Chairil Anwar Tak Menghiraukan Alam?

Ilustrasi: Wulang Sunu

Tulisan ini adalah Juara III Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2022.

Unduh versi tulisan sebelum disunting dalam format PDF lewat tautan ini.

Unduh juga Pertanggungjawaban Dewan Juri Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2022 dalam buku program melalui tautan ini.

 

*

 

Ihwal alam dalam sajak pernah diperdebatkan sastrawan Pujangga Baru dan Angkatan 45. Rivai Apin, salah seorang penyair Angkatan 45, mengirim surat kepada H.B. Jassin[1] terkait perdebatan itu.  Dalam surat tersebut, Rivai menyampaikan bantahannya terhadap Sutan Takdir Alisjahbana (STA) yang menilai “generasi sekarang” (generasi penyair Angkatan 45[2]) kurang memperhatikan alam. Rivai menyanggah pendapat STA dengan menyuguhkan beberapa contoh baris dalam sajak-sajak penyair Angkatan 45 yang menggunakan alam sebagai unsur penting, seperti Dalam sunyi malam ganggang menari. Lagu derita di pantai yang jauh dan gerimis mempercepat kelam karya Chairil Anwar dan tenggelam matahari. Ufuk sana tiada nyata karya Asrul Sani.[3] Dari contoh baris ini, kita bisa menemukan bagaimana entitas alam, seperti “ganggang”, “pantai”, “gerimis”, dan “matahari”, digunakan oleh Chairil dan Asrul untuk membangun suasana, menciptakan kiasan, dan membentangkan latar. Sayangnya, perdebatan seputar perihal alam yang pernah mencuat ini tidak mendapatkan respons lanjutan dan intensif dalam berbagai telaah tentang sajak-sajak Chairil Anwar dan para penyair Angkatan 45 di kemudian hari.

Telaah bandingan antara sajak penyair Pujangga Baru dan Angkatan 45, misalnya antara sajak Amir Hamzah dan Chairil Anwar, pernah disajikan oleh Nirwan Dewanto dalam esainya “Situasi Chairil Anwar”, tertanda tahun 2011. Namun, bahasan bandingan antara sajak Chairil dan Amir Hamzah tersebut terfokus pada struktur bahasa dan bentuk. Dewanto mengumpamakan “Amir masih menggambar pemandangan molek rupa di mana ruang masih tunggal terus menerus, Chairil melukis ruang yang terpecah-pecah (seperti dalam pasca-impresionisme).” Perumpamaan ini mengindikasikan Chairil menciptakan sajak yang berbeda dari pendahulunya. Sebagai contoh,  Dewanto menyampaikan bahwa setiap larik dalam  sajak “Senja di Pelabuhan Kecil”, berisi kalimat dan frasa yang tidak lengkap, menggantung, yang hanya secara “tanggung” berusaha menyambung dengan kalimat  atau frasa sesudahnya.  Sementara, terhadap sajak “Derai-Derai Cemara”, Dewanto berpendapat bahwa bait pertama sajak tersebut merupakan sampiran murni, bait kedua setengah sampiran yang menjadi perantara bait pertama dan ketiga, dan bait ketiga yang merupakan isi.[4] Sayangnya, perihal representasi alam dan bagaimana perannya dalam konstruksi sajak “Senja di Pelabuhan Kecil” dan “Derai-Derai Cemara” tidak menjadi perhatian Dewanto.

Jauh hari sebelumnya, analisis struktur bahasa dalam sajak Chairil Anwar sudah pernah dilakukan Rahmat Djoko Pradopo. Ia mengklaim bahwa terdapat pemadatan bahasa dalam sajak-sajak Chairil, seperti pemendekan kata, penghilangan imbuhan, dan penyimpangan unsur sintaksis.[5] Di luar aspek struktur bahasa untuk pencapaian puitik tersebut, soal alam sebenarnya menarik untuk dikaji lebih jauh karena pernah menjadi sumber perbedaan pandangan antara Rivai Apin dan STA. Kajian mendalam tentang representasi alam dalam sajak-sajak Angkatan 45 akan bisa menjawab pertanyaan apakah Chairil Anwar dan para penyair seangkatannya tidak menghiraukan alam atau justru sebaliknya.

Namun, Pradopo juga tidak secara khusus membongkar urgensi penggunaan entitas alam dalam sajak Chairil Anwar, meskipun dia mengutip sajak Chairil yang bertajuk “Sajak Putih” dalam uraiannya tentang jenis-jenis imaji atau citraan.[6] Padahal, dalam “Sajak Putih” Chairil tersebut, kita bisa menemukan “pelangi”, “kembang mawar dan melati” dan juga “sutra senja” yang berperan signifikan dalam konstruksi puitik, seperti rima, dan menciptakan makna. Dewanto, dalam esainya tersebut juga mengutip “Sajak Putih”, tetapi dia lebih mengomentari hilangnya satu bait dalam sajak tersebut dan mempertanyakan siapa yang menghilangkan bagian sajak tersebut.[7]  

Sapardi Djoko Damono juga tidak memberikan perhatian terhadap entitas alam dalam sajak-sajak Chairil dalam esainya “Chairil Anwar Kita”, meski dia menyinggung sajak “Derai-Derai Cemara” dalam esai tersebut. Tulisan Sapardi yang merupakan kata penutup buku puisi Chairil yang berjudul “Aku Ini Binatang Jalang lebih menyinggung perihal kontroversi kehidupan pribadi Chairil, transformasi identitas dalam sajak-sajak Chairil, semangat hidup dan sikap kepahlawanan, serta pertumbuhan cepat Chairil dalam karier kepenyairannya. Pembahasan Sapardi Djoko Damono tentang sajak “Derai-Derai Cemara” dalam kata penutup tersebut lebih terfokus pada proses transformasi diri manusia (penyair). [8]  Sapardi Djoko Damono tidak mengkaji bagaimana peran entitas alam dalam larik-larik seperti cemara menderai sampai jauh/terasa hari jadi akan malam,/ada beberapa dahan di tingkap merapuh/dipukul angin yang terpendam/ di bait pertama dalam sajak “Derai-Derai Cemara” yang merupakan citraan-citraan alam untuk merefleksikan kondisi persona yang tengah mengalami perubahan.

Membaca perdebatan penyair Pujangga Baru dan Angkatan 45 tentang perhatian penyair terhadap alam dalam sajak, dan beberapa telaah sajak Chairil Anwar yang tidak secara khusus dan mendalam mengkaji soal alam, melalui tulisan ini saya tergerak untuk mengeksplorasi lebih jauh citraan-citraan alam yang digunakan Chairil Anwar dalam sajak-sajaknya dan makna-makna apa yang terkandung di balik berbagai citraan tersebut. Saya juga tertarik untuk menelaah perbedaan antara Chairil dan  para penyair Pujangga Baru, seperti Amir Hamzah dan STA, dalam merepresentasikan alam dalam sajak-sajak mereka.   

 

Alam, Harapan Kandas, dan Konstruksi Identitas

Dalam sajak “Senja di Pelabuhan Kecil”[9], Chairil Anwar menggunakan alam untuk menggambarkan harapan yang tidak terwujudkan dan relasi yang tidak harmonis. Oleh karena itulah, alam yang dibentangkan Chairil  dalam sajak ini bukanlah alam indah yang menciptakan kenyamanan dan mendukung realisasi harapan manusia. Keindahan lanskap sebuah pelabuhan kala senja, sebagai contoh, adalah ketika sebuah kapal atau perahu berada di tepi pantai atau sedang berlayar mengarungi samudra dengan hiasan sinar matahari senja yang kemerahan. Namun, Chairil justru mengonstruksi gambaran kapal dan perahu yang “tiada berlaut”. Untuk mengidentifikasi konstruksi ini dan bagaimana pengaruhnya pada suasana batin aku-lirik, mari kita cermati sajak “Senja di Pelabuhan Kecil” di bawah ini:

Ini kali tidak ada yang mencari cinta

di antara gudang, rumah tua, pada cerita

tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut

menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

 

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang

menyinggung muram, desir hari lari berenang

menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak

dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

 

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan

menyisir semenanjung, masih pengap harap

sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan

            dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.

Tumpuan harapan “kapal” dan “perahu” terletak pada air laut dan sungai. Tanpa menemukan tempat untuk berlayar dan melaju, kapal dan perahu tak akan pernah bisa melabuhkan impian orang-orang yang menahkodai dan menumpanginya. Entitas alam laut, dalam kata “tiada berlaut” memiliki peran penting dalam menggambarkan tidak terwujudnya sebuah asa karena laut yang merupakan medium sebuah pelayaran telah tiada. “Tiada berlaut” bisa dimaknai secara konotatif sebagai tumpuan harapan yang tidak lagi tersedia atau yang tidak bisa diharapkan lagi. Pemaknaan ini berkorelasi dengan baris pertama bait kesatu yaitu “Ini kali tidak ada yang mencari cinta”, sebuah baris pembuka yang sedih dan pesimis. Dengan demikian, tujuan Chairil Anwar dalam menggunakan frasa “tiada berlaut” adalah untuk memberikan tekanan pada “kapal” dan “perahu” (alat untuk menggapai harapan) yang tidak lagi mendapatkan tempat untuk melayarkan keinginan. Citraan-citraan pantai-pesisir sebagai konsekuensinya menjadi elemen signifikan dalam menghadirkan kemuraman dan kegagalan. Tidak ada relasi kesalingan antara kapal, perahu dan laut sehingga harmoni tidak bisa diwujudkan. Ketika harapan tidak bisa direalisasikan, pastilah kesedihan akan menimpa manusia. Kritikus sastra H.B. Jassin dalam esainya “Senja di Pelabuhan Kecil” Chairil Anwar[10] menyampaikan bahwa dalam sajak “Senja di Pelabuhan Kecil” pembaca akan menemukan sebuah kerawanan di hati, suatu kesedihan yang tidak terucapkan. Kesedihan muncul karena sang persona belum mampu menggapi mimpinya. Melalui esai H.B. Jassin ini, kita mengetahui sajak tersebut, yang oleh Chairil diberi tulisan “Buat Sri Ajati” di bawah judulnya memiliki latar belakang kisah Chairil yang terpikat oleh gadis bernama Sri Ajati, tetapi bertepuk sebelah tangan, karena sang gadis telah memiliki pujaan hati. Terlepas dari narasi biografis Chairil yang personal ini, kegagalan yang ditamsilkan melalui gambaran perahu yang kehilangan tumpuan bisa berlaku universal, mengenai siapa pun yang tidak mampu menaklukkan wanita idaman. Bahkan, jika kita menegasikan kisah pribadi Chairil tersebut yang membuat kita mengait-ngaitkan sajak “Senja di Pelabuhan Kecil” dengan tragedi asmara Chairil, kita bisa membawa sajak tersebut pada pemaknaan yang lebih luas dari sekedar ihwal cinta, seperti impian-impian lainnya.

Di bait kedua, Chairil Anwar menggambarkan “tanah” dan “air” yang tidak menunjukkan pamor keindahan dan fungsi harmonis. Sebaliknya, Chairil mendeskripsikan “tanah” dan “air”  dalam kondisi statis, yang terepresentasikan dalam kata “tidur”, dan kehilangan kekuatannya, yang terwakili frasa “hilang ombak”. Entitas tanah dan air yang biasanya berada dalam ekosistem yang bisa menyatu dan saling melengkapi justru tercerai berai. Jika suatu benda ‘tidur’ maka tak ada yang bisa dilakukan benda itu. Dan jika “air”, dalam konteks ini air laut, kehilangan ombak, maka laut akan kehilangan dinamika dan ciri mendasarnya.

Di bait kedua ini, kemuraman dan kegagalan itu dihiperbolakan Chairil melalui frasa “tidak bergerak”. Sementara, di bait ketiga, “semenanjung” dan “pantai” menjadi bagian alam yang menjadi latar kandasnya harapan. Gambaran aku-lirik yang menyusuri semenanjung hingga ujung dan pantai keempat menunjukkan perjalanan menghadapi kesedihan yang panjang. Penyusuran sang aku-lirik itu, digambarkan dalam larik-larik bait akhir yang berirama. Namun, keindahan bunyi itu bertentangan dengan isi bait yang menonjolkan kesedihan.   

Cara dan tujuan Chairil Anwar menggunakan entitas “laut” dan unsur alam lainnya dalam sajak “Senja di Pelabuhan Kecil” di atas berbeda dengan cara dan tujuan Amir Hamzah menggunakan kata “teluk” dalam sajaknya “Berdiri Aku”[11] di bawah ini:

Berdiri aku di senja senyap

camar melayang menepis buih

melayuh bakau mengurai puncak

berjulang datang ubur berkembang

 

Angin pulang menyejuk bumi

menepuk teluk mengempas emas

lari ke gunung memuncak sunyi

berayun alun di atas alas.

“Teluk” membawa kita pada bayangan entitas air laut yang diapit oleh daratan. Namun, citraan teluk yang diciptakan Amir Hamzah ini semata menggambarkan lanskap alam dalam larik-larik bait tanpa secara langsung menghadirkan pesan atau persoalan sebagaimana yang dilakukan Chairil. Kita hanya mendapati informasi aku-lirik di awal larik yang tengah berdiri tanpa mengartikulasikan apapun tentang dirinya atau persoalan yang tengah bergejolak di sekitarnya.

Sang aku-lirik hanya mewartakan dirinya berada dalam sebuah latar waktu (senja) dan membiarkan dirinya dikelilingi lanskap alam membentang yang tidak memberikan pengaruh apapun terhadap eksistensinya. Alam dalam puisi Amir Hamzah di atas juga digambarkan dalam lanskap harmonis, yang memberikan kesan keindahan dan kesatuan antara satu dan lainnya, seperti baris “Angin pulang menyejuk bumi”. Dalam baris ini, kita bisa melihat atmosfer alam yang penuh kedamaian.  

Untuk menunjukkan perbedaan antara penyair Angkatan 45 dan Pujangga Baru dalam mengonstruksi alam dalam sajak mereka,  berikut ini saya juga mengemukakan penggalan sajak karya Rivai Apin, yang pandangannya tentang perhatian penyair Angkatan 45 tentang alam saya kutip di pembuka tulisan saya ini. Cara Rivai Apin mengutarakan alam, dalam konteks ini adalah “laut”, dalam sajaknya lebih mirip dengan yang dilakukan oleh Chairil Anwar daripada yang dilakukan oleh Amir Hamzah. Berikut penggalan sajak Rivai Apin “Anak Malam”[12] yang menggunakan “laut” dalam salah satu baitnya:

Aku naikkan kelepak baju

Tiada angin, tidak dingin

Udara hambar tiada rasa

aku bergerak, karena mau saja,

dulu sangat lain aku bermimpi

 

Jauh di laut utara terdengar

Berkebar layar dipukul angin

Aku bangkit dari suasana dan menyadari

Ada juga yang melancar.

Rivai Apin dalam penggalan sajaknya di atas menggunakan “laut” sebagai latar alam yang memproduksi suara yang memengaruhi transformasi identitas aku-lirik. Suara yang muncul di laut telah membuat “aku” terjaga dari sebuah situasi yang pada awalnya ‘meninabobokan’ dan baru kemudian membuatnya tersadar akan peristiwa lain yang sedang bergerak secara dinamis. “Angin” dalam bait kedua di atas juga digambarkan berperan aktif dalam memengaruhi gerak layar. Kita tahu bahwa layar adalah salah satu peranti perahu yang digunakan manusia untuk mengarungi lautan. Dengan demikian, entitas alam, pada konteks sajak Rivai Apin di atas, bukan semata objek yang membuat aku-lirik kagum atau sebuah benda yang memiliki sifat statis. Sebaliknya, unsur alam tersebut menjelma subjek yang secara aktif memengaruhi  jati diri “aku”. Peran signifikan alam dalam sajak ini diperkuat pula dengan sentuhan-sentuhan puitik, seperti melalui permainan rima di baris “tiada angin, tidak dingin”, dan musikalitas beberapa kata dengan bunyi sama di baris-baris berbeda namun dalam satu bait yang sama, seperti “terdengar”, “berkebar layar”, dan “melancar”. Permainan bunyi yang tidak monoton di tiap bait, bahkan baris ini,  merefleksikan citra alam yang tidak tunggal, yang bisa memantulkan sisi keindahan maupun kerusakan.

Sejalan dengan Rivai Apin, Chairil Anwar dalam sajaknya yang bertajuk “Cerita Buat Dien Tamaela”[13] menggunakan “laut” secara simbolis, sebagai entitas yang membentuk identitas kultural persona dalam sajaknya. “Laut” dalam sajak Chairil yang berjudul “Cerita Buat Dien Tamalea” menjadi unsur penting dalam membentuk identitas sosok Pattiradjawane. Dalam sajak ini, Chairil tahu bagaimana laut dan tradisi kehidupan yang berkembang di sekitarnya berkonstribusi besar dalam pembentukan jati diri budaya anak bangsa dari Maluku tersebut.

Untuk menyelami fungsi laut dalam diri Pattiradjawane, berikut saya kutipkan penggalan sajaknya:

Beta Pattiradjawane

kikisan laut

berdarah laut

 

beta Pattiradjawane

ketika lahir dibawakan

datu dayung sampan

 

Betta pattiradjawane, menjaga hutan pala

beta api di pantai. Siapa mendekat

tiga kali menyebut beta punya nama

Sosok Pattiradjawane dalam penggalan sajak di atas digambarkan sebagai sosok yang tak bisa dipisahkan dari budaya pesisir. Pengulangan kata “laut” di bait pertama menandakan peran penting laut dalam konstruksi identitas persona puisi. Dengan mengklaim Pattiradjawane sebagai sosok “berdarah laut”, Chairil berarti mampu mengidentifikasi dan memahami bagaimana budaya pesisir membentuk perangai Pattiradjawane. Chairil menggunakan larik yang sangat pendek dan padat tetapi mengandung makna simbolis yang luas tentang identitas. Larik-larik yang dibangun dengan frasa “kikisan laut” dan “berdarah laut” menegaskan bagaimana laut dan diri Beta Pattiradjawane menyatu sedemikian rupa.

“Laut” dalam sajak tersebut memiliki makna yang dalam, tidak sekadar laut sebagai bentangan air, tetapi laut yang membentuk sebuah kebudayaan yang kemudian memengaruhi corak masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Sajak ini membuktikan bahwa Chairil memiliki kesadaran tentang urgensi alam bagi eksistensi dan keberlangsungan kehidupan manusia. Ia memaknai alam dalam hubungannya dengan transformasi identitas manusia. Dia menunjukkan pemahamannya tentang bagaimana budaya laut telah membentuk jati diri seseorang.  Pattiradjawane yang “berdarah laut” berarti telah menjadikan budaya laut sebagai bagian dari kehidupannya sehari-hari. Bahkan, Chairil menggambarkan sejak lahir Pattiradjawane telah akrab dengan tradisi pesisir.

Lebih dari itu, refleksi kepedulian Chairil Anwar terhadap alam juga terlihat dari baris “Beta Pattiradjawane, menjaga hutan pala”. Baris ini mencerminkan identitas Pattirajawane yang berani menjaga hutan pala, dan mengobarkan perlawanan pada siapa saja yang hendak merampas kekayaan alam tersebut. Keberanian Pattirajawane terbentuk dari persinggungannya dengan alam, khususnya laut, secara intensif. Dengan mengatakan “beta api di pantai, siapa mendekat”, Pattiradjawane menunjukkan ancamannya pada siapa pun yang hendak menggarong hutan pala. Pada konteks peristiwa penjajahan bangsa barat yang berkepentingan terhadap kekayaan pala, keberanian Pattiradjawane menjadi ancaman bagi penjajah. Pada zaman penjajahan, tumbuhan pala di daerah Maluku merupakan kekayaan sumber daya alam Nusantara yang menjadi incaran penjajah Eropa. Melalui baris tersebut, Chairil menyampaikan bagaimana sumber daya alam itu dijaga oleh pejuang di Maluku.[14] Membaca puisi “Cerita Buat Dien Tamalea” ini saya berpandangan Chairil tidak semata menciptakan sajak-sajak yang oleh Afrizal Malna dianggap memiliki kandungan antroposentrisme yang kuat karena menonjolkan aku-lirik manusia sebagai pusat,[15] tetapi juga memiliki muatan ekosentrisme[16] yang kental karena menempatkan alam sebagai entitas vital dalam memengaruhi pembentukan identitas manusia. Chairil membangun relasi laut, manusia, dan hutan pala secara intim. Ketiganya saling melengkapi dan membutuhkan. Salah satu dari ketiga entitas tersebut tidak berposisi lebih superior dari entitas lainnya. Pattiradjawane menjaga hutan pala bukan karena dia merasa lebih superior, namun karena dia menyadari hutan pala tersebut dibutuhkan untuk keberlangsungan kehidupan dirinya dan anggota masyarakat lainnya.  

Dalam sebuah puisinya yang bertajuk “Kabar dari Laut”,[17] Chairil Anwar juga menggunakan laut dan berbagai makhluk serta benda yang identik dengan laut, seperti “burung”, “buritan” dan “kemudi” (sebagai bagian dari kapal) untuk membangun metafora tentang dinamika kehidupan dan relasi aku-lirik dengan persona lainnya. Lihat sajak “Kabar dari Laut” di bawah ini:

Aku memang benar tolol ketika itu,

mau pula membikin hubungan dengan kau ;

lupa kelasi tiba-tiba bisa sendiri di laut pilu,

berujuk kembali dengan tujuan biru.

 

Di tubuhku ada luka sekarang,

bertambah lebar juga, mengeluar darah,

di bekas dulu kau cium napsu dan garang;

lagi aku pun sangat lemah serta menyerah.

 

Hidup berlangsung antara buritan dan kemudi.

pembatasan cuma tambah menjatuhkan kenang.

dan tawa gila pada whisky tercermin tenang.

 

dan kau? Apakah kerjamu sembahyang dan memuji,

atau di antara mereka juga terdampar,

burung mati pagi hari di sisi sangkar?

Chairil dengan piawai menggunakan berbagai unsur yang terkait dengan laut dan kapal yang bergerak di atasnya sebagai metafora sebuah hubungan antar anak manusia. Dalam menjalin hubungan, seseorang harus sadar akan identitas dan stratifikasi sosialnya. Baris “Lupa kelasi tiba-tiba sendiri di laut pilu” menunjukkan seseorang, yang tidak menyadari latar belakangnya dalam menjalin hubungan, bisa tertimpa kesusahan. “Laut” dalam baris tersebut digunakan Chairil untuk menggambarkan betapa luas rasa sakit hati yang bisa menimpa seseorang yang tak bisa menyadari posisi sosialnya dalam menjalin hubungan. “Laut”  dalam sajak Chairil bukanlah bentangan geografis dan sekadar entitas alam tanpa makna simbolis. Laut kembali dipilih Chairil bukan sebagai alat membangun metafora tentang keindahan, tetapi sebagai cerminan kehidupan yang penuh dengan kekecewaan. Sementara di bait keempat, kita disuguhi gambaran tentang kapal di laut yang menjadi metafora ruang tempat sebuah hubungan dijalin. Larik “Hidup hanya berlangsung antara buritan dan kemudi” menunjukkan kehidupan di atas hamparan alam “laut” yang biasanya tidak stabil dan dalam ruang serba terbatas. Dalam bait keempat ini, kita bisa melihat bagaimana ekspresi tentang ruang yang sempit, sebuah ruang yang membatasi ruang gerak seorang pencinta dan orang yang dicintainya.  Di bait keempat tersebut Chairil kemudian menggambarkan sebuah pilihan untuk melakukan pelarian melalui kesenangan (whisky) setelah aku-lirik merasa jenuh dan terkekang dengan pembatasan itu. Laut luas dan ruang terbatas di atas kapal mencerminkan kontradiksi yang membentuk relasi-relasi antar entitas kehidupan yang berlawanan.

 

Alam yang Tidak Ideal, Alam yang Menjadi Aral

Dalam sajak Chairil Anwar, alih-alih kita disuguhi bentangan alam yang menakjubkan (dalam bahasa H.B. Jassin “penuh bunga-bunga”[18]), sebagaimana yang digambarkan dalam pantun, syair, dan sajak-sajak para penyair Pujangga Baru, kita justru diajak untuk memasuki lanskap alam yang tidak sempurna, tidak ideal, yang cenderung menjadi rintangan. Afrizal Malna berpandangan bahwa Chairil telah berpaling dari harmoni dan kualitas humanisme aku- lirik Pujangga Baru, meski masih melanjutkan tradisi personifikasi individualisme jadi lebih keras dan kesepian; oleh karena itu puisi Chairil tidak lagi indah, optimis, atau penuh vitalisme.[19] Bandingan Afrizal tentang Sajak Chairil dan Pujangga Baru ini lebih terfokus pada konstruksi aku-lirik dalam puisi, tidak membandingkan bagaimana citraan alam dan fungsinya dalam memengaruhi kontruksi sajak Chairil Anwar dan sajak-sajak Pujangga Baru. “Ketidakindahan” puisi Chairil Anwar menurut saya turut dibangun oleh citraan-citraan alam yang tidak ideal dalam sajak-sajaknya, sebagaimana dalam sajak “Taman”[20] di bawah ini:

Taman punya kita berdua

tak lebar luas, kecil saja

satu tak kehilangan lain dalamnya.

bagi kau dan aku cukuplah

taman kembangnya tak berpuluh warna

padang rumputnya tak berbanding permadani

halus lembut dipijak kaki.

bagi kita itu bukan halangan.

karena

dalam taman punya berdua

kau kembang, aku kumbang

aku kumbang, kau kembang.

kecil, penuh surya taman kita

tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia

Taman yang digambarkan Chairil di atas adalah taman yang tidak sempurna, penuh kekurangan. Sebuah taman “yang kembangnya tak berpuluh warna” berarti taman yang tidak lengkap koleksi bunganya. Taman tersebut terbentuk dari keterbatasan unsur pembentuk keindahan. “Padang rumput” di taman itu juga tidak seindah “permadani”. Namun, taman yang tidak sempurna tersebut justru menguatkan relasi antara “aku” dan “kau”.

Mereka bisa menerima kondisi kekurangan tersebut tanpa mengeluh. Dua persona dalam puisi ini memilih hidup dalam kebersahajaan. Meskipun bersama dalam ketidaksempurnaan fasilitas, mereka nampak menikmati ketidaksempurnaan alam tersebut dengan berusaha terus saling menjaga hubungan. Meskipun taman tersebut kecil, taman tersebut digambarkan sebagai taman yang utuh, “satu tak kehilangan lain di dalamnya”. Konsep manunggal atau menyatu dalam keterbatasan ditekankan oleh Chairil sebagai strategi sang persona untuk beradaptasi dengan keadaan yang tidak sempurna. Entitas-entitas dalam taman berkorelasi antara satu dan lainnya, menegaskan sebuah kesatuan sistemik bahwa salah satu entitas tidak akan berfungsi tanpa kehadiran entitas lainnya.

Jika kita memaknai taman dalam sajak di atas secara konotatif, maka taman tersebut bisa berarti sebuah ruang kehidupan di mana “aku” dan “kau” bersama. Dalam lingkup pemaknaan yang lebih luas, taman tersebut bisa bermakna keluarga atau sebuah lingkungan terkecil  dan bersahaja yang memungkinkan penghuninya saling memadu dan memupuk kebersamaan. Meskipun taman tersebut tidak sempurna, tapi “aku” (yang menahbiskan diri sebagai kumbang) dan “kau” (yang dinobatkan sebagai kembang) bisa saling membangun keintiman. Metafora “kumbang” untuk “aku” yang diposisikan sebagai makhluk yang mengharapkan cinta (madu) “kau” (kembang) sebenarnya klise. Namun, yang menarik dan berbeda, Chairil tidak sedang mangartikulasikan relasi “kumbang” dan “kembang” dalam romantika melankolis yang cengeng.

Unsur alam (raya) yang tidak sempurna juga digunakan Chairil Anwar dalam sajaknya yang bertajuk “Dendam”.[21] Gambaran bulan yang bersinar tetapi penampakannya tidak utuh digunakan Chairil untuk merefleksikan kondisi diri yang menghadapi tantangan dalam pencarian jati diri dan memperjuangkan hidup. Untuk menggambarkan kondisi aku-lirik yang gagal dan galau Chairil menuliskan baris-baris demikian dalam sajak “Dendam” tersebut: bulan bersinar sedikit tak nampak/aku mencari/mendadak mati kuhendak berbekas di jari/aku mencari/diri tercerai dari hati/. Kondisi bulan yang tidak utuh pancaran sinarnya tidak mendukung pencarian yang tengah dilakukan oleh aku-lirik. Konstruksi bulan yang demikian berkorelasi dengan esensi sebuah proses pencarian yang seringkali dihiasi berbagai tantangan.

Ketidaksempurnaan alam dalam sajak-sajak Chairil berbanding terbalik dengan beberapa sajak Pujangga Baru yang dinilai Sutan Takdir Alisjahbana (STA) sebagai nyanyian, penuh sunyi sepi, dengan latar yang bersih-suci.[22] Menanggapi sajak Amir Hamzah “Berdiri Aku” yang mengagungkan keindahan alam, STA menyatakan “betapa segala makhluk  dan tumbuh2an sampai kepada angin dan pelangi mabuk terhanyut dalam lagu senja dari tempat yang gaib!”[23] (tulisan pernyataan STA ini saya kutip sesuai aslinya). Alam dalam sajak “Berdiri Aku” karya Amir Hamzah digambarkan sebagai entitas yang memancarkan keindahan dan harmoni. Alam seakan bisa menghipnotis manusia yang tengah menikmatinya. Gambaran alam dalam sajak Amir Hamzah ini memiliki kemiripan dengan sajak STA yang mencitrakan alam yang mampu menghipnotis manusia.

Perhatikan pembukaan sajak STA yang berjudul “Seni Baru” ini: Dari jauh angin mengombak padi, desir-membuai daun ketapang di atas kepalaku.[24] Angin dan padi terhubung dalam sebuah harmoni dan daun ketapang yang terbuai. Sementara aku-lirik menggambarkan fenomena alam di dekatnya itu tanpa merasa terganggu. Sebaliknya, Chairil lebih memilih menghadirkan lanskap alam dari sisi ketidaksempurnaan dan keburukannya sebagai metafora hidup yang keras dan sering tidak sesuai ekspektasi, yang dengan kondisi itu para persona dalam sajak-sajaknya akan berjuang untuk mencari jalan keluar.

Dalam sajaknya yang lain, yaitu “Suara Alam”,[25] Chairil Anwar bahkan membangun citraan alam yang kaos. Puisi ini menunjukkan kepedulian Chairil terhadap kondisi alam yang rusak akibat dilahap api, sebagaimana yang dicerminkan oleh lukisan “Kebakaran di Hutan”[26] yang dikutip Chairil dalam baris kedua sajak tersebut:

Dunia badai dan topan

manusia mengingatkan “Kebakaran di Hutan”

jadi ke mana

untuk damai dan Reda?

mati.

barang kali ini diam kaku saja

dengan ketenangan selama bersatu

mengatasi suka dan duka

kekebalan terhadap debu dan nafsu

berbaring tak sedar

seperti kapal pecah di dasar lautan

jemu dipukul ombak besar

Atau ini.

Peleburan dalam tiada

Dan sekali akan menghadap cahaya

……………………………………

Ya Allah! Badanku terbakar—segala samar

Aku sudah melewati batas

Kembali? Pintu tertutup dengan keras.

Chairil membuka sajak dengan baris awal yang dipenuhi lanskap bencana alam yang bisa membawa dampak mengerikan. Dalam “Badai” dan “topan” sebagian manusia mampu bertahan dan selamat, namun banyak manusia yang tak berdaya menghadapinya.  Kemudian, baris kedua juga menyedot perhatian kita pada bencana alam yaitu kebakaran di hutan. Frasa “Kebakaran di Hutan” ini sebagaimana diinformasikan oleh Pamusuk Eneste melalui catatan kaki di buku “Aku Ini Binatang Jalang”[27] merupakan lukisan Raden Saleh. Dalam lukisan ini tampak harimau-harimau yang seperti berusaha berlari dari hutan yang terbakar. Asap hitam membumbung tinggi. Di langit, tampak juga burung yang seperti terbang menjauhi asap hitam.[28] Dengan menuliskan baris manusia mengingatkan “Kebakaran Hutan”, sang penyair memahami bahwa Raden Saleh sedang mengingatkan tentang bencana alam melalui lukisannya tersebut. Binatang-binatang yang tersingkir menjadi korban, dan asap tebal mengakibatkan polusi di udara. Dalam kondisi alam yang rusak demikian, Chairil lalu menulis  “jadi kemana?” dan “Untuk damai dan Reda” yang menunjukkan sikapnya terhadap bencana alam. Dan lagi, dalam sajak ini, Chairil Anwar menggambarkan “laut” dan unsurnya tidak pada sisi keindahannya, tetapi sebagai entitas alam yang menjadi tempat sekaligus saksi atas sebuah kesedihan. Ia menggunakan frasa “ombak besar” sebagai subjek metaforis yang bisa dimaknai sebagai halangan hidup yang membuat manusia mengalami suka dan duka.  

Terkait dengan alam yang menjadi rintangan dan cobaan, kita bisa menemukannya dalam sajak Chairil Anwar yang berjudul “Kawanku dan Aku”[29]. Unsur alam dalam sajak ini, yaitu “kabut” dan “hujan” tidak digambarkan Chairil secara indah dan melankolis. “Kabut” menjadi entitas yang harus dilalui, dan “hujan” adalah rintangan yang harus diterima. Berikut saya kutip sajaknya:

Kami jalan sama. Sudah larut

Menembus kabut.

Hujan mengucur di badan.

 

Berkakuan kapal-kapal di Pelabuhan

Darahku mengental pekat. Aku tumpat-pedat.

Siapa berkata?

 

Kawanku hanya rangka saja

Karena dera mengelucak tenaga.

 

Dia bertanya jam berapa!

 

Sudah larut sekali

hingga hilang segala makna

dan gerak tak punya arti.

Subjek “kami” dalam sajak di atas berjalan bersama-sama di tengah malam yang sudah larut. Sebuah gambaran tentang pergerakan manusia dalam waktu malam yang larut menimbulkan kesan ketidaknyamanan, karena biasanya waktu malam digunakan mayoritas manusia untuk beristirahat. “Kabut” yang seringkali menutup pandangan mata dan menghalangi kendaraan untuk berjalan normal menjadi bagian entitas alam yang harus dilewati oleh “kami”. Tentu tidak mudah bagi mereka untuk melewatinya. Sementara “hujan” turun dan menerpa tubuh mereka. Tantangan mereka sungguh berat karena harus menembus kabut dan sekaligus menghadapi guyuran air hujan di tengah malam larut.

Gambaran kondisi alam yang tidak bersahabat dengan manusia sehingga membuat manusia harus beradaptasi dan bahkan berusaha keluar dari kondisi itu bisa ditemukan dalam sajak “Buat Gadis Rasid”,[30] yang diciptakan Chairil tahun 1948. Dalam sajak ini, persona yang menggunakan kata ganti “kita” mengajak untuk melepaskan jiwa, keluar dari himpitan latar alam yang tidak ramah. Di bagian awal sajak, Chairil memang mendeskripsikan alam yang indah, tetapi gambaran keindahan tersebut segera berubah menjadi gambaran alam yang cenderung buruk di baris-baris berikutnya. Berikut sajaknya:

                        Antara

daun-daun hijau

padang lapang dan terang

anak-anak kecil tidak bersalah, baru bisa lari-larian

burung-burung merdu

hujan segar dan menyebar

bangsa muda menjadi, baru bisa bilang “aku”

dan

angin tajam kering, tanah semata gersang

pasir bangkit mentanduskan, daerah dikosongi

kita terapit, cintaku

—mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak

mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati

terbang

mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat

—the only possible non-stop flight

Tidak mendapat

Chairil di bagian awal menggunakan entitas alam seperti “daun-daun hijau” dan “hujan segar dan menyebar” untuk menggambarkan euforia dan semangat bangsa Indonesia yang baru menyatakan kemerdekaannya.  Namun setelahnya, Chairil menghadirkan angin yang tidak menyejukkan dan tanah yang tidak menjanjikan karena tidak subur. Pasir hadir memperparah kondisi tanah. Dengan kondisi alam yang demikian, manusia akan sulit untuk bercocok tanam demi mendapatkan hasil dari tanaman. Kondisi tersebut membuat subjek “kita” dalam sajak di atas “terapit” dan “mengecil”. Namun, kondisi alam yang tidak sempurna tersebut justru mendorong “kita” untuk keluar dari segala keterbatasan dan ruang alam yang membuatnya terjepit.

Jika alam di atas dimaknai secara simbolis, kondisi alam yang buruk tersebut bisa berarti kehidupan dalam sebuah bangsa yang penuh kekurangan dan ketidaknyamanan. Dalam kondisi demikian, orang-orang harus mencari jalan keluar, menggapai kehidupan yang lebih baik dan nyaman. Dalam bahasa Chairil, upaya itu bisa dilakukan dengan menjadi “merpati” yang bisa diinterpretasi sebagai makhluk yang bisa menikmati cakrawala luas dengan sayap-sayapnya. Bila “merpati” itu manusia, maka sang insan tersebut bisa berjuang meraih kebebasan dan kemerdekaannya melalui tenaga dan pikirannya.

Mencermati berbagai entitas alam yang digunakan oleh Chairil Anwar dalam sajak-sajaknya, saya pikir klaim Sutan Takdir Alisjahbana bahwa para penyair Angkatan 45 kurang memberi perhatian terhadap alam perlu ditinjau ulang dan diluruskan. Alam ternyata menjadi medium vital dalam konstruksi sajak-sajak Chairil Anwar. Namun, sang penyair binatang jalang menggunakan alam secara berbeda dengan yang dilakukan oleh penyair-penyair Pujangga Baru, seperti Amir Hamzah dan Sutan Takdir Alisjahbana. Sajak-sajak Chairil Anwar menyuguhkan alam untuk menggambarkan perjuangan hidup manusia yang penuh tantangan dan mengonstruksi identitas kultural persona di dalam sajak-sajaknya. Chairil Anwar juga menggambarkan alam dengan citraan dan posisi yang seringkali diametral dengan harapan dan kebutuhan manusia. Tujuannya adalah untuk menggambarkan kehidupan para persona dalam sajak-sajaknya yang penuh tantangan, keterbatasan, dan kegagalan. Oleh karena itulah, alam dalam sajak-sajak Chairil tidak digambarkan sebagai entitas indah berbunga-bunga yang membuat manusia terbuai seperti citraan alam dalam sajak-sajak Pujangga Baru. Chairil lebih menggunakan alam untuk mentamsilkan suasana batin persona yang sering bergejolak, sumber pembentukan identitas, dan sebagai unsur yang mendorong manusia untuk meraih kebebasannya.

 

Kepustakaan

Alisjahbana, Sutan Takdir. (1986). Kebangkitan Puisi Baru Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.

Alisjahbana, Sutan Takdir. (1996). Puisi Baru. Jakarta: Dian Rakyat.

Anwar, Chairil. (2011). Aku Ini Binatang Jalang. (Editor Pamusuk Eneste). Jakarta: Gramedia.

Anwar, Chairil, Avin, Rivai dan Sani, Asrul. (2013). Tiga Menguak Takdir. Jakarta: Balai Pustaka.

Aspahani, Hasan. (2016). Chairil Anwar. Jakarta: GagasMedia.

Damono, Sapardi Djoko. (2011). “Chairil Anwar Kita” dalam Aku Ini Binatang Jalang (Editor Pamusuk Eneste). Jakarta: Gramedia.

Dewanto, Nirwan. (2011). “Situasi Chairil Anwar” dalam Aku Ini Binatang Jalang (Editor Pamusuk Eneste). Jakarta: Gramedia.

Gray, Joe, Whyte, Ian, and Curry, Patrick. (2018). Ecocentrism: What It Means and What It Implies. The Ecological Citizen, 1. (2). 130-131.

Jassin, H.B. (2013). Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45. Yogyakarta: Narasi.

Jassin, H.B. (1983). Pengarang Indonesia dan Dunianya. Jakarta: Gramedia.

Jassin, H.B. (1985). Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai II.Jakarta: Gramedia.

Malna, Afrizal. (2000). “Aku dalam Antroposentrisme Puisi” dalam Afrizal Malna, Sesuatu Indonesia. Yogyakarta: Bentang

Pradopo, Rachmat Djoko. (1987). Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

[1] Lihat H.B. Jassin. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai. (Jakarta: Gramedia, 1985), hal. 6.

[2] Dalam surat yang dikutip H.B. Jassin tersebut, Rivai Apin tidak menyebutkan bahwa yang dimaksud oleh Sutan Tadir Alisjahbana (STA) sebagai “generasi sekarang” itu adalah generasi Angkatan 45. Namun dari tanggapan dan bantahan Rivai Apin yang secara langsung ditujukan pada STA, saya berasumsi bahwa generasi sekarang yang dimaksud STA terkait dengan para penyair Angkatan 45. Istilah “generasi sekarang” adalah istilah atau sebutan STA yang disitir oleh Rivai Apin dalam suratnya tersebut.

[3] Lihat  H.B. Jassin. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai. (Jakarta: Gramedia, 1985), hal. 6.

[4] Lihat Nirwan Dewanto “Situasi Chairil Anwar”, dalam Chairil Anwar, Aku ini Binatang Jalang. (editor Pamusuk Eneste). (Jakarta: Gramedia, 2011), hal. xvii.

[5]Lihat Rahmat Djoko Pradopo.  Pengkajian Puisi.  (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1987), hal. 101-106.

[6] Lihat Rahmat Djoko Pradopo. Ibid. hal. 81.

[7] Lihat Nirwan Dewanto “Situasi Chairil Anwar”. Dalam Chairil Anwar. Aku ini Binatang Jalang. (Ed. Pamusuk Eneste). (Jakarta: Gramedia, 2011), hal. x-xi.

[8] Lihat Sapardi Djoko Damono “Chairil Anwar Kita” dalam  Chairil Anwar, Aku ini Binatang Jalang. (Ed.Pamusuk Eneste). (Jakarta: Gramedia, 2011), hal. 119-125.

[9] Lihat Chairil Anwar. Aku Ini Binatang Jalang. (Ed. Pamusuk Eneste). (Jakarta: Gramedia, 2011), hal.71.

[10] Lihat H.B. Jassin. Pengarang Indonesia dan Dunianya. (Editor Pamusuk Eneste). (Jakarta: Gramedia, 1983). hal. 22-24

[11] Lihat sajak “Berdiri Aku” karya Amir Hamzah dalam Sutan Takdir Alisjahbana. Kebangkitan Puisi Baru. (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1969), hal. 25-26.  

[12] Lihat sajak “Anak Malam” karya Rivai Apin dalam Tiga Menguak Takdir. (Jakarta: Balai Pustaka, 2013), hal. 28.

[13] Dalam Chairil Anwar. Aku Ini Binatang Jalang. (Ed. Pamusuk Eneste). (Jakarta: Gramedia, 2011), hal.69

[14] Nama Dien Tamaela dalam judul sajak Chairil Anwar “Catatan Buat Dien Tamaela” merujuk pada seorang gadis pejuang Indonesia yang tergabung dalam Jong Ambon di masa kemerdekaan. Dien Tamaela dikabarkan mempunyai kedekatan dengan Chairil Anwar. Ibu dari Dien Tamaela bernama Mien Pattiradjawane (lihat Hasan Aspahani, Chairil Anwar. Jakarta: Gagasmedia, 2017), hal.54-56.

[15] Lihat Afrizal Malna. “Aku dari Antroposentrisme Puisi”, dalam Afrizal Malna,  Sesuatu Indonesia. (Yogyakarta: Bentang, 2000), hal.177-199

[16] Ekosentrisme memandang ekosfer yang meliputi semua ekosistem bumi, atmosfer, air, dan tanah – sebagai kesatuan lingkungan yang membentuk kehidupan, dan sebagai satu-satunya sumber kehidupan (lihat Joe Gray,

Ian Whyte, dan Patrick Curry. Ecocentrism: What It Means and What It Implies. (The Ecological Citizen, 2018, Vol.1. No.2). hal. 130-131.

[17] Lihat sajak “Kabar dari Laut” dalam Chairil Anwar. Aku ini Binatang Jalang. (Jakarta: Gramedia, 2011), hal. 70.

[18] Lihat H.B. Jassin. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai II. (Jakarta: Gramedia, 1985),  hal.25.

[19] Lihat Afrizal Malna. “Aku dari Antroposentrisme Puisi”, dalam Afrizal Malna,  Sesuatu Indonesia. (Yogyakarta: Bentang, 2000), hal.184

[20] Lihat sajak “Taman”. Chairil Anwar. Aku ini Binatang Jalang.  (Jakarta: Gramedia, 2011), hal.20

[21] Lihat sajak “Dendam”. Chairil Anwar, dalam Aku ini Binatang Jalang. (editor Pamusuk Eneste). (Jakarta: Gramedia, 2011), Hal. 39.

[22] Lihat Sutan Takdir Alisjahbana. Kebangkitan Puisi Baru Indonesia. (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986), hal.26.

[23] Lihat Sutan Takdir Alisjahnana. Ibid.

[24] Lihat Sutan Takdir Alisjahnana. Puisi Baru. (Jakarta: Dian Rakyat, 1996),  Hal.69.

[25] Lihat sajak “Suara Alam”. Chairil Anwar, dalam Aku ini Binatang Jalang. (Ed. Pamusuk Eneste). (Jakarta: Gramedia, 2011), hal.16

[26] Dalam buku Chairil Anwar yang berjudul “Aku ini Binantang Jalang”. (editor Pamusuk Eneste). (Jakarta: Gramedia, 2011), dalam sajak “Suara Alam”, frasa “Kebakaran di Hutan” di baris kedua diberi catatan kaki “ *Ciptaan alm. R Saleh” yang menegaskan bahwa “Kebakaran di Hutan” yang dikutip oleh Chairil tersebut adalah lukisan karya Raden Saleh.

[27] Lihat sajak “Suara Alam”. Chairil Anwar. dalam Aku ini Binatang Jalang. (Ed. Pamusuk Eneste). (Jakarta: Gramedia, 2011), hal.16

[28] Lukisan ini bisa dilihat langsung di National Galery Singapore. Saya melihat lukisan ini melalui internet, seperti yang tersaji dalam berita di seni.co.id tanggal 2 Mei 2016. (https://seni.co.id/berita/luar-biasa-lukisan-raden-saleh-di-national-galery-singapore-menguncang-jiwa/)

[29] Chairil Anwar. Aku ini Binatang Jalang.  (Ed. Pamusuk Eneste). (Jakarta: Gramedia, 2011), hal. 31.

[30] Chairil Anwar. Aku Ini Binatang Jalang. (Ed. Pamusuk Eneste). (Jakarta: Gramedia, 2011),  hal.95.

Esai31 Agustus 2022

Yusri Fajar


Yusri Fajar menetap di Malang dan menjadi dosen di Fakultas Ilmu Budaya UB. Ia menyelesaikan S1 di Fakultas Sastra UNEJ dan S2 dengan fokus pada Sastra Diaspora di Universitas Bayreuth Jerman. Tulisan-tulisannya dimuat di Horison, Kompas, The Jakarta Post, Basis, Media Indonesia, dan Jawa Pos. Buku-bukunya antara lain Surat dari Praha (Kumpulan Cerpen, Februari, 2012), Kepada Kamu yang Ditunggu Salju (Sehimpunan Puisi, Maret, 2017), Sastra yang Melintasi Batas dan Identitas (Sehimpunan Esai, April, 2017), Tamu Kota Seoul (Novel, Desember 2019), dan Jalan Kritik Sastra: Aplikasi Teori Poskolonial Hingga Ekokritik (Kumpulan Esai, 2020). Ia menerima Anugerah Sutasoma Balai Bahasa Jawa Timur tahun 2017 untuk Buku Esai/Kritik Sastra Terbaik, pemenang pertama Lomba Kritik Sastra HISKI Bali dan Balai Bahasa Provinsi Bali 2020, dan juara 2 Lomba Esai Sastra “Penularan Jassin” yang diadakan Majalah BASIS dan Bilik Literasi Solo, 2017, serta pemenang 2 Lomba Kritik Sastra UGM 2017. Cerpennya “Kota tanpa Bunga” terpilih sebagai cerpen terbaik dalam Temu Sastrawan MPU DKI Jakarta 2014.