Chairil Anwar datang kepada kita sebagai sebuah kejutan. Dalam khazanah puisi Indonesia modern yang masih muda—baru 20-an tahun jika diukur sejak kemunculan sajak-sajak Muhamamd Yamin—yang belum lagi memantapkan diri, baru bisa memilih soneta sebagai bentuk modern, Chairil datang dengan puisi-puisi yang seperti menghembalangkan semua itu. Kepada H.B. Jassin—kawannya semenjak di Medan—ia datang dengan satu map sajak, yang kemudian kita tahu tidak diterima oleh redaksi Pandji Poestaka. Puisinya tidak cocok dengan politik kebudayaan Indonesia saat itu. Terlalu individualistis, kata tuan redaktur—jika yang dimaksud adalah sajak “Aku” (1943).
Tapi, sejarah kemudian membuktikan bahwa puisi-puisi Chairil adalah—meminjam ungkapannya sendiri untuk puisi Amir Hamzah—“destruktif terhadap bahasa lama, tetapi suatu sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru!” Ia adalah seorang avantgardis, bukan hanya ketika berhadapan dengan generasi Pujangga Baru—yang pernah dikecamnya—melainkan juga pada situasi kesusastraan di Hindia Belanda masa itu. Chairil, sambil melanjutkan Amir Hamzah, yaitu dengan mendorong kata dan frasa sebagai unit fundamental dalam puisi sejauh-jauhnya, menyatakan secara langsung atau tidak bahwa sastra bukanlah alat bagi modernisasi sosial. Sastra, dalam hal ini puisi, mengatakan apa yang rumpang dan yang sumbang dalam proses modernisasi sosial, proses yang bisa mengambil bentuk nasionalisme atau kemerdekaan nasional.
Chairil Anwar bisa dikatakan merusak konvensi bahasa Pujangga Baru dengan tenaga tersembunyi yang tidak dibaca oleh generasi ini. Ia tidak merawat konvensi sastra generasi itu, tetapi, sebaliknya, memilih—sebagaimana dikatakan A. Teeuw—sebuah “konvensi internasional” yang disadapnya melalui sajak penyair-penyair Belanda (Marsman, Slauerhoff, dan lain-lain) maupun sajak-sajak dari khazanah modern(is) di Eropa maupun Amerika Utara. Ia menghadirkan puisi bebas—wawasan sastra baru secara keseluruhan—yang belum terlalu menjadi perhatian para penyair berbahasa Indonesia saat itu. Sebuah puisi yang memiliki patahan pada tiap lariknya, gerumpung hingga pada satuan kata, tetapi pada saat lain merawat kemerduan bunyi dalam aneka siasat.
Apakah dengan begitu ia unik? Untuk lingkup sastra Indonesia saat itu, tentu saja, iya. Tetapi sesungguhnya apa yang dihadirkan Chairil Anwar, yakni modernime artistik dalam puisi dan sastra secara keseluruhan, beririsan langsung dengan gerakan modernisme artistik yang berlangsung di seluruh dunia yang telah mulai pada akhir abad ke-19, bukan hanya dalam lapangan kesusastraan, melainkan juga khazanah seni lainnya. Modernisme artistik yang hadir ke negara-negara jajahan seiring dengan kolonialisme, melainkan pada konteks Indonesia saat itu, berakibat serius dan panjang, sebab ia mengubah secara radikal lanskap puisi berbahasa Indonesia.
Dengan posisinya yang seperti itu, dengan sendirinya Chairil Anwar adalah “penyair-induk” (Ur-poet) bagi para penyair segenerasinya, juga para penyair yang berkiprah dan menonjol setelah 1965. Pada sajak-sajak Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad, misalnya, bisa ditemukan pengaruh persajakan Chairil Anwar, bahkan pada penyair generasi mutakhir semisal Dea Anugrah. Situasi modernisme ini menjadi penting untuk dibicarakan kembali, terutama untuk melihat bagaimana peran penting seorang penyair terhadap tradisi sastra yang melingkupinya, baik secara nasional maupun internasional.
Tahun ini adalah tahun keseratus kelahiran Chairil Anwar. Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) berkepentingan untuk menanggapi momentum penting ini. Tentu saja, DKJ tidak sendirian. Sebab di luar sana banyak pula acara-acara sastra yang berusaha memeriahkan “Seratus Tahun Chairil Anwar”. Melanjutkan tradisi Sayembara Kritik Sastra yang telah berjalan pada tahun-tahun sebelumnya, kali ini Sayembara Kritik Sastra mencoba merangsang penulisan kritik puisi Chairil Anwar dengan tajuk “Modernisme Chairil Anwar”.
Redaksi situs kritik sastra tengara.id menindaklanjuti program ini dengan merancang isu utama dengan tema sama. Selain berharap mendapatkan naskah-naskah kritik puisi Chairil Anwar melalui sayembara, kami juga memesan tulisan kepada sejumlah penulis—jika perlu, menerbitkan ulang tulisan yang pernah ada. Sebagaimana bisa dilihat sekarang, tengara.id nomor ini memuat dua artikel pesanan, satu terjemahan esai, sebuah ulasan buku, sebuah wawancara, dan delapan naskah yang memenangi Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022.
Tiga artikel pertama yang terbit pada nomor ini berturut-turut adalah tulisan Ari Adipurwawidjana, Keith Foulcher, dan Nukila Amal. Artikel Ari Adipurwawidjana berjudul “Genius, Genetika, dan Kamar 3×4 m: Mungkin Chairil Anwar Tidak Terlalu Modernis” mempersoalkan pengaruh wacana tentang pengaruh Chairil Anwar dalam sejarah sastra Indonesia modern. Ari memeriksa asumsi tersembunyi dari wacana tentang pengaruh tersebut. Asumsi pertama adalah asumsi era Viktorian yang berasal dari Matthew Arnold bahwa kesusastraan adalah yang mewakili “pemikiran dan perkataan yang terbaik di dunia.” Asumsi kedua ialah bahwa ada karya sastra yang betul-betul autentik, yang bebas dari pengaruh dan silang-sengkarut pinjam-meminjam. Tulisan ini lantas mengajak pembaca memikirkan kembali peran Chairil tanpa kedua asumsi tersebut dan menemukan bahwa modernisme artistik yang bekerja pada karya-karyanya bukanlah modernisme generasi pertama (Eliot dan Pound), melainkan modernisme generasi kedua (Renaisans Harlem dan Generasi Beat).
Artikel Keith Foulcher berjudul “Angkatan 45: Sastra, Politik Kebudayaan dan Revolusi Indonesia” adalah penerbitan ulang dari buku terjemahan yang diterbitkan Jaringan Kerja Budaya (1994). Keith menyelidiki formasi Angkatan 45 sebagai sebuah kategori sejarah sastra dengan memerhatikan sejumlah karya para sastrawan dan mengaitkannya dengan pengaruh sastra Eropa dan perkembangan politik di sekitar kemelut Revolusi Fisik. Angkatan 45 adalah sebuah himpunan yang longgar dari sejumlah seniman yang rata-rata lahir pada 1920-an; bukan hanya seniman non-Marxis, melainkan juga seniman Marxis yang pada periode berikutnya bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Watak internasional angkatan ini dipengaruhi oleh kehadiran intelektual Belanda E. Du Perron dan hubungan lingkaran Chairil dengan sejumlah intelektual Belanda pro-Indonesia setelah Kemerdekaan. Dengan membongkar asal-muasal berdirinya Angkatan 45, artikel ini memberikan konteks bagi pembaca untuk mendudukkan Chairil Anwar dalam situasi sastra pada masanya.
Artikel Nukila Amal berjudul “Estetika Melankoli Chairil Anwar pada Puisi ‘Aku Berada Kembali’” merupakan pembacaan dekat yang memerhatikan segi afek puisi Chairil tersebut. Dengan begitu detail Nukila memerlihatkan bagaimana melankoli sebagai afek mengemuka dalam aspek formal puisi “Aku Berada Kembali”. Melankoli itu terasa bukan hanya pada tataran pilihan kata, melainkan juga pada bunyi yang timbul dari puisi tersebut. Artikel ini memerlihatkan bahwa dengan berfokus pada kategori afektif seperti melankoli, peralihan dari era Pujangga Baru ke Angkatan 45 dapat dibaca sebagai peralihan dari dua jenis melankoli.
Rubrik marginalia nomor ini, yakni tulisan Ni Made Purnamasari berjudul “Yang ‘Baru dan Ambigu’ dari Puisi Chairil”, menghadirkan tinjauan kembali atas disertasi Boen S. Oemarjati. Disertasi yang ditulis dalam bimbingan A. Teeuw dengan judul Chairil Anwar: The Poet and His Languange (1972) ini kental dengan pendekatan strukturalis yang sangat memerhatikan penyimpangan linguistik Chairil dari pola berbahasa Indonesia pada era 1940-an, termasuk bagaimana Chairil menyadap ragam bahasa lisan di Jakarta tahun-tahun itu. Purnamasari dengan telaten mengurai hasil-hasil temuan Boen, yakni aneka inovasi morfologis Chairil dalam bahasa puisi, serta merefleksikan relevansi kajian Boen bagi para penyair Indonesia masa kini.
Rubrik wawancara nomor ini menghadirkan obrolan dengan Nirwan Dewanto, “Nirwan Dewanto: Chairil Berkisar Antara Kita“, yang menggali aneka segi kebaruan pada Chairil Anwar dan pengaruhnya bagi kesusastraan Indonesia modern. Nirwan menunjukkan lokus kebaruan bentuk yang ditawarkan Chairil dalam kaitannya dengan tradisi puisi Pujangga Baru dan kesuastraan Melayu klasik. Ia juga menempatkan fenomena Chairil sebagai bagian dari gejala yang lebih besar, mencakup gerakan-gerakan modernisme artistik di berbagai penjuru dunia. Termasuk juga bagaimana Chairil mengolah pengaruh dari penyair-penyair asing pilihannya dan memberi pengaruh penting bagi seniman-seneiman segenerasi dan yang lebih kemudian. Pembicaraan ini juga menampilkan sudut pandang pribadi Nirwan bukan hanya sebagai kritikus, melainkan juga sebagai penyair yang berada dalam “situasi Chairil Anwar” dan bagaimana ia menemukan pengucapan puisi yang khas.
Selain artikel-artikel yang dipesan khusus untuk edisi ini, kami juga memuat delapan naskah pemenang Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2022 yang sudah disunting.
Yang pertama adalah naskah juara pertama yang ditulis oleh Tomy D. Ginting dengan judul “Toeboeh “Isa” (1943), Tubuh Indonesia 1943”. Artikel ini merupakan sebuah upaya pembacaan dekat-ketat yang menguraikan larik-larik puisi “Isa” menjadi bab-bab pembahasan tersendiri. Dengan menawarkan pembacaan puisi “Isa”, drama penyaliban Yesus, sebagai fiksi modern, Tomy menarik kita pada pembahasan aspek antikolonial dalam puisi “Isa”. Ia memandang tubuh yang hadir dalam puisi itu adalah tubuh bangsa Indonesia di bawah kuasa tentara pendudukan Jepang. Isa yang disalib oleh tentara pendudukan Romawi setara dengan tubuh bangsa Indonesia yang direpresi oleh Jepang. Selain itu, artikel ini juga ditulis dengan tata bahasa yang beres, gesit bermain kata, dan imajinatif dalam membuat perbandingan.
Perspektif yang berbeda diambil oleh Asep Subhan, juara kedua, dalam artikel berjudul “Citra Subjek Feminin dalam Puisi Chairil Anwar: Sebuah Konsekuensi Lain Pembacaan Biografis”. Artikel ini berupaya melampaui pembacaan biografis tentang hubungan Chairil Anwar dan sejumlah perempuan dengan memeriksa representasi perempuan dalam puisi-puisinya. Melalui analisis atas kata kunci (perempuan, gadis, betina, dara), kita dibuat sadar bahwa separuh dari keseluruhan puisi Chairil berbicara tentang perempuan. Cep Subhan menggunakan pendekatan puitika modernisme yang mengandaikan keberjarakan antara pengarang dan karya, suatu “impersonalitas” yang membantu kita melakukan lompatan lebih jauh dalam pembacaannya. Pada akhirnya, artikel ini berhasil merekonstruksi bagaimana subjek lirik dalam puisi-puisi Chairil Anwar memotret subjek feminin.
Keluar dari lingkup wacana pascakolonial dan feminis adalah artikel juara ketiga “Chairil Anwar Tak Menghiraukan Alam?” karya Yusri Fajar. Berfokus pada representasi alam dalam puisi-puisi Chairil, artikel ini menyanggah kritik Sutan Takdir Alisjahbana bahwa para penyair Angkatan 45 kurang memberi perhatian pada alam. Yusri menunjukkan bahwa alam menjadi medium vital dalam konstruksi sajak-sajak Chairil Anwar, yakni dengan menghadirkan representasi alam yang tidak padu dan tercerai-berai sebagai cerminan suasana batin penyair. “Ketidakindahan” dalam puisi Chairil Anwar turut dibangun dengan citraan-citraan alam yang tidak ideal dalam sajak-sajaknya—sebuah gambaran paripurna atas dunia modernis yang berantakan. Puisi-puisi Chairil yang kerap dipandang kental akan aspek antroposentrisme lantaran menonjolkan aku-lirik sebagai pusat dibalikkan sedemikian rupa dalam artikel ini. Yusri menunjukkan bahwa Chairil Anwar menghadirkan sisi ekosentrisme yang juga kental dalam karyanya, dengan menampilkan berbagai entitas alam yang saling terkait satu sama lain.
Lima naskah yang menjadi juara harapan dalam Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2022 memotret aneka segi yang berbeda dari Chairil Anwar.
Artikel Malkan Junaidi berjudul “Kredo Modernis dan Solusi Noda” mengupas relasi yang pelik antara modernisme artistik dan strategi peminjaman dari tradisi sastra dunia. Beranjak dari kasus plagiarisme yang dituduh pernah dilakukan Chairil Anwar dan bantahan H.B. Jassin atas tuduhan tersebut, artikel ini dengan mulus memaparkan lanskap kreativitas dan intelektual Chairil Anwar. Seraya berpegang pada temuan Jassin, Malkan berhasil menjelaskan pengaruh sastra dunia pada Chairil melalui aneka strategi peminjaman di luar penerjemahan dan saduran. Peserta dengan jeli membedakan alusi, adaptasi paradigmatik, dan apropriasi yang bekerja dalam sejumlah karya Chairil. Artikel ini juga berhasil memaknai ulang modernisme Chairil melalui perbandingan dengan semboyan Pound “make it new” yang diartikan sebagai mengolah bahan-bahan lama—dengan kata lain, meminjam—dan menjadikannya terasa baru.
Artikel Eka Ugi Sutikno berjudul “Ukuran Becus Chairil Anwar Mengadaptasi Puisi Aiken” menelusuri kerja penerjemahan Chairil atas karya Conrad Aiken, Preludes for Memnon atau Preludes to Attitudes dan membandingkannya dengan “Fragmen”, hasil terjemahan Chairil yang cenderung bebas dan destruktif. Penelusuran tersebut menjelaskan kreativitas Chairil Anwar dalam menerapkan metode penerjemahan bebas (MPB) ala Newmark maupun metode penerjemahan adaptif (MPA) ala Bastin dengan secara terperinci mengulas larik demi larik terjemahan, yang memungkinkan suatu penerjemahan yang disebutnya sebagai metode penerjemahan Chairil Anwar (MPCA). Dengan kata lain, ia menegaskan bagaimana Chairil dengan baik memungkinkan bahasa target lebih alami untuk dibaca, dan menghindari untuk tunduk pada penerjemahan konvensional. Chairil membuat terjemahan itu sebagai permainan tersendiri, dengan bahasa Indonesia yang khas miliknya.
Artikel Padel Muhamad Rallie Rivaldy berjudul “Kelana bersama Ahasvéros: Sajak-sajak Chairil Anwar dari Dekat” membongkar aneka segi dari modernisme artistik Chairil dengan mencermati motif pengelanaan dalam karya-karyanya, sesuatu yang mengemuka dalam sosok Ahasvéros. Diperkaya oleh perbandingan dengan khazanah puisi Nazar Muhammad Rashed, penyair modernis Pakistan, dan kesusastraan Melayu Klasik, artikel ini memperlihatkan aneka segi yang sebelumnya belum banyak tergali, seperti keterkaitan antara motif laut pada Chairil dan Hamzah Fansuri.
Artikel Royyan Julian berjudul “Di Pintu-Mu Aku Mengetuk” mencoba masuk ke dalam problematika modernisme artistik dengan membangun kontras antara corak religius dalam puisi-puisi Chairil dan dorongan-dorongan untuk menjadi manusia bebas. Dengan masuk ke dalam psikologi di balik puisi-puisi Chairil, naskah ini berpegang pada keyakinan bahwa “puisi adalah memoar penyairnya” sehingga analisis puisi pada akhirnya adalah proyek menemukan “sosok pribadi dalam sajak”—sebagaimana pernah diajukan oleh Subagio Sastrowardoyo.
Terakhir, artikel Dewi Anggraeni berjudul “Individualisme yang Tanggung: Motif Laut di dalam Sajak-sajak Chairil Anwar” melakukan pembacaan ulang atas motif laut dalam karya Chairil Anwar sebagai tanggapan terhadap penafsiran yang telah dilakukan Goenawan Mohamad dan Arif Bagus Prasetyo. Premis artikel ini menunjukkan motif laut dalam kesusastraan modern Indonesia adalah bagian dari pembentukan keindonesiaan, mengindikasikan pencarian kebudayaan baru. Demikian pula, laut adalah bahan penting yang diolah Chairil Anwar dalam sajak-sajaknya. Dewi berfokus pada ambivalensi individualisme modern dalam menghadapi laut sebagai representasi dunia. Artikel ini menyatakan nuansa introspektif dan pandangan romantik karya-karya Chairil dengan lebih lanjut mempertanyakan mengapa sang penyair tidak lebih jauh mengeksplorasi simbolisme laut dan betapa aku-lirik dalam sajak-sajaknya tidak benar-benar mengalami laut dan cenderung memandangnya dari jauh. Laut, dalam puisi-puisi Chairil, tidak berperan sebagai metafora, tetapi hadir sebagai semata-mata latar.
Tentu saja, masih banyak aspek terkait hubungan Chairil Anwar dan modernisme artistik yang bisa menjadi bahan pembahasan dan belum sempat tertampung pada nomor ini. Sebagaimana telah diketahui, sebelum nomor ini terbit kami juga telah menerbitkan sejumlah tulisan yang membahas karya dan fenonema Chairil Anwar di rubrik Blog dan Meja Bundar. Kami masih berharap diskusi tentang topik ini masih akan berlangsung, baik dalam terbitan kami maupun terbitan lain. Sebab perayaan “Seratus Tahun Chairil Anwar” bukanlah melulu perkara membaca dan menyanyikan puisi sang mendiang, melainkan juga mengaji kembali secara tekun—jika perlu: baru—puisi-puisinya, pemikiran dan situasi kesusastraan yang melahirkannya.
Kini, biarlah tiga esai utama, satu ulasan buku, satu wawancara, dan delapan tulisan pemenang Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2022 menggulirkan kembali diskusi mengenai Chairil Anwar dalam kaitannya dengan modernisme artistik dan sejarah kesusastraaan Indonesia modern.
Pembaca yang budiman, selamat membaca!
tengara.id
tengara.id adalah upaya strategis untuk meningkatkan kualitas karya sastra Indonesia melalui pembacaan, pembedahan, dan penilaian yang dilakukan dengan landasan argumen dan teori yang bermutu.
Sebuah kajian lengkap versi digital, yang mungkin banyak ditunggu mengenai ‘kebesaran Chairil Anwar’, bukan hanya sebatas ‘Aku’ dan ‘Diponegero’ yang sudah begitu familiar.
Pembahasan Karya Chairil secara mengalir, terasa akademis seperti ini, sungguh menarik dibaca.
Kita nantikan yang lainnya. Tabik!