Afrizal “Membunuh” Aku-Lirik (?)

Foto oleh Gregory Jasson

Afrizal Malna, yang menurut Geger Riyanto “…telah menanarkan audiens sastra tak kurang dari tiga dasawarsa”[1], adalah fenomena tersendiri dalam dunia perpuisian Indonesia. Puisi-puisi Afrizal Malna dianggap sebagai pemberontakan terhadap tradisi lirik yang mendominasi perpuisian Indonesia, paling tidak, sejak Chairil Anwar. Pemberontakan puitik tersebut hampir selalu dianggap menjadi sebab dari sulitnya memahami puisi-puisi Afrizal. Aku-lirik yang berfungsi untuk menjamin pemaknaan melalui penjalaran sensibilitas dari teks puisi ke pembaca, menurut Geger, dibunuh Afrizal untuk menghadirkan tubuh dan pengalaman tubuh secara langsung tanpa perantara mode pemaknaan kebahasaan apapun.

Mohammad Al-Fayyadl[2] yang menyebut Afrizal sebagai “Anti-Kristus” dalam dunia puisi Indonesia, menyatakan puisi-puisi Afrizal mengguncang fondasi konsepsi puitika, struktur dan aku-lirik, yang menjadi basis pembacaan dan pemahaman puisi liris. Bagi Fayyadl, penghancuran terus-menerus struktur dan aku-lirik, meskipun dianggap sebagai proyek pembebasan dari fasisme Hukum dengan menyingkapkan trauma kebahasaan, berisiko terjatuh dalam penghancuran diri sendiri dan nihilisme absolut. Jika Geger Riyanto lebih memandang puisi-puisi Afrizal sebagai pembunuhan aku-lirik, Al-Fayyadl juga mempermasalahkan persoalan struktur dan formal kebahasaan. Namun demikian, sebagaimana Geger, Al-Fayyadl juga melihat keterjerembaban ke dalam kenihilan total sebagai risiko yang dihadapi oleh aksi pembunuhan aku-lirik.

Pada kenyataannya, puisi-puisi Afrizal hampir selalu diposisikan bertentangan dengan lirisisme dalam hampir semua pembahasannya. Afrizal sendiri tidak menolak puisi-puisinya disebut antilirik, meskipun puisi-puisi awalnya, Abad yang Berlari (1984), dianggapnya masih berada dalam medan gravitasi aku-lirik. Dalam “Kota di Bawah Bayangan Api”[3], Afrizal memberikan argumen mengapa ia membunuh aku-lirik: istana puisi, bahasa, telah terbakar dan membawa serta bersamanya aku-lirik. Aku-lirik yang hubungannya dengan tubuh dikonstruksi oleh emosi/perasaan yang disuling dari bunyi bahasa rontok di hadapan simultanitas dan komodifikasi ruang-waktu. Bahasa telah direnggut-lepaskan dari tubuh personal—tubuh natur/murni, daging dan darah—dan menjadi buas mengagresi tubuh.

Perhitungan habis-habisan terhadap bahasa menjadi agenda Afrizal selanjutnya. Bahasa yang terbentuk dari struktur dan kaidah dan juga dihidupi spirit komunitas (relasi sosial) di dalamnya tidak hanya berfungsi sebagai medium bagi pesan. Bahasa adalah juga benda (barang) yang memiliki nilai guna yang mengacu pada fungsinya sebagai medium dan nilai komoditi yang berfungsi menempatkan “aku” dalam relasi sosial. Jika nilai komoditi membanjiri nilai guna, elemen spirit membanjiri struktur dan kaidah, bahasa akan menjadi agresif dan menghisap tubuh ke dalam komunitas.

Sementara, simultanitas ruang-waktu yang dikonstruksi teknologi internet adalah juga pasar bahasa raksasa yang terus-menerus mendorong naik produksi informasi yang berimplikasi pada pencarian sumber-sumber informasi baru sampai ke wilayah-wilayah immemorial. Membludaknya informasi sebagai akibat naiknya produksi secara langsung juga menjadi refleksi dari membengkaknya permintaan, sebab produksi bahasa secara inheren juga konsumsi bahasa. Aktivitas konsumsi bukan hanya menciptakan objek bagi subjek, tetapi juga menciptakan subjek bagi objek; inilah momen fetisisasi bahasa, ekses dari nilai komoditi bahasa yang menciptakan identitas bagi tubuh dalam relasi sosial yang semakin luas dan dalam. Imperialisasi kerajaan bahasa menundukkan aku-natur pada aku-kultur, mengimplikasikan pengalaman tubuh selalu sudah dalam keadaan terdefinisikan dan terindeksasi dalam kategori-kategori kebahasaan; bahasa tumbuh meraksasa dan melahap aku-tubuh.

Tidak ada jalan keluar tubuh dari simulakra, kecuali menghentikan nilai komoditi bahasa, mengusangkan bahasa, melucuti fungsi sehari-harinya dan merontokkan segala relasi sosial yang menjadi spiritnya. Kehidupan otentik bagi tubuh adalah juga kehidupan otentik bagi puisi. Oleh karena itu, bagi Afrizal, pembebasan tubuh dari aku-kultur adalah juga pembebasan puisi dari penjajahan aku-lirik. Penghentian nilai komoditi bahasa melalui plot museum, yang tampak seperti nalar Dada (payung dan sepeda pancal di ruang operasi), terbabar seperti dalam Teman-Temanku dari Atap Bahasa (2008) dan Museum Penghancur Dokumen (2013). Kelak, Museum Penghancur Dokumen menjadi pintu keluar dari otentisitas radikal, diumumkan dalam esai penutupnya sendiri; “Catatan di Bawah Bayangan”,   “… ingin menutup seluruh puisi-puisi dalam kumpulan ini (museum penghancur dokumen – pen.)”[4].

Tampaknya plot museum, mengusangkan bahasa dengan melucuti fungsi sehari-harinya, pada akhirnya dilihat Afrizal sebagai kesia-siaan. Penghancuran sintaks, frasa, atau klausa sebagai strategi pengusangan untuk memunculkan bahasa puitik yang sebanding dengan kehadiran tubuh ternyata masih menyisakan sistem fonetik yang tidak memungkinkan puisi dibaca di luar bahasa. Bahasa di dalam puisi Afrizal ditemukan seperti pecahan keramik yang bentuk pecahan dan glasir atau pola ornamentalnya dapat menuntun pada bayangan bentuk utuhnya dan bayangan komunitas sosial yang memproduksinya.

Ketakmungkinan mengosongkan relasi sosial dari dalam tubuh-natur dan puisi menyergap Afrizal setelah membaca esai kuratorial Carolyn Christov-Bakargiev untuk dOKUMENTA (13)[5]; “The dance was very frenetic, lively, rattling, clanging, rolling, contorted, and lasted for a long time”[6], esai yang menghapus batas-batas seni sebagai konsekuensi dari simultanitas ruang-waktu dalam kultur teknologi internet global. Seni tidak hanya dipandang seperti ubur-ubur yang tampak membaur dalam lingkungan luas pemikiran, seni juga seperti spons yang mampu menyerap sejarah, kekinian, dan masa depan yang dibayangkan. Batu meteor El Chaco yang diacu laksana monumen Deleuzian barangkali dapat menjadi titik pijak paling tepat untuk pemikiran Christov-Bakargiev yang tak lagi memedulikan antara seni dan nonseni. Batu meteor seberat 37 ton yang jatuh di Gancedo, Argentina, tidak hanya dipandang sebagai objek batuan. Lebih dari itu, El Chaco yang usianya lebih tua dari bumi      menyimpan sejarah yang merentang dari luar angkasa sampai di titik pamer depan Museum Fridericianum Kassel hingga kelak kembali ke ruang pamer terbukanya di Gancedo. Melalui penyingkapan intraaksi aparatus kolektif suatu fenomena yang secara simultan menghapus keliyanan, Christov-Bakargiev mendekati runtuhnya batas-batas ruang dan waktu dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang dikarakterisasi oleh teknologi internet global.

Kondisi kolektif dan penolakan definisi seni yang dibatasi membawa seni tidak lagi menjadi sekedar artefak ideasional, tetapi, dengan prinsip diskursif-material, seni menciptakan kedalaman dirinya  dengan mematerialkan ide sebagai tindakan nyata. Praksis prinsip simultanitas ruang-waktu yang mencakup kondisi kolektivitas dan diskursif-material di dalamnya diproyeksikan dalam pembukaan kembali The One Hotel-nya Alighiero e Boetti di Kabul, Afganistan, setelah tiga puluh tahun lebih. Dalam pembukaan kembali The One, Mario Garcia Torres tidak hanya menempatkan dirinya, sebagai individu di dalam titik yang dikepung peperangan, tapi sekaligus memposisikan dirinya sebagai Alighiero e Boetti, seniman konseptual gerakan Arte Povera Italia, yang membuka The One saat Kabul merupakan kosmopolitan yang damai. The One 2011–2012 mewadagkan kembali imajinasi The One 1971–1977 dalam kondisi kontradiktif, pewujudan dari yang disebut Christov-Bakargiev sebagai imajinasi radikal. Penempatan Garcia Torres, juga aktivitas-aktivitasnya, di antara dunia nyata dan fiksional seperti menggemakan kembali konsep dan praksis kedirian ganda Alighhiero e Boetti: seniman publik dan personalitas pribadi, Shaman/Showman.

Afrizal Malna menemukan museum penghancur dokumen sebagai kediriannya yang problematik. Pengusiran kolektivitas terus-menerus untuk mengosongkan ruang internal dirinya guna menegakkan individualitas murni, dipandang melalui perspektif Carolyn Christov-Bakargiev, sebagai kesia-siaan. “Gempa” yang dipicu esai kuratorial Christov-Bakargiev membuat Afrizal melihat keseluruhan relasi ekologis yang menjangkau waktu-waktu memorial dan immemorial beserta segala implikasi yang menyertai pada waktu-waktu yang dijelangnya sebagai kedirian baru. Ide performatif sebagaimana gerak tumbuh tunas baru bersama sebaran-sembarang penjalaran akar rimpang yang suara desis halusnya hanya dapat didengar telinga masa depan tampaknya menjadi pegangan puitik baru bagi Afrizal.

Berlin Proposal (2015) datang dengan plot museum; plot museum yang mengembalikan spirit dengan membiarkan bahasa yang sudah loak hadir sebagai objek kasat, seperti laci terbuka yang menyimpan dokumen kehidupan di dalamnya. Puisi, kemudian, adalah ruang teater artefak-artefak bahasa yang mempertemukan tubuh, bekas tubuh, tubuh lain, dan bakal tubuh yang berada di luar dan di dalam bahasa. Ini tentang pendirian monumen Deleuzian, yang dengan berfondasi akar-akar rimpang dirancang agar getaran dari visualitasnya dapat didengar telinga-telinga masa depan. Monumen yang didirikan dengan mendongkel akar tunjang berhala antroposentris yang berdiri kokoh sejak Pencerahan. Karenanya puisi bukan tentang memancang aku-lirik sebagai suar di puncak menara Babel, tetapi tentang runtuhnya menara Babel yang dari puing-puingnya menyebar-menjalar bakal-bakal kehidupan. Tubuh seperti pintu yang senantiasa terbuka, seseorang adalah rumput teki. Ini terdengar seperti kalimat untuk menutup ucapan terima kasih dalam “catatan moabit”: “Bersama mereka, sebenarnya saya telah menjadi ‘seorang majemuk’ untuk buku puisi ini”[7]. Akankah aku-lirik sintas dalam puing-puing menara Babel? Atau, seperti kata Afrizal, “Aku-lirik tidak bisa dikembalikan ke ruang puisi seperti ini melalui bahasa karena ruang reproduksinya memang sudah tidak ada”[8].

 

Bagaimana Aku-Lirik Ada?      

Kepalsuan bahasa bukan pernyataan yang baru muncul pada zaman yang dikarakterisasi teknologi internet global saat ini. Plato pada masa Yunani kuno telah menyatakan kepalsuan bahasa yang diimplikasikan oleh teknologi tulisan. Dalam Phaedrus, Plato tidak hanya memperingatkan bahaya tulisan yang dapat memperlemah memori biologis. Bahasa tulisan, menurut Plato, merupakan mesin simulakra; membuat tuturan meninggalkan penuturnya, dan merelasikan penutur yang ditinggalkan dan aku-tulisan melalui metode lexis. Melalui lexis aku-penutur berhubungan dengan aku-tulisan: mengidentifikasi diri pada aku-tulisan, menyembunyikan diri di balik aku-tulisan, dan membedakan diri dari aku-tulisan. Penulis seperti sedang melakukan ngrogo-sukmo[9] melalui tulisan. Bagi Plato, tulisan mengacaukan penyekatan ruang sosial subjek individu dan melanggar norma kehidupan bersama alamiah yang ditopang dan menopang praktik partisi sosial. Inilah momen politis bahasa palsu yang disebabkan tulisan. Kekacauan etik dalam tulisan ini kemudian ditertibkan Aristoteles melalui prinsip representasi mimetik dengan mengatur kedirian karakter (inventio), tindakan karakter (dispositio), dan cara berbicara karakter (elocutio) agar sesuai dengan kaidah sosial (decorum). Prinsip representasi melahirkan genre epik/tragedi dan komedi/parodi, mengkorespondensikan subjek imitatif (karakter/aku-tulisan) dengan kepantasan cara mengada yang memisahkan elite dan jelata.

Aku-lirik tidak tercakup dalam genre epik/tragedi dan komedi/parodi.[10] Lirisisme tidak mengatur relasi aku-penyair dan aku-puisi dalam metode lexis. Aku di luar dan aku di dalam puisi lirik adalah aku yang tidak mendua. Lirisisme yang berada di luar prinsip representasi dan kefasihan lexis menguat bersama pasang naik individualisme, lebih mengacu tulisan sebagai ekspresi daripada medium presentasi. Namun demikian, lirisisme bukan persoalan mengekspresikan diri-sendiri terkait pengalaman psikologis dan/atau mengekspresikan pergulatan mendalam dengan alam. Lirisisme adalah persoalan metode tuturan yang spesifik, cara aku-penyair mengiringi tuturannya sendiri guna meletakkan dirinya sendiri dalam ruang perseptual tulisan dengan memberikan irama perjalanan, pengembaraan, atau petualangan. Pohon, ombak, gunung, langit—pendeknya objek-objek alam—dalam puisi romantik, pertama-tama bukan berkaitan dengan pengalaman dimabuk alam, namun lebih berperan sebagai juru pengiring guna memungkinkan “aku” meretas jalan pada tubuh puisi agar tercipta ruang untuk kehadiran narsis secara langsung. Oleh karena itu, jarak antara aku-lirik dan aku-penyair dalam puisi liris bukan jarak yang diisi mekanisme representasi mimetik, tetapi jarak yang ditempuh metafora.

Metafora secara etimologi berasal dari kata “metapherein” yang berarti mengirim. Metafora bukan kata benda tetapi kata kerja, kekuatan pengubah; memproses secara tak kasat mata hal-hal (things) untuk menjadi ada. Dalam puisi liris, metafora merelasikan aku-penyair pada objek tertentu dalam teritori tulisan agar dapat hadir dalam puisi. Penyelinapan aku-penyair dalam puisi, karenanya, tidak ditandai oleh ada tidaknya kata ganti subjek pertama. “Mekanisme representasi”  metaforis berbeda dengan mekanisme representasi mimetik yang membasis pada seperti dan seolah-olah.

Aku-lirik sebagai narsis adalah bayangan penyair itu sendiri, bayangan yang tidak mungkin hadir tanpa diiringi tubuh penyair itu sendiri. Menjadi bayangan melalui sarana metafora adalah bermain di antara cahaya (tindakan) dan kegelapan (suara), antara yang dapat dilihat dan yang dapat dikatakan, memungkinkan “aku” dapat koeksis dengan tuturannya. Inilah cara penyair menghadirkan dirinya sendiri dan menjadi kembarannya di dalam kamar gema bersama tuturan puisinya, seperti “kau”-nya Chairil Anwar dalam “mampus kau dikoyak sepi”. “Aku” yang mengiringi puisi dan “aku” yang dihasilkan gema dan tindakannya (“kau”) adalah juga subjektivitas pengembara yang melintasi suatu teritori tertentu dan membuat kata-kata bertemu dengan hal-hal (things), tuturan bersama visinya, sehingga perjalanan mengimplikasikan suatu hubungan dengan “kita” komunitas.

Aku-lirik dalam puisi-puisi Afrizal, karena itu, sepenuhnya berada dalam problem metafora sebagai sarana metode subjektivikasi dan figurasi pada puisi lirik yang harus menyesuaikan dengan kondisi teknologi internet global, teritori pengembaraan baru. Selanjutnya, marilah kita membaca “Memotret Cermin”, salah satu puisi dalam Berlin Proposal (2015), yang mungkin dapat mewakili penjelajahan teritori pengembaraan baru tersebut.

 

Memotret Cermin[11]

“Memotret Cermin” yang merupakan susunan huruf-huruf yang berpusar dengan pola tertentu (lihat gambar 1 dan gambar 2) jika kita mengikuti urutan alfabet. Kita tahu mata pusar di tengah-tengah itu terdiri atas huruf c, h, m, r, dan w. Bukan karena secara visual huruf-huruf itu dapat ditangkap mata, tetapi karena ingatan akan urutan alfabet memandu kita merapikan pola penyusunan huruf-huruf pada puisi yang dapat diamati. Pusaran tersebut seharusnya berakhir pada huruf z dan kemudian kembali ke a untuk memulai pusaran lagi. Tetapi z berada di luar pusaran. Seperti knop, z adalah huruf yang dapat mengakhiri dan mengawali gerak memusar jika “Memotret Cermin” dibaca mengikuti pola urutan alfabet. Artinya, untuk memulai dan mengakhiri memerlukan kekuatan lain (lompatan), revolusi. Revolusi memiliki dua arti sekaligus, secara etimologis berarti berpusar lagi (revolvere) dan arti politisnya adalah perubahan mendasar. Dari z kita dapat melompat ke a dan berpusar mengikuti pola urutan alfabet atau melompat ke sesuatu yang belum terdefinisikan—menemukan pola baru di luar pola urutan alfabet di dalam pusaran atau melompat ke luar pusaran.

“Memotret Cermin” adalah proyek perekaman bahasa, bukan untuk mengubah bahasa, tetapi untuk menyingkapkan hubungan-hubungan. Apa yang dihasilkan oleh alat rekam bukan bahasa sebagai tuturan, tetapi bahasa sebagai data. Sebagai data, bahasa melepaskan asal-usulnya (urutan alfabet, sistem fonetik, struktur sintaks, dan sebagainya), menjadi permainan free play di mana ruang sejarahnya dapat diisi kembali dengan hubungan sembarang di masa depan. Melepaskan asal-usulnya bukan menghapus asal-usul, tetapi membebaskan asal-usul dari basis legitimasi otoritas politik tertentu, mencegahnya menjadi kode (codex/norma) dengan mengacu asal-usul sebagai hubungan-hubungan rhizomatik.

Puisi yang dibuat dari rekaman bahasa, oleh karena itu, selalu menyadari bahwa hubungan-hubungan yang tersimpan di dalamnya, bukan hanya hubungan penyair dan editor/kurator, tetapi juga mesin cetak dan segala situasi yang melingkupi dalam proses produksi. Di samping hubungan-hubungan dalam proses produksi tulisan, puisi sebagai produk dari rekaman bahasa yang bersifat material (buku atau apapun bentuknya) selalu menyerap hubungan-hubungan pascaproses produksi tulisan, seperti hubungan-hubungan dalam pendistribusian, promosi, penjualan, diskusi-diskusi, dan sebagainya. Dapat dibayangkan, bagaimana kamus atau tesaurus dapat diledakkan oleh bom makna yang disimpan dalam kondisi dorman oleh puisi. Menulis menggunakan rekaman bahasa atau data seolah menghapus individualitas dalam tuturan individual dengan mengintegrasikannya ke dalam tuturan kolektif. Pemaknaan bukan lagi persoalan menemukan sebuah kunci, tetapi memetakan hubungan pintu-pintu yang selalu telah terbuka. Pintu-pintu yang membuka dirinya kepada masa depan, membuka dirinya untuk semaian titik-titik tumbuh, seperti “mesin percetakan orang ketiga”[12]; kehidupan baru setelah Z, setelah mayat-mayat orang ketiga. Revolusi.

“Memotret Cermin” adalah semacam monumen Deleuzian[13]; minor literature[14], “bukan puisi Indonesia”, yang vibrasinya tidak dapat didengar oleh telinga hari ini yang patuh terhadap konsep formal pemaknaan, tapi dirancang untuk menyingkapkan rahasia bagi telinga masa depan. “Memotret Cermin” sebanding dengan memotret bahasa; memelintir bahasa, mencengkam dan mengoyaknya untuk merenggut data dari kode, rasa dari perasaan, sensasi dari gosip, nyala dari api. Membuat bahasa menjadi kasat dan akustik, seperti celotehan       bayi, jeritan binatang, erangan–kekacauan inhuman yang membuat memori berjarak dari masa lalu, menyeret masa lalu tanpa mengingat dan merapikannya. Masa lalu diterjemahkan sebagai tubuh, sebagai kehidupan; mengubahnya dari biografis menjadi kolektif, dari privat menjadi politis.

Pada puisi lain, “Hotmail: Otto Dix”[15]; salinan lukisan wajah menuju perang dan pulang perang yang mempetrifikasi hubungan-hubungan biografis masa lalu hanya mungkin menjelma kehidupan dengan menjadi objek sensible yang hadir melalui hubungan-hubungan yang dijalin Dietrich Schubert dan Silke Behl yang kemudian dipetrifikasi kembali menjadi objek sensible, “hard disk”, dalam perjalanan kereta api Bremen-Berlin. Perjalanan menuju perang-pulang perang Otto Dix menjadi cat minyak di atas kanvas menjadi buku Dietrich Schubert menjadi komentar Silke Behl menjadi hard disk yang hidup dalam badai (torrent) Google dalam perjalanan kereta api Bremen-Berlin: Odysseus dalam Iliad Homer hanya dapat hidup kembali dalam tubuh nelayan yang duduk menunggu badai reda dalam kedai penuh asap di Mediterania. Bahasa adalah perjalanan menubuh, persis sebagaimana fungsi metafor (metapherein); memindah. Seperti Jacques Ranciere bilang, pada mulanya adalah Kalam, firman Tuhan, bukan awalnya yang sulit, tetapi akhirnya. Setelah Tuhan pergi yang tinggal hanya kata-kata, tulisan yang harus terus-terusan berbicara melalui dirinya sendiri, kelayapan mencari tubuh-tubuh berdaging.

 

Kembalinya Aku-Lirik

“Bahasa membentuk dunianya sendiri. Bahasa hanya bermain dengan dirinya sendiri, tak mengekspresikan apa-apa kecuali alamnya sendiri yang menakjubkan, dan hanya untuk alasan ini bahasa sangat ekspresif – hanya untuk alasan ini permainan ganjil hubungan antara hal-hal  dicerminkan di dalam dirinya. Hanya melalui kebebasannya bahasa menjadi elemen-elemen alam dan di dalam pergerakan bebasnya jiwa dunia menjelmakan dirinya sendiri di dalam bahasa dan membuat bahasa menjadi jangka yang sensitif dan menjadi rencana dasar hal-hal”.
(Monologue, Novalis[16])

Penjungkirbalikan tatanan hierarkis rezim representasi dengan pengutamaan metode elocutio (cara bertutur/gaya) pada romantisisme telah mendorong munculnya teori modern yang membuat bahasa tampak menjadi suatu sistem tertutup yang belaka merujuk pada dirinya sendiri. Namun, karena bahasa telah menyimpan komunitas di dalam dirinya sendiri, bahasa telah dengan sendirinya mencerminkan dunia. Hubungan antara bahasa yang secara inheren mencerminkan dunia dan penggunaan bahasa sebagai mesin representasi dunia telah menjadi pokok persoalan yang tak pernah ada habis-habisnya bagi para penyair romantik. Secara simultan hubungan ini juga mengabstraksikan antara kebebasan dan ketundukan; antara      otonomi  bahasa yang dapat membangkitkan dunia di dalam dirinya dan heteronomi bahasa yang mengikuti mau dunia. Namun, dunia tidak pernah menjadi Dunia (“D” besar) yang merupakan Realitas apa adanya. Dunia adalah dunia yang dipersepsikan, dunia yang merupakan produk dari pengalaman indrawi yang diorganisasi secara politis, dunia yang polemis. Inilah yang kemudian menyeret subjek romantik terpusar dalam badai bahasa (cara bertutur/gaya).

Sebagaimana para penyair romantik, Afrizal Malna juga “bertarung” di dalam bahasa, menyelam ke dalam retakan antara bahasa dan dunia, antara word dan thing. Pertarungan yang pada dasarnya adalah upaya untuk mencari cara bertutur atau mengekspresikan yang dipikirkan atau dirasakan dengan tepat. Oleh karena itu, pertarungan adalah juga upaya untuk membersihkan bahasa dari berbagai bangkai bahasa mati yang diakibatkan oleh agresi memori penggunaannya yang berulang-ulang dan tak terbendung. Inilah momen yang melempangkan jalan menuju penemuan metafora, penemuan bahasa baru: momen puitik. Momen Afrizal Malna menyibakkan ruang di dalam tulisan dengan menghidupkan benda-benda, menguras memori relasi kebahasaan dari ruang personal yang mengimplikasikan ketakterperian individualitas atau kehadiran yang tak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa, dan menerima relasi kebahasaan sebagai akar rimpang yang menyimpan bakal-bakal kehidupan baru sebagai cerminan kehadiran diri langsung yang biografis sekaligus kolektif dan yang privat sekaligus yang politis.

Afrizal Malna boleh saja menyatakan ia membunuh aku-lirik di dalam puisi-puisinya. Namun, pada kenyataannya, penyibakan ruang di dalam tulisan, yang memungkinkan penemuan metafora, sekaligus adalah operasi pemindahan aku-penyair ke dalam tulisan. Aku-lirik yang dibunuh bersama kebakaran bahasa kembali ke dalam teritori baru tulisan yang dikarakterisasi oleh komodifikasi informasi dan simultanitas ruang yang diimplikasikan oleh kultur internet global. Kondisi yang memungkinkan tulisan diacu sebagai data      mendorong munculnya metode subjektivikasi baru yang berangkat dari individualitas yang takterperikan (subjek murni atau subjek kolektif), relasi subjek–tulisan bergeser menjadi subjek–data.

Aku-lirik kembali tanpa figurasi pohonan, langit, bulan, atau angin. Aku lirik kembali bersama figurasi-figurasi potret pohonan, potret langit, potret bulan, atau potret angin. Pada abad 18, Denis Diderot menyitir pandangan umum masa itu untuk mengungkapkan keindahan alam—pokok pohon, batang, ranting, daunan mengiris-iris cahaya hingga membentuk gradasi gelap-terang yang indah—dengan mengatakan “Sungguh sebuah lukisan! Ini sangat indah!”[17]: ini bukan pernyataan tentang pudarnya hubungan dengan alam, tetapi mengungkapkan naturalisasi kultur yang tumbuh dari pengalaman baru atas realitas yang terus memuai. Realitas yang selalu merupakan produk dari persepsi subjek yang dibentuk oleh pengalaman aktual.

 

[1] Geger Riyanto, “Sajak yang Berlari dari Diri: Proyek Peluruhan Aku-Lirik Puisi-Puisi Afrizal Malna” https://basabasi.co/sajak-yang-berlari-dari-diri-proyek-peluruhan-aku-lirik-puisi-puisi-afrizal-malna/

[2] Muhammad al Fayyadl, “Tiga Halaman Belakang untuk Puisi-Puisi Afrizal Malna” https://pdfcoffee.com/muhammad-al-fayyadl-tiga-halaman-belakang-untuk-puisi-puisi-afrizal-malna-pdf-free.html

[3]  https://johnferrysihotang.wordpress.com/2013/03/17/afrizal-malna-kota-di-bawah-bayangan-api/

[4] Afrizal Malna,  “Catatan di Bawah Bayangan”, dalam Museum Penghancur Dokumen, Garudhawaca, 2013,      hlm. 104.

[5] Ibid.

[6] https://paralelotrac.wordpress.com/wp-content/uploads/2012/10/the-dance-was-very-frenetic.pdf .

[7] Afrizal Malna, “Catatan Moabit” dalam Berlin Proposal, Penerbit Nusa Cendekia, 2015., hlm. 10.

[8]  Baca dalam Afrizal Malna “Kota di Bawah Bayangan Api” https://johnferrysihotang.wordpress.com/2013/03/17/afrizal-malna-kota-di-bawah-bayangan-api/

[9] Ilmu spiritual Jawa (Kejawen) untuk memisah ruh dari tubuh dan membuat ruh dapat memasuki dimensi lain (astral).

[10] Konsep aku-lirik yang ditarik dari “lirisisme” nyanyian yang diiringi lira pada masa Yunani kuno hingga ke masa romantisisme dan mode penempatan aku-lirik dalam tulisan (puisi) pada bagian ini bertumpu pada gagasan Jacques Ranciere yang termuat dalam The Flesh of Words (terjemahan Charlotte Mandell), Stanford University Press, 2004,  hlm. 9–16 (bagian 1 “The Politics of the Poems”, Bab “From Wordsworth to Mandelstam: The Transports of Liberty”).

[11] ——, Berlin Proposal, Penerbit Nuansa Cendekia, 2015, hlm. 13.

[12]

[13] Ibid., hlm. 17.

[14] Saya memahami konsep minor literature adalah bentuk spesifik, yakni sastra, dari konsep monumen Deleuze-Guattari yang merupakan formula revolusioner untuk seni secara umum. Minor literature memiliki tiga karakteristik; suatu konstruksi minor dalam bahasa mayor, semua yang dikandungnya politis, dan semua yang dikandungnya memiliki nilai kolektif. Silahkan baca Gillez Deleuze & Felix Guattari, (Dana Polan, penerjemah ), “What is Minor Literature” dalam Kafka: Toward a Minor Literature, University of Minnesota Press, 2003, hlm. 16–27.

[15] Afrizal Malna, Berlin Proposal, Penerbit Nusa Cendekia, 2015, hlm. 38–39.

[16] Novalis (Margaret Mahony Stoljar, penerjemah), Philosophical Writings, State University of New York Press, 1997, hlm. 83. “These constitute a world of their own. They play only with themselves, express nothing but their own marvelous nature, and just for this reason they are so expressive – just for this reason the strange play of relations between things is mirrored in them. Only through their freedom are they elements of nature and only in their free movements does the world soul manifest itself in them and make them a sensitive measure and ground plan of things”.

[17] Denis Diderot (John S.D. Glaus, penerjemah), On Art and Artists: An Anthology of Diderot’s Aesthetic Thought, Springer, 2007, hlm. 87. Our steps stop involuntarily, our looking walks onto this magical canvas as we say to ourselves: “What a painting. Oh! This is so beautiful!” It appears that we consider nature to be a result of art and in return if the painter can repeat the same spell onto the canvas, it appears that we are looking at the effect of art as though it were that of nature“. (Tanpa sengaja langkah kita terhenti, pandangan kita tertuju pada kanvas ajaib ini seraya kita bicara pada diri kita sendiri: ‘Sungguh sebuah lukisan. Oh! Ini sangat indah!’ Tampaknya kita menganggap alam sebagai hasil seni, dan sebaliknya, jika pelukis dapat mengulang sihir yang sama pada kanvas, nampaklah kita sedang melihat efek seni seolah-olah efek alam).

 

Blog21 Mei 2025

Dwi Pranoto


Esai-esainya dimuat di media cetak dan elektronik seperti Jawa Pos, tengara.id, dan Indoprogress. Sebagai pemenang pertama Sayembara Kritik Sastra tahun 2020 yang diselenggarakan Badan Bahasa, esainya dimuat dalam Teks, Pengarang, dan Masyarakat (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 2020). Karya terjemahannya, Piramid (Marjin Kiri, Jakarta 2011), Sang Terpilih (Penerbit Gading, Yogyakarta 2021), sedangkan yang akan diterbitkan adalah The Art of not Being Governed (Kajian Asia Tenggara Daratan karya James C. Scott, akan diterbitkan Marjin Kiri, Jakarta) dan The Long Revolution (karya "klasik" Raymond Williams, akan diterbitkan Penerbit Gading, Yogyakarta).