Ukuran Becus Chairil Anwar
Mengadaptasi Puisi Conrad Aiken

Ilustrasi: Wulang Sunu

Tulisan ini adalah Juara Harapan Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2022.

Unduh versi tulisan sebelum disunting dalam format PDF lewat tautan ini.

Unduh juga Pertanggungjawaban Dewan Juri Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2022 dalam buku program melalui tautan ini.

 

*

 

Mengapa Menerjemahkan?

Mengapa seseorang menerjemahkan puisi? Meski terdengar naif, motif pertanyaan ini menggiring kita pada satu kejujuran bahwa menerjemahkan puisi, misalnya, dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dimulai dari ketertarikan. Meskipun begitu, hal inilah yang nantinya akan berpengaruh dalam penulisan sajak si penerjemah (jika ia seorang penyair) hingga si pembaca puisi terjemahan.  Menerjemahkan puisi dimungkinkan juga menjadi jalan menikung bagi orang yang semula kesulitan untuk bisa menulis puisi. Di sisi lain, puisi terjemahan tidak hanya dihadirkan ke publik sebagai alat promosi yang nantinya akan mendapatkan keuntungan, tetapi juga berfungsi pada keterhubungan atas konteks zaman.

Contoh kasus yang dapat kita amati adalah ketika Anton Kurnia menerjemahkan beberapa puisi karya Louise Glück (Glück, 2021), ia tidak bisa lepas dari ketenaran Glück sebagai penyair peraih Hadiah Nobel Sastra 2020. Anton tampak setia dengan terjemahan bebas sehingga pembaca akan merasakan atmosfer karya terjemahannya itu seolah-olah puisi asli dalam bahasa Indonesia. Selain itu, ketika Saut Situmorang menerjemahkan puisi-puisi Pablo Neruda (Neruda, 2017) yang tidak terlepas dari popularitas penyair Cile, juga dilengkapi dengan gaya penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sumber dan bahasa target. Begitu juga Agus R. Sarjono dan Berthold Damshäuser ketika menerjemahkan puisi-puisi Paul Celan (Celan, 2005). Celan adalah penyair avant-garde yang karya-karyanya masih dikaji oleh banyak orang.

Namun, jauh sebelum mereka lahir, ada Chairil Anwar yang hadir bukan hanya sebagai penyair, melainkan sebagai penerjemah—sebagaimana Amir Hamzah di era sebelumnya. Ia telah melakukan hal unik sekaligus ganjil  karena menerjemahkan penggalan puisi Preludes for Memnon atau Preludes to Attitudes (Aiken, 2003, pp. 113–144) karya Conrad Aiken. Ia menerjemahkan penggalan sajak ini begitu liar dan dekonstruktif sehingga ketika disandingkan dengan puisi aslinya, akan menimbulkan pertanyaan mengapa terjemahan Chairil Anwar tampak kontras? Apakah ia berusaha melakukan plagiasi atau menyadur?

 

Menilik Terjemahan Preludes for Memnon

Sebelum membahas lebih dalam, ada baiknya kita sedikit mengenal Conrad Aiken dan  Chairil Anwar. Terlahir sebagai anak dokter bedah mata, Conrad Aiken tidak mewarisi keahlian ayahnya. Ia tumbuh sebagai seorang penulis puisi, cerita pendek, novel, kritikus sastra, dan drama. Dengan banyaknya karya yang ditulis, tidak heran ia pernah mendapatkan penghargaan Pulitzer 1930 dan dinobatkan  menjadi United States Poet Laureate.

 Karya Chairil Anwar tidak sebanyak karya Conrad Aiken. Meski demikian, posisi Chairil Anwar sejajar dengan John Keats yang memiliki misi dan membawa perubahan pada kesusastraan. Salah satu bentuk perubahan yang dilakukan Chairil bukan hanya pada puisi, melainkan pada penerjemahan juga. Terjemahan Chairil yang dimuat H.B. Jassin dalam Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45 memperlihatkan bahwa Chairil Anwar tidak sedikit menerjemahkan karya tulis penyair asing. Akan tetapi, saya merasa terdorong untuk membaca Fragmen yang diterjemahkan dari penggalan puisi Preludes for Memnon atau Preludes to Attitudes (Jassin, 2018, 144–146) karya Conrad Aiken. Ternyata, karya terjemahan ini memiliki versi asli sepanjang 1073 baris. Setelah membaca penggalan puisi asli yang terdapat pada larik 919 sampai 957 dan terjemahannya berulang kali, saya menemukan apa yang saya sebut sebagai keunikan, keanehan penerjemahan, sekaligus kecurigaan untuk menerjemahkan saja atau untuk melakukan plagiat.

Tulisan ini hanya mendiskusikan bagaimana Chairil Anwar menerjemahkan larik 919 sampai 957 dari Preludes for Memnon atau Preludes to Attitudes. Bagaimana pola penerjemahan yang ia lakukan hingga metode apa yang kira-kira sesuai untuk menerjemahkan puisi? Mengapa pula ia lebih banyak melakukan adaptasi atau menyadur penggalan puisi Conrad Aiken itu?    Melalui pertanyaan-pertanyaan ini saya lebih tergoda untuk membicarakannya dengan konteks penerjemahan dari larik pertama hingga terakhir, entah itu per larik sampai per bait, dan tidak membagi-bagikannya menjadi sub-bab layaknya artikel jurnal. Agar lebih komprehensif, saya akan menampilkan teks bahasa sumber dan teks bahasa terjemahan secara  lengkap di bawah ini.

Terjemahan Chairil Anwar atas puisi di atas sangat menarik, tetapi menimbulkan kecurigaan. Saya tidak bisa  mengatakan bahwa apa yang sudah ia lakukan adalah sebuah kesalahan. Pertama, konteks bahasa puisi sekarang dan angkatan Chairil Anwar dimungkinkan adanya perbedaan. Kedua, menempatkan karya terjemahan sebagai hasil kreativitas. Ketiga, orientasi makna atas bahasa sumber jauh lebih utama. Keempat, ia berusaha untuk menulis ulang puisi bahasa sumber ke bahasa target, yaitu bahasa Indonesia. Dengan demikian, saya akan melakukan urutan diskusi dari awal penerjemahan hingga akhir.

 

Mencacah Terjemahan Chairil Anwar atas Preludes to Attitudes

Apa yang dilakukan Chairil Anwar terhadap puisi Conrad Aiken adalah terjemahan adaptif dan bebas. Cara seperti ini membuat saya bertanya-tanya, mengapa Chairil Anwar melakukan hal semacam ini? Apakah ia tidak betah menerjemahkannya secara bebas atau hanya sekadar beda? Apakah ini merupakan pengajaran yang ia lakukan untuk menerjemahkan puisi dengan  mendekatkannya melalui budaya target, yaitu masyarakat Indonesia?

Nothing to say, you say? Then well say nothing;” di dalam kolom bahasa sumber (BS) dapat diterjemahkan melalui model penerjemahan A (MPA) yang berorientasi pada terjemahan bebas (free translation) sebagai “Apa lu bilang? Ya udah diem.” Akan tetapi, puisi Conrad Aiken tidak akan diterjemahkan dengan cara demikian karena terjemahan alternatif ini merupakan bahasa lisan. Begitu juga dengan model   penerjemahan B (MPB), “Tidak ada yang perlu dikatakan, katamu? Kalau begitu jangan katakan apa-apa;” yang merujuk pada metode penerjemahan kata per kata (word-for-word). Penerjemahan ini pun memiliki makna semantik yang memadai dan hampir diterima. Sayangnya, kepadatan dan estetika sebagai terjemahan masih tampak lewah dan kaku. Penerjemahan “Tiada lagi yang akan diperikan? Kuburlah semua ihwal;” di dalam MPCA (model penerjemahan Chairil Anwar) bukan untuk memperlihatkan adanya ketepatan, melainkan sebuah pilihan yang ditawarkan oleh penerjemah. Hal tersebut disebabkan karena adanya efek dari kepadatan dan estetika makna yang akan dihadapi oleh pembaca. Proses penerjemahan bahasa sumber ke dalam MPA (bahasa lisan) hingga MPB (gaya penerjemahan bahasa sumber) dapat dikatakan sebuah perkiraan dari konteks bahasa sekarang sehingga MPCA menjadi fenomena yang dapat memengaruhi penerjemah lain. Apabila demikian, cara awal ini menjadi sebuah jalan menikung untuk mendapatkan bahasa  terjemahan yang puitis.

Apabila “But step from rug to rug and hold our breaths,” diterjemahkan menjadi “Tapi melangkah dari permadani ke permadani dan menahan napas kita,” tampak berurutan secara linguistik yang lagi-lagi membuktikan terdapat kesesuaian makna leksikal. Bahasa MPA memiliki keterpaduan antara jumlah kata dan tata bahasa dengan bahasa sumber. Sayangnya, pembaca atau peneliti penerjemahan akan bertanya mengapa Chairil Anwar menerjemahkan “But step from rug to rug . . .” menjadi “Duduklah diri beristirahat”? Bukankah penggalan larik ini memiliki kaidah sebagai  kata kerja infinitif yang, tentunya, mengarah pada sebuah kegiatan aku lirik yang berpindah  dari satu tempat ke lain tempat? Pertanyaan ini bukan hanya mengecoh pemikiran dan pengetahuan kita sebagai pembaca yang mengetahui bagaimana tata bahasa dan  maknanya, tetapi justru akan melilit kita pada reinterpretasi hingga kajian ulang mengenai terjemahan. Dengan demikian, terjadilah dialog antarpembaca dan teks.

Lantas, sekali lagi, bahwa terjemahan “. . . step from rug to rug . . .” ini memiliki penafsiran sebagai perpindahan subjek yang kemudian akan berdiam, yakni “Duduk diri . . .” Terjemahan Chairil Anwar menggoda kita untuk membahasnya melalui bahasa verbal, yakni ketika setelah seseorang melangkah (step) maka ia akan diam. Logika yang ditautkan oleh penerjemah inilah sangat tidak biasa karena akan mendorong kita untuk  kembali membuka kamus, membaca karya sastra dengan baik, hingga bertanya kepada ahlinya.

Pada teori terjemahan Newmark terdapat beberapa metode yang dapat diterapkan untuk menerjemahkan teks, yaitu metode kata per kata, semantik, literal, setia, bebas, adaptasi, idiom, dan komunikasi (Newmark, 1988, 45–47). Melalui landasan teori ini, kita akan melihat dan memahami bagaimana dan mengapa Chairil Anwar menggunakan metode penerjemahan adaptasi (saduran) dan metode penerjemahan bebas di dalam penggalan Preludes for Memnon. Secara  teoretis, metode adaptasi merupakan jenis proses penerjemahan yang sangat bebas (Newmark, 1988, 46). Penerjemah ini bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan komunikasi yang sering terganggu oleh bentuk-bentuk terjemahan tradisional (Bastin, 2019, 12), yaitu orientasi bahasa target. Hal ini dapat dicontohkan melalui MPCA yang berbeda sekali dari MPA di bawah.

Terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara model penerjemahan Chairil Anwar (MPCA) dan model penerjemahan A (MPA). Pertama, di dalam MPCA terdapat tokoh dan penyebutan nama tempat, sedangkan di MPA tidak ada. Kedua, orientasi     MPA adalah bahasa sumber, sedangkan MPCA berorientasi bahasa target, yakni metode adaptasi atau saduran. Sebenarnya, jika boleh diasumsikan bahwa MPA dapat disebut sebagai jalan awal untuk menuju MPCA sehingga kedua hal di atas mengerucut pada ketidaksetiaan dalam penerjemahan. Hasil penerjemahan yang sangat kontras dengan teks sumber, entah itu secara makna maupun bentuk. Ketidaksetiaan di dalam penerjemahan ini akan menimbulkan hujatan dan pelabelan baik-buruknya penerjemahan sehingga sesat orientasi dari perspektif  inilah yang akan tercipta. Bisa saja Chairil Anwar dikatakan sebagai penerjemah yang buruk karena mengadaptasi bagian teks puisi Conrad Aiken.   Akan tetapi, ketidaksetiaan Chairil Anwar dimungkinkan memiliki alasan kreativitas, yaitu    menciptakan adaptasi dan penyesuaian (Sanders, 2016, 26). Motif ini bukan hanya untuk  memahami kaitan antar teks, melainkan apakah di dalamnya terjadi proses analisis, ideologi, dan metode di dalam penerjemahan karena biasanya penerjemahan adaptasi ini akan melakukan penghilangan, penulisan ulang, (mungkin) penambahan. Meski begitu, akan tetap diakui sebagai karya penulis aslinya karena kehadiran dari pengucapan teks aslinya tidak hilang.

Lalu, adaptasi seperti apa yang dimaksud? Melalui fenomena MPCA, kita diingatkan oleh Bastin mengenai beberapa model penerjemahan adaptasi, yakni transcription of the original, omission, expansion, exoticism, updating, situational or cultural adequacy, dan creation. Apabila diterangkan, maka: (a) transcription of the original (menyalin teks sumber) merupakan reproduksi kata demi kata dari bagian teks   di bahasa sumber, terjemahan ini biasanya disertai dengan terjemahan harfiah; (b) omission adalah penghilangan atau mengimplisitkan bagian teks; (c) expansion atau perluasan, yaitu melakukan penambahan atau penjelasan sumber informasi, baik itu di tubuh teks, di kata pengantar, catatan kaki, maupun glosarium; (d) exoticism atau eksotisme adalah penggantian kata-kata gaul, dialek, kata-kata yang tidak masuk akal (dan sebagainya) di dalam teks sumber dengan padanan kasar dalam bahasa sasaran (kadang-kadang ditandai dengan huruf miring atau garis bawah); (e) updating (pemutakhiran) adalah penggantian informasi usang atau tidak jelas dengan padanan modern; (f) situational or cultural adequacy (kecukupan budaya maupun situasional) adalah penciptaan kembali atas konteks yang lebih dengan bahasa target atau penyesuaian budaya dari perspektif pembaca dari bahasa target daripada yang digunakan dalam bahasa sumber; dan terakhir (g) creation  atau penciptaan adalah penggantian teks bahasa sumber yang lebih global dengan teks yang mempertahankan pesan/ide/fungsi esensial dari teks bahasa sumber (Bastin, 2019, 12). Beberapa keterangan mengarahkan kita pada satu perspektif, yaitu masuk ke dalam   model semacam apa terjemahan larik 921-927 di atas?

Pada dasarnya, menjawab pertanyaan di atas bukan karena definisi yang sudah telanjur dilampirkan, melainkan suatu kejujuran dan logika berpikir atas diskusi di dalamnya. Tentu saja, memasukkan larik 921 dan 922 sebagai model adaptasi transcription of the original harus dipertanyakan mengapa. Sesuai dengan definisi yang disebut di atas bahwa “Lihat ke luar, hitung-pisah warna yang bermain di jendela/Atau nikmatkan lagi lukisan-lukisan di dinding” adalah reproduksi dari bagian Count the green ivy-strings against the window,/The pictures on the wall. Apabila kata-kata di atas diterjemahan harfiah maka beberapa kata Count = “hitung”, against the window = “di jendela”, The pictures on the wall = “lukisan-lukisan di dinding” adalah jawabannya.

Kemudian, larik 922 hingga 927 diterjemahkan sebagai “pemberian teman-teman kita./atau kita omongkan Ivy yang ditinggalkan suaminya,/jatuhnya pulau Okinawa. Atau berdiam saja/Kita saksikan hari jadi cerah, jadi mendung,/Mega dikemudikan angin/— Tidak, tidak, tidak sama dengan angin ikutan kita . . . ./Melupakan dan mengenang—’ merupakan situational or cultural adequacy. Alasan mengapa arti larik seperti yang dituliskan adalah kehadiran tokoh yang telah disebut di atas dan penyebutan nama tempat. Ivy dalam teks bahasa sumber adalah nama dedaunan, sedangkan di dalam MPCA adalah nama seorang tokoh. Kedua, konteks waktu dan tempat cenderung dihadirkan oleh MPCA melalui “jatuhnya pulau Okinawa”. Rekognisi semacam ini merujuk pada situasi Perang Dunia Kedua di Okinawa, Jepang. Dengan demikian, penyebutan kedua hal di atas memiliki pengaruh di dalam penerjemahan sehingga konteks yang diciptakan oleh Chairil Anwar memang berbeda dari teks bahasa sumbernya, yaitu puisi Conrad Aiken.

Pada terjemahan, khususnya larik 928-948, Chairil Anwar seolah-olah masih memberikan sikap ketidakbetahannya maka hal pertama yang ia lakukan adalah menerjemahkan teks bahasa sumber melalui metode penerjemahan bebas kemudian disambut dengan adaptasi. Metode penerjemahan bebas yang saya maksud adalah beberapa larik di bawah ini, yaitu larik 928-931.

Mengapa terjemahan keempat larik dalam MPCA dinamakan sebagai terjemahan bebas?

Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita akan menikung melalui tipografi puisi yang dihasilkan oleh Conrad Aiken dan hasil terjemahan Chairil Anwar. Keduanya terdapat bentuk yang kontras. Sebatas pembacaan saya, belum ada puisi asing yang diterjemahkan secara berani seperti yang dilakukan Chairil Anwar. Jika pun ada, ia akan dicap sebagai penerjemah yang salah menempatkan, lewah, dan tidak sesuai dengan kaidah bahasa sumber. Sementara, MPCA adalah sebuah penerjemahan karya sastra yang secara dekonstruktif sehingga tipografi ini kurang lebih memengaruhi gaya penerjemahan untuk masuk ke ranah metode penerjemahan bebas. Alasan akademisnya adalah untuk menciptakan keindahan (Viaggio, 2008, 185) dan mereproduksi materi isi tanpa bentuk aslinya (Newmark, 1988, 46; Sutikno et al., 2022, 64). Kedua alasan ini timbul karena di dalamnya memiliki terapan linguistik. Melalui “But we are strangers” yang diterjemahkan menjadi “Kau asing, aku asing” menjadi berlebihan. Mengapa tidak diterjemahkan sebagai “Tapi kita adalah orang asing” yang mendekati maknanya, yaitu metode penerjemahan semantik? Pada peristiwa ini kita akan melihat bahwa   terjemahan bebas sering dibedakan dari terjemahan kata per kata karena melalui konsep dasarnya, terjemahan bebas biasanya disajikan sebagai “tidak setia” atau infidelity pada  teks sumber. Dengan demikian, terjemahan semacam ini sering dinilai kontroversial, entah itu secara linguistik maupun estetika.

Lalu, apakah larik-larik terjemahan ini terbukti buruk? Saya kurang setuju karena teks yang diterjemahkan oleh Chairil Anwar ini terbilang unik dan dapat menginspirasi penerjemah lain. Tidak hanya itu, masih membicarakan terjemahan larik 928-931, di dalamnya terjadi proses perubahan bagaimana interpretasi MPA dan MPCA benar-benar menunjukkan adanya estetika penerjemahan yang secara implisit mengajarkan kita untuk menerjemahkan secara kreatif.

Apabila beberapa larik di atas diterjemahkan secara bebas maka kita akan  menduga apakah Chairil Anwar menerjemahkan larik-larik berikutnya melalui metode adaptasi? Bagaimana dengan kehadiran hospitals yang diterjemahkan sebagai “rumah sakit”? Bukankah ini suatu bukti metode word-for-word ala Newmark? Memang, itu adalah metode penerjemahan kata per kata, akan tetapi tidak dominan sehingga kita tidak perlu menganalisis metode penerjemahan ini begitu panjang. Mengapa pula beberapa larik di bawahnya seperti penerjemahan adaptasi? Sebelum menjawabnya, ada baiknya kita  mmembicarakan versi asli Conrad Aiken larik 932-936. Pada larik tersebut diutarakan bahwa aku lirik melakukan kegiatan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Perpindahan ini karena aku lirik sedang sakit. Interpretasi harfiah ini untuk melihat bagaimana teks   bahasa sumber yang disandingkan pada bahasa terjemahan bukan hanya untuk praktik pembedaan, melainkan jukstaposisi antarteks yang memiliki kemiripan makna. Apakah ini adalah bagian dari metode penerjemahan adaptasi? Pertanyaan ini menuntut kita untuk tergoda dalam penentuan metode yang biasa dilakukan oleh akademisi. Dengan demikian, ia akan mengulang kembali penekanan metode penerjemahan adaptasi dan metode penerjemahan bebas. Apabila ditinjau sepintas, keduanya hampir sama karena memiliki kebebasan untuk menginterpretasi kembali. pembeda antara keduanya adalah melalui adaptasi, ia akan menulis ulang atas puisi bahasa sumber dan mempertanyakan kembali alasan-alasan ini sambil memperhatikan teks bahasa sumber dan teks bahasa target.

Penjelasan di atas sudah disejajarkan teks bahasa sumber dan MPCA.Tujuannya adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh penerjemahan teks puisi pada orientasi bahasa target, yaitu bahasa Indonesia. Orientasi penerjemahan yang berlandaskan pada bahasa sumber ini ditujukan kepada seseorang yang menerjemahkan karya teks Bahasa Inggris dengan perspektif Bahasa Inggris. Lalu hasil yang tampak adalah tata Bahasa Inggris. Tidak hanya itu, makna yang dihasilkan pun akan terlihat dipaksakan sehingga keutamaan makna dalam penerjemahan terlihat kaku dan sulit dimengerti. Berbeda halnya ketika orientasinya mengacu pada bahasa target, si penerjemah akan mengkonversi bahasa target menjadi lebih alami untuk dibaca. Apabila MPCA di atas disebut sebagai metode penerjemahan bebas maka “Dan juga/diangkat dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain/mengungsi dari kota satu ke kota lain?” dapat dimungkinkan masuk ke dalam kategori ini, meski harusnya kata Roma dan Kairo dihadirkan. Akan tetapi, kedua tempat ini masuk ke  dalam istilah kota yang dimaksudkan oleh Chairil Anwar, yakni “ . . .  dari kota satu ke kota lain?”

Perkara selanjutnya adalah diterjemahkan dari manakah “Aku/sekarang jalan dengan 1 ½ rabu./Dan/Pernah percaya pada kemutlakan soal . . . ./Tapi adakah ini kata-kata untuk mengangkat tabir/pertemuaan/memperlekas datang siang? Adakah —?” Cukup membingungkan ketika mendapatkan kasus ini. Bukankah Why so have I; and lost my tonsils, too;/And drunk the waters of the absolute./But is it this we meet for, of an evening,/Is it this— seharusnya diterjemahkan “Mengapa saya juga demikian; dan kehilangan amandel saya juga;/Dan meminum air yang mutlak./ Tapi apakah ini yang kita temui, di suatu malam,/Apakah ini—” yang merujuk pada metode penerjemahan semantik? Apakah ini kesalahan Chairil Anwar? Secara kasat mata MPCA ini tergolong sebuah kesalahan karena tidak menerjemahkan kata-kata yang sesuai dengan kaidah semantik. Akan tetapi, tidak begitu dengan apa yang dikatakan oleh Bastin melalui model-model adaptasi. Larik 932-936 di atas dapat dikatakan membicarakan mengenai ketetapan  hati dan perjumpaan. Pun di dalam terjemahannya memiliki makna yang sama. Meski demikian, di dalam MPCA dituangkan secara implisit sehingga ia lebih sesuai dimasukkan ke dalam omission.

Bagaimana dengan larik 937-948 di bawah ini? Kira-kira apa yang Conrad Aiken bicarakan? Di dalam bahasa sumber kita akan melihat bagaimana aku lirik mengungkapkan dirinya untuk berkata jujur, membicarakan keagungan, dan perempuan. Akan tetapi, dalam larik- larik memiliki kata kunci Shelley (penyair Romantik   Inggris), Sunday (Minggu), dan Jesus (Isa) yang menjadi fenomena yang akan kita sandingkan melalui MPA dan MPCA.

Di dalam MPA, kita akan melihat betapa kita akan memahami makna terjemahan yang sesuai dengan makna leksikal maka kita mungkin tidak akan berdebat banyak mengenainya. Lain halnya dengan MPCA yang membuat kita heran  karena terjemahan yang dihasilkan berbeda dari MPA yang tunduk pada penerjemahan konvensional.

BS O come, like Shelley,/For god’s sake let us sit on honest ground/And tell harsh stories of the deaths of kings!
MPCA Mari cintaku/Demi Allah, kita jejakkan kaki di bumi pedat,/Bercerita tentang raja-raja yang mati dibunuh rakyat;

Di sini kita akan melihat bagaimana terjemahan adaptasi ini menjadi bagian dari transcription of the original. Shelley (penyair Romantik Inggris) diadaptasi menjadi “cintaku”, “For god’s sake” memiliki konteks budaya Indonesia atau boleh jadi konteks lingkungan agamanya, yakni “Demi Allah,” ‘honest ground’ diterjemahkan menjadi “bumi pedat” dan selebihnya memiliki makna yang kurang-lebih bebas dalam penerjemahannya.

Menyalin teks sumber menjadi bahasa yang dekat dengan bahasa Indonesia adalah hal dasar yang ingin dicapai sehingga kedekatan makna untuk pembaca ketika itu menjadi lebih  lekat.

BS Have out our hearts, confess our blood,/Our foulness and our virtue!
MPA Keluarkan hati kita, akui darah kita,/Kekotoran dan kebajikan kita!
MPCA Papar-jemur kalbu, terangkan jalan darah kita/Hitung dengan teliti kekalahan, hitung dengan/teliti kemenangan.

Di dalam BS (bahasa sumber), ada 12 kata, sedangkan pada MPCA 15 kata. Bedakan juga dengan MPA yang terdiri dari 11 kata. Perbedaan jumlah kata membuat kita penasaran mengapa lebih banyak kata yang dihasilkan ketika diterjemahkan. Tidak hanya itu, hal elementer ini membawa kita pada satu analisis mengenai perbedaan makna dari MPA hingga MPCA. Di dalam MPA, penerjemahan yang dilakukan adalah word- for-word translation sedangkan di dalam MPCA terdapat penggantian dan penambahan kata   yang menjadi bagian dari adaptasi expansion.

BS I have known/Such sunsets of despair as god himself/Might weep for of a Sunday; and then slept/As dreamlessly as Jesus in his tomb,/I have had time in one hand, space in the other,/And mixed them to no purpose.
MPA Aku telah mengetahui/Matahari terbenam keputusasaan seperti dewa itu sendiri/Mungkin menangisi hari Minggu; lalu tidur/Tanpa mimpi seperti Isa dalam kuburnya,/Aku memiliki waktu di satu sisi, ruang di sisi lain,/Dan mencampurnya tanpa tujuan.
MPCA Aku sudah saksikan/Senja kekecewaan dan putus asa yang bikin tuhan juga/turut tersedu/membekukan berpeluh nabi, hilang mimpi, dalam/kuburnya./Sekali kugenggam Waktu, Keluasan di tangan lain/Tapi kucampur baurkan hingga hilang tuju.

Terjemahan ini sedikit menyulitkan kita untuk menentukan dan masuk ke dalam adaptasi versi Bastin manakah ia digolongkan sehingga proses yang harus dilalui adalah dengan memeriksa satu per satu kata. Apabila ia masuk ke dalam creation,    apa yang telah Chairil Anwar tawarkan untuk menciptakan makna khusus? Kemudian, apabila penerjemahan ini merujuk pada transcription of the original, kaidah apa yang telah ia ungkapkan? Tidak hanya itu, creation dan transcription of the original adalah serupa  tapi tak-sama, yaitu mengubah. Hal yang membuat kita menyadari bahwa dengan adaptasi creation teks akan sangat berubah sedangkan transcription of the original membawa kita kepada keterangan adanya perubahan yang masih diikuti oleh terjemahan harfiah. Sayangnya, terjemahan harfiah yang dilakukan Chairil Anwar adalah terjemahan bebas sehingga transcription of the original adalah penentuan akhir pada larik-larik ini.

BS I have seen/More in a woman’s eye than can be liked,/And less than can be known. And as for you—
MPA Aku sudah melihat/Lebih di mata wanita daripada yang bisa disukai,/Dan kurang dari yang bisa diketahui. Dan untukmu—
MPCA Aku bisa nikmatkan perempuan luar batasnya, cium/matanya, kucup rambutnya, isap dadanya jadi/gersang.

Selanjutnya, terdapat penghilangan empat kata, yakni And as for you—.MPCA memiliki makna erotis karena memperlihatkan adegan pecintaan.  Sedangkan MPA malah sebaliknya. Ia hanya menuangkan perjumpaan antarsubjek yang tidak seekstrem MPCA. Lalu MPCA berakhir dengan penghapusan beberapa kata bahasa sumber. Dengan demikian, hal tersebut pantas menjadi contoh dari model adaptasi omission.

Ketika melihat larik 949 sampai 955, kita akan mendapatkan bentuk tipografi bahasa sumber yang konvensional sedangkan di dalam MPCA kita akan melihat tipografi dua larik berselang yang menjorok ke dalam. Kehadirannya tampak seperti tanda baca yang menjadi pengaruh atas terjemahan di bawah ini.

Di dalam bait kedua terdapat kata “atom” yang lumrah bagi puisi bahasa sumber dan  bisa diterjemahkan menjadi “atom” dalam bahasa Indonesia (MPA) sedangkan di dalam MPCA tidak ada sama sekali. Kita harus mengakui bahwa larik awal di bait ini dipadatkan untuk mendapatkan adaptasi exotism karena ketika diterjemahkan secara harfiah akan tampak masuk akal untuk bahasa target (bahasa Indonesia). Terdapat penghilangan kata “atom” masuk ke dalam omission. Kemudian, larik-larik setelahnya diterjemahkan secara bebas (free translation) untuk mendapatkan kesan puitis di dalam MPCA. Terjemahan MPA dan MPCA memiliki makna yang sama. Hal yang membedakannya adalah gaya bicaranya sehingga MPCA masuk ke dalam kategori terjemahan bebas.

Berbeda halnya dengan larik 956 yang diterjemahkan melalui metode faithful translation atau terjemahan setia. Metode terjemahan seperti ini menitikberatkan pada kesetiaan dalam tata bahasa sumber (Newmark, 1988, 46). Apabila dianalisis secara linguistik maka akan tampak seperti di  bawah ini.

Urutan tata bahasa BS yang dimulai dari anak kalimat hingga induk kalimat yang berada di belakangnya memiliki kemiripan dengan MPCA. Begitu pula dengan kata per kata tata bahasa BS  memiliki kedisiplinan untuk mengikuti pola bahasa Inggris sehingga tabel pemecahan ini memiliki fungsi untuk mengetahui dan memahami bentuk terjemahan setia.

Sebaliknya, larik 957 yang diterjemahkan oleh Chairil Anwar ini mengingatkan kita pada metode yang diusung Newmark, yaitu terjemahan bebas karena terdapat penambahan. Penambahan ini memberikan kita jalan untuk membaca  kembali penerjemahan bebas karena di dalam MPCA terdapat ungkapan “Yang bukan-penyair tidak ambil bagian.

Seperti yang dikatakan di atas bahwa larik ini diterjemahkan secara bebas. Ketika ada penambahan “lupakan” dan “Yang bukan-penyair tidak ambil bagian.”, kita terperangah bahwa terjadi kesalahan interpretasi atas analisis di  atas. Beberapa ungkapan penambahan ini tidak lagi merujuk pada penerjemahan bebas, melainkan adaptasi transcription of the original yang disertai dengan terjemahan harfiah di dalamnya.

 

Pandangan Sementara

Melalui diskusi dan pembacaan teks BS dan MPCA di atas, saya berandai-andai. Jika saja Chairil Anwar hidup di masa sekarang dan menerjemahkan puisi dengan gaya  seperti ini, apakah ia akan dikatakan sebagai penerjemah yang gagal, tidak becus, dan seenaknya sendiri untuk menerjemahkan karya Conrad Aiken? Saya lebih cenderung untuk menebak bahwa Chairil Anwar akan dihujat, terlebih oleh sastrawan yang memiliki kemampuan dan gemar berbahasa Inggris. Ditambah lagi bahwa redaktur koran cetak dan koran portal yang memuat sastra akan mengafirmasi bahwa ia sudah kelewatan dan membuat malu karena menjadikan puisi penyabet Pulitzer ini menjadi nirmakna. Sepertinya pandangan ini akan terjadi ketika ia, saya, anda, dan mereka masih terjerembap dan tidak bisa beralih dari penerjemahan berorientasi bahasa sumber saja. Tidak hanya itu, para penerjemah sudah dimanjakan oleh perangkat penerjemahan yang kian canggih sehingga  mesin penerjemahan adalah alat bantu sehari-hari. Untuk mengetahui makna bahasa asing kita cukup memfoto teks dengan gawai telepon pintar. Selesai perkara!

Karena Chairil Anwar adalah manusia masa lalu maka pengandaian di atas kurang tepat dan tidak sepadan karena mungkin saja terjemahannya akan lebih puitis dan kreatif dari penerjemahan puisi masa kini. Di sisi lain, melalui diskusi di atas, terjemahannya dapat dikatakan sebagai jalan terang dan alat pembelajaran untuk penerjemahan di ruang pendidikan maupun publik. Ia tidak didominasi oleh   orientasi penerjemahan bahasa sumber. Puisi terjemahan MPCA memiliki konteks waktu dan budayanya sehingga penilaian atas estetika penerjemahan tidak bisa diragukan lagi.

Kelebihan inilah yang menjadikan MPCA memiliki pola metode penerjemahan bebas lalu diikuti dengan terjemahan adaptasi. Ini adalah kebebasan dalam   penerjemahan. Terakhir, kita tidak boleh lupa bahwa Chairil Anwar adalah penyair. Ia memiliki segala kelengkapan dalam menerjemahkan teks (lebih-lebih puisi) secara estetis. Apakah memang demikian?

 

Kepustakaan

Aiken, C. (2003). Selected Poems (1st ed.). Oxford University Press.

Bastin, G. L. (2019). Adaptation. In Routledge Encyclopedia of Translation Studies (3rd ed., pp. 10– 14). Routledge. https://doi.org/10.1556/084.2021.00017

Celan, P. (2005). Candu dan Ingatan (A. R. Sarjono & B. Damshäuser, Eds.; 1st ed.). Horison.

Glück, L. (2021, February 24). Puisi-Puisi Louise Glück – Bunga Iris Liar (A. Kurnia, Trans.).

Bacapetra.Co; bacapetra.co. https://www.bacapetra.co/puisi-puisi-louise-gluck-bunga-iris-liar/ Jassin, H. B. (2018). Chairil Anwar: Pelopor Angkatan ’45 (2nd ed.). Narasi.

Neruda, P. (2017). Dua puluh Puisi Cinta dan Satu Nyanyian Putus Asa (I. Bajang, Ed.). Indie Book Corner.

Newmark, P. (1988). A Textbook of Translation (1st ed.). Prentice-Hall International.

Sanders, J. (2016). Adaptation and Appropriation. In Adaptation and Appropriation (1st ed.).

Routledge. https://doi.org/10.4324/9781315737942

Sutikno, E. U., Kurniawan, P., Nugroho, O. B. D., Alfah, N., Winarti, E. R., Audria, V., & Kamelia. (2022). Source and Target Language Oriented on ‘The Bicycle Rider’ by Tom W. Shapcott on Sapardi Djoko Damono’s Translation (A Case Study). Globish (An English-Indonesian Journal for English, Education and Culture), 11(1), 57–69. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.31000/globish.v11i1.5556

Viaggio, S. (2008). Semantic and Communicative Translation: Two Approaches, One Method. In M.

  1. Larson (Ed.), Translation: Theory and Practice, Tension and Interdependence (1st ed., pp. 172–187). John Benjamins Publishing Company.
Esai31 Agustus 2022

Eka Ugi Sutikno


Eka Ugi Sutikno lahir di Serang pada 10 Desember 1981. Ia mengenyam pendidikan S1-nya di Fakultas Sastra Inggris, Universitas Pakuan. Lalu, menamatkan S2-nya di Kajian Budaya, Universitas Sebelas Maret. Selepas lulus S1, ia pernah mengajar di beberapa sekolah dan bertemu dengan kawan-kawan Kubah Budaya. Di komunitas sastra inilah ia mencoba kembali belajar banyak mengenai sastra dan filsafat. Sekarang, ia menjadi pengajar tetap di Universitas Muhammadiyah Tangerang, menjadi pengembang situs https://tanpabatas.art/, dan sedang menempuh pendidikan S3 Kajian Budaya di Universitas Padjadjaran.