Dari Balik Edisi Perdana

—Jawaban untuk Hamid Basyaib

Sejak tahun 2007, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) secara berkala menyelenggarakan sayembara menulis kritik sastra—setelah sebelumnya “sayembara kritik seni” pada 2004. Memang, jumlah makalah yang masuk tidak sebanyak naskah puisi atau novel, tetapi masih bisalah kami berharap kehidupan kembali kritik sastra yang selama ini dianggap sekarat. Apa yang juga terasa kurang adalah media untuk kritik sastra, setelah jurnal dan majalah sastra yang berjaya di masa lalu tidak ada lagi. Pada awal 2000-an hingga 2009, misalnya, DKJ pernah pula menerbitkan berkala seni dan sastra bernama Citra, dalam bentuk cetak (tiga nomor) dan daring (satu edisi). Akan tetapi, yang menyumbangkan tulisan atau kritik sastra ke terbitan itu juga tidaklah banyak. Bahkan, hanya berkisar pada nama-nama yang itu-itu saja.

Ekosistem sastra kita, tentu saja, sudah berubah. Salah satunya adalah tiada lagi lembaga atau media yang memberi tempat pada pembicaraan karya sastra yang tekun dan saksama. Media sosial telah merebut semua otoritas itu. Akan tetapi, Komite Sastra kembali mencoba menghidupkan tradisi penulisan kritik sastra pada periode ini. Bukan hanya melalui sayembara penulisan kritik sastra seperti selama ini, tetapi juga dengan menerbitkan situs yang bisa merangsang dan menampung kritik sastra. Situs kritik sastra tengara.id kami dedikasikan sebagai ruang inklusif tempat beragam bentuk kritik sastra.

Kritik tentu adalah bagian penting dari ekosistem sastra sebab kritik memberikan rujukan pada pembaca dan sastrawan mengenai aneka perkembangan terkini dalam dunia sastra. Dalam kritik sastra, kita membaca bukan hanya bagaimana sebuah karya sastra ditelaah, tetapi juga dibandingkan dengan karya-karya segenerasinya dan karya generasi sebelumnya, bdengan membandingkannya dengan khazanah sastra atau seni dari kawasan lain, bahkan mengaitkannya situasi zaman dan masyarakat yang melingkupinya. Untuk bisa membaca dengan saksama perkembangan terkini sastra yang menyebar-luas melintasi batas-batas wahana, diperlukan diskusi terbuka tentang apakah aneka pendekatan kritik yang ada sudah memadai dan pembahasan tentang aneka cara alternatif dalam menyelenggarakan kritik sastra. Itulah juga konteks yang membidani kelahiran tengara.id.

Situs ini digagas oleh Komite Sastra dengan sistem rotasi keredaksian setiap tiga edisi. Pada tiga edisi pertama tengara.id, tim redaksi terdiri dari Martin Suryajaya dan Zen Hae sebagai redaktur utama serta Dewi Kharisma Michellia sebagai redaktur pelaksana. Sistem rotasi ini memungkinkan tilikan dan sudut pandang yang berbeda mengenai sastra setiap tahun, seiring dengan pergantian tim redaksi. Dengan mekanisme semacam itu, kami berharap dapat memberikan kesempatan bagi aneka posisi pijak berbeda mengenai sastra mengemuka setiap tiga edisi sekali. Posisi pijak ini tercermin dalam pilihan artikel yang dimuat dan editorial yang, berkat mekanisme semacam itu, memungkinkan hadirnya semacam pendapat dan bukan sekadar ringkasan artikel yang dimuat. Inilah pemikiran yang melandasi editorial yang bernada sedikit polemis itu.

Baik Nirwan Dewanto yang mengomentari perihal wawancara bergaya mbeling maupun Hamid yang selaras dengan Nirwan dengan lebih saksama menjabarkan apa yang dimaksud mbeling oleh Nirwan tersebut sebagai wawancara dalam ragam cakapan, kami menampungnya untuk menambah perspektif mengenai bentuk dan gaya bahasa percakapan. Karena kami berharap tengara.id bisa dibaca bukan hanya oleh pembaca atau peminat sastra dari hari kemarin, tetapi juga oleh pembaca atau peminat sastra hari ini, dalam rubrik percakapan edisi perdana kami sengaja mempertahankan nuansa cakapan tersebut untuk memberi kesan bahwa ragam cakapan dimungkinkan untuk hadir di tengah serba-seriusnya pembahasan sastra. Lagipula narasumber kali ini adalah sosok yang tidak melihat signifikansi bertutur dalam bahasa Indonesia baku—meskipun ia bisa membuktikan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dalam karya-karyanya.

Masih terkait wawancara, kami berterima kasih atas masukan Hamid terkait substansi wawancara. Pewawancara semula hendak mengeksplorasi latar belakang dan sisi personal Sabda Armandio lantaran berpijak pada diktum personal is political alias apa-apa yang personal sebenarnya merupakan fondasi apa-apa yang politis. Dengan menyelidiki latar belakang Sabda Armandio melalui media sosial, pembaca akan cepat mengetahui ketertarikannya akan peristiwa mutakhir terkait perkembangan teknologi, ekonomi, sosial, politik, juga lingkungan hidup. Termasuk soal-soal pribadi yang menentukan dan terkait kariernya di kemudian hari, yakni kakeknya.

Demikianlah latar belakang substansi wawancara tersebut. Kami berkomitmen untuk lebih berani dan mendalam dalam mengulas karya para sastrawan yang diwawancarai. Semoga masukan ini dapat kami terapkan pada edisi-edisi mendatang, hingga kami menemukan bentuk yang paling pas bagi rubrik Percakapan ini. Seturut orang partai—atau penjual obat wasir: Kami kasih bukti, bukan janji.

 

Meja Bundar15 September 2021

tengara.id


tengara.id adalah upaya strategis untuk meningkatkan kualitas karya sastra Indonesia melalui pembacaan, pembedahan, dan penilaian yang dilakukan dengan landasan argumen dan teori yang bermutu.