Suatu kali saya bertemu dengan seorang pedagang barang imitasi. Ia adalah spesialis peniru berbagai model tas perempuan dari merek terkenal. Ia memberitahu saya bahwa mustahil bisa membuat barang imitasi bila tidak mempunyai barang asli. “Juragan belanjanya langsung di luar negeri,” ujarnya meyakinkan saya. Tapi lebih mustahil lagi, kata pedagang itu, bila barang asli itu tidak dipahami di mana saja kelebihannya. Di sebuah kota di Sumatra Barat, produk asli itu dicopot oleh sebuah tim kerja, dibongkar hingga ke bagian terkecil.
Dari kerja seperti itulah, bahan-bahan dasar sebuah tas dicari, diuji kelemahannya, dan diolah lagi sedemikian rupa. Salah satu komponen saja yang meleset dari bentuk aslinya, maka status imitasi barang itu dapat terbongkar tanpa perlu analisis cermat. Di balik itu semua, terdapat kemampuan, kecermatan, dan keseriusan yang tinggi pada para pembuat barang imitasi tersebut untuk mempelajari setiap komponen tas tersebut hingga ke pola pilinan benangnya. Sebelumnya saya mengira bahwa industri barang imitasi hanya meniru bagian luar belaka, sedangkan bagian dalamnya tidak dipedulikan. Tidak seperti perkiraan sembrono itu, mereka justru menyelidiki anatomi produk tersebut hingga ke unit terkecil.
Setiap komponen tas yang sudah dipreteli tersebut dipelajari dengan teliti, sedetail mungkin, kemudian dirancang kembali, diproduksi menggunakan bahan yang mendekati kualitas asli, hingga dirangkai menjadi tas tiruan yang persis seperti aslinya. Menjawab pertanyaan kebablasan saya soal praktik pemalsuan, pedagang tersebut mengatakan kepada saya bahwa mereka tidak pernah mengatakan barang mereka sebagai barang asli. Para pelanggan setia mereka bahkan sudah tahu bahwa barang itu imitasi belaka. Justru si pelanggan itulah yang memosisikan barang imitasi tersebut selayaknya barang asli.
Apa yang dilakukan tim kerja tersebut adalah “pembacaan dekat” atas sebuah barang bikinan pabrik, yang bertujuan untuk memahami apa saja komponen penyusun sebuah tas dan bagaimana setiap komponen dijahit satu sama lain. Hanya melalui “pembacaan dekat” seperti itulah kualitas barang pabrik itu dapat diketahui dengan bukti yang rinci. Tanpa “pembacaan dekat”, barang imitasi tersebut mustahil dapat menyaru sebagai barang asli. Upaya mengidentifikasi komponen barang asli hingga ke tekstur paling halus adalah awal yang menentukan kesuksesan bisnis barang imitasi mereka. Saya tidak tahu seberapa identiknya barang imitasi tersebut dengan yang asli. Jika bukan benar-benar ahlinya, pasti tidak akan mudah untuk membedakan jika keduanya diletakkan berdekatan.
Kasus tersebut tidak ubahnya dengan produksi lukisan palsu karya pelukis terkenal Indonesia, bila pemalsuan karya seni itu tidak dilakukan oleh seorang penelisik cermat yang memahami dengan saksama karakteristik lukisan yang akan dipalsukannya, tentu tidak akan mudah mengelabui publik seni kita. Tukang replika itu tentunya menyigi berbagai karya lukisan dari pelukis yang ditargetkannya, memahami unsur-unsur terkecilnya, menyiasati repetisi yang tidak mungkin dilewatkan, hingga bisa membuat para pemandang yang tidak cermat akan terjebak. Sekalipun tidak ada pemalsuan yang sempurna, kritikus seni tetap saja menyelenggarakan berbagai penyelidikan cermat atas karya Sudjojono untuk memastikan keaslian atau kepalsuan lukisan tersebut. Mulai dari desain, genre, corak, format, gestur, karakter, hingga perubahan yang dilakukan Sudjojono sendiri terhadap tanda tangannya, menjadi perhatian utama dalam penyelidikan.[1]
Kini, pertanyaannya, selain untuk memproduksi barang tiruan, mengapa ada orang yang begitu serius memikirkan komposisi bentuk dari sebuah lukisan dan bukankah cukup dinikmati saja apa yang terasa dalam diri?
Tentu saja tidak ada yang salah bila ada seseorang cukup menikmati efek psikologis yang muncul dalam dirinya dan ada seorang lain begitu khusuk menikmati unsur-unsur pembentuk suatu lukisan. Hanya saja, sebagaimana sering terjadi, kita tidak dapat menyepelekan penjelasan-penjelasan aspek formal sebagai sesuatu yang kelewat serius bahkan mungkin ketinggalan zaman. Mengatakan analisis formal mempunyai keterbatasannya sendiri justru lebih adil daripada mengatakan analisis formal tidak relevan lagi untuk memahami lukisan. Jika tidak ada unsur formal seperti itu lalu dengan apa lukisan dapat mengada? Sekalipun ada semacam kenangan personal yang muncul dalam kepala kita setelah melihat lukisan antah berantah, tetap saja hal-hal personal itu dipantik oleh sekumpulan warna, sapuan, gestur, tekstur dan sebagainya yang sudah melesap satu sama lain menjadi sebuah lukisan utuh.
Tadi saya menggunakan frasa “tidak ubahnya” untuk menyatakan adanya persamaan tertentu antara tas imitasi dan lukisan palsu. Sekalipun keduanya dihubungkan oleh kemestian untuk memahami dengan teliti anasir yang menyusun objek asli, penggunaan frasa itu tidak sepenuhnya tepat. Untuk barang pabrikan yang sudah punya standar ukuran di setiap komponennya, tentu tidak akan berperkara terlalu banyak dengan bentuk selain soal reproduksi dengan mesin cetak. Sementara itu, lukisan-lukisan karya seorang seniman kawakan seperti Sudjojono tentu tidak mempunyai standar baku atas bentuk atau isinya. Anasir dalam sebuah karya terbangun dengan intensitas, penyebaran, dan kaitan yang beragam. Kita setidaknya dapat membentangkan adanya berbagai karakteristik yang muncul dari karya-karya Sudjojono sekalipun karakteristik itu tidak memadai sepenuhnya digunakan untuk menguji semua detail karyanya. Dalam hal ini, kita sedang berbicara tentang kemandirian tertentu yang dimiliki satu bentuk karya terhadap bentuk karya lainnya.
Kemandirian semacam itu tidak hanya muncul dari kondisi bahwa setiap unsur dalam satu karya punya fungsi yang berbeda dari unsur yang sama di karya lain, tetapi juga menjadi dasar utama betapa krusialnya penelisikan cermat atas bentuk suatu karya seni untuk membangun makna dari karya itu sendiri. Dan bila frasa “tidak ubahnya” tadi dirasa tidak tepat digunakan untuk membandingkan pembacaan dekat yang mekanis pada tas dan pembacaan dekat yang dinamis pada lukisan, maka kini ia bisa digunakan dalam kasus ini untuk menyamakan lukisan dengan puisi: Tidak ubahnya bentuk lukisan, bentuk puisi pun bukanlah sekadar medium untuk menyampaikan makna. Pembacaan dekat menunjukkan buktinya.
Membaca Tanpa Mengabaikan Bentuk
Membaca hasil pembacaan dekat yang dilakukan para penelaah sastra terdahulu turut memunculkan kepekaan diri dalam menikmati beragam bentuk puisi. Ini adalah suatu kenikmatan merasakan kelihaian seorang ahli sastra dalam menerap-kembangkan peranti sastra dengan berbagai cara. Bila kepekaan semacam itu dapat bertahan lama dalam diri seorang penelaah, tentu tidak terjadi begitu saja. Pada mulanya saya hanyalah penikmat hasil pembacaan dekat dan pelan-pelan menyadari betapa kepekaan si penelaah dengan cara yang berbeda turut memunculkan kepekaan dalam diri saya. Namun, saya juga menyadari bahwa ada yang tidak kalah penting dari sekadar munculnya kepekaan, yakni upaya melatih kepekaan tersebut terus-menerus, yang tidak hanya dengan perasaan tetapi juga pikiran–dua hal yang mesti topang-menopang untuk berhadap-hadapan dengan intrik bahasa. Lalu, selain itu, kita pun mesti mencoba menyelenggarakan sendiri apa yang disebut sebagai pembacaan dekat tersebut.
Dalam berbagai kesempatan, saya kerap menemukan suatu pembacaan dekat cenderung dianggap hanya berurusan dengan bentuk sastra dan dengan begitu ia sering dipertentangkan dengan pembacaan lain yang cenderung lebih memedulikan isi. Selain karena miskonsepsi yang dikandungnya, saya tidak tahu seberapa pentingnya menciptakan pertentangan dari dua hal yang punya urusan berbeda, apalagi dengan tendensi untuk memosisikan yang satu lebih bermanfaat untuk publik dibanding yang lainnya. Selain karena setiap pendekatan mempunyai kontribusi yang berbeda sekaligus terbatas (dan karena itu mereka lebih menarik untuk dirangkai satu sama lain), pertentangan yang terburu-buru seperti itu hanya membuat kita terlalu percaya diri bahwa sebuah karya sastra yang kompleks cukup dipahami dengan satu pendekatan saja.
Pembacaan dekat bukanlah pendekatan yang hanya peduli bentuk. Perhatian besar yang diberikan pembacaan dekat terhadap bentuk puisi, misalnya, tidaklah untuk menciptakan batasan yang tegas dengan isi puisi itu sendiri, apalagi untuk mengutamakan bentuk dibanding isi. Penelisikan yang cermat terhadap unsur-unsur yang membangun sebuah puisi justru dilakukan untuk menemukan bagaimana suatu cara menyampaikan (bentuk) mempunyai pengaruh signifikan pada pemaknaan atas apa yang disampaikan (isi) puisi. Tidak ada suatu bentuk yang bebas nilai selayaknya alat yang pasif untuk menyampaikan isi apa adanya. Bentuk pada taraf yang berbeda-beda turut memproduksi makna itu sendiri.
Pada taraf tertentu, pembacaan dekat merupakan pendekatan yang apolitis. Tidak seperti dalam pendekatan Kajian Budaya (Cultural Studies), misalnya, yang berkepentingan untuk menjelaskan makna suatu karya sastra dengan menempatkannya dalam latar sosial yang lebih luas. Sebagai contoh, bila ada yang menyelenggarakan telaah “CoC” (Circuit of Culture) dalam Kajian Budaya terhadap buku puisi yang sangat laku di pasar, maka telaah itu akan lebih berfokus menjelaskan hubungan saling kait antaraspek tampak dan tidak-tampak yang membuat karya tersebut menjadi populer di masyarakat. Aspek tampak itu adalah representasi dan identitas sementara aspek tidak-tampak itu adalah proses regulasi, produksi, dan konsumsi karya tersebut. Bagi pendekatan seperti ini, makna suatu karya diproduksi dari hubungan dialektis antar kelima unsur dari dua aspek tersebut, dan karena itu makna politisnya dapat dimunculkan. Ini jelas berbeda dengan pembacaan dekat yang menyingkap makna hanya dari bahan-bahan yang tersedia dari teks itu sendiri dan karena itu dianggap apolitis.
Namu begitu, sebagaimana tadi saya tuliskan, pembacaan dekat hanya pada taraf tertentu menjadi apolitis. Ia mesti apolitis ketika menjalankan tanggung jawab utamanya untuk meneliti bagaimana bentuk dan isi kait-berkait dalam memproduksi makna. Setelah tanggung jawab utamanya selesai, maka pada taraf selanjutnya hasil kerjanya justru sangat politis karena dapat digunakan secara dialektis dalam konteks sosial yang lebih luas dan beragam. Misalnya, ada sebuah puisi disebut bercorak feminis hanya karena secara isi dikatakan bahwa laki-laki tetap saja merasa kesepian setelah berkali-kali tidur dengan perempuan dan kesepian itu ditafsirkan sebagai ketidakberdayaan.[2] Padahal, bila kita telisik bentuk karya yang dimaksud, yang sejak dari judul hingga sudut pandang di dalamnya secara konsisten tidak menyertakan kehadiran perempuan, justru klaim penelaah itu dapat diragukan. Ini adalah salah satu contoh bagaimana secara politis hasil kerja pembacaan dekat dapat digunakan untuk mematahkan klaim yang memosisikan kesepian laki-laki otomatis sebagai kesetaraan gender. Dengan kata lain, penelisikan yang cermat atas bentuk karya, dan bagaimana bentuk itu berhubungan dengan isi karya, pada gilirannya akan membantu kita untuk memaknai karya itu sendiri secara utuh.
Apakah artinya pembacaan ala Kajian Budaya dan pembacaan dekat berlawanan satu sama lain? Iya, jika kita sama-sama menggunakan kacamata kuda dalam menggunakan kedua pendekatan itu dan tidak mau mencari adanya kemungkinan hubungan komplementer antar pendekatan-pendekatan yang ada. Karena itu, saya akan memilih menyebutkan bahwa mereka mempunyai tanggung jawab yang berbeda tapi hasil kerja-kerja mereka, bila secara beririsan membahas objek yang sama, dapat kita gunakan secara dialektis untuk melihat misalnya hubungan ironis (atau apa pun itu) antara produksi makna secara tekstual dengan produksi makna secara kontekstual, bahkan lebih jauh lagi yakni dengan menelisik mengapa jurang ironisme seperti itu bisa terjadi, misalnya.
Saya akan menganalisis puisi “Kota Masa Kecil, Kota Mata Kail” karya Gus tf[3] sebagai salah satu contoh terbaik untuk menunjukkan bagaimana produksi makna sebuah karya tidak cukup hanya bertopang pada isi saja, melainkan juga harus mempertimbangkan bentuk, sebagaimana yang menjadi tanggung jawab utama sebuah pembacaan dekat. Tanpa bermaksud mengabaikan aspek-aspek lain dari sajak ini, analisis yang akan dilakukan hanya berfokus untuk menunjukkan secara ringkas tentang pentingnya penyelidikan bentuk dalam memaknai sebuah puisi.
Kota Masa Kecil,
Kota Mata Kail
Kota masa kecil, sungai masa lalu
di bibir merah bergincu kita bertemu.
Ayun mata kail, desau daun bambu,
di binal kikik malam risau ibuku.
Sungai masa kecil, ayun masa lalu,
di binal kikik malam kita bertemu.
Desau mata kail, kota daun bambu,
di bibir merah bergincu risau ibuku.
Desau masa kecil, kota masa lalu,
di bibir merah bergincu kita bertemu.
Sungai mata kail, ayun daun bambu,
di binal kikik malam risau ibuku.
ayun masa kecil, desau masa lalu,
di binal kikik malam kita bertemu.
kota mata kail, sungai daun bambu,
di bibir merah bergincu risau ibuku.
Payakumbuh, 2001
Bila puisi di atas secara umum berbicara tentang ingatan akan sebuah kota (sebagaimana disarankan oleh judulnya), dengan latar alam (sungai, daun bambu, mata kail) dan peristiwa yang menyertainya (kita bertemu, risau ibuku, bibir merah bergincu, binal kikik malam), maka ingatan yang dimaksudkan hanyalah berupa kepingan-kepingan gambaran yang berserakan dengan latar dan peristiwa yang turut berubah-ubah. Lalu, bagaimana dampak bait-bait yang terdiri dari frasa dan klausa, repetisi kata yang sama di setiap bait dengan struktur yang berbeda, kepaduan antara bentuk bergerak dan bentuk statis, hingga tidak digunakannya konjungsi, memberi pengaruh pada apa yang disampaikan oleh sajak tersebut?
Untuk melihat lebih dalam bagaimana pilihan bentuk memengaruhi pemaknaan terhadap sajak tersebut, khususnya melalui bagian-bagian yang ditanyakan di atas, kita dapat terlebih dahulu menyusun ulang puisi tersebut dalam bentuk berkelompok sesuai dengan jumlah frasa di dalamnya, salah satunya seperti berikut ini:
Kota masa lalu Sungai masa lalu
Kota masa kecil Sungai masa kecil
Kota mata kail Sungai mata kail
Kota daun bambu Sungai daun bambu
Ayun masa lalu Desau masa lalu
Ayun masa kecil Desau masa kecil
Ayun mata kail Desau mata kail
Ayun daun bambu Desau daun bambu
Di binal kikik malam kita bertemu
Di bibir merah bergincu kita bertemu
Di binal kikik malam risau ibuku
Di bibir merah bergincu risau ibuku
Apakah dalam bentuk kedua ini sajak di atas masih menyampaikan hal yang sama? Secara umum ia tetap berbicara tentang ingatan, sama halnya dengan bentuk pertama. Namun begitu, terdapat perbedaan yang sangat signifikan, ketika dalam bentuk kedua ini kita menemukan ingatan sebagai kepingan-kepingan yang repetitif, statis, dan tidak dinamis, selayaknya barang di gudang pabrik yang disusun berdasarkan acuan registrasinya. Kepingan-kepingan ingatan tersebut, yang sebenarnya punya kekhasan citra masing-masing, tidak mempunyai hubungan yang khas dengan kepingan-kepingan lainnya karena mereka sudah telanjur berkelompok hanya berdasarkan kesamaan kata penyusunnya.
Sementara itu dalam bentuk pertama, sekalipun tersusun dari komponen yang sama, puisi tersebut membicarakan sebuah kota sebagai kepingan-kepingan ingatan yang bergeser secara dinamis. Kedinamisan ini dapat terjadi karena setiap bait, meskipun berisi kata-kata yang sama, tersusun oleh pembentukan frasa yang berbeda. Sehingga, lebih dari sekadar repetisi, sajak ini menghadirkan bagian bergerak dan bagian statis yang saling berkaitan. Bila kita pisahkan, berikut bagian statisnya:
masa kecil masa lalu
kita bertemu.
mata kail daun bambu,
risau ibuku.
masa kecil masa lalu
kita bertemu.
mata kail daun bambu,
risau ibuku.
masa kecil masa lalu
kita bertemu.
mata kail daun bambu,
risau ibuku.
masa kecil masa lalu
kita bertemu.
mata kail daun bambu,
risau ibuku.
Dan bagian bergerak, dengan pergeseran kata atau frasa yang bersilang secara teratur, sebagai berikut ini:
Kota sungai
di bibir merah bergincu
Ayun desau
di binal kikik malam
Sungai ayun
di binal kikik malam
Desau kota
di bibir merah bergincu
Desau kota
di bibir merah bergincu
Sungai ayun
di binal kikik malam
ayun desau
di binal kikik malam
kota sungai
di bibir merah bergincu
Jadi, dengan adanya kepaduan bagian bergerak dan bagian statis secara repetitif seperti di atas, sajak “Kota Masa Kecil, Kota Mata Kail” ini jelas berbicara tentang ingatan secara lebih kompleks dibanding dengan bentuk kedua sebelumnya yang hanya repetitif dan statis. Frasa daun bambu misalnya tidak hanya dilekatkan dengan kata desau dan berada dalam satu baris dengan ayun mata kail, tetapi juga dengan kata kota yang berada dalam satu baris dengan desau mata kail. Imaji daun bambu, dalam contoh ini, muncul tidak hanya sebagai dirinya sendiri, tetapi juga sebagai kiasan untuk hal lainnya, dan tidak hanya membangun gambaran yang lebih besar dengan benda yang gampang diasosiasikan dengannya, tetapi juga dengan benda lain yang membangun asosiasi baru dengannya. Dengan kompleksitas seperti ini, kepingan-kepingan ingatan yang muncul menjadi lebih variatif.
Untuk membentangkan dengan sedikit lebih jelas perihal gambaran-gambaran variatif seperti apa yang tercipta dari struktur yang seperti itu, sebagai contoh mari kita lihat pergeseran posisi dan relasi makna dari kata ayun (kata kunci lainnya juga bergeser dan berelasi dengan pola serupa):
Kota masa kecil, sungai masa lalu
di bibir merah bergincu kita bertemu.
Ayun mata kail, desau daun bambu,
di binal kikik malam risau ibuku.
Sungai masa kecil, ayun masa lalu,
di binal kikik malam kita bertemu.
Desau mata kail, kota daun bambu,
di bibir merah bergincu risau ibuku.
Desau masa kecil, kota masa lalu,
di bibir merah bergincu kita bertemu.
Sungai mata kail, ayun daun bambu,
di binal kikik malam risau ibuku.
ayun masa kecil, desau masa lalu,
di binal kikik malam kita bertemu.
kota mata kail, sungai daun bambu,
di bibir merah bergincu risau ibuku.
Dari pergeseran posisi ayun tersebut kita mendapatkan kata ayun sebagai citra gerak yang denotatif dari suatu benda, yakni ayun mata kail dan ayun daun bambu, dan kemudian kata yang sama juga menjadi citra gerak secara konotatif dalam kata abstrak seperti ayun masa lalu dan ayun masa kecil. Lebih dari sekadar repetisi, frasa-frasa yang mengandung kata ayun itu pun berada dalam struktur baris yang berbeda pula satu sama lain, seperti ayun mata kail yang beriringan dengan desau daun bambu, lalu ayun masa lalu yang berada setelah sungai masa kecil, lalu ayun daun bambu berada setelah sungai mata kail dan terakhir ayun masa kecil yang diiringi oleh desau masa lalu. Artinya, yang variatif itu tidak hanya gambaran yang terbangun dari masing-masing frasa, tetapi juga loncatan imaji dari satu frasa ke frasa lain.
Tanpa menggunakan konjungsi sama sekali dan hanya membiarkan frasa dan klausa terbentang seperti itu, Gus tf memberikan banyak kemungkinan kepada pembaca untuk membangun sendiri hubungan-hubungan seperti apa yang terjalin antara latar dan peristiwa di dalam setiap bait. Misalnya, gambaran latar dalam larik kota masa kecil, sungai masa lalu bisa saja berhubungan dalam bentuk sebab-akibat dengan baris di bibir merah bergincu kita bertemu. Begitu juga gambaran latar dalam larik ayun mata kail, desau daun bambu yang bisa saja berhubungan dalam bentuk pertentangan dengan di binal kikik malam risau ibuku dan seterusnya.
Namun, upaya untuk membentuk hubungan-hubungan serupa itu tidaklah mudah. Dengan jalinan alusi bunyi yang terjaga sejak awal hingga akhir sajak, pergeseran ataupun perpindahan citraan itu terasa lebih cepat. Alusi bunyi ayun mata kail hingga ayun masa kecil (yang berjalin dengan alusi bunyi yang juga muncul secara repetitif dari frasa lain) merupakan pengembangan yang lebih canggih dari alusi bunyi yang lumrah kita dapatkan dalam pantun. Ia dapat menjadi rima dalam sekaligus rima akhir yang bersilangan baik dalam baris yang sama dan bait yang sama ataupun antarbaris dan antarbait satu sama lain. Timpal-menimpal alusi bunyi itu dapat tersusun secara melodius justru karena sebagian bunyi berada di bagian statis dan sebagian bunyi berada di bagian bergerak, sehingga bunyi yang repetitif-bergerak menjadi isian di antara bunyi yang repetitif-statis. Selain membuat perpindahan antarcitraan menjadi lancar, ia juga bisa sedikit mengaburkan perubahan denotatif-konotatif satu citraan dengan citraan lainnya.
Dengan cara seperti itu, gagasan tentang ingatan yang terkandung dalam sajak tersebut tidak hanya tampil sebagai kepingan-kepingan yang bergerak lincah, tetapi juga antar kepingan itu juga seperti sedang mencari kemungkinan membentuk suatu gambaran yang entah apa. Pergeseran yang cepat antarfrasa, yang berarti membuat satu citraan segera diganti dengan citraan lain, membuat kita tidak mudah untuk menangkap gambaran yang lebih stabil tentang kota tersebut dan kalaupun ada gambaran yang kita tangkap, tentulah karena adanya repetisi yang terjadi di setiap kata, yang artinya kita pun bisa saja menangkap gambaran yang berbeda-beda di tengah pergeseran citraan yang segera itu.
Sampai di sini kita menemukan bahwa Gus tf menulis sajak tentang ingatan dengan melakukan semacam imitasi terhadap karakter ingatan manusia itu sendiri. Namun, imitasi dalam hal ini tidak berambisi dengan kemiripan seperti imitasi barang palsu, melainkan sebagai gambaran yang lebih konkret dari gagasan tentang ingatan itu sendiri. Bait yang hanya terdiri dari frasa dan klausa, repetisi kata yang sama di setiap bait dengan struktur yang berbeda untuk membentuk citraan yang beragam, kepaduan antara bentuk bergerak dan bentuk statis, hingga tidak digunakannya konjungsi, adalah sebagian dari upaya untuk melakukan semacam reka ulang atas karakter ingatan manusia itu sendiri. Sebagaimana kita tahu, ingatan tidak pernah utuh, apalagi persis seperti selayaknya peristiwa sedang dialami. Apa yang kita kenang dari kejadian yang berlalu hanya kepingan belaka. Ada kepingan yang terus bertahan citranya dalam pikiran dan ada kepingan yang terus berubah. Baik yang bertahan maupun yang berubah itu tidak terpisah layaknya minyak dan air yang masih mungkin dibedakan dalam sekilas pandang, melainkan bersilang satu sama lain, seperti ingin terus membentuk gambaran-gambaran baru, meskipun di saat yang sama ada gambaran-gambaran tertentu yang menebalkan diri sendiri seakan tidak ingin bercampur dengan gambaran lainnya.
Demikianlah ilustrasi sederhana bagaimana pilihan atas bentuk dapat memberikan pengaruh yang signifikan pada apa yang disampaikan sebuah sajak, sehingga bentuk pun turut berkontribusi memberi makna pada sajak bersamaan dengan isinya. Dalam hal sajak “Kota Masa Kecil, Kota Mata Kail” ini, bentuk seperti yang disampaikan di atas berkontribusi besar untuk mengondisikan bahwa sajak ini tidak sekadar berbicara tentang ingatan akan sebuah kota. Lebih dalam dari itu, ia menyampaikan kepada kita perihal kegoyahan dan kerumpangan sekaligus kegairahan dan kelenturan ingatan tentang suatu kota. Ingatan tentang sebuah kota yang dibangun dari gambaran yang jelas sekaligus ambigu dan yang lumrah sekaligus asing, yang bolak-balik dengan cepat di antara yang tertangkap dan yang terlepas.
Sajak Gus tf di atas tentu saja masih bisa dibaca lebih dekat lagi dengan cara yang berbeda. Pembacaan tersebut dapat dipastikan masih kurang dekat karena dibatasi sebagai contoh untuk menunjukkan bagaimana dampak bentuk terhadap pemaknaan sajak itu sendiri. Pada tahap lebih lanjut, penelaah lain bisa saja melanjutkan aspek-aspek lain yang belum dieksplorasi. Penelaah berikutnya juga bisa membuat strategi pembacaan sendiri dengan mengabaikan atau mungkin menunjukkan persoalan dalam percobaan yang sudah ada ini. Yang penting, sebuah pembacaan dekat adalah ikhtiar untuk memahami sajak melalui bahan-bahan yang disediakan oleh sajak itu sendiri, jauh sebelum dikait-hubungkan dengan persoalan di luar dirinya sendiri. Tentu saja akan ada perbedaan strategi dalam memperlakukan bahan-bahan tersebut dan itu sangat bergantung pada kelihaian dan kecermatan masing-masing penelaah.
Apapun itu hasil kerja pembacaan dekat atas puisi Gus tf di atas, bila berada dalam konteks yang tepat, ia dapat digunakan secara politis sekalipun dari penyelidikan bentuk dan isi yang sudah kita lakukan tampak seakan tidak ada dimensi politis dari karya tersebut. Dalam tulisan ini saya tidak akan melakukan percobaan untuk membaca hasil kerja pembacaan dekat ke wilayah politis. Mungkin suatu saat nanti ada yang tertarik mencobanya. Namun begitu, sebagai contoh, untuk mengilustrasikan seperti apa konteks yang politis itu, kita bisa meletakkan temuan pembacaan dekat atas sajak Gus tf tersebut dengan pembacaan dekat atas puisi lain yang sama-sama mengangkat tema alam, katakanlah dengan ruang lingkup yang luas dimulai dari sajak “Desau Pimping” (1935) karya N. Adil, dari generasi Pujangga Baru,[4] hingga sajak “Agamaku” (2017) karya Saras Dewi.[5]
Setelah kita temukan bagaimana evolusi bentuk itu terjadi, maka kita dapat memperdalam telaah, misalnya, dengan menerapkan pendekatan ekokritik yang dipadukan dengan pascakolonial untuk menjabarkan bagaimana cara yang ditempuh penyair dalam berbicara tentang alam mempunyai berbagai relasi yang politis dengan perspektif kolonial dalam mendefenisikan ataupun memperlakukan alam di Indonesia. Saya sebut berbagai relasi karena dengan korpus yang sebanyak itu bisa saja relasinya tidak hanya melanggengkan ataupun mengontestasi sepenuhnya perspektif kolonial. Mungkin saja ada bentuk relasi lain yang lebih kompleks.
Dengan kata lain, dimensi apolitis ataupun politis dari suatu telaah terbangun dengan berbagai cara, ruang lingkup, dan tidak melulu terjadi secara langsung antara karya dan realitas yang melingkupinya. Bila digunakan sesuai tanggung jawab utamanya, yang apolitis dan yang politis dapat bekerja sama dalam formasi yang tepat. Lain halnya bila suatu telaah ekokritik, yang pada dasarnya politis, tidak diselenggarakan secara komprehensif dan malah hanya mencocokkan penggalan puisi dengan fakta yang terjadi di alam, seperti menjadikan puisi sebagai sumber informasi belaka untuk memahami siklus pertumbuhan sayuran lobak,[6] ini tentu saja tidak hanya meluputkan dimensi politis dari hasil kerja pembacaan dekat tetapi juga membuat telaah ekokritik itu sendiri menjadi apolitis.
Membaca Tanpa Kultus Individu
Sejauh ini kita sudah melihat bagaimana pembacaan dekat membantu kita untuk mempertimbangkan bentuk, tidak hanya isi, sebagai variabel produksi makna sebuah karya. Selain itu, kita juga sudah mengilustrasikan bagaimana hasil kerja pembacaan dekat dapat digunakan secara politis ketika karya itu dihubungkan dengan konteks yang lebih luas. Di bagian ini, saya ingin melanjutkan pembicaraan tentang sisi politis lainnya dari pembacaan dekat, tetapi tidak dengan cara menghubungkannya dengan konteks yang lebih luas seperti tadi, melainkan tetap dengan menjaga tanggung jawab utamanya, yakni berurusan dengan teks belaka. Sisi politis yang muncul karena kondisi zaman.
Dalam konteks sosial sekarang, kultus individu masih sangat kuat dan karena itu penilaian terhadap karya sastra bisa jadi persoalan serius. Sebuah karya bisa saja dinilai tidak mula-mula dari teks karya itu sendiri melainkan dari berbagai aspek di luarnya, entah itu kepribadian penyairnya, ucapan penyair tentang karyanya sendiri, persepsi tentang tempat nongkrong penyairnya, keahlian penyairnya di bidang tertentu, dan lain sebagainya. Subagio Sastrowardoyo, dalam tulisannya pada 1980 yang berjudul “Orientasi Budaya Chairil Anwar”[7], mengilustrasikan dengan baik kultus individu itu. Ia mengatakan bahwa,
Di dalam bidang sastra terdapat kecenderungan yang sama seperti di dalam lapangan politik. Sekali seseorang telah mencapai kharisma, semacam kekeramatan kedudukan di tengah masyarakat, sulit opini publik dibelokkan atau ditumbangkan. Kecenderungan itu lebih kuat lagi dalam lingkungan hidup seni karena di sini kebesaran seseorang kurang tergantung dari kerjasama organisasi seperti layaknya berlaku di dalam kegiatan politik. Kekuatan kedudukannya lebih banyak dan lebih khusus bersandar pada pertumbuhan pribadi sendiri. Dengan demikian “kultus individu” di dunia seni merupakan gejala yang jamak.
Di tengah kultus individu semacam itu, menurut Subagio, para pemuja seorang sastrawan tidak dapat lagi menimbang dengan jernih karya dari sosok yang dipujanya. Ia bahkan menyebut lelaku seperti itu dengan “pemujaan tanpa kritik”, suatu sikap yang menerima begitu saja penyangkalan seorang seniman atas kegagalan karyanya, padahal pada kenyataannya karya seniman itu sudah jelas-jelas gagal.
Beririsan dengan kultus individu yang disampaikan Subagio, dunia politik dan juga agama tetap bertahan menjadi panggung paling terang untuk menyaksikan praktik kultus individu bahkan hingga ke taraf paling tidak masuk akal sekalipun. Kultus individu di dunia seni-budaya agaknya tidak seterang-benderang dua dunia di sebelahnya itu, tetapi ia terjadi secara nyata sekalipun dibungkus rapi dengan narasi penghormatan, pendidikan, pemberdayaan, dan seterusnya. Dalam organisasi atau komunitas, kultus individu pun berlangsung dan berkembang melalui budaya komando dan patron-klien.[8]
Dalam kondisi seperti itu, pembacaan dekat di Indonesia saat ini dapat menjadi politis karena ia akan memutuskan hubungan dengan kultus individu serta praktik-praktik feodal lainnya dalam bersastra, sehingga hal-hal seperti ketokohan, kesungkanan, dan utang budi misalnya tidak bisa seenaknya mengintervensi baik secara langsung ataupun tidak penilaian suatu karya. Dengan kata lain, bila Subagio menggunakan salah satu pendekatan ekstrinsik dengan mengabaikan kultus individu, maka bagian tulisan ini mencoba memosisikan pembacaan dekat untuk melawan kultus individu.
Dalam hal ini, sekali lagi, pembacaan dekat di dalam dirinya sendiri tetap menjadi apolitis ketika mengerjakan tanggung jawab utamanya. Sebagaimana lumrahnya dalam telaah Formalisme Baru yang memisahkan (bukan memutuskan) karya dari pengarangnya untuk sementara waktu, penelisikan atas bentuk diperlukan terlebih dahulu (yang tidak sekadar berminat pada keharmonisan bentuk dan isi tetapi juga disharmonisnya), setelah itu barulah dimensi budaya dan politis apapun dapat ditelusuri.[9] Karena itulah, fokus yang diberikan pembacaan dekat kepada teks lebih awal tanpa menghiraukan apa-apa selain itu dengan suatu dan lain cara turut melemahkan dampak buruk dari kultus individu dalam gelanggang budaya kita.
Peran politis yang disematkan kepada pembacaan dekat seperti itu, bagi saya, tidak terhindarkan lagi. Kultus individu adalah penyakit serius dan ia tidak hanya akan membuat kita memuja secara berlebihan dan mencari pembenaran atas segala yang diucapkan sosok pujaan, para praktisi kultus individu juga sangat fasih melakukan hal sebaliknya: membenci tidak karu-karuan dan begitu gampang menyalahkan dan menyepelekan orang lain. Keduanya tidak bermanfaat sama sekali, baik secara sadar atau tidak, bila menjadi perilaku sehari-hari dalam melakukan pembacaan terhadap puisi seseorang.
Untuk menunjukkan ketidaksinambungan antara ucapan penyair tentang karyanya dengan apa yang terkandung dalam karya itu sendiri tetap mesti dimulai dari pembacaan dekat. Ketika pembacaan dekat sudah menyelesaikan tugasnya dalam menelisik intrik peranti dalam suatu teks, kita bisa menggunakan hasilnya untuk memeriksa hubungannya dengan aspirasi penyairnya. Seorang penyair yang katakanlah menunjukkan dukungan terhadap pandangan konservatif bisa saja tanpa disadari ia menulis puisi yang justru menunjukkan kerapuhan pandangan konservatif. Begitu juga seseorang yang menunjukkan sikap keberpihakan terhadap kelas bawah dan menulis puisi untuk menyuarakan kehidupan mereka, bisa saja karyanya itu tanpa disadari malah melanggengkan cara pandang yang tidak adil terhadap kelas bawah itu sendiri. Hal itu dapat terjadi justru karena sebegitu signifikannya pengaruh cara menyampaikan (bentuk) terhadap apa yang disampaikan (isi), sehingga apa yang disampaikan itu bisa berubah arah ketika bentuk turut menjadi bagian dari produksi makna itu sendiri.
Karena itulah, bila kita memahami pembacaan dekat sebagai kompetensi dasar yang harus dimiliki untuk memahami teks, maka pembacaan dekat tidak perlu menjadi oposisi terhadap pendekatan lainnya, justru karena setiap teks senantiasa menyarankan suatu formula untuk membaca dirinya. Mengabaikan penelisikan yang cermat atas bangunan suatu teks dan hanya memedulikan berarti sama dengan mengatakan bahwa semua penggunaan kata anjing dalam segala situasi percakapan akan tetap bermakna sama. Sama halnya dengan mengatakan bahwa bersumpah atas nama Tuhan dalam pernyataan apa pun akan selalu berarti kejujuran. Artinya, kita tidak bisa sekonyong-konyong melupakan cara menyampaikan demi apa yang disampaikan, apalagi melalui teks sastra yang memang sengaja berperkara dengan pemaknaan.
Dengan begitu, dalam melakukan pembacaan dekat, kita mesti mau meluangkan waktu untuk tidak buru-buru memosisikan suatu keganjilan atau keasingan di dalam karya sebagai kesalahan atau kelemahan. Tak sekali saja saya mendengar klaim atas suatu buku puisi hanya berdasarkan kecenderungan penyairnya dalam menggunakan khazanah kosakata tertentu. Sebuah buku puisi yang menyertakan kosakata lokal (meski sudah masuk KBBI sekalipun) dianggap sebagai karya yang bersifat kedaerahan, bahkan dianggap hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang paham bahasa daerah tersebut. Selain itu, seorang penyair yang gemar menggunakan kosakata yang disebut arkais dan kemudian menjalinnya dengan anasir budaya kontemporer lintas benua dianggap terjebak eksotisme. Bahkan, buku puisi yang menggunakan kosakata dari khazanah filsafat klasik dianggap sudah ketinggalan zaman dan tidak relevan lagi dengan kondisi sekarang.
Bagaimanapun juga kita tentunya tidak dapat menghakimi bila ada seseorang secara personal tidak menyukai karya dengan gaya tertentu, tapi menjadikan selera pribadi sebagai pengukuhan kualitas suatu karya jelas tidak adil. Persoalan utama dari klaim seperti di atas adalah ketika makna sebuah puisi dipahami hanya sebatas penggunaan kosakata atau kecenderungan kosakata dianggap sudah mewakili unsur lainnya. Akan lebih baik jika kecenderungan penggunaan kosakata dijadikan sebagai jalan awal-mula untuk memulai penyelidikan lebih jauh. Apalagi, kemunculan suatu unsur berulang kali lebih tepat bila dibaca sebagai motif sastra (literary motif) dan ini lebih mempermudah kita untuk mengungkap visi teks itu sendiri dibanding melakukan penilaian hanya dengan menggunakan silogisme.
Atas dasar itulah, percampuran kosakata dari budaya Islam dan kosakata dari sensualitas tubuh dalam puisi Acep Zamzam Noor tidak bisa ujug-ujug diklaim sebagai penistaan terhadap agama. Sama halnya dengan penggunaan kosakata yang berasosiasi dengan wacana kiri dalam puisi Goenawan Mohamad tidak perlu membuat kita harus menempatkan penyair itu satu bab dengan Wiji Thukul. Atau pengakuan Gus tf bahwa sajak-sajak dalam buku Daging Akar sedikit-banyaknya tercipta karena ia bersentuhan dengan pemikiran filosof Yunani Klasik, Demokritus (460-370 SM)[10] tidak sekonyong-konyong membuat sajak-sajak jadi ketinggalan zaman hanya karena filsafat Materialisme sudah jauh berkembang dan sampai sekarang Materialisme Kultural Raymond Williams masih menarik perhatian. Dalam hal ini, pembacaan dekat dapat membantu kita menyingkap bagaimana intrik kosakata dalam puisi dapat menyampaikan persoalan yang tidak seturut ataupun melampuai asal khazanah kosakata itu sendiri.
Begitu juga, tanda koma di akhir sebagian besar puisi dalam buku Kitab Air Pasang karya Agus Hernawan[11] tidak bisa sewenang-wenang dianggap salah ketik atau sekadar pembeda belaka dari penyair lain. Seorang yang katakanlah memilih menulis puisi dengan menjadikan kepatuhan pada Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) sebagai bagian dari puitika karyanya tidak bisa seenaknya mengatakan bahwa pengabaian tanda miring pada setiap kosakata tidak baku dalam buku Aku Mengenangmu dengan Pening yang butuh Panadol karya Berto Tukan[12] adalah sebuah kesalahan fatal. Apalagi kalau ada orang yang mengatakan bahwa penggunaan huruf kapital untuk kata ganti Tuhan tidak bisa digunakan untuk subjek lain tentu akan mengklaim sajak-sajak dalam buku saut kecil bicara dengan tuhan[13] karya Saut Situmorang sebagai kekeliruan serius. Pembacaan dekat lagi-lagi dapat menjelaskan bagaimana permainan entitas sekecil itu mempunyai fungsi penting bagi produksi makna dalam suatu puisi.
Pada akhirnya, di tengah kultus indviidu yang masih kentara, perkara selera pribadi yang bercampur dengan otoritas tertentu memang perlu terus diwaspadai oleh penelaah mana pun, bahkan hingga ke taraf pelaksanaan tata bahasa sekecil apa pun. Bila tidak, seorang penelaah akan mudah menilai sesuatu yang di luar kebiasaan atau seleranya sebagai kekurangan atau kelemahan suatu karya. Sebagai manusia yang beraktivitas di dunia nilai-nilai, perhatian serius pada cara menyampaikan merupakan bagian dari keyakinan kita bahwa tidak ada nilai yang jatuh begitu saja dari langit, melainkan dikondisikan oleh lingkungan yang melingkupinya, sebagaimana tidak ada isi puisi yang muncul tiba-tiba di kepala kita tanpa adanya susunan unsur-unsur yang membangunnya. Di tengah bangsa yang diam-diam masih mengeruk banyak manfaat dari feodalisme, pembacaan dekat yang bertanggung jawab tidak terelakkan memberikan efek samping yang sangat berharga untuk menjauhkan kita dari bahaya laten kultus individu.
[1] Siregar, Aminudin T.H. 2018. Lukisan Para Penjiplak S. Sudjojono Koleksi OHD Museum? dalam Melacak Lukisan Palsu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 119-157.
[2] Suyatno, Suyono. 2012. “Corak Feminisme Dua Sajak Penyair Laki-Laki.” Atavisme, Vol. 15, No. 2, Edisi Desember (2012). 177-186.
[3] Gus tf. 2009. Akar Berpilin. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2
[4] Jassin, HB. (2013). Pujangga Baru. Bandung: Pustaka Jaya. 48.
[5] Dewi, Saras. (2017). Kekasih Teluk. Bandung: PDB Publishing. 21.
[6] Syahrul, Ninawati. 2023. Kajian Ekologi Sastra dalam Sajak “Lobak Putih” karya Inggit Putria Marga dalam Sastra & Ekologi. Jakarta: Penerbit BRIN. 143-169
[7] Sastrowardoyo, Subagio. 1980. Sosok Pribadi dalam Sajak. Jakarta: Pustaka Jaya. 11.
[8] Untuk penjabaran sangat mendalam tentang budaya komando dan patron-klien lihat Jones, Tod. 2015. Kebudayaan dan Kekuasaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
[9] Bogel, Fredric V. 2013. New Formalist Criticism: Theory and Practice. London: Palgrave Macmillan. 9.
[10] Gus tf. 2005. Daging Akar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. xxi.
[11] Hernawan, Agus. 2019. Kitab Air Pasang. Yogyakarta: Penerbit Gambang.
[12] Tukan, Berto. 2021. Aku Mengenangmu dengan Pening yang butuh Panadol. Jakarta: Anagram.
[13] Situmorang, Saut. 2023. saut kecil bicara dengan tuhan. Yogyakarta: Penerbit JBS.
Heru Joni Putra
Heru Joni Putra merupakan lulusan Sastra Inggris FIB Universitas Andalas dan Cultural Studies FIB Universitas Indonesia. Ia sekarang bermukim di Bantul, Yogyakarta. Buku pertamanya berjudul Badrul Mustafa Badrul Mustafa Badrul Mustafa (Kumpulan Puisi, 2017). Buku keduanya berjudul Suara yang Lebih Keras: Catatan dari Makam Tan Malaka (Kajian Memori Budaya, 2021). Buku puisi keduanya yang akan dipublikasikan berjudul Suatu Hari di Batas Ilmu Pengetahuan. Selain sastra, ia juga menulis tentang seni rupa.