Kelana bersama Ahasvéros
Sajak-Sajak Chairil Anwar dari Dekat

Ilustrasi: Wulang Sunu

Tulisan ini adalah Juara Harapan Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2022.

Unduh versi tulisan sebelum disunting dalam format PDF lewat tautan ini.

Unduh juga Pertanggungjawaban Dewan Juri Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2022 dalam buku program melalui tautan ini.

 

*

 

Tulisan ini meninjau estetika modernisme pengelana Chairil Anwar. Melalui perjalanan utopis sekaligus distopis yang dilalui si pengelana-penyair dapat diinterogasi lebih jauh makna tanah air baginya. Di sini, fenomenologi pengelanaan ditempatkan bukan sebagai salah satu, dan bukan satu-satunya, manifestasi pengalaman modernitas. Seraya mencapai pembuktian itu, diskusi hubungan antara metafora dan hasrat merumah pada sajak-sajak Chairil akan meninjau karakteristik estetika dimaksud. Untuk menjelaskan bahwa gejala modernisasi seperti ini tidak unik pada sastra Indonesia, sedikit kajian bandingan sajak Chairil dengan karya penyair kenamaan lain seperti Nazar Muhammad Rasyid, penyair Pakistan, dapat menunjukkan modernitas sebagai gejala yang mekar berbarengan di berbagai pelosok dunia. Tulisan ini juga mengupas kritik Chairil terhadap warna keagamaan dalam karya para pendahulunya, corak puitis yang mengalami semacam revitalisasi pada 1970-an. Tulisan ini ditutup dengan perhatian pada sisi kerapuhan yang tercermin dari sajak-sajak Chairil dan menyarankan kemungkinan lanjutan dalam menelaah pengaruh Chairil.

 

Sedikit tinjauan

Modernitas kerap dipahami sebagai arus bawaan kebangkitan Eropa pasca-abad ke-15 yang ditandai oleh formasi negara-bangsa setelah Perdamaian Westphalia. Paradigma demikian cukup populer dalam disiplin dan kerangka pemikiran difusionis[1] yang menajamkan polarisasi pusat dan pinggiran sebagai tolok ukur konvensional. Paradigma difusionis menyepakati modernitas, beserta estetika modernisme yang terdapat di dalamnya, pertama kali meletup di Barat (the West) pasca-Pencerahan dan imbasnya, mau tidak mau, secara berangsur- angsur dirasakan oleh yang Tersisa (the Rest). Dengan kata lain, di sini Barat diposisikan sebagai basis utama, titik asali, juga matra pengukur dalam memahami gejala modernisasi yang terjadi di pelosok-pelosok dunia. Lewat kerangka berpikir seperti ini, modernitas sebuah bangsa, terutama yang pernah mengalami penjajahan, secara tak langsung dipandang sekadar salinan pucat dari kemajuan Barat dan negara-negara penjajah. Dalam pemikiran-pemikiran pascakolonial, persoalan modernitas ini dipandang berkaitan erat dengan tegangan antara imperialisme dan pergerakan nasional, khususnya di seputar hibridisasi budaya dan ketergantungan pada kuasa kolonial.[2] Kerangka pemikiran difusionis ini juga akhirnya membimbing pada pembekuan pengertian tentang kemodernan, meski tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada keragaman definisi dalam pemaknaan modern/modernitas/modernisme pada pelbagai disiplin ilmu pengetahuan.

Pertama-tama, dapat diperiksa istilah “modern” sebagai nomina. Dalam kajian sastra Inggris, misalnya, ada kesulitan untuk tidak berpaling pada kerangka periodisasi sastra Eropa yang menentukan akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 sebagai marka sastra modern. Pada disiplin yang lain, era Modern terkadang dipandang sebagai babak transisi bertahap dari Abad Pertengahan ke masa kekinian. Di Eropa dan Amerika Serikat, pembabakan sejarah ini agaknya sudah menjadi narasi konvensional dan cukup banyak memengaruhi pembentukan fakultas-fakultas di perguruan tinggi (seperti pengkhususan kajian era Viktoria, Romantisisme, Realisme dan seterusnya). Tak ayal, narasi periodisasi jadi semacam aksioma bagi para pengkaji sastra, seni, sejarah dan filsafat. Pengaruh pekat paradigma periodisasi ini juga terasa dalam laku-laku telaah sastra terdahulu di Indonesia, sebagaimana tercermin pada kajian-kajian Andries Teeuw, Hans Bague Jassin, Nugroho Notosusanto, Ajip Rosidi, Korrie Layun Rampan, Maman Soetarman Mahayana dan sebagainya. Tumpukan rujukan pada karya-karya mereka mengisyaratkan bahwa narasi periodisasi ini memang menjadi acuan wajib dalam kurikulum kajian sastra. Akibat muatan semantis ini, makna modern akhirnya berpagar: ia mesti dipandang sebagai sebuah himpunan ciri khas yang dibatasi oleh waktu dan ruang tertentu, meski gerak maju yang linear menjadi prakondisi utamanya.

Lain halnya ketika menempatkan “modern” sebagai adjektiva. Kata itu menekankan sensibilitas perubahan dan kebaruan, tetapi pada saat yang sama juga menegaskan oposisi terhadap pendahulunya: yang tradisional. Tradisi mengangankan kesinambungan konstan masa lalu sebagai marka jalan menuju masa depan, sedangkan modernisme menawarkan subversi terus-menerus terhadap yang sudah lewat demi meneroka jalur menuju yang akan datang. Alih- alih mufrad, kedua istilah ini acap muncul sebagai pasangan minimal seolah terjebak dalam siklus pertentangan tanpa akhir, kendati pertentangan itu pun agaknya tidak pernah stabil. Titel “tradisional” kadang dilekatkan pada si “pendahulu” setiap kali sebuah gestur pembaharuan tampil. Misalnya: gugatan terhadap tradisi-tradisi tertentu dalam pemikiran modernis oleh pascamodernis (contohnya lihat skema Ihab Hasan[3]). Variasi watak pemberontak adjektiva modern ini terasa pada perdebatan perihal awal mula terbentuknya sastra Indonesia modern sebagaimana terlihat pada kontras antara, misalnya, kajian-kajian Rahmat Djoko Pradopo dan Claudine Salmon.[4] Ketika kata modern berfungsi layaknya jenama sebuah produk seperti di atas, makna modern agaknya menjadi terbuka untuk dimaknai: ia memperlihatkan perputusan (rupture), rumpang, sekaligus tawaran bagi upaya untuk mengisi kekosongan itu.

Bercermin pada pemikiran di atas, deskripsi gramatikal tampaknya mengekspos kontradiksi dalam pemaknaan modernitas, utamanya ketika memosisikan istilah tersebut sebagai entitas tunggal. Hanya mengacu pada salah satu dari cara pemaknaan di atas sangat mungkin membuat salah kaprah. Upaya memusatkan atau membakukan istilah modernitas juga setangkup halnya dengan obsesi difusionis. Namun, layak dicatat bahwa modernitas entah sebagai nomina atau adjektiva punya dorongan untuk terus menuntut perubahan. Ia boleh jadi bergerak secara sentripetal sekaligus sentrifugal, tidak swatantra.

Ia meletup di berbagai pelosok dunia, tetapi pada saat yang sama juga saling terhubung lewat mobilitas dan migrasi. Karenanya, memosisikan modernitas sebagai proses jamak dan terus-menerus, melihatnya sebagai perputusan juga kesinambungan, dapat membuka jalan setapak untuk mensyarahkan kembali gerakan-gerakan modernisme yang Tersisa di luar radar modernisme Barat. Sukar dipungkiri, sampai hari ini tidak jarang kajian-kajian humaniora nasional masih memapankan mitos keabadian Barat sebagai pusat. Biasanya ada semacam kecanggungan atau penyamarataan[5] dalam kajian sebuah korpus yang berkenaan dengan modernisme. Hal demikian kentara pada kajian-kajian terdahulu sajak-sajak Chairil Anwar, pujangga urakan itu.

Ada konsekuensi besar ketika menempatkan duduk perkara awal modernitas pada aras Revolusi Industri, secara garis besar, atau lebih rincinya: krisis eksistensial pasca-Perang Dunia II. Mengacu latar sosial-budaya di muka, Subagio Sastrowardoyo (1991) dan Linus Suryadi AG (1991) menunggalkan akar kepenyairan Chairil dalam telaah-telaah mereka. Dipengaruhi gejala eksistensialis pasca-perang, penyair Chairil, kata Subagio, “berpikir dirinya punya jiwa orang Eropa, seolah berasal dari budaya dunia, yang hakikinya tidak pernah ia kunjungi dan hanya memahaminya abstrak saja.”[6] Dalam nada sama, Linus berpendapat sajak-sajak terbaik Chairil “secara budaya berorientasi pada para penindas [Belanda dan Jepang]” dan dihasilkan dari “pergerakan di lapang hubungan seksual[7]” belaka. Pada keduanya ada yang tak sepadan: biografi Chairil dan tampak-tampak lahir pada sajaknya punya porsi lebih berat ketimbang analisis mendalam terhadapnya. Secara tersirat keduanya juga menjelaskan modernitas sebagai perceraian mutlak dari sang tradisi. Pengaruh literatur Barat kepada penyair Indonesia sudah jelas memang, akan tetapi menjelaskan pengaruh lain soal dengan meneguhkan keunggulan modernitas Barat. Seyogianya para kritikus melihat posisi Chairil juga sebagai penerus (atau revisionis?) tongkat estafet tradisi[8], menggarisbawahi pentingnya aspek-aspek religiusitas[9], dan pengaruh peradaban Muslim pada sajak-sajaknya.

 

Metafor dan hasrat merumah

Apakah sastra memproduksi metafora atau sebaliknya metafora memproduksi sastra? Saat terjadi “[ke]risau[an] menghadapi metafor,” pinjam gubahan dari Goenawan Mohamad, metafora dapat memproduksi sastra; satu kondisi ketika pribadi seorang penulis dilekatkan-eratkan pada karyanya. Karena lewat cara ini, metafora kemudian beridentitas—menjadi diskursus—dan penilaian pada sebuah karya biasanya akan berstandar ganda. Contohnya, akan muncul kesan yang amat kontras ketika membincangkan antara karya penyair keturunan Tionghoa dan sastrawan yang secara ras tidak perlu dipersoalkan, antara penulis yang queer dan penulis yang hetero, antara penulis dari Ibukota dan penulis dari Timur, atau yang lebih bernuansa politik: antara Lekra dan Manikebu. Hal ini juga dapat berlaku ketika menelaah sajak Chairil sebagaimana tampak pada model kritik “sosok pribadi dalam sajak” yang dikerjakan oleh Subagio Sastrowardoyo. Menimbang teks sosial seorang penyair memang perlu, terutama bagi seorang biografer, tetapi itu saja tidak cukup. Mencoba mengatasi cara pandang di atas, berikut diberikan penjelasan bagaimana sajak-sajak Chairil[10] meramu metafora serupaan lewat nalar jukstaposisi. Pada metafora dimaksud ada semacam tegangan antara pengalaman konkret mendiami satu tempat dan panggilan tempat terbayang nun di seberang sana.

Untuk permulaan, simak sajak di bawah:

Tak Sepadan

Aku kira:

Beginilah nanti jadinya

Kau kawin, beranak, dan berbahgia

Sedang aku mengembara serupa Ahasvéros.

Dikutuk-sumpahi Eros

Aku merangkaki dinding buta

Tak satu juga pintu terbuka.

           

Jadi baik juga kita padami

Unggunan api ini

Karena kau tidak ‘kan apa-apa

Aku terpanggang tinggal rangka.

Ada tambal sulam kiasan antara sebuah alusi dan satu citraan yang mencolok: antara individu nomadik (Ahasvéros) dan individu sedenter (orang kawin). Mesti diakui, ide-ide pada setiap kalimat dalam sajak ini memang saling bertabrakan (timpang antara sosok dalam legenda dan orang kawin biasa), tetapi kelindan antara mereka menjadikannya satu hipotaksis utuh. Karenanya, boleh dikatakan cukup sulit mencari peran pengganti “perempuan kawin” dalam sajak ini untuk mencapai efek dramatis serupa. Kendati demikian, penyejajaran dua ide yang kalut itu mencapai kesetimbangan peran antara seorang perempuan yang diacu dalam sajak dan diri si penyair sendiri. Dari keseluruhan larik dapat diperoleh suatu kualitas peran senilai yang saling melengkapi antara si perempuan kawin (“beranak,” “berbahgia,” “tidak ‘kan apa-apa”) dan si penyair-Ahasvéros (“mengembara,” “tersingkir,” “terpanggang”). Perlu dicatat juga, kesenilaian peran di atas didukung penerapan latar waktu kini yang berfungsi menghimpun fantasi si penyair tentang dirinya di masa yang akan datang.

Tegangan antara yang kini dan yang terbayang itu telah jelas di pembukaan: “Aku kira.” Ancang-ancang tersebut memacak lebih dulu pengalaman konkret kekinian si penyair, dan hasilnya adalah fantasi “nanti” yang di dalamnya ia berperan sebagai si pengembara Ahasvéros. Sebelum si perempuan kawin, sebelum ia mengutuk diri sendiri jadi petualang abadi, si penyair sudah lebih dulu punya dorongan yang kuat untuk menjawab panggilan tanah seberang. Pada tahap tertentu, metafora serupaan ini boleh jadi berfungsi sebagai penanda rasa keterusiran penyair.

Apabila dalam Tak Sepadan si penyair berbagi imajinasi tentang yang akan datang, dalam Pemberian Tahu kekinian menjadi poros upaya melupakan yang telah kejadian. Dari atas kapal, di tengah lautan tak bernama, si penyair bersenandung:

Bukan maksudku mau berbagi nasib,

nasib adalah kesunyian masing-masing.

Kupilih kau dari yang banyak, tapi

sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring.

Aku pernah ingin benar padamu,

Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali,

Lewat jukstaposisi nasib dan kesunyian di atas penyair tampak berusaha melepaskan diri dari agenda kolektif. Tautan kata nasib, yang umumnya netral (bisa jadi nasib mujur atau nasib sial), via katakresis (catachresis) pada kesunyian cenderung mengedepankan sisi soliter dalam lakon menjalani hidup. Sajak ini mungkin satu contoh yang baik bagaimana si penyair menyelewengkan bentuk pantun tradisional. Antara sampiran dan isi silih berganti tempat pada setiap lariknya sehingga muncul pola a-b-a-b-a-c. Kendati demikian, cukup jelas juga ada intervensi bunyi sumbang pada baris keenam yang membatalkan pola keseiramaan bercorak pantun antara bait di atas dan bait setelahnya. Namun demikian, efek diskontinuitas ini justru mendukung pencitraan “masa lalu” yang digambarkan seperti kekeliruan “kanak-kanak.” Gairah masa lalu, di satu sisi, memang “pernah” meletup-letup bagi si penyair (“kita berpeluk ciuman tidak jemu”), tetapi, di sisi lain, juga sudah menjemukan bagi dirinya yang sekarang. Meski atmosfer yang terbangun dalam sajak kental dengan distopia (“sunyi,” “sepi”), lagi-lagi di baliknya ada semacam fantasi seorang pengembara, seperti ditegaskan pada penggunaan latar “laut tak bernama.”

Penggambaran yang lain mengemuka pada sajak bernuansa spiritual, Sorga, yang di dalamnya penyair meleburkan pengalaman yang lalu dan bayangan yang akan datang pada latar waktu kekinian. Bersandar antara pengalaman leluhur yang konkret di satu sisi (“Seperti ibu + nenekku juga / tambah tujuh keturunan yang lalu”) dan imajinasi masa depan di sisi berlainan (“aku minta pula supaya sampai di sorga”), si penyair mengutarakan pandangan sinisnya terhadap kebenaran empiris eksistensi alam setelah dunia lahir. Seperti dalam Tak Sepadan, dalam sajak ini penyair juga mengimajinasikan kesenilaian kualitas antara surga (“bersungai susu,” “bidari beribu,” “bidari imajiner”) dan pelabuhan (“kuyup laut biru,” “gamitan,” “Nina dan Jati”). Ordinat dalam sajak ini sebenarnya dapat terwakili larik ketiga stanza pertama dan larik pertama stanza kedua saja, tetapi dengan memanfaatkan suplemen hipotaksis penyair berhasil menyampaikan kiasan serupaan untuk memenangkan sisi materialitas alam di atas diskursus agama. Namun, meski dalam sajak ini penyair menampilkan pendirian yang lebih kokoh (jelasnya ia mengasingkan diri dari ideologi kolektif “Masyumi + Muhamadiyyah”) daripada apa yang mengemuka dalam sajak Pemberian Tahu, masih ada nuansa kebimbangan pekat sampai akhir ketika penyair menutup sajaknya dengan tanda tanya besar.

Pada sajak Tuti Artic kiasan “sorga” itu bukan jadi alusi keagamaan lagi, melainkan simile untuk sebuah momen: “sorga hanya permainan sebentar.” Dibandingkan sajak-sajak lain, pada Tuti Artic elaborasi katakresis sebagai majas untuk mewadahi jukstaposisi muncul lebih sering. Simak kutipan lengkap di bawah:

Tuti Artic

Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga,

Adikku yang lagi keenakan menjilat es artic;

Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan susu + coca cola.

Isteriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetik.

 

Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa

ketika kita bersepeda kuantar kau pulang —

Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara,

Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang.

 

Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali bertukar;

Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:

Sorga hanya permainan sebentar.

 

Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu

Aku dan Tuti + Greet + Amoi… hati terlantar,

Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.

Sajak di atas nyaris jadi kuatren konvensional teratur jika bukan karena tipografi pemisah bait ketiga dan bait keempat, bunyi vokal “u,” yang terkunci pada dua baris bunyi konsonan “r” setelahnya. Pada hampir setiap stanza di atas dapat ditemukan setidaknya satu katakresis: baris pertama bait pertama, baris ketiga bait ketiga, dan baris ketiga bait keempat. Yang menjadikan sajak ini amat kontras barangkali renungan semu falsafi dan leburan citraan utopia (“bahagia,” “sorga,” “cinta”) dan distopia (“jurang,” “permainan sebentar,” “bahaya”) yang tumpang tindih, sehingga ketiga larik ini acap menyita perhatian pembaca lebih dari larik-larik lain. Intensitas pertautan yang utopis ke yang distopis ini juga yang menekankan kembali sisi soliter dalam proyek metafora serupaan si pengelana-penyair. Di sini, bertolak dari kekinian menjadi dorongan paling kuat bagi penyair untuk bergerak maju (“aku juga seperti kau, semua lekas berlalu”). Karena baginya, utopia kekinian  juga hanya kesenangan sesaat yang bakal segera membawanya ke lorong keterasingan (“besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu”).

Ada ironi yang muncul dari sejumlah ramuan jukstaposisi di atas: kendati penyair menyejajarkan antara satu ihwal dan ihwal lain, tidak ada satu pun dari mereka yang benar- benar intim baginya. Singkatnya, rasa memiliki si penyair sama-sama tidak tumbuh baik di hotel prodeo pelabuhan ataupun pada relasi antarindividu yang ia jalin. Oleh karena itu, ketika berhadapan dengan hal yang tidak akrab pun, alih-alih bersambut, yang lahir juga adalah kesunyian, yang tidak jauh berbeda dengan angan-angan. Pada sajak Aku Berada Kembali, penyair menunaikan angannya untuk menjadi petualang, dan di dalamnya cukup sarat kesan psikologisnya terhadap tanah seberang yang diangankan itu. “Aku berada kembali,” kidung si penyair, “banyak yang asing:” mulai dari corak geografis, ragam fauna, tekstur suasana, hingga peri taktil dan gustatoris. Nahas, pada semua pengalaman baru itu bersemi nada kecewa:

Hanya

Kelengangan tinggal tetap saja.

Lebih lengang aku di kelok-kelok jalan;

lebih lengang pula ketika berada di antara

yang mengharap dan yang melepas.

Kata “hanya” yang terpisah dalam satu ketukan sumarah tampak jadi ordinat stanza, sedangkan parataksis kalimat-kalimat setara berimbuh kata “lengang” yang direpetisi hingga tiga kali di belakangnya seolah mewakili satu-satunya pemaknaan penyair terhadap angan-angan “tanah seberang” yang ia kejar itu. Transformasi kata “lengang,” yang menempati nomina pada baris kedua dan menjadi adjektiva pada dua baris selanjutnya, mengeksternalisasi panorama psike interior si penyair ke wujud zahir agar pancaindra pembaca dapat ikut serta mencerapnya.

Namun, kemonotonan suasana dan pola rima yang disuratkan sajak ini tampak ambigu. Tidak semuram atau semonoton sajak Aku Berkisar Antara Mereka yang tertib dengan rima “a,” yang menurut Arif Bagus Prasetyo (2021) menjadi sarana mekanisme pertahanan intelektualisme si penyair[11], dalam sajak ini masih tersisa upaya setengah hati untuk menjalin kelindan dengan ragam bunyi konsonan yang ada pada dua bait sebelum dan satu bait sesudah potongan sajak di atas. Dari situ terlihat upaya penyair untuk berkompromi dengan ketidakteraturan hal-hal “asing” di sekitarnya. Ia pun masih menjaga jarak dengan pengalaman kekiniannya, tak lagi mengandalkan teknik jukstaposisi yang acap memukul rata pengetahuan dengan pengalaman yang sudah-sudah.

Lima sajak di atas menawarkan imajinasi ruang terbayang dan pengalaman atas ruang konkret oleh si pengelana-penyair. Kedua hal itu tarik-menarik dan sahut-menyahut seperti melodi kontrapung. Seolah benar-benar tidak memiliki rumah, si penyair benar-benar dikutuk jadi petualang abadi laiknya sosok dalam legenda Ahasvéros. Sebagai gantinya, yang muncul justru rasa ketercerabutan, tersingkir dan terusir di sisi sini dan sana, yang terbekukan secara simbolis lewat nalar jukstaposisi dalam sajak. Dalam Tak Sepadan dan Tuti Artic, nalar jukstaposisi itu diwadahi via baris-baris katakresis, suatu teknik yang dapat ditemukan dalam sajak-sajak Thomas Stern Elliot (contohnya: “April is the cruelest month[12]”) dan Sapardi Djoko Damono (contohnya: “Tak ada yang lebih tabah / dari hujan bulan Juni[13]”). Pada dua sajak lain, nalar itu tersampaikan lewat wahana yang lebih prosais, seperti pada sajak Tak Sepadan (riwayat perempuan kawin dan pengembara) dan Sorga (kredo seorang yang bimbang). Namun, ada untaian satu denyut dari kelima sajak yang dibahas di muka tadi, yaitu akanan, semacam hasrat, si penyair untuk melabuhkan segenap dirinya pada satu entitas terbayang, yang boleh jadi suatu “kenyataan” bawah sadar, bernama rumah. Hasrat itu tidak menemu memang, tetapi sebagaimana dituturkan pada penutup Aku Berada Kembali; “telinga kiri masih terpaling / ditarik gelisah yang sebentar-sebentar seterang guruh,” masih ada yang belum usai.

 

Rumah buat Ahasvéros

Modernitas sarat akan mobilitas, tetapi paradoksnya, kata Edward Said dalam Reflections on Exile (2002), ia juga merupakan suatu masa yang ditandai dengan keterlantaran dan kehilangan kontak dengan kepastian. Konotasi mobilitas dan keterlantaran ini dapat ditemukan pada peristiwa migrasi dan rasa haus akan kebaruan dalam petualangan ke negeri seberang. Ketika bermigrasi, renda-renda jasmaniah seseorang secara otomatis akan merajut dirinya dengan unsur batiniah. Terkadang pengalaman migrasi mampu menggugurkan rasa memiliki terhadap yang asali, tetapi terkadang pula ia ikut memekarkan kebutuhan untuk mencipta yang baru. Karenanya, pemaknaan rumah tidak bisa disederhanakan sebagai pemaknaan atas fasad atau unsur lahiriah lainnya.

Jawaban paling mudah untuk pertanyaan di atas barangkali bisa ditemukan pada sajak Rumahku yang ditulis pada 1943. Namun, dalam sajak itu pun, makna rumah yang ditawarkan amat abstrak: “unggun-timbun sajak.” Yang dikatakan punya fitur fisik “berkaca” dan menjadi lokus berkeluarga “berbini dan beranak” itu agaknya tidak bermaksud menjelaskan apa makna rumah tetapi gambaran kehidupan penyair yang terhuyung-huyung tidak jauh berbeda dari gelandangan di jalanan pada masa ageresi. Ia “lari” ke sana kemari, hilir mudik “tak dapat jalan,” dan kehilangan hunian yang “terbang entah ke mana.” Sajak ini ditutup dengan anti-klimaks. Di akhir agaknya penyair berhasil menemu atap bernaung, “aku tidak lagi meraih petang,” dan sepertinya ia siap sedia dengan alasan “manis madu” jika tenggat bayar sewa tiba.

Kendati begitu, teka-teki rumah ini dapat terpecahkan ketika menimbang keintiman yang secara ganjil muncul antara penyair dengan imaji dan simbol mobilitas yang cukup konsisten muncul dalam sajak-sajak Chairil.

Dapat dikelompokkan beberapa di antaranya: langkah kaki (lihat Aku, Kupu Malam Dan Biniku, Kawanku Dan Aku, 1943, Doa, Kepada Penyair Bohang, Sajak Buat Basuki Resobowo, Tuti Artic), terbang (lihat Buat Gadis Rasid), kereta (lihat Perhitungan, Dalam Kereta, Berpisah Dengan Mirat, Kepada Kawan, Aku Berkisar Antara Mereka), kapal laut (lihat Buat Album D.S., Kabar dari Laut, Senja Di Pelabuhan Kecil, Cintaku Jauh Di Pulau, Situasi, Pemberian Tahu, Sorga). Tingginya frekuensi kata-kata itu cukup merangkum sifat nomadik yang tersuratkan pada karya-karya Chairil, dan oleh karenanya persoalan mobilitas punya makna khusus. Dari penggunaan latar yang berpindah-pindah dan bentuk persajakan yang tak tentu tetapi berpola ini agaknya keluwesan gerak dalam karya-karya Chairil sangat menonjol.

Kesimpulannya: bagi penyair Chairil rumah menjadi mite akanan hasrat. Pemaknaan rumah di sini jadi proses terus-menerus dan selalu terbaharui dalam proses pencarian. Ia tidak mengangankan satu fondasi yang utuh, tetapi ikut berkembang bersama tubuh penyair menuju kedewasaan. Kedewasaan itu, seterusnya, hanya dapat ditemukan di jalan mite yang dipilih penyair. Kaitan antara merumah dan tubuh dewasa ini agaknya terlukiskan secara subtil lewat kontemplasi mendalam penyair ketika ia menalar kembali formula “perhitungan” yang diramunya untuk menaksir “sekelilingnya.” Simak potongan dari sajak berjudul Derai-Derai Cemara di bawah:

aku sekarang orangnya bisa tahan

sudah beberapa waktu bukan kanak lagi

tapi dulu memang ada suatu bahan

yang bukan dasar perhitungan kini

Lewat bait pembuka sampai bait penutup setelah potongan di atas, penyair mengeksteriorkan endapan psikenya dengan frustrasi melalui bentuk kuatren dan tata rima khas pantun. Sajak yang ditulis menjelang Chairil berpulang ini seolah jadi komando patah arang yang meminta seluruh serdadu untuk mundur dari garda depan penyelewengan juga penyimpangan terhadap puisi-puisi Pujangga Baru. Ada keinsafan dalam nada sajak ini, utamanya pada bentuk, meski di permukaan ada pantangan bilang kata “menyerah.” Namun, kiasan pendewasaan diri juga dapat ditemukan di situ: ada satu perubahan dari dalam diri penyair dan kealpaan di masa lalu itu dipahaminya dengan baik.

Pada tahap tertentu, jalan yang diteroka oleh Chairil ini bisa menjadi alternatif dari dua kecenderungan dalam kegaduhan modernisasi yang memuncak pada masa revolusi Indonesia.

Di antara pendahulunya, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, yang berorientasi ke Barat dan kawan-kawan seangkatannya yang mulai melirik cikal bakal Lembaga Kebudayaan Rakyat, posisi Chairil lebih seperti orang tidak jelas. Pada suatu waktu ia melihat para pendahulunya bak “sinar cemerlang” tetapi pada waktu lain ia mengkritik kesilapan para intelektual yang tidak ikut serta mengkritik fasisme barang secuilpun di majalah Pujangga Baru. Pada suatu waktu ia melahirkan sajak Aku (yang semula berjudul Semangat) di Keimin Bunka Shidoso, tetapi pada waktu lain ia menolak berpartisipasi dalam proyek propaganda kebudayaan Jepang.

Tak ayal, mitos-mitos berseliweran tentang Chairil muncul dari banyak sisi dan kadang bertentangan satu sama lain. Dari ketidakjelasan ini mengemuka posisi khas Chairil berhadapan dengan modernisasi dan menderasnya arus kebangsaan: yang penting bukanlah tujuan, bukan pula sumber, melainkan konsistensi dalam menjelajah. Di antara dua kecenderungan mapan, si penyair menawarkan satu hipotesis: “tanah seberang” yang diangankan itu harus diselami untuk “nguji tenaga pematang kita.”

Kendati tampak naif, orientasi jalan ketiga ini bukan hanya milik Chairil seorang melainkan dapat ditemukan juga pada penyair kebangsaan Dunia Ketiga lain, seperti Nazar Muhammad Rasyid di Pakistan. Dua penyair ini berbagi semangat serupa meski pengejawantahan mereka jelas berbeda. Mulai dikenal pada 1930-an, Rasyid adalah penyair dari kalangan intelektual yang terlibat langsung dalam pergerakan kemerdekaan India sekaligus menyaksikan tanah kelahirannya terpecah dua.

Seperti halnya Chairil yang tidak jarang dianggap pengusung sajak bebas, Rasyid pun demikian dalam konteks nazm aazad berbahasa Urdu. Seperti kritik Linus terhadap Chairil, Rasyid pun pernah dianggap menyimpang secara seksual oleh Hayatullah Ansari dalam satu telaah psikoanalisisnya, N.M. Rashed Par (1945). Selain itu, baik Chairil maupun Rasyid sama-sama suka mengadopsi diksi dari jalanan atau bahasa sehari-hari ke dalam repositori puitik mereka, meski Chairil punya minat lebih besar pada istilah-istilah dari Barat sedangkan Rasyid agaknya lebih intens pada sejarah bahasa, terutama bahasa Persia.

Menulis sajak bebas dalam bahasa Urdu bukan hanya karena faktor teritorial atau perbedaan bahasa nasional dengan Bangladesh dan India, tetapi menjadi bagian dari kredo kepenyairan Rasyid, yakni bahwa bentuk-bentuk tradisional seperti pakem lirik Rabindranath Tagore dalam puisi berbahasa Hindi dan Bengali atau syair rakyat gazal dalam puisi berbahasa Urdu sudah tidak lagi memadai untuk menampung pengalaman jadidiyat bangsa Asia Selatan. Rasyid dalam sajaknya berjudul Manna Dan Burung Puyuh juga menawarkan alternatif dari dua kecenderungan: modernisme nostalgis yang merevitalisasi mimpi kejayaan Persia dan palingan pada realisme yang diusung kelompok progresif pro-sosialisme Soviet. Lain dari semangat Chairil, ruang ketiga yang dibayangkan Rasyid adalah konsep Asia.

Sajak tanya-jawab dimaksud sebelumnya meriwayatkan krisis pangan yang pernah terjadi di Teheran pada masa perang. Tokoh tentara India-penyair pada sajak berperan sebagai penjawab sedangkan orang asing yang diacu dalam sajak ini adalah bangsa Iran keturunan Persia selaku penanya. Sajak ini mungkin yang paling kental dengan referensi sejarah karena berisi sindiran terhadap kelalaian pemerintah dan keikutsertaan Uni Soviet dalam tragedi kelaparan tersebut. Hasil panen yang minim, akuisisi sarana utama distribusi pangan dan alih guna suplai makanan Azerbaijan (negara tetangga India-Pakistan) untuk kepentingan perang oleh Soviet (sekutu pada saat itu) mengakibatkan krisis pangan tak terhindarkan. Di Teheran (sekarang bagian Pakistan), salah satu kota dengan pengungsi perang terbanyak, lahir Kerusuhan Roti pada Desember 1942. Dalam sajak dimaksud, teks sosial ini jadi alusi via jawaban si tentara India-penyair terhadap soal dari seorang asing di hadapannya yang bertanya penuh pilu mengapa negerinya diobrak-abrik tentara. Si tentara membalas:

Bukan kami ikut nanggung kebusukan ini, bukan kami

            Orang Inggris itu

            si germo yang numpang dagang

            di pantai India

            Ini titahnya

            kau punya watan

            bumi bertabur bunga

            digerantak kaki-kaki gersang ini![14]

Dengan menampilkan percakapan lintas-warga negara, si tentara-penyair meyakinkan bahwa India dan Iran menempati posisi setara dalam berhadapan dengan dominasi kekuatan asing, bukan hanya mengetengahkan narasi sejarah nasional. Kendati si tentara sadar bahwa alasan apapun tidak akan menutupi kebenaran bahwa tingkahnya amat tercela, pembelaan dirinya tidak berhenti di situ hingga ia menebak-nebak bahwa lawan bicaranya berprasangka adanya cinta terlarang yang terjalin antara dirinya dengan orang Eropa yang memberinya mandat. Ia lanjut bersenandung:

Ini bukan cinta hina-dina

tapi belenggu saja,

sejerat besi akbar

menjalar-lebar

dari ufuk Timur ke seberang sana,

dari Daerah-matiku ke Negerimu

Ini jaring lelabah

terpintal kita Orang Asia regang!

Tadi pagi Orang Mongol penuh-darah

Sampai ini malam Orang Eropa bawa maut![15]

Ada semacam ajakan untuk berpadu dalam persekutuan ganjil “Orang Asia” yang ditawarkan si penyair. Pun demikian, ajakan ini satu arah saja sehingga ide Asia yang ditawarkan itu belum mengutamakan kesatuan, melainkan menggarisbawahi kesamaan nasib bangsa terjajah baik di latar lalu (oleh bangsa Mongol) pun latar kini (oleh bangsa Eropa). Karena konsep Asia demikian abstrak, maka si penyair merasa perlu memisahkan kampung halamannya yang berada di bawah koloni dengan wilayah dinas ia bekerja: “dari Daerah-matiku ke Negerimu.” Di satu sisi, seperti dalam sajak Chairil, dalam guratan pena Rasyid gagasan watan (negeri kelahiran) itu sirna, tetapi di sisi lain, yang lebih mengemuka dari karya Rasyid adalah kondisi ketakberumahan, bukan kiat menjelajah. Hal ini agaknya tidak lepas dari konteks India pasca-Partisi dan dampak dari kolonialisme. Karenanya, selain kondisi luluh lantak sehabis dibabat penjajah dari luar dan hancur dari dalam akibat ketidaksetaraan sosial, teror kekerasan identitas juga ikut serta dalam silang sengkarut puisi Rasyid.

 Respons artistik Chairil terhadap sumber daya kebaruan berkenaan dengan paham kebangsaan ini mungkin belum sepenuhnya matang. Namun, ini tidak membatalkan posisi garda depan Chairil dalam modernisasi puisi di Indonesia. Chairil seyogianya diposisikan sebagai katalis-penerus dan bukan penemu tunggal proyek besar yang telah dimulai sejak langgam Pujangga Baru lahir, atau mungkin lebih jauh dari itu.

Selain itu, kemunculan model-model modernisasi di beragam pusat, di Indonesia dan Pakistan misalnya, menyarankan perlunya perhatian lebih lanjut pada kesamaan semangat sekaligus variasi ejawantahan estetik dalam Gerakan Dunia Ketiga tanpa perlu berkiblat pada satu model saja. Uraian selanjutnya akan mempertahankan lebih lanjut argumen posisi Chairil sebagai pemangku predikat katalis-penerus sekaligus memperlihatkan efek distorsi sajak Chairil di tengah-tengah rinai dendang romantik para pendahulunya.

 

Lokasi Chairil di Jalur Terokaan Fansuri

Seperti pada penyair Belanda Henrik Marsman, laut punya posisi khusus dalam sajak-sajak Chairil. Kiasan yang mengisyaratkan lanskap pengembaraan ini erat dengan mobilitas dan sumber kekayaan, meski dalam ranah praktis potensi ini acap kurang mendapat perhatian dan dipunggungi. Laut, kata Goenawan Mohamad[16], memang jadi salah satu motif paling populer pada sajak-sajak tahun 1940-an. Pada zaman Chairil, motif dimaksud juga muncul secara intens pada buah pena Rivai Apin, Asrul Sani dan Pramoedya Ananta Toer. Meski keempatnya acap menggunakan metafora laut, tanah seberang, atau perjalanan, masing-masing menawarkan tema khas.[17] Apabila sajak Rivai yang serupa reportase kejadian mengenalkan pemuda-penyair yang merelakan dan memberkati kepergian kawannya bersama “kapal-kapal,” dalam sajak Chairil ada peran  sosok kawan si pemuda menuju “khatulistiwa lain”. Ketika Asrul menyajikan epos anak laut-penyair yang terombang-ambing di tengah samudera kebimbangan, Chairil menawarkan pribadi pengelana-penyair yang dikisahkan tiba di pelabuhan seberang disambut rayuan “gamitan” dan sinar “matari lain.” Dalam karya Pramoedya, tegangan antara keharusan untuk menjelajah dan rindu permai kampung halaman menjadi lanskap utama konflik batin si gadis pantai-penyair, sedangkan penyair dalam sajak Chairil, yang acap kali mengorbankan suku kata untuk kekuatan bunyi, adalah seorang pengembara yang enggan berbagi nasib, terus menantang takdirnya di lautan tanpa nama.

Leitmotiv di atas segera menempatkan Chairil jadi pemegang kemudi utama di antara kawan-kawan segenerasinya. Lewat sajaknya, laut, kendati bercorak destruktif, punya peran penting dalam “nguji” kedewasaan diri (lihat Penghidupan). Kendati demikian, sebagaimana dibahas sebelumnya, arah kemudi yang dituju oleh Chairil itu belum gamblang. Di tengah atmosfer politik yang masih panas setelah agresi militer, visi terbayang tentang negeri di seberang lautan itu mau tidak mau juga berbaur dengan pergerakan antikolonial, seperti ditekankan oleh Keith Foulcher,[18] dan ini turut berpengaruh pada kelangsungan gairah “melaut” yang kemudian digantikan oleh semangat untuk berpusat di darat bersama buruh, petani, dan baris-baris kelas lain.

Dalam sajak-sajak Agam Wispi, misalnya, usaha melirik laut itu ada, tetapi si penyair seolah enggan mencelupkan ibu jarinya barang seruas pada asinnya laut (lihat puisi Berdebur Ombak Berdebur dan Keluarga Kelasi yang ditulis pada 1964). Dalam sebagian sajak Chairil komitmen untuk terlibat dalam agenda patriotik di darat juga kentara, contohnya pada Diponegoro dan saduran Krawang-Bekasi, kendati tilas laut itu masih ditemukan seperti pada Persetujuan dengan Bung Karno.

Mengacu uraian dalam Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45 (1956) oleh H.B. Jassin dan Sastra Indonesia Modern (1989) oleh A. Teeuw, narasi garda depan Chairil bukan hal mengejutkan lagi dan telah terkonstruksi demikian rupa. Narasi kanonisasi Angkatan ’45 yang mapan ini perlu dipertanyakan ulang dengan mempertimbangkan sejumlah narasi kurang populer terkait awal mula terbentuknya sastra Indonesia modern. Ini dapat ditelisik lebih lanjut pada bagaimana Chairil memberi gangguan, atau semacam bunyi sember, pada corak berpuisi tertentu yang terpelihara sejak lama. Mari mundur beberapa langkah ke masa lalu untuk melirik kembali diseminasi gagasan dan gaya artistik yang turut berkontribusi dalam peta besar perpuisian berbahasa Melayu.

Laut, jauh sebelum jadi wahana ekspedisi dalam puisi 1940-an, pernah tampil sebagai tamsil dalam puisi-puisi beraroma sufistik Hamzah Fansuri. Menulis dalam aksara pegon berbahasa Melayu, ia adalah pelopor modernisasi artistik lewat kegiatan puitiknya di daratan yang beberapa abad setelahnya melahirkan nasion kita.[19] Modernisasi yang diusungnya jelas beda kiblat dengan generasi Pujangga Baru, tetapi para “penyair baru” dalam lingkar sastra berorientasi Barat itu sedikit banyak juga mengakui sisi kepenyairan Hamzah. Pengaruhnya cukup kuat pada proses penciptaan Amir Hamzah, kendati Amir kerap dianggap lebih mengemuka lewat teologi kritisnya.[20] Bersumber dari literatur Persia dan Arab, Hamzah mewariskan gagasan transendensi dalam hal keagamaan, selain juga segi stilistika. Menggunakan ode (kasidah) atau syair sebagai sarana didaktis wawasan keagamaan telah terjadi sejak lama dalam peradaban Muslim, dan Hamzah masuk ke dalam koridor modernisasi dengan berkiblat warisan Arab ini. Namun, beberapa hipotesis dapat diajukan sebagai alasan mengapa modernisasi yang diperkenalkan Hamzah kurang punya tempat, antara lain karena ia pernah dianggap menista[21], lebih dikenal dalam ketokohan ajaran sufisme dan bagian dari generasi kerajaan sebelum kesadaran nasional muncul. Terlebih dalam narasi pembentukan “Angkatan Sastra,” Timur dan Barat acap diposisikan mengikuti kompas geopolitik global, dan pada masa Chairil inspirasi paling segar secara dominan berasal dari Barat. Oposisi kiblat ini amat stabil mengikuti atmosfer Perang Dingin dan agaknya keajekan ini juga yang melahirkan kategorisasi membingungkan seperti Sastra Islam. Abdul Hadi Wiji Muthari[22] berpendapat: pada 1970-an ada upaya modernisasi sastra dengan mengolah ulang repositori tradisi lama, misalnya mantra oleh Sutardji Calzoum Bachri, mistisisme Jawa oleh Linus Suryadi, dan sufisme yang diadopsi Abdul Hadi sendiri dalam kepenyairannya. Sampai di sini, dapat ditemukan satu benang merah yang terawat dalam puisi Indonesia meski sumber-sumber inspirasinya beda haluan, yaitu revitalisasi ide transendensi.

Pada sebagian kecil karya Chairil, pembentukan suasana untuk mencapai transendensi[23] itu mungkin ada tetapi tidak mencapai kesatuan dengan kenyataan lahiriah, tetapi lebih menonjolkan pengalaman yang lebih membumi, yaitu semangat patriotik yang muncul dalam sorakan seperti: “Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat.”

Istilah “satu zat” ini erat kaitannya dengan aliran sufisme yang disebarkan oleh ajaran Hamzah Fansuri, tetapi dalam sajak Chairil fungsinya menjadi banal demi pengalaman duniawi individual yang membara. Meski corak perseorangan ini sudah muncul pada Pujangga Baru, Chairil tidak mengadopsi kemolekan dalam kanvas sajak-sajak mereka, tetapi lebih banyak menimba inspirasi dari alam liar. Dalam Di Masjid, misalnya, besar kemungkinan si penyair meminjam gaya ungkapan Amir Hamzah dalam Padamu Jua. Sementara pada Sorga, si penyair bermain-main lewat jukstaposisi untuk menolak, kendati cukup bimbang, narasi akbar yang terus terwariskan tanpa dipertanyakan aktualitasnya dari para leluhurnya. Di sisi lain, sikap Chairil ini tidak jarang menjadi inspirasi buat generasinya, seperti tercermin pada Akhdiat Karta Mihardja ketika ia mereka tokoh Anwar dalam novel Atheis. Pertimbangan di muka tadi memperkuat kembali argumen populer, yakni posisi Chairil sebagai pengganggu kelangsungan gaya oleh para pendahulunya sekaligus sumber inspirasi bagi generasinya.

Chairil juga punya kapasitas untuk disebut penulis peradaban Muslim. Dalam artian ini, narasi peradaban Muslim seyogianya tidak dimaknai sebagai risalah tentang dan oleh orang- orang saleh, tetapi mencakup pula mereka yang berakar secara normatif atau emosional pada budaya dan agama Islam. Pengaruh peradaban Muslim cukup bernas pada Chairil, tetapi yang menjadikan kontribusinya khas bukan perluasan ajaran akidah, melainkan sisi pengalaman individual yang banal sekaligus manusiawi.

Hamzah Fansuri boleh dibilang sudah melakukan lebih dulu upaya melenyapkan jarak antara diri dan sajak-sajaknya, kendati masih memakai sudut pandang ketiga non-diri. Pada Chairil upaya ini lebih berhasil sebagaimana terbukti dalam pengaruh sajak-sajaknya yang terus melebar sampai hari ini; misalnya, dalam arah yang lebih gelap pada sajak-sajak Subagio atau arah putar-balik untuk memerhatikan kembali hal-hal tak luar biasa pada sajak-sajak Toeti Heraty. Chairil pada suatu waktu menjadi penggugat tradisi sekaligus pencipta tradisi baru. Beberapa gagasan utama yang ditawarkannya memang samar, tetapi keragaman tafsiran terhadapnya justru berpotensi membuka lebar-lebar jalur pembaharuan dalam kesenian, sehingga ia bisa disebut salah satu katalis, yang mengaktifkan, proyek modernisme.

 

Yang rapuh pada Chairil

Dalam satu perdebatan intens dengan Arief Budiman, Ariel Heryanto[24] menggarisbawahi kecenderungan dominasi kelompok berfalus di arena sastra. Yang menjadi persoalan, tegas Ariel, adalah peran institusi sastra paling berwibawa, yakni majalah Horison, dalam “penghinaan pada kaum Wanita secara ekstrim.” Mempertimbangkan adanya keharusan mencantumkan nama suami dalam terbitan-terbitan sastra khusus bagi perempuan penulis yang telah menikah di masa lalu, misalnya, juga masih menjadi kebiasaan di institusi-institusi sastra lain  semasa Horison. Konsekuensinya adalah tergerusnya peran para Ibu Bangsa dari sejarah dominan. Mungkin baru beberapa dekade belakangan kesempatan mewadahi narasi alternatif untuk mengangkat kembali tilas peran para perempuan dalam kanal budaya dan politik terbuka lebih lebar. Upaya membuka kembali arsip “yang terlupakan dan dilupakan” ini, meminjam gubahan dari para penulis dalam Ruang Perempuan dan Tulisan, juga butuh kerja ekstra dan mesti berhadapan dengan tantangan seperti kondisi arsip-arsip yang tidak jarang bikin geleng-geleng kepala.

Bercermin pada pembacaan di atas, hantu falus itu terkadang ikut berbisik pada pembaca ketika ia membaca sajak Chairil. Chairil adalah satu penyair paling mencolok di antara kelompok seniman terkemuka pembikin Surat Kepercayaan itu yang hanya memberi porsi satu perempuan seniman di antara sekian laki-laki seniman. Selain laki-laki, ia seorang heteroseksual, selingkaran dengan para maestro, dan dirumorkan dekat dengan lebih dari satu perempuan. Perempuan-perempuan memang punya posisi khusus dalam goresan pena Chairil, tetapi diketahui juga mereka kerap jadi penyedia nektar saja buat si penyair; “aku kumbang, kau kembang / kau kembang, aku kumbang” (lihat Taman). Mengikuti penalaran ini, diskusi kepenyairan Chairil bakal segera sampai pada kesimpulan tunggal tentang dominasi falus dalam karyanya.

Mari tunda kesimpulan di atas, mencoba berpaling dari mitos-mitos ketetapan kodrat lelaki vs. perempuan, dan berupaya tidak tunduk pada dorongan untuk memukul rata ekspresi puitik Chairil. Karena lewat cara ini dapat dilihat sisi kerapuhan yang dicerminkan karyanya. Pada Sendiri, penyair menampilkan sisi lain yang sama sekali tidak muncul ketika ia tampil di ruang pengembaraan. Dalam sajak ini penyair menginternalisasi lanskap luaran untuk mengajak pembaca mengalami intensitas perasaan yang dialaminya: “Ia memekik ngeri, dicekik kesunyian kamarnya.” Dari penggunaan sudut pandang ketiga, diketahui juga pada sajak ini penyair melihat salinan dirinya dari luar alih-alih ungkapan langsung emosi perseorangan yang umum pada sajak-sajaknya. Penggunaan sudut pandang ketiga ini boleh jadi kesengajaan penyair untuk menyembunyikan alter egonya sebagai sosok rapuh yang “tersedu” ketika kehilangan ibunya. Pada kesempatan lain, si penyair juga kerap mengedepankan perasaan alih-alih berupaya menjelaskan seperti pada Penerimaan. Apa gerangan penyair hingga merasa harus menekankan “kalau kau mau kuterima kau kembali” hingga dua kali dalam sajaknya? Di sini, dapat digarisbawahi penggunaan parataksis tanpa konjungsi yang ketika diurai akan ditemukan dua kalimat lengkap, yaitu “kalau kau mau kuterima” dan “kuterima kau kembali.” Lewat teknik ini, agaknya si penyair cukup berhasil menyublimkan alter egonya sebagai sosok yang amat perasa (“dengan sepenuh hati”) dan emosional (“untukku sendiri tapi / sedang dengan cermin aku enggan berbagi”).

Dua contoh di atas mungkin sedikit mengilustrasikan bagaimana sisi maskulin pada sajak-sajak Chairil terpecah-pecah adanya. Maskulinitas justru diandaikan tidak utuh, tidak meneguhkan kembali bingkai kekuatan si kapten kapal pengembara. Alih-alih begitu, si penyair menunjukkan ketergantungan terus-menerus terhadap lawan jenisnya dan tanpa kehadiran mereka dirinya tidak lengkap. Ini mungkin masih jauh dari agenda emansipasi tetapi setidaknya melalui jalur ini dapat ditafsirkan ulang bahwa peran perempuan tidaklah tergerus sepenuhnya oleh dominasi kaum berfalus; ada pembagian-pembagian kerja lain yang kerap diremehkan tetapi sejatinya amat penting dan itu adalah buah keringat para pejuang perempuan. Para perempuan dalam sajak Chairil memang umumnya tampak sebagai penerima surat (pendengar) dari si penyair. Namun, di sini pemosisian yang berbicara (si penyair) tidak serta merta menegasikan peran mereka yang mendengarkan, atau dengan kata lain siapa yang (akan) mendengarkan sama pentingnya dengan siapa yang sedang angkat suara. Sajak Chairil mungkin belum menyediakan kapasitas menjawab enigma ini, tetapi prospek di muka mungkin lebih dapat diapresiasi pada bagaimana suara Chairil direspons oleh sajak-sajak para perempuan penyair sezaman dan setelahnya. Yang terakhir ini boleh jadi membuka wawasan baru.

Modernitas adalah proses terus-menerus yang belum selesai. Proyek pembaruan Chairil tidak dapat dipisahkan dari terokaan yang telah dibangun para pendahulu, meski pada saat yang sama Chairil menawarkan suatu penalaran tersendiri terhadap wawasan pendahulunya. Hasilnya adalah semacam disonansi yang meski berumur pendek, tetapi membuka lebar-lebar kesempatan eksplorasi. Dari situ dapat ditelaah lagi pengaruh Chairil kepada para penyair setelahnya, meski melihat pengaruh Chairil semata-mata kurang mampu menjawab apa tawaran estetik para penyair belakangan. Uraian di atas juga telah mempertimbangkan peran ketaktentuan tujuan dan sisi terselubung lain dalam puisi-puisi Chairil. Pertimbangan dua hal terakhir itu dapat membawa kita pada wawasan nasion dan citraan maskulinitas yang ditawarkan sajak-sajaknya. Akhirnya, kita dapat menarik satu gambaran besar dari tulisan ini bahwa persoalan estetika, di wilayah kesastraan, seyogianya berkelindan dengan perkara-perkara sosial, seperti identitas dan gender. Membahas keduanya terpisah sah-sah saja, tetapi menjadikan keduanya beroposisi adalah seperti memenggal “bentuk” dari “isi”.

 

[1] Aliran difusionis di sini merujuk pada kaum penganjur difusionisme Eurosentris yang memandang modernitas terjadi secara alamiah dan berkelanjutan, dan memosisikan Eropa sebagai lokus kemajuan dan menjadi model inti penciptaan dunia. Dalam pandangan mereka, evolusi budaya yang terjadi di berbagai pelosok yang Tersisa adalah dampak dari persebaran gagasan, komoditas, migrasi, dan kontrol politik yang dilakukan para penjelajah Eropa di tanah-tanah koloni. Pengaruh kental pandangan difusionis ini dapat ditemukan pada buku-buku Anthony Giddens, salah satunya The Consequences of Modernity (1994).

[2] Mignolo, Walter. (2011). The darker side of modernity: Global futures, decolonial options. United States: Duke University Press.

[3] Skema yang dibuat Hasan (1992) ini cukup populer dan kerap dirujuk para akademisi untuk menjelaskan kontras atau ciri-ciri pembeda antara aliran modernisme dan pascamodernisme (pada kajian sastra khususnya). Lihat The Dismemberment of Orpheus: Toward a Postmodern Literature (Madison: University of Wisconsin Press) hlm. 267-268

[4] Melebarkan argumentasi Ajip Rosidi, Pradopo (1991) berpendapat awal mula sastra Indonesia modern juga ditandai dengan lahirnya puisi. Sedangkan menurut Salmon (2010), sastra peranakan Tionghoa, yang telah muncul sebelum dan selama era Balai Pustaka, sudah lebih dulu berkontribusi dalam modernisasi sastra di Indonesia. Lihat “Sejarah puisi Indonesia modern: Sebuah ikhtisar” dalam Humaniora Vol. 2 dan Sastra Indonesia awal: Kontribusi orang Tionghoa (Jakarta: KPG).

[5] Sebagai contoh, tendensi penyamarataan ini terdapat dalam tulisan Alwin Firdaus (2022) berjudul “Bontotan sebagai cerita fantastik: Suatu dokumen fin de siecle” pada rubrik Terbitan tengara.id Edisi 3. Sambil meminjam cetak biru Sastra Dekadensi Eropa akhir abad ke-19, Alwin memosisikan fenomena jelangan abad pada konteks sastra peranakan Tionghoa di Indonesia, dan menyimpulkan faktor penerbitan dan represi yang dialami para penulis keturunan Tionghoa yang mengakibatkan keterlambatan munculnya fenomena tersebut. Pada telaahnya dapat dilihat bagaimana pola persebaran gagasan itu dimulai dari inti (Eropa) menuju ke yang Tersisa (keturunan Tionghoa di Indonesia). Padahal cukup penting juga untuk mendalami lebih jauh awal mula lahirnya tema-tema gelap pada sastra keturunan Tionghoa yang sudah dimulai sejak Sastra Liar atau yang disebut pihak kolonial masa itu teks picisan, sebagai proses tersendiri, sebagaimana disinggung Alwin di awal tulisannya.

[6] Teks asli: “The poet Chairil […] thought himself to have a European soul, to hail from a world of culture which he in fact never once visited and knew only in the abstract.” Lihat “Philosophy in modern Indonesian poetry” dalam Indonesian Circle: School of Oriental and African Studies Vol. 19: 54. DOI: 10.1080/03062849108729754

[7] “In Chairil Anwar (1922-49), we find a figure pursuing ideals which were against the contemporary stream. While the Indonesian people fought to drive away the colonialists – the Dutch and the Japanese – the young poet from Medan, Sumatera, culturally oriented himself to the oppressor […] The best of Chairil Anwar’s poems mostly resulted from his personal struggles in the field of sexual relationship.” Lihat “Sexuality and self‐secularization processes in modern Indonesian poetry” dalam Indonesia Circle: School of Oriental & African Studies Vol. 19: 54. DOI: 10.1080/03062849108729755

[8] Dewanto, Nirwan. (2011). “Situasi Chairil Anwar” dalam Anwar, Chairil. (2011). Aku Ini Binatang Jalang: Kumpulan Sajak 1942-1949 (Pamusuk Eneste Ed.). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

[9] Lihat Tiwon, Sylvia (1992). “Ordinary songs: Chairil Anwar and traditional poetics” dalam Indonesia Circle: School of Oriental & African Studies 20(58), hlm. 3-18 dan Aveling, Harry. (2014). “The person and religious poetry in Malay” dalam Malay Literature, 27(2), hlm. 242-262

[10] Semua sajak Chairil yang diacu dalam tulisan ini bersumber dari Anwar, Chairil. (2011). Aku ini binatang jalang, Koleksi sajak 1942-1949. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Sementara informasi mengenai sajak Berpisah Dengan Mirat diperoleh dari Raffel, Burton. (1995). “A lost poem by Chairil Anwar” dalam Indonesia Circle: School of Oriental and African Studies, 23(66), hlm. 154-159

[11] Lihat Memindai Jakarta Bersama Chairil dalam Saksi Kata (Yogyakarta: Diva Press) hlm. 133.

[12] Cuplikan dari The Waste Land dalam Elliot, T.S. (1936). Collected Poems 1909-1962. New York: Harcourt, Brace and World, (hlm. 53)

[13] Cuplikan dari Hujan Bulan Juni dalam Damono, S.D. (2015). Hujan Bulan Juni 1959-1994: Sepilihan Sajak. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

[14] Diterjemahkan oleh penulis dengan mengacu teks bahasa Inggris Manna and Quails oleh Sean Pue dalam I Too Have Some Dreams (2014, Oakland: University of California Press) hlm.169. Berikut tampilannya: “We are not guilty of this crime, beloved Persia, we are not / That first Englishman / who brought his wares / to the shore of India / It is his fault / that we are trampling / the rose-covered soil / of your homeland with our dark feet!” (larik 7-14)

[15] “This is not indecent love / but just a chain, / one great iron noose / which spreads / from the end of the East to the other, / from my homeland to yours / There is just one spider’s web in which / we Asians are bound and writhing! / From the blood-scattering morning of the Mongols / to the fatal evening of the Europeans!” (larik 68-77) dalam Pue, Sean. (2014). I Too Have Some Dreams. Oakland: University of California Press, hlm.169

[16] Dalam “Melupakan: Puisi dan bangsa: Sebuah motif dalam modernisme sastra Jakarta setelah tahun 1945” dalam Keith Foulcher dan Tony Day (ed.). Clearing a Space: Kritik Pascakolonial tentang Sastra Jakarta Modern. Jakarta: Yayasan Obor Jakarta dan KITLV-Jakarta, hlm. 254-256

[17] Secara tidak berurutan bersumber dari: Peristiwa (Rivai Apin), Anak Laut dan Orang dalam Perahu (Asrul Sani), Surat Untuk Ayah (Pramoedya Anantra Toer), Sorga dan Pemberian Tahu (Chairil Anwar).

[18] Dalam “Rivai Apin and the modernist aesthetic in Indonesian poetry” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 157(4), hlm. 771-797

[19] Lihat Teeuw, A. (1994). Indonesia antara kelisanan dan keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.

[20] Dewanto, Nirwan. (2022). “Di seberang puisi emosi, surat untuk Zen Hae” dalam Jurnal Dekonstruksi 5(1), hlm. 3

[21] Oleh fatwa Nuruddin Ar-Raniri dan dakwaan Sultan Iskandar Tsani (1636-1641), risalah-risalah Hamzah musnah dalam aksi bibliosida di depan masjid Baiturrahman Aceh pada abad ke-16. Bahkan, kasus itu lebih brutal dari Perkara Salman Rushdie beberapa waktu lalu karena yang dibakar bukan hanya buku tapi juga para pengikut setia ajaran Hamzah.

[22] Lihat dalam “Angkatan 70 dalam sastra Indonesia” dalam Kratz, Ulrich. (2000). Sumber terpilih sejarah sastra Indonesia abad XX. Jakarta: KPG dan IKAPI dan Ford Foundation, hlm. 789-806

[23] Kritik atas corak berpuisi yang mengutamakan pengalaman transendesi ini juga yang muncul dari Rasyid dalam salah satu sajaknya Hasan, Perajin Tembikar. Di dalamnya, Rasyid melakukan teknik palingan pada pengalaman individu, hampir seperti Chairil, namun yang disasarnya adalah imajinasi kolektif berdirinya Pakistan sebagai negara adalah berdasarkan kehendak Tuhan dengan tujuan aziz yang transenden.

[24] Heryanto, Ariel. (1986). “Mencari kaidah estetika sastra kontekstual? III” dalam Basis 35 (Maret), hlm. 107-115

Esai31 Agustus 2022

Padel Muhamad Rallie Rivaldy


Padel Muhamad Rallie Rivaldy menamatkan studi sastra di Universitas Indonesia pada 2019. Kini, ia menulis dan meneliti secara independen. Salah satu buah penanya Menyoal Rumah dan Identitas: Diaspora Muslim di Inggris (Pustaka Kaji, 2019).