Membaca Ulang “Robohnya Surau Kami” dan “Man Rabuka”

Foto oleh Gregory Jasson

Apa yang dikemukakan A.A. Navis dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” adalah rasionalitas kehidupan beragama yang kita perlukan, bukannya sesuatu yang harus ditakuti.

(K.H. Abdurrahman Wahid)

Marilah kita gunakan surau ini untuk beribadah secara benar sehingga Ajo Sidi tidak usah datang ke sini menyindir kita.

(Drs. Yusra Tansin)

 

SETIAP kali nama Ali Akbar Navis atau yang lebih dikenal sebagai A.A. Navis disinggung, barangkali serta merta kita bakal teringat pada cerpennya “Robohnya Surau Kami” (selanjutnya disingkat “RSK”) yang disebut-sebut sebagai karya masterpiece dari peraih The S.E.A. Write Award 1992 itu.

Dipublikasikan pertama kali dalam Kisah pada 1955, “RSK” di tahun yang sama juga terpilih sebagai cerpen terbaik majalah sastra asuhan H.B. Jassin tersebut. Kendati demikian, cerpen ini menjadi sebuah karya yang cukup terkemuka bukanlah semata-mata lantaran pencapaian estetikanya, melainkan juga dikarenakan isinya yang menimbulkan pro-kontra di kalangan Islam, di mana sebagian umat menganggapnya mengejek agama Islam. Bahkan setelah cerpen ini bersama tujuh cerpen lainnya dibukukan dengan judul yang sama oleh N.V. Nusantara pada 1956, Navis juga dituduh sebagai orang komunis dan Murba.[1]

Kontroversi yang sama terjadi pula pada cerpen “Man Rabuka” (selanjutnya disingkat “MR”) yang ditulis oleh Navis dua tahun berselang. Bahkan cerpen yang diterbitkan oleh dua media—harian Nyata di Bukittinggi dan majalah Siasat di Jakarta—itu menuai kecaman lebih keras lagi, termasuk dari Majelis Ulama Indonesia. Sehingga baik Nyata maupun Siasat kemudian terpaksa mencabut “MR” dan meminta para pembaca menganggapnya tak pernah terbit.

Sejak itulah—berbeda nasib dengan “RSK” yang masih terus dibicarakan usai dibukukan—“MR” bukan saja tak pernah dibahas dalam kajian sastra Indonesia, tetapi boleh dibilang seperti raib dari muka bumi. Setidaknya sampai setengah abad kemudian ketika Ismet Fanany, dosen dan peneliti dari Deakin University, Victoria, menemukannya di edisi majalah Siasat yang tersimpan dalam bentuk microfiche (lembaran film 10 x 15 cm) di Perpustakaan Monash University, Melbourne.

Seperti yang dianalisis Fanany, cerpen ini bisa lenyap karena tiga sebab. Pertama, karena banyak orang menganggap “MR” memberikan gambaran yang tidak baik tentang Islam. Kedua, cerpen ini diduga sebagai lanjutan dari “RSK”. Dan ketiga, cerpen ini terbit di tengah suasana tegang menjelang meletusnya pemberontakan PRRI di Sumatera Barat.[2]

Karena itu dalam catatan ini, saya akan mencoba memeriksa “RSK” dan “MR”, baik dari sisi bentuk maupun dengan melakukan pembacaan dekat terhadap isinya. Seperti apakah strategi literer yang dimainkan oleh Navis? Dan apa sesungguhnya motif Navis menulis cerpen-cerpen ini? Benarkah keduanya memang memiliki kecenderungan melecehkan Islam?

 

Perihal bentuk: Cerita Berbingkai

DARI aspek struktur naratif, “RSK” maupun “MR” adalah jenis cerpen yang dapat digolongkan sebagai cerita berbingkai (frame story, frame narrative)[3], yang di dalamnya kita menemukan “cerita-dalam-cerita” (a story within a story)—di mana cerita sisipannya bukan saja menjadi pusaran konflik dalam narasi tetapi juga menjadi “nyawa” dari kedua cerpen tersebut.

Bahkan keduanya juga ditulis menggunakan teknik pengisahan yang sama; dengan permainan alur, cara penyisipan cerita, fokalisasi dan pola interaksi antar tokoh, serta gaya pembukaan kisah yang cukup mirip satu sama lain. Coba perhatikan teknik pembukaan cerpen “RSK” dan “MR” yang saya kutip di bawah ini:

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang ke lima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi. (Navis, “RSK”, 171)
Apatah lagi baiknya kuceritakan, kawan, tentang kepulanganku ke kampung yang sudah lama kutinggalkan? Tentang kampungku yang kian sunyi? Tentang rumah-rumah yang telantar tak didiami lagi? Tentang rumput-rumput yang melela di jalanan? Atau muka orang tua-tua yang memuram? (Navis, “MK”, 232)

Dari dua kutipan di atas tampak bagi kita bagaimana dalam mengawali kedua cerpennya tersebut, Navis tak hanya sama-sama menghadirkan kepada para pembaca deskripsi mengenai kampung halaman narator, melainkan juga memakai point of view (POV) yang serupa untuk menggambarkannya, yakni melalui pandangan character-narrator yang terlibat langsung dalam cerita. Sudut pandang inilah yang membuat “RSK” dan “MR” dapat  kita kategorikan sebagai cerita berfokal internal[4] sekaligus cerpen homodiegetic dengan narator sebagai tokoh sekunder yang berfungsi jadi pengamat atau saksi.[5]

Perbedaan dari narator kedua cerpen ini adalah apabila dalam “RSK”, narator ‘aku’ merupakan seorang tokoh yang tinggal menetap di kota kelahirannya; dalam “MR” ia adalah tokoh yang baru pulang kampung untuk menziarahi makam orangtua dan adik kandungnya Raman. Tak banyak yang bisa kita ketahui mengenai kedua character-narrator ini melalui penuturan terbatas mereka sendiri sebagai ‘pemandang yang berada dalam kisah’ selain kehadiran mereka yang seolah-olah lebih berperan sebagai pendengar atas cerita tokoh lain yaitu cerita Ajo Sidi si pembual kepada Kakek Garin dan cerita Raman kepada Atik Peto si tukang batu.

Ya, kisah-kisah yang dituturkan kembali oleh karakter Kakek Garin dan Atik Peto kepada narator-tokoh inilah yang mengukuhkan “RSK” dan “MR” sebagai cerita berbingkai. Sebuah teknik naratif yang jejaknya tentu saja dapat kita lacak dari Mahabharata, Ramayana, Panchatantra dalam sastra klasik India dan the Papyrus Westcar, the Tale of Shipwrecked Sailor, the Eloquent Peasant di Mesir kuno sampai Odyssey karya Homer dan the Canterbury Tales yang ditulis Geoffrey Chaucer. Dari Cerita Seribu Satu Malam (One Thousand and One Nights atau Arabian Nights) di Baghdad hingga Max Havelaar karya Multatuli dan karya-karya prosa Jorge Luis Borges. Bahkan dalam khazanah kesusastraan Melayu, cerita berbingkai ini sudah lama dikenal lewat penerjemahan karya-karya klasik India dan Parsi ke dalam bahasa Melayu seperti Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Bakhtiar, dan Hikayat Kalilah dan Dimnah.[6]

Sementara dalam kesusastraan Indonesia modern sendiri, strategi naratif ini agaknya—seperti yang dikatakan H.B. Jassin—barulah kita dapatkan pada novel Atheis (1949) karya Achdiat K .Mihardja.[7]   Satu hal yang juga disepakati oleh Subagio Sastrowardoyo lewat esainya “Pendekatan kepada Roman Atheis”:

Dengan menggunakan struktur cerita berbingkai di dalam menulis Atheis Achdiat telah memasukkan bentuk sastra baru di dalam kesusastraan modern kita, sekalipun ditinjau dari perkembangan sastra yang lebih luas bukanlah penemuan Achdiat yang asli. […][8].

Masuknya bentuk cerita berbingkai sebagai jenis karya baru di dalam kesusastraan modern kita mempunyai arti yang penting bagi sejarah sastra. Kurang lebih sama pentingnya dengan masuknya jenis karya-karya lain, seperti bentuk soneta di zaman Pujangga Baru dan sajak bebas di tengah persajakan Angkatan 45, sekalipun sampai kini belum ada peroman lain yang ikut mempergunakan struktur berbingkai itu.[9]

Benarkah—sebagaimana kata Subagio—setelah Atheis belum ada peroman lain yang ikut mempergunakan struktur berbingkai itu, setidaknya hingga esai “Pendekatan kepada Roman Atheis” diterbitkan pada 1983 dalam Sastra Hindia Belanda dan Kita? Saya kira untuk menjawab hal ini diperlukan penelitian tersendiri. Namun pada perkembangan sastra (berbahasa) Indonesia terkini, toh kita kerap bersua dengan novel-novel berbingkai dengan teknik pengisahan yang berlapis dan multi-fokalizer seperti Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu (2017) karya Mahfud Ikhwan dan Kura-kura Berjanggut (2018) karya Azhari Aiyub.

Kumpulan cerpen Cerita-cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan karya Raudal Tanjung Banua misalnya, dengan jelas juga menunjukkan kepada kita bagaimana cerita berbingkai masih menjadi pilihan bagi cerpenis kontemporer Indonesia; yang dalam konteks ini berupa upaya Raudal menonjolkan permainan alur untuk menghidupkan pengalaman personal sekaligus kolektif atas tradisi mendongeng seraya pada saat yang sama mencoba menjembatani ketegangan antara lisan dan tulisan. Perhatikan kutipan cerpen “Cerita Kecil yang Menyentuh Iman dari Nenekku” berikut:

Alkisah kata nenek, ada seorang laki-laki sholeh sering melintas di bawah sebatang pohon asam yang rindang. Selalu, ia berhenti melepas lelah di situ, sambil terus berzikir. Jika haus, ia tinggal memetik sebutir buah, memakannya penuh syukur, itu pun sambil berzikir. Perjalanan panjang di bukit tandus kadang memaksanya berhenti lebih lama karena hanya pohon asam itulah satu-satunya yang mendatangkan teduh sekaligus mengulurkan buah. Pohon itu pun tampak senang didatangi, karena doa orang sholeh berkah baginya. Namun suatu hari, laki-laki itu didatangi serombongan orang yang menudingnya telah berzina. Tentu saja ia tak mengerti.[10]

Demikian pula cerpen Sengkarut Nasib Pemuda Ef karya T. Agus Khaidir yang berkisah tentang kepercayaan masyarakat terhadap pertanda buruk dan baik di kalam.id. belum lama berselang ini:

Munawar mengulang tanya dan saya menggeleng cepat seraya mengangkat bahu. Saya mengira (sebenarnya berharap!) jawaban ini akan mengakhiri percakapan kami. Saya keliru. Munawar menatap saya agak lama, lalu—tanpa diminta—bercerita tentang Pemuda Ef. Mengawalinya dari masa ketika Ef belum jadi pemuda.[11]

Struktur cerita berbingkai umumnya terbagi menjadi dua bagian, yaitu pokok cerita yang membingkai dan cerita sisipan atau beberapa cerita sisipan yang dibingkai. Dalam cerpen “RSK”, pokok ceritanya tentu saja adalah seluruh penuturan sang narator ‘aku’ tentang sosok garin (penjaga surau) tua di kampungnya dan Ajo Sidi yang dikenal warga sebagai seorang pembual, pertemuannya suatu hari dengan si Kakek Garin yang sedang bermuram durja dan bagaimana lelaki tua itu mengisahkan kepadanya cerita Ajo Sidi, lalu diakhiri dengan kabar kematian Kakek yang didengar narator dari sang istri.

Pemaparan oleh narator ‘aku’ sebagai juru kisah itulah yang berfungsi sebagai bingkai (frame) atas cerita (sisipan) Ajo Sidi yang didengarnya dari Kakek, yang kemudian diceritakannya ulang kepada pembaca. Coba perhatikan bagaimana Navis menyisipkan cerita dari karakter Ajo Sidi kepada Kakek melalui narator ‘aku’—yang tampak memiliki kemiripan cukup kentara apabila kita bandingkan dengan teknik Raudal Tanjung Banua maupun T. Agus Khaidir dalam melakukan penyisipan cerita-cerita mereka—berikut ini:

Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi. Tapi aku ingin lebih mengetahui apa cerita Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita juga. (Navis, 174)

Apakah dengan demikian Raudal dan Agus Khaidir bisa dibilang berada di bawah pengaruh Navis secara teknik? Boleh jadi. Namun bisa juga tidak jika kita mengingat bahwa cerita berbingkai berikut teknik penyisipan cerita seperti yang dilakukan Navis, Raudal, dan Agus di atas—seperti yang telah saya katakan sebelumnya—memang bukan lagi hal baru, tetapi   merupakan      sebuah bentuk sastra   dari            Timur  yang—meminjam Subagio Sastrawardoyo—“telah lama menjadi milik kemanusiaan”.[12]

Otto Löhmann berpendapat, bahwa pola karangan, yang memadukan beberapa cerita dengan sebuah cerita yang merangkumnya sehingga merupakan kesatuan, menandakan rencana artistik yang sudah jauh berkembang. Tetapi yang sudah pasti adalah, bahwa cerita berbingkai berasal dari cerita sehari-hari yang sahaja. Dalam bentuknya yang tertua, cerita berbingkai itu dekat pertaliannya dengan jenis-jenis cerita rakyat, cerita peri, cerita jenaka, cerita binatang dan pepatah-pepatah. Dikatakannya, bahwa cerita berbingkai adalah milik bersama berbagai bangsa di dunia sejak zaman purba, terdapat baik di dunia Barat maupun Timur. Di Eropah beberapa macam cerita berbingkai telah dipergunakan orang di zaman klasik. Ia pun mengira, bahwa sebagian dari cerita berbingkai itu berasal dari India.

Juga Hooykaas berpendapat, bahwa tempat asal cerita berbingkai adalah India. Secara khusus disebutnya “lijstverhaal’ Pancatantra, yang berupa sekumpulan cerita ajaran susila yang disusun dalam lima bingkai cerita, yang seluruhnya terikat dalam bingkai cerita yang pokok. Menurut Löhmann, karya klasik Dekameron mungkin sekali meneladan kepada pola cerita berbingkai India ini.[13]

Ada pun jenis cerita berbingkai terbagi menjadi dua, yakni tipe rangkaian cerita (set of stories) dan tipe cerita tunggal (single story).

Untuk yang pertama, di sini cerita berbingkai seyogianya merupakan sebuah perangkat sastra yang berfungsi sebagai wadah untuk mengatur serangkai narasi yang lebih kecil, baik yang dirancang oleh pengarangnya maupun yang diambil dari cerita populer sebelumnya yang sedikit diubah oleh sang pengarang untuk tujuan narasi lebih panjang. Yang dalam kasus tertentu, terkadang cerita berbingkai jenis ini menjadi semacam mise-en-abyme[14], yakni tatkala sebuah cerita sisipan tak lain merupakan salinan yang lebih kecil dari cerita utama—dan begitu seterusnya. Berikut contoh mise-en-abyme dalam fotografi[15]:

 

Cerita Seribu Satu Malam, di mana karakter Scheherazade (Shahrazad) menceritakan serangkaian dongeng kepada Sultan Shahriyar selama 1001 malam, tentu saja adalah set of stories yang dikenal paling luas. Bahkan banyak cerita Shahrazad juga merupakan “cerita-dalam-cerita-dalam-cerita” yang dibingkai secara bertingkat-tingkat, misalnya Tale of Sindbad the Seaman dan Sindbad the Landsman.

Contoh lain dari frame story yang memiliki narasi berbingkai ganda adalah Frankenstein karya Mary Shelley. Dalam novel ini, Robert Walton menulis surat kepada saudara perempuannya untuk mengisahkan kembali cerita Dr. Victor Frankenstein (yang dikisahkan kepadanya) mengenai sosok monster ciptaan sang ilmuwan, lalu di tengah-tengah cerita Dr. Frankenstein tersebut, Walton juga bersua dengan sang monster yang menceritakan kisahnya sendiri setelah ia diciptakan. Bahkan narasi ketiga ini juga berisikan kisah tentang sebuah keluarga yang selama ini diamati oleh sang monster. Rangkaian narasi berlapis-lapis yang berkait satu sama lain ini terkadang disebut sebagai Chinese Box Narrative.[16]

Sedangkan “RSK“ dan “MR” karya Navis lebih condong kepada kategori kedua, yakni jenis cerita berbingkai yang bertipe tunggal.

Kendati kedua cerpen tersebut bisa dikatakan memiliki tiga tukang cerita, namun cerita sisipan yang disajikan oleh masing-masing cerpen hanyalah satu kisah saja yakni cerita Ajo Sidi yang dituturkan ulang oleh Kakek dan cerita Raman yang disampaikan kembali oleh Atik Peto, yang selanjutnya (dalam waktu penceritaan) merupakan kisah yang dituturkan aku-narator kepada kita pembaca sebagai “narasi tertanam” (embedded narrative).

Walaupun tidaklah sekompleks struktur narasi dalam Max Havelaar atau Frankenstein yang bertipe set of stories, keberadaan tiga tukang cerita, yakni aku-narator yang berperan sebagai pembingkai cerita, Kakek, Ajo Sidi dalam “RSK” dan aku-narator pembingkai cerita, Atik Peto, Raman dalam “MR” juga cenderung membuat “RSK” dan “MR” menjadi narasi berlapis yang mengarah pada Narasi Kotak China, yang apabila digambarkan akan tampak seperti ini:

 

Namun begitu, adanya tiga tukang cerita bertingkat ini tidaklah serta merta membuat kedua cerpen Navis memiliki tiga narator. Sebab bagaimana pun Kakek Garin dan Atik Peto hanyalah semata-mata tokoh dalam cerita yang eksistensi dan keberdayaan mereka amat bergantung pada aku-narator, di mana keduanya sama sekali tak diberikan kebebasan untuk menuturkan cerita mereka secara langsung kepada pembaca tanpa perantaraan narator. Berbeda dengan Ernst Stern dalam Max Havelaar karya Multatuli yang memang diberi peran (oleh narator-tokoh kedua: Droogstoppel) menjadi narator-tokoh tingkat ketiga untuk menulis novel sebelum akhirnya keberadaan dan tugasnya dimatikan oleh author-narrator (Multatuli) di penghujung novel.

Bahkan sosok Ajo Sidi dan Raman bisa dibilang tak pernah benar-benar hadir secara langsung dalam narasi, meski keduanya merupakan “tokoh kunci” yang sangat menentukan jalan cerita. Hal ini (mengenai Ajo Sidi) pernah disoroti oleh Faruk dalam sebuah unggahan di akun Facebook pribadinya bertanggal 27 April 2020:

Dengan kata lain, tokoh itu seakan tidak ada, hanya ada dalam pikiran “aku”, padahal efeknya begitu nyata adanya. Dengan kata lain, Ajo Sidi adalah tokoh yang terbilang terlibat (sangat dalam) dalam cerita, tetapi sekaligus seakan berada di luar cerita. Terasa ada kesejajaran antara posisi narator dengan posisi Ajo Sidi, karenanya. Ia adalah fiksi, tetapi nyata; ia bohong, tetapi benar. Tidak mengherankan, dengan teknik serupa itu, pembaca terseret ke dalam identifikasi antara “narator” dengan Ajo Sidi walaupun dari segi ceritanya, narator terkadang memperlihatkan perbedaan pandangan dengannya. Cerpen ini kelihatannya berbicara lebih dari apa yang diceritakannya atau berbicara dengan apa yang tidak dikatakannya dalam cerita.[17]

Faruk benar, karakter Ajo Sidi memang menempati posisi unik dan penting. Tetapi, dengan posisinya yang “seakan berada di luar cerita namun sangat berpengaruh bagi seluruh cerita” tersebut, apakah ini berarti memang terdapat kesejajaran antara posisi Ajo Sidi dengan aku-narator? Di sinilah kita kemudian mesti melihat kenapa cerita berbingkai menjadi sebuah pilihan bagi seorang pengarang.

Salah satunya adalah untuk menarik perhatian pembaca kepada narator. Dengan secara eksplisit menjadikan narator sebagai tokoh dalam bingkai cerita, pengarang boleh dibilang berusaha menjauhkan dirinya dari narator. Di mana pengarang kerap mengkarakterisasi narator untuk meragukan kebenaran sang narator, dengan menjadikannya sebagai narator yang tak bisa dipercaya (unreliable narrator).

Kehadiran unreliable narrator seperti ini bisa dikatakan cukup umum kita temukan dalam cerita berbingkai. Misalnya, sebut saja character-narrator Gibreel Faristha dalam novel The Satanic Verses karya Salman Rushdie yang dihadirkan sebagai seorang narator tak dapat dipercaya ketika ia menarasikan penglihatan dalam mimpinya (dream vision) tentang kehidupan Nabi Mahound di kota Jahilia untuk mendamaikan jati  dirinya yang terbelah secara psikis sebagai manusia India pascakolonial. Atau, character-narrator Batavus Droogstoppel dan Ernst Stern yang diciptakan Eduard Douwes Dekker di bawah kuasa author-narrator Multatuli demi tujuan memuja “perjuangan luhur” tokoh Max Havelaar yang tak lain adalah alter-ego sang pengarang sendiri.

Begitu pula dengan character-narrator Warto Kemplung dalam novel Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu karya Mahfud Ikhwan. Bahkan Mahfud sengaja memberikannya julukan kemplung yang dalam bahasa Jawa berarti “pembual” demi menegaskan betapa tak bisa dipercayanya sosok Warto sebagai first person omniscient narrator yang maha tahu dalam mengisahkan tokoh Dawuk dan sejarah alternatif Rumbuk Randu. Dalam dunia sinema, lihat saja bagaimana film Amadeus[18] besutan Milos Forman yang dibingkai sebagai kisah yang diceritakan oleh komponis gagal Antonio Salieri kepada seorang pendeta muda, sehingga film ini lebih didasarkan pada cerita Salieri tua yang penuh prasangka dan kedengkian tentang Mozart ketimbang fakta sejarah.

Dalam “RSK” (juga tampak dalam “MR”), strategi serupa kiranya juga ditempuh oleh Navis ketika menghadirkan aku-narator. Karena itu, kemudian muncullah pertanyaan bagi kita: Sejauh mana kesaksian narator atas latar belakang penyebab Kakek Garin mati bunuh diri dan robohnya surau tua “kami” bisa dipercaya? Atau, apakah sebagai seorang pencerita ia dapat diandalkan ketika mengisahkan ulang dongeng Ajo Sidi yang ia dengar dari Kakek? Sebab, bukankah selain dirinya tak ada orang lain lagi yang mendengar Kakek bercerita?

Perkara ini belum lagi ditambah dengan keraguan kita terhadap kejujuran karakter Kakek sendiri yang menjadi sumber cerita, seperti betulkah Kakek menceritakan kembali dongeng Ajo Sidi yang membuat jiwanya terguncang itu sebagaimana adanya atau sudah ia bumbui dengan penafsirannya sendiri? Lihat saja misalnya sebutan “manusia terkutuk” yang berkali-kali diulang oleh Kakek. Ketika dikonfirmasi ulang oleh narator, penjaga surau itu ternyata mengakui bahwa Ajo Sidi tak secara langsung menyebut dirinya demikian. Mari kita simak kutipan berikut:

“Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak; punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu Wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayang kepada umat-Nya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya.
Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca kitab-Nya. ‘Astagafirullah’ kataku bila aku terkejut. ‘Masa-Allah’ [sic!], kataku bila aku kagum. Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”
Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku: “Ia katakan Kakek begitu, Kek?” “Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya.” (Navis, 174)

Keraguan terhadap cerita narator (juga cerita karakter Kakek) inilah yang saya kira membuat pembaca mungkin saja merasakan adanya semacam kesejajaran posisi antara narator dan karakter Ajo Sidi yang sejak awal memang telah diperkenalkan kepada kita sebagai seorang pembual:

Kakek tidak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya adalah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo [sic!] akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan jadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pemimpin tersebut kami sebutkan pemimpin katak. (Navis, 172-173)

Namun, apabila Warto Kemplung dalam Dawuk yang juga diperkenalkan sebagai seorang pembual yang disenangi oleh para pendengar, menggunakan cerita-cerita bualannya itu demi mendapatkan beberapa cangkir kopi dan rokok dari para pendengarnya sembari mengungkapkan sisi lain dari karakter Dawuk sebagai antihero dan kemunafikan masyarakat Rumbuk Randu; bualan Ajo Sidi dalam “RSK” yang diteruskan oleh narator sebetulnya adalah semacam “dakwah” lain yang bersifat pemeo—atau, katakanlah sejenis teguran yang cenderung disampaikan secara sinis—atas perilaku orang-orang kampungnya sendiri yang dinilai menyimpang dan hipokrit.

Karena itulah, walaupun tampaknya tidak selalu sepakat bahkan menunjukkan sikap gusar kepada Ajo Sidi, narator dengan terang-terangan menyatakan bahwa cerita yang disampaikan oleh si pembual merupakan “sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya”.[19] Artinya, dalam hal ini narator turut meyakini bahwa isi cerita itu kendati hanyalah sebuah bualan, tetapi sesungguhnya mengandung nilai-nilai yang benar yakni bagaimana seorang Muslim seharusnya memelihara keseimbangan antara hablum minallah (hubungan manusia-Pencipta), hablum minannas (hubungan sesama manusia) dan hablum minalalam (hubungan manusia dengan alam).

Sehingga dengan begitu, cerita narator dan cerita Ajo Sidi sama-sama “adalah fiksi, tetapi nyata; bohong, tetapi benar”. Namun, “kesejajaran yang terasa” ini saya kira tidaklah serta merta membuat kita mengindentifikasi narator dengan Ajo Sidi. Sekali pun sang narator juga memiliki kecondongan menjadi author-narrator.

Sebab sedalam apa pun bualan Ajo Sidi mempengaruhi cerita, ia—sekali lagi— tetaplah karakter yang tak memiliki kuasa dalam narasi, yang tak diberi kesempatan untuk tampil “secara nyata” dalam cerita, selain hanya diceritakan sosok dan bualannya oleh tokoh-tokoh lain. Demikian pula halnya karakter Raman dalam “MR” yang menempati posisi dan peran serupa dengan Ajo Sidi.

Bagi pengarang, Ajo Sidi dan Raman hanyalah semata-mata alat untuk menyampaikan pemikiran dan kritiknya terhadap kehidupan umat Islam Indonesia (khususnya di Sumatera Barat yang menjadi lokalitas Navis), di mana keduanya dipergunakan sedemikian rupa oleh pengarang selaku “pengkritik yang nyinyir” lewat narasi sang narator. Pengarang memang tak bisa disamakan dengan narator, termasuk di sini yang berjenis author-narrator. Karena seorang pengarang seyogianya hidup di luar narasi yang ia tulis, sementara kehidupan sang narator sangat terbatas dalam scope narasi yang ia kisahkan. Namun begitu, kita juga paham bahwa sekeras apa pun usaha pengarang untuk menjauhkan dirinya dari narator, kerapkali ia akan tetap dipandang sebagai sang pengisah yang sesungguhnya—yang berpotensi untuk terjebak dalam persaingan dengan narator.

Alasan lain kenapa cerita berbingkai menjadi sebuah pilihan adalah sebagai bentuk procatalepsis, yakni pengarang dalam hal ini menempatkan kemungkinan reaksi pembaca terhadap cerita pada karakter yang mendengarnya.[20] Dalam “RSK”, kita mendapati betapa terpukulnya perasaan Kakek saat mendengar bualan Ajo Sidi itu, sehingga dalam kemarahan (yang tak diakuinya) ia pun tak sanggup menahan diri untuk tidak mengumpat.

“Kurang ajar dia,” Kakek menjawab. “Kenapa?”

“Mudah-mudahan pisau cukur ini yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggorokannya.” (Navis, 173)

Seperti yang dikemukakan Cole Salao, manfaat utama cerita berbingkai adalah mengisahkan sebuah cerita dengan menggunakan “tokoh yang berada di luar cerita itu sendiri”. Di mana perspektif tokoh-tokoh itu bersifat independen dan mungkin bakal memberikan konteks tambahan atau sudut pandang yang berbeda, sehingga diharapkan pengarang dapat membawa pembacanya kepada pencerahan atau pada respons emosional tertentu.[21] Dalam film The Princess Bride[22]—sebuah film yang kerap dijadikan contoh klasik cerita berbingkai—contohnya, si cucu tidaklah begitu tertarik pada bagian romantis dalam buku yang dibacakan oleh kakeknya. Tetapi sang kakek, alih-alih mengabaikan detail bagian tersebut, malah menggunakan komentar-komentar jenaka untuk menyampaikan pelajaran hidup kepada si cucu sekaligus juga kepada penonton. Bahkan lewat cerita yang dibacakannya itu, si kakek ingin menunjukkan rasa cintanya kepada sang cucu dan menginginkan cinta itu berbalas. Sehingga dengan mengingat hal ini, kita mungkin memahami aspek-aspek tertentu dari kisah yang dibacakan tersebut—misalnya, kecintaan tokoh Inigo Montaya terhadap ayahnya yang terbunuh—sebagai upaya untuk menumbuhkan cinta antargenerasi.

Ya, dalam konteks inilah kritik Navis dalam “RSK” melalui bualan Ajo Sidi (tokoh yang berada di luar cerita), saya kira cukup berhasil memancing emosi para pembacanya sehingga terusik sebagaimana karakter Kakek. Karena itu, tak heran jika kemudian cerpen itu dikecam oleh sebagian Muslim sebagai teks yang mengejek Islam seperti halnya Kakek merasa diejek Ajo Sidi.

 

Perihal isi: Kritik terhadap umat Islam Indonesia

NAMUN yang menjadi pertanyaan kita di sini: Apakah kritik-kritik yang disampaikan Navis lewat bualan Ajo Sidi dan cerita Raman itu memang “berpotensi” melecehkan ajaran Islam, di balik niatnya untuk meluruskan praktik amal ibadah dan pemahaman atas ajaran Islam yang dinilainya telah melenceng dari tuntunan Al-Qur’an dan hadits?

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, cerpen “RSK” diawali dengan sapaan tokoh aku-narator kepada pembaca dan perkenalan tentang kampungnya melalui sebuah surau yang telah roboh. Dari sinilah sang narator kemudian menggiring pembaca lewat alur cerita berbingkainya yang berlapis tadi, yakni aku-narator berkisah tentang Kakek dan Kakek mengisahkan cerita bualan Ajo Sidi yang begitu menyakiti dirinya. Kenapa bualan itu bisa melukai hati Kakek? Tentu saja tak lain karena Kakek telah mengindentifikasi dirinya dengan karakter Haji Saleh dalam bualan Ajo Sidi, yakni orang yang menghabiskan seluruh hidupnya semata-mata hanya untuk beribadah menyembah dan memuji Allah tetapi pada hari yaumul hisab ternyata dimasukkan ke dalam neraka.

Baik melalui penuturan narator maupun Kakek sendiri, kita tahu bahwa Kakek tidaklah bekerja. Ia memilih hidup hanya dari belas kasih orang saja, yakni dari sedekah setiap Jumat, seperempat bagian dari pemunggahan ikan mas di kolam depan surau setiap enam bulan, dan zakat fitrah Idul Fitri. Atau, sesekali ia bakal mendapat upah dari orang-orang yang datang meminta tolong padanya mengasahkan pisau dan gunting. Karena selain menunggu surau, ia juga pandai mengasah pisau. Bahkan ia lebih dikenal sebagai seorang pengasah pisau ketimbang garin. Tetapi yang paling sering ia dapatkan dari jasanya itu adalah ucapan terima kasih, sedikit senyum, sambal, dan rokok. Kakek juga memilih tidak menikah demi kekhusyukannya dalam beribadah.

Keyakinan dan pilihan hidup Kakek inilah yang diejek oleh Ajo Sidi si pencemooh (dari Pariaman?)—yang selain dikenal suka berbual juga rajin bekerja—sebagai sifat yang terlalu egoistis, yang hanya berasyik-masyuk beribadah tanpa mau menghiraukan kehidupan sosial dan memedulikan nasib orang lain bahkan anak-cucu. Kehidupan orang-orang seperti ini—yang rela melihat sesamanya, bahkan anak-cucunya melarat—menurut Ajo Sidi, yang digambarkannya lewat tokoh rekaan Haji Saleh—adalah orang-orang yang layak dilemparkan ke dalam api neraka. Apalagi jika mereka juga bersikap riya’ terhadap ibadah mereka dan memandang rendah orang-orang yang kualitas dan kadar amal ibadahnya dianggap berada di bawah mereka. Ini terlihat dari bagaimana Haji Saleh yang merasa dirinya ahli ibadah begitu yakin jika ia dan kawan-kawannya sudah pasti akan masuk surga. Padahal amal ibadah yang mereka lakukan hanya bersifat pamrih, yakni semata-mata ingin mengejar pahala surga untuk diri sendiri.

“Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyaknya orang yang diperiksa. Maklumlah di mana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seorang yang di dunia dinamai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan dimasukkan ke surga. Kedua tangannya ditopangnya di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat bertemu nanti’. Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya. (Navis, 174-175)

Namun seperti yang terungkap dalam dialog Haji Saleh dan Tuhan, rupanya sang Khalik tidaklah “suka pujian”, tidak pula “mabuk disembah saja”. Yang Dia kehendaki adalah umatNya mengerjakan secara seimbang antara amal sosial dan ibadah, antara hablum minallah, hablum minannas, dan hablum minalalam—sebagaimana dikatakan dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan dari Ibnu Umar: “Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan hidup selamanya. Dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok pagi.”[23]

Alhasil, malaikat pun “dengan sigapnya menjewer” Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh kaget bukan kepalang, apalagi ketika dilihatnya banyak teman-temannya yang tak kurang ibadahnya dari ia sendiri, juga terpanggang hangus dan merintih kesakitan di neraka. Maka Haji Saleh yang tak menerima vonis pun mengajak teman-temannya yang juga tak mengerti kenapa mereka dimasukkan ke neraka untuk memprotes ketidakadilan dan kesilapanNya. Mereka lalu berdemonstrasi menghadap Tuhan. Tetapi keputusan sang Khalik tetaplah tidak berubah.

Cerita Ajo Sidi tersebut membuat Kakek jadi murung dan terguncang. Selepas mengisahkan ulang cerita itu kepada aku-narator, tak dinyana penjaga surau itu bunuh diri menggunakan pisau Ajo Sidi yang sedang diasahnya akibat depresi. Kasus bunuh diri Kakek ini tentu saja menandakan betapa lemah imannya sebagai seorang penjaga surau sekaligus betapa dangkal pemahamannya terhadap ajaran Islam. Sebab jika imannya kuat dan jika pemahaman Islamnya benar, ia takkan melakukan bunuh diri yang dilarang oleh Islam dan takkan pula menghabiskan seluruh hidupnya hanya untuk “beribadah secara formal” tanpa mau bekerja. Selain itu, bukankah tersinggungnya Kakek oleh bualan Ajo Sidi, ungkapan “manusia terkutuk” yang berkali-kali diulangi garin tua itu dan ditujukan kepada dirinya sendiri, serta aksi bunuh diri yang ia lakukan juga menunjukkan kepada kita bahwa sesungguhnya bagi Kakek dongeng Ajo Sidi memang sebuah kebenaran yang tak sanggup untuk disangkal olehnya?

Namun bukan hanya Kakek saja yang abai terhadap keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat, ternyata Ajo Sidi yang gila kerja pun demikian. Ketika narator mencarinya lantaran menganggap bualannya sebagai penyebab kejadian tragis itu, ternyata Ajo Sidi sudah berangkat kerja. Meski tahu Kakek meninggal, ia tidaklah pergi melayat tetapi hanya berpesan kepada istrinya agar membelikan kain kafan tujuh lapis untuk Kakek. Sehingga hal ini membuat gusar aku-narator yang menilainya “tidak sedikit pun bertanggungjawab”.

Sikap semacam ini pulalah, yakni kendurnya ukhuwah dan sepinya surau dari jemaah, yang menurut Raudal Tanjung Banua dalam esainya “67 Tahun ‘Robohnya Surau Kami’”, menjadi salah satu penyebab surau itu—sebuah institusi tradisional Minangkabau yang semestinya berperan bukan hanya dalam soal ukhrawi (berorientasi akhirat) melainkan juga ukuwah (persaudaraan sosial)—akhirnya roboh.[24]

Bahkan alih-alih mencari garin baru sepeninggalan Kakek, orang-orang kampung justru mempercepat robohnya surau itu dengan bersikap masa bodoh: membiarkan anak-anak berlari di dalamnya dan mencopoti perkayuannya seolah-olah surau memang tidak bernilai dalam kehidupan mereka. Sikap warga yang terlalu mementingkan kerja ketimbang ibadah ini pun mengingatkan saya pada cerpen “Dongeng Penunggu Surau” karya Joni Ariadinata yang boleh jadi berhutang secara kreatif kepada gagasan “RSK”, di mana baik pada musim tanam maupun musim panen tak seorang pun yang berkenan datang memenuhi panggilan azan tokoh Muadzin Ali.[25]

Gambaran sifat karakter Kakek sebagai garin ini juga bertolak belakang secara kontras dengan tokoh Sutan Duano, penghuni surau dalam novel Navis, Kemarau (1963) yang kerap dipandang sebagai transformasi dan peluasan dari cerpennya “Datangnya dan Perginya” (1955) berdasarkan kesamaan sejumlah karakter dan peristiwa kunci.

Novel Kemarau dimulai dengan deskripsi tentang sebuah kampung di mana warganya sedang berputus asa menghadapi kemarau panjang. Ke kampung inilah karakter Sutan Duano dikisahkan mudik, menetap lalu mencoba membantu masyarakat yang sedang dilanda bencana kekeringan sebagai penebusan atas dosanya di masa silam. Seperti Kakek dalam “RSK”, ia juga diceritakan tinggal di sebuah surau. Namun begitu hari-hari tuanya tidaklah dihabiskan hanya dengan beribadah saja, tetapi juga diisi dengan bekerja keras. Tak seperti masyarakat di kampung tersebut yang hanya berpasrah diri menunggu hujan dan menganggap kemarau sebagai takdir yang tak bisa diubah (padahal kampung itu memiliki danau dengan air berlimpah), Duano memilih mengangkut air dari danau untuk mengaliri sawahnya sendirian. Hal ini karena warga lain menolak untuk mengikuti ajakannya bekerja, bahkan mereka merasa bingung mengapa seorang penjaga surau mau berbuat hal yang tak lazim seperti itu. Perhatikan kata-kata narator berikut:

Tapi orang bertambah tercengang lagi, karena sisa umurnya dihabiskannya dengan bekerja keras. Padahal setiap orang yang mau mendiami sebuah surau adalah untuk menghabiskan sisa umur tuanya sambil berbuat ibadah melulu, sembahyang, zikir dan membaca Quran sampai mata jadi rabun. Memang itulah gunanya surau dibuat orang selama ini. (Kemarau, 3-4)

Kita tak pernah tahu latar belakang kehidupan garin dalam “RSK”, yang kita ketahui hanyalah kehidupannya pada masa cerita berlaku. Yakni seorang garin yang menghabiskan masa tuanya di surau hanya untuk beribadah melulu, tanpa mau beramal dalam bentuk perbuatan. Seolah-olah bekerja akan mengurangi masanya untuk beribadah. Tetapi dalam Kemarau, kita (yang membaca) tahu dosa apa yang pernah diperbuat Duano hingga membawanya ke desa di tepi danau dan dengan ikhlas mencoba menolong orang-orang. Ia tak sudi hidup dari sedekah, tetapi berusaha keras seorang diri. Hingga dari usahanya itu ia bisa membantu orang lain. Kesibukan kerja juga tak menghalanginya “memakmurkan” surau dengan berceramah, kendati para pendengarnya hanyalah para perempuan kesepian yang hadir bukan lantaran tertarik kepada ceramahnya tetapi untuk menghabiskan waktu dan untuk memikatnya.

Dengan demikian, Sutan Duano merupakan antitesis dari garin “RSK” yang diejek Navis lewat Ajo Sidi. Seperti dikatakan Umar Junus, Duano tak lain adalah gagasan garin ideal yang diinginkan Navis dalam kebenciannya kepada garin yang biasa ditemui.[26] Karena itu wajar apabila pemaknaan keduanya terhadap agama tampak saling bertolak belakang.

Duano adalah tipe seorang garin yang realistis sekaligus tampak lebih memahami ajaran Islam ketimbang Kakek dalam “RSK”. Jika bagi Kakek, amal ibadah hanyalah sembahyang, zikir, dan membaca Qur’an tetapi ketika mengalami depresi ia melakukan bunuh diri yang amat tercela menurut ajaran Islam; tidaklah demikian halnya dengan Duano. Duano melaksanakan pandangan hidup yang diajarkan Islam sebagai Ad Dien, menyangkut seluruh kehidupan dalam satu frame yang seimbang secara kaffah. Untuk Duano, tanpa dunia tak ada akhirat. Karena seorang ditentukan Tuhan masuk neraka atau surga berdasarkan amal, perbuatannya, di dunia, bukan hanya dihitung berdasarkan bagaimana manusia menyembah Tuhan atau ibadah dalam arti sempit. Manusia tak hanya diciptakan untuk akhirat saja, tetapi justru sebagai khalifah di muka bumi yang mesti menghidupi dunia. Kemarau—kata Junus— dengan begitu, telah mengubah ‘agama’ pada “RSK” menjadi ‘sikap hidup’ sebagaimana tercermin pada perbandingan kehidupan Duano dengan Kakek, sekaligus dengan Ajo Sidi.

Sementara itu menurut Navis sendiri, novel yang ditulisnya pada 1963 sepulangnya dari menghadiri Konperensi Pengarang Asia-Afrika di Bali ini tak lain merupakan sebuah ikhtiarnya untuk menyatakan bahwa dirinya bukanlah seorang komunis seperti yang ditudingkan kepadanya.[27]

Lantas, apakah pihak-pihak yang merasa tersinggung dengan “RSK” juga memiliki kecenderungan sikap beragama seperti Kakek Garin dan Haji Saleh? Apakah keberatan terhadap “MR” seyogianya juga bertolak dari ketersinggungan sejenis?

Menurut Soewardi Idris, yang menjabat sebagai wakil pemimpin redaksi sekaligus redaksi budaya Nyata ketika cerpen “MR” dimuat harian tersebut pada 1957, salah satu alasan kuat yang melatari protes pembaca terhadap “MR” adalah mereka tidak menerima bila masalah agama dibawa-bawa ke dalam cerita pendek dan menganggap cerpen Navis itu memperolok-olok agama.[28]

Dan hal seperti itu—utamanya dalam kasus “RSK”—bisa terjadi, kata Soebadio Sastrosatomo, antara lain karena masyarakat agamais di Indonesia begitu malu melihat kenyataan dari potret buram dirinya serta betapa konservatifnya kebanyakan dari mereka dalam mengartikan ibadah secara verbal.[29]

Harus diakui jika cerita “MR” memang tampak lebih berani, frontal, dan sinis ketimbang “RSK”. Cerpen ini dibuka dengan kepulangan aku-narator ke kampungnya yang kian sunyi dengan rumah-rumah terlantar tak didiami lagi. Sebuah kepulangan “berbau politik” yang disambut dengan tatapan melotot dan menajam, menyelidik dan menyesal dirinya dari para tetangga, tetapi tak hendak ia pedulikan karena tujuan kepulangannya adalah untuk menziarahi pusara kedua orangtuanya dan adiknya Raman. Maka dengan ditemani Atik Peto, seorang tukang batu yang selalu mengenang kebaikan kedua orangtuanya dan memuji-muji kepahlawanan adiknya, narator pun menuju ke pandam pusara. Di sepanjang jalan ke pusara itulah, Atik Peto kemudian mengisahkan kepadanya bagaimana adiknya berjuang, menderita sakit, dan akhirnya meninggal. Namun bukan hanya itu. Si tukang batu juga menceritakan sebuah kisah yang dulu dituturkan oleh almarhum Raman kepadanya, yakni cerita tentang dua saudara kembar, Jamain dan Jamalin, yang memiliki watak bertolak belakang.

Jamain dikisahkan sebagai seorang tukang maksiat menurut pandangan agama. Kerjanya hanyalah main judi, main perempuan, maling, dan memadat. Sementara Jamalin bukan main malin (alim)-nya sehingga orang-orang memanggilnya Tuanku Jamalin. Keduanya juga punya banyak pengikut. Jika pengikut Jamalin asyik beribadah saja, maka pengikut Jamain cuma berbuat maksiat belaka. Sering terjadi perkelahian antara kedua pengikut itu, tetapi para pengikut Jamalin yang selalu merana. Sampai suatu hari seorang pengikut Jamalin menuntut agar Jamalin “tunjuk-ajari” dunsanaknya itu agar anak buah Jamain tidak terus menganggu mereka. Maka pergilah Jumalin menemui saudara kembarnya dan menasehati Jamain: ‘Hai Jamain. Kau dunsanakku. Pikirlah, kita ini sudah tua. Entah esok, entah lusa, kita bakal mati. Supaya engkau jangan tersiksa di kubur kelak, cari-carilah bekal kubur kini-kini.’[30]

Nasehat saudaranya itu rupanya terasa benar oleh Jamain. Sehingga sejak itu para pengikutnya tak lagi bermaksiat, sementara Jamain sendiri menghilang entah ke mana tanpa ada yang tahu. Kepada anaknya ia hanya berpesan bahwa ia pergi mencari bekal kubur. Ketika akhirnya ia kembali, Jamain sudah sakit-sakitan dan tak lama kemudian meninggal dunia. Karena dianggap telah bertobat dan merupakan keluarga Tuanku Jamalin, ia pun lantas dikuburkan secara patut. Ternyata bukan hanya jenazahnya saja yang mesti dikebumikan, tetapi juga segerobak peti yang diantarkan anaknya, karena demikianlah wasiat Jamain. Singkat cerita, setelah para pengantar jenazah beranjak sejauh 40 langkah dari kuburnya, maka terbangunlah mayat Jamain oleh kedatangan malaikat yang hendak memeriksa keimanan seseorang.

“’Man Rabuka. Siapa engkau? Apa bekal yang kau bawa?’ demikian tanya malaikat yang memegang cambuk api itu. Biasanya jika si mayat tak bisa menjawab, ia akan dilecut dengan cambuk api dan ditanya hingga berulang-ulang. Namun alih-alih menjawab pertanyaan malaikat itu, Jamain justru segera membuka peti-peti yang dikuburkan bersamanya. Yang ternyata isinya adalah botol tuak, bertube candu dan berbagai pose wanita telanjang, sehingga membuat malaikat itu tercengang.

Hal ini lantaran Jamain menyangka arti ‘Man Rabuka’ bukan siapa Tuhanmu, melainkan apa bekalmu. Karena itu ia pun merayu malaikat untuk coba menghisap candu,

meneguk tuak, dan melihat gambar-gambar porno yang dibawanya sebagai bekal. Meskipun awalnya menolak, malaikat itu akhirnya tergoda juga untuk mencicipi candu dan tuak. Namun ketika malaikat itu sudah mulai ketagihan, Jamain menghentikannya: “Cukup dulu, Tuan Malaikat. Besok lagi. Kalau diperturutkan Tuan bisa mabuk. Mabuk di sini mabuk kubur namanya.”[31]

Takjub akan keenakan sorga dunia itu, si malaikat menjadi lalai pada tugasnya memeriksa mayat dan pergi ke tempatnya kembali. Tapi ketika pada malam-malam ia ingat akan kewajibannya, malaikat itu jadi merasa bersalah dan berjanji dalam hati akan menghajar Jamain dengan cambuk apinya karena merasa telah disogok. Toh, tatkala kembali ke kubur Jamain, ia merasa heran dengan suaranya sendiri saat mengucapkan “Man Rabuka”. Apalagi dirinya disambut Jamain dengan sorakan “Te es te” dan suguhan seseloki tuak.

Alangkah terkejutnya sang malaikat mendengar teriakan ‘Te es te’. Ia kira tuak itu adalah te es te. Maka lagi-lagi ia lupa pada tugasnya. Ia pun menuak dan mencandu lagi. Demikianlah yang terjadi berbulan-bulan, hingga Jamain “tak jadi-jadinya dilecut dengan cambuk api sebagaimana yang diniatkan malaikat pada mulanya.”

Di sinilah kita pun seakan diingatkan kembali pada apa yang dilakukan oleh Shahrazad dan motifnya saat mengisahkan serangkaian dongeng kepada Sultan Shahriyar selama 1001 malam, yakni untuk memperpanjang hidupnya sendiri. Kiranya demikian pula yang dilakukan karakter Jamain dalam kasus “MR” ini: untuk menunda azab kubur berupa hukuman cambuk!

Tetapi cerita konyol Raman tidaklah berakhir di sini. Lama kemudian, Tuanku Jamalin yang alim juga meninggal dan dikubur dekat saudaranya Jamain. Ia sudah bersiap-siap dengan jawaban yang semestinya saat malaikat menanyakan “Man Rabuka” kepadanya, tetapi ternyata sang malaikat malah memulai dengan “Te es te” sehingga Jamalin kebingungan dan tak bisa menjawab. Ia pun menoleh kepada Jamain, tapi saudaranya itu hanya mengojok-ojokkan botol tuak sambil berteriak “Te es te”. Solider kepada dunsanaknya, Jamian kemudian memberikan sebotol tuak kepada sang malaikat. Sayangnya, botol itu sudah kosong. Maka marahlah malaikat. Ditendangnya Jamain dengan kaki kanannya hingga melayang ke udara dan jatuh masuk ke surga. Sedangkan Jamalin yang ditendangnya dengan kaki kiri akhirnya melayang masuk ke neraka.

Apa yang sebetulnya hendak disampaikan Navis lewat cerita sisipannya ini? Dibandingkan dengan cerita Ajo Sidi kepada Kakek dalam “RSK” yang jelas merupakan sebuah cemooh terhadap kaum Muslimin yang lebih mementingkan ibadah secara verbal, cerita Raman tentang Jamain dan Jamalin ini sepintas hanyalah tampak sekadar memparodikan kisah siksa kubur dalam ajaran dan tradisi Islam. Namun begitu, seperti yang diungkapkan Soewardi Idris, cerpen ini seyogianya merupakan sindiran terhadap Pemerintah Soekarno dalam menghargai para pahlawan bangsa dan ejekan untuk orang-orang yang mengaku sebagai pahlawan meski tak memiliki jasa apa pun.

Pada sekitar tahun 1950-an kita melihat banyak pahlawan kesiangan. Mereka dianggap dan dihargai sebagai pejuang, padahal mereka tak tidak pernah berbuat apa-apa untuk bangsa dan negara. Akan tetapi justru mereka yang mendapat penghargaan. Sebaliknya, mereka yang benar-benar berjuang, tersingkir secara menyedihkan. Itulah sebenarnya yang disindir Navis lewat cerpen ‘Maa Rabukka?’[sic]. Hanya saja kebanyakan masyarakat menangkapnya dari sisi lain. Itulah masalahnya.[32]

Navis sendiri tak banyak bicara tentang cerpen ini dalam autobiografi dan proses kreatifnya yang dieditori oleh Abrar Yusra, selain hanya menyampaikan hal-hal umum yang telah kita ketahui soal “MR”, yaitu bahwa reaksi sengit muncul di Bukittinggi setelah cerpen ini dimuat Nyata pada akhir 1957 menjelang meledaknya pemberontakan PRRI. “Maklumlah situasi mulai panas dan tegang di saat-saat suhu pergolakan daerah sedang meningkat ke titik kulminasinya,” tulisnya.[33]

Tetapi dari pengenalan serba ringkas tentang diri aku-narator maupun sosok Raman serta mengingat masa cerita ini ditulis, setidaknya kita memang dapat menangkap situasi seperti apa yang melatari cerpen ini, yakni sebuah ketegangan politik di tengah kekecewaan para pemimpin militer dan sipil di Sumatera Tengah terhadap berbagai kebijakan pemerintah pusat yang cenderung sentralis.

Apabila narator adalah orang yang dituduh sebagai pengkhianat oleh warga kampungnya, sebaliknya sang adik Raman—yang sebagaimana Ajo Sidi dalam “RSK” tak pernah hadir langsung dalam cerita selain melalui kenangan narator dan cerita Atik Peto— adalah seorang disanjung sebagai pahlawan pada zaman revolusi.

“[…] Sedang si Raman, tidak ada duanya di kampung kita. Kalaulah tidak karena ia, hancurlah negeri ini digasak musuh.” Demikian selalu ia cerita kepadaku.
Lama-lama aku merasa segala puji dan sanjungan itu, seolah hendak menekankan padaku, betapa bedanya mereka dengan aku sendiri orang yang melupakan kampung dan bekerja sama musuh di kala revolusi dulu. (Navis, 233)

Namun nyatanya pemerintah tak pernah menaruh perhatian kepada seorang pejuang berjasa seperti Raman. Ia mesti menderita oleh penyakit tebese yang diperolehnya akibat disiksa oleh musuh semasa revolusi tanpa diberi kesempatan berobat. Bahkan yang lebih mengiriskan lagi, seperti yang kita temukan dalam akhir cerita, makamnya juga dilupakan oleh orang-orang—ditanamkan pula ke atas jasadnya, jenazah seorang perempuan gila bernama Ramisah dan digantikan nisannya dengan nisan perempuan itu. Padahal Atik Peto tidaklah salah mengingat letak kubur Raman, sebab dialah yang dulu menggali dan menimbun kubur itu serta memasangkan nisan.

“Ketika itu aku tak bisa lagi bicara, kawan. Selain dalam hatiku, bahwa adikku yang dikatakan orang pahlawan itu sampai-sampai ke kuburnya dilupakan orang juga, apalagi aku yang dikatakan pengkhianat?”[34] begitulah ujar narator menutup cerpen “MR”.

Apakah semua perlakuan pemerintah yang tak adil terhadap pejuang itu merupakan semacam “kesilapan administrasi”[35] seperti sangka malaikat terhadap nama Jamain yang tak pernah ditemukan dalam daftar kaum Muslimin yang telah selesai menjalani hukuman di neraka? Atau, apakah orang-orang di pemerintahan juga dapat disogok oleh “para pahlawan kesiangan” sebagaimana malaikat penjaga kubur disogok oleh si maksiat Jamain sehingga merekalah yang justru mendapat penghargaan tanpa ikut berjuang?

Dalam hal inilah, kita menemukan bahwa sebagai “cerpen dunia akhirat”[36] “MR” sesungguhnya memang sarat dengan kritik sosial-politik. Hal yang sama saya kira berlaku pula bagi “RSK” jika kita memperhatikan dialog antara Haji Saleh dan para pendemo dengan Tuhan ketika sang Khalik bertanya tentang negeri tempat tinggal mereka di dunia. Misalnya dalam kutipan berikut:

“Di negeri, di mana tanahnya begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?” “Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.”
“Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?” “Ya. Ya. Ya. Itulah negeri kami.”
“Negeri yang lama diperbudak orang lain?”
“Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.”
“Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkutnya ke negerinya, bukan?” “Benar, Tuhanku. Hingga kami tidak mendapatkan apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.”
“Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?”
“Benar Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tidak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.” (Navis, 178-179)

Ilham cerpen “RSK” sendiri—menurut pengakuan Navis—berasal dari joke gurunya, Engku Mohammad Syafei, pendiri INS Kayu Tanam, saat bertamu kepada A. Chalik kepala jawatannya. Ketika itu Syafei berseloroh tentang orang Indonesia yang langsung masuk neraka karena tidak memanfaatkan alam yang diberikan Tuhan, sementara orang Rusia, Amerika, Inggris, Belanda, semuanya masuk surga setelah ditanya Tuhan, “Kamu orang mana?”. Joke Sjafei itu kemudian mendapatkan gagasan bentuknya sebagai cerpen setelah Navis pulang ke Padangpanjang dan menemukan surau tempatnya mengaji di masa kecil sudah runtuh lantaran tak ada lagi orang yang sudi merawat sejak kakek garin-nya meninggal.[37]

Sampai di sini saya jadi terkenang kepada cerpen “Langit Makin Mendung” karya Kipandjikusmin dan novel The Satanic Verses karya Salman Rushdie yang juga sama-sama memicu kemarahan umat Islam tatkala pengarang memanfaatkan kisah, sejarah, ajaran, dan karakter-karakter Islam untuk menyampaikan sindiran dan gugatan sosial-politiknya.

Dimuatnya cerpen “Langit Makin Mendung” (LMM) di majalah Sastra pada 8 Agustus 1968, tidak hanya telah membuat majalah tersebut diberangus oleh pemerintah tetapi juga menyebabkan H.B. Jassin sebagai pemimpin redaksinya diseret ke pengadilan. [38] Sementara novel The Satanic Verses (TSV) yang diterbitkan oleh Viking Penguin pada 1988 bahkan menimbulkan reaksi keras mengglobal; yang bukan saja memancing unjuk rasa besar-besaran di berbagai belahan dunia, tetapi juga membuat nyawa penulisnya terancam akibat fatwa mati yang dikeluarkan oleh pemimpin spiritual Iran, Ayatullah Khomeini.[39] Sehingga,  demi keselamatannya, Rushdie terpaksa hidup dalam persembunyian dari satu tempat ke tempat lain selama sembilan tahun di bawah perlindungan Pemerintah Inggris.

Padahal cerpen “LMM” jelas dimaksudkan Kipandjikusmin sebagai sebuah sindiran pedas terhadap kondisi kehidupan bangsa Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) yang dilihatnya kian jauh dari nilai-nilai Islami, ketika Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi semakin merapat ke kubu komunis di tengah memanasnya Perang Dingin. Karena itu, lewat percakapan antara karakter Nabi Muhammad SAW dan malaikat Jibril yang mengubah diri jadi sepasang burung elang, ia pun mencemooh bahkan mengutuk umat Islam di Indonesia yang baginya semakin kehilangan iman: berkelahi satu sama lain, terjebak dalam kemaksiatan, dan “hampir takluk pada ajaran nabi palsu, Nasakom!”

Lihatlah kutipan berikut ini:

“Jibril neraka lapis ke berapa di sana gerangan?”
“Paduka salah duga. Di bawah kita bukan neraka tapi bagian bumi yang paling durhaka. Jakarta namanya. Ibukota sebuah negeri dengan seratus juta rakyat yang malas dan bodoh. Tapi ngakunya sudah bebas B.H.”
“Tak pernah kudengar nama itu. Mana lebih durhaka, Jakarta atau Sodomah dan Gomorah?”
“Hampir sama.”[40]

Namun terlepas dari perkara motif dan niat pengarangnya yang menurut Jassin, “mencoba mengatakan bagaimana seandainya para nabi menyaksikan kebobrokan yang ada di sekitar kita”[41], sebagian khalayak Islam—yang benar-benar membaca, sepintas membaca, maupun tidak membacanya sama sekali—ternyata justru melihat hal yang sebaliknya: bahwa cerpen itu telah memperolok ajaran Islam dan Nabi Muhammad. Anggapan ini bisa terjadi tentu saja lantaran dalam narasinya sang pengarang telah menghadirkan karakter Tuhan, Jibril, Nabi Muhammad dan nabi-nabi lain yang dikenal Islam secara karikatural—yang terkesan naif, lugu, bahkan konyol. Sehingga tak sesuai dengan image tentang Tuhan, malaikat, dan para nabi yang selama ini diketahui, ditafsirkan, diinginkan, dan diyakini oleh mereka. Bahkan lebih jauh, mereka sama sekali tak menghendaki karakter-karakter suci itu difiksikan lebih manusiawi lewat imajinasi pengarang. Setidaknya hal ini tergambar dari pendapat Jusuf Abdullah Puar berikut:

Kami penulis artikel ini beranggapan cerpen Langit Makin Mendung itu tidak diragukan telah menghina Nabi Muhammad saw., telah melecehkan dan mencemoohkan dengan penuh tendensi cynisma terhadap junjungan 500 juta Muslimin, terlepas dari soal apakah penulisan itu bersifat sindiran, pemisalan, olok-olok atau pembadutan pengarangnya. Untuk menentukan sindiran seperti itu tidak perlu mesti jadi kritikus sastra. Kami menyetujui dan memujikan tindakan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara itu, demi kesucian Islam dan keagungan Nabi Muhammad saw. Persoalannya yang sebenarnya tidak bersangkut-paut dengan pelanggaran hak cipta dan kemerdekaan pers.[42]

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Tjahjo Nuswantoro dalam sebuah tulisannya yang diterbitkan oleh Adil. Di mana, ia mengungkapkan bahwa Tuhan Islam tidaklah boleh dipersonifikasikan seperti Tuhan Kristen (yang secara mentah dipahaminya hanya sebagai “Tuhan Sang Putera Jesus Kristus”) dan bahwa menurut Islam, Nabi Muhammad tak boleh diambil gambarnya, dibikinkan patungnya, lebih-lebih disendratarikan seperti Nabi Isa dalam agama Nasrani.[43]

Ketersinggungan yang bertolak dari pemikiran, argumentasi, dan dalil-dalil yang kurang lebih sama pulalah yang mengemuka dalam kasus penolakan terhadap TSV. The U.K. Action Committee on Islamic Affairs contohnya, merilis pernyataan bahwa TSV merupakan “Karya, yang dengan halus menyamar sebagai bentuk sastra, yang bukan saja menyimpangkan sejarah Islam umumnya secara besar-besaran, tetapi juga menggambarkan dalam corak-corak yang mungkin terburuk karakter Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad. Juga menjelekkan karakter para sahabat dan istri-istri Nabi yang suci dan mendeskripsikan ritual-ritual dan keimanan Islam dengan bahasa yang paling keji.”[44]

Apalagi, narasi novel ini juga mengulang sesuatu yang menurut sebagian penafsir dapat dianggap aib bagi umat Islam, meski oleh sebagian penafsir lain dikatakan sebagai mitos belaka, yaitu kontroversi seputar turunnya “ayat-ayat setan” dalam karya-karya sejarah Ibnu Jarir al-Thabari dan Ibnu Sa’ad yang dianggap mencemarkan integritas al-Qur’an—di mana demi tujuan mengakhiri pertikaian, Nabi Muhammad dikisahkan sempat tergoda mengadakan kompromi dengan kaum Quraisy untuk menerima al-Lata, al-Uzza, dan Manat ketika surah al-Najm ayat 19-23 “dibacakan”.[45]

Intinya, narasi TSV bagi mereka mengarah kepada kekerasan terhadap simbol-simbol Islam. Namun penafsiran seperti ini tentunya merupakan tindakan sembrono apabila tidak diikuti dengan penempatan nama-nama tersebut dalam konteks struktur narasinya. Di sini, tidak bisa tidak, sebuah karya sastra harus dibaca secara kompleks.

Cerita TSV adalah tentang migrasi dan transformasi yang dialami oleh karakter Gibreel Farisha dan Saladin Chamca, dua sosok penderita disorientasi akibat hibriditas diaspora mereka: Saladin disebabkan oleh national disorientation, sementara dalam kasus Gibreel oleh religious disorientation. Migrasi dan transformasi itulah yang kemudian menyebabkan Gibreel menjadi pengidap delusive-schizophrenic. Karena itu keberadaan kota Jahilia, riwayat Mahound sang nabi, dan peristiwa turunnya ayat-ayat setan hanyalah kisah (sisipan) yang cuma berlangsung dalam penglihatan mimpi-delusif (dream vision) Gibreel, di mana ia melihat dirinya sendiri sebagai sosok lain yang melekat dalam namanya yakni malaikat Gibreel (Jibril).

Ini persis yang dikatakan oleh Jassin, bahwa Nabi Muhammad dan Jilbril dalam “LMM” seyogianya “menggambarkan suatu ide, bukan Tuhan dan bukan Nabi sendiri.” Satu hal yang dalam TSV sebetulnya telah dinyatakan dengan terang oleh Rusdhie dalam narasi melalui Gibreel, yaitu bahwa sang Nabi “[…] takkan menengok jika dipanggil itu [Muhammad] di sini [dalam cerita mimpi ini]; tak pula, walau ia tahu sebutan orang-orang padanya, nama ejekannya di Jahilia di bawah sana—_ia-yang-naik-turun-Gunung Kerucut_. Di sini [dalam cerita mimpi ini] ia bukan Mahomet maupun MoeHammered, sebagai gantinya, telah memungut, embel-embel setan yang dikalungkan bangsa asing (farangi) di lehernya.[…]”[46]

Apa nama yang dikalungkan oleh bangsa asing itu kepadanya? Tak lain adalah Mahound—sebuah nama dalam imajinasi Eropa-Kristen abad pertengahan yang dimuati sentimen anti-Islam sejak perang Salib. Tetapi bagi Rushdie, tujuannya memungut nama tersebut adalah untuk “membalikkan penghinaan menjadi kekuatan”[47] sebagai bagian dari kesadaran perlawanan Dunia Ketiga.

Baik Kipandjikusmin maupun Salman Rushdie—setidaknya dari pengakuan mereka sendiri—selain tak pernah bermaksud melecehkan Islam lewat karya-karya mereka, juga tak pula bertujuan memancing kemarahan dari komunitas Muslim mana pun. Sementara Navis— seperti yang diungkapkannya lewat suratnya kepada Jassin dari Maninjau, 11 Agustus 1960—justru sengaja ingin memancing kemarahan ulama lewat “RSK”:

“Dalam tjerpen ‘Robohnja Surau Kami’ memang kematian si garin tidak kena psikologisnja. Itu saja sengadja. Sebagai sugesti bagi orang-orang seperti itu, lebih baik ia memilih mati. Pekerdjaannja mengasah pisau jang ada guna ada fungsinja. Meski ketjil, (tapi) bukan suatu pekerdjaan. Melainkan suatu hobby, pengisi waktu luang. Sebab kehidupan pokok baginja hanyalah keselamatan dirinja sendiri di achirat.”

“Di balik itu, saja dengan tjerita itu ingin memantjing kemarahan para ulama di daerahku.(Dalam map saja, telah selesai saja tulis sebuah tjerpen jang agak panjang jang tudjuannja hendak memantjing kemarahan ulama.)”[48]

Tidak dijelaskan oleh Navis, apa judul dari cerpennya dalam map itu. Namun dalam cerpennya “Sebuah Wawancara” (Sastra, 1963), Navis juga menampilkan seorang wartawan bernama Wahidin yang mewawancarai Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Musa dan Nabi Muhammad. Hanya saja cerpen itu tidak mendapat reaksi apa-apa dari umat Islam.

Kenapa Navis ingin memancing kemarahan para ulama Minangkabau? Ini kita ketahui kemudian dari catatan kakinya yang lain tentang kelahiran “RSK”, yakni apa yang disebutnya sebagai ‘obsesi dan komitmen Islam’ terkait dengan motif pokok kegiatan dan kesadaran intelektualnya:

Saya amat mengenal dunia pemikiran dan masyarakat Islam seperti yang tercermin di Sumatera Barat dan karena itu menginginkan semacam pembaharuan di dalamnya. Banyak sedikitnya pengenalan saya diwarnai oleh semangat pembaharuan Islam di masa remaja saya di Padangpanjang. Namun kenyataan sejarah lebih banyak menunjukkan hal yang sebaliknya: pemikiran dan gerakan Islam di Sumatera Barat tidak berkembang, kadangkala malah menghambat iklim kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat—sehingga seolah-olah justru anti pembaruan. [49]

Ada pun mandeknya pemikiran dan gerakan Islam ini—menurut Navis—lantaran sikap agama dan budaya Islam di Indonesia yang amat dipengaruhi oleh tarikat, yang mengarah kepada Islam tasawuf.

Orang-orang tarikat berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan, bahkan menyatukan diri. Di situ amalannya, hanya itu. Maka tak ada pilihan lain. Karena itu orang Islam di Indonesia tak berkembang pemikirannya. Orang hanya menghabiskan waktu untuk zikir, takbir, dan lain-lain. Kepedulian sosial jadi tumpul. Dinamika hilang. Tak mengherankan jika kondisi mereka miskin. Kalau ada orang yang berbeda, yang berbuat lain, maka dipandang bersifat duniawi.

Ulama-ulama (tarikat) tak pernah kritis, terutama terhadap ajaran-ajaran agamanya sendiri yang dipenuhi dogma bahkan tahyul. Ini salah satu sebab pokok kenapa umat Islam takkan maju.[50]

Tentu, apa yang dikemukakan oleh Navis tak keliru, bahkan tetap relevan dengan kondisi sekarang. Baru-baru ini misalnya, seorang ibu bernama Nurjanah Minarti menjadi viral di media sosial akibat komentarnya yang menganggap pendidikan hanyalah sesuatu yang tak penting karena tidak bisa menjadi jaminan masuk surga.[51]

Belum lagi jika kita menghubungkan dengan kegelisahan Navis ini dengan “dongeng-dongeng khurafat” oknum habaib Ba’Alawi[52] yang rekaman-rekaman videonya tersebar kian luas di media sosial belakangan seiring memanasnya polemik nasab klan mereka yang dipicu oleh tesis KH. Imaduddin Utsman Al-Bantani. Contohnya, dalam cerita-cerita takhayul yang disampaikan lewat berbagai ceramah terbuka tersebut, mereka tak segan-segan menceritakan bahwa ada habib dari golongan Ba’Alawi yang bisa memadamkan api neraka, mengeluarkan rantai emas dari langit, mengubah air menjadi bensin, dan berjalan di atas air laut. Lalu ada pula habib yang bisa miraj 70 kali ke langit dalam waktu semalam, menghidupkan orang-orang yang sudah meninggal, menarik kembali pesawat yang sudah terbang seperti menarik layang-layang, dan lain-lain yang mereka klaim sebagai karomah (kekeramatan). Simaklah transkrip berikut yang kiranya cukup relevan dengan konteks dalam cerpen “MK”:

“Dulu ada seorang fasik. Ketika ini orang wafat, ia dikubur di dekat kubur orang-orang sholeh. Salah satunya di situ ada Faqih Muqoddam bin Ali Ba’Alawi. Singkat cerita, karena ini orang fasik, maka di dalam kubur ia disiksa oleh Munkar Nakir, Saudara-saudara. Ketika ia sedang disiksa oleh Munkar Nakir, tiba-tiba Faqih Muqoddam Muhammad bin Ali Ba’Alawi masuk ke dalam kuburnya itu orang. Faqih Muqodam berkata, ‘Ruh ya Munkar wa Nakir, pergi kamu wahai Munkar dan Nakir! Jangan kamu siksa ini orang, jangan kamu azab ini orang! Kamu azab dia, kamu siksa dia, kamu cambuk dia, teriakan dia, jeritan dia menganggu zikirku kepada Allah SWT.”[53]

Alhasil, orang fasik itu pun mendapatkan syafaat hanya lantaran ia dimakamkan di dekat kubur orang sholeh. Dongeng khurafat yang tak kalah mencengangkan dari cerita Habib Bahar bin Smith di atas adalah cerita dari Habib Ali bin Jindan tentang seorang murid Habib Salim Jindan bernama Abdurrahman yang biasa disapa Bang Maman, seorang tukang kacang dan ubi rebus yang kendati sholatnya berantakan dan maksiatnya luar biasa seperti karakter Jamain, tetapi sangat mencintai Habib Salim dan hampir setiap malam memberikan seluruh dagangannya kepada Habib Salim secara gratis. Maka karena kecintaannya pada Habib Salim itu, ketika meninggal ia pun masuk ke surga tanpa hisap berkat secarik kertas yang diselipkan Habib Salim ke jenazahnya:

“[…] Sebelum ditutup, habis beliau tulis, ditaroh tuh kertas, beliau bilang, “Man, gue tahu lu ibadahnya berantakan, tapi lu cinta sama zuriat Nabi Muhammad, ikhlas dari dalam hati. Nanti, kalau malaikat Munkar Nakir datang nanya pertanyaan kubur, jangan lu jawab, Man. Lu kasih surat dari gue, lu masuk surga tanpa hisap. Dijamin sama Habib Salim.”[54]

Anehnya, apabila sebagian umat Islam Indonesia merasa begitu terusik oleh kehadiran cerpen “RSK” dan terutama “MR” karya Navis atau “LMM” Kipandjikusmin yang notabene hanyalah karya fiksi belaka; sebelum tesis Kyai Imad diluncurkan dan polemik nasab Ba’Alawi mengemuka, tak banyak umat Islam yang mempersoalkan dongeng-dongeng khurafat oknum habaib itu. Meskipun sangat tidak logis dan tampak bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dongeng-dongeng itu tetaplah dipercayai sebagai “kebenaran” bahkan dibela oleh para muhibbin.

Tak ada yang secara serius menganggap dongeng-dongeng yang tampaknya diceritakan semata-mata untuk mendoktrin umat Islam agar mencintai klan Ba’Alawi (yang diklaim sebagai zuriat Nabi Muhammad) itu melecehkan ajaran Islam atau mencemarkan Nabi Muhammad dan para malaikat, tak ada tindakan apa pun dari pemerintah atau sekadar kecaman dari MUI. Padahal jika semua dongeng khurafat itu ditulis dalam bentuk fiksi oleh seorang sastrawan dan “terbit dewasa ini”, boleh jadi seperti yang dikatakan Navis: “Pasti kantor redaksi diobrak-abrik massa dan saya dipenjarakan.”[55] (*)

 

Kepustakaan

 

Adilla, Ivan. A.A. Navis: Karya dan Dunianya. Jakarta: PT Grasindo, 2003.

Adilla, Ivan. A.A. Navis: Pengarang yang Tak Senang Diam. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2018.

Aiyub, Azhari. Kura-kura Berjangkut. Depok: Banana, 2018.

Armstrong, Karen. Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis, terj. Sirikit Syah. Surabaya: Risalah Gusti, 2001.

Ariadinata, Joni. Air Kaldera. Yogyakarta: Aksara Indonesia, 2000.

Bald, Margaret. Banned Book: Literature Suppressed on Religious Grounds. New York: Facts On File, 2006.

Banua, Raudal Tanjung. Cerita-cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan. Yogyakarta: Akar Indonesia, 2020.

Dahlan, Muhidin M. & Hermani, Mujib. Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Kipandjikusmin. Jakarta: Melibas, 2004.

Fanani, Muhamad, dkk. Struktur dan Nilai Budaya dalam Cerita Berbingkai (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, 1995.

Genette, Gerard. Narrative Discourse: An Essay in Method, trans. Jane E. Lewin. New York: Cornell University Press, 1980.

Hakim, Lukman. Kemarau dan Datangnya dan Perginya. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994.

Ikhwan, Mahfud. Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu. Serpong: Marjin Kiri, 2017.

Jassin, H.B. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei II. Jakarta: Gunung Agung, 1967.

Junus, Umar. “Navis dalam Dua Muka” dalam Horison, No.6, Tahun VII, Juni 1972.

Navis, AA. Antologi Lengkap Cerpen AA Navis. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004.

Navis, AA. Robohnya Surau Kami. Bukittinggi-Djakarta: N.V. Nusantara, 1956.

Navis, AA. Kemarau. Jakarta: Gramedia, 1992.

Rushdie, Salman. The Satanic Verses. London: Viking Penguin, 1988.

Sastrowardoyo, Subagio. Sastra Hindia Belanda dan Kita. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.

Udin, Syamsuddin, dkk. Memahami Cerpen-cerpen A.A. Navis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985.

Wahid, Abdurrahman. Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute, 2006.

Yusra, Abrar. Otobiografi A.A. Navis: Satiris & Suara Kritis dari Daerah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994.

 

Bacaan Lain:

Banua, Raudal Tanjung. “67 Tahun “Robohnya Surau Kami”” dalam https://tarbiyahislamiyah.id/67-tahun-robohnya-surau-kami/, diakses 10/07/2024.

Blog, Gramedia. “Kehidupan Sebelum dan Setelah Mati ala AA Navis” dalam https://www.gramedia.com/blog/kehidupan-sebelum-dan-setelah-mati-ala-aa-navis/, diakses 17/07/2024.

Brians, Paul. Notes for Salman Rushdie: The Satanic Verses dalam http://public.wsu.edu/~brians/anglophone/satanic_verses/copyright.html, diakses 11/05/2010.

Channel, Pribumi Vokal “Habib bahar smith: Faqih muqoddam mengusir munkar nakir” dalam  https://youtube.com/shorts/d7_HuXR36Cg?si=LL_uTStPgygzd1dc, diakses 15/07/2024.

Channel, Pribumi Vokal. “Serial Dongeng Habib Lucu!! Habib Pemberi Surat Sakti Masuk Syurga Tanpa Hisab” dalam https://youtu.be/66F-7FUAmLQ?si=T2cNYjxVVS-q7bPD, diakses 15/07/2024.

Ishom, Muhammad. “Makna Hadits ‘Bekerjalah untuk Duniamu seolah Kauhidup Selamanya’” dalam https://islam.nu.or.id/ilmu-hadits/makna-hadits-bekerjalah-untuk-duniamu-seolah-kauhidup-selamanya-hwmYf, diakses 16/07/2024.

Khaidir, T. Agus. “Sengkarut Nasib Pemuda Ef” dalam https://kalamsastra.id/dwimingguan/sengkarut-nasib-pemuda-ef, diakses 20/07/2024.

Salao, Cole. “The Frame Story: Why Writers Write Stories Within Stories” dalam https://www.tckpublishing.com/frame-story/, diakses 17/07/2024..

Wikipedia. “Amadeus (film)” dalam https://en.m.wikipedia.org/wiki/Amadeus_(film), diakses 26/07/2024.

Wikipedia. “Ba’Alwi” dalam https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ba_’Alwi, diakses 10/08/2024.

Wikipedia. “Chinese boxer” dalam https://en.m.wikipedia.org/wiki/Chinese_boxes, diakses 28/07/2024.

Wikipedia. “Frame story” dalam https://en.m.wikipedia.org/wiki/Frame_story, diakses 19/07/2024.

Wikipedia. “Mise en abyme” dalam https://en.m.wikipedia.org/wiki/Mise_en_abyme, diakses 28/07/2024.

Wikipedia. “Story within a story” dalam https://en.m.wikipedia.org/wiki/Story_within_a_story, diakses 19/07/2024.

Wikipedia. “The Princess Bride (film) dalam https://en.m.wikipedia.org/wiki/The_Princess_Bride_(film), diakses 17/07/2024.

 

[1] Abrar Yusra, Otobiografi A.A. Navis: Satiris & Suara Kritis dari Daerah (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), 77. Lihat juga Gramedia Blog, “Kehidupan Sebelum dan Setelah Mati ala AA Navis” dalam https://www.gramedia.com/blog/kehidupan-sebelum-dan-setelah-mati-ala-aa-navis/, diakses 17/07/2024.

[2] Ismet Fanany, “Cerpen Navis, Suara Manusia” dalam Antologi Lengkap Cerpen AA Navis (Penerbit Buku Kompas, 2005), 761-763.

[3] Selain dikenal dengan istilah frame story dan frame narrative, cerita berbingkai sering pula disebut sebagai frame      tale,       sandwich              narrative,             intercalation,       dan         nested               stories.  Lihat https://en.m.wikipedia.org/wiki/Frame_story       dan               https://en.m.wikipedia.org/wiki/Story_within_a_story, diakses 19/07/2024.

[4] Cerita berfokal internal adalah fokalisasi dengan pemandang berada di dalam cerita atau pemandang adalah salah satu tokoh. Fokalisasi jenis ini dibedakan lagi menjadi tiga jenis, yaitu fixed atau tetap (seluruh cerita dipandang melalui sudut pandang salah satu tokoh saja), variable atau berubah (di dalam cerita ada pergantian pemandang dari satu tokoh ke tokoh lain), dan multiple atau jamak (sebuah peristiwa dipandang melalui sudut pandang beberapa tokoh). Lihat Gerard Genette, Narrative Discourse: An Essay in Method, trans. Jane E. Lewin (New York: Cornell University Press, 1980).

[5] Gerard Genette, 244-245. Homodiegetic: Penceritaan dengan narator yang muncul atau terlihat seperti tokoh. Tidak seperti heterodiegetic yang ketidakhadiran naratornya bersifat mutlak, narator dalam homodiegetic memiliki derajat kehadiran yang dibedakan dua jenis: (1) Narator sebagai tokoh sentral, (2) Narator sebagai tokoh sekunder yang hanya berfungsi sebagai pengamat atau saksi.

[6] Muhamad Fanani, dkk, Struktur dan Nilai Budaya dalam Cerita Berbingkai (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud, 1995), 1.

[7] Menurut Jassin, susunan atau struktur cerita berbingkai dalam roman Atheis merupakan satu hal baru yang sebelumnya belum pernah kita temukan dalam roman Indonesia. Lihat H.B. Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei II (Jakarta: Gunung Agung, 1967), 193.

[8] Subagio Sastrawardoyo, Sastra Hindia Belanda dan Kita, Cet. II (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 184.

[9] Ibid, hlm. 185.

[10] Raudal Tanjung Banua, Cerita-cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan (Yogyakarta: Akar Indonesia, 2020), 72.

[11] T. Agus Khaidir, “Sengkarut Nasib Pemuda Ef” dalam https://kalamsastra.id/dwimingguan/sengkarut-nasib-pemuda-ef, diakses 20/07/2024.

[12]  Subagio Sastrawardoyo, 168.

[13] Ibid, 59-60.

[14] Mise-en-abyme adalah istilah Perancis untuk perangkat sastra serupa (juga mengacu pada praktik dalam heraldry [disiplin ilmu yang berkaitan dengan desain, tampilan, dan studi tentang lambang persenjataan] yang menempatkan gambar perisai kecil di atas        perisai yang  lebih besar). Lihat https://en.m.wikipedia.org/wiki/Mise_en_abyme, diakses 28/07/2024.

[15] Sumber gambar: https://math.stackexchange.com/questions/3433291/is-a-fractal-per-definition-mise-en-abyme, diakses, 15/08/2024. Judul foto maupun nama sang fotografer tidak tercantum.

[16] Lihat https://en.m.wikipedia.org/wiki/Chinese_boxes, diakses 28/07/2024.

[17] Lihat https://www.facebook.com/share/p/6NBHTcbf3kz7Jttm/?mibextid=oFDknk, diakses 25/07/2024.

[18] Amadeus adalah sebuah film drama period biographical drama Amerika yang dirilis pada tahun 1984 oleh The Saul Zaentz Company. Lihat https://en.m.wikipedia.org/wiki/Amadeus_(film), diakses 26/07/2024.

[19] AA Navis, Antologi Lengkap Cerpen AA Navis (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004), 172.

[20] Lihat https://en.m.wikipedia.org/wiki/Frame_story.

[21] Cole   Salao,    “The      Frame    Story:    Why       Writers  Write     Stories   Within   Stories” dalam https://www.tckpublishing.com/frame-story/, diakses 17/07/2024.

[22] The Princess Bride adalah sebuah film komedi petualangan fantasi romansa Amerika 1987 yang disutradarai oleh Rob Reiner. Lihat https://en.m.wikipedia.org/wiki/The_Princess_Bride_(film) diakses 17/07/2024

[23] Lihat Muhammad Ishom, “Makna Hadits ‘Bekerjalah untuk Duniamu seolah Kauhidup Selamanya’” dalam https://islam.nu.or.id/ilmu-hadits/makna-hadits-bekerjalah-untuk-duniamu-seolah-kauhidup-selamanya-hwmYf, diakses 16/07/2024.

[24] Raudal Tanjung Banua, “67 Tahun “Robohnya Surau Kami”” dalam https://tarbiyahislamiyah.id/67-tahun-robohnya-surau-kami/, diakses 10/07/2024. Menurut Raudal: Umumnya di Sumatera Barat, selain menjadi tempat ritual seperti shalat berjamaah, pengajian dan peringatan hari besar, surau juga tempat anak-anak muda belajar mengaji dan menempa diri, misalnya melalui latihan silek (silat), belajar pidato adat, atau bakaba (bercerita).

[25] Joni Ariadinata, Air Kaldera (Yogyakarta: Aksara Indonesia, 2000), 3-10.

[26] Abrar Yusra, 421.

[27] Ibid, 123.

[28] Ibid, 389.

[29] Ibid, 379.

[30] AA Navis, 235.

[31] Ibid, 237.

[32] Abrar Yusra, 390.

[33] Ibid, 77-78.

[34] AA Navis, 240.

[35] Ibid, 239.

[36] Meminjam istilah Soewardi Idris untuk “RSK”, lihat Abrar Yusra, 387-388.

[37] Ibid, 78-79.

[38] Muhidin M. Dahlan & Mujib Hermani (ed.), Pledoi Sastra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Kipandjikusmin (Jakarta: Melibas, 2004), 8.

[39] Dalam fatwa mati yang disiarkan pertama kali lewat Radio Taheran pada Hari Valentine, 14 Februari 1989 itu, Khomeini menyatakan:“Saya menyampaikan kepada seluruh kaum Muslim dunia yang membanggakan bahwa pengarang buku berjudul The Satanic Verses—yang mana telah disusun, dicetak dan diterbitkan bertentangan dengan Islam, Nabi, dan Qur’an—dan mereka semua yang terlibat dalam penerbitannya yang menyadari isinya, dijatuhi hukuman mati. Saya menghimbau seluruh kaum Muslim yang membanggakan untuk mengeksekusi mereka secepatnya, di mana pun mereka bisa ditemukan, sehingga tak ada orang lain yang akan berani menghina kesucian Islam. Insya Allah, siapa pun yang terbunuh di jalan ini adalah seorang syuhada.” Sebagaimana dikutip oleh Paul Brians dalam “Introduction”, Notes for Salman Rushdie: The Satanic Verses dalam http://public.wsu.edu/~brians/anglophone/satanic_verses/copyright.html diakses 11/05/2010. Terjemahan oleh saya.

[40] Muhidin M. Dahlan & Mujib Hermani (ed.), 22. 41 Ibid, 220-221.

[41] Ibid, 220-221.

[42] Ibid, 169. Untuk menguatkan pendapatnya itu dalam artikel, Puar juga mengutip terjemahan surah Al-Furqan ayat 41 secara mentah sesuai kepentingannya: “Dan apabila mereka melihat engkau (Muhammad), mereka hanyalah menjadikan engkau untuk diperolok-olok, kata mereka; ‘Inikah orang yang dikirim Tuhan untuk menjadi Rasul?’”.

[43] Ibid, 222-224.

[44] Margaret Bald, Banned Book: Literature Suppressed on Religious Grounds, (New York: Facts On File, 2006), 294.

[45] Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi, Sebuah Biografi Kritis, terj. Sirikit Syah (Surabaya: Risalah Gusti, 2001), 139-152.

[46] Salman Rushdie, The Satanic Verses (London: Viking Penguin, 1988), 93. Terjemahan oleh saya.

[47] Ibid.

[48] Abrar Yusra, 81.

[49] Ibid, 83-84.

[50] Ibid.

[51] Lihat https://www.facebook.com/share/p/4d5sH1AQUYBaiPnM/, diakses 08/08/2024.

[52] Ba’Alawi atau Ba’Alwi (al-bā’alawiy) adalah kelompok sosial yang berasal dari Hadramaut di Yaman. Mereka menelusuri garis keturunan mereka kepada seorang tokoh bernama Ubaidillah, yang klaim ketersambungan nasabnya kepada Nabi Muhammad SAW masih menjadi kontroversi karena ketiadaan sumber kitab sejaman yang mencatat Ubaidillah sebagai anah Ahmad bin Isa. Lihat https://id.m.wikipedia.org/wiki/Ba_’Alwi, diakses 10/08/2024.

[53] Lihat https://youtube.com/shorts/d7_HuXR36Cg?si=LL_uTStPgygzd1dc, diakses 15/07/2024.

[54] Lihat https://youtu.be/66F-7FUAmLQ?si=T2cNYjxVVS-q7bPD, diakses 15/07/2024.

[55] Abrar Yusra, 77-78.

Esai21 Mei 2025

Sunlie Thomas Alexander


Sunlie Thomas Alexander lahir di Belinyu, Pulau Bangka dengan nama Thong Sunlie (Mandarin: Tang Shunli – 湯順利). Ia menulis cerpen, puisi, esai, artikel, kritik sastra, kritik film, dan catatan sepakbola di sejumlah media dan jurnal yang terbit di Indonesia maupun luar negeri. Buku-bukunya yang sudah terbit adalah Malam Buta Yin (kumpulan cerpen, 2009), Istri Muda Dewa Dapur (kumpulan cerpen, 2012), Sisik Ular Tangga (kumpulan puisi, 2014), Makam Seekor Kuda (kumpulan cerpen, 2018), Dari Belinyu ke Jalan Lain ke Rumbuk Randu (kumpulan esai kritik sastra, 2020), Seperti Karya Sastra, Hidup Bukanlah Racauan (kumpulan catatan, 2021), dan Rumah (kumpulan puisi, 2023). Buku-bukunya yang terbit dalam terjemahan Mandarin dan Inggris antara lain Youling Chuan [幽靈船] (kumpulan cerpen dan puisi, 2016) dan My Birthplace and Other Stories (kumcer, 2019). Saat ini ia sedang merampungkan beberapa buku (novel dan kajian sejarah) sembari mengelola penerbit indie di Yogyakarta.