Terkungkung, Terbebaskan
Membaca Isinga: Roman Papua Karya Dorothea Rosa Herliany

Ilustrasi: Bunga Jeruk Permata Pekerti

Dorothea Rosa Herliany menulis novel Isinga: Roman Papua (Gramedia, 2015) sebagai suara perempuan yang terikat kuat oleh adat, tetapi begitu tersembunyi dan terpencil dalam tubuh negara modern Indonesia. Tersurat sebagai anak judul, “Roman Papua” sebentuk peneguhan (identitas) geografis yang menunjukkan makna penting Papua bagi kehidupan (kolektif) Indonesia. Dorothea tidak ingin mengabaikan ruang geografis sebagai ruang politis dalam menyuarakan perempuan melalui (sastra) Indonesia.

Selama ini, Jakarta masih menjadi rujukan ekspresi kreatif, model pertarungan wacana, dan pusat perhitungan bagi penulis-penulis Indonesia, baik yang bermukim di Jakarta maupun daerah. Suatu tempat yang juga dianggap sangat kuat mencitrakan kondisi zaman atau menawarkan cara memandang ulang kehidupan manusia Indonesia melalui teks-teks sastra. Sebagaimana pernah disinggung Jakob Sumardjo (1994), Jakarta adalah “Paris” dan “tanah air kedua” bagi sastrawan-sastrawan daerah.

Pada masa Balai Pustaka, meskipun pusat penerbitan berada di Batavia (yang kemudian menjadi Jakarta), karya-karya sastra pada saat itu menonjolkan latar bukan hanya Jakarta, tetapi juga Sumatra, Jawa, Sulawesi, Bali. Hal ini bergerak bersamaan dengan pergerakan nasional dan perkembangan bahasa Indonesia menjelang Kemerdekaan hingga masa yang lebih kemudian. Persoalan sastrawan Indonesia dari daerah, sebagaimana diungkapkan Jakob Sumardjo pada esainya yang lain (1982), tidak hanya bertungkus lumus dengan masalah mutakhir, tetapi juga “Bagaimana persoalan dan kehidupan daerah setempat sempat menjadi obsesi nasional.”

Saat ini, keberpihakan menjadi istilah yang relevan dan kontekstual. Para pengarang yang bermukim di Jakarta memperhitungkan daerah-daerah di luar Jakarta dengan atau tanpa identitas kedaerahan itu. Persebaran teknologi cetak, kemajuan industri media, dan bahkan akses informasi mendukung keragaman produksi sastra berlatar daerah. Pemerintah pusat juga menyediakan program residensi bagi penulis untuk bermukim di daerah-daerah demi melahirkan karya bercita rasa lokal. Dorothea yang mendapat reputasi nasional dan internasional memilih Papua sebagai tema utama dan itu bisa ditafsirkan sebagai keberpihakan kepada latar geografis dan gagasan keperempuanan yang masih dianggap rentan dan terpinggirkan. Kondisi dan masalah sosial semacam Papua, ternyata, tidak kalah kompleks daripada kota (Jakarta).

Isinga adalah novel yang ditulis oleh dan untuk perempuan. Di halaman persembahan, Dorothea menulis, “Persembahan: buku ini dipersembahkan untuk para isinga/ isigna/ nisinga (ibu) atau perempuan di Papua.” Tokoh perempuan dalam novel ini, Irewa Ongge, adalah sosok yang percaya bahwa perempuan adalah penjelmaan dari bulan. Irewa hidup dalam kepercayaan kosmologi adat. Perempuan diberkahi semesta untuk melahirkan dan merawat anak-anak yang menentukan garis keturunan.

Namun, adat yang dipercaya menjaga harkat diri perempuan, justru tidak membantu Irewa memiliki tubuhnya sendiri. Ia tidak lahir sebagai anak begitu saja. Ia adalah anak (adat) Aitubu. Tubuhnya dimiliki oleh adat. Ia dinikahi (secara paksa), menjadi istri, harus patuh pada suami, dan melahirkan karena tuntutan adat meski nilai-nilai pada dasarnya memuliakan perempuan.

Irewa lahir sebagai perempuan Aitubu, masyarakat Lembah Piriom di wilayah Pegunungan Megafu dengan kepercayaan, “Matahari dan bulan itu bagaikan dua bersaudara. Matahari adalah anak lelaki dan bulan adalah anak perempuan. Bulan datang pada malam hari. Ia mengerjakan tanah. Matahari datang pada siang hari. Ia menanam bibit. Dan bintang? Bintang adalah mata burung, mata kuskus, mata kodok. Sedangkan yang cahayanya cemerlang, itu mata manusia” (2015, 1).

Perempuan ditempatkan dalam konstelasi wacana keibuan yang agung, perempuan sebagai ibu bumi, sekaligus secara ekonomis perempuan berharga karena mendatangkan mas kawin, terutama berupa babi yang menentukan stabilitas harta adat.

Sekalipun istilah “bersaudara” terdengar seperti “setara”, pembagian pola kerja rumah tangga dan kepemilikan harta (tanah) sangat timpang. Saat masih kanak-kanak, Irewa tidak begitu merasakan tekanan. Mama Kame dengan telaten mengajari Irewa mengerti tugas pokok dan tambahan perempuan sebagai istri dan ibu. Irewa menerima dan bahkan penasaran menantikan memiliki keluarga sendiri. Rumah tangga yang ia alami kemudian ternyata tidak semanis yang ia bayangkan, meski dalam urusan asmara, perempuan Aitubu pada dasarnya memiliki hak memutuskan, sebagaimana pada kutipan berikut ini:

Betatas dan sayuran adalah sarana dalam tradisi Aitubu untuk mengetahui isi hati perempuan yang dicintai. Meage meminta seorang temannya untuk menyerahkan keduanya itu kepada Irewa. Kalau si perempuan menerima makanan betatas dan sayuran itu, itu tandanya ia menerima pesan cinta dari si pemuda. Ini sebenarnya periode sangat penting bagi perempuan Aitubu. Karena persis di saat itulah satu-satunya kesempatan bagi perempuan Aitubu mendapatkan haknya penuh sebagai manusia. Ia bisa dan boleh mengatakan “tidak” kalau ia tak menyukai laki-laki yang menyatakan cinta padanya” (2015, 27).

Namun, hak Irewa memilih Meage digagalkan oleh Malom, lelaki dari perkampungan Hobone. Malom menculik Irewa saat ia tengah menstruasi. Cara licik Malom tentu disadari oleh kedua suku. Atas nama Aitubu dan Hobone yang lama saling berperang, Irewa harus rela dijadikan juru damai (yonime). Irewa harus menikah dengan Malom. Aitubu dalam posisi tidak menguntungkan. Jika Aitubu tidak setuju, Irewa tetap menjadi istri Malom, lantas Aitubu dan Hobone tetap berperang.

Tubuh Irewa dimiliki secara kolektif atas nama adat. Ia harus mematuhi ketentuan seolah-olah hal itulah yang telah digariskan oleh para leluhur.

Sebenarnya, Aitubu bukan tidak tersentuh sama sekali oleh gagasan modernitas lewat para misionaris Kristen yang membawa cara pandang baru tentang perempuan, seksualitas, rumah tangga, anak, pendidikan, kesehatan, dan kemanusiaan. Dorothea menyisipkan hal itu lewat kehadiran suami-istri, Pendeta Ruben dan Marike, dari Jerman yang bermukim di sana sejak 1970. Mereka mengenalkan agama Kristen dan membuka sekolah untuk belajar bahasa Indonesia, baca-tulis, serta pertanian yang sayangnya memang lebih ditujukan bagi anak laki-laki usia dua belas tahun ke atas. Masa depan anak laki-laki lebih berpotensi bebas, terutama secara fisik demi mewartakan agama dan ilmu ke tempat lain.

Anak perempuan diizinkan bersekolah meski lekas kehilangan minat karena terkerangkeng dalam kehidupan domestik. Perempuan saat masih belia atau dewasa lebih dibutuhkan untuk bekerja di kebun atau mengurus keluarga. Mereka tertinggal dari laki-laki bukan karena hambatan kognitif, tetapi karena ketentuan adat. Modernitas bawaan pendeta Ruben tidak mampu menyentuh apalagi meruntuhkan tata adat yang timpang tadi. Selain itu, ada Suster Karolin dari Belanda dan Suster Wawuntu dari Sulawesi yang lebih berperan dalam kesadaran kesehatan dan terkesan memilih bersikap netral atas apa yang nanti menimpa Irewa.

 

Seksualitas dan Ideologi Keibuan

Di tengah masyarakat Hobone, Irewa memasuki kehidupan keluarga yang eksploitatif. Tidak hanya mengalami paksaan secara seksual, Irewa harus mengurus tanah, terus-menerus hamil dan melahirkan, merawat anak, dan menyiapkan makanan bagi keluarga. Di wilayah kecil keluarga inilah konsensus adat terus mengikat. Perempuan mesti memberikan anak sebanyak-banyaknya untuk keberlangsungan suku dan mempersiapkan amunisi perang. Ada penyemaian ideologi keibuan nan agung yang dikemas dalam petuah luhur dan disampaikan selama masa pengasuhan. Sejak gadis bahkan belia, para perempuan diajari menerima kodrat sebagai kemuliaan, kerja keras, sekaligus pengorbanan.

Betismu kokoh dan berisi. Dengan betis seperti ini, kamu bisa bekerja di kebun dengan baik. Kamu bisa melahirkan banyak anak.

Seorang perempuan harus bisa berkebun. Rajin mencabut rumput liar. Membuang ulat dan menyingkirkan daun yang rusak atau kuning. Dimakan tikus, cendawan, atau jamur. Pandai mencari kayu bakar. Meremas sagu. Memasak, dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya.

Kamu harus bersemangat dalam hidup. Semangat itu penting untuk dipakai mengerjakan berbagai pekerjaan jika ada kesulitan. Baik di kebun, di hutan, maupun di lingkungan rumah tangga. Dengan semangat dan pantang menyerah maka pekerjaan bisa diselesaikan dengan baik.

Tak lama lagi buah dadamu akan makin besar. Itulah kelebihan perempuan dibanding laki-laki. Kamu harus senang punya buah dada. Buah dadamu akan memberi anakmu susu. Laki-laki tak bisa memberi susu pada anaknya. Ia tak bisa memberi kasih sayang langsung seperti bisa dilakukan olehmu dengan buah dadamu (2015, 22-23)

Betis dan buah dada adalah perlambang dari perempuan yang kuat. Laki-laki juga memiliki betis, tetapi tidak dengan payudara yang secara fisiologis sangat berperan dalam proses laktasi. Petuah adat ini sebenarnya sama-sama melakukan diskriminasi biologis dengan menempatkan kedudukan perempuan lebih “mulia” dibandingkan laki-laki. Diskriminasi secara biologis juga berarti pembedaan peran. Perempuan seolah-olah ditakdirkan terkuasai. Hal ini begitu kentara dalam hari-hari Irewa menjalani peran baru sebagai istri dan calon ibu, “Irewa sudah makin tidak bertenaga lagi. Malom berkuasa atas tubuh Irewa. Malom menjadi seorang suami. Laki-laki Iko harus mengawini tubuh perempuan. Irewa tak bisa melawan lagi. Malom menyenangkan diri dan keinginan batinnya pada tubuh Irewa. Anak panah dalam tubuh Malom dilepaskan” (2015, 57).

Sayangnya, nyaris tidak ada solidaritas dari para perempuan senasib-sekampung. Perempuan benar-benar dipaksa menjadi pasif demi suatu perubahan personal atau sosial. Setiap aturan yang dibebankan kepada perempuan harus dijalani tanpa protes. Memang, ada perlawanan dengan cara bunuh diri, tetapi cara ini lebih tampak sebagai gertakan dan tidak berpengaruh secara kolektif. Pilihannya sama-sama tidak menguntungkan posisi perempuan: mati atau kembali menjalani rutinitas yang berat.

Ada satu lagi cara terbebas dalam rumah tangga dan suami. Cara itu tergantung pada kekayaan laki-laki. Laki-laki yang menginginkan istri orang lain harus siap dengan seserahan babi dalam jumlah banyak. Perempuan sama sekali tidak punya daya tawar karena telah dimiskinkan, baik harta ataupun suara untuk mengajukan talak. Semua sangat ditentukan oleh keberanian dan kekuasaan lelaki lain. Talak pun tidak menjamin perempuan terbebas dari keterkungkungan. Memulai hidup dengan lelaki baru dalam tata sosial geografis yang sama, tidak menjamin hidup seorang perempuan akan berubah menjadi lebih baik.   

Para suami juga memiliki hak tanah secara sah sekalipun penggarap tanah utama adalah istri. Simbol perempuan sebagai ibu bumi dan sumber makanan berbalik menjadi mesin produksi skala domestik. Bagi Irewa, hal ini masih ditambah eksploitasi seksual setelah berkeluarga. Tubuhnya masih sangat baru memasuki kedewasaan, tetapi harus menanggung proses pengibuan. Perlahan, apa yang dipercaya sebagai kemuliaan menjadi ibu menjadi basis kekerasan.

Irewa tidak bisa menguasai tubuhnya sendiri karena sepenuhnya telah dikuasai tata rumah tangga dan adat, sebagaimana dalam kutipan berikut:

Hanya sepuluh hari setelah Irewa melahirkan, Malom sudah minta Irewa melayaninya bersetubuh. Malom bilang, ia ingin anak laki-laki. Anak laki-laki adalah tuntutan. Istri pertama Malom dulu belum memberi anak pada Malom sudah keburu meninggal. Saudara-saudara Malom yang laki-laki, semuanya meninggal pada saat berperang. Itulah sebab orangtua Malom mendukung ketika Malom ingin punya istri lagi. Walaupun itu harus dengan jalan tak baik. Menculik Irewa. Ulunggi, bapaknya, tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya Irewalah yang diinginkan anaknya untuk dijadikan istri (2015, 70).

Dalam kehidupan perempuan, kepasrahan mungkin lebih tampak sebagai sikap pasif, tetapi bukan bentuk kemandekan. Pasrah tidak bisa serampangan diartikan menerima nasib tanpa gejolak. Tentu, gejolak dalam diri perempuan biasanya tidak muncul dalam bentuk aksi atau pengungkapan perasaan yang agresif. Beauvoir (2016) membabarkan bahwa perempuan jauh lebih bisa menahan rasa sakit secara fisik ataupun psikologis. Justru kegigihan yang tenang, perlawanan tidak kentara, juga pengendalian diri, menjadi cara menghadapi waktu-waktu gawat. Perempuan memang tidak berambisi menguasai, kecuali mengajukan diri dengan rasa percaya—sebagaimana diungkapkan Beauvoir: “Perempuan selalu berusaha berhemat, beradaptasi, dan mengatur, daripada menghancurkan dan membangun kembali; mereka lebih suka berkompromi dan menyesuaikan diri dengan revolusi.”

Strategi berkompromi memang memunculkan anggapan bahwa perempuan cenderung lemah, diam, tidak memiliki pengaruh. Namun, Beauvoir hendak menegaskan karakter perempuan terbentuk oleh situasinya. Ada faktor kebudayaan yang membuat perempuan terkuasai dan sering dalam posisi tertuduh, bukan karena kodrat bawaan. Irewa tidak tahu hal yang dialaminya adalah eksploitasi tersistem. Tanpa pengetahuan hukum, hak asasi, atau advokasi, melawan memang hanya bisa dilakukan dengan bertahan.

 

Tabrakan Modernitas

Rezim Orde Baru berambisi membabat keprimitifan untuk ditanami pembangunan. Cara hidup tradisional di perkampungan, mulai dimasuki oleh gagasan kebendaan dan kemodernan—dari masuknya odol sampai kebutuhan bersekolah. Kuasa pembangunan membuka wilayah-wilayah kecil untuk menerima gagasan urban, sistem ekonomi baru disimbolkan dengan uang, impian menjadi manusia “modern”, pendidikan formal, dan kesenangan-kesenangan baru. Atas nama pemekaran, Papua harus menerima kedatangan warga pendatang dari pelbagai daerah. Pemekaran diwakili oleh kota kecamatan yang tengah berkembang bernama Distrik Yat. Di sinilah orang-orang Megafu mulai menjejakkan kaki ke dunia luar.

Secara personal, “dunia baru” menciptakan pergolakan dan pertanyaan baru atas nasib dan peran keperempuan Irewa. Secara politis, Irewa memang tidak terlibat dalam masa-masa pemilu 1977 yang represif. Masalah politik kekuasaan itu lagi-lagi lebih melibatkan para laki-laki. Dalam konteks ini, negara selalu ingin tampil maskulin. Dorothea mengontraskan identitas Papua Irewa dengan identitas Indonesia yang ditampilkan seperti negeri asing—sebagai manusia Indonesia di tengah konflik sipil dan militer.

Sapaan modernitas yang pelan dan pasti tidak membawa pergolakan yang agresif dalam diri Irewa. Distrik Yat mewakili sekaligus mengenalkan ruang keramaian ekonomi dalam bentuk pasar modern. Di Hobone ataupun Aitubu, perempuan tidak mengenal transaksi jual-beli dan uang. Bahkan Irewa awalnya cukup senang hanya sekadar tahu bahwa pasar menyajikan lebih beragam jenis pangan. Pasar mengakhiri kebosanan Irewa bersantap betatas (umbi) dan sayuran yang selalu sama dari hari ke  hari.

Bersama perempuan Megafu, Irewa mulai terlibat dalam peran baru. Bukan hanya sebagai penggarap tanah atau pengumpul makanan, mereka menentukan stabilitas ekonomi keluarga dengan cara menjual hasil kebun. Irewa juga mulai mengenal konsep menabung uang untuk biaya sekolah anak-anak. Uang adalah salah satu modal untuk merengkuh modernitas.

Di pasar kota, para perempuan tidak hanya bersaing dengan sesama pelapak, tetapi juga pedagang bermodal besar yang menghuni kios-kios permanen. I Ngurah Suryawan (2019) dalam laporan antropologisnya saat mengunjungi pasar Kota Timika membabarkan bahwa pasar sukses membawa Papua terlibat dalam pusaran interkoneksi global. Di sinilah dagangan di lapak gelaran bisa bersanding dengan hotel megah berjejaring internasional, supermarket, dan gerai makanan cepat saji.

Kesejahteraan ekonomi yang ditandai oleh uang dan perniagaan memang terjadi, tetapi terutama hanya dinikmati oleh orang-orang bermodal besar. Kesejahteraan juga menyentuh kota (distrik), tidak sampai ke perkampungan. Tetapi, pasar membuka akses ekonomi dan perjuangan perempuan-mama Papua. Pasar juga menjadi cermin masyarakat Papua—sebagaimana diungkapkan Suryawan—“menguraikan kompleksitas persoalan kesehatan, pendidikan, politik lokal, hingga kekerasan dalam rumah tangga.”

Selain itu, pasar memungkinkan Irewa bertemu perempuan-perempuan lain yang berbeda dari dirinya atau adat istiadatnya. Misalnya, pertengkaran suami dan istri berkaitan dengan uang yang justru diselewengkan suami. “Suatu hari, Irewa yang sedang duduk menunggu pembeli, kaget. Di sebuah kios tidak jauh darinya ia melihat seorang pedagang perempuan dari Pulau Jawa marah-marah. Perempuan itu bertengkar dengan suaminya. Bahasa yang dipakai tidak dimengerti oleh Irewa. Bahasa Jawa. Tapi dari gerak-gerik anggota badan dan raut mukanya, Irewa tahu kalau perempuan itu berani menantang suaminya. Tangannya berkacak pinggang. Mulutnya tak henti bicara. Si suami lalu memukul istrinya. Si istri balas memukul” (2015, 149-150).

Perlawanan perempuan atas suami sebagaimana digambarkan di atas menimbulkan kontradiksi kultural yang sangat nyata. Pertengkaran itu menghantam jiwa Irewa. Selama ini, Irewa tidak pernah melawan balik dan bahkan sekadar berpikir melawan pun tidak. Bandingkan, misalnya, dengan petuah menjadi perempuan yang dipegang secara turun-temurun oleh perempuan Megafu. Tuntutan menjadi “baik” hanya untuk perempuan: “Perempuan yang baik itu mesti pendiam. Tidak pernah mengeluh. Tidak pernah protes. Tidak pernah membantah. Tidak pernah bersedih. Tidak pernah berbicara kasar” (2015, 65).

Pasar memang berhasil mengontraskan suatu kondisi sosial yang sangat timpang antara perempuan di Papua dan perempuan di Jawa. Namun, kontradiksi masih belum cukup. Dorothea menghadirkan perempuan bernama Jingi Pigay sebagai perwakilan tulen modernitas. Jingi Pigay adalah seorang dokter dan ternyata kembaran Irewa. Sesuai adat, salah satu bayi dari kelahiran kembar harus dibunuh karena dianggap penjelmaan roh jahat. Di Aitubu, kembaran menunjukkan aib. Orang-orang menganggap bapak dari bayi kembar pasti bersetubuh dengan perempuan lain saat istri hamil. Ketika Mama Kame melahirkan bayi kembar, Suster Karolin tidak mau membunuh kembaran Irewa. Sebaliknya, ia mengangkat Jingi sebagai anak dan membesarkannya dalam pengasuhan modern.

Dorothea hendak mempertentangkan yang tradisional dan yang modern melalui tubuh Irewa dan Jingi. Mereka sangat berjarak secara sosial, kultural, intelektual, dan geografis meski terikat secara biologis. Jingi tetap hidup, memiliki tubuh yang sehat, berpendidikan, dan seorang dokter.

Tubuh tradisional sangat identik dengan keterbelakangan dan tubuh modern hampir tidak mengalami kecacatan fisik atau psikologis. Jingi mencitrakan kesuksesan pemberadaban pembangunan Orde Baru, sementara Irewa mewakili kaum pedalaman terpinggirkan yang perlu diberadabkan menuju akses gizi, kesadaran pendidikan (formal), kesehatan, dan kesejahteraan.

Tubuh bentukan tradisionalitas dan modernitas memang berbeda. Masing-masing dikuasai sistem adat dan negara. Dalam misi negara modern, adat sering harus dikalahkan atau setidaknya “dikondisikan” agar tetap patut singgah dalam tubuh negara. “Jingi tampak lebih sehat dan lebih berisi. Penampilannya juga tampak lebih bersih dan senyum selalu mengembang. Hidupnya ringan. Tak ada kesusahan yang ia alami. Jingi hidup bahagia sejak kecil. Hidup Irewa lebih kusut dan tubuhnya lebih kurus. Badannya berdebu sebagaimana umumnya orang-orang di Megafu. Ia tampak lebih tua dari umurnya yang sebenarnya. Lebih matang. Jarang tersenyum tetapi jernih kecantikannya tetap terpancar di wajah” (2015, 89).

Irewa mengagumi kehadiran Jingi tanpa berani membayangkan berada dalam posisinya dan tidak berani mengutuk nasibnya sebagai anak biologis Mama Kame sekaligus anak kultural Aitubu. Sebaliknya, Jingi dengan jelas mengakui “ketidakberuntungan” menjadi Irewa yang cenderung mengarah pada rasa takut. Ketakutan Jingi secara umum merepresentasikan rasa takut masyarakat modern untuk bersentuhan dengan kemiskinan, keterbelakangan, mitos, kekerasan dan kebodohan—segala hal yang mati-matian dilawan oleh masyarakat modern. “Ia masih selalu membayang-bayangkan, bagaimana kalau dirinyalah yang diasuh Mama Kame saat itu. Bukan dibuang. Jingi menganggap bahwa Irewa justru telah menjadi penyelamat hidupnya. Ia merasa berutang hidup pada Irewa” (2015, 200).

Dalam konteks negara modern Orde Baru Irewa kemudian ditempatkan dalam sosialisasi program pemerataan kesehatan (reproduksi). Ia terjangkit AIDS. Keterjangkitan itu sendiri bisa dilihat sebagai efek lanjutan dari kuasa seksualitas partriarki yang menghambat pengetahuan perempuan tentang waktu tepat untuk hamil, jarak kehamilan, dan kesehatan reproduksi. AIDS tidak terjadi karena kegagalan Irewa belajar tentang tubuhnya. Irewa tertular Malom yang mengunjungi pusat prostitusi Dolly saat mengikuti lomba dayung di Surabaya. Irewa memulai sosialisasi kesehatan reproduksi dan AIDS di antara para pedagang pasar. Kesempatan ini bersifat revolusioner sebab selama ini perempuan adat semacam Irewa diharuskan mengikuti cara hidup yang ditentukan oleh masyarakat. Perempuan harus diam, tidak mengeluh, dan tidak protes. Maka, tubuh Irewa menjelma jadi sulur negara di ujung timur untuk menyerukan program-program pemerintah. Negara berkuasa pada setiap tubuh warga negara tanpa perlu menyentuhnya.

Peran sebagai penyeru kesehatan membuat Irewa meralat makna menjadi yonime. Berlatar kehidupan adat atau kehidupan bernegara, ia tetap memegang peran sebagai yonime. Berbeda dari posisi pejabat negara yang mengenal pensiun, mutasi dan pemecatan, ia mengemban status yonime selamanya. Ia tidak menampik peran itu meski tampak tidak adil, mengungkung, menyebabkan kemalangan, atau menciptakan trauma. Irewa memilih berkompromi sekaligus memaknai kembali tugasnya sebagai yonime untuk berusaha mendefinisikan diri di masa pembangunan. Jika secara tradisional yonime mendamaikan seteru dua kampung, yonime modern lebih mengupayakan kesejahteraan perempuan.

Zaman dulu yonime diminta menjaga keselarasan masyarakat di dua kampung. Irewa kini berpikir, ia tak mau terikat hanya pada dua kampung itu saja. Kebutuhan untuk waktu sekarang adalah, ia harus ikut memikirkan keharmonisan pada tempat ia berada saat ini. Irewa merasa terpanggil untuk menjadi orang yang punya pengaruh dalam mengubah pandangan orang lain. Irewa mulai menyampaikan pendapatnya tentang pelacuran. [. . .] Ia juga mengajak para perempuan pedagang di pasar menjaga anak-anak laki-lakinya hati-hati” (2015, 157).

Perempuan dan seksualitas di bawah kekuasaan Orde Baru tentu tidak hanya urusan agenda terprogram atau kebijakan-kebijakan yang memihak perempuan. Orde Baru memiliki riwayat politis dalam hal seksualitas, khususnya citra yang diciptakan dari penghancuran organisasi perempuan kiri, Gerwani. Malapetaka 30 September telah menciptakan kesan perempuan (PKI) yang berani melawan pria dan menyiksa dengan brutal. Leclerc (2005) mengatakan, “para perempuan PKI tidak lagi memberikan toleransi kepada para pria yang menonton mereka sehingga mereka mencopoti mata para pria itu.” Orde Baru sukses menciptakan mitos Gerwani yang amoral, menjijikkan, dan liar secara seksual.

 Pemerintah berambisi menjalankan proyek domestikasi perempuan, mengembalikan perempuan sebagai gadis, istri, sekaligus ibu apolitis untuk menghambat lahirnya organisasi-organisasi perempuan yang vokal dan kritis. Perempuan cukup dihimpun dalam Dharma Wanita atau PKK yang memperlihatkan kesan patuh, diam, beradab, dan sopan. Segala proyek proteksi tubuh perempuan secara sosial, kesehatan reproduksi, atau (pendisiplinan) seksual adalah tindakan penjinakan perempuan sejak dari keluarga. Negara dengan tangan tidak terlihat dan tidak menyentuh secara ragawi bisa melakukan kontrol secara masif atas seksualitas perempuan melalui lembaga-lembaga yang tersulur sampai ke tubuh perempuan paling “tidak punya kepentingan”. Proses konstruksi ini, seperti dikatakan Hatley (2006), adalah pembusukan sosok perempuan mandiri dan asertif yang sekaligus untuk menandingi ancaman imaji perempuan mandiri dari Barat yang potensial menantang kuasa Orde Baru. Negara melucuti perempuan dari keberanian atau ketegasan seksual mereka dengan dalih bahwa keberanian itu berlawanan dengan kodrat perempuan Indonesia.

 

Menjadi Sulur Negara

Irewa bergerak maju. Tidak ada yang tersisa di perkampungan adat. Tanah dan hutan hilang dimiskinkan oleh ambisi industrial. Indonesia tengah mengalami masa transisi seperti yang ditegaskan Suryakusuma (1981), dari feodalisme ke kapitalisme, dari masyarakat agraris ke industrial, dan dari masyarakat tradisional ke modern. Perempuan desa dengan ketertinggalan-kemiskinan atau perempuan kota dengan gaya hidup mewah sama-sama berada di persimpangan dan menghadapi tantangan sesuai kondisi sosial mereka. Para perempuan dalam pelbagai latar sosial dan geografis mengalami transisi dan merasakan situasi dilematis karena tata moral konservatif masih bertahan dan cenderung menjadi rintangan kultural perempuan menyadari peran di tengah masyarakat.

Irewa dirundung dilema kolektif ini. Ia harus turut serta dalam arus urbanisasi demi bertahan hidup dan merengkuh tuntutan yang lebih dari sekadar bisa makan. Irewa harus lebih berjuang tanpa kepemilikan tanah dan ternak. Faktanya: “Malom tidak bekerja. Kalau ia menjual tanah, uang itu dipakainya untuk dirinya sendiri. Jadi Irewa yang harus memikirkan semua kebutuhan keluarga. Yang terakhir babi milik Irewa hanya tinggal dua ekor saja. Ladang yang dulu tanahnya longsor sudah dijual oleh Malom. Begitu pula ladang-ladangnya yang lain. Untuk menghidupi keluarga, Irewa lalu menjual dua ekor babinya itu. Uangnya dipakai untuk beberapa keperluan. Untuk menyewa kios di pasar. Sedikit untuk mencicil utang pedagang pasar waktu Ansel masuk SMA. Sedikit untuk pegangan biaya hidup dengan anak-anaknya. Sejak saat itu, Irewa tak lagi menjual hasil kebun miliknya sendiri, tapi menjual sayur, buah, dan lainnya milik para perempuan di kampung-kampung” (2015, 183-184).

Sementara itu, para tetua pemegang petuah adat yang semakin kesulitan melakukan kontrol sosial, dipaksa merelakan generasi muda mereka tergoda oleh tawaran pergaulan modern. Boelaars (1986) mengatakan bahwa kontak manusia Papua dengan modernitas melenyapkan peraturan-peraturan adat yang semula dilihat penganutnya sebagai bagian dari jatidiri.

Hubungan-hubungan baru terbentuk. Urusan kebijakan, peraturan, ataupun hukum yang semula berada di tangan kepala adat atau kaum tetua beralih ke kekuasaan pemerintah. Bukan hanya peristiwa menyangkut komunalitas yang harus berubah. Pendidikan modern yang diwakili sekolah mencipta penjarakan secara emosional dan kultural. Tubuh-tubuh modern cenderung tidak akan kembali kepada komunalitas tradisional (adat) tempat para tetua menentukan segalanya dan tampaknya kurang menyukai kebebasan. Kontak dengan dunia luar cenderung mengubah secara radikal cara melihat lingkungan alam dan entitas sosial dan budaya yang telah membesarkan diri.

Setelah pasar, ada kantor yang meruangi masa perubahan sosial. Irewa bertemu negara dalam sosok kepala distrik baru yang ternyata seorang perempuan, Selvi Warobay. Pada masa Orde Baru, sungguh sangat jarang perempuan menjadi pejabat kecuali ia adalah istri pejabat. Dari birokrasi paling kecil tingkat RT, semua jabatan cenderung dipegang oleh laki-laki. Perempuan cukup jadi pendamping dengan citra aristokrat yang kental. Dorothea sengaja memberi pertanda dengan kehadiran Selvi Warobay bahwa di masa-masa senjakala kekuasaan Orde Baru ini, reformasi akan segera terbit dan perempuan ada di sana tidak hanya sebagai penonton.

Selvi Warobay memilih Irewa sebagai perwakilan kunci. Bahkan Selvi memprovokasi secara halus dengan istilah “guru”. Irewa tidak pernah merasakan pendidikan formal dan tidak pernah berpikir akan menjadi guru bagi sesama perempuan. Baginya, memberi pengajaran karena pengalaman. Irewa masih belum berpikir muluk tentang kemerdekaan atau kemandirian, setidaknya dari kuasa Malom. Namun, ia tidak lagi melihat dirinya sebagai perempuan yang selalu diberitahu, diperintah, atau dipukul. Irewa kini memiliki hak untuk membalik kata kerja yang memasifkan perempuan tetap dalam kadar yang tenang.

Ruang Marya, sebuah ruang di kantor distrik yang sengaja dipersiapkan untuk kegiatan advokasi perempuan, merepresentasikan suatu pembalikan simbol yang telak. “Marya” dalam bahasa setempat berarti busur. Dalam tata adat Papua, busur dan anak panah adalah simbol maskulinitas dan kekuasaan laki-laki. Perempuan tidak boleh bahkan sekadar menyentuh busur karena dianggap bisa membawa sial dalam perburuan. Perempuan juga dipercaya akan didera penyakit kalau berani menyentuh busur. Di ruang Marya, busur malah berarti senjata bagi perempuan untuk membunuh kebodohan, kebiasaan buruk di keseharian, dan kecengengan. Perempuan harus sekuat busur serta seteguh anak panah.

Proses integrasi sosial Irewa secara personal dan Papua secara geopolitis menjadi hal yang kompleks. Kehadiran kaum pendatang tetap lebih dominan secara ekonomi dan politik. Reformasi 1998 membawa Papua dalam situasi dilematis untuk menentukan diri sendiri sebagai negara atau tetap menjadi bagian dari Indonesia. Todung Mulya Lubis (Kompas, 19 Juni 2000), mengatakan Papua tidak benar-benar terintegrasi dalam kemajuan ekonomi Orde Baru yang konon dianggap berhasil. Program transmigrasi yang gencar untuk tujuan pemerataan justru menciptakan pembelahan di masyarakat. Kaum pendatang mayoritas dari Jawa mendapat tanah subur. Perdagangan juga dikuasai pendatang dari Buton, Bugis, dan Makassar. Posisi penting birokrasi lebih banyak diduduki orang Jawa sampai muncul sindiran “Irian Jawa”. Kongres Rakyat Papua pada 2000 menjadi ungkapan hak asasi untuk menentukan posisi Papua dalam tatanan global.

Wacana disintegrasi Papua tentu menciptakan ketakutan pelbagai pihak. Sayangnya, bukan demi memikirkan sebagai sesama warga negara Indonesia dalam kesatuan negara-bangsa, melainkan karena ketakutan kehilangan sumber daya alam melimpah dari bumi Papua. Di tengah perubahan politik yang besar dan menentukan setelah Reformasi, sekalipun Irewa menjadi sulur negara paling ujung, Orde Baru tidak benar-benar berkuasa pada tubuh Irewa dalam melanggengkan politik seksualitas Orde Baru. Justru karena Irewa tidak melekatkan modal birokratif-administratif sekaligus masih tetap mempersepsikan diri sebagai yonime dengan caranya sendiri.

Ia berada di persimpangan antara adat atau negara, tetapi masing-masing tidak benar-benar menarik Irewa berada di pihaknya. Tangan negara yang menguasai tanpa perlu menyentuh lewat senjata modernitas berbalik dikelabui untuk kepentingan perempuan.

Irewa mengamanatkan tindakan “melawan balik”.

Papua adalah tanah yang membesarkan Irewa, sementara Indonesia masih menjadi gagasan kebangsaan atau geografis yang kabur. Indonesia belum memberikan perubahan nasib yang berarti atau menjanjikan masa depan yang pasti. Pertarungan dengan negara terjadi meski lebih menampakkan pertahanan yang lugu, lambat, dan tidak efektif. Bukankah sekadar kegelisahan saja berarti kesadaran atas ketidakberesan sosial? Tubuh Irewa berani menanggung kegelisahan dan akhirnya berupaya bebas dalam arus perubahan zaman. Irewa hadir untuk mempersonifikasikan keluguan masyarakatnya menghadapi modernitas bawaan negara yang tengah rajin membangun dan memberadabkan. Tubuh Irewa secara ideologis juga membawa pesan kemerdekaan kolektif Papua menentukan nasib menghadapi kondisi-kondisi represif.

 

Kepentingan Masyarakat Pembaca

Data etnografi yang ditampilkan Dorothea dalam Isinga tidak hanya memungkinkan pembacaan secara intrinsik saja, tetapi juga membedah konteks sosial, kultural, dan politik. Namun, melimpahnya data terkesan “kurang” tertangani dengan baik yang berisiko menggagalkan tercipta celah-celah imajinatif bagi pembaca. Tanpa mengurangi kadar data yang tersebar, bagaimana sekian bekal data tetap terasa digdaya tanpa mengganggu “kenikmatan” membaca. Pembaca menghadapi novel Isinga lebih seperti menyimak laporan etnografis daripada membaca fiksi. Sudut pandang orang ketiga yang dipilih memberi ketegasan jarak atas apa yang diamati.

Ketika menghadapi roman atau novel, pembaca mungkin berasumsi akan memasuki kenyataan dalam cerita melalui cara bertutur dan bagaimana emosi setiap tokoh ditekankan. Cerita tentang masyarakat tidak hanya dipinjam untuk ditampilkan—sebagaimana laporan etnografi—tetapi memengaruhi perilaku tokoh dan nasibnya, masyarakat dalam keseluruhan cerita. Ini bukan berarti novel etnografi gagal menjadi novel, tetapi ia terlalu ingin menjelaskan keseluruhan yang terjadi di masyarakat.

Laporan etnografi yang baik ibarat fiksi yang justru tidak berlabel fiksi atau novel. Laporan etnografi terasa fiksi karena ada satu unit kecil yang ingin diceritakan, misalnya saja “pintu belakang” dalam Back Door Java: Negara, Rumah Tangga, dan Kampung di Keluarga Jawa (2013) karya Newberry. Namun, andai harus membandingkan dua ragam karya yang sama-sama mengangkat keluarga: Keluarga Jawa karya Hildred Geertz dan Para Priyayi karya Umar Kayam, pembaca bisa memastikan yang lebih menyentuh emosi.

Dorothea dikenal sebagai penyair perempuan yang penting dan menarik pada dekade 1980-1990an. Lewat puisi-puisinya, Dorothea mengafirmasi posisinya untuk menyuarakan keperempuanan lewat diksi-diksi frontal-memberontak yang justru berkesan maskulin: perang, cabikan, pertempuran, darah, membakar, dan lain-lain. Afrizal Malna dalam epilog buku puisi Nikah Ilalang (2003) karya Dorothea menduga gejala ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, kekerasan telah begitu primordial menjadi bagian dari masyarakat, maka tidak ada klaim kelamin atas hal ini. Tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan untuk menggunakan (bahasa) kekerasan. Dan karena alasan moralitas, bahasa itu bagi perempuan sering dibatasi. Salah satunya melalui  puisi, perempuan bisa mengambil kekerasan yang dekat dalam hari-harinya sebagai topik dan cara merengkuh bahasa. Atau kedua, Dorothea terlalu jauh masuk ke sejarah perpuisian di Indonesia yang didominasi oleh tutur para lelaki dan inilah cara menyejajarkan narasi perempuan dan keperempuanan, yakni lewat diksi kekerasan.

 Secara pribadi, saya lebih condong kepada alasan kedua. Bahasa dan wacana perempuan dalam banyak kebudayaan sering dibatasi demi alasan moralitas. Sebagaimana terhadap kekuasaan politik, perempuan harus berjuang merebut kekuasaan atas bahasa. Dalam Nikah Ilalang atau Isinga, Dorothea memiliki gugatan yang sama tentang perempuan, rumah tangga, pernikahan, tubuh, persetubuhan. Ada pertaruhan mempertanyakan tatanan yang terlalu maskulin, tetapi memang bahasa prosa Dorothea harus lebih lempang dan “tertahan” dibanding puisi-puisinya memperlihatkan pergulatan kebahasaan yang sangar. Prosa atau puisi sama-sama menempatkan Dorothea sebagai perempuan yang menunjukkan keberpihakan pada upaya perlawanan (perempuan) meski dengan cara dan daya masing-masing.

Sastra mencerminkan arus perubahan peristiwa dan kondisi manusianya. Fakta bahwa perempuan sering digambarkan terbatas dan terkungkung merupakan bukti adanya nilai-nilai yang harus diubah. Perempuan yang semula menempati kedudukan yang pasif dalam perekonomian beralih menjadi penentu perekonomian. Perempuan yang semula didefinisikan tubuhnya oleh pihak lain beralih menjadi pihak yang mendefinisikan sendiri tubuhnya. Dorothea lewat ketokohan Irewa bisa terus mewakili kesadaran menjadi bagian dari masyarakat yang terus berubah dan bergerak. Irewa menunjukkan jiwa yang berani untuk memilih mandiri, merengkuh kebahagiaan, dan memutuskan tidak cengeng menghadapi kuasa adat (laki-laki), lalu melangkah ke masa depan dalam tubuh besar negara.

Novel Isinga melanjutkan karya-karya pengarang perempuan yang menyuarakan perlawanan. Pada 1977, terbit kali pertama novel Raumanen karya Marianne Katoppo yang mendapat pengakuan nasional dan internasional. Kemunculan Marianne bersamaan dengan para penulis perempuan, seperti Marga T., Maria A. Sardjono, Mira W., Titie Said. Marianne berbicara tentang percintaan beda suku Minahasa-Batak, cara agama memandang perempuan, pernikahan, dan kekuasaan keluarga. Memang agak ironi bahwa Marianne memutuskan tokoh kunci, Raumanen, bersuara setelah mati yang justru semakin menguatkan perempuan berbicara tentang dirinya.

Hal ini beririsan dengan Nh. Dini yang juga muncul dengan dorongan menemukan jati diri berlatar masa 1970-an ketika perempuan semakin keluar untuk merengkuh kehidupan sosial. Misalnya melalui  cerita “Janda Muda”, Nh. Dini menokohkan perempuan Jawa lulusan sekolah guru bernama Warsiah. Pada usia 25 tahun, Warsiah menanggung status janda karena ditipu pemuda terpelajar dan calon insinyur yang ternyata sudah beristri. Status “janda” menunjukkan kemerdekaan diri daripada menjadi istri kedua.

Dalam esai biografis “Naluri yang Mendasari Penciptaan” (2009), Nh. Dini mengatakan, “Bentuk cerpen lebih saya pergunakan sebagai cara langsung untuk memperlihatkan ketidakadilan. Untuk secara halus menyatakan gugatan saya, mengapa hal semacam itu bisa terjadi  dan ada di dunia yang kita gumuli sehari-hari. Saya adalah pengarang. Saya adalah pengamat dan pemikir. Saya bukan pihak yang berwewenang atau berkuasa untuk mengubah keadaan. Saya hanya bisa menunjukkan, bahwa ini ada atau itu terjadi.”

Nama Djenar Maesa Ayu muncul setelah Reformasi. Di latar perkotaan kosmopolit, Djenar berani berbicara tentang seksualitas, mengecam kemunafikan, dan stigma (perempuan) bentukan masyarakat. Julia I. Suryakusuma (2003) menyebut Djenar “melanggar tabu, menguak kegelapan”. Kalimat-kalimat Djenar cenderung pendek-pendek dan gamblang tetapi menghasilkan efek mencekam. Cerpen “Menyusu Ayah” misalnya, mengejek arogansi patriarki dan mendekati perih kehilangan hak atas tubuh.

Fiksi bukan sekadar karya yang lahir untuk dibaca, tetapi juga penyataan sikap para pengarang yang menunjukkan kuasa atas tubuh dan menggugat aneka persoalan yang mengisari. Fiksi bersuara sebagai perempuan untuk perempuan. Perempuan memiliki otoritas menentukan jalan hidup meski diserimpung oleh rintangan-rintangan kultural. Zaman dan cara pandang memang berubah, tetapi perempuan masih menghadapi konflik yang sama.

Perempuan masih harus berjuang untuk bebas, karena seperti ditegaskan Dorothea, “Dunia telah menjadi sangat luas.”

 

Kepustakaan

Beauvoir, Simone de. Second Sex. Yogyakarta: Narasi, 2016.

Boelaars, Jan. Manusia Irian: Dahulu, Sekarang, Masa Depan. Jakarta: Gramedia, 1986.

Dini, Nh. ‘Janda Muda’. Dalam Segi dan Garis. Jakarta: Pustaka Jaya, 1983.

Dini, Nh. ‘Naluri yang Mendasari Penciptaan’. Dalam Pamusuk Eneste (ed.) Proses Kreatif, Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang Jilid 2. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009.

Hatley, Barbara. ‘Pasca Kolonialitas dan Si Feminin dalam Sastra Indonesia Modern’. Dalam Keith Foulcher dan Tony Day (ed.) Clearing a Space: Kritik Pasca Kolonial tentang Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta, 2006.

Herliany, Dorothea Rosa. Isinga: Roman Papua. Jakarta: Gramedia, 2015.

Katoppo, Marianne. Raumanen. Jakarta: Grasindo, 2018.

Leclerc, Jacques. ‘Gadis-gadis dan Buaya-buaya’. Dalam Henk Schulte Nordholt (ed.) Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan. Yogyakarta: LKiS, 2005.

Lubis, Todung Mulyana. ‘Kongres Rakyat Papua dalam Perspektif Hak Asasi Manusia’. Kompas, 19 Juni 2000.

Malna, Afrizal. ‘Dunia Gender dari Penyair Perempuan dan Diksi Laki-laki’. Dalam Dorothea Rosa Herliany, Nikah Ilalang. Magelang: Indonesiatera, 2003.

Sumardjo, Jakob. ‘Warna Lokal Sastra Indonesia’. Dalam Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta: CV Nur Cahaya, 1982.

Sumardjo, Jakob. ‘Konteks Sosial Setting Novel Indonesia’, Basis No.2 (Februari 1994): 69-74.

Suryakusuma, Julia I. ‘Karya Sastra Tiga Perempuan yang Sakral, Duniawi, dan Profan’, Horison No. 6 (Juni 2003): 11-23.

Suryakusuma, Julia I. ‘Wanita dalam Mitos, Realitas dan Emansipasi’, Prisma No. 7 (Juli 1981): 3-14.

Suryawan, I Ngurah. Jiwa yang Patah: Rakyat Papua, Sejarah Sunyi, dan Antropologi Reflektif. Yogyakarta: Basabasi, 2019.

Esai24 Desember 2021

Setyaningsih


Pekerja buku di Penerbit Babon, Boyolali. Ia menulis esai, resensi, dan cerita anak. Sejak 2018, Setyaningsih menekuni tema kepustakaan anak. Esai-esai atas tema ini dihimpun di dua jilid buku Kitab Cerita (2019 dan 2021). Pada 2021, ia menjadi salah satu penulis yang lolos di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF).

Berlangganan

tengara.id adalah situs kritik sastra yang dikelola oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta. Tengara adalah upaya lanjutan dalam mengisi kelangkaan pertumbuhan kritik sastra dalam kehidupan kesusastraan Indonesia.