Main-Main dengan Semesta Main-Main Raden Mandasia
Sebuah Interogasi atas Kejahilan-Kejahilan Yusi Avianto Pareanom terhadap Keseriusan dan Kesusastraan

Ilustrasi: Citra Sasmita

Saya pernah berdoa agar suatu hari karya-karya prosa di Indonesia diselamatkan dari obsesinya yang tidak sehat terhadap kelirihan, kesunyian, serta keseriusan. Tidak lupa saya memanjatkan juga permohonan agar pengertian prosa “yang estetis” tidak mengerdil menjadi prosa yang dipresentasikan secara puitis, liris, dan getir. Doa saya sekonyong-konyong saja terkabul. Yusi Avianto Pareanom—Yusi, panggilan akrabnya—merampungkan buku Raden Mandasia.

Sekilas pengantar: Raden Mandasia adalah satu karya dengan tanpa banyak penyanding dalam khazanah kesusastraan Indonesia. Bahkan, anda dapat menyandangkan kepadanya predikat selaku karya epik. Anda akan disuguhkan olehnya satu saga yang perbandingannya adalah epos-epos kepahlawanan berbagai zaman dan tempat—Odyssey, Hikayat 1001 Malam, Perjalanan ke Barat, hingga Lord of the Rings dan Arus Balik. Tetapi, apa yang akan mengundang anda untuk menyesap tanpa sisa setiap detail pengalaman para tokoh bukanlah heroisme dan perjalanan para tokoh mendewasakan diri mengatasi rintangan, melainkan situasi-situasi menggelikan, tolol, janggal yang sama sekali tidak cocok berada di antara perjalanan pahlawan menunaikan panggilan tugas.

Belum lagi, cerita Raden Mandasia dikisahkan oleh narator yang mungkin adalah karakter cerita paling tidak meyakinkan yang pernah anda temui. Sungu Lembu, sang juru cerita, tokoh yang mendampingi Raden Mandasia sepanjang perjalanan, acap menafsirkan situasi dengan keliru. Ia acap pula gamang dan akhirnya menggambarkan situasi hanya dalam sekelebat pandang. Belum apa-apa, ia sudah terperosok dalam kekonyolan yang tidak diinginkannya yang ujungnya kita harus mengalami dunia Raden Mandasia dari sumpah-serapahnya ketimbang penceritaan melalui gambaran molek seluk-beluk pergumulan emosional para tokoh yang galib anda jumpai dalam karya “susastra”.

Raden Mandasia akan membawa anda menyusuri alur yang mungkin sudah akrab dengan pembaca sastra Indonesia—tragedi dan kematian. Sebagaimana pengarang-pengarang pendahulunya, Yusi mempergunakan peristiwa tragis untuk mengenyakkan para pembaca yang sudah mulai akrab dan mempunyai perasaan sentimental dengan para tokoh. Kendati demikian, ia tidak lupa memuntir novelnya sebelum anda mengira ia akan terjatuh dengan aman ke ceruk arketip prosa-prosa Indonesia lain.

Pembaca tidak mungkin lupa bagaimana setelah semua tokoh yang menjadi tumpuan naratif mati dalam peperangan besar, Yusi tiba-tiba mengungkap peperangan ini disebabkan istri Raja Gilingwesi menginginkan suaminya merebut putri dari Kerajaan Gerbang Agung. Penyebab sang istri berlaku demikian adalah supaya ia tidak berjumpa lagi dengan suaminya yang ternyata adalah anaknya sendiri.

Satu tanggapan saya waktu itu: “keparat.” Yusi secara semena-mena memasukkan alusi kepada dongeng Sangkuriang yang membuat pembacanya bimbang apakah mereka harus serius atau tidak memperlakukan narasi Raden Mandasia.

Berbicara tentang keutuhan alur, untuk mereka yang menggemari fiksi yang diuntai secara meyakinkan, Raden Mandasia pun melakukan pekerjaan yang tidak kurang andal dalam memastikan narasinya tidak akan membodohi anda. Pada pertengahan hingga akhir cerita, Raden Mandasia sudah memiliki berbagai tokoh yang terpilin secara konyol satu sama lain dengan intrik yang berlapis-lapis, dan kerimbunan ini tidak akan ada bila Yusi ceroboh tidak meletakkan fondasi yang kokoh di awal-awal bukunya, atau mengantarkan satu tokoh baru tanpa latar belakang yang kuat. Akan tetapi, mereka yang memuji kekokohan bangunan cerita Raden Mandasia pun dengan segera dirisak Yusi dengan kejahilannya. Di tengah-tengah cerita, ia dapat saja memasukkan alusi kepada kebudayaan populer kontemporer yang akan membuat anda meragukan koherensi jagat fiktifnya.

Raden Mandasia, singkatnya, ibarat gumpalan pusparagam kontradiksi yang rentan meledak sewaktu-waktu. Lucunya, usai membacanya, ia bukanlah cerita yang luruh menjadi kepingan-kepingan yang tercecer tidak keruan. Tragedi dan parodi, kompleksitas dan banalitas, kedetailan dan superfisialitas, plausibilitas dan inkoherensi dalam buku ini teranyam menjadi jukstaposisi yang, anehnya, rekat satu sama lain.

Jauh dari membahayakan semesta serta pertualangan yang dianyam Yusi, ia justru menjadikannya salah satu pengalaman literer paling mengasyikkan yang akan anda jumpai dalam beberapa waktu terakhir maupun, saya yakin, beberapa waktu mendatang. Ia membodohi pembacanya sekaligus bermain-main dengan riang dengannya. Ia memperalat mereka dan mereka tahu bahwa mereka diperalat. Tetapi, mereka dengan riang akan mengikuti irama yang ditabuhnya.

Pertanyaan saya, sekaligus yang menjadi titik pijak tulisan ini, adalah, apa yang memungkinkannya?

 

Apa yang memungkinkan gumpalan ketidakpantasan, kedunguan, dan kebisingan ini terpintal menjadi satu kesinambungan naratif yang menyenangkan?

Ini adalah satu pertanyaan yang, saya kira, genting, tidak peduli apakah Yusi sendiri merasa bahwa novelnya tidak pernah berangkat dari ambisi literer agung melainkan hanya buah—yang cukup ranum, tentu saja—dari iseng-iseng berhadiah mengisi waktu senggang.

Raden Mandasia, bagaimanapun, adalah satu karya yang menyerap pembacanya dan pada momen-momen puncaknya menghunjamkan pengalaman terasing dari keseharian, terpelanting dari kategori-kategori pemaknaan yang jamak, dan tentu saja, diiringi dengan kepuasan ganjil.

Pengalaman inilah yang mendefinisikan seseorang sedang membaca prosa yang berarti. Sastra, mengikuti pengertian kalangan Formalis Rusia, Roman Jakobson, toh, adalah kekerasan terorganisasi terhadap bahasa. Ia menelanjangi bahasa, imajinasi, ideologi, dan dalam prosesnya menyeret pembaca untuk meneroka kenyataan dengan sensibilitas, pencerapan yang lain. Apa yang membuat Raden Mandasia secara spesifik menarik adalah pengalaman ini diantarkan dengan manuver-manuver yang tidak lazim. Ia menawarkan siasat-siasat yang bukan hanya tidak wajar di antara prosa-prosa yang ada di Indonesia, melainkan juga nyaris secara terbuka menantangnya.

Pertama-tama, ia menghadang modus yang paling jemawa mencengkeram artikulasi penarasian prosa-prosa kita: kelirisan.

 

Berhadapan dengan sederetan karya sastra berpengaruh di Indonesia, saya selalu membaca Raden Mandasia sebagai suatu petunjuk bahwa bentuk-bentuk eksposisi liris bukanlah mantra yang menjamin kekuatan bercerita sebuah prosa.

Strategi bernarasi melalui permenungan lirih dan emosional tokohnya, memang, siasat membawakan cerita yang acap ampuh untuk menggiring pembaca ke dalam narasi (dan, mungkin lebih ampuh lagi, dalam mendemonstrasikan kemahiran menganyam bahasa pengarangnya). Saya tidak akan memperkarakan strategi elaborasi prosa ini pada dirinya sendiri.

Namun, saat ini, saya kira, kita tidak akan sulit bersepakat apabila saya menyebut strategi bercerita dengan mengedepankan penceritaan yang lirih dan puitik sudah menjadi ekspresi yang secara tidak beralasan dominan.

Bagaimana Saman karya Ayu Utami, yang meraup serenteng pengakuan itu, membuka novelnya?

Di taman ini, saya adalah seekor burung. Terbang beribu-ribu mil dari sebuah negeri yang tak mengenal musim, bermigrasi mencari semi, tempat harum rumput bisa tercium, juga pohon-pohon, yang tak pernah kita tahu namanya, atau umurnya.

Pengungkapan liris ini menjadi strategi penceritaan Saman yang digelarnya sampai dengan halaman terakhir. Ekspresi-ekspresi penting disampaikan dengan perumpamaan yang diasah sebaik-baiknya untuk menggambarkan suasana emosional yang tengah menguasai tokoh. Dengan cara ini, pembaca dibawa untuk mengarungi narasi melalui pengalaman kemeruangwaktuan para tokoh. Pembaca diantar untuk beresonansi dengan seluk-beluk kecamuk perasaan mereka, bersimpati dengan mereka, dan strategi ini berfaedah pula untuk memantik pembaca terlibat dengan cerita karena mereka mesti peduli dengan apa yang akan dialami maupun dikerjakan tokohnya.

Namun, satu hal yang juga pasti: ia rumit. Ia berpilin-pilin. Ia merupakan unjuk gigi keistimewaan keterampilan berbahasa yang anggun.

Kalau anda membutuhkan contoh bagaimana ini menjadi pakem tersendiri, mari kita periksa bagaimana Amba karya Laksmi Pamuntjak membuka novelnya.

Di Pulau Buru, laut seperti seorang ibu: dalam dan menunggu. Embun menyebar seperti kaca yang buyar, dan siang menerangi ladang yang diam. Kemudian malam akan mengungkap apa yang hilang oleh silau.

Bahkan, bila kita melongok prosa pengarang yang, saya yakin, tidak akan didakwa selaku juru bicara dari aliran kesusastraan tertentu, kecenderungan ini pun tidak sulit anda temukan. Puisi “Sepi Pun Menari di Tepi Hari” karya Radhar Panca Dahana misalnya:

Senyum itu. Misteri.

Daun bibirnya yang penuh, menggurat garis lunak di atas dagunya yang hampir tepat setengah lingkaran. Seperti menyatakan dari kejauhan: hidup itu empuk. Karena itu, salahmu sendiri jika kau tak dapat tidur nyenyak. Lalu, matanya menipis ketika bibir itu terbuka perlahan, seperti tawanya yang mengalun. Selesailah dunia! Dengan garis-garis wajah yang tertarik kuat dan wajar seperti itu, perempuan akan mengisi tatapan kosong setiap lelaki. Perempuan yang menciptakan jarak setiap langkah.

Sekarang kita lihat bagaimana Raden Mandasia dibawakan oleh naratornya—corong bicara Yusi:

Anjing. Kepercayaan macam apa itu? Anjing lagi. Kenapa aku jadi terpikat melakukan yang lain padahal semula aku hanya sekadar ingin tahu siapa si Mayssa? Aku melihat Raden Mandasia yang sepertinya tertidur di kursinya dengan kepala menyandar dinding. Aku tak bisa meninggalkannya begitu saja. Anjing.

Ambil contoh lain:

Anjing. Loki Tua tahu benar cara memeras. Ia sangat paham kami berdua sangat membutuhkannya. Anjing. Kami harus menggendong anjing jadinya.

Anda tak akan memperoleh apa pun apabila anda membaca Raden Mandasia dengan harapan akan menikmati tuturan-tuturan menawan yang dapat mengartikulasikan perkembangan dan dinamika emosi manusiawi yang kompleks.

Sepanjang cerita bergulir, narasi yang akan anda peroleh adalah kegamblangan demi kegamblangan yang vulgar; umpatan-umpatan sang juru cerita mengutuk kemalangannya, kegirangannya ketika tokoh lain mengalami petaka, atau ratapannya ketika dirinya berada pada situasi tak diinginkan.

Ruang dan waktu Raden Mandasia disajikan melalui ratapan Sungu Lembu yang setiap saat bergelut dengan peristiwa-peristiwa menggelikan. Suara sang juru cerita, satu-satunya cara kita memperoleh perjalanan narasi dalam Raden Mandasia, adalah suara seseorang yang tidak pernah bisa menjaga jarak secara patut dengan kecamuk kenyataan maupun menjadi perajin ungkapan yang manis, efektif, sekaligus tidak menghamburkan napas dan emosinya. Dunia Raden Mandasia, yang muncul dari jejalin umpatan dan serangkaian insiden konyol demi insiden konyol, adalah dunia yang bising, riuh sekaligus tolol. Satu hal yang dapat saya jamin: ia adalah sisi lain mata uang dari banyak prosa yang sudah-sudah.

Menariknya, saya tidak akan mengatakan strategi yang dikedepankan Yusi tidak efektif mengisap kesadaran pembacanya atau, setidaknya, saya. Alasan saya memacu diri menyusuri semesta Raden Mandasia memang adalah keinginan untuk mengetahui apa yang akan tersingkap dari perjalanan Sungu Lembu membalaskan dendam bangsanya maupun kerabat dan rekan terdekatnya. Tetapi, apa yang lantas memastikan kesadaran saya tumpah tanpa jeda pada setiap kejadian, drama, perkembangan karakter, dan percabangan alur novel ini adalah penantian akan kebodohan serta keganjilan baru yang akan melanda para tokoh.

Saya bisa memastikan, dunia Raden Mandasia akan menjadi dunia yang sama sekali lain bila ia tidak diceritakan oleh Sungu Lembu. Lebih-lebih, ia tidak akan memiliki derajat komedi yang sama.

Pada awal Sungu Lembu terjebak harus menjadi teman seperjalanan Raden Mandasia, yang merupakan anak dari musuh bebuyutannya, misalnya, ia mengalami satu peristiwa yang digambarkannya seperti ini:

Anjing. . .Ia tak pernah menyapaku dengan Raden sekalipun ia tahu aku berhak mendapatkannya. Ia memang lebih tua, tapi hanya tiga tahun dan aku sudah bukan anak-anak lagi. Jadi, omongannya yang kadang menggurui atau sok pintar membuatku sebal. Aku seperti mendapat kakak atau tuan yang tak pernah kuinginkan. . .Pagi itu, kadar menyebalkannya bertambah karena kok ya ia pintar mengenali umbi-umbian. Anjing betul.

Sungu Lembu membatinkan kegeraman ini ketika ia hendak mengerjai Raden Mandasia dengan umbi-umbian yang akan membuat gatal, tetapi dicegah oleh Raden Mandasia yang ternyata mengetahui racun dari bahan makanan tersebut dan lantas menasihatinya.

Kini, saya coba gambarkan apabila bagian ini tidak diceritakan oleh Sungu Lembu dan dengan penuturan “selazimnya prosa”:

Raden Mandasia tak pernah menyapa Sungu Lembu sebagai Raden kendati mengetahui ia berhak mendapatkannya. Ia memang lebih tua tapi hanya terpaut tiga tahun dan Sungu Lembu merasa bukan anak-anak lagi. Sungu Lembu sebal dengan omongannya yang kadang menggurui atau sok pintar. Ia merasa mendapatkan kakak atau tuan yang tak pernah diinginkannya. . .Pagi itu, Sungu Lembu merasa Raden Mandasia semakin menyebalkan karena ia mengenali umbi-umbian tersebut.

Apa yang digambarkan paragraf di atas dan paragraf ungkapan “Sungu Lembu” mungkin akan dikatakan sama saja. Tetapi, nuansanya kontras. Yang jelas, paragraf kedua tidak memiliki daya gelitik yang sama dengan sebelumnya. Pada saat pembaca tidak mendapatkan nuansa kenestapaan dan ketidakberdayaan Sungu Lembu yang tergambar sangat hidup melalui deretan kegeraman dan sumpah serapah yang dibatinkannya, ia kontan kehilangan kejenakaan. Hal ini, saya berani mengatakan, berlaku untuk segenap cerita Raden Mandasia sisanya.

Tentu saja, untuk menghidupkan jagat cerita, suara Sungu Lembu, yang dipinjam Yusi, tidak dapat berdiri sendiri. Yusi pun harus cerdik mencetuskan kejanggalan, kesemrawutan, keanehan baru yang akan tergambar dari sudut pandang Sungu Lembu.

Bayangkan saja, buku ini dimulai dengan narator, dalam kepanikannya, membandingkan bunyi kaki yang baru saja tertancap panah dengan bunyi batang pisang ditikam pisau yang menurutnya sangat empuk dan enak didengar. Kita langsung dihadapkan dengan penggambaran yang bodoh, tidak pada tempatnya—dalam pengertian yang menarik tentunya. Sang juru cerita dikejar-kejar oleh pasukan berkuda Kerajaan Gilingwesi. Tidak lama, ia tertangkap dan dipukuli. Saya bisa menjamin, pengalaman menyakitkan ini juga digambarkan Sungu Lembu dengan tidak kalah konyol. Rekannya, Raden Mandasia, yang adalah pangeran dari Kerajaan Gilingwesi, lantas ikut tertangkap. Sebelum sempat menyampaikan ke pasukan agar tidak menghajar pangerannya sendiri, Sungu Lembu dihajar hingga pingsan.

Pada bagian selanjutnya, Sungu Lembu siuman dan menceritakan penyebab mereka dikejar-kejar. Penyebabnya adalah kegemaran ajaib Raden Mandasia mencuri sapi—dan langsung mengganti rugi sapi yang disembelihnya di tempat—mendadak saja kumat. Sang narator tidak sanggup menahan rekannya itu. Saya, tentu saja, tidak bisa menyalin penggambaran Sungu Lembu dalam segenap kekonyolannya di sini. Tetapi, semoga anda bisa samar-samar membayangkan jika saya katakan penceritaannya akan sukses menggelitik sekaligus memprovokasi kebingungan anda.

Situasi semacam ini bergulir tak kunjung putus dalam Raden Mandasia. Pada saat pembaca merasa mulai terbiasa dengannya, pembaca akan diingatkan, Raden Mandasia adalah sebuah dongeng perjalanan dan tokoh utamanya adalah figur yang menyelusuri ranah-ranah kebudayaan berbeda-beda. Sungu Lembu, artinya, tidak akan pernah kehabisan eksotisme yang memukaunya, rintangan baru untuk dijajalnya, maupun keganjilan yang mengerjainya.

Jangan lupa, seiring semua ini, pembaca digiurkan pula dengan misteri apa yang akan terjadi dengan perkawanan ganjil antara Sungu Lembu, yang diam-diam berambisi membalas dendam bangsa dan sekutu kepada Raja Gilingwesi, dan Raden Mandasia, yang tidak mengetahuinya, menempuh pengarungan menantang untuk mencegah jatuhnya peperangan besar Kerajaan Gilingwesi, yang baru akan terjawab belakangan.

Di sini kita menemukan satu hal. Penceritaan Raden Mandasia, memang, tidak mengajak pembaca menjelajahi perasaan para tokoh hingga ke kedalaman-kedalaman tak terduga. Pembaca tidak akan mudah luruh dengan pergumulan yang dialami para tokoh pasalnya pembaca digiring bukannya untuk melebur dengan mereka melainkan untuk berjarak dengan mereka—menertawakan mereka. Raden Mandasia mengonstruksi para tokoh bukan sebagai figur yang mudah mengundang simpati melainkan sebagai objek yang jenaka, komikal, dan, tak jarang, ganjil serta eksotik.

Kegamblangannya justru menjadikan narasi yang dianyam Yusi menjadi sangat intens. Bak pentas ludruk, setiap adegan adalah pertaruhan untuk menggelar tawa para penonton. Tidak ada waktu yang tersedia untuk membiarkan penonton berkutat lama dalam kesunyiannya sendiri. Tidak ada ampun untuk kelengahan memperkenankan interaksi yang tidak berarti berlarut-larut di panggung.

Watak spektakuler serta performatif ini, jika kita cermati, tidak menjadikannya narasi yang terjatuh dalam kubangan pornografi superfisialitas. Kita tahu, pada karya-karya realisme magis, yang sempat menjadi tren tersendiri dalam dunia kesusastraan Indonesia, narasi-narasinya begitu tersita dalam mengeksploitasi transformasi gaib dunia keseharian menjadi dunia dengan hukum-hukum ganjil untuk menggoda serta merenggut perhatian pembaca, alur besarnya justru tidak tergarap dengan memadai. Tokoh hanya menjadi saksi bisu sekaligus gelas kosong dari awal sampai dengan akhir yang fungsinya adalah mengondisikan pembaca agar selalu takjub dengan apa yang terjadi. Di sisi lain, cerita tidak pernah berkembang. Kita hanya akan memperoleh superfisialitas sensasional dari awal sampai akhir.

Sebaliknya, sebagai satu keutuhan cerita, strategi penceritaan Raden Mandasia yang, dalam istilah saya, intens, justru membantu mematri keterikatan pembaca dengan para tokoh. Pada satu sisi, sebagaimana yang sudah saya terangkan, ia menyisihkan penarasian-penarasian yang menjemukan, berpanjang-panjang, serta tidak efektif; dan menggantikannya dengan eksposisi-eksposisi yang meriah, bising, dan—yang paling penting—memantik pembaca untuk tidak beranjak darinya. Tetapi, dengan keriangannya yang acap komikal tersebut, pembaca di sisi lain digiring untuk terus mengakrabi dan membangun kesan yang kompleks perihal tokoh-tokoh yang dikemukakan.

Pada satu titik, pembaca sudah memiliki hubungan yang aneh tetapi simpatik dengan tokoh-tokoh dalam Raden Mandasia. Pada saat itu, novel ini sudah menjadi satu bangunan naratif yang tidak sekadar bernas. Jalan hidup, ambisi, intrik serta kepentingan seabrek tokoh maupun kubu yang diceritakan di dalamnya sudah berjalin-kelindan ruwet—dalam pengertian ia sudah menjadi semesta yang matang. Lantas, ketika peristiwa-peristiwa transformatif melibatkan para tokohnya terjadi—entah mereka berubah, terbunuh atau memperoleh penyingkapan yang menohok—Raden Mandasia akan meninggalkan pengalaman yang mengguncang untuk pembaca yang sudah tersekap untuk peduli dengan dunia anyamannya.

Sumpah serapah dan kegeraman Sungu Lembu, kebodohan dan kesialan yang dialami para tokoh, keganjilan serta eksotisme dunia Raden Mandasia—anasir yang tidak terlalu dikenal dalam prosa-prosa yang berkutat dengan kelirisan—ternyata adalah kuda troya untuk melanggengkan jagat fiktif yang pejal.

 

Keajekan tidak beralasan lain yang, saya kira, harus kita periksa kembali usai kita membaca bagaimana Raden Mandasia berhasil membentangkan narasi yang beresonansi dengan pembacanya adalah pentingnya plausibilitas.

Kritik novel lazim menuding cerita-cerita yang jadi subjek kritiknya dengan mengatakan semestanya tidak koheren. Ketika mereka menemukan satu narasi yang dianggap tidak cukup meyakinkan dalam menggarap motif para tokoh atau yang menghadirkan satu adegan penting dalam alur tetapi tidak mempunyai preseden apa pun, para pengkritik dengan sigap akan memberondongnya habis-habisan. Konsistensi, keutuhan, hingga korespondensi dengan realitas adalah mantra yang dengan sendirinya tidak boleh dilanggar. Sebuah cerita harus dibangun dengan tiang penopang yang tidak mengada-ada.

Selain itu, cerita harus memiliki semestanya sendiri—berdiri dengan kaki-kakinya sendiri dan terpisah dari kehendak pengarang. Menukil kata-kata penyair Stephane Mallarme, karya sastra “adalah bahasa yang berbicara.” Pengarang hanya perlu menjadi bidak dari kata-kata. Kata-kata akan mengalir dari cerita tanpa pengarang perlu menghadirkan diri, melainkan meminjamkan keahliannya untuk menganyam kata-kata menjadi narasi.

Pengarang, dalam bayangan yang tampaknya diidealkan, adalah juru pahat narasi yang mengorbankan dirinya yang mengingatkan kita dengan tokoh William Shakespeare dalam cerita pendek Borges, “Segalanya dan Bukan Siapa pun.”

Aku adalah manusia tak dikenal. Tak seorang pun mengenaliku sebagai seorang Shakespeare, tetapi sebagai manusia-manusia lain. Siapa mendengar deritaku? Malaikat mana menyelamatkanku?

Sang aktor merintih demikian karena ia tidak pernah bisa menjadi dirinya dalam pentas-pentas yang dimainkannya. Ia harus menguasai diri dan membiarkan jagat serta perguliran narasi berkembang tanpa bisa ia dikte. Demikian juga dengan pengarang. Pengarang harus menjadi seseorang yang membunuh dirinya dari segala syahwat menata cerita berdasarkan citra dan kehendaknya dan membiarkan cerita merangkai dirinya melalui apa-apa yang sudah tertata pada bangunan sang cerita sendiri.

Namun, dengan cara-cara paling menyebalkan yang bisa anda jumpai, Raden Mandasia memperlihatkan bahwa plausibilitas, keberdikarian semesta cerita serta keabsenan—atau kematian—pengarang bukanlah satu hukum yang tanpa alasan harus selalu diindahkan. Ia bukanlah suatu ketetapan yang secara buta mesti dipatuhi bila seorang pengarang ingin menjamin karyanya dapat menyeret pembaca ke kedalaman jagat fiktif yang disusunnya. Ia, memang, memastikan kepada anda secara gamblang hal tersebut dengan menghancurkan mood anda sewaktu-waktu. Di tengah-tengah cerita, Yusi bisa saja melibatkan referensi metafiksional yang tiba-tiba menghilangkan rasa kesinambungan naratif pembaca.

Satu contoh saja:

Aku mulai mengambil alat tulis. Aku tahu apa yang mau kuguritkan, tetapi aku belum menemukan judul yang tepat. [Sungu Lembu lantas memikirkan sejumlah kemungkinan judul—konyol dan menggelitik, tentunya.]. . .Aku meneguk kahwa. Sebuah judul baru terpikir olehku. Aku yakin judul ini bakal membuat gusar banyak orang jika aku jadi memakainya: Babad Tanah Jawa.

Pengungkapan ini adalah paragraf akhir cerita. Sungu Lembu ingin menyusun pengalamannya bersama Raden Mandasia dan memikirkan sejumlah judul untuk buku yang nanti akan disusunnya.

Pada titik ini, pembaca sudah memiliki keakraban yang berarti dengan Sungu Lembu. Mereka menyaksikan bagaimana karakternya bertumbuh dewasa, bagaimana ia mengecap kegetiran hidup, bagaimana ia akhirnya memperoleh ketenangan serta kedamaian yang berhak didapatkannya. Ketika cerita tampaknya sudah akan berakhir dengan sangat bermakna, sekonyong-konyong saja Yusi mengingatkan kita akan fiktifnya Raden Mandasia.

Apa yang terjadi di semesta Raden Mandasia, kendati beberapa dari antaranya mengambil inspirasi dari sejarah Jawa, cukup terang tidak terjadi di Jawa. Lantas, mengapa Sungu Lembu serta-merta terbayang bahwa ia perlu membubuhkan judul Babad Tanah Jawa pada cerita pengalamannya bersama Raden Mandasia?

Ini terjadi berulang-ulang. Pada berbagai titik, pembaca akan mulai memuji betapa meyakinkannya Yusi menganyam ceritanya. Yusi menghabiskan banyak waktu untuk membabarkan latar belakang serta penokohan bagi karakter-karakternya—hal yang mendekatkan kita dengan motif karakter bersangkutan. Saya mengenal, merasa dekat dengan Sungu Lembu. Saya tahu, saya menertawakannya. Akan tetapi, saya juga bersimpati dengan perjuangan serta kesabarannya—yang berulang kali diuji secara kocak—membalas dendam kepada pihak yang bertanggung jawab atas nasib malang orang-orang dekatnya. Demikian juga dengan Raden Mandasia. Lantas, Loki Tua. Para tokoh ini diperkenalkan dengan latar yang kuat dan ditampilkan dengan watak yang janggal tapi masuk akal, membuat jadi mudah pembaca mengira mereka hidup.

Hasilnya, berbagai intrik dalam Raden Mandasia mengemuka dalam kompleksitas yang luar biasa sekaligus koheren dan nyata.

Hanya saja, Yusi tampaknya tidak puas sebatas menyajikan sebuah cerita yang meyakinkan. Maka, pada tiap perkelokan alur cerita, ia bisa saja mengungkit mitos yang aneh dan tidak pada tempatnya di antara jagat dongengnya. Benar saja: ketika raja dan para Pangeran Gilingwesi, termasuk Raden Mandasia yang sudah akrab dengan pembaca, terbunuh dalam peperangan yang tidak kunjung jelas penyebabnya, Yusi serta-merta mengungkapkan bahwa peperangan tersebut dipicu oleh permintaan Ratu agar Raja merebut putri Kerajaan Gerbang Agung. Mengapa ia melakukannya? Ia ingin menjauhkan Raja, yang ternyata adalah anaknya sendiri, dari dirinya.

Apa yang paling mengusik dari manuver Yusi bukanlah pelintiran alurnya, yang memang pada dirinya sendiri mengguncang, tetapi alusinya pada dongeng Sangkuriang. Ratu Dewi Sinta menyadari Prabu Watugunung, sang raja, adalah anaknya sendiri ketika ia melihat di kepala suaminya tersebut terdapat bekas pukulan centong nasi yang merupakan hasil perbuatannya. Dulu, ia memukul anaknya dengan centong nasi untuk menghukumnya dan anaknya tersebut lari. Ia lantas kembali sebagai Prabu Watugunung dan memperistri Dewi Sinta setelah merebut Kerajaan Medang Kamulan dan menamainya Gilingwesi. Hal serupa dengan yang dialami Dayang Sumbi dalam Sangkuriang? Ya.

Pada titik ini, alusi pada Sangkuriang menjadi salah satu tindakan Yusi yang bagi saya cukup jahanam. Mengapa Yusi harus sebegitu keji memutus empati saya dengan Sungu Lembu, atau Prabu Watugunung, yang terbangun melalui proses naratif yang begitu panjang dan menguras?

Dengan menjadikan peristiwa yang menjadi peralihan alur paling mendasar bagi cerita ini tampak menjiplak dengan benderang dari dongeng yang acap kita dengar, Yusi memperlihatkan kebermain-mainan dongengnya sendiri. Tidak mungkin, toh, apabila dongengnya nyata—dan Yusi mempersiapkannya menjadi fiksi yang mengecoh dengan menyaru kenyataan—ceritanya tahu-tahu menyalin peristiwa dari kisah yang tidak ada referensinya pada kurun dan ruangnya.

Namun, dalam kekesalan saya, saya justru menikmatinya. Padahal, saya seharusnya merasa Yusi melakukan kekeliruan fatal yang tidak termaafkan dalam menyusun prosa. Pada kenyataannya, saya malah terpukau lantaran menjumpai adegan yang saya kenal ditempatkan tidak pada tempatnya, dan memberikan peralihan yang cukup menyegarkan setelah saya berlarut-larut dalam semesta fiktifnya.

Saya, akhirnya, menerima bahwa Yusi memang secara sadar sedang bermain-main mementaskan khazanah kolektif yang dipahami pembacanya juga.

Kenikmatan ganjil semacam ini, tepatnya, mengingatkan saya akan kebergairahan saya ketika tiba-tiba dikerjai dengan teknik menerabas dinding keempat dalam pentas teater atau film. Kala penonton mulai terbiasa dengan dunia, intrik, permasalahan yang dibangun, tiba-tiba saja sang tokoh menyadari keberadaannya sebagai aktor dalam kotak tontonan dan mulai mengajak penonton berbincang-bincang. Di sana menyeruak suatu ketidakterdugaan yang menggelitik sekaligus memperbarui antusiasme saya dengan pentas yang berlarut-larut. Akan tetapi, yang tampaknya lebih mendasar lagi, ia memantik hasrat bermain-main pencerapnya dengan memperlihatkan bagaimana dunia yang sudah berjalan begitu serius ini ambruk seketika dengan keisengan sang sutradara.

Dengan melakukan manuver menerabas batasan-batasan medium semacam ini, Raden Mandasia menimbulkan pula pertanyaan-pertanyaan usil yang juga menyenangkan. Pertama-tama, apa salahnya? Semesta Raden Mandasia adalah semesta yang dikarang. Ia bukanlah kenyataan betapa pun terobsesinya pembaca ingin membayangkannya sebagai dunia yang hidup, meyakinkan, faktual. Pada saat kekaguman dengan plausibilitas Raden Mandasia itu sedang kuat-kuatnya menjangkiti pembacanya, Yusi bisa meluruhkan semuanya. Yang tebersit bukanlah kekecewaan karena merasa fiksinya melucuti pilar-pilarnya sebagai prosa yang berarti, melainkan kepuasan karena melihat keisengan yang tidak salah untuk dikatakan berskala kolosal.

Dalam manuvernya yang sangat mengganggu ini, Yusi seakan menyampaikan: fiksi menjadi memikat bukan karena ia nyata, melainkan karena ia adalah fiksi. Fiksi tidak pernah harus meniru dunia nyata atau mengekor sebagai representasinya. Fiksi dapat menjadi dirinya sendiri, dan ia akan langgeng dalam dinamika intertekstual pengarang-pembaca ketika ia terbukti menyenangkan mereka.

Dengan siasat ini, Raden Mandasia juga menyampaikan pertanyaan jahil kepada dunia—yang biasa kita asumsikan—nyata. Apakah dunia nyata juga benar-benar dibangun dengan segala keseriusan yang kita bayangkan menjadi pelesat sejarah? Apakah sejarah oleh para penyair, penembang, atau sejarawan andal mencatat pergerakan dunia dengan mulia atau objektif? Bisa jadi, sejarah dunia nyata malah bergulir dari kebermain-mainan, keganjilan, buncahan-buncahan liar seperti yang kita jumpai di Raden Mandasia. Bisa jadi, Babad Tanah Jawa ditulis oleh tokoh yang sama komikalnya dengan Sungu Lembu.

Raden Mandasia, memang, tidak mengajukan secara persis seperti apa kenyataan kita berjalan. Tetapi, ia mengganggu apa yang kita anggap sudah berlaku mantap sebagai kenyataan. Ia menyediakan kemungkinan-kemungkinan lain yang tidak terbayangkan tetapi masuk akal. Ia mengungkit potensi kefiktifan dari apa yang galib kita sebut kenyataan.

Inti dari semuanya, ini pertanyaan usil yang mengasyikkan bukan?

 

Setelah menyambangi bagaimana segenap penyimpangan Raden Mandasia tidak menjadikannya karya yang defisien dalam meninggalkan efek pembongkaran yang merupakan potensi paling menarik dari sebuah prosa, saya ingin kita menyambangi kembali pertanyaan awal kita. Jadi, apakah mantra rahasia Raden Mandasia? Apakah satu unsur yang memungkinkannya menyeleweng dengan leluasa dari pakem-pakem kesusastraan tanpa mengorbankan daya pikat, daya berontak, serta daya penerawangan yang dimiliki oleh karya-karya yang lazim menyandang predikat sastra?

Dari semua yang sudah saya paparkan sejauh ini, strategi yang melingkupi pusparagam siasat yang dilancarkan Yusi adalah ia memperlakukan pembaca sebagai pembaca yang hidup. Lebih jauh, ia tidak sekadar mengajak pembaca berdialog sebagaimana yang akan anda lihat pada prosa-prosa yang mengeksploitasi teknik intertekstual. Yusi mengajak mereka bermain-main. Pada satu waktu, ia mengelola, menarik-ulur, mengungkit tabiat pembacanya selaku homo ludens—manusia yang bermain. Pada waktu yang lain, ia secara menggeramkan, mempermainkan mereka.

Raden Mandasia dibuka dengan adegan pengejaran para tokoh utama yang membingungkan, tetapi sekaligus mengusik rasa ingin tahu pembaca. Pembaca dihadapkan pada satu karakter dengan motif tidak lumrah. Raden Mandasia, sang tokoh utama, yang digambarkan dari sudut pandang orang ketiga, adalah sosok yang terobsesi menyembelih daging sapi. Yang lebih ganjil lagi, ia hanya menyembelih daging sapi yang dimiliki orang lain dan meninggalkan uang seharga sapi bersangkutan sebagai ganti ruginya. Penceritanya? Penceritanya adalah seseorang yang mendampinginya, tetapi bukan budak, bukan pula teman perjalanan yang sederajat, dan di sepanjang alur tidak pernah berhenti menyampaikan kekesalannya.

Ini adalah premis yang sangat janggal. Tetapi, Raden Mandasia, dari apa yang akan terus-menerus dijumpai sepanjang pembacaan terhadapnya, mengundang orang membaca bukan dengan kedalaman, melainkan memang dengan keganjilan. Apa yang dilakukannya sepanjang yang bisa kita jumpai—dan sudah saya perlihatkan—adalah ia menggelitik perasaan pembaca untuk menuntaskan keganjilan-keganjilan komikalnya.

Seiring alur berjalan, keganjilan itu justru kian menggiurkan dengan kian merekahnya berbagai kontradiksi. Mereka mencuat dari peristiwa yang melibatkan para tokoh serta tersingkapnya latar belakang mereka. Pembaca akan memperoleh pengetahuan bahwa pendamping Raden Mandasia ternyata adalah sosok penuh dendam terhadap Kerajaan Gilingwesi, dengan segala kepentingan untuk menghabisi ayahnya, Prabu Watugunung. Dengan kesabarannya, Yusi selalu memunculkan elemen baru pada momen yang tepat, tidak mengada-ada, dan memastikan kejanggalan yang disajikan tidak terasa usang.

Menariknya, ini baru satu dari antara litani intrik yang diperkenankannya berkembang di semesta Raden Mandasia. Pada kesempatan lain, misalnya, Yusi memasangkan berbagai tokoh yang tabiat maupun latar belakangnya tidak akan cocok dengan karakter lain. Sampai dengan akhir perjalanan, kita tak akan pernah menemukan para tokoh akhirnya berdamai dengan perbedaan. Tetapi, kontradiksi ini dengan penuh maksud dipelihara untuk memastikan dinamika ganjil yang menjadi warna Raden Mandasia terus bergulir.

Apa artinya?

Raden Mandasia dengan sengaja dan terang-benderang berusaha menantang pembaca melalui hasrat bermain-main mereka. Ia mengundang pembaca sedari awal untuk mengeruk sesuatu yang “menarik” alih-alih yang “mendalam;” sesuatu yang “memikat” alih-alih sesuatu yang, katakan saja, “sublim;” sesuatu yang mengungkit hasrat bermain mereka alih-alih ketakjuban mereka akan kemolekan bangunan bahasanya. Yusi berusaha mengajak mereka bermain-main alih-alih tampil memesona dengan ukiran bahasa yang menakjubkan.

Pengalaman kolaborasi aktif pembaca-pengarang ini paling terasa ketika Raden Mandasia mengeluarkan kartu metafiksionalnya—ketika alurnya sekonyong-konyong dipelintir secara nakal oleh Yusi dengan merujuk ke karya dongeng yang nyaris pasti pernah anda dengar. Yusi selalu ada di sana untuk merundung anda, pembacanya, terlebih anda yang membaca karyanya dengan terlalu serius. Ia tidak pernah mengikhlaskan kehadirannya seperti para pengarang yang memprioritaskan plausibilitas di atas segalanya.

Anda tidak akan mengatakan Raden Mandasia karya yang gagal mendatangkan pengalaman yang mengganggu pengalaman-pengalaman hidup anda lainnya karenanya. Anda akan memujinya justru karena kecerdasannya. Terlebih-lebih, manuver Yusi tersebut justru adalah satu langkah ulang-alik yang bukan hanya mengganggu keajekan dunia fiktifnya, melainkan juga dunia nyata kita; bahwa jangan-jangan dongeng, sejarah, segenap teks yang kita terima dengan penuh keseriusan dan kita anggap bermakna pun, dalam kenyataannya, disusun dengan proses yang tidak kalah konyolnya dengan Raden Mandasia.

Pada titik ini, kalau kita ingin mengategorikan teks Raden Mandasia sebagai bentuk novel pascamodern, penilaian tersebut rasanya tidak sepenuhnya keliru. Raden Mandasia adalah satu karya yang insaf dengan hampanya substansi, esensi, kedalaman dan justru merayakan kenisbian tersebut. Ia menyadari pengalaman paling gamblang dan telanjang membaca prosa tidak lain adalah kepuasan sensual pembaca. Karenanya, untuk menyitir kata-kata Jacques Derrida, ia secara bebas bermain dengan dan merajut apa pun yang dapat menggoda pembaca, menghadirkan suatu keutuhan naratif baru yang compang-camping sekaligus, secara aneh, memuaskan.

Ia hadir dengan menggoda syahwat membaca kita yang paling mendasar: hasrat atas kejenakaan.

Namun, saya tidak akan mengatakan Raden Mandasia sebagai proyek literer yang sekadar merayakan kehampaan. Ia justru secara berani—sekaligus tersirat, tentunya—mengajukan bahwa kita punya satu kapasitas kemanusiaan yang selama ini jarang digubris, apalagi digubris dalam penggarapan prosa: kegemaran kita untuk bermain dan membangun semesta dari permainan yang kita geluti.

Jagat naratif Saman, toh, pada akhirnya, tidak dilanggengkan oleh ekspresi-ekspresi batin mendalam yang membuatnya meraup pujian sebagai karya sastra yang istimewa. Elaborasi liris Ayu Utami tidak lebih dari satu cara untuk memastikan pembaca meresonansikan emosi yang dialami para tokoh dalam narasi yang dibentangkannya. Apa yang lantas memastikan pembaca tetap mau berada di dalamnya adalah keingintahuan apa yang akan terjadi selanjutnya dengan para tokoh, dengan pertaruhan nilai-nilai hidup mereka, dengan perjuangan mereka betapa pun pribadinya ambisi mereka.

Saman, di balik tudung keanggunannya, disangga oleh narasi yang membentuk sebuah permainan. Waktu, dalam semesta fiksinya, berjalan seiring para tokohnya berusaha merealisasikan pandangan hidup mereka dengan rintangan-rintangan yang dihadapi. Struktur ini juga yang akan kita temukan pada berbagai fiksi lain jika mau kita membandingkannya. Apa yang mengisap kita untuk terus-menerus mengikuti perjalanan para tokoh, dan menjadikan emosi kita melebur dengannya, adalah empati kita dengan pergulatan yang mereka tempuh. Narasi berjalan dan menjadi memikat karena ia menjanjikan bahwa pembaca di ujung kisah akan menemukan apakah sang tokoh akan menang atau kalah dalam pertarungan, peperangan, perjuangan, konflik—permainan—yang diikutinya.

Apa yang dilakukan Yusi, sebut saja, adalah memutar balik anasir yang terselubung ini menjadi anasir di permukaan. Ia mengeksploitasi permainan hingga tidak lagi menjadi struktur bawah permukaan yang malu-malu, melainkan apa yang membentuk keseluruhan artikulasi tekstual.

Anda akan menemukan kebermain-mainan pada setiap seluk-beluk elaborasi naratif Raden Mandasia. Ada permainan yang serius yang memang menjadi pergulatan panjang para tokoh—perjuangan Sungu Lembu membalaskan bangsanya, perjuangan Raden Mandasia mencegah peperangan. Yang lebih acap anda temukan dalam perguliran alur adalah permainan tidak serius yang menggelitik anda—intrik-intrik bak ketoprak yang menimpa Sungu Lembu dan kawan-kawan.

Yang tidak lupa juga disertakan oleh Yusi: permainan metafiksional. Ia mempermainkan pembaca.

Raden Mandasia mengungkap bahwa kita sebenarnya bukanlah insan yang terlalu muluk-muluk ketika membaca sebuah prosa. Raden Mandasia menelanjangi naluri kita dengan merangkai waktu dan semestanya dari anasir yang tampaknya ringkih, tidak meyakinkan—narator yang tidak meyakinkan, intrik-intrik yang konyol—dan pada titik-titik tertentu pelintiran alur yang dengan sengaja dibuat tidak meyakinkan. Ketika hasilnya adalah pembaca tidak mempersoalkannya melainkan mengakuinya sebagai pengalaman literer yang mengasyikkan, kita tahu, bahwa ada sesuatu yang selama ini terabaikan dalam penggarapan prosa-prosa di Indonesia. Apakah itu? Keasyikan itu sendiri.

Dengan kejahilannya, Raden Mandasia memastikan kita tidak selamanya berkutat dengan pengertian yang picik tentang pengalaman literer. Kita haus kontradiksi. Kita haus kesemrawutan. Kita haus kejahilan. Dan kita gemar bermain-main.

Mengapa tidak sekalian merayakannya dalam prosa?

Esai19 Agustus 2021

Geger Riyanto


Geger Riyanto adalah esais dan peneliti. Saat ini tengah menyelesaikan studi doktoral dalam bidang etnologi di Universitas Heidelberg, Jerman.