Memandang Seperti Penjajah
Pascakolonialitas dalam Puya ke Puya karya Faisal Oddang

Ilustrasi: Citra Sasmita

Indonesia adalah negara pascakolonial. Perjumpaannya dengan kolonialisme Eropa di masa lalu melahirkan berbagai macam reaksi terhadapnya. Ada yang menganggap bahwa kolonialisme dan segala hal yang tersangkut-paut dengannya itu buruk. Ada yang menawarkan untuk kembali ke nilai-nilai luhur Timur dan mengabaikan rasionalitas Barat. Ada yang berpaling ke Barat sembari mengejek cara pandang masyarakatnya sendiri. Ada juga yang melihatnya secara kritis dan proporsional bahwa kolonialisme, di sisi lain, telah memberi cara pandang modern terhadap negara bekas jajahannya, sembari menginterogasi secara rasional nilai-nilai Timur yang dianggap adiluhung. Adalah mustahil untuk kembali ke masa lalu, sebab hibridasi sudah telanjur terjadi.

Berbagai reaksi terhadap kolonialisme itu dapat kita lihat gejalanya dari karya sastra Indonesia modern. Meskipun karya-karya ini ditulis setelah kolonialisme Belanda berakhir, atau pascakolonial, tidak serta-merta semangat kritis dari kesadaran pascakolonial itu tumbuh mengiringinya. Novel Bilangan Fu karya Ayu Utami, misalnya, melakukan idealisasi terhadap ide-ide ketimuran dengan menawarkan agama bumi tanpa menginterogasinya secara rasional.[1] Sementara Pulang karya Leila S. Chudori menempatkan Barat secara superior, dan Timur, dalam hal ini Indonesia, secara inferior dengan menempatkan keduanya dalam oposisi biner.[2] Keduanya mereproduksi cara pandang kolonial yang melihat Timur secara eksotis dan tidak beradab. Adalah Pramoedya Ananta Toer lewat roman tetralogi Buru yang pada gilirannya berhasil menempatkan relasi antara Indonesia dan Belanda sebagai penjajahnya secara proporsional. Pram tidak menafikan peran pendidikan kolonial Belanda dalam membawa kesadaran modern kepada bangsa jajahannya ia sekaligus melakukan gugatan terhadap kolonialisme negeri kincir angin itu, juga feodalisme Jawa.

Sebagai karya yang juga ditulis di era pascakolonial, novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang memiliki coraknya tersendiri dalam menggambarkan realitas Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Oddang tidak melakukan oposisi biner antara Timur dan Barat sebagaimana Leila dalam Pulang, tetapi menempatkan masyarakat Toraja dan orang asing dari luar negeri dan Jawa dalam posisi yang sama buruknya. Keduanya digambarkan saling memangsa satu sama lain. Lalu, di akhir cerita, seluruh masalah itu diselesaikan oleh leluhur di puya atau alam tempat menemui Tuhan. Sebagai jalan keluar lain menghadapi kekacauan itu, Oddang memberi tawaran pertanyaan berupa “Kenapa surga diciptakan?”

Tulisan ini akan melihat bagaimana deskripsi Oddang tentang manusia di bumi Toraja yang saling terlibat khaos itu, justru membenarkan mitos mesianik dalam masyarakat di Sulawesi Selatan bahwa mereka tidak mampu “mengatur dirinya sendiri”. Ini diperkuat dengan metode penyelesaian dalam novel yang bukan diselesaikan oleh manusia-manusia yang terlibat konflik di dalamnya, melainkan dengan menyerahkannya kepada Tuhan.

Di tengah-tengah situasi kacau tersebut, novel ini melancarkan kritiknya atas adat dan kapitalisme. Akan tetapi, alih-alih menempatkan kritik itu secara proporsional, novel ini justru jatuh pada kecenderungan untuk mengorientalisasikan adat, bangsawan hingga masyarakat Toraja dengan memberi justifikasi tanpa pemahaman yang utuh serta dari aspek ekonomi, sosial dan politik yang mengonstruksinya. Selain itu, kritik novel ini terhadap kapitalisme malah tercebur dalam logika kapitalisme kolonial yang memandang bahwa pribumi mengalami kemiskinan karena mereka malas, bodoh dan boros, bukan sebagai gejala sistemik dan terstruktur. Sebelum memulai analisis itu, mari kita lihat unsur intrinsik novel ini dan berbagai hal yang tidak logis di dalamnya.

Struktur Naratif dan Cacat Logika Penokohan

Puya ke Puya menggunakan teknik penceritaan polifonik. Lewat teknik ini, masing-masing tokoh sekaligus menjadi narator, bercerita dan menyampaikan suara mereka. Penggunaan teknik ini memungkinkan Oddang untuk mengonfrontasi suara-suara berbeda dari naratornya itu atau memberikan suara yang sama lewat fokalisasi terhadap satu isu yang diulang-ulang oleh masing-masing pencerita. Dengan demikian, gambaran tentang pribumi yang kacau, malas, hingga adat yang membebani dan memperbanyak utang dapat diperkuat oleh pengunaan teknik tersebut.

Ada empat narator yang bercerita dalam novel ini. Untuk membedakan masing-masing suara tokoh sekaligus naratornya itu, Oddang menerapkan simbol “*” bagi tokoh Rante Ralla, “**” bagi Allu Ralla dan “***” bagi Maria Ralla. Masing-masing berada di alam yang berbeda-beda. Itulah mengapa judul novel ini Puya ke Puya karena ia menceritakan pergulatan dari satu alam ke alam lain. Sementara itu, novel ini juga menghadirkan tokoh dari luar Toraja; seorang kulit putih alias bule yang tidak dijelaskan dari mana asalnya bernama Mr. Berth, dan seorang Jawa pemilik perusahaan tambang bernama Suroso Abdullah atau Pak Soso. Tetapi, kendali utama cerita ada di tangan Leluhur. Ia yang menceritakan kisah ini kepada kita, tetapi juga menjadi bagian dari cerita. Novel ini berisi tegangan antara kubu adat dan kubu tambang yang terjadi di alam bumi Toraja, maupun mereka yang terombang-ambing di antara keduanya.

Sedari awal, sang leluhur sebagai pencerita utama telah menjelaskan kepada kita bahwa ia telah mati ratusan tahun silam, belakangan baru diketahui ia juga dulunya seorang bangsawan Toraja. “Ini kisah kematian. Dimulai dengan kematian seseorang diakhiri dengan kematianmu. Iya, kematianmu.” (Oddang, 2015, 3), begitulah leluhur mengawali kisahnya. Kemudian, di akhir cerita, bersamaan saat semua masalah kekacauan di bumi Toraja antara kubu adat (Timur) dan kubu tambang (Barat) telah diselesaikan oleh leluhur, kita tiba-tiba tengah berada di pintu masuk menuju puya dan leluhur melontarkan pertanyaan itu: “Kenapa surga diciptakan?” Itu artinya, novel ini mengandaikan bahwa pendengar cerita ialah orang Toraja, sebab keyakinan soal puya adalah kepercayaan orang Toraja.

Dari situ, keanehan logika novel ini mulai tampak. Saat si pendengar cerita berada di pintu masuk ke puya dan gagal menjawab pertanyaan leluhur, ia pun disuruh pulang, dan berkatalah sang leluhur: “Iya, pulang. Tunggu apa lagi. Temui arwah-arwah lain entah itu dari kubu Barat atau kubu Timur. Katakan, leluhur masih perlu merundingkan soal kematian kalian” (Oddang, 2015, 211). Maka, apakah Pak Soso yang orang Jawa dan Mr. Berth memiliki leluhur dan keyakinan yang sama dengan orang Toraja? Kenapa leluhur itu punya otoritas untuk merundingkan kematian mereka yang berbeda keyakinan dan tidak satu leluhur dengan orang Toraja? Masalahnya juga, novel ini tidak satu kali pun menampilkan penjelasan terkait kepercayaan Pak Soso dan Mr. Berth.

Keganjilan lain yang tampak ialah soal leluhur itu sendiri sebagai pencerita utama. Dalam beberapa adegan, ia kerap memberikan komentar terkait kisah percintaan yang dialami Maria maupun Allu:

“Banyak mayat yang menyukai Maria. Tetapi, begitulah cinta. Selalu saja lebih mudah bahagia bersama orang yang dicintai, dibanding dengan orang yang mencintai kita. . .tetapi, namanya juga cinta. Tak pernah mulus. Maria mencintai bumi. Bumi tak pernah tahu” (Oddang, 2015, 43)

Dan:

“Kenapa kau tertawa? Tidak ada yang lucu. Lelaki gondrong memotong rambut karena mantan pacar, itu lucu? Jangan tertawa! Percayalah saja. Lelaki memang sukar menyembunyikan perasaannya. Cinta bisa membuatnya menjadi diri yang lain.” (Oddang, 2015, 90)

Bagaimana menjelaskan seorang leluhur yang telah mati ratusan tahun silam bicara soal cinta yang khas anak muda sekarang? Pernyataan “bahagia bersama orang yang dicintai, dibanding orang yang mencintai kita” dan “lelaki gondrong memotong rambut karena mantan pacar” lebih menyerupai pernyataan seorang tokoh sinetron atau FTV ketimbang seorang leluhur yang mati ratusan tahu lalu. Bukankah orang-orang terdahulu justru berambut gondrong? Apakah leluhur itu juga menonton sinetron atau FTV di layar kaca hingga mengubah cara pandangnya terhadap rambut? Barangkali hanya Oddang dan Tuhan yang tahu itu.

Selain itu, pada halaman 84 novel ini, leluhur memakai istilah kapitalisme untuk menjelaskan aktivitas Allu yang turun ke jalan menyuarakan nasib rakyat, tapi sesekali dibayar. Bagaimana kita menalar hal itu? Apakah leluhur di puya membaca buku Das Kapital karangan Karl Marx? Mestinya, agar lebih proporsional, Oddang cukup mendeskripsikan saja aktivitas Allu yang setidaknya merujuk pada sikap politiknya yang benci kapitalisme ketimbang menggunakan istilah-istilah yang sebetulnya butuh penjelasan panjang lebar ini.

Orientalisasi Adat Toraja

Ketika sarjana maupun penulis Barat kolonial mempelajari, meneliti, hingga menulis tentang Timur, mereka membawa seperangkat persepsi yang diyakininya. Mereka memahami Timur melalui kacamata mereka sendiri. Persepsi yang bias budaya tersebut menghasilkan realitas tentang Timur yang dideskripsikan, bahkan dijustifikasi, secara berlebihan sebagai sosok yang eksotik, mistik, barbar, dan enigmatik ketimbang dipahami secara utuh.

Kemudian, seluruh citraan tentang Timur itu seolah dianggap objektif: Realitas Timur dianggap sebagai sesuatu yang terberi (given) atau esensial, yang lantas membenarkan bahwa mereka memang pantas untuk dijajah. Timur dilukiskan tidak sebagaimana adanya, tetapi disesuaikan dan dicocokkan dengan cara pandang atau kesadaran penulis kolonial itu. Dari situlah Timur mengalami proses orientalisasi lewat representasi yang hadir melalui jurnal akademik, buku, catatan perjalanan, bahkan novel. Demikian kurang-lebih Edward Said menggambarkan serangkaian proses orientalisasi yang membuat dunia Timur hadir di dan bagi Barat untuk mempertegas superioritasnya.[3]

Proses orientalisasi sebagaimana yang dinyatakan Said, juga tampak mengemuka dalam Puya ke Puya, terutama atas penggambarannya terhadap adat Rambu Solo Toraja. Kali ini bukan lagi Barat memandang Timur, tapi Timur memandang Timur dengan memakai kacamata yang menyerupai kacamata Barat. Rambu solo ialah upacara adat pemakaman mayat orang Toraja. Sebelum diupacarakan, mayat-mayat diandaikan masih sakit-sakitan. Arwah mereka tergantung di antara dunia dan puya. Baru setelah diupacarakan mayat-mayat itu dapat beranjak ke puya, mengendarai tedong bonga, kerbau-kerbau yang dipotong ketika prosesi rambu solo digelar. Bagaimanapun, adat rambu solo memainkan peranan signifikan sebagai salah satu “sumber konflik utama” dalam plot Puya ke Puya, di samping infiltrasi tambang nikel di Tongkonan Kesu’ Tana Toraja.[4]

Saya tidak akan membahas panjang-lebar hingga sampai ke ranah teknis adat rambu solo. Akan tetapi, saya mencoba membahas dua representasi tentang rambu solo yang cenderung dilebih-lebihkan dan berulang kali dipertegas lewat pencerita utama dan narator-naratornya. Representasi pertama, bantuan yang diberikan oleh keluarga atau kerabat dalam prosesi rambu solo dianggap sebagai utang:

“**Sebenarnya masih ada harapan mendapatkan bantuan kerabat. Saya rasa jika mereka pikir kami benar-benar kesusahan soal dana, mereka akan datang dengan bawaan ketika rambu solo telah berlangsung. Seperti yang biasa saya temui, ada yang membawa kerbau, membawa babi, atau bahkan membawa gula atau kopi saja. Dan itu akan tercatat sebagai utang keluarga. Dan justru lebih rugi di pihak keluarga saya karena saya pasti membayarnya di waktu yang akan datang, apa pun yang terjadi. Tentu saja harga-harga kerbau dan babu dan gula-kopi akan terus menanjak dari hari ke hari. Jadi jika saya berutang, artinya saya akan membayar jauh lebih banyak. Itulah yang saya tidak suka dari adat, dengan cara halus bahkan dianggap mulia oleh masyarakat, secara tidak langsung adat telah menanamkan praktik culas secara diam-diam. Saya sudah menyampaikan kepada Indo soal itu, tetapi kata Indo itu hanya wujud belasungkawa. Kalau belasungkawa kenapa harus jadi utang, Indo?” (Oddang, 2015, 132) **Suara Allu Ralla

Kesan tentang utang itu tidak akan begitu kuat jika hanya melalui Allu seorang diri, apalagi dengan karakternya yang hipokrit. Masalahnya, stereotip serupa juga bisa kita temui lewat suara Leluhur[5] dan Rante Ralla[6], yang pada akhirnya membuat suara Allu ini semakin otoritatif. Tokoh Allu, dengan demikian, ibarat corong sekaligus ujung tombak penulisnya, karena kritiknyalah yang paling lebar dan tajam terkait adat rambu solo di antara suara narator-naratornya lainnya.

Klaim ini cenderung dilebih-lebihkan dan diperparah lagi dengan pemilihan diksi “tercatat sebagai utang” yang seolah mengandaikan bahwa orang Toraja memiliki “kitab utang piutang” atau “buku besar utang rambu solo” yang harus dibayar, sebab jika tidak dibayar itu akan menjadi aib. Sementara itu, masyarakat Toraja ialah masyarakat yang berkiblat pada komunikasi lisan. Dalam proses gadai tanah pertanian, misalnya, banyak yang tidak membubuhkan perjanjian tertulis akibat rasa saling percaya di antara mereka (sangsiuluran). Maka, kalimat “tercatat sebagai utang” terkesan mengada-ada, juga mengandaikan kalau hidup masyarakat Toraja penuh pamrih.

Menurut informan saya, bantuan dalam proses rambu solo mirip dengan logika ketika kita memberikan sumbangan dalam pesta perkawinan teman, tidak ada paksaan untuk menyumbangkan kembali dengan jumlah yang setara. Kalaupun tidak dibalas, juga tidak ada masalah dan tidak menjadi aib, sebab itu bagian dari keikhlasan dalam membantu. Tak dapat dimungkiri, memang ada yang memberi bantuan untuk memperlihatkan gengsinya atau status sosialnya, tetapi tidak serta-merta bisa digeneralisasi.

Kedua, novel ini menggambarkan bahwa seolah tidak ada negosiasi dalam waktu pelaksanaan rambu solo. Setelah kematian Rante Ralla, rapat menentukan nasib pemakaman pun digelar. Allu berniat untuk tidak merambu solo ayahnya dan menguburkannya di Makassar sebab tidak ada biaya untuk mengadakan itu, ibunya memilih diam, sementara keluarga lain bersikeras: “Paman Marthen, Tante Mori, serta kerabat yang lain pulang dengan harapan yang masih tetap sama untuk menguburkan Ambe di Toraja, lewat upacara rambu solo, dengan sedikitnya 24 kerbau dan ratusan babi” (Oddang, 2015, 22). Rapat pun ditunda, tidak ada penyelesaian atas dua kubu yang bertentangan itu. Di sini, pencerita utama kembali memperkuat pandangan Allu:

“Jika tak ada rambu solo, wajah kerabat akan tercoreng. Gengsi keluarga Ralla akan jatuh mirip ranum yang menimpa bebatuan. Akan remuk harga diri mereka. Ya, akan remuk oleh tiga pertanyaan masyarakat:

  1. Wah, bangsawan kok
  2. Dasar mereka tak tahu berterima kasih kepada mayat kerabatnya.
  3. Keluarga itu memang malas bekerja sama cari uang, makanya tak ada upacara.” (Oddang, 2015, 33)

Deskripsi di atas menunjukkan Oddang menafikan fakta bahwa tidak ada paksaan untuk merambu solo keluarga yang meninggal secepatnya atau saat ini. Pelaksanaan itu bisa ditunda dan bergantung pada kesanggupan keluarga. Mayat dapat disimpan dulu di atas rumah hingga keluarga benar-benar mampu melaksanakan upacara. Tidak sekaku sebagaimana tampak dalam Puya ke Puya. Selain itu, terkait jumlah kerbau, Oddang juga tidak memberi penjelasan kenapa misalnya jumlah kerbau mesti 24? Jumlah ini tidak berlaku untuk semua tongkonan di Toraja. Dalam tongkonan Layuk, contohnya, jumlah 24 kerbau yang dipersembahkan untuk rambu solo karena mereka memang dinilai mampu untuk memenuhi itu semua dan dianggap memiliki peran untuk menyejahterakan masyarakat di sekitarnya. Tongkonan-tongkonan lain berjumlah lebih besar ataupun lebih sedikit, ini bergantung pada kesanggupan keluarga dalam tongkonan tersebut.

Penjelasan di atas tentu saja memungkinkan. Masalahnya, pencerita utama atau Leluhur tampak tidak memiliki fungsi paling tidak sebagai penetralisasi yang menyediakan argumen berbeda tentang rambu solo. Leluhur seakan menyesali adanya rambu solo, dan mengesampingkan fakta bahwa ia pun dapat tiba di puya karena rambu solo.

Argumen berbeda memang disampaikan lewat suara Rante Ralla, tapi hanya ala kadarnya:aluk tidak boleh kaku, itu kalau kau melihatnya dari kacamatamu. . .Jangan kau lihat dari satu mata saja. . .Coba kau lihat nilai yang selama ini kujaga. Kebersamaan, gotong royong, dan yang paling penting tanggung jawab. Ingat, tanggung jawab!” (Oddang, 2015, 5).

Bagaimana yang dimaksud Rante soal tanggung jawab, kebersamaan, gotong royong ataupun adat yang tidak boleh kaku itu sama sekali tidak terdeskripsikan dalam novel. Akibatnya, yang ada hanya satu cara pandang terkait rambu solo yang stereotipikal hingga mengabaikan kandungan intrinsik dari adat itu. Apa yang terjadi pada akhirnya ialah pseudokritik: adat rambu solo dijustifikasi ketimbang dipahami atau paling tidak digambarkan secara proporsional. Dalam hal ini, tampak ada jarak lebar antara pengarang dengan apa yang dituliskannya. Lebih dari itu, sebagaimana orientalisme Barat yang dikritik Said atas objektivikasinya terhadap Timur, pencerita utama memberi kesan bahwa apa yang dikisahkannya seolah-olah objektif dan netral, “Mula-mula, percayalah padaku. Semua yang kuceritakan ini benar adanya. Iya, benar. Pun jika berbohong, takkan ada untungnya buatku. Puang Matua bisa murka. Aku akan binasa dengan sekali hela napas. Makanya, aku bisa mempertanggungjawabkan semuanya” (Oddang, 2015, 82).

Dari Mitos Bangsawan Malas hingga Orang Kampung yang Polos

Semangat orientalis dalam novel ini makin kentara manakala Oddang merepresentasikan perilaku bangsawan Toraja. Rante Ralla sebagai bangsawan Toraja, direpresentasikan sebagai penjudi, pemabuk, hingga pemalas yang memfoya-foyakan uangnya. Akibatnya, ia tak mampu memberikan warisan kepada anak dan istri terutama untuk melakukan rambu solo dan malah menyisakan beban bagi keluarga. Oleh narator utama, sang Leluhur, representasi bangsawan Toraja digambarkan lebih jauh:

“Dulu ketika Toraja masih banyak tanah kosong. Ketika bangsawan masih berkuasa. Mereka sebebas-bebasnya bertindak. Tanpa takut hukum pemerintah. . .Yang mereka inginkan, mereka miliki. “Ini milik saya, segera tandai!” Itu perintah. . .hamba-hamba mereka akan mematok tanah itu. . .menandai keempat sisinya. Jadi seluas itulah tanah yang resmi dimiliki si bangsawan hari itu. Sangat mudah, bukan? Aku juga bangsawan. . .Namun, itu hanya bertahan beberapa tahun. Pemerintah Belanda datang. Merebak dan semakin gencar. Bahkan mematenkan nama Toraja dari kata to riaja. Kalau tidak salah ingat, tahun 1909. Sekitar tahun itu. Itu tak begitu penting. Jauh lebih penting bagaimana cara bangsawan memperoleh tanah. Mudah sekali. Hanya mengandalkan ujung telunjuk mereka. . .Pun keluarga Ralla, mereka punya banyak tanah. . .Kemudian dari hari ke hari tanah itu susut. Dibagi oleh anak cucu. Habis dijual karena rambu solo. Salah satunya yang masih bertahan ialah tanah milik Rante Ralla. Kau tahu, Rante Ralla itu orang yang sangat kaya. Dulu, kerbaunya ratusan. Tanahnya berpuluh hektar. . .Ia rajin menyumbang kerbau dan menjual tanah. Untuk disumbangkan ke warganya yang kurang mampu. Selain itu, hartanya menyusut karena judi dan minum-minum. Hanya tanah warisan itu yang dijaganya ketat.” (Oddang, 2015, 83-84)

“Seandainya semasa hidup dia rajin mengumpulkan uang, akan ada banyak warisan. Seandainya bekerja lebih keras, biaya rambu solo akan mudah, sehingga tidak perlu ada perpecahan.” (Oddang, 2015, 194)

Tidak jelas sama sekali hukum pemerintah apa dan siapa yang pengarang maksud untuk memberi justifikasi bahwa bangsawan Toraja bisa sebebasnya bertindak. Tetapi, tampaknya yang dimaksud ialah pemerintah kolonial Belanda, sebab pada rezim Sukarno, penduduk Toraja bertumbuh pesat dan semakin membesar pada dasawarsa 1960-an, hingga kurang tersedia lagi tanah garapan yang membuat orang Toraja mulai bermigrasi keluar.

Jika argumen saya ini benar, maka narasi novel Oddang mendukung penciptaan rust en orde pemerintah kolonial Belanda di Tana Toraja. Umpatan dalam kalimat “merebak dan gencar”, tanpa deskripsi yang memadai, membuktikan bahwa Oddang tidak menguasai benar lika-liku historis Tana Toraja.

Kedua, citraan tentang Rante Ralla yang boros ini juga dibenarkan oleh narator lainnya, Allu Ralla[7] dan Maria Ralla[8]. Deskripsi seperti ini, akhirnya, mirip dengan citraan kapitalisme kolonial yang merepresentasikan pribumi sebagai orang malas dalam rangka memobilisasi kerja kapitalisme kolonial. Premisnya, ketika mereka rajin bekerja, pemasukan bagi pemerintah kolonial akan semakin besar sekaligus membenarkan superioritasnya sebagai penjajah, seperti yang dipaparkan oleh Syed Husain Alatas dalam The Myth of Lazy Native.[9] Dengan demikian, kalau Oddang berkata bahwa karya ini hendak mengkritik kapitalisme, secara tidak sadar ia justru tercebur dalam pola pikir kapitalisme kolonial dalam menggambarkan bangsawan Toraja dan mereduksi realitasnya ke taraf perilaku, sembari mengabaikan struktur sosialnya.

Seluruh gambaran yang reduksionis itu, termasuk tentang adat Toraja[10], makin diperkeruh dengan minimnya konstruksi struktur ekonomi-politik dan sosiohistoris yang dilakukan Oddang dalam penulisan novel ini. Seperti, misalnya, bagaimana kolonialisme Belanda di Toraja mengeraskan feodalisme lewat politik asosiasi dengan menjadikan bangsawan Toraja sebagai kaki tangan pemerintah Belanda atau swapraja, juga memanfaatkan struktur terkecil seperti kepala desa untuk memungut pajak per kepala dengan gaji cukup besar (Bigalke, 1981, 190-191), yang boleh jadi menciptakan keistimewaan tersendiri dari profesinya. Di lain sisi, kolonialisme Belanda juga membawa cara berpikir modern ke Toraja, meski masih dalam kerangka modernitas yang diterjemahkan pemerintah Hindia Belanda ketika itu.

Di samping itu, sebelum 1965 ada upaya distribusi tanah secara merata di Toraja, sekitar 80 persen orang Toraja sepakat dengan gagasan komunisme. Akan tetapi, upaya itu bersamaan dengan gerakan DI/TII yang mencoba mengislamisasi Sulawesi Selatan lewat pemberontakan dan penjarahan. Lalu, ketika komunisme dibersihkan setelah 1965, feodalisme kembali menguat dengan didukung salah satu lembaga adat di Toraja yang berafiliasi dengan Golkar, dan pada gilirannya mendefinisikan adat sesuai kepentingan mereka (Tyson, 2010, 84). Akan tetapi, pada dasawarsa 1980-an hingga 1990-an, muncul upaya rekonsiliasi adat dan kehidupan modern di kalangan aktivis akar rumput Toraja, sekaligus mendefinisikan kembali adat dalam konteks demokrasi lokal, untuk melawan adat yang didefinisikan kelompok di atas dan juga Orde Baru. Maka, masyarakat kampung Toraja yang direpresentasikan polos terkesan agak berlebihan, apalagi dengan mengingat konteks novel ini mengambil latar waktu 20-30 tahun setelah upaya pendefinisian kembali adat tersebut.[11]

Absennya gambaran sosial, ekonomi, dan politik yang cukup memadai, pada gilirannya, membuat novel ini menghasilkan kesan esensialis terhadap bangsawan dan kebudayaan Toraja. Seakan-akan sikap boros, pemalas, penjudi, dan pemabuk bangsawan Toraja, hingga polosnya orang kampung sudah menubuh (embodied) dan alamiah, bukan sebagai sesuatu yang dilekatkan (embedded).

Imaji Oddang tentang masyarakat Toraja akan menarik bila dibandingkan dengan gambaran masyarakat Bone dalam roman Sang Jenderal karya H.J. Friedericy. Perbandingan ini setidaknya berguna untuk melihat bagaimana agresi cara pandang kolonial terhadap bangsawan lokal. Berikut penjabaran Friedericy, mendeskripsikan sosok I Mappa dan masyarakat Bone:

Pelajaran yang seumur hidup tidak akan ia lupakan ialah bahwa sebagai bangsawan Bugis ada berbagai cara untuk menguntungkan diri sendiri, namun cara yang paling aman dan cepat ialah memeras rakyat kecil. Dan ketika untuk pertama kali, menjelang panen padi, ia pulang ke Bontorihu, baginya sudah pasti bahwa rakyat itulah yang harus memungkinkan baginya menyelami kehidupan istana Bone. Bulan-bulan pertama ia merasa miskin dan karena itu amat malu. . . Dan kendatipun rakyat menyerahkan sebisa mungkin, banyak petani yang kehilangan ternak dan tanah mereka karena setoran kurang dari taksiran. (Friedericy, 1991, 127-128)

Tetapi yang banyak meludeskan uangnya ialah perjudian dan pertaruhan. . .Ia bertaruh pada waktu mengadu ayamnya sendiri dalam gelanggang dan ia tidak kenal berhenti. Semakin hari meningkat menjadi siang, taruhannya semakin besar dan nekat, dan semua pengetahuannya tentang ayam sabungan—yang cukup ia miliki—seperti meninggalkannya. (Friedericy, 1991, 130-131)

Citraan tentang bangsawan yang korup dan masyarakat Bone yang polos itu pada akhirnya membenarkan justifikasi bahwa Belandalah yang pantas menjajah dan lalu memimpin rakyat Bone. Karya ini memiliki genesis sosial dengan penaklukan Bone pada 1906 oleh Belanda atau lebih dikenal dengan Celebes Expedition 1905-1906. Friedericy adalah seorang Indolog Belanda yang bertugas di Sulawesi Selatan. Novel ini diterbitkan di puncak kariernya saat menjabat sebagai penasihat politik kementerian urusan luar negeri Hindia Belanda, setelah berhasil memperoleh gelar doktor atas studinya tentang struktur sosial masyarakat Bugis dan Makassar.[12] Bagi Friedericy, Sulawesi Selatan, khususnya Bone, adalah kariernya, atau lebih tepatnya ia menjadikan “east as career”, seperti yang digugat Edward Said atas praktik para orientalis dalam Orientalism.

Stereotip tentang Yang Asing

Seperti yang telah saya paparkan di muka, pengarang Puya ke Puya tidak melakukan oposisi biner antara tokoh asing (Barat) maupun lokal (Timur). Keduanya diposisikan sama buruknya. Dua tokoh yang berasal dari luar Toraja memegang peran penting dalam menciptakan konflik di novel ini. Pak Soso sebagai pemilik tambang nikel dan Mr. Berth seorang bule asing yang tidak dijelaskan dari mana asal-usulnya. Mereka berdualah bersama Pak Desa yang melakukan pembunuhan terhadap Rante Ralla, agar dapat mengincar tanah tongkonan miliknya. Akan tetapi, untuk keperluan argumentasi saya yang berkiblat pada kritik pascakolonialisme, hanya Mr. Berth yang akan dibahas, sebagai representasi Barat.

Mr. Berth adalah seorang homoseksual. Ia pula yang membunuh Bumi Tandiongan, dengan cara sodomi terhadap bayi itu. Selain itu, ia juga melakukan hubungan homoseksual dengan ayah Bumi, anak buahnya di perusahaan tambang:

“Mr. Berth, bos ayah Bumi, mister itu yang aku lihat. Yang buat aku geli juga tambah sedih ingat bumi karena kulihat hmm. . .aku malu bilang. . .Mister itu buka celananya, ayah Bumi juga, geli melihatnya. . .tempat kencing Mister itu masuk ke pantat ayah Bumi. Mereka lama-lama seperti capek, kemudian ayah Bumi dicium Mister itu.” (Oddang, 2015, 79)

Adegan ini adalah yang paling krusial, sebab bukan hanya diucapkan oleh seorang mayat Maria Ralla, tapi juga dipertegas oleh leluhur di puya hingga membuat mereka murka dan berniat menghancurkan Kampung Kete’.[13]

Seperti yang kita ketahui, kini, stereotip tentang homoseksualitas marak diperbincangkan di Indonesia. Bahkan tidak sedikit yang berpendapat bahwa tidak ada tempat bagi mereka di negeri ini. Ada pula yang memandang homoseksualitas sebagai serangan dari budaya Barat.[14] Maka, secara tidak langsung gambaran Oddang tentang praktik homoseksualitas Mr. Berth, sebagai representasi Barat, memperkuat stereotip serupa. Apalagi tidak ada versi orang asing lain yang dihadirkan dalam novel ini.

Kesan seperti itu setidaknya bisa kita temukan dalam salah satu pembaca novel Puya ke Puya yang fokus memotret homoseksualitas dan bahkan melanjutkan argumen novel ini bahwasanya di surga pun tiada tempat bagi kaum LGBT. Berikut ulasannya:

Andaikan di dunia setelah kematian nanti, pilihan hidup para homoseksual tetap dipandang sebelah mata, alangkah kecewanya aktivis LGBT seluruh dunia. Di dunia nyata saja, narasi besar masyarakat yang diskriminatif terhadap LGBT belum juga bisa didobrak. Bagaimana bila di dunia arwah nanti LGBT masih terdiskriminasi? Rasanya kaum LGBT perlu mengulang pertanyaan yang Faisal sebut beberapa kali dalam Puya ke Puya: “Kenapa surga diciptakan?”[15]

Apa yang mengemuka kemudian ialah bahwa yang asing itu selamanya membawa dampak buruk bagi masyarakat Toraja.

Bumi Toraja yang Berantakan dan Mitos Mesianis

Pada ujungnya, plot utama novel ini hendak mengisahkan bagaimana kelakuan barbar manusia-manusia di bumi yang saling memangsa satu sama lain. Menjelang akhir cerita, kubu tambang (Barat) dan kubu adat saling terlibat perang dan mengobarkan dendam masing-masing.[16] Pesan moral dari novel ini, sebagaimana penjelasan pencerita utama, ialah agar manusia tidak lagi mengulangi kesalahan seperti yang diperbuat manusia di masa lalu maupun seperti perseteruan antara kedua kubu di atas itu:

Telah kembali masa Kerajaan Ikan. Ketika ikan yang besar memakan ikan yang kecil. Ikan kecil berupaya menipu ikan besar. Seperti manusia-manusia di bumi. . .Kau juga belum tahu sampai saat ini. Bahkan sampai mulutku berbusa. Iya, berbusa mengisahkan kelakuan manusia-manusia. Yang dulu masih hidup itu.” (Oddang, 2015, 209-210)

Nasihat Leluhur kepada pendengarnya ini tidak lain adalah reproduksi mitos mesianis di masyarakat Sulawesi Selatan, dalam hal ini tomanurung.

Mitos itu mengandaikan bahwa sebelum tomanurung turun ke bumi, bumi berada pada situasi kacau-balau, mirip dengan alegori ikan yang diutarakan di atas, atau sianre bale (ikan-ikan yang saling memakan). Lalu, ketika tomanurung datang ke bumi, seluruh kekacauan segera teratasi. Serupa sosok ratu adil, titisan sang dewa. Tetapi, dalam novel ini, Oddang tidak menghadirkan sosok ratu adil tersebut, sebaliknya ia menggambarkan kondisi serupa sebelum turunnya tomanurung ke bumi.

Di akhir cerita seluruh kekacauan di bumi Toraja[17] justru diselesaikan oleh leluhur, dan parahnya tanpa deskripsi yang jelas sama sekali:

Dan soal kampung kalian yang hangus itu, biarkan menjadi tanggung jawab kami. Leluhur tengah menyucikannya. Yang jelas tidak ada lagi asap mengepul. Tidak ada lagi teriakan kesakitan. Tidak ada lagi tangisan kehilangan. Tidak ada lagi suara tembakan. Tidak ada lagi perang. (Oddang, 2015, 211)

Mitos tomanurung itu, pada gilirannya, sebagaimana juga yang direproduksi oleh novel ini, mengandaikan bahwa masyarakat Toraja tidak mampu mengatur dan menyelesaikan sendiri masalahnya. Pengandaian yang mirip dengan deskripsi H.J. Friedericy dalam Sang Jenderal tentang masyarakat Bone. Gambaran itu diperparah mengingat konteks novel ini adalah pada dasawarsa 2010. Itu artinya, Oddang mengimajinasikan tentang kepunahan bangsa Toraja di era modern sebab jika benar situasi kacau itu terus berlangsung, pastinya orang Toraja telah punah akibat perang yang tak kunjung mampu diselesaikan. Kesan alegoris seperti itulah yang muncul di novel ini, dengan membunuh seluruh tokohnya pada akhir cerita. Sungguh sangat disayangkan, pengarangnya hendak melakukan kritik terhadap adat dan tradisi Toraja, tapi di sisi lain mereproduksi mitos tomanurung sebagai kepercayaan mesianik yang pernah atau masih dipercayai sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan.

Dari kacamata pascakolonial, mitos tomanurung memiliki korelasi positif dengan misi pemberadaban kolonial. Keduanya sama-sama mengandaikan bahwa dunia (dalam mitos tomanurung), dan tanah jajahan itu sangat kacau-balau sehingga membutuhkan sosok ratu adil atau pemberadab. Ada dua hal yang menjadi kecurigaan terkait hal itu. Pertama, pihak kolonial membonceng ingatan kolektif atas tomanurung sebagai pihak luar yang menjadi penyelamat ketika kekacauan internal melanda Sulawesi Selatan. Kedua, kisah tomanurung mungkin saja hasil rekayasa narasi kolonial.[18]

Terlepas dari itu, Oddang untuk kesekian kali mengabaikan fakta bahwa masyarakat Toraja punya mekanisme penyelesaian konflik yang dialogis dan partisipatif di antara mereka, meminjam ungkapan terkenalnya “misa’ kada dipatuo pantan kada dipomate” (“satu pendirian menyelamatkan, masing-masing pendirian meruntuhkan”). Ada mekanisme penyelesaian konflik di ranah formal yaitu kombongan, seperti mekanisme musyawarah dialogis dengan tarafnya masing-masing, dari yang skala kecil sampai besar, bukan melulu dengan parang[19] atau perang sebagaimana gambaran dalam novel ini. Pada sisi non-formal, ada mekanisme penyelesaian konflik seperti sabung kerbau, sabung ayam, atau lewat meja domino sambil minum ballo, tuak khas Toraja. Dalam banyak hal, masih menurut informan saya, orang Toraja lebih memilih menyelesaikan konflik dengan mengadu binatang ketimbang saling baku parang. Celakanya, dalam Puya ke Puya, ballo dan sabung kerbau atau ayam melulu dipandang sebagai pemicu konflik.[20]

Sebagai pengganti dari sosok ratu adil atau tomanurung, Oddang mengajak kita untuk menemukan jawaban atas pertanyaan “kenapa surga diciptakan?” (Oddang, 2015, 211). Dalam kaitannya dengan plot novel, jawaban dari pertanyaan ini bisa diterka dengan mudah. Jika tidak ada surga, maka tak akan ada prosesi adat rambu solo Toraja yang dinilai oleh narasi novel ini sebagai tindakan yang menghabiskan uang, menyisakan beban, dan memicu konflik. Akan tetapi, kalau kita tarik lebih jauh, pertanyaan ini justru akan mengeraskan politik identitas dan memperbesar peluang konflik akibat penafsiran masing-masing yang tak akan ada ujungnya itu, yang malah bertolak belakang dengan ungkapan kekerabatan orang Toraja seperti yang dibahas di atas. Apalagi kalau sudah menyangkut identitas agama, ketika dapat dikatakan bahwa pengertian surga pada pemeluk keyakinan tertentu tentulah berbeda-beda.

Kolonialisme memilih mendatangkan sosok pemberadab yang berpikir modern, tetapi masih dalam kerangka kerja pemerintah kolonial untuk menghadapi kekacauan di tanah jajahannya dan mengubahnya agar lebih produktif menjalankan roda kapitalisme. Sementara itu, Puya ke Puya, selain mereproduksi cara pandang kolonial dalam memandang adat dan masyarakat Toraja dan memberi kesan stereotipikal pada figur asing, rupanya lebih memilih cara pandang pramodernis dan teosentris lewat pertanyaan “kenapa surga diciptakan?” yang sama sekali absen dari ihwal konkret untuk menjawab masalah kekacauan yang terjadi di bumi Toraja dalam novel ini. Begitulah akhirnya.

Kepustakaan

Alatas, Syed Hussein. The Myth of Lazy Native. London: Frank Cass and Company.

Bigalke, Terance. 1981. Sosial History of “Tana Toraja” 1870-1965. PhD Dissertation. University of Wisconsin-Madison, 1977.

Friedericy, H.J. Sang Jenderal. Jakarta: Penerbit Grafiti, 1991.

Mappatang, Nasrullah. “Kisah Tomanurung dan Pendakuan Kolonial”, dalam rubrik Literasi Koran Tempo Makassar edisi 9 Oktober 2015.

Nasrullah. Wacana Kolonial dalam Roman H.J Friedericy: Sang Jenderal dan Sang Penasihat. Master Tesis. Universitas Gadjah Mada, 2015.

Oddang, Faisal. Puya ke Puya. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2015.

Said, Edward. Orientalism. New York: Vintage Books, 1979.

Suryajaya, Martin. “Antara Pascamodernitas dan Pramodernitas: Telaah Intrinsik atas Novel Bilangan Fu”, dalam Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 2013.

Tyson, Adams. Decentralization and Adat Revivalism in Indonesia: The Politics of Becoming Indigenous. New York: Routledge, 2010.

Zamzami, Irfan. “Polarisasi Barat dan Timur dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori, Sebuah Perspektif Poskolonialisme”, dalam Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 2013.

 

Penulis berterima kasih kepada Gusti Tandiongan dan Susia Kartika Imanuella yang telah memberikan sejumlah pengetahuan tentang budaya Toraja.

 

[1] Martin Suryajaya, “Antara Pascamodernitas dan pramodernitas: Telaah Intrinsik atas Novel Bilangan Fu”, dalam Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Kritik Sastra DKJ 2013, 1-26. Selanjutnya disebut Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi.

[2] Irfan Zamzami, “Polarisasi Barat dan Timur dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori: Sebuah Perspektif Poskolonialisme, dalam Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi, 61-82.

[3] “As a judge of the Orient, the modern Orientalist does not, as he believes and even says, stand apart from it objectively. His human detachment, whose sign is the absence of sympathy covered by professional knowledge, is weighted heavily with all the orthodox attitudes, perspectives, and moods of Orientalism that I have been describing. His Orient is not the Orient as it is, but the Orient as it has been Orientalized.” (Said, 1978, 104) Sebab: “brought the orient into Western learning, Western consciousness, and later, Western empire.” (Said, 1978, 202-203)

[4]Seperti yang dinyatakan pengarangnya, novel ini ia tulis atas kebenciannya terhadap adat dan kapitalisme: “Novel Puya ke Puya sebenarnya berisi tentang sesuatu yang tidak disukai oleh Faisal Oddang, yaitu adat dan kapitalisme yang diramu dengan bumbu cinta.” “Saya menulis sebagai bentuk kritikan saya terhadap sesuatu yang saya tidak sukai,” tambahnya. http://makassar.tribunnews.com/2015/11/03/faisal-oddang-berbagi-kisah-penyusunan-novel-puya-ke-puya diakses pada 21 November 2016.

[5] Suara Leluhur: “Tentulah rambu solo akan menjadi tanggungan Allu. Dan tanggungan to balu, janda yang ditinggalkannya. Kalaupun ada kerabat yang menyumbang, babi atau kerbau, atau gula, kopi, beras, dan yang paling sederhana, tenaga, semua itu menjadi utang. Tidak membayarnya adalah borok yang menjadi aib bagi si pemilik utang.” (Oddang, 2015, 16)

[6] Suara Rante Ralla: “Kerbau bertambah lantaran kerabat jauhku yang datang ikut menyumbang. Ada yang membayar utang, karena semasa hidup aku pernah menyumbang untuknya. Ada juga yang memberi utang yang menuntut dibayar oleh Allu ketika mereka meninggal kelak.” (Oddang, 2015, 172)

[7] “Saya tidak ingin menyalahkan kebiasaan berjudi dan mabuk-mabukan Ambe. Semua itu wajar sebenarnya, dan wajar pula jika harta warisan dari Kakek cepat ia habiskan. Dan saya, Indo, dan kehidupan kami selanjutnya hanya mewarisi sisanya.” (Oddang, 2015, 17)

[8] “Tapi ibu pohon juga bilang, Ambe menyisakan beban buat keluargaku. Terutama buat kakakku, Allu Ralla. (Oddang, 2015, 12)

[9]In its historical empirical manifestation the colonial ideology utilized the idea of the lazy native to justify compulsion and unjust practices in the mobilization of labour in the colonies. It portrayed a negative image of the natives and their society to justify and rationalize European conquest and domination of the area. It distorted elements of social and human reality to ensure a comfortable construction of the ideology.” (Alatas, 1977, 2)

[10] Dalam salah satu adegan, Rante Ralla mendeskripsikan kenapa Allu membenci adat: “Pembunuhan! Korupsi. Pemerkosaan. Semua kejahatan di kota jauh lebih baik daripada kejahatan masyarakat tradisional. Kejahatan yang bersembunyi di balik topeng bernama adat. Hingga kejahatan tidak disebut lagi kejahatan. Kejahatan disebut tradisi” (Oddang, 2015,106). Sekali lagi, pengarangnya cenderung melihat tradisi dan adat itu sebagai sesuatu yang memang ada dari sananya, bukan sebagai sesuatu yang dikonstruksi. Seolah adat itu tidak berubah dan memang sudah begitu.

[11] Sebagaimana yang dipaparkan pencerita utama: “Keramaian itu bermula beberapa tahun lalu. Awal 2010. Mulanya orang-orang dikumpulkan oleh Kepala Desa. Ada penyuluhan tentang sumber daya alam. Semuanya harus datang! Mendengar kata harus, kau tahulah pasti. Bagaimana takutnya orang kampung melanggar perintah. Bergerombol mereka datang ke kantor desa. Kursi-kursi dijejer semua. Tetapi masih ada juga pantat yang tak mendapatkan tempatnya. Mereka, orang-orang kampung itu mengangguk-angguk. Mirip tekukur mengantuk.” (Oddang, 2015, 6-7)

[12] Suhartono Nasrullah, “Wacana Kolonial dalam Roman H.J Friedericy: Sang Jenderal dan Sang Penasihat”, tesis. Universitas Gadjah Mada, 2015, 125-126.

[13] “Mengingat sejarah itulah tiba-tiba seorang leluhur berencana menghancurkan Kampung Kete’. Berlebihan memang jika usul itu keluar hanya karena ulah Allu. Leluhur kemudian menambahkan bahwa bukan cuma itu kesalahan manusia. Bayangkan! Iya, bayangkan perzinahan di kampung itu tidak lagi perempuan dengan lelaki. Tetapi lelaki dengan lelaki, begitu jelasnya” (Oddang, 2015, 166)

[14] “LGBT: Bagian dari Serangan Budaya Barat” http://hizbut-tahrir.or.id/2016/02/19/lgbt-bagian-dari-serangan-budaya-barat/ dari Al-Islam edisi 794. Diakses pada 23 September 2016. Jika tidak dapat diakses dalam jaringan koneksi biasa, sertakan tautan pada wayback machine Archive.org.

[15] “(Resensi) Homoseksual Di Mata Arwah” http://www.suarakita.org/2016/01/resensi-buku-puya-ke-puya/ Diakses pada tanggal 23 September 2016.

[16] “Ada kabar serangan balasan. Warga kampung Kete’ tak mau lengah. Mereka bersiap menyambut orang-orang tambang itu. . .sorai warga terdengar riuh. Mereka sangat bersemangat. Benda-benda tajam terselip di pinggang. Atau dibiarkan saja tergeletak di sisi mereka. Mereka tengah meminum ballo.” (Oddang, 2015, 205)

[17] Saya menggunakan sebutan bumi Toraja sebab di alam inilah persisnya kekacauan atau khaos di novel ini berlangsung. Bumi Toraja bukan hanya merujuk pada orang Toraja saja, melainkan juga orang di luar Toraja yang tinggal, hidup, ataupun bekerja di sana, seperti tokoh Pak Soso dan Mr. Berth.

[18] Nasrullah. 2015. Kisah Tomanurung dan Pendakuan Kolonial, dalam rubrik Literasi Koran Tempo Makassar, 9 Oktober 2015.

[19]“Marthen Ralla kalap. Untung ada yang menangkap tangannya. Parangnya tak jadi menebas. Kepala Allu Ralla tidak jadi lepas.” (Oddang, 2015, 8)

[20]“Leba datang membawa ballo. Saya tahu akan ada masalah besar yang timbul. Ketika kami mabuk, saya yakin emosi kami tidak akan stabil dan bisa jadi orang-orang tambang akan kami murkai. . .Dengan dada gegap kami terus menunggu orang-orang tambang; parang dan balok sudah siap. Kerabat yang lain—apalagi anak yang muda-muda sudah dipengaruhi ballo. Mereka mulai tidak stabil dan mudah mengumpat. Babi, anjing, puki, kontol, asu dan semua umpatan mereka keluarkan tanpa beban ke orang-orang tambang” (Oddang, 2015, 178)

Esai19 Agustus 2021

Harry Isra M.


Harry Isra Muhammad adalah peneliti di Jalur Timur, platform kerja kolaborasi yang berfokus pada pengkajian, penelitian, publikasi, residensi, dan pengarsipan budaya di Indonesia Timur. Ia menyelesaikan studi Sastra Inggris di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin, Makassar, dan melanjutkan pendidikan master di Goldsmiths, University of London, dengan konsentrasi Kajian Budaya pada tahun 2019. Selama tahun 2014-2016, ia aktif menulis di kolom Literasi, Koran Tempo, Makassar. Sejak kuliah bekerja sebagai penerjemah dan pengajar lepas bahasa Inggris. Sejumlah publikasi di mana ia terlibat sebagai editor pendamping, antara lain: Lontara’ Duri – Asal Usul Kerajaan Tallu Batu Papan (Syukur Foundation, 2021).