Modernisme versus Adat dalam Naskah Drama Pembalasannja

Ilustrasi: Bunga Jeruk Permata Pekerti

Pembalasannja adalah sebuah tonil karya Saadah Alim yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1940. Tonil ini bercorak komedi gelap-romantik berlatar belakang tradisi Minangkabau, khususnya perjodohan dengan kerabat. Selain dalam cerita-cerita pendek dan naskah drama karya Saadah Alim ini, karya bertema perjodohan atau pernikahan memang banyak dibahas dalam karya sastra pada era yang sama. Sebut saja Manusia Bebas (Buiten het Gareel) karya Suwarsih Djojopuspito yang menggambarkan suasana pernikahan sepasang istri-suami bernuansa patriotik dalam perjuangan Indonesia sebagai bangsa pada tahun 1930-an. Berbeda dengan konflik dalam Manusia Bebas yang banyak mengumbar refleksi tentang nasionalisme dan bercerita tentang pernikahan yang tidak didasarkan pada untung-rugi belaka, Pembalasannja menceritakan konflik romansa istri-suami yang menikah karena dijodohkan, didorong oleh utang budi kepada mamak (paman) yang merupakan sosok dituakan dalam keluarga Minangkabau. Secara garis besar, Pembalasannja kurang lebih mirip dengan novel Belenggu karya Armijn Pane yang berkisah tentang kehidupan istri-suami yang menikah tanpa dilandasi oleh rasa cinta beserta konflik-konflik yang ditimbulkan akibat pernikahan itu.

Pembalasannja masuk ke dalam golongan karya Saadah Alim yang selalu dekat dengan tema adat dan tradisi Minangkabau. Selain karena lahir dan tumbuh besar di Padang, Sumatera Barat, sejak usia dua puluh tahun, Saadah memang sudah tertarik untuk memikirkan ide-ide modernitas, kondisi perempuan, serta kehidupan pernikahan Minangkabau pada masa itu. Sebagian besar karya Saadah menampilkan tegangan antara adat dan modernitas. Ia melakukan kritik terhadap adat menggunakan perspektif modern: dampak pendidikan kolonial pada individu, kehidupan urban, serta bagaimana kebebasan dimaknai. Namun, ia tidak bisa benar-benar keluar dari nilai adat dan tradisi.

Saadah Alim terinspirasi untuk mengangkat tradisi dan kebiasaan masyarakat Minangkabau. Beruntung, latar belakang keluarga, pendidikan formal, dan lingkaran perkawanan dalam karier Saadah memungkinkan ia untuk mengakses tradisi dan kebiasaan elit Minangkabau untuk kemudian menjadikan semua itu sebagai latar belakang tokoh-tokoh dalam cerita pendek dan naskah dramanya. Melalui tokoh-tokoh itulah Saadah telah menunjukkan bahwa tradisi atau adat Minangkabau memiliki nilai-nilai yang perlu dijunjung tinggi di tengah gempuran wacana modernitas pada masing-masing era.

Dalam pembacaan-pembacaan saya sebelumnya terhadap Pembalasannja, saya menyebutkan bahwa Saadah mengalami perubahan pola pandang terhadap tradisi.[1] Jika dalam cerpen-cerpennya ia melakukan demonisasi terhadap modernitas dan gaya hidup Barat, maka dalam Pembalasannja ia menyampaikan hal yang sebaliknya. Dalam naskah tonil ini, ia melakukan beberapa eksplorasi konflik yang agak liar dalam menentang tradisi perjodohan dan kebebasan. Misalnya, pandangan Bahar (tokoh utama laki-laki) tentang kebebasan bergaul dengan banyak perempuan, siasat Nur Asjikin pada keluarga untuk pergi ke Jakarta, serta pembalasan dendam yang disusun dengan gaya yang nyeleneh. Namun dalam pembacaan saya yang terus berlanjut, timbul sebuah dugaan baru. Sebetulnya, tidak saya temukan perubahan yang signifikan terkait pandangannya terkait tradisi Minangkabau.

Pembalasannja masih menunjukkan bahwa kekembalian pada tradisi sebagai suatu hal yang baik. Dalam Pembalasannja, kisah istri-suami Nur Asjikin dan Bahar yang berakhir bahagia memberi kesan kuat bahwa tradisi (baca: perjodohan) tidak akan salah.

Besar kemungkinan bahwa bentuk Pembalasannja sebagai naskah dramalah yang memberi ruang lebih luas bagi plot. Tersedia ruang untuk bermain-main dengan percakapan yang mendalam dan hiperbolik, adegan-adegan berisi kejutan yang bebas dan modern, serta ekspresi-ekspresi yang dibayangkan kelak hadir di atas panggung. Wajar jika model bercerita Pembalasannja terbaca lebih liar dan bebas jika dibaca dalam kerangka persentuhan tradisi Minangkabau dengan modernitas.

Modernisme versus Adat: Sebuah Negosiasi

Sebagai sebuah karya drama modern, Pembalasannja menunjukkan beberapa tendensi atau kecenderungan pembelaan terhadap modernitas. Pertentangan modernisme dengan adat menjadi yang paling kentara. Modernisme, sebagai sisi lain dari kolonialisme, memang berperan penting dan mempengaruhi karier aktivisme dan kesusastraan Saadah Alim. Salah satu yang paling berkembang menjadi besar dan menimbulkan polemik tentu keterlibatannya dalam dialog keras tentang makna vrijheid (kebebasan) dan kesetaraan bagi perempuan Minangkabau.

Sebagai sebuah media modern, Soeara Perempoean yang didirikan oleh Saadah Alim pada 1917 secara terang-terangan memposisikan diri sebagai media yang antikemapanan sosial, adat, dan tradisi. Ia dan media tersebut menolak pembatasan pada pendidikan perempuan atau hendak mengubah persepsi tentang perempuan yang sering diidentikkan dengan pekerjaan domestik belaka.

Hal tersebut dipahami secara praktis sebagai upaya Saadah memperjuangkan kebebasan seperti kebebasan yang dimiliki oleh perempuan Eropa. Namun, jika berhenti di situ, pemahaman tentang kebebasan tentu akan tereduksi. Padahal, kehadiran nilai-nilai dan norma-norma baru di tanah Minangkabau sangat beragam. Mulai dari perang neo-Wahabi, kolonialisme Belanda, kehadiran para reformis Mekah, modernis Muslim, dan pergerakan progresif Eropa-sentris serta negara polisi yang diterapkan setelah pemberontakan komunis 1926. Semua itu pasti mempengaruhi makna kebebasan dari waktu ke waktu. Maka, sulit untuk memilahnya menjadi sebuah pemaknaan tunggal, misalnya kebebasan “ala Barat”, atau “ala Timur”.

Pada masa itu, gerakan perempuan sedang gencar-gencarnya. Sebelum Soeara Perempoean, ada media Soenting Melajoe yang lebih berorientasi kepada adat Minangkabau dan sangat kooperatif dengan program-program pemerintah kolonial Belanda. Meski berseberangan dengan Soeara Perempoean yang menganggap bahwa antara adat yang ideal dan realitas itu terdapat jurang yang dalam, harus diakui bahwa secara umum, gerakan perempuan Minangkabau sedang jaya-jayanya. Ketika itulah adat dilihat sebagai sebuah alat yang dapat membantu upaya-upaya pemberdayaan perempuan. Pada masa prakolonial, adat yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Minangkabau merupakan cara untuk mengemukakan pandangan dan meneguhkan kekuasaan perempuan dalam suatu struktur masyarakat matrilineal. Kehadiran kolonialisme yang menginginkan struktur patriarkat membongkar adat Minangkabau sehingga struktur kekuasaan yang menopang perempuan dalam stelsel matrilineal berpotensi ikut terbongkar.

Maka, suara perempuan Minangkabau, termasuk Saadah Alim dalam karya-karyanya, bersikeras meninggikan adat meski dalam gerakan ia seperti pro-Barat. Saadah melihat Barat sebagai entitas yang perlu dipilih dan dipilah hanya segi positifnya saja, sementara sisi gelapnya tidak perlu diapresiasi sepenuhnya. Hal-hal yang diterima dari modernisme adalah, sebut saja, pencerahan dan pembaharuan.

Sebab pendiriannya seperti orang Minangkabau zaman Hindia Belanda pada umunya, yaitu Kompeni babenteang besi, Minangkabau babenteang adaik (Kompeni berbenteng besi, Minangkabau berbenteng adat) yang melukiskan kekuatan seimbang antara adat dengan kekuatan kolonial. Masyarakat Minang dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang terus berubah dengan memakai pola hidup seperti yang diungkapkan mamangan mereka, nan elok dipakai, nan buruak dibuang.[2] Maka, wajar jika kita dapat menemukan kemenduaan dalam cerpen dan naskah drama Saadah.

Di dalam karya-karya kreatifnya, ia selalu menggunakan adat dalam penyelesaian konflik, sementara di dalam gerakan perempuan, ia terlihat begitu bersimpati kepada keadaan perempuan Eropa yang dianggapnya bebas dari batasan-batasan.

Posisi Saadah itu bersifat cair (fluid) jika dibandingkan dengan kolonialisme yang menempatkan otoritas pada gagasan-gagasan khas Pencerahan saja. Dengan begitu, dapat dilihat betapa buram pembatasan antara gagasan menentang adat dan mengagungkan adat, menolak modernisme dan mendukung modernisme.

Gagasan modernisme merupakan punggung dari kolonialisme. Keduanya bagai dua sisi dari satu mata koin yang sama. Dalam esai “Coloniality and Modernity/Rationality”, Aníbal Quijano menyebutkan bahwa kolonialisme merupakan sebuah produk represi sistematis, bukan hanya represi terhadap keyakinan, gagasan, citra, simbol, atau pengetahuan tertentu yang tidak berguna bagi dominasi kolonial global. Pada saat yang sama para penjajah merampas pengetahuan dari yang terjajah. Represi terjadi dalam cara mengetahui, menghasilkan pengetahuan, menghasilkan perspektif, gambar dan sistem gambar, simbol, cara penandaan, sumber daya, pola, serta instrumen-instrumen yang diformalkan dan diobjektivisasi, baik secara intelektual maupun visual. Kolonialisme juga diikuti dengan pemaksaan penggunaan pola ekspresi penguasa, kepercayaan, dan citra mereka dengan cara membubuhi hal-hal itu dengan kesan supranatural. Dalam konteks budaya-budaya di Nusantara termasuk Minangkabau, tingkat paling tinggi kepercayaan masyarakat adalah pada nilai-nilai adat dan tradisi. Namun setelah agama dan kolonialisme masuk, keduanya menggantikan nilai-nilai adat dan tradisi. Keyakinan-keyakinan dan citra-citra yang digunakan oleh kekuatan kolonial berfungsi tidak hanya untuk menghambat produksi budaya yang didominasi, tetapi juga sebagai sarana kontrol sosial dan budaya yang sangat efisien, ketika represi secara langsung tidak lagi berjalan konstan dan sistematis.

Kolonialisme telah menanamkan pola tersendiri dalam menghasilkan pengetahuan dan makna. Pada awalnya, kaum penjajah menempatkan pola-pola ini jauh dari jangkauan yang didominasi. Belakangan, mereka mengajari kawula jajahan secara parsial dan selektif untuk mengkooptasi beberapa yang didominasi ke dalam institusi kekuasaan mereka sendiri. Upaya-upaya itu dilakukan sembari membuat budaya Eropa menggoda, terutama dalam hal akses kepada kekuasaan. Selain represi, instrumen utama dari kekuatan kolonial adalah rayuan. Maka, wajar jika pada beberapa gerakan, Eropaisasi budaya menjelma menjadi sebuah cita-cita. Hal itu adalah sebuah cara berpartisipasi dan kemudian memperoleh manfaat material dan kekuatan yang sama dengan orang Eropa: menaklukkan alam, atau nama lain dari “pembangunan”. Budaya Eropa telah menjadi model budaya universal.

Ideologi modernisme dalam karya sastra ditunjukkan oleh tokoh-tokoh yang mengalami situasi terasing. Bahar dalam Pembalasannja pun mengalami hal yang sama. Sebagai seorang perantau dengan konflik perjodohan yang tidak memuaskan hatinya, ia mengalami kesepian di tengah keriuhan. Ia menciptakan sendiri nilai-nilai yang dianggapnya ideal, asalkan bisa menyelamatkannya dari perjodohan.

Dalam modernisme, rumah atau akar adat dan tradisi dianggap bukan lagi seperti rumah tempat asal; semua hal yang membangun rumah tidak lagi cocok dengan diri, serta tidak lagi bermakna dalam dirinya. Dengan kata lain, ketidakberakaran seolah menjadi syarat bagi tokoh untuk menjadi seorang modernis. Pada pokok ini, Pembalasannja dapat dikategorikan sebagai sebuah produk era modern yang berciri khas merayakan kehilangan.

Pernikahan sebagai Penggerak Plot

Sebagai sebuah tema, perjodohan atau pernikahan secara adat mengambil peranan penting dalam menjalankan plot Pembalasannja.

Tanpa perjodohan kedua tokoh utama, Nur Asjikin dengan Bahar, rentetan konflik yang terjadi dalam Pembalasannja tidak mungkin hadir.

Dengan kata lain, pernikahan merupakan penggerak plot yang niscaya dalam tonil tersebut. Istri-suami yang diceritakan dalam tonil adalah Bahar, seorang pegawai Kementerian Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (P P dan K) asal Padang yang merantau ke Jakarta, dan Nur Asjikin, seorang guru SMP di Padang yang memiliki hubungan sepupu dengan Bahar. Bahar dijodohkan dengan Nur Asjikin ketika ia masih duduk di bangku sekolah menengah. Bahar tidak bisa menolak perjodohan itu karena memiliki utang budi yang besar pada pamannya, yang tak lain adalah bapak dari Nur Asjikin. Maka, pernikahan dilangsungkan meski Bahar menolak untuk pulang.

Dalam tradisi Minangkabau, mamak atau saudara laki-laki ibu berperan penting. Tugas dan kewajibannya tidak ubahnya seperti tugas seorang ayah kandung, termasuk mencarikan jodoh untuk para kemenakannya. Dalam tradisi Minangkabau pula, pernikahan antara keluarga dekat merupakan perkawinan yang ideal. A.A. Navis  menyatakan bahwa hal itu bukan berarti bahwa tradisi Minang menganut sikap eksklusif. Pola perkawinan “awak sama awak” itu berlatar belakang sistem komunal dan kolektivisme. Perkawinan antaranak kemenakan, misalnya, atau yang lazim disebut sebagai pulang ke mamak atau pulang ke bako kelak menghindarkan ekses-ekses negatif pewarisan harta pusaka. Dari situ, terlihatlah manifestasi “anak dipangku, kemenakan dibimbing”.

Perjodohan atau pernikahan adat seperti itulah yang dianggap Bahar merupakan penghambat hidupnya, seolah kemerdekaannya telah dirampas karenanya. Maka, motto hidup Bahar di Jakarta menjadi tjarilah kesenangan selama ada kesempatan. Ia menggunakan kesempatan untuk menjalin relasi romantis dengan banyak perempuan demi kesenangan diri.

Sementara itu, di Padang, beberapa laki-laki mencoba mendekati Nur Asjikin, tetapi ia selalu memegang prinsip bahwa ia telah bersuami. Ayahnya memberi nasihat, bagaimanapun engkau diperlakukan suamimu, tak usah mendjadi sebab engkau berbuat sesuatu, jang boleh merusakkan kehormatan dirimu.

Suatu hari, Mochtar sahabat Bahar yang telah menikah dengan Zubaidah, teman sekolah Nur Asjikin di Padang, datang berkunjung ke rumah Nur Asjikin. Mereka melihat betapa Nur Asjikin telah berubah menjadi lebih baik, secara fisik maupun pembawaannya. Pada pertemuan itu, Nur Asjikin meminta Zubaidah untuk mengizinkannya ikut pergi merantau ke Jakarta. Salah satu sekolah di Jakarta menerimanya sebagai guru. Untuk itu, pada ayahnya, Nur Asjikin mengaku berkirim-kiriman surat dengan Bahar dan suaminya itu memintanya untuk datang ke Jakarta.

Kedatangan Nur Asjikin ke Jakarta disepakati bersama Zubaidah dan Mochtar sebagai rahasia. Di Jakarta, Nur Asjikin berencana hendak memainkan sebuah peranan yang mempermainkan dan merupakan balas dendam bagi perlakuan Bahar selama pernikahan mereka. “Ia akan kupaksa menghormati aku, meski diakuinja akupun manusia djuga seperti dia,” ujar Nur Asjikin kepada Zubaidah dan Mochtar.

Perjodohan Nur Asjikin dengan Bahar kemudian membuka gerbang bagi konflik-konflik yang pada awalnya oleh Saadah Alim kurang-lebih digambarkan sebagai pertentangan-pertentangan: kesetiaan dan ketidaksetiaan, kehidupan desa dan gaya hidup urban, perempuan yang setia dan laki-laki yang suka main perempuan.

Namun, yang juga cukup menarik perhatian adalah bahwa tokoh-tokoh Pembalasannja banyak menyimpang dari stereotipe yang digambarkan dalam karya sastra era 1920-1945 yang oleh Asrul Sani disebut sebagai kesusastraan gestabiliseerde burgers atau kesusastraan pegawai. “Segala yang tercetak itu bau baju bersetrika dan berudarakan kehidupan yang datar.” Menurutnya, segala sesuatu lurus dan bersih kelihatannya. Semua menurut cita-cita, dipulas bersih-bersih, segala kehidupan yang ada dalam tubuh dan keadaan hilang sama sekali, hingga hanya meninggalkan dewa dan setan.

Asrul Sani mengecualikan tokoh Dokter Sukartono dalam Belenggu dalam hal ini. Tokoh-tokoh Pembalasannja pun bisa dimasukkan ke dalam pengecualian itu. Naskah drama ini menggambarkan realitas sosial yang didasarkan pada pertemuan adat dengan modernitas, sembari hendak menyatakan bahwa tidak ada yang benar-benar hitam atau putih dalam masing-masing hal itu. Demikian juga dengan tokoh-tokohnya. Mereka tidak terlalu terikat dengan perjalanan kehidupan yang datar, yang sekadar sesuai dengan konvensi profesi atau peran sosial dalam kehidupan sehari-hari.

Boleh jadi konflik dalam Pembalasannja hendak menunjukkan bahwa salah satu problem pada karya yang berlatar belakang adat atau tradisi lokal adalah meletakkan penggambaran seorang perempuan sebagaimana mereka harus atau tidak harus berlaku menurut adat dan tradisinya masing-masing. Pada banyak cerita pendeknya yang ditulis sekitar 1920-an, Saadah Alim juga menerapkan model seperti itu. Tokoh-tokoh yang bertindak ke luar jalur adat dan tradisi mengalami keterasingan dan pada akhirnya selalu berpikir untuk kembali ke adat dan tradisi. Pada Pembalasannja, tokoh Nur Asjikin digambarkan sebagai perempuan yang berani membelokkan bagian hidupnya yang lurus dan bersih untuk menghindari konservatisme adat. Ia bersiasat demi kepergiannya ke Jakarta, tanpa izin suami, untuk mengejar karier sembari membalas dendam kepada suaminya itu.

Bagian-bagian itu sedikitnya menegaskan upaya Saadah Alim dalam ambisi mengutak-atik konstruksi gender dalam kaitannya dengan kebebasan perempuan Minangkabau—seperti yang pernah ia nyatakan dalam perdebatan tentang vrijheid di harian Soeara Perempoean. Dalam memaknai gagasan mengenai kemajuan dan kebebasan dalam adat Minangkabau, Saadah Alim hendak mendobrak pembatasan-pembatasan pada pendidikan dan karier para perempuan Minang.

Tema pernikahan adat dengan kisah para pegawai ini adalah dua hal yang saling terkait. Dalam narasi-narasi pada umumnya, seorang pegawai dan istrinya mendapat privilese dalam tatanan sosial, sesuai dengan konteks adat dan tradisi masing-masing. Pernikahan sebagai sebuah institusi juga membuat istri dan suami seolah-olah menjadi sepaket bentuk birokrasi lain. Ketika suami bekerja sebagai pegawai pemerintahan, maka istri harus mendampinginya—baik tersurat seperti halnya seorang tentara maupun tersirat seperti yang terjadi pada pasangan Sulastri-Sudarmo dalam Manusia Bebas. Sudarmo adalah seorang direktur pada Sekolah Perguruan Kebangsaan di Bandung. Sulastri merelakan diri melepaskan pekerjaannya di salah satu dinas gupernemen untuk membantu Sudarmo di bidang perguruan nasional. Pada waktu itu, orang seperti Sulastri dianggap sebagai seorang pendekar. Ditambah pula, Sulastri berpandangan bahwa ia harus mendampingi suaminya bekerja, “bukankah Sudarmo bekerja bagi kepentingan nasional? Aku akan merasa malu; jika aku tidak mendampinginya dalam pekerjaannya.”

Sebagai seorang istri pegawai, terdapat hal-hal terkait etiket dan pembawaan yang sering kali dituntut atau dibebankan oleh masyarakat. Sebab mungkin seorang pegawai dan istrinya dianggap sebagai representasi dari hal-hal yang sifatnya birokratis, teratur, dan legal. Dalam kasus Pembalasannja, Bahar digambarkan sebagai seorang pegawai kementerian yang berhubungan langsung dengan pemerintahan. Namun ternyata ia bukanlah seorang pegawai kementerian yang lurus-lurus saja hidupnya. Meski berada di bawah bayang-bayang hidup berkecukupan dengan gaji tetap, keluarga terpandang, serta menampilkan gaya hidup yang elitis, sebagian besar penggambaran tentang Bahar melulu tentang keputusasaan. Bahar melarikan diri dari ikatan pernikahan adat yang tidak ia kehendaki. Sedapat mungkin ia mengejar kesenangan-kesenangan yang sama sekali tidak sejalan dengan adat dan tradisi  Minang, rumah dan akar identitasnya.

Secara menyeluruh plot yang digerakkan oleh konflik adat atau tradisi di dalam Pembalasannja mungkin terkesan ambivalen. Saadah Alim seakan sedang melakukan pembelaan terhadap adat sekaligus modernitas. Sebagai sebuah karya realis, mungkin begitulah seharusnya naskah ini berbicara: untuk menunjukkan bahwa kehidupan yang riil memungkinkan dewa dan setan bermain-main di dalam satu tubuh, di dalam satu karya.

Visi Gerakan Perempuan

Dalam konteks gerakan dan ekspresi perempuan, Pembalasannja mengandung banyak gagasan tentang pertemuan modernitas dengan adat. Di antaranya pertama, gerakan dan ekspresi perempuan modern, meski berorientasi kepada sebuah kiblat yang diciptakan oleh kolonialisme, tetapi tetap tidak akan bisa lari dari adat dan tradisi.

Pembalasannja menunjukkan ambivalensi itu. Tokoh-tokohnya menginginkan kebebasan mendefinisikan diri manusia dan pernikahan sesuai dengan preferensinya masing-masing. Berdasarkan pokok itu, terlihatlah citra ideal perempuan bebas yang khas Barat dan perempuan Timur yang tidak bebas. Persoalan yang sebetulnya merupakan stereotipe belaka. Konsep kemerdekaan perempuan yang dirujuk oleh sebagian besar feminis sepanjang zaman adalah konsep kemerdekaan perempuan ala Barat. Sadaah menegosiasi hal itu. Termasuk dalam gagasan tentang pernikahan.

Saadah berkeyakinan kuat bahwa sistem pernikahan adat termasuk perjodohan memiliki nilai dan etika yang khas dan kontekstual pada zamannya. Maka, ia mempertahankan nilai-nilai tersebut di hadapan nilai-nilai modern.

Kedua, kita perlu bersama-sama melihat bagaimana kondisi adat dan tradisi yang benar-benar asali dalam memperlakukan perempuan dan seluk-beluknya jauh sebelum kolonialisme dan agama hadir. Wacana kembali ke adat dan tradisi merupakan sesuatu yang harus terus diperbincangkan ulang karena banyak pranata adat telah hancur karena kolonialisme. Efeknya, adat tak hanya diciptakan sekali saja. Ia terus berkembang dan berubah sesuai dengan kepentingan pihak-pihak yang berkuasa. Biar bagaimanapun, kolonialisme adalah suatu politik pengetahuan. Hal itu bisa diimbangi—jika bukan dilawan—oleh penciptaan narasi dari dan tentang perempuan. Pada akhirnya, penciptaan narasi sejarah perempuan merupakan sesuatu yang dapat dijadikan proyek oleh gerakan perempuan, sebagai ekspresi perempuan. Dengan begitu, wacana kembali ke adat bisa dijadikan salah satu sumber inspirasi lokal untuk landasan emansipasi perempuan.

Kepustakaan

Alim, Saadah, Taman Penghibur Hati. Jakarta: Balai Pustaka, 1941.

___________, Pembalasannja. Jakarta: Balai Pustaka, cet. ke-3, 1953.

Djojopuspito, Suwarsih, Manusia Bebas. Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000.

Hadler, Jeffrey, Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformasi Islam, dan Kolonialisme di Minangkabau. Jakarta: Freedom Institute, 2010.

Mignolo, Walter D, Coloniality and Modernity/Rationality’, Cultural Studies, vol. 21, nos. 2–3, 155–67 (2007).

Navis, A.A., Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: PT Grafiti Pers, 1984.

Pane, Armijn, Belenggu. Jakarta: PT Dian Rakjat, 1988.

Quijano, Aníbal, “Coloniality and Modernity /Rationality”, Cultural Studies, 21: 2, 168-178 (2007).

[1] Disampaikan di dalam artikel “Di Bawah Bayang-Bayang Adat: Sebuah Pembacaan Atas Hidup, Pemikiran, dan Karya Saadah Alim” di buku Yang Terlupakan dan Dilupakan: Membaca Kembali Sepuluh Penulis Perempuan Indonesia, halaman 167-168, serta presentasi “Pembalasannja: Sebuah Narasi Progresif” di Literature and Ideas Festival Salihara tahun 2018.

[2] Menurut saya, hal ini juga terjadi ketika masyarakat Minang menanggapi kehadiran agama Islam. Islam diterima dengan baik karena dianggap tidak bertentangan dengan falsafah Minang. Secara filosofis, ajaran alam takambang jadi guru sejalan dengan sumber ajaran Islam, yaitu alam sebagai contoh ciptaan Allah. Meskipun terdapat perbedaan ajaran antara Islam dengan Minang, tetapi ajaran esensial Minang tidak goyah. Perbedaan gaya kepemimpinan dan sumber hukum itu kelak melahirkan konflik berkepanjangan, hingga tiba pada sebuah konsensus “Perjanjian Marapalam” yang terjadi antara penghulu dan ulama. Bunyinya dikenal hingga kini: adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.

Esai24 Desember 2021

Aura Asmaradana


Aura Asmaradana mulai mempelajari hidup dan karya penulis Saadah Alim sejak tergabung pertama kali terlibat dalam Ruang Perempuan dan Tulisan pada pertengahan tahun 2018. Di sela aktivitasnya bekerja sebagai associate moderator Kompasiana.com, Aura gemar menulis cerita pendek, puisi, esai, serta tertarik pada isu filsafat, sosial, budaya. Pada 2019, ia mengikuti program Residensi Penulis Indonesia di Dili, Timor-Leste.

Berlangganan

tengara.id adalah situs kritik sastra yang dikelola oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta. Tengara adalah upaya lanjutan dalam mengisi kelangkaan pertumbuhan kritik sastra dalam kehidupan kesusastraan Indonesia.