Dokumentasi Kenangan
Bocah dan Petuah

Kanak-kanak dengan spontanitas, kejujuran dan kemurnian, serta kualitas-kualitas mereka lainnya yang fitri banyak menarik perhatian penyair. Banyak penyair merasa menemukan diri mereka dalam diri kanak-kanak dan mendapat ilham untuk puisi mereka dari dunia kanak-kanak.

(Hartojo Andangdjaja, 1973)

Untuk dapat memahami puisi, orang harus “mengenakan” jiwa anak kecil, sebagaimana orang mengenakan baju sihir, dan menerima kearifan anak kecil dengan mengesampingkan kearifan orang dewasa.

(Johan Huizinga, 1990)

 

Masa kecil berlalu, tapi kenangan bisa dituliskan menjadi puisi. Dokumentasi kenangan-kenangan itu tidak dibiarkan tanpa muatan makna: lama dan baru. Masa bermain saat bocah selalu mengandung pengertian diri, teman, benda, peristiwa, tempat, waktu, dan bahasa. Pada saat bermain, bocah mungkin tidak ingin menumpuk arti. Permainan itu girang, bukan berfilsafat atau berpikir rumit. Bermain memerlukan keberserahan untuk sampai hiburan atau dampak ikutan gampang diramalkan: perkelahian, airmata, kecewa, lelah, mutung, dan malu.

Aziz Manna dengan buku puisi berjudul Playon (2016) melakukan pameran masa lalu dengan julukan dokumentasi kenangan dan pamrih berpetuah. Bocah dalam pelbagai permainan ditulis dalam puisi agar terbedakan peran dan makna. Keberlaluan waktu memungkinkan Aziz Manna “menunggangi” permainan bocah dengan petuah-petuah. Bermain dan permainan terjadi pada masa lalu. Jarak tahun-tahun dan mahir kebahasaan menjadikan permainan bukan melulu kenangan, tapi dalih menaruh petuah demi petuah.

Pelbagai jenis permainan bocah ditulis dalam kesadaran bentuk puisi modern. Penggunaan bahasa Jawa dalam puisi ingin mengesankan keberakaran sosial-kultural. Permainan-permainan bocah berlangsung di Jawa, meski tidak semua ditampilkan dalam buku puisi ini adalah permainan tradisional Jawa. Puisi-puisi bukan disuguhkan kepada pembaca bocah, melainkan mengundang pembaca “mengalami” bocah atau melihat dari perbedaan waktu dan tempat.

Permainan dilakoni sendiri atau secara bersama-sama ditulis dengan pengembalian imajinasi “keluguan”, kendati lantas lekas ditumpuki kata-kata berlimpahan petuah. Pilihan itu menghindari “peluguan” dalam puisi-puisi berimajinasi bocah seperti gubahan Sapardi Djoko Damono, Sindhunata, dan Joko Pinurbo. Tiga pujangga ini sering menulis puisi berbahasa dan berimajinasi bocah.

Aziz Manna tampil belakangan, ia tidak ingin jadi peniru atau pengikut. Penempuhan jalan berbeda malah mempercepat si penggubah puisi berlaku sebagai orang tua bijak meski belum setua Sapardi Djoko Damono, Sindhunata, dan Joko Pinurbo. Kita awali dengan puisi berjudul “Jumpritan”, puisi berpetunjuk-deskriptif dan berpetuah.

bonda-bendi sing ketiban dadi. dia yang telah ditunjuk mengincim
kami. mengejar ke mana pun pergi, membuat pemeluk jadi
pencari. petualang jadi pelarian. sing dadi tungguk epuk, beluk.
suara-suara dari persembunyian: peringatan sekaligus olok-
olokan. menggerakkan yang berhenti. menghentikan yang
bergerak. kami yang lengah dan menyerah jadi santapan setan
selebihnya tawanan.

Jumpritan adalah permainan bersama menggunakan tiang atau cagak atau tugu. Seorang bocah menjadi penunggu tiang. Bocah-bocah lain dikejar oleh si penunggu tiang sampai kena atau terpegang. Kena menandakan si bocah kalah. Bocah dianggap aman jika sanggup memegang tiang tanpa terpegang si penunggu tiang. Permainan sering berlangsung di kampung dan desa. Kita tidak sedang mengurusi tata cara permainan, tapi pamrih menjadikan jumpritan sebagai sandaran berpetuah. Semula, Aziz Manna memberi petunjuk permainan: urut dan gamblang. Pembaca mendapat pemberitahuan agar tidak bingung membaca larik awal sampai akhir.

Petunjuk mampu mengantar pembaca ke imajinasi permainan itu berlangsung. Imajinasi ke peristiwa. Permainan perlahan dibahasakan menjadi renungan. Bocah sebagai pelaku terhenti di larik-larik mengenai masa lalu. Lanjutan dan sela adalah milik Aziz Manna untuk memberi arti, setelah peristiwa berlalu. Jumpritan lekas melampaui girang bocah, berubah menjadi filsafat.

Aziz Manna berpetuah tentang bocah sebagai manusia dalam posisi tidak tentu. Si pemeluk tiang berubah menjadi “pencari” manusia-manusia lain, bertujuan agar kalah. Bocah-bocah ingin memegang tiang tanpa terpegang oleh tangan si penunggu tiang berarti “pelarian”. Sebutan awal sebagai petualang bermaksud memiliki hak dan otoritas bergerak dan bergerak, tidak “terkutuk” jadi penunggu. Penggantian sebutan menjadi “pelarian” seperti pelepasan dari permainan. Si penulis puisi telah berurusan dengan posisi manusia dalam menjalani hidup. Pengukuhan berpetuah filsafat semakin terasa dalam pembahasaan: menggerakkan yang berhenti, menghentikan yang/ bergerak. Aziz Manna mungkin mengenang, tapi ia cenderung memamerkan faedah atau konklusi filosofis permainan, bukan menuruti pengalaman tubuh dan pemikiran bocah.

Kita sejenak mundur ke masa lalu. Pada 1941, buku berjudul Dolanan susunan F.H.A. Claessen diterbitkan Balai Poestaka. Buku ini ditujukan untuk pengajaran murid-murid sekolah. Buku diterjemahkan dalam bahasa Jawa oleh M. Sadarjoen dan S. Sastrosoewignja. Puluhan dolanan berasal dari Jawa. Claessen menjelaskan dolanan berguna untuk sosialisasi diri, ekspresi, dan memaknai waktu senggang. Dolanan memengaruhi misi pendidikan-pengajaran: karakter, seni, olahraga dan bahasa. Dolanan cenderung mengutamakan gerak, lagu, dan tuturan lisan. Dolanan itu rekreatif. Di mata guru, dolanan diinginkan mengandung dampak pendidikan-pengajaran. Aziz Manna pun mirip guru, tapi tampak bergerak jauh, menjadikan dolanan atau permainan bocah dalam pendasaran petuah-petuah bijak berlagak filosofis.

Barangkali si penggubah puisi memihak ke pemikiran Johan Huizinga dalam buku Homo Ludens: Fungsi dan Hakekat Permainan dalam Budaya (1990). Peradaban lahir dan bertumbuh melalui permainan. Johan Huizinga mengartikan permainan sebagai mekanisme mencari-menemukan makna. Permainan memungkinkan manusia merealisasikan hasrat demi mengolah makna hidup. Permainan menempati peran penting dalam tata hidup: dari religi sampai politik, dari sakral ke profan. Sindhunata dalam buku berjudul Ilir-Ilir (2012) menambahkan penjelasan bahwa permainan membuat orang berada dalam peristiwa mentransendensikan diri, tidak melulu menuruti tuntutan-tuntutan formal hidup. Hakikat permainan bukan mengejar sesuatu dengan sebutan target. Kita pun berhak memahami jumpritan menjadi contoh pengalihan pengalaman bocah bermain meninggi ke olahan makna manusia dan hidup.

Kita melanjutkan ke puisi berjudul “Bendan”, permainan bersama untuk meraih menang dan menghindari malu. Puisi agak berbeda dari petunjuk urut secara deskriptif dalam “Jumpritan”. Aziz Manna terasa ada di tempat permainan, memberi arahan langsung pada bocah-bocah. Hadir bersama itu bermaksud mendekatkan atau memberi dampak petuah paling mengena.

lemparkan gacomu. angkat satu kaki dan lompat. ingat,
pemenang tak ditentukan di puncak atau di akhir permainan.
jitu dan seimbang adalah kunci. putaran penentu segalanya
dan seberapa banyak benteng yang terbentuk dari garis dan
kereweng. mengembalikan lompatan pada jalan pada langkah
pada ayun tanpa gerak.

Konklusi sudah diberikan bercap peringatan:

Ingat,
pemenang tak ditentukan di puncak atau di akhir permainan.
jitu dan seimbang adalah kunci.

Semula, pembaca mengandaikan si penggubah puisi hadir bersama bocah-bocah dalam permainan. Pemberian peringatan justru mengandaikan pembaca berada di ruang seminar. Permainan digunakan dalam mengesahkan kata-kata bijak disambut tepuk tangan dan seruan “luar biasa.” Aziz Manna terlalu cepat berubah posisi, sebelum pembaca menikmati imajinasi atau mengalami permainan bernama bendan.

Puisi sengaja ditumpangi petuah atau pemberian kata-kata bijak. Aziz Manna tidak hendak berlaku menjadi bocah dalam gubahan puisi. Ia bertindak sebagai pengamat atau pemilik kenangan masa kecil. Pemahaman tentang permainan agak terabaikan dan justru dengan lekas mengajukan definisi dan konklusi. Puisi hadir memang bukan dalam misi pendidikan-pengajaran di sekolah. Puisi-puisi dituliskan untuk mengingat ada permainan bocah dan keberlimpahan petuah. Kesengajaan terbukti dengan peniadaan foto atau gambar permainan (dolanan) di halaman-halaman buku Playon.

Drijarkara (1969) menjelaskan bahwa “Inti permainan ialah (penikmatan) kebebasan karena dan dalam pembebasan.” Penikmatan direalisasikan dalam bentuk membebaskan diri dari pamrih-pamrih di luar permainan. Penjelasan Drijarkara tidak wajib tergunakan dalam membaca puisi-puisi gubahan Aziz Manna. Kita mengingat saja sejenak untuk tetap berikhtiar mengetahui kecenderungan untuk menceritakan permainan bocah menuju tumpukan petuah. Pamrih terberikan setelah berlalu dari mengalami atau melihat permainan. Aziz Manna menjadi “peneliti” dolanan dan mencari dalil-dalil dalam memamerkan petuah.

Peran Aziz Manna agak berbeda dari Sapardi Djoko Damono (1999) selaku penggubah puisi-puisi bercerita dengan referensi bocah. Sapardi Djoko Damono sering mendapatkan ide-ide menggubah puisi dari masa bocah, masa sudah terlewati: “Ternyata, kemudian, masa kecil yang sama sekali tidak istimewa itu menjadi sumber bagi sebagian puisi saya. Setidaknya bisa dikatakan bahwa beberapa sajak yang saya sukai mengingatkan saya pada masa kecil.” Sapardi Djoko Damono ingin kenaifan atau keluguan bocah terungkap dalam lirik-lirik bersahaja, tidak mau lekas berakhir menjadi petuah bijak atau filsafat muluk. Puisi bereferensi masa kecil menjadi sejenis nostalgia dan permainan estetika.

Ketekunan Sapardi Djoko Damono bersambung ke Joko Pinurbo. Sekian puisi mengungkapkan dunia bocah dengan diksi-diksi sederhana, tak mengadakan seruan moral atau menukik ke filsafat hidup. Puisi kenangan masa kecil ingin tersaji lugu dan memungkinkan pembaca turut mengalami. Kita ajukan puisi “Teringat Masa Kecil Saat Bermain Bola di Bawah Purnama” (2007) gubahan Joko Pinurbo. Judul sudah bersumber dari kenangan masa kecil, dokumentasi termaknai pada jarak waktu berjauhan.

Seperti bola pingpong memantul-mantul
Di atas kening, bergulir pelan ke tebing tidurku
Yang hening, melenting, menggelinding. . .

Pada masa berbeda, Aziz Manna turut mengungkapkan dunia bocah secara serial dalam Playon.

Puisi demi puisi tentang permainan bocah terus dimunculkan dan dibarengi pengungkapan biografi manusia kalah, kecewa, salah, gembira, takut, luka, dan menang. Permainan kadang tampil melalui petunjuk atau deskripsi. Permainan pun bisa cuma ingatan sekejap pada judul atau penulisan di larik-larik awal, gampang ditinggalkan demi pengungkapan biografi dan petuah-petuah lanjutan. Aziz Manna enggan memberi cerita dan peristiwa permainan.

Puisi berjudul “Petak Umpet” berbeda dari kesanggupan memamerkan penjelasan deskriptif dan petunjuk seperti dalam puisi-puisi awal. Aziz Manna gampang saja menjadikan permainan petak umpet sekadar judul. Lima belas larik dalam dua bagian enggan memberi penjelasan permainan. Petak umpet itu nasib dan biografi orang untuk jadi pemicu petuah ke pembaca.

rumah kami sepetak. terpetak untuk tamu. untuk bantal dan
guling. untuk meja dan kursi makan. untuk panci dan kompor.
untuk bak mandi dan wc. selebihnya untuk rumput dan dinding.
kami tentu saja ada di situ, terselip di celah-celah petak itu,
ngumpet dari panasnya matahari, dari dingin hembus angin,
dari segala tetek bengek (tetekmu dan bengekmu). siapakah
memasang sobekan gambar pedangdut bahenol itu? membuat
sekat jadi panggung bergoyang. menyembunyikan tembok
dalam dinding selaput kendang.

Bocah tidak ngumpet untuk dicari dan ditemukan. Adegan bocah-bocah berkumpul dan mendapatkan peran dalam permainan petak umpet ditiadakan oleh Aziz Manna. Barangkali pembaca diharapkan sudah mengetahui, mengalami, atau mencari deskripsi sendiri. “Petak umpet” bukan mengarah ke permainan, tapi mengikuti lakon manusia saat hidup di rumah “sepetak” dan menjadikan rumah untuk “ngumpet”. Pergeseran arti dari permainan jauh dari kecenderungan memberi beban pengertian filosofis atau petuah kepada pembaca.

Aziz Manna telah membuat permainan bertokoh bocah berjarak. Penulisan puisi membedakan kedudukan permainan bocah sebagai objek dan Aziz Manna adalah subjek berjarak waktu dari kelampauan. Pengungkapan mungkin berasal dari pengalaman diri atau sekadar kelaziman pengalaman bocah-bocah. Dalam puisi, belum tentu ada diri biografis. Puisi tetap menokohkan bocah disusupi atau disusul kehadiran subjek penggubah puisi saat berpetuah. Kita menuju puisi berjudul “Dadu”, puisi menceritakan permainan ular tangga.

kau lempar dadu seperti melempar nasib. tujuan hanya satu:

selalu lewat-melewati tangga menuju kotak terakhir permainan

ular tangga itu. sedang aku selalu was-was dan harus awas:

jangan masuk kotak mulut ular, hidup akan berjalan mundur.

takdir selalu di luar dugaan dan dadu jadi ancaman seperti juga

tangan yang melempar. yang terkena dan mengenai menyatu

dalam diri yang dilempar. aku pernah belajar mengeja peta

dan kata dan mengolahnya jadi siyasah, jadi senjata. tapi dunia

berjalan dengan pelempar ugal-ugalan. kerap melanggar aturan.

aku pun hanyut dalam mainan.

Percampuran tata cara permainan dan pemberian arti. Pembaca sampai ke arti pengacuan menggunakan “seperti”. Pada larik awal, si penulis puisi tergesa memberitahukan kepada tokoh mengarah ke pembaca: kau lempar dadu seperti melempar nasib. Kalimat (hampir) klise bagi para pelaku permainan ular tangga. Dadu jadi penentu. Kemunculan jumlah titik pada dadu memastikan pergerakan dari kotak ke kotak: berujung kalah atau menang. Tujuan pasti menuju kotak terakhir, melewati pelbagai risiko bergerak naik-turun. Tarikan ke filsafat hidup mulai terbaca di kalimat-kalimat: jangan masuk kotak mulut ular, hidup akan berjalan mundur/ kutunggu lemparan dadu seperti menunggu garis takdir. Pembaca mungkin agak terkejut tokoh beralih ke “aku” meski semula “kau”. Perubahan mengesankan petuah hidup mengarah ke diri ketimbang pihak lain. Pengalaman bermain ular tangga berarti mengalami hidup dengan pelbagai risiko. Si pemain tentu “was-was” dan “awas”.

Permainan ular tangga “mempertaruhkan” nasib pada setiap lemparan dadu dan melihat capaian atau keapesan lawan. Permainan ular tangga tiba-tiba diangkat ke taraf filosofis, bukan lagi keentengan atau menuruti emosi bocah. Ular tangga menjadi permainan orang dewasa. Petuah filosofis mengenai hidup bersusulan lantas memuncak di kalimat-kalimat akhir dengan memunculkan tokoh tidak lagi cuma “kau” dan “aku”, tapi pelempar dalam jumlah tidak tentu. Aziz Manna terlalu cepat sampai ke lakon besar: tapi dunia/ berjalan dengan pelempar ugal-ugalan. kerap melanggar aturan.

Barangkali Aziz Manna tergoda memberi kritik pada tata kehidupan global dalam seribu urusan pelik kekuasaan, perang, kekerasan, terorisme, kapitalisme, dan ekologi. Pelempar disangka memiliki otoritas besar dan menentukan dunia. Tokoh “aku” berakhir dengan pengakuan sebagai korban dari permainan ular tangga. Puisi itu memberitahu pembaca agar merenung bereferensi permainan ular tangga. Pemberitahuan gampang klise akibat tergesa memberi konklusi dan diksi-diksi segera mengunci.

Pada 1973, Hartojo Andangdjaja menulis esai berjudul “Puisi yang Mengungkapkan Dunia Kanak-kanak.” Esai menggunakan contoh puisi-puisi gubahan para pujangga luar negeri, tidak pernah memberi contoh puisi di Indonesia. Esai itu penting dalam menilik kemunculan dan perkembangan puisi gubahan Sapardi Djoko Damono, Sindhunata, Joko Pinurbo, dan Aziz Manna. Awalan esai mengarah pada ketetapan bahwa dunia bocah adalah dunia di luar penyair. Dunia bocah adalah objek dan penyair berlaku sebagai subjek. Hartojo Andangdjaja pun memberi kemungkinkan jika pengungkapan dunia kanak-kanak adalah “dunia dalam diri penyair itu sendiri.” Aziz Manna dalam sekian puisi sudah mengarah pada ketetapan. Kita menganggap Aziz Manna sebagai orang dewasa mengungkapkan dunia kanak-kanak. Aziz Manna memahami “dunia kanak-kanak adalah kenangan masa silam”, kenangan milik sendiri. Dua posisi itu tetap menempatkan permainan bocah adalah objek.

Dalam puisi berjudul “Lompat Tali” kita diajak bersepakat dengan penjelasan-penjelasan dalam esai persembahan Hartojo Andangdjaja. Permainan lompat tali menokohkan bocah jadug (lihai) dalam dan raihan tinggi lompatan dan gerak melepaskan diri dari lilitan. Puisi terbagi dua bagian, peristiwa dalam permainan dan renungan berpetuah hidup.

sejak kecil ia telah bermain lompat tali. sedengkul, sepinggang,

sepundak hingga sekilan di atas kepala. ia jadug. bahkan

melepas kaki dari lilitan. tapi hidup (yang kata orang panggung

sandiwara) tak sepenuhnya menerima hanya kejadugan.

mainkan mainan, teriak orang-orang. siasat yang ia pahami

sebagai semangat bermain tanpa kesalahan dan pelanggaran

harus juga dimainkan

Dalam permainan lompat tali, lihai berarti keunggulan. Aziz Manna lekas memperingatkan bahwa hidup “tak sepenuhnya hanya kejadugan.” Kenikmatan membaca permainan bocah disimpulkan secara cepat dan bijak. Pembaca belum sempat menuju permainan sudah diberi petuah. Puisi tidak panjang mungkin membuat Aziz Manna sulit bersabar memberi arti permainan bocah. Kita mengerti paket peristiwa dan renungan sesuai ketetapan: permainan bocah itu objek. Aziz Manna tampil menjadi subjek, berhak membuat dan membakukan arti lompat tali.

Kita ingin membuat perbandingan dulu untuk mengetahui kadar permainan arti dalam puisi-puisi Aziz Manna dan Sapardi Djoko Damono. Puisi serial “Catatan Masa Kecil” mengandung pengakuan diri saat masih bocah dan penjelasan tentang estetika. Di puisi “Catatan Masa Kecil, 2”, Sapardi Djoko Damono menulis pengalaman diri dan peristiwa saat masih kecil. Masa lalu itu dituliskan dengan keterkejutan. Sapardi Djoko Damono (1983) dalam esai “Permainan Makna” mengaku bahwa pengalaman itu “bukan merupakan sesuatu yang sudah ada atau sudah jadi sebelum sajak itu mulai ditulis.” Pengalaman dituliskan dengan pemunculan lambang-lambang dan keterkejutan estetika memang sejak mula diniatkan mengungkapan pengalaman masa kecil.

Sapardi Djoko Damono dalam “Catatan Masa Kecil, 3” semakin memberi penjelasan tata cara menulis puisi mengungkap dunia bocah atau bereferensi masa kecil. Larik-larik awal: Ia turun dari ranjang lalu bersijingkat dan membuka/ jendela lalu menatap bintang-bintang seraya bertanya-tanya/ apa gerangan yang di luar semesta dan gerangan yang di/luar luar-semesta dan terus saja menunggu sebab serasa ada/ yang akan lewat memberitahukan hal itu padanya. . . . Lambang demi lambang tertulis dalam puisi. Sapardi Djoko Damono mengakui: “Waktu menulis sajak tersebut, keasyikan memilih dan menyusun kata-kata mendadak harus saya hentikan karena dalam kata-kata itu dengan jelas muncul pengalaman di masa kecil, boleh dikatakan tepat seperti apa yang harfiah tergambar dalam sajak tersebut.”

Peristiwa di masa kecil berupa pengalaman bersama segala hal menjadi “rekaan” dalam puisi tapi “membuktikan” bersumber dari biografi penyair. Kehadiran dalam puisi perlahan “menjelma lambang-lambang”, tidak lekas tampil dalam larik-larik berpetuah atau renungan menuruti pemikiran orang dewasa. Dunia bocah dalam puisi dibiarkan tetap seperti dulu, bukan diangkut ke masa berbeda untuk dijadikan dalih menderetkan petuah atau renungan bertaraf dewasa.

Kita beralih pada gubahan Aziz Manna berjudul “Kitiran”. Bocah bermain kitiran dengan segala impian berlatar realitas berkebalikan. Puisi bertokoh “aku” mungkin berasal dari pengalaman diri atau merujuk kepada bocah lain. Kita membaca peristiwa dan kemunculan lambang-lambang. Aziz Manna mahir mengisahkan meski sulit menghindari hasrat menerangkan makna sebelum selesai terbaca oleh pembaca. Keluguan cepat berganti ke peninggian makna tindakan si bocah. Pemaknaan mirip milik orang dewasa. Di puisi bercerita bocah, Aziz Manna menaruh pemikiran dewasa.

setangkai daun singkong terselip di jari telunjuk. kuputar

serupa baling-baling pesawat terbang. aku terbang. kuajak

pikiran menjauhi kampung karam. kakiku sepasang angin.

memantuli daun-daun, awan, dan cabang-cabang cahaya. tak

ada lagi bujuk rayu dan omong kosongmu. hanya desis angin

dan kicau burung di kupingku. seluruh rindu dan kenangan

kutitipkan ke mendung tebal. kelak, bersama sulur-sulur hujan

aku hadir sebagai peziarah.

Setangkai daun singkong diimajinasikan seumpama “baling-baling pesawat terbang” mengesankan keluguan bocah. Keluguan justru kian memberat saat Aziz Manna menulis: aku terbang. kuajak pikiran menjauhi kampung karam. Tragedi di kampung ditanggapi bocah dengan terbang, bermaksud menghindari petaka dan derita. Terbang itu lumrah, tapi pencantuman “pikiran” menguak beban hidup bocah sudah sampai ke taraf berat.

Pembaca agak merasakan lugu lagi saat si bocah berimajinasi terbang: kakiku sepasang angin./ memantuli daun-daun, awan, dan cabang-cabang cahaya. Penempatan pikiran dewasa lekas disusulkan Aziz Manna: tak/ ada lagi bujuk rayu dan omong kosongmu. Semula, puisi mengungkapkan pengalaman bocah, tapi keluguan tidak dibiarkan sendirian untuk tersaji secara memikat. Pemberian arti dan peninggian taraf kebahasaan dewasa gampang disambungkan atau disusulkan.

Kecenderungan hampir sama pun terbaca di puisi berjudul “Merconan”. Pembaca mendapati pengalaman bocah dan subjek-dewasa hadir bersama dalam puisi. Aziz Manna mungkin tidak ingin berlaku seperti Sapardi Djoko Damono, Sindhunata, dan Joko Pinurbo. Puisi mengenai bocah tidak melulu harus “milik” bocah dalam urusan bahasa, imajinasi, dan permainan arti. Puisi disadari terbaca orang dewasa, bukan bocah untuk melakukan persamaan atau bantahan pengalaman.

letusan itu seperti ledakan masa lalu: ada jeritan, ada teriakan,

juga ada gelak tawa di sudut lain di sana. seserpihan kertas

serupa pecahan dinding semburat di jalanan, bergulingan disapu

angin. lalu debu menyelimutinya, menyembunyikannya dari

pikiran kita. kami terus menatap malam. malam yang panjang.

cahaya hanya garis-garis abstrak di hamparan cakrawala gelap.

melesat, meletup, lenyap.

Peristiwa disuguhkan di awal. Kita menerima bahwa letusan mercon menimbulkan jeritan, teriakan, dan gelak tawa. Permainan merconan memang menginginkan ada dampak meriah, menampik sepi atau sendu. Mercon dibuat dari kertas pasti menimbulkan serpihan atau potongan kertas berantakan. Kertas itu bukan kertas lagi dalam umpama buatan Aziz Manna: seserpihan kertas/ serupa pecahan dinding semburat di jalanan, bergulingan disapu/ angin. Lalu debu menyelimutinya, menyembunyikannya dari/ pikiran kita. Lambang semakin rumit dan memunculkan “kita”, tidak selalu “aku”. Permainan merconan itu milik bersama atau “kita” dengan kontradiksi imajinasi bocah dan pemberatan beban makna menuruti mau si subjek-penulis puisi. “Merconan” mengungkapkan dunia bocah, tapi menjadi gagal untuk tampil lugu akibat dibebani pemaknaan melalui diksi-diksi dewasa.

Puisi bertokoh bocah dan hubungannya dengan permainan sering menjadi pijakan bagi Aziz Manna untuk menjelaskan situasi sekarang ketimbang masa lalu. “Sekarang” itu milik tokoh dalam puisi setelah melewati masa bocah. Puisi demi puisi membuktikan ketekunan Aziz Manna menceritakan pelbagai permainan bocah. Puisi menjadi dokumentasi kenangan. Puisi bukan bermaksud bersaing dengan buku-buku mengenai dolanan untuk pendidikan karakter atau sosialisasi-interaksi sosial bagi bocah.

Aziz Manna memilih bentuk puisi, bukan tulisan petunjuk mengajarkan permainan bocah secara individu atau bersama. Puisi sering dimuati hasrat berfilsafat dan menaruh renungan-renungan. Puisi mengandung pengertian dan konklusi agar pembaca maklum: menerima dan mufakat tanpa bantahan kebahasaan dan estetika.

Dalam puisi berjudul “Layangan”, pembaca mungkin “dipaksa” mengikuti pemberatan arti di lima kalimat. Aziz Manna menjauhi imajinasi bocah, bergerak jauh ke perkara pelik milik orang dewasa dalam mengerti nasib dan mencari capaian-capaian hidup.

musuh kami bukan lagi reranting dan dedaunan yang mudah

disegrek benang gelasan. tembok dan kabel lebih dempal dan

bebal. jika tak lincah bisa munting dan nyangsang. meski tetap

harus kuat dan tajam, benang tak lagi bisa diulur panjang

seperti kami punya pikiran. semua kini serba berbatas. lengah

sedikit saja, urat yang serupa benang bisa rantas dan amblas.

Kalimat terakhir adalah renungan bukan milik bocah. Acuan ke permainan layangan bergerak cepat kepada petuah agar orang tidak lengah. Konsekuensi lengah melebihi nasib layangan. Aziz Manna sedang memamerkan renungan nasib manusia, bukan penceritaan naif mengenai “kami” saat girang dalam bermain layangan meski di perkampungan padat. Layangan rawan putus dan rusak, tapi girang tetap dimiliki dalam kadar terendah.

Di akhir puisi, Aziz Manna tampak meninggalkan permainan berganti ke pencomotan “benang” diserupakan dengan “urat”. Benang bisa putus. Urat manusia pun mungkin putus dalam tindakan mengerikan dan berdarah. Urat itu menentukan nasib manusia berharap selamat atau berpetaka dengan “rantas dan amblas”. Permainan layangan mungkin berakhir kecewa saat benang putus dan layangan tidak lagi dimiliki. Di puisi Aziz Manna, urusan terakhir adalah mati. Layangan melesat ke lambang mati.

Kenangan pada permainan saat masih bocah tidak mengharuskan Aziz Manna mengenang pula bahasa bocah. Bahasa itu sulit teraih lagi, dituliskan ke puisi untuk bacaan dewasa. Aziz Manna mencoba mengakrabi dokumentasi kenangan dengan penulisan ungkapan-ungkapan bahasa Jawa. Siasat itu belum mampu mengentengkan bahasa dan makna puisi. Pembaca masih rajin dibujuk untuk sekadar menjadikan kenangan permainan bocah dalam memahami manusia pada masa sekarang dengan seribu urusan jauh dari lugu, gembira, kenikmatan, dan tulus. Semua itu diberikan kebalikan dalam pemberian konklusi filosofis dan petuah-petuah bijak bermukim di puisi.

Aziz Manna dalam puisi berjudul “Suket Tarung” membalik situasi manusia, bermula keinginan mencari gembira berakhir kemalangan. Penaruhan kontradiksi dalam puisi-puisi dianggap lazim, siasat memberitahukan renungan kepada pembaca.

sore yang lesu ketika layangan kalah adu kucari kegembiraan

pada rumputan. di tubuhnya kulihat kekuatan menjalar serupa

jalar pecutan. kupegang kakinya, kuadu kepalanya. sabet-

serang, numpu-nahan lebih penentu tinimbang ceking-dempal.

ah, kemalangan hijau terus membelit lenganku.

Adegan dalam permainan suket tarung sanggup memikat pembaca. Bocah sedang bermain diandaikan tampak ada di depan mata. Kenangan atau pengalaman masa lalu terlihat sebagai gambar bergerak dengan nuansa ketegangan batin, tidak melulu raga. Kegembiraan serasa ingin dicecap setelah kecewa dalam permainan layangan. Rasa kecewa bukan cuma milik bocah. Sore hari itu terasa lesu bagi si bocah. Pembaca mulai berempati ke permainan bocah menggunakan suket atau rumput. Permainan layangan gagal memberi kegembiraan. Nasib si bocah seperti berulang: menanggung kalah dan menumpuk kemalangan. Sumber kemalangan terdapat di lengan.

Puisi agak meredakan segala sangkaan sebaran kontradiksi adalah “Telepon Kaleng”. Puisi tentang pengandaian keajaiban komunikasi melalui telepon. Bocah “meniru” dengan membuat telepon kaleng tersambung tali. Di mata bocah, tali itu kabel: mengantarkan getaran, mengantarkan kata-kata dari dua orang. Kaleng-kaleng bekas adalah alat bermain komunikasi. Kenangan itu tentu terhajar oleh teknologi komunikasi masa sekarang. Pembaca boleh terkejut andai mengalami peristiwa menaruh kaleng di mulut dan telinga untuk bicara dan mendengar. Peristiwa komunikasi naif tapi memastikan kehendak bertaut atau terhubung.

nomor-nomor serupa keningmu, pipimu, dagumu, bagian-

bagian lain dari tubuhmu. lewat gelombang kata yang

digelindingkan angin melintasi tali-tali kukirimkan seuntai

mawar dan kangen yang dalam. kau entah di sudut mana. aku

di sini melipat jarak dengan mulut dan telinga dalam kaleng.

Si bocah berimajinasi sedang berkomunikasi dengan alat modern. Kaleng bukan kaleng lagi seperti teringat sebagai wadah makanan. Kaleng berubah peran dan keajaiban permainan diciptakan dalam kesederhanaan. Benda terpegang “dianggap” telepon memiliki aturan-aturan memutar atau menekan nomor-nomor sebelum terhubung ke penerima panggilan telepon. Dalam puisi “Telepon Kaleng”, Aziz Manna agak romantis, mengabaikan dulu pelbagai jenis penderitaan hidup berkaitan politik, ekonomi, sosial, pendidikan, dan kultural. Persitiwa di puisi cenderung ke bercerita-pengakuan, tak tergoda agar lekas memberi renungan-renungan hidup.

Playon terbit tiga edisi dalam berbagai terbitan oleh Panitia Sayembara Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur, Pagan Press, dan Grasindo. Pada edisi terakhir, pembaca disuguhi pengumuman di sampul buku. Playon adalah Pemenang Sayembara Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur 2015 dan Pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2015-2016 untuk karegori puisi.

Kehadiran serial puisi permainan bocah dalam Playon menjadi keunikan dalam perpuisian Indonesia mutakhir. Serial puisi itu membuktikan bahwa lacakan atas dokumen-dokumen kenangan semasa bocah masih mungkin diceritakan pada masa sekarang. Aziz Manna memang muncul belakangan setelah penulisan puisi-puisi mengungkapkan (permainan) bocah telah digarap oleh Sapardi Djoko Damono, Sindhunata, dan Joko Pinurbo.

Dalam Playon, pembaca tidak mendapatkan penjelasan atau pengakuan estetika Aziz Manna. Ketiadaan itu malah memberi kemungkinan pembacaan atau penafsiran ketimbang terikat atau mengikut ke hal-hal di luar puisi menuruti penjelasan mendahului hak pembaca. Playon terbitan Pagan Press (2015) memuat ulasan Nu’man Anggara berjudul “Pengantar Sederhana untuk Antologi Puisi tentang Permainan, Benda, dan Kebiasaan Sederhana.” Ulasan sepintas lalu, tidak memberi jatah besar untuk pembacaan serial puisi permainan bocah. Simpulan dari ulasan pendek adalah “kesederhanaan”. Playon dianggap membuktikan penciptaan puisi kesederhanaan.

Pada terbitan Grasindo (2016), halaman sampul belakang Playon memuat komentar pendek Oka Rusmini. Ada singgungan ke serial puisi mengungkapkan dunia bocah: “Sungguh ide yang cemerlang, pembaca dipaksa untuk kembali diseret ke dalam cuaca yang ‘riang’, cuaca yang jujur dan seru menjadi kanak-kanak yang dekat dengan alam dan lingkungan imajinasi.” Pembaca buku Playon mungkin bingung atau penasaran dengan komentar mengandung ungkapan “dipaksa.” Kita malah menemukan dua simpulan agak bersimpang arah dalam terbitan Pagan Press dan Grasindo. Semula, ada anggapan “kesederhanaan”. Pada edisi belakangan, pembaca menemukan komentar tak memerlukan penulisan contoh puisi-puisi tapi sampai ke konklusi “dipaksa”. Cara membaca puisi-puisi Aziz Manna sudah terbedakan, tapi memberi hak pembaca menambahi deretan komentar atau ulasan.

Pembaca tidak wajib memesan ada penjelasan atau pengakuan dari penulis puisi. Kemauan menekuni puisi demi puisi sudah memunculkan penilaian bahwa Aziz Manna tidak sekadar memamerkan album atau dokumentasi kenangan saat masih bocah. Pelbagai permainan bocah dalam puisi-puisi telah dikehendaki memuat pemberian arti filosofis atau menaruh petuah: bermula keluguan bocah berganti ke renungan orang dewasa. Siasat itu berlangsung lancar dan cepat melalui petunjuk deskriptif, imajinasi penglihatan, dan perumitan kebahasaan. Aziz Manna menulis puisi-puisi pada 2015: mengandung kesan digarap berurutan dengan gairah estetika dan misi sama. Puisi-puisi pun terbaca seperti berada di jalan lurus tanpa belokan tajam. Serial puisi permainan bocah memiliki persamaan mungkin bermaksud “terikat” menjadi paket, sebelum pembaca menjumpai serial puisi berbeda di halaman-halaman lanjutan.

Pada puisi tidak lagi bertokoh bocah, pembaca beralih ke peristiwa keseharian. Bagian itu malah terasa enteng ketimbang di serial puisi permainan bocah. Kejenakaan, iseng, rasa girang, dan takjub pun masih terbaca, meski puisi-puisi itu bertokohkan orang dewasa. Kita menuju puisi berjudul “Ngupil”, ditempatkan di luar serial puisi permainan bocah. Puisi memicu kejutan atas peristiwa lumrah tapi diartikan “serius”.

yang berlubang selalu nantang sogokan. tak peduli iseng,

gemas, atau keranjingan. serupa arkeolog muda penuh gairah

aku disengat goda, ditantang tualang. dinding-dinding

berlendir dan licin. debu dan angin. melecut nyali ciut. cakar

kekal, singkal dempal, titis sigap beradu tepat. segala yang

kasar dan nggeronjal: biji-biji waktu, tergerus. mulus? ah, selalu

ada tipak dari telapak. lalu debu berkerumun dan menimbun.

membentuk onggokan-onggokan baru, celah dan ruang luang.

serupa sejarawan anyaran aku merunutnya, memeriksanya.

tilas yang pulas bangun dan menunjukkan ekor merahnya di

mana napas terus bekerja.

Peristiwa ngupil tidak digamblangkan bertokoh orang dewasa meski bocah pun biasa ngupil. Kita menemukan penempatan puisi itu setelah membaca puisi-puisi bertokoh bocah.

Puisi jenaka, tapi mengarahkan pembaca ke peristiwa yang dimuati arti “serius” saat Aziz Manna menampilkan “arkeologi penuh gairah” dan “sejarawan anyar”. Sikap bercerita terkesan malah khas bocah, meski diksi-diksi cenderung dewasa dan filosofis. Sikap itu memicu tawa dan ajakan merenung enteng, tidak seberat saat pembaca menekuni puisi demi puisi mengenai serial permainan bocah. Aziz Manna berlaku terbalik tapi tidak kentara.

Hartojo Andangdjaja (1973) memberi sebutan “kamuflase” dalam kecenderungan pemunculan ketidaksadaran dituliskan dalam puisi. Pada puisi “Ngupil” terasa naluri bocah dalam penceritaan meski tidak semua diksi khas bocah. Sikap itu terdapat dan tampak dalam “Ngupil”, membedakan cara penggubahan puisi Aziz Manna saat ingin mahir dan serius dalam serial puisi permainan bocah, puisi dalam dokumentasi kenangan saat masih bocah.

Kebalikan itu berjumlah sedikit. Kita bisa mengembalikan lagi kadar keseriusan membuat filosofi permainan atau hasrat berpameran petuah dalam puisi-puisi di serial permainan bocah. Pada bagian kedua puisi berjudul “Petak Umpet”, pembaca disuguhi renungan bukan khas pemikiran bocah. Aziz Manna terasa berlebihan menjadikan “Petak Umpet” sebagai referensi petuah bijak.

siasat bersemayam lewat pertanyaan. kebenaran adalah pintu

yang beririsan. jalan hanya kotak kosong. menurun dan

mendatar. selebihnya aral melintang. pikiran melangkah dalam

labirin entah berujung ke atau di mana. mencari dan menerka

saling bertukar rupa. menggelisahkan sekaligus membosankan.

yang tertangkap selalu menggigil. Serupa pinggul biduan.

Barangkali puisi “Petak Umpet” salah tempat. Aziz Manna memang mengesankan puisi cenderung ke bocah melalui penjudulan. Judul itu terkait isi, tetapi tidak menguak pengalaman raga, pikiran atau perasaan bocah saat melakukan permainan bersama dinamai “petak umpet”. Aziz Manna lekas saja berfilsafat permainan, meninggalkan sikap dan naluri bocah akibat pemilihan diksi-diksi serius: bergerak ke renungan orang dewasa.

Kesalahan penempatan juga berulang ke puisi berjudul “Remian”. Semula, puisi memiliki larik-larik deskriptif permainan. Pada bagian 1 sampai 3, Aziz Manna memberitahu pembaca tata cara permainan kartu remi. Permainan untuk menang atau kalah. Permainan kartu remi bisa dilangsungkan oleh bocah dan orang dewasa. Dalam Playon puisi “Remian” turut hadir bersama puisi-puisi permainan bocah. Sangkaan salah tempat terasa pada bagian 4. Aziz Manna tak lagi rinci menjelaskan cara permainan kartu remi tapi membuat deretan petuah.

salah hitung bisa buntung, salah baca bisa nelangsa, salah tafsir

bisa-bisa tersingkir. kenapa buang hati jika terambil kembali?

bukankah permainan harus seimbang dan pusatnya ada dalam

pikiran. kawan, truff terbesar ialah hati hitam.

Pembaca lekas dibuatkan jarak untuk mengamati permainan kartu remi. Pengamatan menghasilkan pemikiran filosofis, bukan mengalami permainan dalam naluri bocah. Puisi “Remian” semakin tampak bukan termasuk permainan bocah jika kita menilik ketergesaan menjadikan peristiwa bermain demi pembuatan petuah. Aziz Manna mengulangi penggunaan judul mengarah ke bocah, tapi penceritaan dan diksi tampak melampaui pengalaman bocah. Kecenderungan itu sering berulang dengan siasat hampir sama.

Puisi-puisi di buku Playon memang cukup memberi sentilan ke pembaca mengenai kecenderungan perpuisian Indonesia mutakhir. Aziz Manna sengaja menggarap dokumentasi kenangan dalam puisi-puisi mengungkapan dunia bocah, usaha membelok dari jalan besar perpuisian di Indonesia. Serial puisi permainan bocah telah dipersembahkan ke pembaca meski agak sulit menguak keluguan dan ketakjuban mengandaikan bocah. Aziz Manna telah memberi ketetapan bahwa puisi demi puisi pantas memberi petuah-petuah bagi diri dan pembaca. Begitu.

Esai19 Agustus 2021

Bandung Mawardi


Bandung Mawardi adalah esais dan kuncen di Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah. Bukunya, antara lain, Silih Berganti (2021), Tulisan dan Kehormatan (2021), Titik Membara (2021), Dahulu: Mereka dan Puisi (2020), Terbit dan Telat (2020), Pengisah dan Pengasih (2019), dan Berumah di Buku (2018).

Berlangganan

tengara.id adalah situs kritik sastra yang dikelola oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta. Tengara adalah upaya lanjutan dalam mengisi kelangkaan pertumbuhan kritik sastra dalam kehidupan kesusastraan Indonesia.