Genius, Genetika, dan Kamar 3×4 m
Mungkin Chairil Anwar Tidak Terlalu Modernis

Ilustrasi: Wulang Sunu

Saya akan mulai dengan pertanyaan yang sederhana dan gamblang. Bagaimana bisa sejumlah sajak yang dihasilkan dalam karier kepenyairan Chairil Anwar yang relatif singkat dipandang sedemikian signifikannya bagi imajinasi masyarakat Indonesia, tanpa membaca sajak-sajak tersebut sekalipun? Mungkinkah karena keresahan yang disajikannya memang mewakili kegelisahan kolektif kita sejak pertengahan abad ke-20? Jika benar, kegelisahan semacam apa pula itu? Maaf. Ternyata pertanyaan saya tidak sederhana dan tidak pula gamblang. Kalau begitu, mungkin ada baiknya saya beralih dari pertanyaan saya ke pernyataan orang lain.

Sebagai penutup tulisannya di tengara.id tertanggal 16 Juli 2022, Hamid Basyaib mengajak “para pengulas Chairil Anwar yang serius, atau setidaknya yang berpretensi demikian, … [agar] mengulas sungguh-sungguh kualitas karya-karyanya—jika mungkin: dengan tambahan tentang relevansinya sekarang dan sejauh mana ia menanamkan pengaruh pada penyair-penyair kontemporer.” Saya ingin sekali menyambut ajakan tersebut, terutama karena ulasan yang disajikan di awal tulisan tersebut tentang perselisihan pandangan antara Tomy D. Ginting dan Saut Situmorang sangat meyakinkan. Demikian pula, kritik terhadap para pembicara pada sebuah webinar tentang Chairil Anwar yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta dan Komunitas Salihara yang menurut Basyaib ternyata hanya ajang pamer pengetahuan gunjingan tentang sang penyair. Namun, tulisan tersebut mulai membingungkan ketika mulai mencoba berkomentar tentang “satu-dua puisi,” yang pernah dibaca penulisnya karena teks puisi Chairil Anwar senantiasa dikaitkan dengan individualitas orangnya alih-alih betapa sajak-sajaknya bergelut dengan individualitas sebagai konsep—dan mungkin juga individualisme.

Dalam tulisan ini, saya hendak berpretensi menjadi “pengulas [puisi] Chairil Anwar yang serius.” Mungkin juga saya akan berpretensi “mengulas sungguh-sungguh kualitas karya-karyanya”—asalkan “kualitas” berarti sifat dan ciri-ciri, bukan mutu. Bahkan, saya pun akan mencoba menambahkan “relevansinya sekarang,” tetapi saya sama sekali tidak akan berusaha menunjukkan “sejauh mana ia menanamkan pengaruh pada penyair-penyair kontemporer” karena saya tidak melihat manfaatnya dan tidak pula saya memiliki akses kepada kerangka teroretis ataupun metode kajian yang berterima dewasa ini untuk melakukan upaya tersebut.

 

Mengapa Wacana tentang Pengaruh Chairil Demikian Berpengaruh?

Perkenankan saya beranjak mundur dari seruan Basyaib ke ajakan tersirat H.B. Jassin untuk “mengadakan penyelidikan teks yang teliti, memperbandingkan sajak yang satu dengan yang lain, yang sama tapi berlainan di sana-sini dalam pilihan katanya.” Saya tidak akan penuhi undangan tersebut karena itu akan membutuhkan kajian akademis atas korpus karya Chairil Anwar dan itu tidak selaras dengan arahan dari redaksi tengara.id. Saya akan mulai dengan ini saja. “Sekarang hanya tinggal pertanyaan,” kata H.B. Jassin, sebelum menutup Pendahuluannya untuk buku Chairil Anwar: Pelopor Angkatan ’45 (1956),

Apakah hukuman sejarah pada penyair Chairil Anwar yang diakui telah membarui kesusastraan tapi disamping [sic] itu telah melakukan kesalahan plagiat? Apakah karena plagiat beberapa sajak, semua sajaknya yang aslipun harus dianggap lagi tidak bernilai? Dan apakah karena itu harus dicopot predikat pelopor angkatan ’45?

Rangkaian pertanyaan ini memang mewakili urgensi Jassin menyusun buku tersebut. Strategi argumentatif utamanya adalah untuk berkompromi dengan mengakui bahwa peniruan (bukan penjiplakan), penerjemahan, dan penyaduran merupakan bagian dari proses kreatif Chairil Anwar. Yang terasa tersirat di dalam argumentasi Jassin adalah bahwa untuk melepaskan diri dari tradisi yang sudah lama hidup di Indonesia, terutama dari bayang-bayang otoritas Pujangga Baru, Chairil harus mengenalkan kepenyairnya dengan pola dan gaya bahasa yang lain. Tanpa implikasi tersebut tidaklah mungkin Jassin dapat mempertahankan pendiriannya tentang kelayakan Chairil Anwar sebagai pemegang predikat “pelopor angkatan ’45.”

Di tengah-tengah serentetan pertanyaan tadi, tersusup pemahaman, yang dinyatakan dengan penuh keyakinan, bahwa karya-karya “asli”-nya bernilai dan bahwa Chairil Anwar telah mengawali sebuah perubahan, yang kemudian berimbas pada karya-karya sastra yang muncul setelahnya. Mungkin ada benarnya bahwa Chairil Anwar memelopori sesuatu dalam perkembangan kesusastraan Indonesia. Namun, lebih mungkin lagi bahwa puisinya (dan mungkin juga orangnya) merupakan sekumpulan simpul dari jejaring tekstual, dan hingga sekarang jejaring itu menyediakan celah-celah yang itu-itu lagi, membentuk dan membangun teks dengan ciri-ciri yang itu-itu lagi. Lebih mungkin bahwa demikianlah adanya sehingga para pembaca dan kritikus melihat adanya kemiripan tema dan pola dalam karya-karya penulis Indonesia sejak pertengahan abad kedua puluh hingga kini. Mungkin.

Bagaimana pun, jika tampak bahwa ada kesamaan antara yang terdahulu dan yang sesudahnya, secara logis, tidak serta merta dapat disimpulkan bahwa yang pertama memengaruhi yang kedua dan selanjutnya. Mungkin puisi Charil Anwar (atau orangnya) bukanlah genius yang mengawali dan mewariskan, melainkan sekadar yang pertama kita ketahui menunjukkan atribut-atribut genetis tersebut. Jika dapat diterima asumsi materialis kultural bahwa sebuah teks atau serangkaian teks merupakan bentukan dari formasi sosial-historis, kita dapat mempertimbangkan bahwa perayaan dan glorifikasi sosok dan kepenyairan Chairil Anwar (atau sebagian sajak-sajaknya) mengalihkan perhatian kita dari sebuah tragedi historis, yaitu terperangkapnya puisi, penyair, dan (amit-amit) imajinasi Indonesia dalam—meminjam ungkapan dalam sajak “Sebuah Kamar” (1946)—kamar “3 x 4 m, [yang] terlalu sempit buat meniup nyawa.”

Untuk pertengahan tahun 1950-an, bisa jadi, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan H.B. Jassin tersebut signifikan dan relevan. Namun, untuk wacana susastra dewasa ini, keresahan yang tercermin tersebut sesungguhnya sudah tidak lagi terlalu memiliki arti karena setidaknya dua alasan utama. Pertama, rangkaian pertanyaan tersebut berasumsi bahwa perbincangan dalam wacana susastra, khususnya dalam kritik sastra, hendak mencapai tujuan berupa penilaian atas baik atau buruknya, bernilai tinggi atau rendahnya, sebuah karya atau korpus karya. Pandangan semacam ini didasarkan pada asumsi tentang adanya pemisahan yang tegas antara kebudayaan luhur dan kebudayaan rendah, yang dipromosikan dalam era Viktorian. Sebagaimana dinyatakan oleh Matthew Arnold dalam “Culture and Anarchy” (1869), karya yang pantas disebut sebagai kesusastraan adalah yang mewakili “pemikiran dan perkataan yang terbaik di dunia.”

Saya menekankan frasa “yang terbaik” karena ia bersandar pada anggapan bahwa ada patokan yang mutlak tentang yang baik dan yang benar. Mungkin, H.B. Jassin, yang saat itu menyadari otoritas pandangannya dalam wacana kesusastraan ini, memang memiliki privilese untuk menegakkan asumsi semacam itu. Namun, apalagi setelah gagasan yang diajukan Roland Barthes dalam Critique et Vérité (1966), yang menyatakan bahwa tujuan kritik bukanlah upaya mencapai kebenaran, melainkan kerja membangun argumentasi yang absah, kita di masa ini, ketika gagasan Barthes sudah menjadi kesepakatan yang mapan, tidak lagi layak memiliki kemewahan elitis itu.

Ketidakpantasan tersebut sesungguhnya juga ditopang oleh pendirian Chairil Anwar sendiri, bersama Rivai Apin dan Asrul Sani, dalam Tiga Menguak Takdir (1950), yang dapat dipandang sebagai perlawanan terhadap pendirian Angkatan Pujangga Baru dan, tampaknya terutama, Sutan Takdir Alisjahbana. Tiga sekawan itu menegaskan bahwa yang diperlukan adalah sebuah perbincangan “dalam saling menghargai segi-segi yang dihadapi masing-masing.” Menurut ketiga sastrawan tersebut upaya untuk menentukan “[g]aris dasar yang satu,” sebagaimana yang kiranya diusahakan oleh Angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru yang mendahuluinya, “bagi kami [Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani] apriori,” dan, karena itu, “tidak usah dipertengkarkan lagi.” Lagipula, Chairil Anwar dalam “Catetan Tahun 1946” (1946), salah satu sajak yang dimuat dalam buku itu, menyiratkan bahwa upaya mematok standar tertentu dalam menentukan mutu sebuah karya tidak terlalu penting dan tidak perlu “[k]ita memburu arti atau diserahkan kepada anak lahir sempat.” Yang perlu dilakukan hanyalah “[t]ulis karena kertas gersang, tenggorokan sedikit mau basah.” Kesusastraan adalah percobaan untuk tetap hidup, apa pun cara dan gayanya.

Alasan kedua yang menjadikan rangkaian pertanyaan Jassin tidak lagi signifikan dan relevan bagi masa kita sekarang adalah tersiratnya asumsi tentang otentisitas. Sekali lagi, setelah Barthes, terutama dalam “De l’œuvre au texte,” tidak lagi kita pantas memandang satu potong teks sebagai kesatuan yang otonom karena teks, setidaknya menurut Barthes, merupakan suatu jalinan dari beragam teks yang bertemu, tumpang-tindih dan berkelindan. Dengan demikian, tidak ada teks yang asli karena semua teks dibangun dari berbagai teks lain. Ini bukan sekadar semacam “kegelisahan tentang pengaruh,” sebagaimana yang digagas Harold Bloom dalam The Anxiety of Influence (1973). H. B. Jassin, dalam upayanya membela Chairil Anwar—yang mungkin juga akan menentangnya seandainya masih hidup—gundah tentang plagiat/tidaknya Chairil: Apakah ia penjiplak atau sekadar terpengaruh? Apakah itu berarti Chairil Anwar bukan “garis yang satu,” yang memarkah Angkatan ’45? Jassin jelas berargumentasi bahwa Chairil dipengharuhi oleh, bukan menjiplak, karya-karya Auden, Eliot, Slauerhoff dan Marsman dengan menunjukkan bahwa ia memang membaca karya penyair-penyair tersebut. Jelas pula bahwa “pengaruh,” dalam sistem nilai yang dianut Jassin, berpotensi mengurangi nilai puisi Chairil Anwar yang “aseli.”

Menganggap bahwa sepotong teks dapat bersifat asli melibatkan pula pemahaman bahwa potongan teks tersebut merupakan hasil dari genius seorang pengarang sebagai individu yang mandiri, bukan sebagai hasil perkawinan berbagai teks yang berpadu dalam membentuk melalui kepenyairan Chairil Anwar dan meninggalkan jejak-jejak genetisnya. Jika karya-karya “asli” tersebut dianggap buah pikir eksklusif seorang individu, itu juga artinya H.B. Jassin memiliki asumsi tentang keutamaan individu, yang secara umum dipandang sebagai salah satu ciri utama kesusastraan Modernis (yang sesungguhnya diwarisi dari Romantisisme dari abad ketujuh belas hingga abad kesembilan belas).

Mengingat bacaan Chairil Anwar konon didiminasi oleh karya-karya penulis Modernis seperti Marsman, Slauerhoff, Du Perron, Eliot dan Auden. Kendati demikian, Modernisme pun sejak awal sudah mempunyai masalah dengan individualitas.

 

Tawaran bagi Suatu Pembacaan Impersonal

Sekitar dua tahun sebelum kelahiran Chairil Anwar, dan 23 tahun sebelum kelahiran sajak “Nisan” (1942), T. S. Eliot, yang kemudian menjadi sosok penting dalam Modernisme dan memperoleh anugerah Nobel untuk bidang kesusastraan pada tahun 1948, menyatakan dalam esai yang berjudul “Tradition and the Individual Talent” (1919) bahwa bakat atau genius seorang sastrawan juga melibatkan tradisi. Yang dimaksud Eliot dengan tradisi ini, katanya, “melibatkan signifikansi yang lebih luas” daripada sekadar mewarisi kelaziman yang sudah ada sebelumnya karena tradisi dalam pemahaman ini “tidak dapat diwarisi [begitu saja]” melainkan, “bagi penyair yang akan terus berkarya melampaui usianya yang kedua puluh lima,”—Chairil Anwar, walaupun hanya setahun, sudah melampaui batas ini—tradisi “dalam arti historis harus melampaui kelampauan masa lampau … [dan] menulis dengan tidak dibatasi oleh generasinya sendiri saja dalam tulangnya.” Dengan demikian, seorang penulis, menurut Eliot, dapat menjadi “sadar akan tempatnya dalam sejarah dan juga zamannya sendiri.” Karena itu, ditandaskan Eliot, “tidak ada seorang penyair pun, tidak ada seniman dalam bidang seni apapun, yang bermakna hanya dengan dirinya sendiri belaka” karena ia harus diapresiasi dalam hubungannya dengan penyair pendahulunya. Eliot bahkan secara gamblang menyatakan bahwa yang tertuang dalam sebuah karya bukanlah “pribadi” sang penyair. Penyair hanyalah medium atau perantara yang “menampung impresi dan pengalaman yang berpadu dalam karya dalam bentuk yang khas dan tak terduga.”

Paparan Eliot ini menghadirkan sebuah pertanyaan lanjutan. Sebuah teks Modernis sepenting dan sedini “Tradition and the Individual Talent” telah menggarisbawahi impersonalitas teks, dalam arti, teks tidak dikaitkan dengan persona penyair, yang, dengan demikian, bisa artinya, jika ada “pribadi,” persona itu adalah persona teks itu sendiri. Karena itu, kita bisa mempertanyakan, jika kita berjumpa dengan sosok “aku” atau “kau,” kita harus belajar untuk tidak membayangkan tubuh Chairil Anwar yang menerjang dengan penuh luka. Kita perlu belajar mempertimbangkan alternatif dalam memahami siapa yang “mau hidup seribu tahun lagi,” dan siapa gerangan si “kau” yang ditolak rayuannya serta yang, mungkin, “[ber]sedu sedan,” yang tidak diperlukan oleh si “aku.” Kita harus dapat mempertimbangkan kalau-kalau si “aku” itu adalah teks yang hidupnya melampaui hayat si penyair, seperti “you” yang ada dalam beberapa soneta Shakespeare yang berbicara tentang fananya kehidupan.

Bahkan ada kalanya, “aku” dan “kau” itu mungkin dua sisi dari persona yang sama. Demikian yang hadir dalam “Penerimaan” (1943) ketika “aku menerima kau kembali | Dengan sepenuh hati,” dan, walaupun demikian “Aku masih tetap sendiri.” Alasanya, si aku berkenan “[men]erima kau Kembali | Tapi hanya untuk[nya] sendiri” karena “dengan cermin aku enggan berbagi.” Atau, mungkin memang dalam pemahaman si aku liris (dan boleh jadi juga si penyair), teks yang hadir di depannya, yang diklaim sebagai hasil buah tangannya, adalah bayangan dari dirinya. Menulis dengan sendirinya merupakan proses peniruan Diri oleh diri sendiri untuk mencipta dan menciptakan Liyan yang ideal, yang murni dibangun oleh imaji dan imajinasi.

Jika demikian, penciptaan Liyan oleh Diri melalui proses penulisan merupakan tindakan pengasingan diri: si binatang jalang dicipta dan dibuang oleh dirinya sendiri; dan, kumpulan itu seluruhnya terdiri atas berbagai ragam dirinya. Bukan saja diri pribadi Chairil Anwar yang diceraikan dari teks puisinya; keduanya sama-sama dipisahkan dari lingkungan kontemporer, geografis, dan kulturalnya. Sebagaimana dijelaskan H.B. Jassin, Chairil Anwar memang banyak terpapar karya-karya Modernis yang berkembang di dunia Anglo-Amerika dan Eropa kontinental.

Itulah, tampaknya, yang memberi peluang kepada kepenyairan Chairil Anwar untuk membebaskan diri dari otoritas sejarah kesusastraan Indonesia (atau, Hindia Belanda) yang mendahuluinya. Namun, jika selama ini kita melihat adanya tema dominan tentang keterasingan dan keterbuangan serta kesendirian dan kejalangan, dalam puisi Chairil Anwar, itu bisa jadi akibat dari “lompatan” yang harus terjadi untuk melampaui lokalitasnya menuju globalitas yang dipandangnya berada di belahan bumi yang lain.

Sebagaimana yang dinyatakan bait pertama sajak monumental T.S. Eliot yang berjudul “The Waste Land” (1922)—yang kurang lebih lahir bersama Chairil Anwar—musim semi pun dalam dunia Modernis “menumbuhkan bunga lilak [lambang kematian] di tanah yang tandus, mencampuradukkan | ingatan dan hasrat,” dan Chairil justru menulis seperti tanpa ingatan kultural sehingga harus meleburkan ingatan ke hasratnya tentang kesusastraan yang modern.  Karena itu, mudah sekali merasakan sentimen serupa ketika membaca pertanyaan dalam “The Waste Land”: “Mayat yang kau tanam tahun lalu di kebunmu, Sudahkah ia mulai bertunas? Akankah berkembang tahun ini?” sebagaimana ketika kita membaca “Kurnia Bahgia | kecil setumpuk | sia-sia dilindung, sia-sia ditumpuk.” Seakan-akan, karena Perang Dunia I yang baru usai yang menyebabkan terputusnya jalur pemasaran gula dari Jawa ke pasar global, Chairil harus meneleportasi diri ke Eropa melalui buku-buku rampai sajak Modernis.

Mungkin, karena itu, si aku liris, yang boleh jadi adalah sajak “Aku” itu sendiri mendefinisikan dirinya sebagai binatang yang berkeliaran di tanah asing tempat ia berada, mencari tempat ia dapat merasa at home di ranah tempat ia tidak berada. Ia berada di ruang liminal, yang bukan di sini, tetapi tidak pula di sana. Ia mengakui sedang bersabar (atau, melatih kesabaran) padahal ia sesungguhnya mengalami ennui saja sepanjang masanya menunggu Godot.

Dalam kondisi semacam itu, Diri hanya bisa “[meng]ulangi yang dulu kembali | Sambil bertutup telinga, berpicing mata | Menunggu reda yang mesti tiba.” Demikian perkataan si aku dalam “Kesabaran” (1943).

 

Mengapa Chairil Anwar Tidak Pernah ‘Modernis’?

Jika perkara individualitas, alienasi, ennui, dan kegelisahan eksistensial sedemikan mendominasi korpus puisi Chairil Anwar, bukankah sangat jelas bahwa puisi Chairil Anwar itu memiliki ciri-ciri Modernis; dan, karena itu, Chairil pun sesungguhnya merupakan penyair Modernis sebagaimana Lorca, Marsman, Auden, dan Eliot yang menjadi teladannya? Bukan. Karakteristik Modernis, sajak Lorca dan Eliot, misalnya, merupakan hasil dari proses yang sangat berbeda dari yang ditempuh oleh puisi Chairil. Secara umum, Modernisme dalam dunia Anglo-Amerika dan Eropa kontinental merupakan evolusi dari kecenderungan yang mendahuluinya. Karena itu, sajak-sajaknya tampak sangat berakar pada lanskap setempat. Lihat saja sajak “Canción de Jinete [Nyanyian Penunggang Kuda]” karya Frederico García Lorca. Bait pertamanya saja sudah sedemikian berakar pada sejarah Spanyol dan kontribusi kebudayaan Arab di abad pertengahan sehingga mengantar Renaisans: “Córdoba, | Jauh dan sepi.” Namun, ketika Chairil berusaha menyadurnya, yang dihasilkan adalah “Cintaku jauh di pulau, | gadis manis, sekarang iseng sendiri.” Kita tidak dikenalkan nama si gadis ataupun letak si pulau.

Demikian pula, jika kita bandingkan deskripsi yang ada pada sajak-sajak Eliot, atau bahkan Pound. Imajisme yang dicanangkan Pound mengharuskan penggambaranan yang sedemikian rupa sehingga pembacanya dapat melihatnya, mengalaminya, dan meletakkannya dalam sebuah lokasi spesifik yang dapat dikenal. Namun, dalam puisi Chairil, jika ada citra yang mulai dibangun, segera di baris-baris yang lain, imaji itu bertransformasi menjadi metafora. Jika dalam puisi Eliot, lanskap hutan, daerah pedesaan, suasana hiruk-pikuk kota menjadi tanah tempat si sajak berakar, dalam sajak Chairil, jika pun ada citra atau imaji yang sempat terbangun, seperti si aku liris, ia hadir dalam kesendirian dan keterasingan tanpa lanskap.

Saya menduga, hal itu tidak dapat dielakkan jika imajinasi dihadirkan dengan cara mencangkok, bukan tumbuh dari benih di tanah. Dalam hal ini, mungkin Angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru lebih menunjukkan ciri-ciri Modernis daripada puisi Chairil.

Suara yang terdengar dalam puisi Chairil cenderung hadir dalam keadaan terperangkap dalam “kamar” privat dan keterbatasan visual: ia cenderung hanya melihat objek satu persatu, bukan sebagai rangkaian, dan itu pun sepintas-sepintas. Saya bukan H.B. Jassin (ataupun Matthew Arnold), dan karena itu, saya tidak berminat ataupun berkepentingan untuk menilai baik-buruknya puisi Chairil. Saya berkepentingan untuk melihat betapa perbedaan antara perkembangan nasionalisme di Barat dan di negara Selatan global dan perkembangan Modernisme di dua wilayah kontradiktif itu tampak kongruen. Yang pertama berkembang sesuai dengan pertumbuhan setempat sedangan yang kedua dicangkokkan dari yang pertama, sehingga cenderung hadir terisolasi dan tak berakar. Kalaupun puisi Chairil Anwar menggambarkan dunia luar, dunia itu senantiasa dipandang dari dalam. Suara “aku,” dengan demikian, senantiasa terdengar dari kamar yang sempit yang menyesakkan.

Anthony Smith dalam Nationalism and Modernism (1998) menunjukkan benang merah yang menghubungkan nasionalisme dan Modernisme. Namun, ia pun menunjukkan betapa nasionalisme tidak dapat dipisahkan dari imperialisme dan kolonialisme baik sebagai perlawanan (di negara-negara bekas jajahan) maupun sebagai justifikasi atas imperialisme (Rusia, Turki Usmani, Jepang, Britania). Edward Said bahkan menegaskan bahwa baik nasionalisme maupun imperialisme bersandar pada asumsi dan sentimen eksepsionalisme nasional yang sama. Karena itu, tidak mengherankan jika Modernisme Chairil Anwar selama ini dibaca sebagai manifestasi semangat nasionalis Indonesia.

Jika Basyaib berharap bahwa kajian serius tentang Chairil Anwar melibatkan pembahasan tentang relevansinya bagi kesusastraan Indonesia kontemporer, mungkin kita harus mempertimbangkan memutus khayalan kita tentang hubungan Modernisme Chairil Anwar dari wacana periodisasi politik Indonesia yang menjadikan tahun 1945 sebagai tonggak dan memanfaakan sosok Chairil Anwar sebagai pembenaran atas dikaitkannya tahun 1945 dengan sejarah kesusastraan Indonesia. H.B. Jassin telah berupaya keras membela signifikansi Chairil Anwar sebagai pelopor Angkatan ’45 karena munculnya wacana yang meragukan kepenyairan Chairil Anwar. Namun, tidak tampak adanya perbincangan yang meragukan keabsahan dan kepatutan diciptanya gagasan “Angkatan ’45.” Bisa saja kita mempertahankan signifikansi tahun 1945 sebagai tonggak penting dalam sejarah. Akan tetapi, mungkin kita perlu mempertimbangkan 1945 sebagai lokus bagi peristiwa historis lain, seperti terutama berakhirnya Perang Dunia II.

Aijaz Ahmad dalam In Theory (1992) mencatat, sambil merujuk juga kepada Gerald Graff, bahwa sejak Perang Dunia II, masa kehadiran Chairil Anwar dalam dunia kesusastraan di Indonesia, terjadi “ledakan ‘teori’ sebagai ‘hasil dari sebuah iklim perselisihan radikal.’” Jika pun kita hendak mendudukkan karya-karya Chairil Anwar dalam konfigurasi Modernisme susastra dunia, kita harus mengakui bahwa ia masuk ke dalamnya cukup terlambat. Selain itu, jika kita akui Chairil Anwar sebagai pelopor Angkatan ’45, maka seluruh angkatan tersebut pun lebih pantas dikatakan sebagai pewaris dari sebuah gerakan sastra dunia, yang, ketika karya-karya Chairil mulai muncul dalam wacana kesusastraan Indonesia, sudah mulai digeser posisinya dengan berbagai gerakan sastra, seni, dan budaya yang menanggapi dan melawan Modernisme. Upaya peniruan, penerjemahan, dan penyaduran yang dilakukan Chairil Anwar, secara historis global, agaknya lebih pantas disandingkan dengan gerakan seperti Beat Generation atau Harlem Renaissance di Amerika Serikat.

 

Memandang Dunia dari dalam Kamar 3 x 4 m

Jadi, apakah Chairil seorang pelopor, dan apa pengaruh dan relevansinya bagi kesusastraan Indonesia sejak tahun 1950-an hingga kini? Menurut hemat saya, Chairil Anwar bukan yang pertama, dan bukan pula yang terakhir. Jika kita memerhatikan berbagai tulisan yang diterbitkan di berbagai kota di Hindia Belanda terutama oleh penerbit peranakan Tionghoa, kita akan melihat bahwa proses peniruan atau mimikri kolonial, sebagaimana yang diteorikan oleh Homi K. Bhabha dalam “Of Mimicry and Man” (1984), juga terjadi dalam tulisan-tulisan tersebut. Nomor-nomor awal terbitan berkalanya lazimnya memuat terjemahan dari materi asal Amerika dan Eropa, dan baru selanjutnya memuat karya-karya “asli,” yang meniru pola dan gaya karya-karya terjemahan dan saduran. Akan tetapi, perlu diingat juga bahwa pola dan gaya yang tersedia untuk ditiru pun ditentukan oleh distribusi industri penerbitan Barat. Jassin menjelaskan bahwa Chairil dapat mengakses karya-karya para penyair Modernis dari berbagai buku rampai yang distribusinya sampai ke Hindia Belanda/Indonesia. Chairil tidak pernah tercatat mendapat akses pada kumpulan sajak satu pengarang. Yang dibacanya adalah sampel-sampel.

Bagaimana dengan masa kini? Dulu Chairil berkutat dalam sempitnya kamar 3 x 4 meternya, tetapi berusaha meraih dunia melalui buku-buku rampai. Saya kira, sebelum Chairil, sejak tahun 1910-an, para penulis peranakan Tionghoa pun mengalami hal yang sama dengan membaca majalah dan tabloid yang menyajikan dunia secara fragmenter. Kini, generasi muda berusia belasan dan duapuluhan tahun juga berdiam di dalam kamarnya masing-masing seraya meraih dunia global melalui serpihan-serpihan blog, vlog dan video-video pendek di media sosial dan platform lainnya di ruang siber. Itulah relevansi Chairil Anwar di zaman kontemporer kita. Mungkin dia bukan pelopor, tetapi dia jelas merupakan epitome dan representasi sosok (pos-)kolonial di wilayah yang kini kita sebut Indonesia, yang secara nyata terpisah-pisah satu sama lain, tetapi berkhayal bahwa mereka berhubungan satu sama lain dan bahkan dengan seluruh dunia. Mungkin karena itu sosok Chairil Anwar dipandang begitu signifikan dalam perkembangan kesuastraan Indonesia.

Saya khawatir pernyataan-pernyataan yang saya ajukan dalam tulisan ini sama sekali tidak menawarkan resolusi bagi pertanyaan-pertanyaan baik yang ditawarkan oleh Jassin maupun Basyaib, tetapi menambahkan pertimbangan-pertimbangan lain yang memperumit persoalan yang sudah ada. Namun, mungkin, justru itulah yang diwariskan Chairil Anwar kepada kesusastraan Indonesia hingga kini. Perbincangan yang tidak berujung, wacana yang kekal.

Esai31 Agustus 2022

Ari J. Adipurwawidjana


Ari J. Adipurwawidjana mengajar dan melakukan riset di bidang kajian sastra dan budaya serta melakukan eksplorasi dengan interseksi antara kegiatan akademik, kesenian, dan aktivisme sosial di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran sejak 1991. Kajian yang dilakukannya banyak berfokus pada teks-teks dan praktik budaya khususnya sejak pertengahan abad kesembilan belas hingga pertengahan abad keduapuluh serta relevansinya dengan teks-teks dan praktik budaya di masa kini. Saat ini, di Universitas Padjadjaran ia sedang menjabat sebagai Ketua Program Studi Sastra Inggris, menjadi peneliti di Pusat Riset Gender dan Anak, dan duduk sebagai anggota Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Ia juga aktif di Dewan Kesenian Kota Bandung (DKKB), Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI), Asosiasi Program Studi Inggris se-Indonesia (ESAI), Postcolonial Studies Association, dan Asian Shakespeare Association.