sikumbang’. Selain itu, nama orang Minang juga cukup banyak diambil dari nama-nama Arab, seperti Ahmad Khatib, Masyhudul Haq, Ibrahim, Abdul Malik Karim Amrullah, Jamaluddin, Ahmad Husein, Taufik Abdullah, dan sebagainya. Lalu, bagaimana perubahan ini kemudian bisa terjadi? Untuk memahaminya kita perlu membentangkan serbasedikit sejarah PRRI 1958‒1961.
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) merupakan pemerintah tandingan yang berpusat di Sumatera Barat sebagai kritik terhadap pemerintah Pusat pada penghujung ‘50-an. Diproklamirkan pada 15 Februari 1958 di Padang, PRRI juga tak terlepas dari sejumlah keadaan kompleks saat itu, seperti Perang Dingin, menguatnya pengaruh PKI, condongnya Sukarno pada PKI, melemahnya pengaruh Hatta di pemerintahan, ketimpangan pembangunan antara di Jawa dan luar Jawa, krisis ekonomi, dan krisis demokrasi. PRRI merupakan kritik keras terhadap rezim Sukarno yang mulai menunjukkan tabiat otoriter, dan pemerintah meresponsnya secara keras pula dengan mengerahkan kekuatan gabungan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) ke daerah bergolak. Maka, tak lama usai proklamasi PRRI pecahlah perang saudara di Sumatera Barat. Tiga tahun lebih bunuh-bunuhan, korban pun ramai berjatuhan. Konon, jumlahnya lebih banyak ketimbang korban agresi militer Belanda selama zaman revolusi. Kepala Staf Angkatan Darat, A.H. Nasution dalam pidatonya pada HUT APRI, 5 Oktober 1961, menyatakan bahwa korban tewas akibat konflik PRRI mencapai 10.159 orang, dengan 5.592 di antaranya berstatus rakyat sipil. Selain ramainya korban tewas, konflik PRRI juga menjadi sebab bagi bubarnya Partai Masyumi, partai Islam terbesar sepanjang sejarah Indonesia, serta Partai Sosialis Indonesia. Keduanya sama-sama dianggap terlibat aktif dalam huru-hara kontroversial tersebut.
Tiga tahun lima bulan,[2] hampir setara dengan masa penjajahan Jepang, itulah umur pergolakan PRRI. Namun, sekalipun PRRI sudah tamat pada 1961, sejatinya penderitaan masyarakat Minangkabau tetap berlanjut selama empat tahun ke depan, terutama karena kekerasan orang-orang komunis yang menjadi sangat berkuasa setelah kekalahan PRRI. Jadi, lebih dari tujuh tahun masyarakat Minangkabau hidup dalam kondisi mencekam, dan itu cukup untuk menciptakan trauma mendalam sekaligus mengubah banyak hal untuk masa-masa selanjutnya. Sebagai pihak yang kalah, masyarakat Minangkabau saat itu mau tak mau harus menerima kenyataan bahwa kampung halaman mereka didominasi oleh pihak pemenang, khususnya dalam bidang birokrasi dan militer. Hampir semua jabatan penting di pemerintahan daerah, dinas militer dan kepolisian dipegang oleh orang Jawa, sehingga orang-orang Minang merasa diri sebagai warga negara kelas dua di rumah sendiri. Kondisi demikian berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian, bahkan setelah Sukarno lengser dan Soeharto naik dengan Orde Baru-nya yang militeristik pada 1967. Sebagai gambaran saja, Harun Zain, Gubernur Sumatera Barat 1967‒1977, suatu kali bercerita,
Apa yang mempengaruhi saya adalah kesedihan di mata para mahasiswa. Pada tahun 1961 wajah-wajah itu bengong seperti mereka tidak punya masa depan. Kenyataannya, kesadaran yang mereka derita adalah kekalahan hina yang mengarah kepada sejenis kehancuran mental di antara orang Minang, yang akan berlangsung selama tahun ‘60-an.”[3]
Pemandangan serupa juga disaksikan oleh sejarawan Minang Taufik Abdullah sewaktu ia pulang ke Padang pada 1961. Setelah empat tahun merantau, kesan paling menonjol yang ia temukan adalah “rasa keasingan” yang mengandung banyak tanya. Ia menulis untuk pengantar buku Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926‒1998, “Empat tahun bukan masa yang panjang, tetapi betapa dalam jurang sejarah yang kini telah terbentang. […] Pulang kampung seakan-akan datang berkunjung ke daerah aneh yang tak lagi saya kenal.”
Kesaksian dua tokoh Minang tersebut hanyalah sekadar contoh acak betapa konflik PRRI merupakan peristiwa traumatis bagi masyarakat Minangkabau.
Dampak mencolok yang lalu dapat dilihat adalah pengaburan identitas pribadi (baca: keminangkabauan) dengan menggunakan nama-nama yang bercorak asing oleh orang-orang Minang itu sendiri. Selain menggunakan nama-nama bercorak kebarat-baratan seperti telah disebut di muka, tidak jarang juga pada masa itu orang-orang Minang menggunakan nama-nama bercorak kejawa-jawaan untuk tujuan-tujuan yang pragmatis, atau sekaligus sebagai bentuk reaksi formasi.
Misalnya, Irwan Prayitno, Suhardi Alius, Ermanto, dan Sudarmoko. Terkait hal ini A.A. Navis berkata dalam artikelnya “Harun Zain: Ketika Semua Orang Senyap, Dia yang Berdiri Tegap” sebagai berikut.
Dibandingkan dengan perang menumpas Gestapu/PKI yang berupa perang idiologi [sic!], maka perang menumpas PRRI menjadi seperti perang peseteruan [sic!] etnik. Etnik yang kalah, yang pro PRRI maupun yang anti, dimanapun mereka berada sama dicurigai sebagai seteru, bahkan dinista dengan berbagai cara oleh pemenang. Menatap mata pemenang saja, paling kurang kena hardik, bahkan bisa-bisa kena tempeleng. Etnik yang kalah itu Minangkabau. Sehingga banyak orang, terutama anak-anak muda, mengaku bukan Minangkabau atau merobah [sic!] nama dengan kejawa-jawaan agar tidak dilecehkan atau agar bisa diterima bekerja di pemerintahan.[4]
Kesunyian Saraswati, Kesunyian Minangkabau
Saraswati bisa dilihat sebagai salah satu nama yang bercorak kejawa-jawaan itu. Masyarakat Jawa yang di masa lampau begitu kuat dipengaruhi kebudayaan Hindu-Buddha, setelah masuknya pengaruh kebudayaan Islam tetap mempertahankan sebagian corak kebudayaan lama tersebut, termasuk dalam kaitannya dengan bahasa Jawa; termasuk juga nama-nama. Dengan memposisikan Saraswati sebagai nama yang bisa identik dengan budaya Jawa, maka fenomena trauma PRRI bisa menjadi suluh penerang ketika membaca novel Saraswati kemudian.
Tak diragukan, Navis sangat peka terhadap kondisi masyarakat Minangkabau, baik sebelum maupun sesudah pergolakan PRRI. Ketika konflik berkecamuk, ia tengah berada pada masa-masa matangnya sebagai sastrawan dan intelektual. Tentu saja huru-hara tersebut sangat membekas dalam jiwanya. Terlebih orang-orang Minang saat itu harus menerima kekalahan telak dan menanggung beban psikologis yang sangat berat kemudian. Meski tak ikut-ikut angkat senjata, Navis jelas ikut pula merasakan kegetiran trauma yang melanda. Bertahun-tahun lamanya trauma tersebut tertanam kuat di tengah-tengah kehidupan masyarakat Minangkabau. Pada masa-masa itulah, sekitar 1968, Navis menulis novel Saraswati Si Gadis Dalam Sunyi. Ia mulai menulis cerita tentang pergolakan PRRI untuk pertama kalinya.
Umumnya orang-orang hanya melihat novel Saraswati sebagai bacaan penggugah semangat belaka, cerita inspiratif tentang seseorang yang dengan kekurangan fisiknya berjuang untuk menjadi berarti bagi sesama, dan ia berhasil. Bahkan, sewaktu diterbitkan Pradnja Paramita pada 1970, novel ini disebut pula oleh penerbitnya sebagai “[b]atjaan untuk para remadja”.[5] Mungkin karena itulah novel ini relatif kurang diperhatikan ketimbang karya-karya Navis yang lainnya, sekalipun faktanya novel Saraswati menjuarai sayembara UNESCO/IKAPI pada 1968. Navis sendiri sebenarnya juga jarang membicarakan novelnya ini di tulisan-tulisannya, kecuali dalam makalah “Proses Penciptaan” yang ia sampaikan di TIM, Jakarta, pada 1974 sebagai berikut.
Ketika UNESCO/IKAPI mengadakan sayembara pada tahun 1968, saya memperkirakan lebih dahulu para juri sayembara tersebut, yang saya duga komposisinya lebih cenderung pada sosiolog dan pedagog daripada kritisi [sic!] sastra. Maka saya tulislah novel Saraswati, Si Gadis Dalam Sunyi, yang melukiskan seorang gadis bisu-tuli yang tersia-sia, tapi berjuang untuk menjadi manusia yang sama nilainya dengan orang lain. Kisah demikian pastilah menimbulkan simpati para juri. Dan ternyata benar, novel itu memenangkan sayembara tersebut.[6]
Navis boleh saja berkata sesederhana itu, tapi melalui tulisan ini saya akan mengajukan suatu hasil pembacaan yang tidak hanya melihat novel Saraswati sebagai kisah perempuan difabel belaka. Lebih dari itu, novel Saraswati merupakan ekspresi psikologi Navis yang juga bermuatan biografis, terutama terkait trauma PRRI. Saya akan menggunakan kerangka berpikir psikoanalisis Sigmund Freud dalam menganalisisnya, dengan mengasumsikan karya sastra sebagai manifestasi alam bawah sadar pengarang, sebagaimana mimpi bagi manusia pada umumnya.[7]
Alam bawah sadar merupakan tempat segala hasrat yang terepresi, yang dicap tak pantas untuk hadir di alam sadar, seperti kenangan memalukan, menakutkan, dan hasrat-hasrat terlarang secara sosial. Manifestasinya pada alam sadar selalu melalui proses pengelabuan dan berwujud simbol-simbol. Baik pada mimpi maupun pada karya sastra, simbol-simbol inilah yang perlu diinterpretasi. Interpretasi pun diajukan dengan mengandalkan sebanyak mungkin informasi tentang pengalaman sang pengarang, terutama melalui tulisan-tulisannya yang bermuatan biografis, atau tulisan-tulisan lain yang menjelaskan kondisi eksternal yang melingkupi pengalaman hidupnya, terutama peristiwa-peristiwa krusial.
Seperti telah ditunjukkan sebelumnya, Navis menghayati betul betapa orang-orang Minang pasca pergolakan PRRI merasa minder dengan identitas keminangkabauan mereka sendiri. Mereka beramai-ramai mengganti nama mereka, atau memberi nama anak-anak mereka, dengan nama kejawa-jawaan “agar tidak dilecehkan atau agar bisa diterima bekerja di pemerintahan”. Keganjilan ini jelas punya kesan tersendiri bagi Navis. Hal ini tampak pula pada penamaan tokoh utama dalam novel Saraswati yang ia tulis beberapa tahun usai konflik. Inilah petunjuk pertama yang menegaskan bahwa novel tersebut bercerita tentang trauma PRRI dalam masyarakat Minangkabau. Dengan dasar demikian, cacat jasmani yang melekat pada tokoh Saraswati dapat dipandang sebagai simbol bagi cacat mental masyarakat Minangkabau akibat trauma konflik PRRI.
Penafsiran tokoh Saraswati sebagai simbol masyarakat Minang sebenarnya tidaklah sulit betul. Meski tidak ada keterangan eksplisit bahwa Saraswati itu orang Minang, setidaknya ia mengaku sebagai orang yang berasal dari Padangpanjang, sebuah kota kecil di Sumatera Barat yang notabene merupakan kampung halaman bagi orang-orang Minang, termasuk Navis sendiri. Lalu, masyarakat Minangkabau juga sangat identik dengan masyarakat matrilineal.[8] Sebenarnya jarang sekali Navis menulis cerita menggunakan tokoh utama perempuan, apalagi dengan sudut pandang orang pertama pula. Bahkan, pada kumcer Jodoh yang banyak bercerita tentang perempuan, hanya pada cerpen “Kisah Seorang Pengantin” Navis menggunakan sudut pandang orang pertama tokoh perempuan. Pada sembilan cerpen lainnya tidak demikian. Karena itu, novel Saraswati boleh disebut kasus langka. Ia harus dilihat sebagai sesuatu yang hadir bukan karena tanpa alasan begitu saja.
Simbol selanjutnya yang penting dibahas ada di sekitar peristiwa kematian keluarga Saraswati. Peristiwa naas tersebut merupakan bagian sangat menentukan bagi jalannya cerita secara keseluruhan. Diceritakan bahwa ayah, ibu, serta dua kakak dan dua adik Saraswati tewas setelah mobil yang membawa mereka “jatuh masuk jurang dan terbakar”.[9] Kecelakaan tersebut terjadi karena ayah Saraswati berusaha menghindari gerombolan yang hendak membegal mereka di tengah jalan. Karena menjadi yatim piatu di usia yang masih belia, Saraswati yang semula hidup nyaman di Jakarta kemudian harus dibawa bibinya pulang kampung ke Padangpanjang. Di sanalah ia menjalani nasib yang jauh berkebalikan untuk seterusnya.
Dengan mengasosiasikan bagian tersebut dengan sejarah PRRI maka kecelakaan keluarga Saraswati bisa dipahami sebagai simbol bagi jatuhnya tokoh-tokoh Minang dari panggung perpolitikan nasional menjelang dan/atau setelah pecahnya konflik PRRI. Perpindahan Saraswati dari Jakarta ke Padangpanjang menegaskan pula simbol tersebut. Jakarta adalah pusat kancah perpolitikan nasional, sementara Padangpanjang hanyalah daerah pinggiran yang berada jauh di luar Jawa. Apalagi Navis juga menulis bahwa ayah Saraswati merupakan “pegawai tinggi yang punya mobil dinas di ibu kota Negara”,[10] serta orang yang “mempunyai kegemaran bertukang kayu dan melukis”. Jika dua keterangan tersebut dikaitkan, maka ia bisa dilihat sebagai simbol bagi karakter pencipta yang dalam konteks sejarah nasional merujuk khusus pada tokoh-tokoh pendiri bangsa. Dengan kata lain, ayah Saraswati merupakan simbol bagi tokoh-tokoh pendiri bangsa asal Minangkabau yang mengalami kecelakaan jatuh dari panggung perpolitikan nasional, lalu mengakibatkan Minangkabau menjadi masyarakat terpinggirkan.[11] Bagaimana tragedi PRRI disejajarkan dengan tragedi kecelakaan keluarga Saraswati, Navis menulis seperti berikut.
Apakah ibu dan ayahku mati seperti ini pula? Tapi aku tidak pernah melihat mereka lagi dan aku tidak tahu bagaimana mereka menemui ajalnya. Tapi aku yakin bahwa mereka itu mati di tengah-tengah hutan. Mereka mati karena tembakan penghadangan terhadap mobil mereka, lalu jatuh masuk jurang. Penghadangan ya, penghadangan. Beginilah macam penghadangan oleh orang-orang yang bersenjata terhadap orang-orang yang tidak bersenjata. Meskipun tak seorang pun mati disambar peluru, namun ada yang mati karena melarikan nyawanya. Itulah perang, kiranya.[12]
Menarik pula diperhatikan bahwa keluarga Saraswati sebelum kecelakaan tersebut baru saja pulang dari “menghadiri pesta perkawinan karib” mereka di Bandung.[13] Untuk mendukung tafsiran-tafsiran sebelumnya, maka pesta perkawinan tersebut dapat dilihat sebagai simbol bagi peristiwa sakral menyatunya suku-suku bangsa yang ada di seluruh tanah air, termasuk Minangkabau, menjadi satu bangsa yang lebih besar, yakni Indonesia. Jika persatuan tersebut merujuk pada peristiwa Sumpah Pemuda 1928, atau Proklamasi Kemerdekaan 1945, maka itu terjadinya tidak jauh sebelum pergolakan PRRI pada 1958. Atau, bisa jadi pula itu merujuk pada peristiwa persatuan yang lebih besar, yakni bangsa-bangsa non-blok pada Konferensi Asia-Afrika 1955, yang memang diselenggarakan di Bandung pula.
Di Padangpanjang Saraswati tinggal di rumah tradisional yang sangat bersahaja milik bibinya. Namun, ia sebenarnya tidak tidur di rumah itu, melainkan di sebuah kamar kecil di belakang rumah, sedikit terpisah dari bangunan utama. Keterangan ini menegaskan betapa terkucilnya Saraswati dari dunia di sekitarnya, seperti terkucilnya masyarakat Minangkabau setelah terjadinya pergolakan PRRI.
Untungnya, di rumah itu Saraswati punya seorang kakak yang sangat peduli terhadapnya, yaitu Busra. Tokoh ini memainkan peranan sangat penting bagi Saraswati hingga akhir cerita. Ialah pengayom Saraswati. Melalui berbagai upaya, Busra mendorong Saraswati untuk bangkit dari kemurungannya yang berlapis. Ia membantu Saraswati menemukan kembali semangat hidup untuk menjadi manusia yang berguna bagi sesama. Misalnya, Busra memberi Saraswati tugas menggembala ternak sebagai rutinitas.
Tugas ini merupakan simbol bagi latihan mengontrol diri secara intens, termasuk mengontrol emosi-emosi negatif akibat trauma. Emosi-emosi tersebut dibayangkan sangat liar seperti “binatang yang sukar diatur”,[14] sehingga melelahkan juga bagi Saraswati untuk mengurusinya. Setidaknya, penafsiran ini didukung pula oleh keterangan bahwa “kambing-kambing itu biasanya digembalakan di pandam pekuburan yang letaknya kira-kira 500 meter dari rumah.”[15] Di sini aktivitas menggembala berjejer dengan latar pekuburan yang identik dengan kematian. Dengan kata lain, setiap kali menggembala kambing, Saraswati selalu berhadapan dengan latar pekuburan yang rentan mengingatkannya pada trauma akan kematian keluarganya beberapa waktu lalu. Itulah proses berat yang harus dilalui Saraswati hampir setiap hari. Mengendalikan trauma di jiwanya. Itu pulalah proses berat yang dihasrati Navis untuk mengatasi trauma masyarakat Minangkabau akibat PRRI.
Navis benar-benar perhatian terhadap masalah trauma PRRI ini. Misalnya, salah satu langkah besar yang dilakukan Navis ialah menghancurkan ribuan tugu peringatan PRRI di setiap nagari di Sumatera Barat. Tentu ia tidak melakukan hal itu dengan tangannya sendiri, melainkan melalui kewenangan pemda seperti yang diceritakan Soewardi Idris berikut ini.
Barangkali “karya” besar Navis untuk masyarakat Minang ada hubungannya dengan runtuhnya tugu-tugu tersebut. Waktu itu Navis menjadi anggota DPRD Tk. I Sumatera Barat. Ia termasuk salah seorang yang dengan diam-diam mendesak gubernur dan eksekutif lainnya agar tugu-tugu pembebasan itu dihancurkan. Langkah dan pikiran ini diambilnya bukan karena ia terlibat PRRI, melainkan karena ia melihat kehadiran tugu-tugu tersebut akan memperpanjang trauma masyarakat Minang. Tugu-tugu itu akan menjadi impitan jiwa yang tidak berkesudahan.[16]
Langkah besar Navis lainnya tersimbolkan oleh hasrat kuat Saraswati yang di sepanjang cerita ingin mampu berkomunikasi efektif dengan orang lain, sekalipun ia bisu-tuli sejak lahir. Saraswati tidak suka jika ia direndahkan orang lain hanya karena ia punya cacat fisik. Ia ingin diperlakukan sama saja dengan orang-orang normal lainnya, sebagaimana dulu ia diperlakukan ayahnya di antara saudara-saudaranya di rumah. Ia ingin orang-orang memahami hasratnya untuk diperlakukan setara sebagai manusia. Karena itu, ia tidak suka jika seorang difabel hanya diperlakukan sebagai orang suruhan di masyarakat, seperti seorang bisu yang “[k]erjanya hanyalah tukang cuci” di keluarga kenalannya, atau seperti seorang bisu yang dijumpainya di kapal dan kerjanya adalah melakukan “apa saja yang disuruhkan orang kepadanya”. Terkait keresahannya ini Saraswati berkata,
Di mana-manapun juga orang-orang cacat sepertiku, tidak pernah menjadi manusia yang sewajarnya. Seolah-olah hak kami hanyalah untuk menjadi manusia kelas terbawah. Tuhan yang disembah-sembah setiap orang itu tentu tidak akan membeda-bedakan umat-Nya, meskipun kami ini ditakdirkan-Nya sebagai manusia yang bercacat. Akan tetapi kenapakah kami ini harus dipandang sebagai orang yang tidak berharga sama sekali jadinya?[17]
Keresahan Saraswati yang sering direndahkan masyarakat umum karena kondisinya yang cacat fisik itu sebenarnya paralel dengan keresahan Navis yang merasa masyarakat Minangkabau direndahkan pemerintah Pusat karena posisinya sebagai orang-orang di Daerah. Misalnya, Navis berkata dalam buku Pemikiran Minangkabau sebagai berikut.
Namun pola sentralisme budaya birokrasi itu sesungguhnya sudah berlangsung semenjak pemerintahan kolonial Belanda. Bahwa segala-galanya harus diputuskan atau direstui oleh Batavia. Dalam konsep ini, wilayah yang berada di luar Jawa-Madura dinamakan sebagai “buiten gewesten”, Tanah Seberang. Maka dalam logika budaya demikian, orang-orang tanah seberang dipandang sebagai makhluk kelas dua atau lebih rendah, bawahan. Sehingga setiap pejabat pusat yang dipindahkan ke tanah seberang dengan jabatan yang sama dipandang sebagai “pengucilan”.[18]
Saking tidak senangnya Navis dengan ketidakegaliteran tersebut, ia cukup sering melontarkan pandangan serupa di berbagai kesempatan, seperti misal dalam wawancara dengan Lontar sebagai berikut.
Kita yang tinggal di daerah ini merasa kadang-kadang seperti orang yang dicurigai‒masyarakat yang dicurigai oleh kekuasaan; kasarnya seperti orang dijajah. […] Di dalam konstelasi politik sekarang, kekuasaan yang dikuasai oleh etnik yang terbesar, Jawa itu, memandang orang di luar pulau Jawa itu adalah orang bawahan. Orang yang tidak dianggaplah. Ini, dominasi kekuasaan itu, seperti pengganti dominasi penjajahan terhadap kita. Itu dirasakan oleh orang-orang yang di daerah. Walaupun secara hukum tidak, tapi secara sosio-politik terasa itu.[19]
Ketimpangan antara Pusat dan Daerah jelas merupakan suatu masalah serius bagi Navis, seperti kebanyakan orang Minangkabau. Lebih-lebih, itu pula salah satu pemicu kenapa pergolakan PRRI meletus pada 1958. Orang-orang di Daerah sudah mengkritik keras pemerintah Pusat, bahkan sampai angkat senjata pula, tapi nyatanya mereka kalah telak. Keresahan-keresahan semacam itu kemudian tinggal terpendam saja dalam hati untuk seterusnya. “Mau apa kita? Bilang apa kita?” keluh penduduk taklukan dalam cerpen Navis “Inyik Lunak Si Tukang Canang”.
Semasa PRRI berlangsung, Navis memang tak pernah ikut-ikutan bergerilya melawan tentara Pusat. Ia sejak awal juga tidak yakin bahwa orang-orang PRRI akan bisa menang melawan APRI. Alasannya: ketimpangan kekuatan militer antara kedua pihak yang mencolok. Meski begitu, Navis terang-terangan “menaruh simpati pada PRRI”, terutama pada pemimpin-pemimpin PRRI, seperti Syafruddin Prawiranegara, Assaat, Natsir, dan Burhanuddin Harahap.[20] Simpati demikian sebenarnya wajar saja sebab, seperti keterangan Soewardi Idris, “pemberontakan PRRI itu pada mulanya didukung secara luas di Sumatera Barat. […] Hampir di setiap rumah tangga ada oknum keluarga yang terlibat dalam PRRI.”[21] Adik Navis sendiri, Anas Nafis, ikut berperang memimpin beberapa pleton pasukan PRRI. Begitu pula M. Sjafei, guru sekaligus pendiri INS Kayutanam yang sangat dihormati Navis. M. Sjafei merupakan Menteri PPK sekaligus Menteri Kesehatan dalam Kabinet PRRI.
Secara psikologis, wajar juga jika Navis sangat dongkol melihat Minangkabau diperlakukan tidak egaliter oleh pemerintah Pusat, sebagaimana dulu juga terjadi di masa kolonial Belanda. Navis mengalami sendiri betapa tidak enaknya hidup sebagai bangsa terjajah, dan ia sangat akrab dengan pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan orang-orang kampungnya sendiri, bahkan sejak ia masih balita. Sewaktu Navis baru berusia dua tahun, tepatnya pada awal tahun 1927, di Sumatera Barat pernah terjadi pemberontakan berdarah yang legendaris. Namanya Pemberontakan Silungkang. Pemberontakan itu dimotori orang-orang komunis yang hendak menuntut kemerdekaan dari rezim kolonial Belanda, dan ia merupakan bagian dari rangkaian pemberontakan-pemberontakan serupa di Batavia dan Banten beberapa waktu sebelumnya. Sayangnya, pemberontakan-pemberontakan itu sama gagalnya, dan sebagai akibatnya setidaknya seratus orang komunis di Sumatera Barat terbunuh dalam aksi balasan Belanda kemudian.[22]
Pusat pemberontakan itu memang terjadi di Silungkang, tapi Padangpanjang yang berjarak delapan puluh kilometer dari sana juga sangat merasakan dampak kegagalannya. Masa itu Padangpanjang juga menjadi basis utama orang-orang komunis di Sumatera Barat, khususnya mereka yang sangat loyal pada Tan Malaka. Karena itu, setelah Belanda melakukan penumpasan besar-besaran terhadap orang-orang yang memberontak, “sebagian besar rakyat Sumatera Barat mengalami intimidasi dan tidak mau lagi macam-macam terhadap penguasa kolonial.”[23] Kondisi buruk demikian terus berlanjut pada tahun-tahun ‘30-an ketika rezim kolonial Belanda semakin represif dan banyak menangkapi tokoh-tokoh radikal di Padangpanjang yang dinilai berbahaya.
Dengan begitu, Navis tumbuh dengan perasaan benci terhadap orang-orang Belanda sejak kecil. Ia sendiri punya tetangga-tetangga orang Belanda di sekitar rumahnya, dan mereka tidak pernah saling mengenal sebab “Awak kan pribumi, dipandang rendah oleh Belanda.”[24] Situasi demikian menjadi semakin buruk karena Navis kecil sering pula berkelahi dengan anak-anak Belanda itu, dan ia selalu pulang dalam keadaan babak belur sendirian.
Kurang lebih, masa lalu semacam itulah yang membuat Navis mudah kesal ketika kenyataan buruk serupa kembali terulang di negara yang mengaku-ngaku diri telah merdeka pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Tidaklah mengherankan kalau Navis lalu condong bersimpati pada PRRI yang berperang melawan APRI sebagai perwakilan pemerintah Pusat yang dianggap telah korup.
Selain karena bersikap realistis, menurut Ivan Adilla sebab lain Navis tidak ikut berperang bersama gerilyawan PRRI adalah karena ibunya pernah melarangnya ikut-ikut menjadi tentara di zaman penjajahan Jepang. Navis sangat menghormati ibunya, dan ia tetap menghormati larangan tersebut semasa PRRI, kala ibunya baru saja meninggal lima tahun sebelumnya.[25] Karena tidak ikut berperang secara fisik di hutan-hutan, Navis lalu memfokuskan perjuangannya di lapangan kebudayaan, terutama menulis. Inilah yang nanti menjadi salah satu sumbangan besar Navis bagi pembangunan mental masyarakat Minangkabau pasca pergolakan PRRI.
Menurut Navis, masalah gawat antara pemerintah Pusat dan Daerah sebenarnya ada hubungannya dengan persoalan salah paham. Elemen-elemen di Daerah bersifat sangat bineka, sementara pemerintah Pusat tidak begitu mengenal satu demi satu kebinekaan tersebut. Akibatnya, kebijakan-kebijakan Pusat sering kali tidak berkenan bagi masyarakat di Daerah, terlebih lagi dengan cara pandang Pusat yang tidak memposisikan Daerah secara egaliter, yakni dalam perkoncoan Bung dengan Bung, melainkan dalam relasi Orang Tua dengan anak, lalu terjadilah pergolakan seperti PRRI.
Keresahan Navis ini kemudian termanifestasi dalam novel Saraswati lewat keresahan Saraswati yang bisu-tuli. Ketidakmampuan masyarakat umum memahami kehendak-kehendak Saraswati telah sering kali memunculkan salah paham yang bikin Saraswati geregetan, sehingga sekali waktu ia pun terpaksa memberontak.[26]
Di sini cukup beralasan jika pemberontakan Saraswati merupakan simbol bagi pemberontakan masyarakat Minang lewat pergolakan PRRI. Kedua-duanya sama-sama berakar pada masalah kesalahpahaman.
Karena itu, ketika Saraswati merasa perlu mencari cara untuk mengutarakan kehendak-kehendaknya secara efektif, ia menemukan solusi terbaiknya pada keterampilan menulis. Ia mula-mula belajar mengenal kosakata dengan Busra. Setelah konflik usai, ia mendapat semakin banyak kesempatan belajar membaca dan menulis di pusat rehabilitasi. Begitulah ia akhirnya bisa menulis dengan baik, lalu menuliskan kisah hidupnya sendiri menjadi cerita seperti yang tertulis dalam novel. Penting diingat bahwa dalam bercerita Saraswati selalu membayangkan pembacanya sebagai “saudaraku”. Betapa ia ingin menjadi begitu akrab dengan orang-orang lain melalui seluruh kisah yang ia ceritakan itu. Dan betapa ia ingin dipandang setara seperti manusia-manusia normal lainnya di mana pun juga.
Dengan demikian, hasrat Saraswati yang sangat kuat untuk mampu menulis sebenarnya merupakan simbol bagi hasrat Navis yang berambisi besar menulis tentang pengalaman-pengalaman masyarakat Minangkabau yang sering disalahpahami, dan tidak senang dipandang sebagai masyarakat bawahan seperti orang-orang terjajah. Terkait masalah ini, Navis pernah membicarakannya sekilas sewaktu ia diwawancara Lontar pada 1994. Waktu itu ia menyesali masih seringnya kekeliruan sikap Pusat terhadap Daerah, “[Kesalahpahaman] Ini harus diterangkan‒harus dihilangkan. Cara menghilangkannya, harus kita memperkenalkan daerah itu bagaimana sebetulnya; filosofinya, alam pikirannya, segala macamnya.”[27]
Hasrat untuk lebih memperkenalkan Minangkabau itulah yang kemudian mendorong Navis untuk banyak mempelajari dan menghasilkan tulisan tentang Minangkabau, baik fiksi maupun nonfiksi. Terutama untuk tulisan-tulisan nonfiksi, Navis bahkan tidak saja menggali informasi dari orang-orang Minang di sekitarnya, tapi juga sampai melakukan perjalanan jauh ke luar negeri.
“Saya sudah ke Amerika dan Belanda hanya untuk studi kepustakaan. Koleksi perpustakaan di Indonesia tidak lengkap. Kalaupun ada tidak teratur dan sulit mencarinya. Saya mendapat dorongan dari teman-teman, bahkan bantuan dari Toyota Foundation, Asia Foundation, Uda Hasjim Ning dan Bustanil Arifin SH. Dapat dikatakan bahwa saya tidak menemui kesulitan yang berarti ketika mengumpulkan bahan-bahan.// […]// Seorang pakar di Padang rupanya terkesan akan kesungguhan saya mendalami studi Minangkabau, sehingga menyampaikan gagasan yang aneh pada saya: “Pak Navis, tetap sajalah di lapangan sastra. Ladang kami jangan diusik-usik pula!”// Mungkin dia pikir saya cari duit ke berbagai yayasan dengan dalih menulis. Boleh jadi dia sendiri yang begitu.”[28]
Hasil dari usaha Navis itu jelas signifikan. Ia berhasil merampungkan buku Alam Terkembang Jadi Guru, buku Pemikiran Minangkabau,[29] serta seabrek artikel/makalah yang tersebar melalui sejumlah media, yang sebagiannya lalu dihimpun dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan.
Di akhir cerita, kita tahu, Saraswati berpelukan dengan Busra dalam suasana cinta kasih yang mengharukan. Adegan manis itu menegaskan bahwa Busra merupakan sosok hero yang menjadi obat penawar bagi kesunyian Saraswati “untuk selama-lamanya”. Peran hero itu pulalah yang dihasrati Navis di tengah-tengah masyarakat Minangkabau masa itu, bahkan sepanjang sisa hidupnya kemudian. Ia berusaha mengabdikan dirinya untuk mengatasi trauma mendalam yang ditinggalkan pergolakan PRRI, supaya kebahagiaan yang disimbolkan oleh cinta kasih dapat kembali semarak di seluruh penjuru negeri hingga ke generasi-generasi Minang seterusnya. Dan perjuangan yang bisa ia lakukan untuk itu adalah menulis sebanyak-banyaknya tentang Minangkabau. Selagi nyawa dikandung badan.
Cerita-Cerita Lain, Simbol-Simbol Lain
Untuk mendukung penafsiran sebelumnya, pada bagian ini saya hendak membahas beberapa cerpen Navis yang mengandung simbol-simbol lain terkait isu-isu yang masih beredar di seputar pergolakan PRRI. Asumsinya, apa yang menjadi hasrat Navis dalam novel Saraswati sebenarnya punya hubungan tak terpisahkan dengan hasrat Navis yang termuat dalam karya-karyanya yang lain, baik sebelum maupun setelah penulisan Saraswati. Dengan begitu, kita nantinya akan bisa melihat korelasi masing-masing karya tersebut dalam suatu peta besar kepengarangan A.A. Navis.
Pertama, pada cerpennya yang paling terkenal, “Robohnya Surau Kami”, simbol surau boleh dibilang merujuk pada perilaku keberagamaan umat Islam yang kolot, picik, dan mesti ditinggalkan sebab ia sudah membuat umat roboh, bahkan masuk neraka. Navis cukup sering mengkritik kejumudan beragama semacam itu, dan ia selalu berpihak pada apa yang lazim dikenal sebagai Islam modern, atau reformis.[30] Sikap tersebut sebenarnya sangat wajar sebab Navis lahir di Padangpanjang dalam suasana reformasi Islam demikian.[31] Secara sederhana, semangat Islam reformis menaruh penekanannya pada cita-cita memajukan umat melalui perjuangan di bidang ekonomi dan pendidikan, yang mewujud menjadi etos kerja keras dan keterbukaan diri terhadap sains (baca: ilmu-ilmu selain ilmu agama). Dengan kata lain, fokus Islam reformis terarah pada urusan hablun minannas, sehingga urusan politik praktis juga menjadi bagian penting perjuangan.
Pada masa-masa itu semangat Islam reformis mendapatkan wadah politiknya pada Partai Masyumi,[32] yang pada suatu masa memang menjadi rumah besar bagi semua organisasi Islam di Indonesia. Meski Navis bukan anggota Partai Masyumi, kekagumannya yang terang-terangan pada tokoh-tokoh Masyumi, utamanya Natsir, Syafruddin Prawiranegara, dan Burhanuddin Harahap, menunjukkan kecondongan Navis pada partai Islam tersebut. Lebih-lebih, Masyumi merupakan partai yang sangat berjaya di daerah-daerah luar Jawa, terutama di Sumatera Tengah pada dekade ‘50-an.
Konteks Islam reformis ini penting diperhatikan ketika kita kembali masuk pada cerita-cerita Navis tentang PRRI nantinya. Bagaimanapun, salah satu motif kemunculan PRRI ialah mencegah kekuatan komunis menjadi semakin dominan di Indonesia.[33] Dengan kata lain, PRRI bisa juga disebut sebagai konflik antara orang-orang beragama yang anti-komunis dan orang-orang komunis yang anti-agama. Meski tidak terlalu tepat, dalam hal ini kita bisa menyederhanakan konflik diametral tersebut menjadi perseteruan antara Masyumi pimpinan Natsir dan PKI pimpinan Aidit.
Jika kita kembali merujuk pada semangat keislaman yang terkandung dalam karya-karya Navis, seperti pada “Robohnya Surau Kami”, maka bisa dilihat bahwa Navis jelas lebih dekat pada ide-ide dan aspirasi-aspirasi yang dibawa Masyumi, termasuk dalam konteks PRRI. Bahkan, karena sempat diduga sebagai simpatisan PKI pada 1963, Navis sengaja menulis novel Kemarau sebagai upaya menepis dugaan tersebut.
Pada cerpen lain, “Pemburu dan Serigala”, kita menemukan simbol bagi sosok Bung Karno yang merupakan pusat dari Pusat pada masa Orde Lama.[34] Cerpen ini bisa disebut sebagai olok-olok terhadap Bung Besar yang menjadi sumber dongkol di sekitar konflik PRRI. Sebagai simbol Bung Karno, sang pemburu adalah pria tua yang arogan karena kehebatannya di masa lalu. Tapi, malah arogansinya itu pula yang akhirnya menerkam sang pemburu, dan menjadi sebab momen kehancurannya yang tragis.[35] Selain itu, dengan nakal Navis juga menggambarkan sang pemburu sebagai pria yang sangat ahli berburu perempuan. Seantero Indonesia tahu bahwa Bung Karno adalah pria yang mudah tergila-gila pada perempuan. Istrinya banyak tak tanggung-tanggung: dari Jawa, dari Sunda, dari Sumatera, dari Sulawesi, dari Kalimantan, bahkan dari Jepang; dari janda hingga anak sekolahan.
Ya, Bung Karno memang menjadi sosok antagonis bagi masyarakat Minang sejak paruh kedua dekade ‘50-an, terlebih kala konflik PRRI akhirnya bergolak pada 1958. Padahal, hubungan Bung Karno dengan tokoh-tokoh Minangkabau pada masa-masa menjelang dan awal-awal proklamasi kemerdekaan sebenarnya berjalan sangat baik. Memburuknya hubungan Bung Karno dengan masyarakat Minang diawali dengan mundurnya Bung Hatta dari jabatan wakil presiden pada 1956. Hatta menilai Bung Karno sudah menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi, dan ia menerbitkan tulisan khusus untuk mengkritik hal tersebut, berjudul Demokrasi Kita. Bahkan, pada 1962 Hatta mengirimi Bung Karno sepucuk surat yang sebagian isinya menohok tajam, “Apa yang kita cela dan tantang dahulu di zaman kolonial Belanda, sekarang berulang terjadi dilakukan atas nama Saudara.”[36]
Sebagai representasi kepemimpinan luar Jawa, Hatta banyak mempengaruhi tokoh Minang yang juga kesal pada kepemimpinan Bung Karno, terlebih sejak PKI semakin mesra dengan kekuasaan. PRRI meletus pada 1958. Meski kesal pada Bung Karno, Hatta sebenarnya sangat menentang PRRI. Namun, apa lacur, sejumlah tokoh Minang telanjur ikut melibatkan diri, lalu sama-sama masuk bui usai perang. Mereka kalah telak. Sjahrir, Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Assaat, dan Ahmad Husein adalah beberapa di antara pemuka politik Minang yang menjadi tahanan Sukarno masa itu.
Tak berhenti sampai di sana, pada 1964 giliran pemuka agama dari Minang pula yang kena batu kekuasan Bung Karno. Saat itu Bung Karno sedang menyala-menyalanya mengampanyekan aksi ganyang Malaysia, dan Buya Hamka tiba-tiba dituduh bersekutu dengan negeri jiran tersebut. Tanpa proses pengadilan, ia dipenjara sebagai tahanan Sukarno.
Dengan beralihnya kendali kekuasaan ke tangan Soeharto pasca Gestapu 1965, barulah semua tahanan politik tersebut dibebaskan pada 1966. Tragis bagi Sjahrir, ia keburu wafat pada tahun yang sama. Sejak menjadi tahanan politik Sukarno pada 1962, Sjahrir habis dikoyak-koyak masalah kesehatan yang makin lama makin parah.
Dengan segala pukulan tersebut, bisa dibayangkan betapa kesalnya orang-orang Minang terhadap Bung Karno pada masa-masa sekitar PRRI itu, yang bahkan sebagian eksesnya masih terasa hingga kini lewat ketidakacuhan orang-orang Minang terhadap partai trah Sukarno, PDIP, dalam ajang-ajang pemilu di Sumatera Barat. Navis pribadi juga menjadi bagian dari gelombang kekesalan tersebut. Malah, ia sudah punya sentimen terhadap Bung Karno sejak 1950, ketika Pemimpin Besar Revolusi itu berpidato di Bukittingi.
“Kamu…Kamu…!” begitu kata Soekarno dalam pidatonya sambil menunjuk-nunjuk ke sana kemari. Saya betul-betul tersinggung karena sebagai pemuda merasa diperlakukan sebagai anak kecil. Walaupun tidak diarahkan langsung kepada saya.// Belum selesai dia berpidato saya sudah keluar. Sejak itu, hilang simpati saya pada Soekarno. Mungkin karena pola egaliter Minangkabau, saya selalu tidak senang diper-”kamu” orang.// Saya kian tidak simpati pada Soekarno karena ia kian mendominasi penyelesaian soal-soal politik di Jakarta yang bersifat tidak menyelesaikan persoalan.[37]
Pada cerpen “Bertanya Kerbau Pada Pedati” kita bersua dengan masalah eksploitasi majikan terhadap kacung-kacungnya yang malang. Kisahnya berkisar pada penderitaan kerbau-kerbau yang dipaksa mengangkut beban berat oleh ketamakan tukang pedati setiap hari. Penderitaan tersebut begitu dahsyat sampai-sampai mereka sering terkencing-kencing dan terberak-berak di jalan sembarangan, dengan mata merah seperti hendak pecah. Dengan latar zaman revolusi yang penuh pergolakan, seruan tokoh Aku untuk mendorong kerbau-kerbau itu memberontak bisa dibaca sebagai simbol perlawanan masyarakat yang terzalimi di Daerah terhadap pemerintah Pusat yang zalim dan bikin dongkol. Jika kerbau-kerbau itu secara lebih spesifik dibayangkan sebagai simbol Minangkabau, maka nasib Daerah yang diprihatinkan tersebut merujuk lebih tegas pada nasib masyarakat Minangkabau di bawah dominasi pemerintah Pusat yang otoriter. Judul cerpen ini sendiri berasal dari ungkapan Minangkabau, “bertanya kerbau pada pedati, masih jauhkah perhentian”, yang secara implisit mengandung keluh kesah penderitaan.
Kita tahu, pada masa Orde Lama kebijakan pembangunan yang sentralistik telah menjadi salah satu pemicu kemarahan orang-orang yang tinggal di luar Jawa, termasuk di Sumatera Barat. Di mana-mana tersebar perasaan bahwa Daerah telah diperlakukan tidak adil sebab sejumlah kekayaan mereka diangkut untuk membangun Pusat yang tamak, zalim, dan otoriter, sementara bagian yang tersisa untuk mereka hanya sedikit saja.
Misalnya, pada 1956 sentimen tersebut diartikulasikan oleh intelektual Minang, Sutan Takdir Alisjahbana dalam buku Perdjuangan untuk Autonomi dan Kedudukan Adat Didalamnja. Takdir mencatat bahwa 71 persen hasil ekspor Indonesia berasal dari pulau Sumatera, sementara penggunaan dana atau devisa untuk pembangunan daerah di Sumatera hanya 17 persen saja dari keseluruhan dividennya. Kondisi berbanding terbalik terjadi pada pulau Jawa. Hasil ekspor yang disumbangkan pulau Jawa hanya 17 persen saja dari keseluruhan ekspor Indonesia, sementara dividen yang digunakannya untuk pembangunan di Jawa mencapai angka 75 persen. Atas kondisi timpang ini Takdir kemudian berkias: Pusat (Jawa/Jakarta) adalah lintah yang bertengger di kepala seekor ikan (Indonesia keseluruhan).[38]
Dari angka-angka tersebut dapat dibayangkan bagaimana pemerintah Pusat mengeksploitasi Daerah secara gila-gilaan, tanpa peduli nasib masyarakat di Daerah, seperti majikan zalim yang mengeksploitasi kerbau-kerbau yang sampai terkencing-kencing dan terberak-berak dalam cerpen “Bertanya Kerbau pada Pedati”. Kondisi berengsek inilah yang pasca 1956 memunculkan keluhan terhadap “imperialisme Jawa” di Sumatera Barat.[39] Hantu blau ini pulalah yang kemudian menjadi salah satu faktor penentu bagi munculnya PRRI tak lama berselang.
Padahal, kalau tukang pedati itu mempunyai perasaan kemanusiaan, sedikit saja sudah cukup, ia tak perlu sampai menyiksa sedemikian rupa. Ia turunkan saja drum minyak kelapa di emperan belakang, segalanya akan beres. Tapi, ia lebih suka menyiksa binatang yang bodoh itu daripada payah-payah membongkar drum yang berisi minyak kelapa itu.// Dan dengusan yang keluar dari hidung kerbau itu kian menyentak, malah kini tajam menghunjam dalam jantungku. Aku tak bisa berpikir lain lagi. Lalu aku berteriak kuat-kuat dan sepanjang nafasku. “Berontaaaaak.”[40]
Berikutnya, kemurungan masyarakat Minangkabau dari masa ke masa, terutama dengan latar perang yang silih berganti, disimbolkan pula oleh Navis lewat judul kumcer terakhirnya yang terbit pada 2001, Kabut Negeri Si Dali. Tidak satu pun dari lima belas cerpen yang dimuat dalam buku ini yang menggunakan judul tersebut. Artinya, Navis memang sengaja membuat judul khusus untuk merangkum keseluruhan materi dalam bukunya ini. Karena sebelas cerpen di antaranya berlatar kondisi perang, atau berhubungan dengan pengalaman opresif di bawah rezim militer, maka kata ‘kabut’ pada judul tersebut merupakan simbol bagi kondisi buruk yang diakibatkan oleh perang demi perang; penindasan demi penindasan. Sementara itu, frasa ‘negeri Si Dali’ merujuk jelas pada alam Minangkabau. Si Dali merupakan tokoh yang hadir di semua cerpen,[41] meski tidak selalu menjadi tokoh utama, dan ia sebenarnya menjadi kiasan bagi sosok Navis itu sendiri. Navis yang bernama lengkap Ali Akbar Navis sehari-hari dipanggil adik-adiknya dengan nama Uda Ali,[42] yang sering kali menjadi Da Ali, lalu Dali.
Secara umum, latar waktu dalam cerpen-cerpen Navis merujuk pada sejarah penjajahan Belanda pada awal abad kedua puluh, lalu penjajahan Jepang, perang kemerdekaan, agresi militer Belanda, konflik PRRI, hingga penindasan Orde Baru. Boleh dibilang semua cerita tersebut hampir meliputi seratus tahun perjalanan sejarah, dan semuanya dalam konteks masyarakat Minangkabau.
Meski pengalaman perang selalu membawa dampak buruk bagi setiap masyarakat yang terlibat di dalamnya, kondisinya menjadi lebih buruk bagi masyarakat Minangkabau karena dalam sejarahnya orang-orang Minang tidak punya tradisi militer yang mapan untuk menghadapi perang. Dalam buku Pemikiran Minangkabau Navis mencatat sebagai berikut.
Dalam kebudayaan Minangkabau, jika dirujuk dari sastra klasiknya, tidak terdapat istilah yang berhubungan dengan tentara atau perang. Yang dikenal ialah hulubalang yang fungsinya tidak beda dengan polisi. Minangkabau bukan negeri yang memerlukan perang, baik untuk mempertahankan diri apa lagi untuk menyerang negeri lain. Orang Minangkabau hidup bersuku-suku dalam republik negeri yang kecil-kecil. Setiap suku pada suatu negeri mempunyai hubungan dengan suku yang sama pada negeri yang lain. Dan antara suku saling mengawini. Perkawinan dalam suku yang sama, meskipun negerinya berbeda adalah tabu. Dengan sistem demikian, setiap orang dan negeri mempunyai hubungan kekerabatan.[43]
Kecenderungan cinta damai dalam kebudayaan Minangkabau sebenarnya sudah bisa terlihat pada legenda asal-usul nama Minangkabau itu sendiri. Konon, pada zaman dulu bangsa Jawa yang punya pasukan militer sangat kuat hendak menaklukkan negeri Minangkabau lewat jalur kekerasan, alias perang. Masalahnya, orang-orang Minang tidak punya pasukan militer. Mereka sadar bahwa jika perang terjadi, mereka pasti kalah. Untuk mencegah jatuhnya korban jiwa, mereka akhirnya bersiasat mengajak bangsa Jawa itu adu kerbau sebagai ganti perang bersenjata. Taruhannya negeri mereka sendiri! Setelah kesepakatan tercapai, strategi cerdik pun dijalankan. Kerbau yang masih kecil dan menyusui sengaja dikurung beberapa hari hingga benar-benar kehausan. Di kepalanya dipasang pula tanduk besi yang tajam bukan main. Alhasil, saat pertandingan dimulai, kerbau kecil itu langsung menyeruduk perut kerbau lawan yang begitu besar, yang ia kira sebagai induknya tempat menyusu. Isi perut kerbau lawan pun jadi terburai-burai. Dengan cara begitulah orang-orang Minang akhirnya mengalahkan bangsa asing yang mengancam negeri mereka. Tanpa perang. Tanpa menumpahkan darah siapa-siapa, kecuali seekor kerbau. Dengan cara begitu pula mereka mendapatkan nama bangsa mereka, yakni “menang (adu) kerbau”, yang dalam bahasa ibu mereka disebut manang kabau, lalu menjadi minangkabau.
Memang, pandangan masyarakat Minangkabau terhadap praktik perang pada dasarnya sangat buruk. Sering diingatkan bahwa peperangan hanya akan membawa celaka bagi masing-masing pihak yang berseteru. Untuk kesia-siaan semacam ini terdapat kiasan “menang jadi arang, kalah jadi abu”. Selain itu, berdasarkan tinjauan Navis, dalam korpus sastra tradisional Minangkabau “[k]isah yang bertema pemberani selalu menceritakan orang bagak yang berakal pendek.”[44] Dengan kata lain, tindakan bunuh-membunuh dalam psikologi masyarakat Minangkabau dipandang sebagai perilaku konyol yang sangat jauh dari teladan.
Namun, absennya tradisi militer dalam kebudayaan Minangkabau nyatanya justru banyak memberikan dampak negatif bagi masyarakat Minang itu sendiri. Bahkan, menurut Navis hal tersebut menjadikan “di sepanjang sejarahnya Minangkabau senantiasa berada dalam kekuasaan asing.”[45] Yang dimaksud bangsa-bangsa asing tersebut, di antaranya “Aceh, Portugis, Inggris, Belanda”, dan Jepang.
Jika dominasi kekuasaan-kekuasaan asing silih berganti menjadikan orang-orang Minang terasing dari kemerdekaannya, maka bersamaan dengan itu tentu menghampar pula kesunyian panjang yang menyelimuti jiwa orang-orang Minang jauh sejak dulunya.
Masalahnya, di antara rentetan pengalaman pahit itu barangkali tidak ada kesunyian yang lebih tragis ketimbang kesunyian yang diciptakan oleh bangsa sendiri, seperti kesunyian masyarakat Minang akibat penumpasan PRRI oleh APRI.[46] Tidak seperti di zaman Belanda atau Jepang, kesunyian tersebut terkunci di balik kearifan bahwa sesama anak bangsa harus bersatu, tidak boleh bermusuhan, apalagi terpecah belah. Alhasil, kritik-kritik keras seperti yang termuat dalam pergolakan PRRI menjadi isu yang sensitif, tabu, dan dengan sendirinya terlempar dari narasi kebangsaan yang berulang-ulang menyebut Indonesia sebagai bangsa yang ramah, cinta damai, sebagaimana adab ketimuran yang konon sudah dianut leluhur orang-orang Nusantara sejak dulu.
Kira-kira, boleh dikatakan bahwa isu-isu terkait PRRI ini mirip pula dengan isu-isu terkait komunisme/PKI, yang misalnya pada masa Orde Baru telah menenggelamkan sosok Tan Malaka ke dalam kesunyian yang serupa. Obrolan tentang topik-topik tersebut paling banter hanya berlangsung di kalangan terbatas saja. Jika sejarah Tan Malaka bernasib miris karena ketabuan isu komunisme yang mengganggu kepentingan elite-elite tertentu di Indonesia, kurang lebih sejarah PRRI juga demikian karena ketabuan isu sentralisasi yang menguntungkan etnis tertentu, khususnya Jawa. Sebagaimana orang tidak enak membahas-bahas soal PKI, orang tidak enak pula membahas-bahas soal jawasentrisme. Kalau bicara membela PKI nanti orang dikira komunislah, tak pancasilaislah, tak percaya Tuhanlah, dan segala macam. Begitu juga, kalau bicara menentang jawasentrisme nanti orang dikira rasislah, SARA-lah, ingin merdekalah, dan segala macam. Akhirnya, orang-orang tak mau bicara terus terang, senyap lagi, sementara esensi masalah yang nyata-nyata terjadi di depan mata terus saja berlangsung, bahkan makin lama makin bikin dongkol. Semua terjadi karena sopan-santun, tata krama, dan adab luhur yang dengan salah kaprah dianut bangsa Indonesia, plus berbagai kemunafikan yang sebenarnya cuma bikin sebagian pihak terpenjara sunyi dalam lingkaran setan.
“Orang kita banyak yang munafik,” kata Navis pada 1994. “Kalau dihitung-hitung persentase, ya yang munafik itu yang banyak.”[47]
Motif Kesunyian dalam Sastra Indonesia dan Dunia
Sejak awal-awal lahirnya sastra Indonesia modern pada paruh pertama abad kedua puluh ekspresi tentang kesunyian adalah motif yang banyak berulang, terutama dalam puisi. Soal ini dibicarakan Afrizal Malna dalam buku Sesuatu Indonesia pada 2000, dan dibahas ulang oleh Martin Suryajaya melalui konten berjudul “Motif Kesunyian dalam Puisi Indonesia” di kanal Youtube pribadinya pada 2020. Secara khusus, Afrizal merujuk karya Nyanyi Sunyi Amir Hamzah sebagai contoh utama.[48] Dengan melakukan “pembacaan-yang-tak-bersih”, yakni pembacaan “sastra sebagai kompleks teks”, Afrizal meletakkan puisi-puisi sunyi Amir Hamzah di tengah kesedihan panjang bangsa Melayu sejak penaklukan Malaka oleh Portugis pada 1511. Tentang petaka penaklukan tersebut Amir Hamzah menulis sebagai berikut.
Setelah runtuhnya kota Malaka diterbangkan peluru d’Alfonso, panglima Peranggi itu, maka melayanglah semangat kesusastraan pujangga Melayu. Sultan Ahmad undur ke Hulu Muar, didatangi Peranggi pula, lari ke Paguh, dari Paguh menuju Pahang, dari Pahang menyeberang ke Bintan, tiada boleh bertahan lagi, sebagai kijang dihambat harimau. Cerai-berailah rakyat Melayu, lari membawa diri, menyusur pantai, merenangi sungai, pecah-belah kian kemari bagai daun diterbangkan angin. Sunyilah dada anak Melayu, padamlah api Sya’ir, keringlah mata pantun …[49]
Dengan mengaitkan puisi-puisi Amir Hamzah dengan teks di atas, maka jadilah kesunyian Amir Hamzah tak lagi terbatas pada kesunyian seorang pecinta dengan yang dicinta, yang jamak dipahami berdimensi sufistik oleh sejumlah kritikus sastra Indonesia. Kesunyian Amir Hamzah, dalam pembacaan Afrizal, juga merujuk pada suasana ketercerabutan individu dari akar budaya dan sejarah kolektifnya, yang membuatnya terasing di tengah kenyataan yang terus bergerak.
Sewaktu Sapardi Djoko Damono menerbitkan buku puisi Duka-Mu Abadi pada 1970, Goenawan Mohammad menyebut karya tersebut sebagai “nyanyi sunyi kedua”, suatu sebutan yang jelas merujuk pada Nyanyi Sunyi Amir Hamzah. Goenawan menilai bahwa kesunyian dalam puisi-puisi Sapardi “identik dengan selalu hadirnya Maut, Tuhan dan misteri”, selain juga kesunyian yang “eksistensial” karena kefanaan hidup dan kenyataan bahwa “kita tiba-tiba di sini/tengadah ke langit: kosong-sepi ….” Namun, seperti juga Nyanyi Sunyi Amir Hamzah, nyanyi sunyi Sapardi sebenarnya punya lanskap pergolakan yang mencekam sebagai lingkungan teksnya. Kenyataan bahwa puisi-puisi tersebut ditulis pada 1967‒1968 serta-merta menggiring ingatan kita pada kacau-balau kondisi sosial-politik di Indonesia pada dekade ‘60-an. Usai terjadinya pertumpahan darah di berbagai daerah pada dekade ‘50-an (akhir), bangsa Indonesia lagi-lagi harus berhadapan dengan kekerasan sadis yang menewaskan tujuh orang perwira TNI dalam peristiwa G30S pada 1965. Karena peristiwa tersebut dipercaya didalangi PKI, maka ia kemudian disertai pula oleh aksi-aksi pembantaian terhadap orang-orang (yang diduga) komunis dan kerabatnya. Konon, amuk balas dendam itu sampai menewaskan lebih dari sejuta orang sepanjang 1965‒1966; menjadikannya salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia. Suasana penuh Maut demikianlah yang ikut menghadirkan kesunyian dalam puisi-puisi Sapardi dalam Duka-Mu Abadi. Bahkan, pada puisi “Dua Sajak di Bawah Satu Nama” Sapardi berbicara pula tentang kisah pembunuhan Abel oleh saudaranya, yang merupakan pertumpahan darah pertama di muka bumi, sekaligus alegori bagi perang saudara berkepanjangan pada tahun-tahun itu di Indonesia.
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Lekra yang ikut ketiban nasib buruk PKI pasca peristiwa G30S, pada 1969 hingga 1979 diasingkan ke Pulau Buru sebagai tapol. Sepuluh tahun dilumat derita, Pram menuliskan kesunyiannya pula dalam memoar Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Ini adalah kesunyian orang yang dicap pengkhianat/pemberontak, musuh negara, sehingga secara sosial dikucilkan, dibungkam, dan dibuat sering-sering memikirkan Maut sebagai orang kalah.
Kesunyian dalam novel Saraswati yang ditulis Navis pada 1968 adalah kesunyian yang serupa dengan kesunyian-kesunyian tersebut.
Kesunyian Minangkabau adalah kesunyian traumatis akibat tahun-tahun penuh kekerasan dan revolusi yang gagal. Masyarakat Minangkabau adalah orang-orang kalah yang dibungkam dan terkucilkan dengan cap pemberontak.
Lalu, kesunyian tersebut akan tampak sebagai kesunyian berlapis-lapis jika sorotan terhadapnya diperbesar menjadi skala global dalam masa yang relatif bersamaan.
Kita tahu, dekade ‘60-an adalah masa-masa kritis bagi kehidupan umat manusia di seluruh dunia. Perang Dunia II baru saja lewat. Kebrutalan yang memakan total korban hingga lebih enam puluh juta jiwa itu jelas meninggalkan trauma mendalam yang tak akan bisa hilang begitu saja dalam waktu singkat. Terlebih, akhir Perang Dunia II ternyata hanyalah awal bagi Perang Dingin yang digadang-gadang akan meletuskan kengerian perang yang jauh lebih parah. Perang nuklir.
Maka, kiamat pun seolah sudah terbayang di depan mata.
Misalnya, pada Oktober 1962 Uni Soviet secara diam-diam menempatkan rudal nuklir mereka di Kuba yang secara geografis tidak jauh lagi dari Amerika Serikat. Ketegangan antara kedua negara adidaya itu pun melonjak. Dunia menjadi begitu senyap menanti kehancuran total yang bakal terjadi. Di Amerika Serikat masa-masa genting itu disebut sebagai “pekan ketika dunia berhenti berputar”.[50] Atau, Arthur M. Schlesinger, Jr., ahli sejarah yang dekat dengan Presiden Kennedy, mengenang peristiwa itu sebagai “momen paling berbahaya dalam sejarah manusia”.[51]
Meski Krisis Nuklir Kuba akhirnya berhasil diatasi, Perang Dingin malah menjadi semakin mencemaskan pada tahun-tahun selanjutnya. Di Asia Tenggara, Perang Vietnam yang telah berlangsung sejak 1955 mengalami eskalasi tajam pada pertengahan ‘60-an. Di Cina, Mao Zedong melancarkan Revolusi Kebudayaan pada 1966, memakan korban tewas hingga 1,6 juta jiwa.[52] Di Dunia Arab, ketegangan antara Israel dan Mesir meletuskan Perang Enam Hari pada 1967, dan berujung pada kekalahan Mesir yang dikoncoi Suriah dan Yordania. Perang tersebut sangat krusial bagi nasib Dunia Arab pada tahun-tahun selanjutnya. Ia meruntuhkan wibawa Nasser sekaligus harga diri bangsa Mesir, dan kesunyian yang melingkupi orang-orang kalah tersebut dapat dilihat dalam novel tipis Naguib Mahfouz, Al-Karnak.[53]
Di Amerika Latin, kesunyian serupa juga meliputi sejumlah negara akibat pergolakan sosial-politik yang mencekam. Sejumlah perang saudara, sejumlah kudeta berdarah, sejumlah kezaliman diktator, sejumlah pembantaian, telah menjadi pemandangan kelabu bagi orang-orang Amerika Latin selama berpuluh-puluh tahun. Kesunyian inilah yang disorot Gabriel Garcia Marquez ketika ia memberikan kuliah Nobel Sastra pada 8 Desember 1982 dengan judul “Kesunyian Amerika Latin”.
Kuliah tersebut tentu serta-merta mengingatkan kita pada magnum opus Marquez yang terbit pada 1968, novel Seratus Tahun Kesunyian. Meski banyak bercerita tentang kesunyian individual yang dialami sejumlah tokoh dalam tujuh generasi Buendia, novel tersebut juga dilatari oleh banyak pergolakan politik yang berdarah dan menegangkan. Kolonel Aureliano Buendia merupakan tokoh sentral dalam pergolakan tersebut. Ia memimpin tiga puluh dua pemberontakan melawan pemerintah selama hampir dua puluh tahun, tapi tak pernah berhasil menghadirkan revolusi sekali pun. Dengan begitu ia menjadi orang kalah yang membuat nama Buendia “berbau subversif” di masyarakat. Bahkan, sewaktu Kolonel Aureliano kembali naik pitam oleh “orang-orang asing yang bertindak diktator” di Macondo, yang membuatnya hendak mempersenjatai putra-putranya untuk memberontak, “ketujuh belas putranya diburu-buru seperti kelinci oleh penjahat-penjahat yang tak tampak”[54] dan berujung pada kematian enam belas di antaranya. Itulah hari-hari paling gelap dalam hidup Kolonel Aureliano Buendia sebagai orang kalah.
Karena keluarga Buendia tidak diinginkan lagi muncul di depan umum, Kolonel Aureliano Buendia menghabiskan sisa hidupnya dengan menyendiri di rumah, di bengkel kerjanya tanpa banyak berurusan dengan anggota keluarga lainnya. Keluarga itu pun perlahan-lahan dilupakan oleh masyarakat, oleh sejarah, meskipun Jose Arcadio Buendia merupakan pemimpin rombongan yang mula-mula mendirikan Macondo puluhan tahun sebelumnya.[55] Betapa ironis.
Novel Seratus Tahun Kesunyian menarik dibahas di sini karena ia dalam beberapa segi punya kemiripan kisah dengan kesunyian Minangkabau, terutama dalam konteks perang saudara yang melatari keduanya. Kita tahu bahwa pemberontakan Kolonel Aureliano Buendia merupakan bagian dari konflik antara Partai Liberal dan Partai Konservatif di Kolombia. Partai Liberal menghendaki pembentukan pemerintahan federal, sementara Partai Konservatif kukuh dengan model pemerintahan yang terpusat. Dalam kecamuk perang, Kolonel Aureliano Buendia berdiri di pihak Partai Liberal, dan mereka gagal. Malah, di kemudian hari Partai Konservatif semakin memuakkan karena memperpanjang masa jabatan presiden menjadi seratus tahun. Ironisnya lagi hal tersebut akhirnya didukung pula oleh Partai Liberal. Sementara itu di Macondo “pejabat-pejabat setempat diganti dengan orang-orang asing yang bertindak diktator”.[56]
Kondisi semacam itu juga terjadi pada masa PRRI di Sumatera Barat. Salah satu motif pemberontakan PRRI pimpinan Kolonel Ahmad Husein[57] adalah kehendak untuk mewujudkan otonomi daerah secara luas supaya tidak terjadi ketimpangan pembangunan antara Pusat/Jawa dan Daerah/luar Jawa. Selain itu, sejak awal-awal dekade ‘50-an orang-orang di Daerah juga merasa bahwa pemerintah Pusat terlalu dominan dalam memonopoli pemerintah Daerah. Bahkan, pemerintah Pusat sering kali menunjuk kepala daerah yang tidak berasal dari tempat ia menjabat. Hal ini misalnya tampak pada pernyataan tokoh Sumatera Barat, Mohammad Sjafei, di hadapan DPR pada 1952: “Daerah luar Jawa mempunyai kesan bahwa dalam menempatkan orang pada posisi yang penting selalu diberikan untuk saudara-saudara kami dari Jawa.”[58]
Kenyataan demikian, diperparah oleh pemberlakuan Demokrasi Terpimpin sejak 1959, mendorong tokoh-tokoh PRRI untuk memperjuangkan terjadinya otonomi daerah secara luas melalui pembentukan negara federal di Indonesia. Sebagai gerakan yang mengaku revolusioner, PRRI secara sepihak mendeklarasikan pembentukan Pemerintah Federal di Bonjol pada 8 Februari 1960. Dengan begitu, berdirilah Republik Federal Indonesia, atau Republik Persatuan Indonesia (RPI) dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai presiden.[59] Namun, sialnya mereka terpaksa menyerah pada 1961, dan sejak itu cengkeraman pemerintah Pusat malah semakin kuat di Sumatera Barat. Pasca PRRI, hampir semua pos penting di kantor Gubernur, militer dan kepolisian Sumatera Barat diduduki oleh orang-orang Jawa.[60]
Puncaknya, pada 1963 MPRS sekonyong-konyong menobatkan Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia seumur hidup. Saat itu Ketua MPRS ialah Chaerul Saleh, tokoh Minang yang sangat dekat dengan Bung Karno. Saleh sendiri ikut menentang PRRI sebelumnya.
Kemiripan-kemiripan antara pemberontakan Kolonel Aureliano Buendia dan Kolonel Ahmad Husein tentu bukan poin utama di sini. Perbandingan terhadap keduanya dilakukan hanya untuk membantu kita membayangkan secara lebih tegas gambaran tentang kesunyian yang dialami oleh masing-masing orang kalah tersebut, di samping juga menunjukkan bahwa pengalaman bangsa-bangsa di Dunia Ketiga pada masa Perang Dingin dalam sejumlah segi relatif mirip.
Semakin malang bagi masyarakat Minangkabau, kesunyian mereka akibat trauma PRRI menjadi kian mendalam pada 1965 sewaktu Indonesia memutuskan keluar dari PBB. Seantero dunia yang terus tegang oleh berbagai pergolakan telah diliputi kesunyian besar, dan kini Indonesia memilih menyendiri pula dari pergaulan internasional, membuatnya masuk ke kesunyiannya yang lebih dalam; bertambah dalam oleh rangkaian perang saudara di berbagai penjuru Indonesia yang seakan tiada habis-habis. Pada masa-masa begitulah masyarakat Minangkabau berada dalam kesunyian yang lebih dalam lagi sebagai orang-orang kalah terhadap Pusat.
Pada masa-masa sekitar itu pulalah, pada 1968, A.A. Navis menulis novel Saraswati Si Gadis Dalam Sunyi di Bukittinggi, ibu kota PRRI beberapa tahun sebelumnya. Saraswati yang tuli-bisu, yang kehilangan keluarga tercinta, yang ditimpa kecamuk perang saudara‒Saraswati yang ditelan berlapis-lapis kesunyian.
Orang-orang Minang yang dulu ikut giat memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia, serta pembentukan negara Republik Indonesia, tiba-tiba dalam waktu singkat sudah terlempar ke pojok arena perpolitikan nasional secara tragis. Ditelan sunyi. Bahkan, sebagai pemberontak pula. Betapa ironis.
Hasrat Dekolonisasi
Pada abad kedua puluh di sejumlah belahan Dunia Ketiga sastrawan-sastrawan yang seangkatan dengan Navis banyak menyibukkan diri dengan proyek-proyek dekolonisasi. Di Indonesia, Pramoedya Ananta Toer yang setahun lebih muda darinya melakukan hal tersebut dengan menulis novel-novel historis, seperti Arok Dedes, Arus Balik, dan Tetralogi Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca. Melalui karya-karya besarnya itu Pramoedya “menggugat narasi sejarah yang dipuja-puja secara dominan dan menawarkan pemahaman alternatif tentang sejarah dan geografi Indonesia, serta tentang bangsa Indonesia sebagai sebuah proyek politik.”[61]
Di Amerika Latin proyek dekolonisasi terjadi melalui heboh realisme magis yang lazim dikenal sebagai el boom. Dengan merembesnya elemen-elemen magis dari khazanah budaya lokal ke dalam teks sastra, karya-karya realisme magis menjadi semacam karnaval bagi narasi-narasi kecil yang sebelumnya dibungkam, atau ditindas oleh narasi-narasi besar buatan kolonial Barat. Narasi-narasi demikian kemudian juga menciptakan narasi alternatif bagi sejarah Amerika Latin menurut sudut pandang pribumi, seperti misalnya novel Seratus Tahun Kesunyian karya Gabriel Garcia Marquez.
Di Afrika proyek dekolonisasi utamanya dilakukan secara mencolok oleh dua dedengkotnya yang heroik, Chinua Achebe dan Ngungi wa Thiong’o. Melalui karya-karyanya, seperti novel Things Fall Apart,[62] Achebe menonjolkan suara-suara dari perspektif lokal yang sering terabaikan dalam narasi kolonial. Ia mengeksplorasi kekayaan dan kompleksitas budaya Afrika, memperkuat identitas pribumi, dan menantang narasi kolonial yang sering melekatkan stereotip negatif terhadap orang-orang Afrika. Ngungi juga begitu. Selain menjunjung tinggi identitas kepribumian, ia sering menghadirkan karya-karya yang mengkritik efek kolonialisme terhadap orang-orang Afrika. Bahkan, saking radikalnya proyek dekolonisasi yang diperjuangkannya, Ngungi tidak hanya menjungkir-balikkan narasi sejarah kolonial yang dominan, tapi juga berhenti menulis dalam bahasa Inggris yang jelas-jelas warisan kolonial. Sebagai seorang Gikuyu, Ngungi lantas menggunakan bahasa ibunya dalam karya-karya sastra yang ia tulis kemudian.[63]
Semua proyek dekolonisasi itu pada dasarnya punya tujuan besar yang sama, yakni mengangkat/mengembalikan harga diri bangsa-bangsa bekas jajahan supaya setara dengan bangsa-bangsa bekas penjajah. Untuk menjadi setara, setiap bangsa bekas jajahan mesti punya narasi mereka sendiri secara mandiri, bukan narasi kolonial yang dicekoki oleh bangsa lain. Narasi tersebut mesti benar-benar berangkat dari budaya lokal dan dihadirkan melalui perspektif mereka sendiri, sehingga bangsa-bangsa lain, terutama bangsa-bangsa kolonial, bisa punya pengertian yang lebih baik terhadap mereka sebagai sesama bangsa yang setara di muka bumi. Jika sudah begitu, maka pergaulan yang layak antarbangsa pun bisa diharapkan benar-benar terwujud, dan praktik-praktik penindasan seperti pada masa kolonialisme dulu tidak terulangi lagi di masa depan.
Di titik inilah kita bisa mengatakan bahwa Navis di sepanjang karir kepenulisannya sebenarnya juga punya hasrat yang serupa, meski secara konteks ia agak berbeda. Proyek-proyek dekolonisasi yang dilakukan Pramoedya, Marquez, Achebe, dan Ngungi sejatinya dilakukan terhadap warisan kolonialisme Barat yang secara fisik telah angkat kaki dari tanah air mereka. Navis tidak demikian. Ia berhadapan dengan bangsanya sendiri, dalam relasi Pusat dan Daerah yang sejatinya juga masih bercorak kolonial. Ia merasa bahwa dalam relasi hirarkis tersebut Daerah, termasuk Minangkabau, ternyata diperlakukan tidak layak oleh Pusat. Salah satu sebabnya: Pusat tidak (mau) mengerti tentang pandangan hidup masyarakat di Daerah, terlebih masyarakat tersebut luar biasa pula kebinekaannya. Karena itu, Navis pun sangat giat menulis tentang Minangkabau. Ia melahirkan sejumlah karya sastra yang sangat kental warna lokalnya. Tentu ini bisa dipandang sama dengan upaya penguatan identitas lokal sekaligus perayaan khazanah budaya lokal seperti yang dilakukan Marquez, Achebe, dan Ngungi di negeri mereka masing-masing.
Jika di Amerika Latin menjamur kisah-kisah realisme magis seperti tampak pada karya-karya Marquez, pada karya-karya Navis ada juga kisah-kisah berunsur gaib dan tak tereduksi (irreducible element), seperti cerpen “Robohnya Surau Kami”, “Man Rabuka”,[64] “Dokter dan Maut”,[65] “Sebelum Pertemuan Dimulai”,[66] dan “Sebuah Wawancara”.[67] Kisah-kisah semacam ini berhubungan erat dengan cara pandang masyarakat Minangkabau yang banyak dipengaruhi oleh imajinasi keislaman, khususnya terkait keyakinan pada hal-hal gaib. Selain itu, terkait pandangan magis yang berakar pada budaya lokal Minangkabau, ada pula cerpen “Malin Kundang, Ibunya Durhaka” dan “Pendekar dan Ayam Jago”. Entah semuanya itu bisa disebut realisme magis atau tidak, setidaknya corak demikian cukup khas sebagai bagian dari gaya kepenulisan Navis di ranah sastra.
Soal bahasa, Navis pun jelas punya keunikan tersendiri. Meski menulis dalam bahasa Indonesia, ia sejatinya mengindonesiakan struktur bahasa Minangkabau dalam tulisan-tulisannya, sembari tak jarang menyelundupkan istilah-istilah dari kosakata bahasa Minang di sana-sini.
Bagi pembaca yang tumbuh besar dalam kultur Minangkabau tentu gejala-gejala demikian mudah sekali diidentifikasi. Misalnya, komentar Leon Agusta, “A.A. Navis dalam menciptakan karya sastranya menggunakan ‘Bahasa Indonesia orang Minangkabau’. Kira-kira sama dengan pemenang hadiah Nobel sastra tahun 1993, Toni Marrison [sic!], yang secara sedemikian rupa berusaha mengangkat kembali bahasa Inggris orang kulit hitam akhir abad yang lalu, bahkan dengan memasukkan dialek-dialek yang buat orang Amerika masa kini, terasa unik”.[68]
Terkait penulisan narasi alternatif tentang sejarah kolonial, Navis memang tidak begitu giat melakukannya. Meski begitu, cerpennya “Rekayasa Sejarah Si Patai” boleh dibilang punya tendensi pula untuk mengejek sejarah kolonial yang sangat politis dan manipulatif di masyarakat. Itu kalau kita bicara tentang Navis dalam relasi bangsa Indonesia dengan Belanda sebagaimana dalam konteks Pramoedya. Dalam konteks yang lebih spesifik, yakni relasi antara Daerah dan Pusat, Navis jelas berusaha menghadirkan narasi alternatif tentang sejarah PRRI yang semasa Orde Lama dan Orde Baru kerap diidentikkan sebagai pemberontakan atau pengkhianatan terhadap Republik Indonesia.[69] Misalnya, pada novel Saraswati Navis tidak pernah sekalipun menyebut PRRI sebagai aksi pemberontakan terhadap Pusat. Malah, pada beberapa bagian cerita, Navis bertanya-tanya dengan lugu tapi kritis: kenapa “tentara yang ramah” (PRRI) malah diperangi oleh “tentara yang kejam” (APRI) dari bangsa sendiri?[70]
Lalu, jangan lupa pula bahwa Navis pernah menulis tiga jilid kumpulan cerita rakyat dari Sumatera Barat.[71] Meski dalam format tipis-tipis saja, karya-karya tersebut boleh dibilang bagian dari upaya Navis menulis ulang narasi kehidupan masyarakat Minang zaman dulu. Ia merupakan pelengkap tulisan-tulisan nonfiksi Navis tentang sejarah Minangkabau seperti terdapat dalam buku Alam Terkembang Jadi Guru, buku Pemikiran Minangkabau, serta sejumlah artikel dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan. Cerita-cerita rakyat tersebut, meski mungkin hanya sedikit saja kadar historisitasnya, tetap saja berkontribusi memberi gambaran/imajinasi tentang masa lalu masyarakat Minangkabau, sekaligus ikut memperkuat identitas keminangkabauan seperti yang juga Navis lakukan melalui cerpen-cerpen dan novel-novelnya yang telah beredar sebelumnya.
Pada akhirnya, memang hampir semua karya-karya Navis lahir dari hasrat untuk memperkuat identitas keminangkabauan itu. Selain membangun kembali kepercayaan diri orang-orang Minang yang sempat minder akibat trauma PRRI, karya-karya Navis juga bertujuan menciptakan suasana saling pengertian antarsuku bangsa yang sangat bineka di persada tanah air, terlebih-lebih antara Pusat dan Daerah.
Seperti Saraswati ingin masyarakat umum memahami kehendak-kehendak yang bergejolak dalam dirinya, seperti itu pula Navis ingin pemerintah Pusat memahami kehendak-kehendak yang hidup dalam diri masyarakat di Daerah, dalam hal ini Minangkabau. Barangkali dengan cara begitulah kesalahpahaman-kesalahpahaman yang fatal dapat dihindari atau diminimalisir, hubungan yang egaliter dapat dijalin secara sejuk, dan luka-luka trauma yang masih tersisa dapat perlahan-lahan dipulihkan di masa depan.[72]
[1] Sama halnya dengan marga bagi orang Batak.
[2] Dihitung sejak serangan pertama APRI pada 17 April 1958 s.d. menyerahnya Natsir sebagai “sisa terakhir” pada 25 September 1961. Hitungannya bisa lain jika dimulai sejak proklamasi PRRI pada 15 Februari 1958 s.d. menyerahnya Ahmad Husein selaku pemimpin pucuk pada 21 Juni 1961.
[3] Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 360.
[4] A.A. Navis, Yang Berjalan Sepanjang Jalan (Jakarta: Grasindo, 1999), hlm. 439.
[5] A.A. Navis, Saraswati Si Gadis Dalam Sunji (Jakarta: Pradnja Paramita, 1970), hlm. 3.
[6] A.A. Navis, Yang Berjalan Sepanjang Jalan, hlm. 289.
[7] Charles E. Bressler, Literary Criticism: An Introduction to Theory and Practice (New Jersey: Prentice Hall, 199), hlm. 94.
[8] Melalui novelnya, Wisran Hadi menyimbolkan ranah Minang sebagai negeri perempuan. Lihat Wisran Hadi, Negeri Perempuan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001)
[9] A.A. Navis, Saraswati Si Gadis Dalam Sunji, hlm. 5.
[10] A.A. Navis, Saraswati Si Gadis Dalam Sunji, hlm. 26.
[11] Menurut Tempo, tiga dari empat pendiri Republik Indonesia adalah tokoh-tokoh Minang, yaitu Tan Malaka, Hatta, dan Sjahrir. Ironisnya, pasca kemerdekaan Republik Indonesia ketiga tokoh tersebut punya pengalaman buruk dengan negara yang ikut didirikannya itu. Tan Malaka ditembak mati oleh pasukan militer Indonesia pada 1949. Hatta pecah kongsi dari Sukarno, sehingga ia mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden pada 1956. Sjahrir wafat pada 1966 dalam status tahanan politik Sukarno. Jika definisi tentang pendiri bangsa diperluas, maka kita bisa juga menyebut beberapa tokoh Minang lainnya yang juga punya pengalaman buruk dengan kekuasaan Sukarno. Misalnya, Natsir, Syafruddin Prawiranegara, dan Assaat. Ketiganya dipenjara Sukarno karena terlibat dalam PRRI di Sumatera Barat. Bahkan hingga kini peran Syafruddin sebagai Presiden PDRI, dan Assaat sebagai Presiden RI pada zaman RIS, juga seperti diabaikan begitu saja dalam sejarah nasional.
[12] A.A. Navis, Saraswati Si Gadis Dalam Sunji, hlm. 79.
[13] A.A. Navis, Saraswati Si Gadis Dalam Sunji, hlm. 5.
[14] A.A. Navis, Saraswati Si Gadis Dalam Sunji, hlm. 29.
[15] A.A. Navis, Saraswati Si Gadis Dalam Sunji, hlm. 29. Dalam budaya Minangkabau, ‘pandam pekuburan’ adalah suatu istilah yang maknanya sama dengan kompleks pemakaman.
[16] Abrar Yusra, Otobiografi A.A. Navis: Satiris dan Suara Kritis dari Daerah (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm. 391.
[17] A.A. Navis, Saraswati Si Gadis Dalam Sunji, hlm. 12-13.
[18] A.A. Navis, Pemikiran Minangkabau: Catatan Budaya A.A. Navis (Bandung: Angkasa, 2017), hlm. 19.
[19] Youtube. https://www.youtube.com/watch?v=e32tp97cEVc
[20] Abrar Yusra, Otobiografi A.A. Navis, hlm. 91.
[21] Abrar Yusra, Otobiografi A.A. Navis, hlm. 391.
[22] Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi, hlm. 53.
[23] Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi, hlm. 58.
[24] Abrar Yusra, Otobiografi A.A. Navis, hlm. 15.
[25] Ivan Adilla, “A.A. Navis dalam Arena Kesusasteraan Indonesia” (Disertasi, Universitas Gadjah Mada, 2015), hlm. 87.
[26] A.A. Navis, Saraswati Si Gadis Dalam Sunji, hlm. 56.
[27] Youtube. https://www.youtube.com/watch?v=e32tp97cEVc.
[28] Abrar Yusra, Otobiografi A.A. Navis, hlm. 187.
[29] Terbit secara anumerta melalui bantuan Mestika Zed.
[30] Dalam sejarah prosa Indonesia modern, wacana keislaman dalam karya-karya A.A. Navis jelas berbeda dari wacana keislaman yang mendominasi karya-karya prosa selama Orde Baru, berbeda pula dari wacana keislaman yang mendominasi karya-karya prosa pasca reformasi. Dengan menggunakan perspektif Foucault, perbedaan wacana keislaman tersebut dapat dikaitkan dengan operasi kekuasaan pada masing-masing zaman. Orde Lama dengan dominasi Masyumi menguatkan wacana Islam reformis; memunculkan A.A. Navis. Orde Baru dengan kontrol kuat terhadap politik Islam menyuburkan wacana Islam sufistik/kebatinan (baca: Islam nonpolitis); memunculkan, misalnya, Danarto. Reformasi dengan kemunculan Partai Keadilan dan Sejahtera (PKS) membanjirkan wacana Islam tarbiyah; memunculkan, misalnya, Habiburrahman El Shirazy.
[31] Lihat Abrar Yusra, Otobiografi A.A. Navis, hlm. 12. Di bagian tersebut Navis juga mengklaim bahwa “Padangpanjang adalah pelopor pembaruan sistem pesantren di Indonesia.”
[32] Meski komponen yang membangun Masyumi sangat beragam, tidaklah keliru mengatakan bahwa semangat Islam reformis merupakan warna yang dominan dalam partai ini. Salah satu komponen penting Masyumi yang merepresentasikan semangat tersebut adalah organisasi Muhammadiyah. Meski lahir di Yogyakarta pada 1912, Muhammadiyah tumbuh gila-gilaan di ranah Minang tidak lama berselang. Fenomena tersebut tentu bukannya tanpa alasan. Seperti dicatat oleh Navis juga, pada awal abad kedua puluh, “tiga serangkai ulama pembaharu” asal ranah Minang pulang dari Makkah membawa ajaran Muhammad Abduh, reformis Islam asal Mesir. Salah seorang dari mereka adalah Karim Amrullah, ayahanda Buya Hamka, yang kemudian punya peran krusial membesarkan Muhammadiyah di ranah Minang. Tentang Tiga Serangkai Ulama Pembaharu, lihat A.A. Navis, Pemikiran Minangkabau, hlm. 54.
[33] Lihat R.Z. Leirissa, PRRI Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis (Pustaka Utama Grafiti, 1991)
[34] Terkait penafsiran ini lihat Ivan Adilla, A.A. Navis: Karya dan Dunianya, hlm. 142.
[35] Jika simbol ‘serigala’ pemangsa dalam cerpen ini dikaitkan dengan dua serangkai artikel Natsir tanggal 1 dan 2 Maret 1957 berjudul “Serigala Berbulu Kibas di Antara Ternak di Satu Kandang” dan “Politik Menyodorkan Tangan dari Kaum Anti Tuhan”, maka serigala itu jelas merujuk pada orang-orang komunis (PKI) yang kelak, beberapa tahun berselang, benar-benar menjadi sumber kejatuhan bagi Bung Karno.
[36] Mochtar Lubis (ed.), Hati Nurani Melawan Kezaliman: Surat-Surat Bung Hatta kepada Presiden Soekarno 1957-1965 (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1986), hlm. 71.
[37] Abrar Yusra, Otobiografi A.A. Navis, hlm. 91-92.
[38] Syamdani, PRRI, Pemberontakan atau Bukan? (Yogyakarta: Media Pressindo, 2008), hlm. 40-41.
[39] Jacques Bertrand, Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), hlm. 60.
[40] A.A. Navis, Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis (Jakarta: Kompas, 2024), hal. 470.
[41] Kehadiran berulang tokoh yang sama dalam banyak kisah dari masa ke masa juga terjadi pada kumpulan puisi naratif Heru Joni Putra, Badrul Mustafa, Badrul Mustafa, Badrul Mustafa. Kisah-kisah Badrul Mustafa juga berhubungan dengan sejarah panjang masyarakat Minangkabau, sementara Heru Joni Putra adalah sastrawan muda Minang yang sangat mengagumi A.A. Navis.
[42] Sebutan ‘Uda’ merupakan panggilan kepada kakak laki-laki dalam masyarakat Minangkabau.
[43] A.A. Navis, Pemikiran Minangkabau, hlm. 73.
[44] A.A. Navis, Pemikiran Minangkabau, hlm. 75.
[45] A.A. Navis, Pemikiran Minangkabau, hlm. 74.
[46] Setelah Kolonel Ahmad Yani berhasil memimpin penumpasan PRRI dengan mudah, ia berkata kepada seorang wartawan Inggris, “Orang-orang Minang bukan soldiers, this is a nation of shopkeepers.”
[47] Youtube. https://www.youtube.com/watch?v=e32tp97cEVc
[48] Meski kelahiran sastra Indonesia modern biasanya merujuk pada Angkatan Balai Pustaka dengan novel-novel seperti Azab dan Sengsara (1920) atau Sitti Nurbaya (1922) sebagai monumen awal, secara khusus kelahiran puisi Indonesia modern biasanya dianggap baru terjadi lewat penerbitan puisi-puisi Amir Hamzah di majalah Pujangga Baru (1933‒1942).
[49] Amir Hamzah, dalam H.B. Jassin, Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1962), hlm. 46.
[50] Sheldon M. Stern, The Week the World Stood Still: Inside the Secret Cuban Missile Crisis (Palo Alto, CA: Stanford University Press, 2005), hlm. 5.
[51] M. Dobbs, One Minute to Midnight: Kennedy, Khrushchev, and Castro on the Brink of Nuclear War (New York: Vintage, 2008), hlm. xiii.
[52] https://news.stanford.edu/stories/2019/10/violence-unfolded-chinas-cultural-revolution
[53] Buku ini sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Karnak Cafe, diterbitkan Pustaka Alvabet pada 2008.
[54] Gabriel Garcia Marquez, Seratus Tahun Kesunyian (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), hlm. 319.
[55] Gabriel Garcia Marquez, Seratus Tahun Kesunyian, hlm. 508.
[56] Gabriel Garcia Marquez, Seratus Tahun Kesunyian, hlm. 317.
[57] Sewaktu mengultimatum pemerintah Pusat pada 10 Februari 1958 Ahmad Husein berpangkat Letnan Kolonel. Besoknya KSAD Jenderal A.H. Nasution memecat Ahmad Husein dari militer. Pada 20 Februari 1958 Ahmad Husein mencopot tanda pangkat dua bintang (Letnan Kolonel) dari bahunya selagi berpidato di hadapan puluhan ribu rakyat pendukung PRRI di halaman Gubernuran Padang. Usai berpidato, Ahmad Husein didaulat oleh rakyat (diwakili Bagindo Fahmi) sebagai panglima dengan pangkat Kolonel. Lihat Mestika Zed dan Hasril Chaniago, Ahmad Husein, Perlawanan Seorang Pejuang (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2014), hlm. 280.
[58] Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi, hlm. 257.
[59] Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi, hlm. 350.
[60] Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi, hlm. 360.
[61] Hilmar Farid, Rewriting the Nation: Pramoedya Ananta Toer and the Politics of Decolonization, (Disertasi, National University of Singapore, 2014), hlm. 4.
[62] Buku ini sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Segalanya Berantakan, diterbitkan Pustaka Sinar Harapan pada 1986.
[63] Terkait bagaimana bahasa kolonial menjadi pranata penting kolonialisme Barat, Ngungi berkata, “In my view language was the most important vehicle through which that power fascinated and held the soul prisoner. The bullet was the means of the physical subjugation. Language was the means of the spiritual subjugation.” Lihat Ngungi wa Thiong’o, Decolonising the Mind: The Politics of Language in African Literature (Harare: Zimbabwe Publishing House, 1994), hlm. 9.
[64] Pada cerpen “Robohnya Surau Kami” dan “Man Rabuka” Navis menggambarkan suasana alam akhirat dan menghadirkan dialog-dialog yang melibatkan tuhan dan malaikat.
[65] Pada cerpen “Dokter dan Maut” Navis menghadirkan sosok misterius yang mengaku sebagai Maut, atau bisa pula dibayangkan sebagai malaikat maut.
[66] Pada cerpen “Sebelum Pertemuan Dimulai” Navis menggambarkan suasana Padang Mahsyar tempat roh orang-orang terkenal di dunia hendak mengadakan suatu rapat besar.
[67] Pada cerpen “Sebuah Wawancara” Navis menghadirkan imajinasi tentang para nabi sebagai tokoh-tokoh yang diwawancara.
[68] Abrar Yusra, Otobiografi A.A. Navis, hlm. 316.
[69] Perlu dicatat di sini bahwa sebelum menjadi Presiden RI, Soeharto merupakan Pangdam Divisi Diponegoro yang ikut menumpas orang-orang PRRI pada masa pergolakan. Bahkan, pasukan Divisi Diponegoro dikenang masyarakat Minang sebagai tentara-tentara yang paling sadis ketimbang pasukan Divisi Siliwangi dan Divisi Brawijaya yang juga ikut diturunkan pemerintah Pusat ke Sumatera Barat.
[70] A.A. Navis, Saraswati Si Gadis Dalam Sunji, hlm. 77.
[71] A.A. Navis, Cerita Rakyat dari Sumatera Barat (Jakarta: Grasindo), volume 1 tahun 1994; volume 2 tahun 2000; volume 3 tahun 2001
[72] Ketika menyampaikan Kuliah Nobel pada 1982, Garcia Marquez membahas tentang relasi tidak sehat antara bangsa Amerika Latin dan bangsa Barat (Amerika Utara + Eropa) yang menyebabkan bangsa Amerika Latin mengalami kesunyian mendalam selama seratus tahun. Ia berkata, “Wajar jika mereka bersikeras mengukur kita dengan tolok ukur yang mereka gunakan untuk hal-hal tersebut, dan lupa bahwa kerusakan dalam hidup tidaklah sama bagi semua orang, dan bahwa pencarian identitas kita sendiri sama sulit dan berdarahnya bagi kita seperti juga bagi mereka. Interpretasi atas realitas kita melalui pola-pola yang bukan milik kita hanya membuat kita semakin tidak dikenal, semakin tidak bebas, semakin sunyi. […] Saya percaya bahwa orang-orang Eropa yang berpandangan jernih dan berjuang demi tanah air yang lebih adil dan manusiawi dapat membantu kita dengan lebih baik jika mereka mempertimbangkan kembali cara pandang mereka terhadap kita.”

Riki Fernando
Riki Fernando merupakan lulusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Padang, dan sekarang sedang melanjutkan studi S2 di Magister Sastra Universitas Gadjah Mada. Sejak 2019 ia bekerja di Balai Bahasa Provinsi Aceh sebagai Pengkaji Bahasa dan Sastra. Kajian-kajian sastranya diterbitkan melalui surat kabar, media daring, dan jurnal ilmiah. Bersama sejumlah penulis lain, ia menulis kajian sastra dalam buku Sastra Poskolonial Indonesia: Resistensi, Nostalgia, Melankolia, dan Trauma (Gambang Buku Budaya, 2024).