Mengupas Lapisan Satire Sang Pencemooh
dalam Risalah Kemarau
Mukadimah
Bayangkan dua pemuda dalam dunia yang sama sekali berbeda: yang satu teguh dalam keyakinannya kepada Tuhan di tengah masyarakat yang pasrah, seolah moralitas adalah benteng terakhirnya; sementara yang lain, meskipun yakin bahwa segala yang terjadi adalah yang terbaik, justru terjerembap dalam ironi di setiap langkahnya. Dua kisah pemuda ini menunjukkan pada kita bahwa kisah satire tidak sekadar menyingkap keburukan, tetapi juga mengajak kita menelusuri lapisan makna yang tersembunyi di balik narasi yang disajikan. Kisah satire menampilkan keburukan yang sering kita abaikan, sambil memaksa kita mempertanyakan kembali apa yang kita anggap sebagai kebenaran: Apakah yang terlihat benar-benar sebuah kebaikan, atau justru merupakan keburukan yang terselubung dalam kabut moralitas?
Dalam beberapa kisah, pengarang mungkin mengkritik subjek yang ia kisahkan, tetapi belum tentu kisah itu menjadi satire dan pengarangnya menjadi satiris. Menurut Ronald Paulson ([1967] 2019), apabila struktur pengisahan gagal dibangun secara retoris demi keutuhan semesta cerita, satire hanya akan berakhir menjadi agenda moralis. Satire, karenanya, bekerja dengan menghadirkan apa yang pengarangnya anggap buruk berdasarkan pendirian moral tertentu, sembari membuat pembacanya menyadari sendiri moral baik yang pengarangnya tawarkan melalui struktur pengisahan yang ketat (Paulson 3-4).
Dalam khazanah sastra Indonesia modern awal,[1] sejumlah sastrawan menonjol dengan karya-karya yang menunjukkan tendensi satire dalam derajat yang beragam. A. Idrus dalam Surabaya dan Basuki Gunawan dalam Winarta, misalnya, meramu satire dalam kisah tentang dampak kebrutalan perang selama masa Revolusi Indonesia (1945-1949). Sementara itu, Pramoedya Ananta Toer dalam Korupsi dan Mochtar Lubis dalam Senja di Jakarta mengisahkan kemunafikan dan korupsi dalam pemerintahan di awal kemerdekaan. Begitu pula dalam “Pak Iman Intelek Istimewa”, yang menurut A. Teeuw merupakan “salah satu dari sedikit satire yang benar-benar sukses dalam sastra Indonesia modern”[2], Trisno Soemardjo menyajikan satire mengenai kecongkakan intelektual menara gading.
Ali Akbar Navis (1924-2003) tentu merupakan tokoh penting dalam penggunaan satire dalam sastra Indonesia. A. A. Navis, seperti para sastrawan di atas, mengkritik berbagai isu yang khalayak anggap mapan: patriotisme, pemerintahan, intelektualitas, dan keberagamaan. Dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” dan “Man Rabbuka”, misalnya, Navis mengkritik pandangan kolot dalam kehidupan beragama. Sementara itu, dalam “Kisah Seorang Amir” dan “Politik Warung Kopi”, Navis mengkritik perilaku manusia yang sering kali sok saleh dan sok tahu. Kecenderungan satire Navis ini membuat masyarakat sastra Indonesia memberinya julukan Sang Pencemooh. Bahkan, kecenderungan satire Navis membuat sebagian orang menuduhnya Komunis karena dianggap telah mengejek Islam (Fanany 757–758).
Satire juga dapat kita rasakan dalam Kemarau ([1957] 1992), karya A. A. Navis. Kemarau mengisahkan seorang petani bernama Sutan Duano yang gigih berjuang menghadapi sejumlah tantangan hidup di tengah masyarakat yang buruk moral. Ia berjuang mengajak masyarakat untuk bekerja dengan giat, mengajarkan ilmu agama yang menurutnya benar, dan melawan konflik batinnya untuk menebus kesalahan masa lalu. Navis menulis Kemarau dengan menciptakan narator yang menampilkan penekanan antara moral baik dan buruk. Dalam Kemarau, narator menghadirkan tokoh utamanya sebagai perwakilan moral baik, sementara masyarakat sebagai perwakilan moral buruk, membuat tokoh utama menjadi anomali di tengah masyarakat. Dengan begitu, satire dalam Kemarau berbeda dari satire dalam karya Navis lainnya yang terang mengkritik pandangan kolot kehidupan beragama; menghadirkan satu tokoh yang selama ini khalayak anggap mewakili moral baik untuk ia balikkan menjadi moral buruk. Kemarau, dalam hemat saya, bertendensi untuk menyampaikan teguran dan anjuran moral.
Tulisan ini akan coba mengurai bagaimana A.A. Navis membangun struktur naratif Kemarau dengan memeriksa cara kerja satire di dalamnya. Saya akan memeriksa cara kerja satire dalam Kemarau dengan menelisik informasi tentang moral baik dan buruk yang narator sajikan. Pemeriksaan ini saya dasarkan pada salah satu pendekatan naratologi, sebab hanya berfokus pada cara kerja satire dalam satu novel tanpa memeriksa kaitannya dengan konteks dunia tempat Kemarau ditulis.[3] Argumen dan penjelasan yang saya ajukan dalam tulisan ini sepenuhnya saya dasarkan pada pendekatan dunia (world approach) dalam naratologi yang Marie-Laure Ryan bangun berdasarkan teori dunia-mungkin (possible world theory) dalam filsafat. Sebagaimana Ryan, saya akan memandang kebenaran Kemarau sebagai kebenaran fiksional, yakni suatu kebenaran dalam realitas tersendiri di dalam semesta fiksi, sekalipun memiliki referensi dari dunia yang kita huni (1-18, 46–49). Konsekuensinya, saya memandang narator Kemarau bukanlah pengarangnya itu sendiri.[4] Lebih jauh lagi, saya akan memeriksa dampak struktur naratif yang Navis bangun terhadap representasi alam dan perempuan. Saya akan menelisik bagaimana dan dalam kondisi seperti apa alam dan perempuan hadir dalam Kemarau. Telisikan ini akan memeriksa informasi tentang alam dan perempuan dalam semesta Kemarau. Saya akan memulai tulisan ini dengan memeriksa bagaimana satire bekerja dalam struktur naratif Kemarau.
Hamparan Dunia Kemarau
Bagian pertama ini akan membahas jenis narator apa yang Navis ciptakan dalam Kemarau, bagaimana narator Kemarau menyebarkan informasi baik dan buruk dalam pengisahannya, serta bagaimana plot Kemarau bekerja menunjang semesta cerita secara keseluruhan. Mari kita mulai dengan membahas cara narator Kemarau menghadirkan informasi baik dan buruk.
/a/ Yang Hak dan yang Batil
Dalam Narrative Discourse: An Essay in Method (1980: 189-194) dan Narrative Discourse Revisited (1988: 72-78), Gérard Genette menjelaskan fokalisasi sebagai pengorganisasian informasi. Ia membagi pengorganisasian informasi menjadi tiga, yakni zero, internal, dan eksternal: narator mengetahui dan mengatakan lebih banyak daripada tokoh(-tokoh) dalam fokalisasi zero; narator hanya mengetahui dan mengatakan apa yang diketahui dan dikatakan oleh tokoh(-tokoh) dalam fokalisasi internal; tokoh(-tokoh) mengetahui dan mengatakan lebih banyak daripada narator dalam fokalisasi eksternal. Singkatnya, fokalisasi berkaitan dengan bagaimana informasi dipilih dan dibatasi untuk disajikan dalam pengisahan. Konsep fokalisasi ini tidak hanya penting dalam karya Genette, tetapi juga diadopsi oleh Marie-Laure Ryan, yang menggunakannya sebagai bagian dari pendekatan dunia (world approach). Saya pun akan menggunakan konsep fokalisasi Genette ini sebagaimana saya menerapkan pendekatan Ryan.
Narator Kemarau menghadirkan informasi tentang moral baik dan buruk dengan menyebarnya dalam tiga cara. Cara pertama narator hadirkan dalam deskripsi naratorialnya, cara kedua narator lakukan dengan mengurai pemikiran/batin Sutan Duano (selanjutnya disebut Duano), cara terakhir narator lakukan dengan menghadirkan percakapan antartokoh.
Pertama, moral baik dan buruk dalam deskripsi naratorial. Cara ini menekankan informasi tentang tabiat buruk masyarakat, disusul informasi tentang tabiat baik Duano. Kita dapat melihat kecenderungan ini dalam deskripsi naratorial tentang situasi dan kondisi kampung yang sedang mengalami kekeringan akibat kemarau panjang di BAB 1. Sambil menyelam minum air, narator menjelaskan betapa masyarakat ingin menangani kekeringan secara instan, yakni pertama-tama dengan mendatangi dukun. Ketika dukun tak mampu menurunkan hujan, barulah mereka mulai meminta kepada Tuhan. Karena hujan tak kunjung turun, mereka putus asa lalu usaha berakhir dengan menghabiskan waktu bermain domino. Dukun, Tuhan, dan domino, narator hadirkan sebagai solusi terbaik masyarakat, meski dengan tingkatan berbeda: dukun dan Tuhan solusi bagi kemarau, sementara domino sebagai pelipur lara setelah gagal dengan dua solusi sebelumnya. Dalam situasi seperti inilah Kemarau menghadirkan Duano, untuk menunjukkan kontras antara keduanya. Narator mengalihkan deskripsi naratorialnya dari menjelaskan tabiat buruk masyarakat ke tabiat baik Duano dengan mengatakan: “Hanya seorang petani saja berbuat lain” (Navis 1). Duano menjadi satu-satunya tokoh yang ‘dibuat berpikir’ untuk mengatasi kekeringan dengan mengangkut air dari danau demi menyirami sawahnya, dengan bekerja.
Kontras baik dan buruk dalam deskripsi naratorial juga bisa kita temukan ketika narator menjelaskan kecenderungan masyarakat yang secara instan ingin “menaikkan tingkat martabatnya” (Navis 4-5). Mereka mengikuti sejumlah kursus singkat seperti kursus mengajar, kursus membaca, kursus pengetahuan umum, dan kursus politik, sehingga penggembala sapi, penggembala beruk, petani, dan kusir bendi meninggalkan pekerjaannya, sementara Wali Negeri kampung itu terus mendorong pengadaan ragam kursus lainnya. Celakanya, saat mereka tidak tertarik lagi dengan kursus-kursus, biaya hidup kian naik dan uang kian sukar diperoleh. Di tengah situasi itu, Duano “sudah termasuk jadi orang yang berada”, orang yang “berarti”, dan “disegani” (Navis 5) masyarakat karena ia lebih memilih untuk giat bekerja, mengupayakan sendiri keberhasilannya secara perlahan ketimbang mencari cara instan.
Kedua, moral baik dan buruk dalam pemikiran/batin Duano. Cara ini menekankan informasi tentang kecenderungan tabiat baik Duano[5], disertai informasi tentang tabiat buruk masyarakat. Kita dapat menjumpai bentuk jelasnya ketika Sutan Caniago mendatangi Duano untuk meminta tolong (Navis 7–12). Setelah berbicara panjang lebar tentang dampak buruk perantauan, Duano menasihati Caniago untuk tetap mengirim nafkah kepada keluarganya saat merantau. Dalam suratnya dari perantauan, Caniago menyebutkan ia telah salat dan mengucapkan terima kasih karena Duano membebaskan bunga pinjamannya. Merespons surat Caniago, Duano pun mengatakan “[b]erterimakasihlah pada Tuhan. Karena Dialah yang telah menggerakkan hatiku berbuat demikian” (Navis 12).
Cara kedua ini mencuat kembali, misalnya, ketika Duano mengajak masyarakat kampung untuk menyiram sawah mereka dengan mengangkut air dari danau. Setelah perlahan demi perlahan memperlihatkan mental masyarakat kampung bermasalah melalui percakapan Duano-Wali Negeri, Duano-Lembak Tuah, dan Duano-Rajo Bodi saat Duano mengajak mereka memprakarsai gotong royong (Navis 13-16), narator pun menjustifikasi lebih lanjut dalam batin Duano. Narator mengontraskan niat baik Duano yang “hendak mengubah cara hidup orang di kampung itu” dengan tabiat buruk masyarakat yang “terlalu banyak membuang waktu” karena “mereka menganggap pekerjaannya telah habis” sebagaimana mereka “menjalani kebiasaan yang telah turun temurun.” Singkatnya, kata narator, “[m]ereka tidak bercita-cita mengubah hidupnya ke taraf yang lebih tinggi” (Navis 16).
Namun, Duano pantang menyerah mengajak masyarakat untuk bersama-sama mengatasi kekeringan. Duano kemudian mengajak perempuan-perempuan yang belajar mengaji di suraunya setiap hari Kamis. Akan tetapi, mereka enggan mengikuti saran Duano. Mereka hanya mau menyiram sawah Duano seorang. Alasannya, kata salah satu muridnya, karena mereka menolak, misalnya, “menyiram sawah Datuk Malintang yang pelit”; mereka hanya mau menyiram sawah Duano karena “perempuan di kampung ini suka pada Guru [Duano]”. Menanggapi pernyataan itu, narator kemudian menarasikan batin Duano dengan bilang, “[s]udah selama itu memberi pelajaran agama, hasilnya ternyata nihil. Perempuan di kampung itu hanya jadi pengikutnya, bukan pengikut ajarannya” (Navis 44).
Ketiga, moral baik dan buruk dalam percakapan antartokoh. Cara ini menekankan informasi tentang tabiat buruk masyarakat melalui mulut mereka sendiri, disusul informasi tentang tabiat baik Duano. Bentuk jelasnya ada di BAB 6. Percakapan antartokoh itu terjadi di lepau (Navis 24–25), rumah ronda (Navis 25–27), dan tepian mandi (Navis 27–30). Tokoh yang bercakap di setiap tempat berjumlah lima. Nyaris semuanya adalah tokoh tanpa nama kecuali Marayam (Navis 27) dan Jiah (Navis 29). Polanya selalu sama, narator lakukan dengan menghadirkan percakapan antartokoh yang sebenarnya adalah gosip tentang Duano dan Gudam, kemudian satu tokoh mengubah arah percakapan dengan mengatakan Duano adalah “orang baik”. Contoh lain penggunaan cara ketiga ini mencuat kembali, misalnya, ketika Saniah dan Gudam berkelahi (Navis 96–100). Di situ narator memperlihatkan Saniah memfitnah Duano, mengonfrontasi Gudam, dan menipu orang-orang yang mendapati pertikaian mereka dengan berlagak sebagai korban.
zero,
deskripsi naratorial |
internal, batin/pemikiran tokoh utama | eksternal, percakapan antartokoh | |
penekanan | buruk | baik | buruk |
pengontrasan | baik | buruk | baik |
Tabel 1 Informasi baik dan buruk dalam fokalisasi Kemarau
Demikian, kita dapat menemukan ketiga cara di atas topang-menopang menghadirkan moral baik dan buruk dalam Kemarau. Narator menekankan tabiat buruk masyarakat dalam deskripsi naratorialnya dengan menghadirkan percakapan antartokoh yang membuktikan keburukan dari mulut tokoh-tokoh itu sendiri dan dengan menghadirkan pengontrasan dalam batin/pemikiran Duano. Sebaliknya, narator menekankan tabiat baik Duano dengan mengurai batin/pemikiran dan tindakan tokoh utamanya itu, lalu ia justifikasi dengan menghadirkan pengontrasan dalam deskripsi naratorial dan percakapan antartokoh. Dengan cara seperti inilah narator Kemarau menghadirkan moral baik dan buruk, mengupayakan agar kita meyakini bahwa Duano benar-benar baik dan masyarakat benar-benar buruk.
/b/ ‘Takdir’ dalam Genggaman ‘Tangan Tuhan’
Kemarau, sebagaimana setiap kisah, memiliki plot pengisahan.[6] Dalam naratologi, plot memiliki dua level (Ryan (90). Level pertama adalah plot yang ditentukan oleh pengarangnya. Pada level ini, pengarang mengendalikan arah pengisahan untuk menampilkannya kepada pembaca agar diresapi sebagai pengalaman membaca. Dalam level kedua, sebagai bagian dari logika sebab-akibat semesta cerita, plot diarahkan oleh tokoh. Tokoh menetapkan tindakannya dan mencapai tujuannya sendiri sebagai entitas hidup dalam semesta cerita.
Alih-alih diarahkan oleh kemarau yang menjadi latar musim dalam novel ini,[7] pengisahan Kemarau diarahkan oleh tokoh bernama Haji Tumbijo. Tokoh inilah yang memungkinkan plot berjalan: ia mengingatkan Duano ketika ia sedang putus asa kehilangan istrinya agar tetap menjaga Masri (Navis 64); ia menegur Duano yang hanya membuang-buang waktu dengan minum-minum agar bertobat dan menjaga Masri ketika Duano kembali melupakan anaknya itu (Navis 67); ia menyuruh Duano untuk mencari Masri karena anaknya itu telah pergi entah ke mana dan mencari Tuhan untuk bertobat (Navis 67–68); ia mengajari Duano tentang agama dan cara hidup yang benar ketika ia mengungsi ke kampung tempat Duano tinggal (Navis 4); ia mempengaruhi pengambilan keputusan Duano untuk membantu Sutan Caniago (Navis 10); ia memberi tahu alamat Duano kepada Masri ketika ia bertemu dengannya di Makassar (Navis 71 & 76); dan terakhir, ia memungkinkan Duano datang ke Surabaya untuk bertemu mantan istrinya, menceramahinya habis-habisan agar kedua anak kandungnya bercerai (Navis 114).
Oleh karena itu, peran Haji Tumbijo sangat krusial dalam semesta Kemarau. Jika Haji Tumbijo absen sebagai tokoh Kemarau, Duano tidak akan pergi ke kampung; jika Haji Tumbijo tidak mengajarkan Duano tentang cara hidup yang baik sesuai dengan ajaran agama, mungkin Sutan Caniago batal merantau ke kota, mungkin Saniah akan dipenjara karena memfitnah Duano, dan yang paling krusial, mungkin Duano tidak akan memaksa Iyah untuk memberi tahu kebenaran kepada kedua anak kandungnya agar bercerai. Singkatnya, plot Kemarau akan berjalan berbeda.
Namun, Haji Tumbijo bukanlah satu-satunya yang mempengaruhi jalannya pengisahan. Jika kita periksa lebih jauh lagi, pengisahan Kemarau sebenarnya dikendalikan oleh entitas tak kasat mata dalam semesta itu.
Tuhan adalah salah satu tokoh Kemarau. Kita dapat menemukannya dalam pengakuan Duano ketika ia didatangi Mangkuto, Rajo Mantari, Uwo Unap, dan dua orang petani tanpa nama untuk meminta Duano membatalkan niatnya meninggalkan kampung (Navis 76). Contoh lainnya muncul ketika Duano mengatakan kepada Gudam alasan yang membuatnya pergi ke Surabaya. Duano yakin Masri bisa mengetahui alamatnya dengan bertemu Haji Tumbijo di Makassar “bukanlah karena kebetulan saja. Ada tangan Tuhan campur padanya. Mesti ada tangan Tuhan ikut serta” (Navis 71). Pun demikian ketika Duano menyampaikan pandangannya kepada Iyah mengenai dorongan yang membawanya ke Surabaya:
Mulanya bimbang hatiku hendak ke mari, Iyah, ketika aku menerima surat Masri itu. Tapi kenapa nama Haji Tumbijo muncul dalam suratnya itu? Karena itu aku jadi yakin, bahwa tangan Tuhanlah yang mengatur pertemuan Masri dengan Haji Tumbijo untuk memberitahu alamatku pada Masri. Lalu tibalah suratmu itu. Kuputuskan aku takkan ke mari lagi. Akan tetapi, Iyah peristiwa demi peristiwa telah terjadi terhadapku. Semuanya seolah mendorongku agar aku berangkat juga ke mari. … Jadi segala-galanya betul-betul seolah mendorongku supaya aku segera ke mari. Dan benar juga ada masalah besar yang harus kuselesaikan di sini. Dan aku yakin bahwa kedatanganku bukan karena apa-apa, tapi karena digerakkan oleh Tuhan seru sekalian alam[.] (Navis 114; penekanan dari saya)
Duano sangat yakin “tangan Tuhan” turut andil dalam hidupnya. Duano pun yakin Tuhanlah yang mengarahkan Haji Tumbijo untuk mengubah dan menggerakkan hidup Duano.
Lebih lagi, Tuhan Kemarau turun tangan mengintervensi kehidupan Duano dua kali. Yang pertama adalah ketika Duano sempat putus asa karena walang sangit mengerubungi sawahnya:
“Tuhanku,” keluhnya. “Mengapa tantangan seberat ini terus juga Kaulancarkan padaku?”
Tiba-tiba didengarnya angin berdesir menjelajahi rumpun padinya. Hanya sebentar tiupannya. Dan di ujung desiran itu didengarnya satu suara yang bergema halus sekali. “Engkau telah memilih hidup berjuang. Setiap perjuangan akan selalu menemui tantangan. Kalau kau kuat, engkau akan menang.”
Mula-mula ia terpesona mendengar suara itu. Dicari-carinya dari mana suara itu datang. Suara itu tidak datang dari atas, tidak dari depan, juga tidak dari samping atau sekitarnya. Tapi suara itu jelas masuk ke telinganya. Apakah suara itu suara Tuhan atau setidak-tidaknya malaikatNya? Ia tidak berani meyakinkan suara itu adalah suara Tuhan atau malaikatNya karena ia merasa dirinya terlalu kerdil untuk menerimaNya. Diambilnya saja kesimpulan bahwa suara itu datang dari dalam dirinya sendiri, dari nalurinya. (Navis 79–80; penekanan dari saya)
Suara siapa yang Duano dengar itu? Narator hanya menjelaskan batin Duano alih-alih mengingkari kesimpulannya. Kita dapat menjumpai bentuk ekstremnya dalam adegan ini:
“Bayangan mimpi yang tak menyenangkan itu masih membayang. Dibiarkannya bayangan itu melela. Dilumpuhkannya otaknya untuk memikir. Dijembanya tafsir Qur’an tanpa disadarinya. Tapi ketika ia sadar lagi, ditaruhnya kembali ke tempatnya. Dan dalam keadaan lesu ia ke pintu. Dibukanya pasaknya dan dikuakkan daun pintu. Ia memandang ke langit. Langit gelap. Semuanya gelap dan kabut menyungkup segalanya. Ia melangkah turun tanpa tujuan. Ia tiba di jalan raya. Jalan itu ditapaknya ke utara. Tapi tiba-tiba ia sadar. Ia tiba di depan rumah Gudam. Belum sempat berpikir kenapa ia sampai terpasah ke situ, dilihatnya sesuatu bergerak di bawah anak tangga rumah Gudam.” (Navis 86–87; penekanan dari saya)
Bagaimana mungkin Duano bergerak sendiri di luar kehendaknya? Apa yang mengendalikannya keluar rumah, berjalan tanpa arah, hingga ke rumah Gudam hanya untuk memergoki Saniah sedang mengubur medium santet di bawah tangga rumah? Mudah menyimpulkan bahwa yang mengendalikan Duano adalah Tuhan dalam semesta Kemarau.
Saking berkuasanya Tuhan Kemarau, ia bahkan membantu Duano menyelesaikan masalah keluarganya dengan Iyah, Masri, dan Arni. Di penghujung kisah, kita tahu Duano telah pingsan tak berdaya, berlumuran darah akibat dipukul Iyah yang seperti kesetanan (Navis 115–116). Iyah melarang Duano mengatakan kebenaran tentang Masri dan Arni sebagai saudara kandung. Dalam keadaan seperti itu, deus ex machina, Tuhan mengambil alih masalah yang gagal Duano selesaikan. Tuhan membuat Iyah mengatakan kebenaran kepada Masri dan Arni bahwa mereka adalah saudara kandung, lantas Iyah meninggal setelah tugasnya selesai. Tuhan membuat Masri dan Arni sepakat untuk bercerai dan hidup masing-masing. Tuhan pun membuat Duano hidup bersama dengan Gudam, Acin, dan Amah di kampung (Navis 117).
Begitulah pengisahan Kemarau berakhir. Entah bagaimana nasib kedua anak Masri dan Arni dalam semesta Kemarau itu. Semesta yang memandang kehadiran anak dari pernikahan pasangan bersaudara akan menerima “sanksi hukum” dari Tuhan, “akan menderita cacat jasmani dan rohani”, dan “akan memikul akibat-akibat yang tidak sempurna sebagai manusia” (Navis 115).[8] Entah bagaimana ceritanya masyarakat kampung bisa menerima Duano kembali. Sementara kita tahu masyarakat telah mengusir Duano dari kampung, kampung yang sebagian besar masyarakatnya percaya bahwa Duano adalah pemerkosa. Hanya narator dan Tuhan Kemarau yang tahu.
Plot Kemarau, pada hakikatnya, diarahkan oleh dua tokoh: Haji Tumbijo dan Tuhan. Yang pertama sebagai tokoh yang menggerakkan Duano dalam menjalani kehidupannya, sementara yang kedua sebagai pengendali apabila plot dari Haji Tumbijo nyaris keluar arah dan apabila Duano tidak berada di waktu dan tempat yang tepat dalam menjalani hidupnya. Plot dari Tuhan inilah yang membuat plot dari Haji Tumbijo menjadi mungkin. Duano hanyalah tokoh yang menjalankan apa yang kedua tokoh itu arahkan. Dengan demikian, plot Kemarau adalah ‘takdir’ itu sendiri di dalam semestanya. Namun, kita tahu, tokoh-tokoh dalam semesta fiksi hanya mungkin berkehendak sejauh narator meridai mereka.
/c/ Khotbah Narator ‘Ustaz’
Narator Kemarau tak segan menyindir tabiat buruk masyarakat di kampung yang ia kisahkan. Narator menekankan apa yang ia anggap buruk dan apa yang ia anggap baik dengan menjustifikasinya berapa kali melalui fokalisasi. Dalam pengisahannya, narator menarasikan keduanya lebih dahulu dengan informasi yang dominan menggambarkan tabiat buruk masyarakat sembari memberi pengontrasan dengan tabiat baik Duano. Dengan begitu narator seolah mengetahui segalanya. Setelahnya, informasi awal itu ia justifikasi lagi melalui batin/pemikiran Duano sebagai penekanan akan tabiat baiknya dan melalui percakapan antartokoh sebagai bukti testimonial yang menunjukkan mereka (masyarakat) memang buruk moral.
Untuk mengukuhkan keburukan moral salah satu tokohnya, narator bahkan menyensor kata dalam kalimat tokoh itu. Ini berlaku untuk Saniah, perempuan yang iri kepada Gudam karena ia lebih dekat dengan Duano. Suatu waktu, Gudam berpapasan dengan Saniah setelah Gudam gagal mengajak Duano untuk mendatangi syukuran keselamatan Acin dari tetanus yang ia derita. Saniah lantas mengonfrontasi Gudam dengan memfitnahnya telah menjual diri kepada Duano. Narator mengisahkan provokasi Saniah itu seperti ini:
Dan dilihatnya Saniah di seberang jalan tegak menghadangnya. “Alangkah bagusnya perangaimu. Orang kaupanggil ke rumahmu semua, tapi kau bergendak di ladang Sutan Duano.”
Hanya sebentar Gudam tergetak. Ditahannya hatinya.
Dan lalu ia pergi meneruskan perjalanannya lagi.
“Oo dengan … itu kaubayar hutangmu padanya, ya? Untuk berapa kali dalam seribu rupiah. Seribu kali? Alangkah murahnya,” kata Saniah pula dengan menyebut kata yang tak patut untuk didengar.
Gudam terhenti mendengar kalimat yang tengik itu. “Apa katamu Saniah?”
“Satu rupiah satu kali untuk seorang laki-laki yang lapar sangat murah kaujual, kataku,” kata Saniah pula.
“Jangan berkata begitu, Saniah. Nanti kuremas mulutmu itu,” ancam Gudam.
“Coba kalau berani,” tantang Saniah.
Gudam hendak meneruskan jalannya lagi, Dan Saniah berkata pula, “Mana kau berani. Sebab badanmu tentu telah letih karena telah kaujual … itu murah-murah.” (Navis 96; penekanan dari saya)
Narator tampak menyensor kata Saniah dalam dua kalimat yang saya kursifkan di atas. Narator bahkan menegaskan sensor itu dengan bilang, “kata Saniah dengan menyebut kata yang tak patut untuk didengar.” Kita bisa menebak apa isi kedua elipsis itu. Artinya, ada kata yang hilang dalam kedua kalimat di atas.
Penyensoran itu berbeda dengan penggunaan elipsis lainnya dalam Kemarau. Narator beberapa kali menggunakan elipsis dalam percakapan tokoh yang ia kutip untuk memperlihatkan jeda dalam kalimat. Seperti ketika Acin berbicara dengan Duano tentang mengangkut air dari danau ke sawah, narator mengatakan, “[t]iba-tiba Acin berkata lagi, ‘Orang-orang itu bilang, Bapak sudah …’” (Navis 21). Begitu pun ketika narator memperlihatkan Saniah yang mengonfrontasi Acin dengan mengatakan: “‘Ooo. Jadi … berhasil juga makmu memikatnya?’ kata Saniah sambil menahan sakit hatinya” (Navis 50). Sekali lagi, ketika Mangkuto, saudara Gudam, coba menghindari perintah pamannya untuk menemani Gudam mengantar Acin berobat ke Bukittinggi: “‘Tapi … tapi aku … aku sudah ada janji … oooo,’ kata Mangkuto gugup” (Navis 83).
Namun, dalam narasi tentang masa lalu Duano—yang semestinya buruk berdasarkan standar moral yang sama—narator menghadirkannya dengan nada yang tidak mengejek. Ini terlihat ketika narator menceritakan Masri memergoki Duano sedang ‘jajan’ di tempat hiburan malam. Narator menggambarkan situasi itu begini:
Dan sekali Masri memergoki ayahnya yang sedang dalam cumbuan perempuan jalang itu, Sutan Duano merasa terpukul sekali. Didekatinya Masri dengan langkah gontai seperti orang yang kalah perang menyerahkan senjatanya yang selama ini sangat disegani musuh.
“Inikah ayahku? Ayah yang setiap hari menangis di kubur Ibu dulunya?” kata Masri menantang seraya mundur ketika didekati Sutan Duano.
“Anakku. Anakku,” kata Sutan Duano dengan sedih dan patah semangat jiwanya. Dicobanya meraih Masri. Tapi Masri mengelak dan bertambah mundur.
Perempuan-perempuan jalang yang melihat adegan itu tertawa berkakakan. Sutan Duano tersinggung perasaannya. Tapi dicobanya menekan. Didekatinya lagi Masri. Tapi Masri terus juga mundur sambil memancarkan sorotan mata bencinya.
“Marilah, anakku. Marilah,” kata Sutan Duano dengan sedih.
“Marilah, sayangku. Marilah ke dalam pelukanku, sayang,” sela salah seorang perempuan itu.
Dan yang lain tertawa lagi berkakakan. Dan akhirnya mereka mengikuti temannya menyimaki. “Marilah, kekasihku. Marilah kupeluk engkau dengan mesra.”
Sakit hati Sutan Duano sampailah di puncaknya. Dibalikkannya badannya, dipandangnya perempuan-perempuan itu dengan tajam dan marah. Tapi perempuan itu tambah mengganggunya. “Aduh, sayangku.” (Navis 66)
Narator tidak mengejek tabiat Duano di masa lalu ini. Narator menghadirkan wajah lain Duano ini untuk menegaskan bahwa orang yang moralnya buruk sekalipun dapat berubah ke arah yang lebih baik, sebagaimana fungsi publik satire terhadap pembacanya.[9]
Anehnya, narator hanya menghadirkan transformasi penokohan Duano—dari yang gemar menikah, suka minum-minuman, dan ‘jajan’ di tempat hiburan malam, menjadi sosok yang alim, rajin bekerja, dan menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan—secara sangat singkat. Narator hanya menghadirkannya melalui perkataan Haji Tumbijo kepada Wali Negeri bahwa ia “akan mengubah hidup” (Navis 4) Duano dan dalam deskripsi naratorial bahwa “[r]amalan Haji Tumbijo telah jadi kenyataan” (Navis 6).
Dengan begitu, narator Kemarau berbeda dari narator ‘wartawan kompas’[10] dan narator ‘dosen antropologi’[11] yang Martin Suryajaya (2024) uraikan dalam Kesusastraan, Kehancuran. Meskipun narator Kemarau tidak mengeksplorasi penokohan tokoh-tokohnya, termasuk tokoh utama, setidaknya ia menyebarkan informasi baik dan buruk di sepanjang pengisahannya, bukan secara terang dengan mengatakannya satu kali saja.
Kecenderungan narator untuk menyindir tabiat buruk tokoh-tokohnya dan, secara tidak langsung, memberikan pesan moral dengan menghadirkan tokoh Duano yang bertabiat baik, menciptakan kesan, setidaknya bagi saya, bahwa narator Kemarau bertutur seperti seorang penceramah yang menceritakan kisah-kisah nabi atau tokoh religius lain dalam khotbahnya. Narator menghadirkan pengisahan demikian dengan timbangan moral tertentu. Oleh sebab itulah saya merasa narator Kemarau adalah narator ‘ustaz’.
Alam dan Perempuan dalam Fikih Narator ‘Ustaz’
Kemarau sebagai novel satire tentu memiliki konsekuensi. Kecenderungan narator untuk menghadirkan apa yang ia anggap baik dan buruk membutuhkan penekanan tertentu. Dalam kasus Kemarau, penekanannya adalah pada keimanan kepada Tuhan dan karenanya etos kerja yang baik melawan kemalasan, kepasrahan, kebatilan, dan sejumlah moral buruk lainnya. Namun, penekanan ini meninggalkan sejumlah masalah representasi.
/a/ Alam Kemarau
Narator menghadirkan alam sebagai latar dalam Kemarau. Narator menghadirkan musim kemarau hanya untuk membentangkan konteks pengisahan. Saya mencoba memilih tiga kata kunci yang menurut saya merepresentasikan alam untuk memeriksa kecenderungan posisi alam dalam korpus Kemarau.[12] Ketiga kata itu adalah “sawah” (biru), “hujan” (hijau), dan “kemarau” (merah muda). Dengan begitu, kita bisa melihat kecenderungan frekuensi kata dari 20 BAB dan satu PENUTUP dalam Kemarau yang divisualisasikan dengan garis.
Gambar 1 Voyant Tools (2024b), Navis’s Kemarau, Trends: sawah, hujan, kemarau
Hasilnya, dalam Gambar 1, frekuensi ketiga kata itu hanya tinggi di bagian awal hingga mendekati pertengahan novel. Dengan garis kemunculan seperti itu, kita akan teringat bahwa dalam bagian-bagian itu narator memang menggunakan kata “sawah”, “hujan”, dan “kemarau” untuk memberi konteks pengisahan. Selebihnya, ketiga kata itu hanya ia sebutkan sesekali, bukan menjadi topik pembahasan.
Sebelum saya membahas lebih lanjut, mari kita periksa argumen pembandingnya.
Pembahasan tentang isu alam dalam Kemarau saya peroleh dalam, pertama, artikel Gusti et al. Mereka memandang tindakan Duano membuat kakus di samping kolam ikan agar kotoran orang-orang jadi makanan ikan (Navis 3) “menggambarkan perilaku baik seorang tokoh dalam memfasilitasi masyarakat agar membiasakan diri buang air pada tempat yang disediakan.”[13] Lebih lanjut, katanya, “[j]ika dikaitkan dengan materi pendidikan agama Islam bidang akhlak maka hal ini tidak terlepas dengan akhlak kepada lingkungan” (Gusti et al. 82). Oke. Kendatipun tindakan itu bisa dibilang menggambarkan semacam simbiosis mutualisme antara manusia dengan alam, saya tercengang mereka mengatakan tindakan Duano itu sebagai akhlak pada lingkungan.
Sementara itu, dalam artikel yang membandingkan Kemarau dengan The Dry karya Jane Harper, Nitami & Hartati (2022) mengatakan bahwa mereka menemukan nilai hakikat hubungan manusia dengan alam dalam Kemarau. Pernyataan itu mereka buktikan dengan penjelasan ini:
Pada analisis ini, sangat terlihat jelas bahwa hakikat manusia dengan alam sekitar sangat erat. “Buat apa kita payah- payah [sic] mengangkut air danau. Entah lusa, entah sebentar lagi tuhan [sic] menurunkan hujan. Sebagai petani, kita telah mengerjakan sawah kita. Kemudian kalau sawah itu kering karena hujan tak turun, tuhan lah [sic] yang punya kuasa kita sebagai umatnya [sic], lebih baik menyerah dan berserah diri.” [Tanpa sumber, sebelum maupun sesudah kutipan] Pada kutipan di atas, sangat terlihat jelas bahwa manusia dengan alam tidak bisa dipisahkan. (Nitami & Hartati 76)
Entah apa alasan mereka memandang penolakan Rajo Bodi atas ajakan Duano ini sebagai hakikat hubungan manusia dengan alam. Kita tahu narator menghadirkan penolakan Rajo Bodi untuk memperlihatkan keengganan masyarakat dalam bekerja dengan giat, alih-alih untuk memperlihatkan hubungan erat manusia dengan alam.
Kedua artikel di atas memandang tanggapan masyarakat dan Duano kepada alam menggambarkan hubungan erat antara manusia dengan alam. Masalahnya, representasi bukanlah berfokus pada ada atau tidaknya, melainkan pada bagaimana dan dalam kondisi seperti apa subjek direpresentasikan. Sederhananya, apa posisinya di dalam pengisahan. Dengan begitu, para penulis kedua artikel di atas membangun cara pandangnya berdasarkan pemahaman bahwa alam hadir untuk direkayasa oleh manusia.
Cara pandang seperti inilah yang dikritik Arne Naess serta kritikus lingkungan lainnya. Dalam salah satu tesis dari delapan tesis “platform gerakan ekologi dalam (deep ecology)” yang ia rumuskan, Naess menekankan bahwa kehidupan nonmanusia dan manusia memiliki nilai intrinsik yang terlepas dari manfaatnya “untuk tujuan manusia yang sempit” (29). Artinya, alih-alih menempatkan lingkungan hidup sebagai sesuatu yang berguna bagi manusia, kepentingan lingkungan hidup justru mesti kita tempatkan untuk seluruh organisme dan nonorganisme yang menopangnya. Alam dan manusia adalah satu kesatuan (monis), bukan terpisah (dualis) sehingga alam hadir cuma untuk keperluan umat manusia.
Dalam Kemarau, alam adalah latar yang meletakkan kehidupan masyarakat dalam situasi tertentu. Namun, alih-alih sebagai sesuatu yang saling menunjang, narator hanya menghadirkan alam untuk direkayasa sedemikian rupa sehingga dapat menunjang kehidupan manusia. Seperti inilah cara berpikir Duano ketika mendorong masyarakat di kampung agar mengairi sawah mereka.
Kita bisa melihat kecenderungan ini, misalnya, ketika Duano menjelaskan kepada Acin mengapa mereka harus mengangkut air dari danau untuk menyirami sawah. Di situ Duano mengatakan, “Tuhan telah memberikan kemarau yang panjang. Tapi Tuhan juga telah memberikan kita air sedanau penuh. Maka kita tak boleh menyia-nyiakan pemberian Tuhan” (Navis 41). Baginya, Tuhan telah menyediakan alam, dan karena itu manusia harus memanfaatkannya.
Cara pandang seperti ini muncul kembali ketika Duano bercakap dengan Rajo Bodi. Di sini, yang menjadi penekanan Duano bukanlah bagaimana semestinya manusia dengan alam hidup bersama, melainkan pada bagaimana semestinya etos kerja manusia ketika berhadapan dengan masalah. Inilah sebabnya mengapa narator menerangkan “[k]alau mereka [masyarakat] tidak mau [mengangkut air dari danau], ia [Duano] akan melaksanakannya sendiri untuk sawahnya seorang. Tapi soalnya bukanlah hanya mengairi sawahnya seorang. Yang dimauinya ialah hendak mengubah cara hidup orang di kampung itu” (Navis 16).
Lebih lanjut, dalam situasi kemarau yang berkepanjangan, narator menekankan betapa sawah tetap harus disirami, bagaimanapun caranya, agar tetap subur dan memenuhi kebutuhan tokoh-tokoh manusianya. Akibatnya, ketika walang sangit mengerubungi sawah Duano, narator menggambarkan kedatangan walang sangit itu sebagai “bencana” (Navis 79) yang harus “diperangi” (Navis 80).
Pada gilirannya, penggambaran alam yang antagonistis ini menghadirkan bentuk ekstrem pandangan utilitarian-religius: Alam hanyalah ciptaan Tuhan yang dihadirkan semata-mata untuk menunjang hidup manusia. Tuhan Kemarau, bagaimanapun, mendukung Duano untuk memerangi walang sangit. Dalam keadaan nyaris putus asa, Duano bermunajat, dan Tuhan mengabulkannya. Tuhan memperlihatkan kuasanya untuk menyemangati Duano. Di situ narator menyatakan Duano tiba-tiba mendengar “angin berdesir menjelajahi rumpun padinya. Hanya sebentar tiupannya. Dan di ujung desiran itu didengarnya satu suara yang bergema halus sekali” (Navis 80). Setelah itu, sebagaimana telah saya kutip di bagian sebelumnya, Tuhan menyemangati tokoh utama Kemarau itu. Dalam situasi munculnya kuasa Tuhan ini, narator memperlihatkan alam seperti bergetar menyambut penguasanya. Ini menegaskan betapa alam berada di bawah kuasa Tuhan.
Dalam kesempatan lain, narator menghadirkan alam seperti menanggapi situasi pengisahan yang ia buat sedih. Ini terjadi terjadi setelah Duano pamit kepada Gudam untuk meninggalkan kampung. Setelah percakapan yang agaknya narator hadirkan untuk mengundang tangis pembaca itu, narator mengatakan:
Ketika tangisan Gudam sudah mulai mereda sedikit, Acin pun bertanya. “Siapa di luar tadi, Mak?”
“Ia telah pergi,” katanya Gudam yang masih memalun anaknya.
“Siapa, Mak?”
“Ia pergi jauh, ke Surabaya.”
“Pak Duano, Mak?” tanya Acin dengan hati yang kecut.
Gudam mengangguk.
Acin tegak. Dan berlari ke luar sambil berteriak-teriak memanggil-manggil Pak Duanonya. Gudam bertambah terharu biru mendengar teriakan anaknya itu. Teriakan Acin makin lama makin jauh, makin jauh didengarnya. Tiba-tiba guruh bergetar keras sekali dan tak lama kemudian turunlah hujan, setelah hampir enam bulan tak turun-turun setetes pun. (Navis 106; penekanan dari saya)
Alam ditampilkan menanggapi situasi sedih itu seolah-olah alam pun ikut sedih lantas menjatuhkan air matanya dalam bentuk hujan. Sungguh suatu kebetulan perpisahan itu jatuh tepat ketika pergantian musim dari kemarau ke hujan setelah enam bulan. Lagi-lagi, narator ‘ustaz’ telah membuat tangan Tuhan menempatkan Duano berada di jalur ‘takdir’ yang tepat.
Demikian, narator menampilkan alam secara baik apabila alam bertindak sebagaimana Tuhan Kemarau menghendakinya. Sebaliknya, apabila alam bertindak sendiri di luar kehendak Tuhan Kemarau, narator menampilkan alam secara buruk.
/b/ Perempuan Kemarau
Narator Kemarau menghadirkan tokoh perempuan dan laki-laki dengan tabiat yang tampak serupa. Keduanya sama-sama mengharapkan bantuan dukun untuk menurunkan hujan. Keduanya sama-sama enggan Duano ajak mengangkut air dari danau untuk mengairi sawah. Keduanya sama-sama narator tampilkan bergosip tentang Duano dan Gudam. Keduanya juga sama-sama malu ketika Duano sendirian mengairi sawahnya. Singkatnya, keduanya sama buruknya sejauh tidak beriman kepada Tuhan dan beretos kerja. Namun, bukan berarti posisi keduanya setara. Mari kita periksa bagaimana keduanya berbeda dalam pengisahan narator.
Dari percakapan Duano-Caniago (Navis 8–9) dan Duano-Uwo Tinik (Navis 36–37), kita jadi tahu pembagian peran keduanya: laki-laki cari nafkah, perempuan urus rumah. Karenanya, hanya laki-laki yang pergi merantau, sementara perempuan yang telah menikah bertugas di rumah.
Masalahnya, apabila ada laki-laki yang benar-benar berhasil sehingga masyarakat memandangnya sukses dalam perantauan, “laki-laki itu akan mengambil istri baru yang lebih muda dan lebih cantik”. Situasi ini pada gilirannya membuat “banyak sekali perempuan muda yang sudah jadi janda sebab perceraian” (Navis 22). Anehnya, sekalipun banyak laki-laki yang pergi merantau dan banyak perempuan menjadi janda, narator menghadirkan para janda sebagai contoh perempuan bermoral buruk.
Lebih lagi, dalam kisah yang menghadirkan banyak tokoh janda ini, duda alpa sama sekali. Duano yang sudah kawin-cerai berulang-ulang sekalipun tidak narator sematkan kata “duda”. Tiada kata “duda” dalam kosakata narator. Artinya, dalam semesta Kemarau, narator memosisikan duda dan janda secara berbeda.
Di samping itu, perempuan di kampung Kemarau tidak ada yang berhasil secara mandiri. Narator hanya menampilkan laki-laki yang berhasil dan hanya laki-laki yang menjadi pemimpin. Narator tidak menghadirkan satu pun tokoh perempuan yang memiliki posisi sebagaimana Duano yang memimpin pengajian di surau, Wali Negeri yang memimpin secara formal di kampung,[14] Lembak Tuah yang “punya sawah luas di kampung” (Navis 14), Rajo Bodi yang “disegani di kampung” (Navis 15), dan seterusnya. Haji Samsiah sekalipun, satu-satunya tokoh perempuan bergelar haji (selain tokoh Haji Tumbijo yang laki-laki), posisinya semenjana di kampung Kemarau. Ia bisa naik haji karena Duano membantunya dengan memberi pinjaman tanpa bunga.[15] Narator juga menghadirkan Haji Samsiah berstatus janda, posisinya sama dengan perempuan-perempuan lain dalam Kemarau. Para perempuan di novel ini adalah makhluk kelas dua.
Wajar bila narator menampilkan perempuan sebagai tokoh antagonis dalam Kemarau, yang jumlah tokoh laki-lakinya lebih banyak daripada tokoh perempuan. Saya mencatat ada 36 tokoh laki-laki[16] dan 13 tokoh perempuan,[17] setidaknya yang bernama,[18] serta satu tokoh transenden, Tuhan. Dengan rasio tokoh laki-laki dan perempuan yang timpang, tokoh laki-laki nyaris tiga kali lebih banyak, semestinya membuat laki-laki lebih berpeluang untuk menjadi antagonis. Namun, dua tokoh antagonis Kemarau adalah perempuan, Saniah dan Iyah.
Gambar 2 Voyant Tools (2024c), Navis’s Kemarau, Trends: duano, saniah, iyah
Lebih lanjut, mari kita periksa posisi perempuan dalam korpus Kemarau menggunakan pembacaan mesin, dengan visualisasi garis berdasarkan frekuensi nama “duano” (biru), “saniah” (hijau), dan “iyah” (merah muda). Hasilnya dapat kita lihat dalam Gambar 2 di atas.
Berdasarkan hasil pembacaan mesin itu, frekuensi kata “duano” tinggi di semua BAB, sementara dua tokoh perempuan antagonis Kemarau, “saniah” dan “iyah”, hanya tinggi di beberapa titik saja. Apabila kita mengaitkan informasi dari visualisasi dalam Gambar 2 dengan pengisahan dalam Kemarau, frekuensi kata “duano” rendah ketika kata “saniah” tinggi di BAB 18. Di titik itu, Duano alpa di semua adegan, kendati tokoh lain membicarakannya. Kata “duano” pun rendah ketika frekuensi kata “iyah” meninggi di BAB 20, karena Iyah lebih aktif dan konfrontatif, sekalipun Duano mencoba menceramahinya. Namun, frekuensi kata “saniah” berakhir sejak BAB 18, padahal ia adalah tokoh yang menang dalam konflik yang narator tampilkan di BAB 17, dengan membuat Duano terusir dari kampung. Demikian pula, kata “iyah” menurun dari BAB 20 ke PENUTUP, padahal ia adalah tokoh yang menang dalam konflik yang narator tampilkan di BAB 20, dengan membuat Duano pingsan berlumuran darah.
Mengapa Duano tetap menjadi pemenang sebenarnya di akhir Kemarau padahal kata “saniah” dan “iyah” muncul lebih sering ketika Duano tiada dan ditiadakan di bagian-bagian konflik? Alasannya seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, ‘tangan Tuhan’ turut andil untuk membuat Duano kembali pada jalur ‘takdir’ yang semestinya. Saniah dan Iyah, bagaimanapun, tak mendapatkan izin Tuhan Kemarau untuk mengganggu ‘takdir’ Duano. Narator menghadirkan mereka, sekalipun dalam kapasitas tokoh antagonis, hanya sebagai pelengkap dalam Kemarau.
Namun, representasi perempuan seperti itu bukanlah yang mewakili moral baik dalam semesta Kemarau. Justru representasi perempuan seperti itulah yang narator Kemarau kritik. Pengisahan narator membentuk representasi perempuan sedemikian rupa untuk mengontraskannya dengan representasi perempuan yang menurut standar moralnya baik. Kita bisa menjumpai representasi perempuan yang mewakili contoh moral baik versi Kemarau dalam sebuah deskripsi naratorial. Setelah menjelaskan banyak suami meninggalkan istrinya, narator menjelaskan:
Tak semua perempuan suka dimadu. Lalu mereka minta cerai. Meskipun mereka tahu, apabila bercerai maka dia seoranglah yang akan menghidupkan anak-anaknya. Mereka tidak gentar menghadapi hidup daripada menderita kesakitan hati. Hal itu tidaklah perlu menerbitkan belas kasihan. Selain karena peristiwa itu sudah lumrah terjadi di kampung itu, kaum perempuan di situ tidaklah pernah menggantungkan hidupnya semata kepada suaminya saja. Mereka akan sanggup hidup sendiri. Malah perceraian itu, merupakan cambuk baginya untuk mencapai kegemilangan hidup bersama anak-anaknya. Tidak jarang anak-anak yang disia-siakan ayahnya itu menjadi orang yang terpandang di kemudian hari. Bagi kebanyakan perempuan di kampung itu, perkawinan bukanlah ambang pintu kebahagiaan. Ketika malam pertama perkawinannya, dalam hatinya telah ditanaminya pula suatu cadangan sikap. Ia tidak memberikan seluruh hati dan raganya kepada laki-laki yang jadi suaminya. (Navis 22)
Sayangnya, semua tokoh perempuan yang narator hadirkan bertentangan dengan deskripsi naratorial di atas. Tokoh-tokoh perempuan seperti itu, dalam kosakata narator, adalah buah “bapakisme” (Navis 44).
Iyah adalah tokoh perempuan yang nyaris sesuai dengan standar perempuan ideal narator Kemarau. Narator menghadirkan Iyah mendekati standar perempuan ideal versinya, mengandaikan transformasi penokohan: dulu Duano usir, tertempa karenanya, kemudian muncul di akhir kisah dengan kehendak dan kemanusiaan yang kuat.[19] Dalam percakapannya dengan Duano, Iyah mengatakan,
Kita sudah tua […] Kesenangan dan kepahitan hidup telah banyak yang kita rasakan. Aku kira kau pernah sengsara dan menderita kepahitan hidup. Tapi apa yang telah kuderita, lebih pahit lagi. Rambutku telah putih semua, mukaku telah keriput seperti bangkai. Badanku kurus dengan jangatku yang mersik. Padahal umurku jauh lebih muda darimu. Sehingga kau lupa padaku. Aku yakin, kau tentu takkan rela membiarkan anak-anakmu hidup sengsara seperti yang, kau pernah alami. Apalagi kau menderita hidup sesakit hidupku, hingga selagi muda usianya telah seperti bangkai jasadnya karena beratnya memikul penderitaan. […] (Navis 112–113)
Meski demikian, Iyah hanya nyaris menjadi tokoh perempuan ideal Kemarau. Seandainya Iyah memberitahu kebenaran tentang anaknya (Arni) yang menikah dengan saudara kandungnya (Masri) dan menjunjung tinggi keimanan kepada Tuhan Kemarau di atas keegoisan kemanusiaannya, ia akan menjadi contoh perempuan bermoral baik. Sayangnya, Iyah tidak beriman sebagaimana narator menghadirkannya. Karenanya, representasi perempuan ideal Kemarau hanya ada dan hanya akan ada dalam deskripsi naratorial semata, bukan mewujud sebagai tokoh yang hidup.
Tokoh-tokoh perempuan dalam Kemarau hanya narator hadirkan sebagai makhluk kelas dua dan perwakilan moral buruk, yang dituntut menjadi lebih baik. Mereka hanya berperan antagonis dan figuran. Perempuan ideal versi Kemarau hanya hadir dalam deskripsi naratorial, ketimbang hidup dalam semesta cerita. Dengan demikian, para perempuan dalam Kemarau, meminjam istilah Kate Millett, hanya disajikan sebagai “citra yang diciptakan oleh laki-laki dan dibentuk sesuai dengan kebutuhan laki-laki” (46).
Akhirul Kalam
Saya telah menunjukkan bagaimana A.A. Navis membangun struktur naratif Kemarau dengan satire untuk menyampaikan pesan moral tertentu. Fokalisasi Kemarau bekerja dengan membentuk penekanan satire baik dan buruk dalam struktur naratif, menggunakan tokoh-tokoh seperti Duano dan masyarakat kampung untuk mengontraskan perbedaan tersebut. Narator Kemarau, yang saya sebut narator ‘ustaz’, mengarahkan pembaca untuk menerima pesan moral yang ia sampaikan melalui pengisahan yang berfokus pada nilai-nilai religius dan etos kerja. Untuk melakukannya, narator menghadirkan dua tokoh berpengaruh yang mengarahkan pengisahan: Haji Tumbijo dan Tuhan, yang bekerja sebagai penggerak tokoh utama dan penentu ‘takdir’ dalam semesta Kemarau.
Konsekuensinya, pengisahan satire dalam Kemarau berdampak pada representasi alam dan perempuan. Narator mereduksi alam menjadi latar antagonistis yang harus tokoh-tokohnya atasi dan manfaatkan dengan baik, ketimbang menjadi entitas independen bersama manusia. Ini mengindikasikan cara pandang utilitarian-religius, memisahkan alam dari manusia, menempatkan alam sebagai sesuatu yang mesti dimanfaatkan manusia atas kehendak Tuhan. Demikian pula, narator menghadirkan tokoh perempuan hanya sebagai tokoh antagonis yang melengkapi perjuangan tokoh utama laki-lakinya dan sebagai perwakilan moral buruk. Perwakilan moral baik atas perempuan, jikapun ada, hanya narator hadirkan dalam deskripsi naratorial, bukan dalam realitas Kemarau. Ini mengindikasikan cara pandang yang membedakan posisi perempuan dengan laki-laki, perempuan hanya hadir sebagaimana citranya dalam kacamata laki-laki. Singkatnya, struktur dan elemen-elemen naratif Kemarau lainnya diatur dalam keadaan konstan, ceteris paribus, demi melayani penyampaian pesan moral narator.
level | pencipta | produk | satire |
pertama | pengarang | teks untuk dibaca | menggunakan kacamata A untuk mengkritik B |
kedua | narator | informasi untuk dipercaya | menggunakan kacamata B untuk mengkritik C |
Tabel 2 Lapisan satire Kemarau dalam pembacaan pendekatan dunia (world approach)
Namun, kita tahu, penekanan tertentu dalam karya satire tidak selalu mencerminkan secara langsung maksud yang ingin pengarangnya sampaikan kepada pembaca. Dalam pembacaan pendekatan dunia, kita juga tahu, meskipun pengarang menciptakan kisah, informasi yang narator hadirkan dalam kisah mesti dipandang sebagai bagian dari kebenaran fiksional yang berlaku dalam semesta cerita, terlepas dari realitas yang kita huni. Artinya, dalam kasus Kemarau, penekanan pada baik dan buruk yang narator hadirkan tidak otomatis menjadi pesan moral yang ingin A.A. Navis sampaikan. Dengan demikian, kita dapat membaca Kemarau dengan dua lapisan: pertama, dalam semesta kita, mungkin saja Navis justru mengkritik apa yang ia ciptakan dalam Kemarau, termasuk narator dan tokoh utama; kedua, dalam semesta Kemarau, narator mengkritik tabiat buruk masyarakat sembari menjadikan Duano sebagai perwakilan tabiat baik.
Kepustakaan
Fanany, I. “Cerpen Navis, Suara Manusia.” Antologi Lengkap Cerpen AA Navis, edited by I. Fanany, Penerbit Buku Kompas, 2005, pp. 749–769.
Genette, Gérard. Narrative Discourse: An Essay in Method. Translated by Jane E. Lewin, Cornell University Press, 1980.
—. Narrative Discourse Revisited. Translated by Jane E. Lewin, Cornell University Press, 1988.
Gusti, Y., M. Ritonga, dan Mursal. “Analisis Semantik Pendidikan Agama Islam dalam Novel Kemarau Karya A.A. Navis.” Bindo Sastra, vol. 4, no. 2, 2020, pp. 77–84, https://doi.org/10.32502/jbs.v4i2.2407.
Hakim, L. Kemarau dan Datangnya dan Perginya. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994.
Herman, David. “Scripts, Sequences, and Stories: Elements of a Postclassical Narratology.” Publications of the Modern Language Association of America, vol. 112, no. 5, 1997, pp. 1046–1059, https://doi.org/10.2307/463482.
Ionescu, Alexandra. “Postclassical Narratology: Twenty Years Later.” Word and Text: A Journal of Literary Studies and Linguistics, vol. 9, no. 1, 2019, pp. 5–34.
Jassin, H. B. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei II. Gramedia, 1985.
Meister, Jan Christoph. “Narratology.” Handbook of Narratology, 2nd ed., vol. II, edited by Peter Hühn et al., De Gruyter, 2014, pp. 623–645, https://doi.org/10.1515/9783110316469.623.
Millett, Kate. Sexual Politics. Columbia University Press, 2016.
Naess, Arne. Ecology, Community and Lifestyle: Outline of an Ecosophy. Translated and edited by David Rothenberg, Cambridge University Press, 1989.
Navis, A. A. Kemarau. Grasindo, 1992. Pertama kali terbit pada 1957.
Nitami, A., dan D. Hartati. “Sastra Banding Novel Kemarau Karya A.A. Navis Dengan Novel The Dry Karya Jane Harper.” SEBASA: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, vol. 5, no. 1, 2022, pp. 71–79, https://doi.org/10.29408/sbs.v5i1.5230.
Nünning, Ansgar. “Narratology or Narratologies?: Taking Stock of Recent Developments, Critique and Modest Proposals for Future Usages of the Term.” What Is Narratology?: Questions and Answers Regarding the Status of a Theory, edited by Tom Kindt and Hans-Harald Müller, De Gruyter, 2003, pp. 239–276, https://doi.org/10.1515/9783110202069.239.
Paulson, Ronald. The Fictions of Satire. Johns Hopkins University Press, 2019, https://doi.org/10.1353/book.67852. Pertama kali terbit pada 1967.
Prince, Gerald. “Narratology.” The Cambridge History of Literary Criticism: From Formalism to Poststructuralism, edited by Raman Selden, vol. VIII, Cambridge University Press, 1995, pp. 110–130, https://doi.org/10.1017/CHOL9780521300131.007.
—. “Classical and/or Postclassical Narratology.” L’Esprit Créateur, vol. 48, no. 2, 2008, pp. 115–123, https://doi.org/10.1353/esp.0.0005.
Ryan, Marie-Laure. A New Anatomy of Storyworlds: What Is, What If, As If. The Ohio State University Press, 2022.
Sinclair, Stéfan, dan Geoffrey Rockwell. Voyant Tools, 22 Aug. 2024, https://voyant-tools.org/?panels=cirrus%2Creader%2Ctrends%2Csummary%2Ccontexts&corpus=56b273ac62ca91e20c6f0bad9160aa02.
—. “Trends.” Voyant Tools, 23 Aug. 2024, https://voyant-tools.org/?view=Trends&query=sawah*&query=hujan*&query=kemarau*&corpus=56b273ac62ca91e20c6f0bad9160aa02.
—. “Trends.” Voyant Tools, 24 Aug. 2024, https://voyant-tools.org/?view=Trends&query=iyah*&query=saniah*&query=duano*&corpus=56b273ac62ca91e20c6f0bad9160aa02.
Suryajaya, Martin. Kesusastraan, Kehancuran. Velodrom, 2024.
Teeuw, A. Modern Indonesian Literature. Springer Netherlands, 1967, https://doi.org/10.1007/978-94-015-0768-4.
[1] Nama-nama sastrawan yang saya sebutkan ini, secara longgar, termasuk dalam Angkatan ’45 berdasarkan pengelompokan yang dilakukan A. Teeuw (1967) dan H.B. Jassin (1985). Di samping itu, Basuki Gunawan saya anggap tetap masuk dalam angkatan ini berdasarkan umurnya—sebagaimana Teeuw memasukkan A.A. Navis ke dalam Angkatan ’45—dan semangatnya, meskipun tidak disebutkan dalam keduanya.
[2] “Its animation and biting humour make this one of the few really successful satires in modern Indonesian literature” (Teeuw 201).
[3] Naratologi atau teori naratif mencakup kajian teks fiksi dan nonfiksi. Salah satu tujuannya adalah menelisik kesalinghubungan setiap unsur teks membangun struktur teks itu sendiri, hingga menelisik kaitan teks dengan konteks yang mendasari penciptaan teks. Dalam perkembangannya, naratologi dikelompokkan menjadi prastrukturalis, strukturalis, klasik, pascastrukturalis, hingga bercabang menjadi narratilogies yang mencakup kelindan naratologi dengan teori lainnya, seperti naratologi pascakolonial, feminis, Marxis, dan lain-lain. Beberapa karya yang membahas evolusi naratologi mencakup Herman (1997), Prince (1995 dan 2008), Nünning (2003), Meister (2014), dan Ionescu (2019).
[4] “On one level, a real-world author addresses a text to an audience located in the same world; the text is taken by the reader to be the representation of an imaginary world created through the very process of representing it. On another level, a narrator located in what is from the viewpoint of author and reader an alternative possible world presents a report that passes as a representation of an autonomous reality.” (Ryan 29)
[5] Gusti et al. (2020) menjelaskan bahwa dalam Kemarau terdapat sembilan “Nilai Pendidikan Keimanan”, enam “Nilai Pendidikan Ibadah”, dan delapan “Nilai Pendidikan Akhlak”.
[6] Untuk pembacaan strukturalis atas plot Kemarau, analisis Hakim (1994) adalah salah satunya.
[7] Nitami & Hartani dalam artikelnya mengatakan Kemarau adalah novel dengan “alur cerita mengenai konflik terhadap kekeringan yang melanda, serta misteri yang terjadi akibat adanya kekeringan” (78).
[8] Pembahasan lebih panjang mengenai pernikahan sedarah dapat dilihat dalam artikel 14 halaman yang ditulis oleh Desman et al.
[9] “Satire has traditionally had a public function, and its public orientation remains. Although the satirist may arraign God and the universe … he usually seems to believe – at least to hope – that change is possible. Personal change, in his view, leads to social change; he insists that bad men make bad societies. He shows us ourselves and our world; he demands that we improve both. And he creates a kind of emotion which moves us toward the desire to change.” (Spacks 363)
[10] “Narator jenis ini suka sekali menerang-nerangkan karena selalu didera ketakutan bahwa pembaca tidak mengerti apa yang ia bicarakan. Apabila narator menghadirkan sebuah objek dengan nama yang tidak ada di KBBI, naluri kewartawanannya seketika menyeruak dan ia pun buru-buru membubuhkan keterangan penjelas semacam: ‘x adalah …’ atau ‘Itulah yang dimaksud suku anu sebagai …’ atau, dalam bentuk yang paling kasar, menghadirkan kata Indonesia yang lalu disusul dengan kata asli dalam tanda kurung. Narator ini takut tidak dimengerti pembaca, takut memaksa pembaca bekerja menerka-nerka; singkatnya, takut dikirimi Surat Pembaca.” (Suryajaya 90–92)
[11] Narator “‘dosen antropologi’ atau setidaknya ‘orang yang bercita-cita menjadi dosen antropologi’. Narator jenis ini suka sekali memberikan sentuhan-sentuhan akademis pada prosanya. Antara lain dengan mencantumkan catatan kaki untuk setiap istilah dari bahasa daerah, kalau perlu dengan menyebutkan beberapa sumber bacaan yang bisa digunakan sebagai rujukan. Tak jarang pula narator macam ini bekerja sebagai dosen di tengah-tengah novelnya: menjelaskan sistem kekerabatan, sistem mata pencaharian dan unsur-unsur kebudayaan lain sesuai pakem Koentjaraningrat.” (Suryajaya 92)
[12] Korpus Kemarau ini saya hasilkan dari memindai Kemarau terbitan Grasindo tahun 1992. Saya memisahkan setiap bab ke dalam dokumen berbeda agar dapat membaca kecenderungannya menggunakan Voyant Tools versi 2.6.14. Hasilnya adalah korpus digital Kemarau (2024a) yang bisa diakses secara daring.
[13] Ikan-ikan dalam kolam Duano itu pada gilirannya dijual di pasar: “banyak orang yang ikut menjualkan hasil ladang dan kolam ikan Sutan Duano” (Navis 62).
[14] Berdasarkan penjelasan narator bahwa “Wali Negeri di kampung itu mengizinkan” (Navis 3) Duano tinggal di surau, “Wali Negeri telah menyediakan rumah yang pantas” (Navis 4) untuk Haji Tumbijo yang mengungsi di kampung, dan Wali Negeri punya “lawan-lawan politik” (Navis 13).
[15] “Ketika Haji Samsiah mau ke Mekah, ia kekurangan uang. Digadaikannya pohon kelapanya lima belas batang kepada Sutan Duano. Orang lain hanya mau memagangnya lima Rupiah. Tapi Sutan Duano mau saja memagangnya seberapa diminta Haji Samsiah ketika itu. Setelah setahun, pohon kelapa itu dipulangkan kembali. Mulanya disangka Haji Samsiah harus mengembalikan uang Sutan Duano. Maka tak menerimanya. Tapi tidak demikian halnya. Menurut Sutan Duano, selama kelapa itu dipagangnya, ia telah memperoleh hasil lebih dari seratus lima puluh rupiah. Karena itu ia telah berlaba. Tapi yang pokok, katanya, cara pegang gadai yang diadatkan oleh kampung kita ini, haram hukumnya. Tapi Haji Samsiah menyangka Sutan Duano kena hati padanya. Lalu dibeli pakaian bagus. Dengan pakaian yang bagus itulah ia pergi mengaji ke surau Sutan Duano setiap hari Kamis, malah hampir sepuluh kali dalam sehari ia lewat di surau Sutan Duano. Dimasaknya sambal enak-enak, diundangnya Sutan Duano makan ke rumahnya. Katanya ia hendak mendoa melepas niat karena ia telah selamat pulang Mekah.” (Navis 28)
[16] (1) Acin, (2) Buya Bidin, (3) Cilun, (4) Datuk Berbanso, (5) Datuk Malintang, (6) Datuk Maninjun, (7) Datuk Sanga, (8) Haji Tumbijo, (9) Kutar, (10) Lenggang Sutan, (11) Lembak Tuah, (12) Mak Adang, (13) Mak Bagindo Renceh, (14) Mak Cik Uyun, (15) Mak Pono, (16) Mak Samin, (17) Mak Sati, (18) Mak Tonjok, (19) Mak Tuah, (20) Mangkuto, (21) Maraiman, (22) Masri, (23) Maun, (24) Pandeka Sutan, (25) Rajinan, (26) Rajo Bodi, (27) Rajo Mantari, (28) Sutan Caniago, (29) Sutan Duano, (30) Sutan Malakewi, (31) Uwo Bile, (32) Uwo Tamin, (33) Uwo Tinik, (34) Uwo Unap, (35) Utam, (36) Wali Negeri.
[17] (1) Amah, (2) Arni, (3) Atun, (4) Bibah, (5) Gudam, (6) Iyah, (7) Jiah, (8) Marayam, (9) Sabai, (10) Samsiah, (11) Saniah, (12) Uncu Itam, (13) Uncu Limah.
[18] Saya juga menemukan beberapa tokoh tanpa nama dalam Kemarau, baik itu laki-laki dan perempuan. Namun, jika ditambahkan dengan tokoh-tokoh bernama, hasilnya tidak akan berbeda.
[19] “Aku [Iyah] menjadi tegar berkat tempaan kemalangan yang selalu kuderita akibat kauusir dulu. Kusediakan diriku dihantam kutukan Tuhan setiap hari. Kurelakan dosa-dosa merintis jalan ke neraka dengan sadar, asal mereka tetap berbahagia sebagai suami istri” (Navis 110).

Abdulmunib Sulotungke Almuthahhari
Abdulmunib Sulotungke Almuthahhari adalah juru tulis lepas kelahiran Wajo yang bermukim di Makassar. Setelah menempuh pendidikan agama selama sembilan tahun di Makassar dan Pohuwato, ia melanjutkan studi di Departemen Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin. Pada 2020–2021, ia menjadi juru tulis untuk Fauna & Flora International Maros–Pangkep Project. Saat ini ia aktif dalam penyuntingan dan penerbitan untuk salah satu penerbit di Makassar sambil bekerja di Direktorat Hubungan Alumni Universitas Hasanuddin.