Di Pintu-Mu Aku Mengetuk

Ilustrasi: Wulang Sunu

Tulisan ini adalah Juara Harapan Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2022.

Unduh versi tulisan sebelum disunting dalam format PDF lewat tautan ini.

Unduh juga Pertanggungjawaban Dewan Juri Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2022 dalam buku program melalui tautan ini.

 

*

 

Dunia dalam puisi-puisi Chairil Anwar bergerak spiral. Ia diawali dan diakhiri memento mori.

Modernisme bentuk puisi-puisi Chairil memang telah menabalkannya sebagai penyair garda depan. Tapi kita boleh sangsi puisi-puisinya tidak meneriakkan modernisme isi, setidaknya ketika berbicara tentang pergulatan spiritual dan kematian. Jika puisi mewakili diri sang penyair, kita tidak bisa gegabah menganggap Chairil insan bebas penuh seluruh (sebuah adjektiva superlatif yang kerap dilekatkan pada manusia modern) yang bertumpu pada individualisme nan pekat—keakuan yang dikentalkan oleh repetisi takhayul binatang jalang.

Dalam pidatonya yang mendarah-nanah,[1] Chairil begitu sarkastik mengkritik generasi Pujangga Baru sebagai angkatan yang tak memperlihatkan corak (inovasi artistik) sehingga tak layak diperhitungkan. Pidatonya yang lain menyindir seniman-seniman semenjana berjiwa kerani, klerek, dan ahli dagang. Kebebasan artistik ala Chairil tidak cuma keluwesan dalam ranah kesenian. Baginya, “Kemerdekaan dan pertanggungan jawab adalah harga manusia, harga penghidupan ini. Dan apa saja pun tidak akan membikin kita rela menekan diri sendiri.” Ia berseru dengan kepercayaan diri yang tak bisa ditutup-tutupi: “Pendeknya, kita tidak boleh lagi alat musik dari penghidupan. Kita pemain dari lagu penghidupan, membikin kita selamanya lurus berterang. Karena keberanian, kesadaran, kepercayaan, dan pengetahuan kita punya.”

Namun, apakah betul Chairil memang telah basah kuyup dalam kebebasan total? Kebebasan yang bukan sekadar ucapan? Bukan semata-mata harapan? Benarkah ia telah bebas dari segala? Merdeka? Juga dari Ida?

Agaknya kita perlu menimbang apa yang dipercaya Subagio Sastrowardoyo saat membaca karya-karya Chairil bahwa “keresahan dan kegelisahan yang merupakan refleksi sampingan dari dinamika sepak terjang manusia Barat merupakan akibat dari pencarian pegangan batin yang lebih kukuh yang tidak kunjung didapat. Di atas latar belakang jiwa masyarakat yang gelisah itu, kehidupan batin di Indonesia kelihatan mantap dan tenang.”[2]

Di akhir tulisannya, Subagio menyinggung orientasi budaya Chairil yang berkiblat pada kultur Eropa gagal membantun jati dirinya sebagai Homo religiosus. Sayang, telaah Subagio atas puisi-puisi Chairil tak sekhusyuk telisik multifaset Andries Teeuw (Tergantung pada Kata) atau Rachmat Djoko Pradopo (Pengkajian Puisi). Kritik Subagio cuma sepintas lalu sebagaimana pembacaan Slamet Muljana (Peristiwa Bahasa dan Sastra) atau Sutan Takdir Alisjahbana (Perjuangan Tanggung Jawab Kesusastraan). Kita tidak diberi kesempatan untuk melihat secara mendalam situasi psikis Chairil dari puisi-puisinya.

Bahkan, ketika meyakini bahwa puisi-puisi pamungkas Chairil mengembalikannya pada karya-karya di awal karier kepenyairannya—sebelum merendamkan diri ke dalam semangat hidup Barat—Subagio sama sekali tidak menyinggung “Doa”. Padahal, sajak yang ditujukan kepada pemeluk teguh inilah yang menjadi DNA dari seluruh puisi Chairil yang mengalirkan darah kepasrahan dan maut. Chairil bukan tipe penyair ‘hijrah’ yang mendadak tobat ketika tahu bahwa ‘ajal macam rupa yang jadi tetangga’ akan merenggut hayatnya. Sejak awal, ia memang punya perhatian khusus pada topik-topik spiritual. Dalam esainya, “Membuat Sajak, Melihat Lukisan”, ia mafhum jika persoalan Tuhan dan kematian merupakan pokok berentet yang terus-menerus mengharukan para seniman.

Batavia di bawah Jepang, tempat Chairil merantau, adalah kota krisis yang dipenuhi mayat-mayat bergelimpangan di jalanan. Itulah mengapa tema-tema maut bertaburan dalam sajak-sajaknya. Bahkan, ajal tak bisa ia singkirkan dari puisinya yang paling indah sekalipun.[3]

Tak pelak, ajal berkaitan erat dengan spiritualisme. Illene C. Noppe mencatat, sejak awal, di bidang tanatologi, psikoanalisis, dan eksistensialisme, para ahli mengaku bahwa konsentrasi manusia pada kematian bersifat spiritual terlepas dari keterlibatan seseorang dengan lembaga terorganisasi macam agama.[4] Sigmund Freud setuju. Baginya, animisme—sebagai cikal-bakal agama—merupakan produk pengamatan manusia primitif terhadap peristiwa tidur. Dualitas tubuh-jiwa dipercaya ketika manusia mengalami mimpi. Karena mirip situasi tidur, nalar tersebut juga berlaku untuk kematian.[5]

Momen kematian yang disaksikan seseorang menimbulkan efek kejut dan rasa takut terhadap ketiadaan. Hal ini menyebabkan manusia berpikir tentang kemungkinan adanya yang transenden. Misteri maut menginspirasi manusia untuk membayangkan kehidupan setelah ajal, kebakaan arwah nenek moyang, hari pembalasan, termasuk keberadaan penguasa dunia orang mati seperti dewa-dewa atau Tuhan. Guncangan kematian ini pula yang membuat manusia menghindarinya dengan berupaya hidup lebih panjang, bahkan menghasrati kekekalan. Raja Uruk, Gilgamesh, berkelana mencari keabadian setelah nanap menyaksikan sahabatnya, Enkidu, mati. Barangkali, motif ajal pula yang mendorong seorang penyair terobsesi hidup seribu tahun lagi. Spiritualisme, dalam hal ini, tak semata-mata perkara roh, tapi bagaimana seseorang ingin melampaui kemanusiaannya.

Lalu apa yang membuat persoalan spiritual Chairil pada puisi-puisinya sukar dijelaskan begitu intens dalam karya banyak penulis? Bahkan, dalam novel biografis Ini Kali Tak Ada yang Mencari Cinta (Sergius Sutanto) yang mestinya bisa leluasa mengeksplorasi wilayah afeksi Chairil, problem spiritual hampir tak tersentuh atau hanya numpang lewat. Ketika jarak ajal Chairil semakin pendek, Nasjah Djamin juga tidak banyak merekam emosi kerohanian penyair tersebut dalam memoar Hari-Hari Akhir Si Penyair. Dalam Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45, Hans Begue Jassin cuma bilang bahwa saat suhu tinggi telah melingkupi tubuh dan kesadarannya, penyair ceking itu selalu mengucap, “Tuhanku … Tuhanku …” Aspahani dalam biografi Chairil membuat rintihan itu terbayang lebih kenes, “Ya, Allah … Tuhanku … Ya, Allah …”

Tapi tentu saja spiritualisme bukan persoalan zikir belaka. Itulah mengapa kita memang perlu—meminjam ungkapan Chairil—“mengambil gambar-rӧntgen sampai ke putih tulang belulang” puisi. Dengan begitu, kita akan tahu bagaimana pandangan, keyakinan, hasrat, dan ketakutan-ketakutan Chairil saat berhadapan dengan misteri Tuhan dan ajal.

“Pandangan, keyakinan, hasrat, dan ketakutan-ketakutan Chairil?” Mungkin Anda akan protes karena saya mencampur aduk aku-lirik dengan penyairnya. Saya tak perlu mengutip teori psikologi sastra untuk meneguhkan pendapat bahwa karya sastra merupakan representasi alam batin penciptanya. Meski pada sebuah pidato radio Chairil pernah berkata, “Sebuah sajak yang menjadi adalah suatu dunia,” bukan berarti ia seamin dengan iman mazhab kritik sastra struktural bahwa dunia dalam karya sastra kedap dari realitas faktual. Sebab pada tuturan selanjutnya, Chairil mendaku bahwa ‘suatu dunia’ tersebut bersumber dari hasil olah sang seniman atas kondisi rohani, visi tentang dunia, pengalamannya, dsb. Lagi pula, dalam karya-karya Chairil kita menjumpai banyak sosok faktual yang kepada merekalah puisi-puisi tersebut disembahkan. Maka, pada diskusi ini, pembacaan saya akan berkisar antara kritik sastra Rawamangun dan Ganzheit.

Bisa saja, misalnya, saya membentangkan jagat makna puisi-puisi Chairil dengan metode rigid kritik sastra struktural Ferdinand de Saussure atau mengurai tamsil-tamsil di dalamnya dengan aparatus dedah metafora Paul Ricœur. Tapi siasat akademis seperti itu saya hindari untuk menyelamatkan kenyamanan pembaca dari konsep-konsep metodik yang berpotensi menjemukan. Tanpa mengurangi ketakziman pada prosedur teknis akademis, saya hendak berikhtiar meniti detail semesta puisi-puisi Chairil dengan cara ramah pembaca. Konteks hidup Chairil akan digunakan hanya ketika dibutuhkan untuk memperkokoh makna puisi yang tengah saya bangun, termasuk ketika membaca “Nisan”.[6]

 

NISAN

untuk nenekanda

 

Bukan kematian benar menusuk kalbu

Keridlaanmu menerima segala tiba

Tak kutahu setinggi itu atas debu

dan duka maha tuan bertakhta.

 

Oktober 1942

 

Puisi ini Chairil baktikan kepada neneknya di Medan. Sejumlah memoar, baik fiksi maupun nonfiksi, tidak memberi tahu kita bagaimana kedekatan batin Chairil dengan sang nenek. Aspahani, misalnya, hanya menyinggung bahwa Nenek Tupin sangat memanjakannya saat kecil. Kita mungkin mengira “Nisan” ditulis Chairil tak lama setelah neneknya pulang ke alam baka.

Aspahani memberi spekulasi berbeda. Ia menduga puisi itu ditulis pada waktu yang cukup berjarak dengan peristiwa kematian Nenek Tupin. Perkiraan ini disimpulkan dari kolofon puisi yang berangka 1942, tahun kedua Chairil menetap di Batavia. Jika sang nenek meninggal pada tahun itu juga, kemungkinan besar Chairil takkan sempat melayat ke Medan, sebab di bawah kekuasaan Jepang, jalur transportasi Sumatera-Jawa terblokir, kecuali untuk kepentingan militer. Bagi Aspahani, puisi ini merupakan hasil endap olah rasa Chairil atas kehilangan sang nenek. “Nisan” adalah karya yang terlalu matang untuk seorang pemuda 20 tahun, tambahnya.

Apakah sanjungan Aspahani berlebihan?

Bersajak a-b-a-b, sekilas, puisi empat seuntai tersebut tampak seperti pantun. Namun, komposisi “Nisan” tidak dipartisi dua bagian sampiran dan isi. Seluruh larik dalam puisi ini adalah isi. Mirip syair. Dianggit pada awal karier kepenyairannya, wajar jika Chairil masih tunduk mengambil bentuk tradisi puisi lama. Namun, kita akan menemukan sedikit deviasi ketika membaca puisi “Nisan” secara saksama.

Larik-larik puisi “Nisan” terdiri atas jumlah suku kata yang ideal bagi sebuah syair. Hanya saja, tak seperti syair pada umumnya yang tiap-tiap lariknya memiliki sebuah inti pesan relatif komplit, dua larik puisi ini, yakni larik kedua dan ketiga bertaut dalam satu hubungan predikatif. Maka, tak segalib syair kebanyakan, sajak ini tak terdiri atas empat inti pesan (yang direpresentasikan empat lariknya), tetapi hanya tiga. Jika dipotong dalam unit-unit kecil relasi predikatif, puisi “Nisan” akan pecah menjadi tiga klausa: (1) bukan kematian benar menusuk kalbu; (2) keridlaanmu menerima segala tiba tak kutahu setinggi itu atas debu; (3) dan duka maha tuan bertakhta.

Ketaatan sekaligus penyimpangan bentuk kuatren lama semacam ini terjadi dalam beberapa puisi Chairil, termasuk pada puisi “Derai-Derai Cemara” yang akan kita diskusikan di akhir esai ini. Namun, mengapa Chairil masih bersetia pada bentuk pantun/syair, padahal ia cukup ganas mengkritik model artistik Pujangga Baru yang baginya tak beranjak ke mana-mana? Apakah bentuk-bentuk tertentu pada beberapa puisi Chairil berhubungan dengan semesta isinya? Kita akan mendiskusikannya nanti pada puisi “Derai-Derai Cemara”.

Yang jelas, secara intuitif kita akan mudah menyimpulkan bahwa kematian adalah wacana pokok puisi “Nisan”—sebagaimana tersurat pada judulnya. Namun, apa memang benar begitu? Saya ragu.

Bukan kematian benar menusuk kalbu, buka puisi tersebut. Pertanyaan pertama yang muncul di benak: Kematian siapa? Kita akan gampang menjawabnya: Kematian nenek. Nenek Tupin. Kepadanyalah puisi ini ditujukan.

Pertanyaan kedua masih seputar persoalan kepemilikan: Kalbu siapa? Nenek sudah mati. Kematian takkan menusuk kalbunya. Maka, tak ada pilihan lain, yang paling mungkin, kalbu itu milik aku-lirik (aku-lirik muncul secara eksplisit di larik ketiga dalam proklitik ku- pada kata kutahu).

Dengan parafrasa, saya akan membalik struktur larik itu: Yang menusuk kalbu bukan kematian. Apa maksud menusuk kalbu? Kata menusuk seperti menyiratkan momen kejut, tiba-tiba, spontan. Apakah saya boleh bilang bahwa menusuk kalbu semacam rasa syok, situasi sentimental dadakan karena peristiwa tak terduga?

Jika bukan kematian yang menusuk kalbu, lalu apa? Larik selanjutnya memberi jawab: Keridlaanmu. Enklitik –mu pada Keridlaanmu merujuk pada Nenek Tupin-yang-kepadanyalah-puisi-ini-ditujukan.

“Tapi dari mana Anda tahu bahwa Keridlaanmu adalah jawaban dari pertanyaan tentang apa yang menusuk kalbu?” Anda mungkin memprotes. Larik pertama tak kohesif dengan larik kedua. Namun, kita bisa percaya bahwa Keridlaanmu-lah yang menusuk kalbu ketika larik ketiga melanjutkan penggalan klausa kedua: Tak kutahu setinggi itu atas debu. Mari sejenak kita simpan larik ketiga dan kita terjemahkan dengan singkat bahwa segala tiba pada larik kedua adalah kepastian yang niscaya datang pada hidup manusia: takdir kematian.

Meski tidak kohesif, klausa pertama (larik I) koheren dengan klausa kedua (larik II—III). Potongan ide pada larik pertama paralel dengan pesan utama larik ketiga. Kata Keridlaanmu menjadi jembatan diskursif kedua larik tersebut. Larik I: Keridlaanmu-lah yang menusuk kalbu, bukan kematian. Larik II: Keridlaanmu lebih utama (setinggi itu atas) daripada kematian (debu; debu merupakan penanda majasi dari kematian—“Sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu,” tukas kitab suci).

Lalu, di bagian koda, kita disuguhi ulang satu ide yang secara implisit sebenarnya telah hadir di larik pertama dan kedua: dan duka maha tuan yang bertakhta. menusuk kalbu pada larik pertama maujud di larik keempat dalam kata duka. menusuk kalbu atau duka, sebuah rasa iba yang diperlajak lantaran kejutan peristiwa itu begitu tak manusiawi. Tak ada manusia yang tak takut mati. Tetapi kerelaan Nenek Tupin menerima takdir mutlak tersebut mengatasi rasa gentar dan getir atas maut itu sendiri. Keharuan aku lirik atas keberserahan sang nenek pada nasib telah menjadi maha tuan yang bertakhta di atas ajal.

Jika menjadi Jassin yang pernah menyanjung puisi “Nisan”, saya akan meminta Chairil memangkas larik terakhir. Puisi ini redundan. Larik keempat hanya simpulan dari larik pertama dan ketiga. Atau, ia perpanjangan dari larik sebelumnya. Larik ketiga punya otoritas untuk menyapu kelebihan lemak pada puisi tersebut.

Tapi tentu saja tidak semudah itu. Chairil membutuhkan kelebihan lemak tersebut untuk memenuhi matriks puisi empat seuntai. Kenapa ia tak membikin puisi tiga seuntai saja? Kehilangan larik keempat akan membuat puisi itu bersajak a-b-a. Sebuah terzina yang manis.

Mungkin saat itu kuatren lebih trendi. Jadilah gelambir lemak itu dibiarkan menggantung di tubuh “Nisan”. Toh, jika dibaca sekilas, puisi itu masih tampak cantik. Kecantikan morfologis yang membuat Jassin jatuh cinta. Seperti kemontokan Hapsah yang melelehkan hati penyair kita. Bukankah big juga beautiful?

Ketika ‘kepasrahaan lebih afdal ketimbang kegentaran menghadapi kematian’ adalah premis puisi tersebut, judul “Nisan” yang dipilih untuk menamainya jadi terasa kurang pas. Diakui atau tidak, ‘nisan’ memang kata paling efisien dipakai sebagai metonimia kematian—beserta seluruh asosiasinya. Masuk akal bila Chairil memutuskan kata ini menjadi identitas puisi empat seuntai itu meskipun kurang memiliki keserasian semantis dengan inti isinya.

Jika dalam “Nisan” kepasrahan lebih utama ketimbang kematian, Chairil merasa hidup lebih buruk ketimbang mati. “Suara Malam”, sebuah puisi yang diilhami lukisan “Kebakaran di Hutan” Raden Saleh sepertinya beranggapan begitu. “Suara Malam” merupakan risalah puitis Hidup vis-à-vis Mati. 

 

SUARA MALAM

 

Dunia badai dan topan

Manusia mengingatkan “Kebakaran di Hutan”

Jadi ke mana

Untuk damai dan reda?

Mati.

Barang kali ini diam dan kaku saja

dengan ketenangan selama bersatu

mengatasi suka dan duka

kekebalan terhadap debu dan nafsu

Berbaring tak sedar

Seperti kapal pecah di dasar lautan

jemu dipukul ombak besar.

Atau ini.

Peleburan dalam Tiada

dan sekali akan menghadap cahaya.

………………………………………………….

Ya Allah! Badanku terbakar—segala samar.

Aku sudah melewati batas.

Kembali? Pintu tertutup dengan keras.

 

Februari 1943

 

Tak seperti “Nisan” yang terdengar lembut karena efek efoni a dan u, “Suara Malam” sumbang. Pada “Suara Malam”, asonansi a dan u memang dilibatkan, tetapi imbas kakofoni terasa lebih kuat dan mendominasi. Strategi bunyi yang tak merdu ini memang padu dengan nuansa kaos yang dibangun puisi tersebut.

Kaos itu labur pada kanvas Raden Saleh yang membatasi satu lanskap kepanikan: asap membumbung ke angkasa, seekor kucing hutan hitam terbirit-birit turun dari dataran lebih tinggi, sedangkan dua banteng dan sepasang harimau jumpalitan di tepi tebing, mendorong salah satunya nyaris terjerembap ke jurang. Pada puisi “Kebakaran di Hutan”, Chairil menerjemahkan seluruh kekacauan itu  ke dalam problem insani.

Puisi tersebut, kita baca, terbagi menjadi dua corak. Di atas deretan titik panjang, kita menemui puisi didaktik. Di bawahnya: ekspresif.

Si  penyair memulai puisinya dengan gaya totum pro parte: Dunia badai dan topan, yang sebenarnya cuma terjadi di hutan tertentu. Bukan Dunia dalam artian alam semesta. badai dan topan, pada larik itu adalah denominasi kalangkabut. Manusia, sang pelukis romantik itu, di larik berikutnya, mengingatkan bencana “Kebakaran Hutan” dalam karya rupanya. Dua larik selanjutnya membuka jalan bagi puisi ini untuk masuk ke dalam persoalan lebih luas, tragedi eksistensial manusia:

Jadi ke mana

Untuk damai dan reda?

Jika persoalannya cuma kebakaran hutan, aku-lirik pada “Suara Malam” takkan memberi jawaban dramatis sekaligus terkesan cuek: Mati. Kita akan segera tahu bahwa dalam perspektif subjek aku-lirik, maut pada puisi ini bukan kematian korporeal belaka. Kematian dalam “Suara Malam” adalah kebinasaan eksistensial.

Tak seperti orang beriman kebanyakan, di larik keenam, aku-lirik tampak menyangsikan apa yang diyakini khalayak tentang kehidupan setelah mati dengan memberi ketidakpastian antitesis:

Barang kali ini diam dan kaku saja

dengan ketenangan selama bersatu

mengatasi suka dan duka

kekebalan terhadap debu dan nafsu

“Jangan-jangan tak ada lagi kehidupan setelah kematian,” mungkin begitu makna Barang kali ini diam dan kaku saja. Kata ini pada larik tersebut merujuk pada situasi mati; diam dan kaku adalah indikasi ketiadaan hidup. Sekali berarti, sudah itu mati, dan Tuan tidak bisa hidup kembali.

Larik selanjutnya membuat kita agak bingung sebelum sampai pada larik ke-14. Kata bersatu pada larik ke-7 identik dengan peleburan di larik ke-14. Lalu, apa arti kata bersatu? Saya akan merapelnya dengan pembahasan kata peleburan nanti.

Kematian itu, ungkap puisi ini, mengatasi suka dan duka serta kekebalan terhadap debu dan nafsu. Sebab suka dan duka hanya milik mereka yang masih hidup di dunia atau yang hidup setelah mati di alam baka. Pada tradisi agama samawi, di akhirat, suka direpresentasikan surga, sementara duka manifestasi dalam neraka. Kematian juga kukuh dari hantaman debu dan nafsu. debu dan nafsu adalah kosakata yang menggantikan mati (ingat: dari debu kembali ke debu) dan hayat (hanya insan hidup yang memiliki nafsu).

Anda merasa janggal ketika saya bilang kematian kukuh dari hantaman kematian? Maksudnya apa? Saya ulang lagi: Kematian (saya tulis lagi dengan K kapital—untuk memudahkan proses pembacaan) kukuh dari hantaman kematian. Kematian dengan K kapital adalah Kematian versi aku-lirik yang tak yakin dengan kehidupan setelah mati. Sedangkan kematian lainnya (yang diamsalkan kata debu) adalah kematian yang diyakini kebanyakan orang beriman. Pada dasarnya, kematian yang diamini khalayak tak ada bedanya dengan hidup. Sebab setelah mati, ia akan kembali bangkit lengkap dengan nafsu-nafsunya sebagaimana saat hidup di dunia. “Aku minta pula sampai di sorga yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu dan bertabur bidari beribu,” kata puisi “Sorga”.

Di larik berikutnya, kematian nan damai itu menjadi alegori:

Berbaring tak sedar

Seperti kapal pecah di dasar lautan

jemu dipukul ombak besar.

kapal yang pecah adalah kematian yang disebabkan hantaman penderitaan bertubi-tubi (jemu dipukul ombak besar). Sementara itu, yang tak sedar pada puisi ini bukan ketaksadaran ala Carl Gustav Jung yang terbenam dan laten; tak sedar menjadi kata Tiada pada bait ke-14. Maka, di larik ini dan setelahnya, kita didorong ke relung persoalan yang lebih mistik.

Di sejumlah tradisi spiritual, pencapaian tertinggi kebatinan bukan ganjaran rasa duniawi macam surga atau neraka. Pencapaian tertinggi rohani bisa berupa ketiadaan total. Buddhisme memiliki istilah puitis untuk kondisi semacam ini: Nirwana. Artinya: padam. Kebatinan Jawa menyebutnya suwung. Dengan begitu, manunggaling kawula Gusti memiliki makna kembar dengan sirnaning kawula Gusti. Peristiwa penunggalan bisa berarti penyirnaan. Suwung adalah kekosongan yang penuh. Nol sekaligus satu tanpa batas. Di sinilah ketenangan selama bersatu pada larik ke-7 bertemu padanannya dengan Peleburan dalam Tiada di larik ke-14.

Tetapi puisi “Suara Malam” masih merasa perlu bersikap tawaduk ketika di larik selanjutnya turun ke dimensi spiritual lebih rendah, ke gatra fisik cahaya—meski sesekali saja. Kata cahaya (c kecil) merupakan entitas yang lebih inferior ketimbang Tiada (T kapital). Aku-lirik menempatkan suwung (Tiada) di atas materi kasat (cahaya). Di banyak teks mistik, cahaya seringkali digunakan sebagai kias Tuhan. Sementara itu, Tuhan (dengan segala watak antropomorfiknya) adalah rumusan bahasa manusia untuk menyatakan yang tak terkatakan. Ia berada dalam ruang-waktu insani. Ia lebih rendah daripada Tiada. Kelengangan nan enigmatik.

Nalar ketawadukan di wilayah didaktik ini menjadi logis ketika pada larik selanjutnya, di bagian puisi yang telah masuk ke pola ekspresif, aku-lirik memerankan diri sebagai persona yang daif. Tragedi kebakaran hutan ini ditutup oleh rintih pertobatan:

Ya Allah! Badanku terbakar—segala samar.

Aku sudah melewati batas.

Kembali? Pintu tertutup dengan keras.

Ia terbakar dalam hutan, “terpanggang tinggal rangka,” tukas puisi Chairil yang lain. Atau, seperti hutan, tubuhnya terbakar. Hutan adalah tubuhnya dan tubuhnya adalah hutan. Hutan yang terbakar adalah dunia yang berbadai dan bertopan. Semesta yang kaos. Badanku adalah umpama diri yang kacau. Diri yang menerabas batas. (Apakah batas yang diterabas berelasi dengan laku bebas sang penyair?)

Yang jelas, meski gamang, aku-lirik berharap bisa kembali (ke dunia tenang, ke hidup yang tak kaos). Kembali? tanya aku-lirik tak yakin. Sebab kebakaran itu, kaos itu, membuat pandangan tertutup kabut asap (segala samar). Kalaupun jalan itu ditemukan, dunia yang ia tuju telah menutup pintu. Pintu yang tertutup dengan keras agaknya muskil untuk dibuka. “Aku merangkaki dinding buta. Tak satu juga pintu terbuka,” keluh puisi “Tak Sepadan”.

Tak seperti judul “Nisan” yang meleset secara maknawi dengan inti isinya, “Suara Malam”, titel puisi ini, cocok dengan wacana yang tengah dikomunikasikannya. Sajak tersebut adalah ‘ekspresi’ (suara) seseorang yang hidupnya ‘menderita karena kaos’ (malam). Kata malam dipilih karena identik dengan gelap. Dalam gelap dan segala yang samar, kaos hadir.

Dalam karya Aspahani, Chairil menyanggah Mirat yang menyoal pilihan kesenimanannya. Ia berkata, “Hidup ini memang tidak teratur, bukan? Dunia ini memang kacau. Kita hidup dalam kekacauan itu. Bukan berarti kita membuat dunia atau hidup kita sendiri menjadi kacau. Tapi kalau karena keinginan untuk teratur itu membuat kita tidak bisa menikmati hidup kita sendiri, buat apa kita hidup?”

Kita tak tahu apakah percakapan tersebut faktual atau fiktif belaka. Kalaupun perbincangan itu fiktif, Aspahani telah mengkristalkan pandangan hidup Chairil tentang batas dan bebas dalam opsi kepenyairannya meskipun pada akhirnya, di puisi “Suara Malam”, ia harus mencederai prinsip itu. Tak ada yang konsisten. Semua bisa dijungkirbalikkan keadaan.

Jika aku-lirik kita anggap sebagai penyairnya, lantas apakah Chairil menulis puisi ini dengan wawasan mistik? Apakah ia juga membaca buku-buku spiritualisme? Saya tidak tahu. Jassin dan Aspahani juga tidak memberitahu. Tetapi kesadaran spiritual semacam itu bisa hinggap di benak semua manusia. Dan tentunya, yang rahasia dan tak terucapkan nan bersemayam di relung bahasa seringkali menjadi objek kreativitas penyair. “Tak ada yang lebih indah daripada yang tak ada,” catat Paul Valery[7].

Sembilan bulan setelah puisi tersebut ditulis, aku-lirik dalam sajak yang lain mengetuk pintu nan tertutup dengan keras itu.

 

DOA

kepada pemeluk teguh

 

Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut namaMu

 

Biar susah sungguh

mengingat Kau penuh seluruh

 

cayaMu panas suci

tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

 

Tuhanku

 

Aku hilang bentuk

Remuk

 

Tuhanku

 

aku mengembara di negeri asing

 

Tuhanku

di pintuMu aku mengetuk

aku tidak bisa berpaling

 

13 November 1943

 

Kemolekan irama puisi “Doa” setara dengan keelokan isinya. Keindahan bentuknya lahir dari tarik-ulur antara kebebasan artistik dengan kepatuhan pada keselarasan bunyi. Namun, bukan itu yang hendak kita diskusikan perihal puisi ini.

Kita sepakat bahwa puisi-puisi Chairil adalah memoar dan karena itulah kita juga boleh menduga bahwa karya-karyanya saling terjalin. Ketika membaca sajak “Doa”, mau tak mau kita akan teringat kembali dan menautkannya dengan “Suara Malam”. Bagian akhir “Suara Malam”, saat aku-lirik ingin kembali ke kesejatian, mendapatkan intesitas penyesalannya pada puisi “Doa”.

Puisi ini diawali oleh bait yang tidak metaforis dan sukar terjadi di realitas keseharian:

Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut namaMu

Pernyataan tersebut berkebalikan dengan situasi yang kerap terjadi. Orang seringkali mengingat Tuhan justru ketika diradang diterjang penderitaan. Secara implisit puisi ini hendak berkata, “Yah, meski berjibaku dengan masalah, aku masih ingat Kamu, lho.” Semacam ingin membuktikan bahwa aku-lirik memang pemeluk teguh sejati. Keteguhan ini diperkokoh bait selanjutnya.

Biar susah sungguh

mengingat Kau penuh seluruh

yang artinya, di kesadaran aku-lirik, Tuhan tak pernah hadir dalam totalitasnya. Kita ingat, pada “Suara Malam”, di kesadaran Ilahiah yang dibatasi imaji dan bahasa, Tuhan diwakili kata cahaya. Pada “Doa”, ia lagi-lagi maujud dalam metonimia caya (juga dengan c kecil).

            cayaMu panas suci

tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

cayaMu panas, tanpa dijelaskan oleh kata lilin di larik selanjutnya, secara tersirat telah mengantarkan pemahaman kita bahwa itu api. Tetapi karena api Ilahi, ia suci. Seperti kertap api yang menyala-nyala pada cabang perdu bidara yang dijumpai Musa di lereng Jabal Sinai. Tuhan berseru agar sang nabi menanggalkan kedua kasut. Sebab ia mendekati kekudusan.

Tapi caya Tuhan pada “Doa” tak seterang api Yahweh di gunung itu. Pada momen ketermanguan, aku-lirik mengenalnya sebagai kerdip lilin di kelam sunyi. Satu derajat lebih redup ketimbang Tuhan dalam “Padamu Jua” Amir Hamzah: Kaulah kandil kemerlap, Pelita jendela di malam gelap. Masuk akal jika Tuhan susut menjadi sekadar kerdip lilin di kelam sunyi. Api nyaris padam. Sebab di dua bait sebelumnya, sekokoh apa pun iman pemeluk teguh, Tuhan bisa saja cuma muncul dalam sayup termangu dengan kehadiran yang tak penuh seluruh.

Maka, berikutnya, dua kata Tuhanku berdiri sendiri sebagai bait-bait yang lepas. Spasi adalah kelengangan yang menganga, jarak antara Ia dengan aku-lirik yang hilang bentuk, remuk, dan mengembara di negeri asing. Ini adalah situasi keterpisahan antara insan dan Tuhan. Aku-lirik yang hilang bentuk dan remuk merupakan manusia kaos yang dihantam badai-topan di puisi “Suara Malam”. Aku-lirik yang mengembara di negeri asing adalah ia yang melewati batas—juga di puisi “Suara Malam”—sehingga terlunta-lunta di tanah tak dikenal, terra incognita. “Aku tersesat tak dapat jalan,” ucap puisi “Rumahku”.

Lalu, di bait pamungkas, jarak itu lenyap, spasi itu sirna, sebab aku-lirik bergerak mendekati-Nya:

Tuhanku

Di pintuMu aku mengetuk

Aku tidak bisa berpaling.

Nada patah arang ‘pintu tertutup dengan keras’ di puisi “Suara Malam” berganti harapan di puisi “Doa”. Kembali? tanya putus asa aku-lirik “Suara Malam” dijawab kemungkinan optimistik “Doa”. Itulah mengapa pintu itu harus diketuk.

Aku tidak bisa berpaling lagi-lagi menjadi komitmen yang kuat untuk menyatakan kekokohan pemeluk teguh. Apa pun yang terjadi, Tuhan adalah kiblat. Jarum kompas hidup aku-lirik tak pernah berpaling ke mata angin lain.

‘Menyerah’ barangkali kata yang pas untuk menyimpulkan akhir drama kepedihan religius puisi “Doa”. Tapi menyerah dari apa? Hidup yang kaos dan tanpa batas? Di puisi bertarikh 29 Mei 1943, kita mestinya telah bertemu manusia yang mati-matian bergulat dengan sang pemilik pintu. Puisi itu berjudul “Di Mesjid”.

 

DI MESJID

 

Kuseru saja Dia

Sehingga datang juga

 

Kami pun bermuka-muka.

 

Seterusnya Ia menyala-nyala dalam dada.

Segala daya memadamkannya

 

Bersimpuh peluh diri yang tak bisa diperkuda

 

Ini ruang

Gelanggang kami berperang

 

Binasa-membinasa

Satu menista lain gila.

 

29 Mei 1943

 

Apakah puisi ini terdengar familier? Bagi Anda yang terbiasa mempertanyakan keyakinan religius warisan turun-temurun—beragama karena kebetulan sosial, kata Nurcholis Madjid—atau karena memang hobi merenungkan misteri alam semesta atau karena alasan apa pun, pergolakan iman dalam puisi ini mungkin pernah menginterupsi rasa nyaman Anda.

Pergulatan religius dalam puisi tersebut bukan pengalaman khas satu orang. Pergumulan semacam itu bisa terjadi pada banyak manusia. Kita punya bakat menciptakan realitas khayali dan pada waktu yang sama, berupaya membantahnya. Pengalaman arketipal ini dikisahkan dengan baik dalam Kitab Kejadian yang mengambil patriark bernama Yakub sebagai pahlawannya. 

Di dekat Sungai Yabok, di sebuah tempat yang kelak bernama Peniel, Yakub berkelahi dengan Ilahi yang tampil dalam wujud pria malaikatiah. Yakub menang dan ia menerima berkat figur misterius itu. Pertarungan ini memberi nama baru kepada cucu Abraham itu: Israel. Artinya: Ia yang bergumul dengan Allah. Karen Armstrong[8] memperjelas pesan kisah itu bahwa pencerahan bukanlah perkara mudah. Keselamatan dicapai dalam proses yang menyakitkan. Anda membutuhkan perjuangan sulit untuk menggapainya.

Tak seperti kisah Biblikal yang enggan menjelaskan bagaimana pertemuan awal Yakub dengan sang pria langit, aku-lirik pada puisi “Di Mesjid” menjumpai Dia dalam kalimat yang terdengar menantang:

Kuseru saja Dia

Sehingga datang juga

Seruan itu bukan rintih pertobatan puisi “Suara Malam”. Bukan pula untuk memohon, melainkan menyongsong sebuah duel religius. Dan Dia, Ilahi yang berumah di Masjid itu, menyambut undangan aku-lirik. Maka, pada bait satu larik berikutnya, persabungan imajiner itu terjadi: Kami pun bermuka-muka. Seperti perang kombat. Seperti manusia yang berhadapan dengan sesama manusia. Di sini, sebagaimana sosok beragama pada umumnya, aku-lirik mempersonifikasi entitas misterium bernama Tuhan dengan memberinya bobot manusiawi: bermuka-muka mendesakkan suatu imaji bahwa aku-lirik berhadapan secara resiprokal dengan figur jasadi yang memiliki wajah.

Tapi segera, di bait berikutnya, sosok berdaging itu menjelma wujud Tuhan versi puisi “Suara Malam” dan “Doa”: cahaya. Katanya, Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada. Dia bukan kerdip lilin di kelam sunyi, bukan sinar yang lindap. Ia menyala-nyala seperti api Musa di Gunung Sinai. Api yang akan membakarnya. Oleh karena itu, aku-lirik berupaya dengan Segala daya memadamkannya. Tak seperti di larik sebelumnya, bermuka-muka adalah sebuah situasi yang tampak sepadan, sejajar, berdiri sama tinggi duduk sama rendah. Di bagian ini, aku-lirik susah sungguh berupaya mengalahkan-Nya. Perjuangan setengah mati itu membuatnya bersimpah peluh diri, tetapi tak bisa diperkuda. Diperkuda? Sebuah ibarat berpetanda: gampang ditaklukkan seperti kuda—makhluk perkasa, tapi menjadi buruh manusia. Aku-lirik bukan diri ‘guyah lemah’ yang ‘sekali tetak tentu rebah’.

Alih-alih membunuh spirit aku-lirik, pertempuran alot itu mengembalikan kepercayaan dirinya. Ia tak mau lawan yang lemah. Ia butuh lawan sekuat dirinya, lawan berkata dengan muruah yang menjulang:

Ini ruang

Gelanggang kami berperang.

Kami adalah kata ganti orang pertama jamak—dua pihak—yang menyiratkan sebuah jukstaposisi yang balans di ruang dengan kata kerja berperang. Kami pun bermuka-muka, ucap bait kedua.

Masjid, judul puisi ini, bukan ruang religius tempat aku-lirik bersujud dan meng-abdi kepada-Nya. Masjid adalah medan palagan aku-lirik untuk Binasa-membinasa dan Satu menista lain gila. Di sini, Dia yang diyakini Mahakuat itu bisa saja Binasa sebagaimana ciptaan-Nya. Bisa pula menjadi gila karena dinista si lawan tanding. Seperti Tuhan yang ditaklukkan Israel.

Seorang pemeluk tak bisa dikatakan teguh tanpa melewati perjuangan keras ini.

Sehari sebelum menulis puisi kepada pemeluk teguh, Chairil menulis sajak kepada Nasrani sejati. Jika dalam “Doa” aku-lirik tersungkur di ambang pintu Ilahi, pada “Isa” ia menuliskan ulang inkarnasi Tuhan yang tersungkur di telapak kaki sejarah.

 

ISA

kepada nasrani sejati

 

Itu Tubuh

mengucur darah

mengucur darah

 

rubuh

patah

 

mendampar tanya: aku salah?

 

kulihat Tubuh mengucur darah

aku berkaca dalam darah

 

terbayang terang di mata masa

bertukar rupa ini segara

 

mengatup luka

 

aku bersuka

 

Itu tubuh

mengucur darah

mengucur darah

 

12 November 1943

 

Rima akhir uh-ah-uh-ah memang pas dengan suasana keluh-kesah yang dibangun puisi “Isa”. Sayang, puisi ini cuma punya prestasi bunyi, tapi tak punya prestasi diskursi. “Isa” hanya memparafrasa kisah Paskah tanpa berupaya menafsir ulang atau memberinya semangat zaman. Kita bisa membandingkannya dengan, misalnya, puisi “Afrika Selatan” karya Subagio Sastrowardoyo yang membubuhkan isu kekerasan rasialisme pada kisah Yesus atau sajak-sajak satire Joko Pinurbo tentang tubuh Ilahiah Kristus. Tak heran jika Subagio berkata bahwa puisi “Isa” sama sekali tidak memberi arti apa-apa.

Bait pertama dan kedua puisi ini hanya memotret ulang objek yang sudah sering kita saksikan melalui gambar diam atau bergerak, atau pada karya tiga dimensi: jasad yang mengucur darah, rubuh, patah. Tak ada metafora di kedua bait ini. Semuanya dirangkai dalam kalimat-kalimat literal.

Pada bait selanjutnya, tubuh korban via dolorosa itu mendampar tanya: aku salah? Ini adalah pertanyaan uzur Yesus sebagai anak manusia. Kelemahannya sebagai figur seratus persen manusia tampak di beberapa momen menjelang kematiannya, seperti saat ia memanjatkan kegamangan di Taman Getsemani atau ketika berteriak, “Eli, Eli, Lama Sabachthani!” dalam beberapa detik sebelum bersatu kembali dengan Sang Bapa. aku salah? menjadi pertanyaan yang menyangkal dimensinya yang lain: Korpus Kristus seratus persen Ilahi yang pada bait keempat menjadi Tubuh yang ditulis dengan T kapital.

kulihat Tubuh mengucur darah

aku berkaca dalam darah

Puisi “Isa” terdiri atas dua sosok yang menggunakan kata ganti orang pertama. Aku pertama, yaitu aku yang merujuk pada Yesus di aku salah? Aku kedua adalah aku-lirik pada pada bait-bait setelahnya.

Lalu, apa arti aku berkaca dalam darah? Mencari refleksi (berkaca) pada kematian (darah) Kristus, aku-lirik melihat penyelamatan (terbayang terang) dalam visi sejarah (di mata masa) umat manusia. terbayang terang di mata masa dilanjutkan larik bertukar rupa ini segara[9]. Karena kematian Kristus, nasib manusia yang dibayang-bayangi cacat dan dosa asal itu lekas berganti penyelamatan (terbayang terang). Pertukaran rupa ini dijabarkan dua bait satu larik setelahnya: mengatup luka (menutup derita dan dosa), lantas aku bersuka karena penebusan dan penyelamatan itu.

Barangkali Subagio berlebihan ketika berkata bahwa puisi “Isa” sama sekali tidak memberi arti apa-apa. Tentu saja sajak ini memberi arti. Hanya saja, arti yang diberikan sudah kedaluwarsa.

Menulis puisi tentang kematian Kristus sebagai anak manusia barangkali tidak cuma membutuhkan wawasan teologi yang memadai dan keterampilan menerjemahkan kisah tersebut sehingga relevan dengan situasi sosio-politiko-kultural si penyair—kitab suci kerap memiliki kemampuan memperbarui diri agar selaras dengan semangat zamannya. Ia juga membutuhkan empati. Dan empati acapkali timbul ketika si penyair juga memiliki pengalaman yang sama dengan objek yang ditulisnya.

Seandainya “Isa” dirangkai menjelang kematian Chairil, barangkali rasanya akan berbeda. Puisi-puisi kematian Chairil yang tulis menjelang ajal menampakkan rasa langut yang muram, menyayat, sekaligus indah. Dingin dan sepi itu merayap di sekujur puisi “Yang Terempas dan yang Putus”.

 

YANG TEREMPAS DAN YANG PUTUS

 

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,

menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,

malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

 

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru dingin

 

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang

dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;

tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

 

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

 

1949

 

Aura muram telah terasa di larik pertama: kelam dan angin lalu mempesiang diriku. Ini adalah puisi yang terjadi pada malam hari (larik ketiga menyebut malam secara eksplisit); kelam adalah kata yang digunakan untuk menggantikan latar malam yang identik dengan sifatnya yang gelap. Tak ada cahaya terang sebagaimana siang hari yang disinari matahari. (Dalam puisi yang lain, Chairil menyatukan kelam dan malam: Kualami kelam malam dan mereka dalam diriku pula.)

Namun, ini bukan malam biasa; kelam adalah kosakata yang kerap dipakai dalam konteks tak positif. Apalagi kelam di larik itu dibarengi kata dingin yang tak dimaksudkan mengandung arti sejuk—sejuk berkonotasi positif. dingin itu adalah cuaca yang pada larik kedua akan berefek menggigirkan.

Tapi apa arti mempesiang? Malam tersebut mempesiang aku-lirik. Kita bisa menalar arti mempesiang hanya jika menghadapkannya dengan antonimnya yang juga hadir di larik tersebut: kelam (malam). Malam adalah waktu saat lazimnya manusia tidur, sedangkan di siang hari, orang-orang bangun. Rupanya larik ini ingin bilang bahwa malam yang tak nyaman dan dingin itu membangunkan (mempesiang) aku-lirik. Penyair mendenominasi ‘membangunkan’ dengan mengubah nomina (siang) menjadi verba (mempesiang).

Tapi apa maksud ‘membangunkan’? “Yang Terempas dan yang Putus” merupakan ekspresi kesadaran yang tebal tentang kematian. Membangunkan adalah selupat makna ketiga dari penanda mempesiang (Roland Barthes akan menambah satu lagi lapisan tanda mitos jika membaca mempesiang dalam puisi ini). Membangunkan, dengan demikian, kata lain dari menyadarkan.

Malam dan dingin memberi kesadaran maut kepada aku-lirik. Sebab kelam dan angin menggigirkan ruang di mana dia yang kuingin. Kita bisa menduga, ruang tersebut adalah kamar (di bait ketiga), atau lebih luas lagi, Karet (di bait kedua). Lalu siapa dia yang kuingin? Apakah dia adalah kematian yang didambakan? Kita tahu, puisi ini ditulis pada 1949, saat Chairil tengah digerogoti penyakit yang menyiksa. Dalam derita yang mendera, bukankah harapan mati kerap singgah di benak manusia?

Jadi, ruang di mana dia yang kuingin adalah sebuah tempat aku-lirik siap menunggu kedatangan sang ajal; ruang itu anyep oleh kelam dan angin yang menyadarkan aku-lirik pada maut. Larik pertama dan kedua bait ini saling mengentalkan rasa kematian puisi “Yang Terempas dan yang Putus”.

Kesadaran akan maut tersebut membangkitkan suasana: malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu. Kekelaman itu, kemuraman itu, semakin menjadi, kian merasuk ke dalam batin aku-lirik, lalu segalanya menjadi sepi; rimba adalah penanda figuratif segala hal yang riuh. Di puisi ini, rimba yang mestinya tak pernah senyap oleh suara hewan nokturnal dan diurnal geming bagai tugu. Mati memang kata yang tepat disandingkan pada tugu karena tugu relatif tak berubah. Perubahan menandakan gerak. Dan gerak adalah indikasi hidup.

Kesadaran atas maut telah menyelimuti aku-lirik dengan kesepian. Aku-lirik yang ‘dicekik kesunyian kamarnya’.

Menarik untuk diperhatikan, pada tak sedikit puisi, kita kerap mendapati angin bersanding dengan sepi. Apa yang membuat kedua kata ini kerap berdampingan? Pada puisi “Asmaradana” karya Goenawan Mohamad, misalnya, secara implisit angin di kemuning memberi dampak suasana senyap: Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari dahan, karena angin pada kemuning. Angin yang bertiup di pohon kemuning memperjelas suasana sepi latar malam puisi itu. Saking sepinya, kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari dahan pun terdengar. Selanjutnya, kesenyapan itu dipertegas oleh terdengarnya resah kuda (sepi macam apa yang membikin resah kuda pun terdengar!) dan langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh.  

Sebetulnya, tanpa angin, kesepian tetap bisa terjadi. Hanya saja, angin yang hadir sebagai dingin atau deru akan membuat seseorang tiba-tiba sadar bahwa ia tengah dikoyak-koyak sepi. Deru dan dingin angin takkan disadari dalam suasana ramai. Di sini, hubungan angin dan sepi saling mempertegas. Sepi memperjelas angin dan angin membuat sepi terasa mencolok.

Dua watak angin, deru dan dingin menjadi kembar siam pada bait kedua “Yang Terempas dan yang Putus”: di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru dingin; deru dingin dari angin yang memberi kesadaran maut itu sampai juga di Karet, daerahku yang akan datang, kata aku-lirik. Mengapa harus di Karet? Sebab Karet merupakan pemakaman umum yang diinsyafi aku-lirik sebagai ‘kamar’ atau rumah masa depannya ketika sampai di ajal. Karet menjadi penanda ultim dari kesadaran aku-lirik atas kematian.

Personifikasi kematian yang oleh bait pertama ditunjuk dengan kata ganti orang ketiga (dia), di bait ketiga berganti kata ganti orang kedua (kau): aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang. Di sini, kesiapan (berbenah) aku-lirik menghadapi kematian (jika kau datang) ditunjukkan. Di lapisan penandaan yang lebih dalam, boleh jadi kata kamar punya arti ‘lahir’ atau tubuh karnal, sebab ia adalah ruang visual yang zahir. Sedangkan dalam diriku berarti ‘dalam batinku’; diriku adalah kata yang menunjuk seseorang di kedalamannya sendiri. Gestur tangan seringkali menunjuk ke arah dada—yang di baliknya hati (ruang emosi) dianggap bersemayam—ketika seseorang berkata “diriku”. Dengan demikian, dalam kamar, dalam diriku bermakna ‘lahir dan batin’. Aku-lirik siap lahir-batin menghadapi kematiannya. Ia takkan menggugat seperti pada puisi “Cintaku Jauh di Pulau”: Mengapa Ajal memanggil dulu.

Tidakkah ‘sepi yang terus ada dan menanti’ itu mengingatkan kita pada keikhlasan Nenek Tupin menghadapi takdir kematian? Apakah Chairil telah belajar darinya? Sebab di larik selanjutnya, aku-lirik bisa melepaskan kisah baru padamu. kisah baru itu, kesadaran baru itu, kematangan itu, lahir dari proses belajar, diri yang disepuh pengalaman dan penderitaan. kisah baru yang hendak disampaikan padamu, kepada kematian, menunjukkan bahwa aku-lirik tidak menganggap ajal sebagai momok, tetapi memperlakukannya seperti seorang teman yang bisa diajak berbincang. “Kematangan jati diri tak membuatku takut menghadapimu.” Kira-kira begitu.

Tapi kisah baru itu tak sampai juga dilepaskan, sebab aku-lirik tak sanggup lagi untuk berbicara—bisa karena faktor kesehatan. Yang mampu bergerak bebas (lantang) hanya tangannya. Bahkan, di bait terakhir, dikatakan bahwa sekujur tubuhnya pun cuma bisa diamdiam dan sendiri—sehingga kisah baru itu, cerita dan peristiwa (pengalaman-pengalaman) baru itu berlalu beku (tak sempat disampaikan dan menjadi sia-sia). “Aku hendak berbicara,” tulis puisi “Kesabaran”, “tapi suaraku hilang, tenaga terbang.”

“Yang Terempas dan yang Putus” adalah puisi berpola teratur: 3 larik di bait I dan III; 1 larik di bait II dan IV.  Bait berlarik 3 bersajak a-b-a (jika bait kedua dan keempat ditarik ke bait sebelumnya, puisi ini akan menjadi dua kuatren yang berima akhir seperti pantun). Mendekati kematian, sepertinya Chairil bergerak mundur ke corak puisi lama seperti “Nisan”, karya di awal karier kepenyairannya. Keteraturan struktur ini makin mantap pada puisi “Derai-Derai Cemara”.

  

DERAI-DERAI CEMARA

 

cemara menderai sampai jauh

terasa hari akan jadi malam

ada beberapa dahan di tingkap merapuh

dipukul angin yang terpendam

 

aku sekarang orangnya bisa tahan

sudah berapa waktu bukan kanak lagi

tapi dulu memang ada suatu bahan

yang bukan dasar perhitungan kini

 

hidup hanya menunda kekalahan

tambah terasing dari cinta sekolah rendah

dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan

sebelum pada akhirnya kita menyerah

 

1949

 

Sebagaimana “Nisan”, di tiap baitnya, “Derai-Derai Cemara” bersajak a-b-a-b seperti pantun, tapi seluruh lariknya adalah isi seperti syair. Namun, puisi ini sudah lepas dari gaya berbau-bau Pujangga Baru sebagaimana yang masih terhidu dalam puisi “Nisan”: dan duka maha tuan bertakhta.

Sekilas, komposisi kesatuan tiga bait puisi tersebut agak mirip pantun: bait pertama sampiran, bait kedua dan ketiga isi. Bait pertama adalah ornamen yang tak memiliki koherensi dengan bait ketiga dan keempat yang merupakan wacana utama. Tapi apa memang begitu? Apakah benar tak ada koneksi diskursif antara bait pertama dengan bait kedua dan ketiga?

Dengan cemara menderai sampai jauh, bait pertama puisi ini dibuka. Dahan cemara berderai jauh. Jauh bagai hidup yang meninggalkan hidup. Jauh seolah-olah takkan pernah kembali. Dalam Aku, Sjuman Djaya membikin adegan saat tokoh Pai masuk ke kamar penghabisan Chairil di Paseban dan menemukan teks puisi itu tergeletak di atas meja. Ketika melempar pandang ke luar jendela, ia mendapati pucuk-pucuk cemara bergoyang.

Kita nyaris tidak mendapati kata menderai atau berderai digunakan untuk benda selain zat cair. Hujan atau air mata yang berderai, bukan cemara. Dalam puisi ini, yang berderai adalah dahan (lihat larik ketiga) cemara, patah terbang tertiup angin. Angin? Kata angin muncul di larik keempat: dipukul angin yang terpendam. Apa yang dipukul? Larik ketiga menyodorkan jawaban: beberapa dahan di tingkap merapuh. Jadi, dahan di tingkap cemara yang rapuh itu patah dan terbang karena diterpa angin. Angin yang terpendam. Kata terpendam terasa ganjal pada frasa ini. Jangan-jangan si penyair cuma membubuhkan kata ini untuk memenuhi tuntutan persamaan bunyi –am di kata malam pada akhir larik ketiga.

Kesatuan larik pertama, kedua, dan ketiga ini didistraksi larik kedua: terasa hari akan jadi malam. Saya kira ini  juga karena tuntutan persamaan bunyi di akhir larik, sebab seandainya diletakkan di larik keempat, larik kedua akan memberi suasana yang runut pada bait itu: drama dahan-dahan patah karena tiupan angin dipungkasi malam yang akan tiba.

Meski demikian, suasana ‘dahan cemara rapuh dan patah karena angin’ itu memiliki asosiasi metaforis dengan ‘hari yang akan jadi malam’. Keduanya sama-sama melambangkan kondisi tua dan akhir. Dahan menjadi rapuh karena tua dan patah, sebab hidupnya telah berakhir. Begitupun  malam adalah waktu tua/akhir hari. Keniscayaan takdir yang dilukiskan bait pertama menjadi pembuka yang akan terkoneksi dengan dua bait sisanya.

Adapun di bait kedua, aku-lirik berkata bahwa ia kini bisa tahan yang artinya sabar menghadapi penderitaan; derita karena sakit-sakitan (dahan rapuh). Kesabaran itu lahir dari kesadaran tentang usia nan tak lagi belia: sudah berapa waktu bukan kanak lagi. Di larik ketiga, dulu, masa belia itu menyediakannya suatu bahan: energi prima, kelincahan gerak, kebebasan dan kebablasan, kejemawaan yang tak mau kalah, nafsu hidup seribu tahun lagi; bahan-bahan yang kata puisi “Siap Sedia” membuat “Darah kami panas selama, Badan kami tertempa baja, Jiwa kami gagah perkasa.” Tapi di larik keempat, bahan-bahan itu tak lagi menjadi dasar perhitungan kini atau tak ada gunanya lagi ketika manusia dihajar penderitaan, nasib jelek, atau usia sepuh. Kata kini pada larik itu merujuk pada bukan kanak lagi di larik kedua. 

Kita akan tahu visi aku-lirik tentang manusia yang memang ditakdirkan kalah, manusia yang pada akhirnya rapuh oleh jatah hidup yang telah tandas, ketika membaca bait selanjutnya: hidup hanya menunda kekelahan saat tambah terasing dari cinta sekolah rendah. terasing dari cinta sekolah rendah adalah ungkapan lain bukan kanak lagi. Larik cinta sekolah rendah adalah cinta monyet yang penuh gairah, hasrat-hasrat banal, ketika ‘kita berpeluk ciuman tidak jemu’; bahan-bahan itu telah habis. Ternyata “sorga hanya permainan sebentar,” ujar puisi “Tuti Artic”, dan kekalahan tak lagi bisa ditunda. Sesuatu yang buruk akan tiba.

Keberjarakan aku-lirik dengan gairah masa belia yang membuat hidup terasa penuh seluruh mendorongnya tahu bahwa ada hal-hal yang tak ia tahu, bahwa ada yang tetap tak terucapkan: misteri nasib. Keburaman teka-teki takdir (seperti kedatangan ajal, misalnya) inilah yang memberi rasa optimis kuat pada masa cinta sekolah rendah ketika—meminjam kata-kata puisi “Merdeka”—“Aku percaya pada sumpah dan cinta, Menjadi sumsum dan darah, Seharian kukunyah-kumamah” sehingga tak heran jika manusia ingin hidup abadi, ingin memperpanjang hayat hingga seribu tahun lagi. Keinsyafaan atas kedaifan itu pada akhirnya membuat kita menyerah. menyerah menerima misteri dan ketentuan nasib sebagai kesunyian masing-masing. menyerah memang kata peyoratif, tapi dalam konteks puisi-puisi Chairil, ia bisa sepositif Keridlaanmu: rela, ikhlas, berserah. Berserah pada keputusan takdir.

Takdir. Sebuah konsep yang mewakili kepercayaan kuno bahwa hidup manusia telah dituliskan dan dijatah oleh Ada yang lebih superior. Takdir mestinya tak dipercaya manusia modern yang menganggap dirinya sebagai umbilicus mundi, pusar semesta. Manusia sendirilah yang menentukan gerak dan arah masa depan hidup. Manusia punya kehendak dan kebebasan total. Manusia dikutuk bebas, kata Jean-Paul Sartre.

Tapi siapa sangka, kebanggaan diri itu bisa luntur oleh lecutan nasib (buruk) yang datang tiba-tiba. Hal ini mendesak manusia memikirkan ulang bahwa ada yang memang tak bisa dikendalikannya. Keinsyafan atas takdir kematian membuat manusia tahu, ia bukan pemilik kebebasan. Ia punya batas. Dan batas itu tidak diputuskan oleh iradat manusia.

Pesan ‘kembali ke takdir’ pada “Derai-Derai Cemara” seakan-akan paralel dengan bentuk puisi yang diambil sang penyair: puisi lama. Puisi yang desainnya telah ditetapkan, bukan puisi bebas yang ditulis berdasarkan hajat penganggitnya. Di sini, trayek hidup + kepenyairan Chairil menjadi terlihat: berjalan spiral. Menuju ke depan sekaligus ke belakang. Kesadaran modernisme itu mengembalikannya pada tradisi.

Tak seperti Pujangga Baru yang menyerap modernisme setengah-setengah, Chairil dianggap telah melawati masa-masa sehatnya sebagai anak muda dan seniman dalam modernisme total. Ia tak hanya memiliki kedaulatan individu, tetapi juga mempraktikkan otonomi artistik. Pandangan hidupnya yang modern diamalkan secara penuh seluruh.

Maka, jika kemudian Chairil kembali kepada iman dulu dan berbelok ke format puisi lama, apakah lantas ia berpaling dari modernisme? Apakah modernisme itu suatu situasi ontologis? Atau situasi dalam proses? Atau jangan-jangan, situasi dalam proses adalah ontologi modernisme?

Jika modernisme mensyaratkan keber-ada-an individu yang dinamis, yang tak begitu saja menerima determinasi nasib, tidakkah pergulatan hidup Chairil telah memenuhi tuntutan itu? Jika pada akhirnya menyerah kepada takdir, apakah lantas ia menjadi modernis yang kandas? Jika pada akhirnya di pintuMu aku mengetuk, apakah aku telah gagal menanggung pengembaraanku sebagai manusia bebas?

 

[1] Pidato dan esai Chairil Anwar pada tulisan ini dibaca di buku H.B. Jassin, Chairil Anwar Pelopor Sastra Angkatan 45 (Gunung Agung, 1956).

[2] Sosok Pribadi dalam Sajak (Balai Pustaka, 1997)

[3] Hasan Aspahani, Chairil (GagasMedia, 2016)

[4] The Forum, Volume 32, Issue 2, April/May/June 2006

[5] Totem & Taboo (Immortal Publishing, 2017)

[6] Puisi-puisi Chairil Anwar dalam esai ini dikutip dari buku Aku Ini Binatang Jalang (GPU, 2011).

[7] Sutan Takdir Alisjahbana, Perjuangan Tanggung Jawab Kesusastraan (Pustaka Jaya, 1977)

[8] In the Beginning: A New Interpretation of Genesis (Ballatine Book, 1996)

[9] Saya agak gamang dengan citraan laut (segara) dalam puisi ini. Dalam versi lain, yakni majalah Siasat Baru (B.3201, Th. 14, No. 659, 27 Djanuari 1960) yang didokumentasikan situs web Perpustakaan Nasional dengan keterangan bahwa “Isa” bagian dari buku Deru Tjampur Debu, puisi tersebut menggunakan kata segera, bukan segara. Untuk kepentingan diskusi ini, saya lebih menggunakan makna dari kata ‘segera’, ketimbang ‘segara’ sehingga kata segara tidak saya tafsirkan lebih lanjut.

Esai31 Agustus 2022

Royyan Julian


Royyan Julian belajar di Universitas Negeri Malang dan Universitas Gadjah Mada. Hingga saat ini, ia telah menulis tiga belas buku. Ia dan buku-bukunya menjuarai lomba dan menerima penghargaan sastra dari Gubernur Jawa Timur, LeutikaPrio, Dewan Kesenian Jawa Timur, dan nongkrong.co. Buku mutakhirnya, Korpus Ovarium (Julang, 2022) menjuarai Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2021. Ia pernah diundang sebagai penulis emerging di Ubud Writers & Readers Festival 2016, pernah juga menjadi penulis mukim di program Residensi Penulis Indonesia 2019 (Komite Buku Nasional) dan Sastrawan Berkarya ke Wilayah 3T 2020 (Badan Bahasa). Saat ini, ia tinggal di Madura.