Mengunjungi Lagi Wellek dan Warren

Ketika buku Theory of Literature karya Rene Wellek dan Austin Warren terbit pertama kali dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia pada awal 1989, saya masih duduk di bangku SMA. Seingat saya, istilah “intrinsik” dan “ekstrinsik” yang menjadi kategori inti dalam buku itu sudah lumayan populer sebagai bahasa teknis dalam konteks pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah sejak diluncurkannya kebijakan Kurikulum 1984. Artinya, sangat boleh jadi buku edisi bahasa Inggrisnya memang sudah dirujuk di kalangan akademisi sastra di kampus secara terbatas dan diteruskan secara langsung maupun tidak langsung kepada para guru dan mahasiswa calon guru bahasa dan sastra Indonesia. Saya rasa, justru karena itulah penerjemahan buku tersebut makin penting pada masa itu, terutama untuk mengatasi kesenjangan pengetahuan dalam ilmu sastra, khususnya untuk kebutuhan pembelajaran sastra di sekolah.

Meski penerjemahnya, Melani Budianta, menyadari bahwa penerbitan edisi terjemahan buku itu sudah cukup terlambat, sebab edisi pertama Inggrisnya terbit pada 1949, dia menekankan bahwa buku Wellek dan Warren itu tetap dapat memberikan kesegaran karena “mempertanyakan kembali asumsi-asumsi dasar” dalam ilmu sastra. Namun, di titik kesegaran itu pula terletak jebakan akademisnya karena ternyata buku itu, apa boleh buat, juga diperlakukan sebagai semacam buku panduan untuk mahasiswa S1 di jurusan sastra atau di jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Padahal, Welek dan Warren sendiri sebenarnya memaksudkan buku tersebut secara khusus untuk bahan pemikiran bagi para akademisi sastra di tingkat pascasarjana untuk menjelajahi kemungkinan-kemungkinan baru dalam pengembangan ilmu sastra yang pada akhir era 1940-an masih belum mantap di kampus-kampus Amerika Serikat sendiri, tempat kedua penulis itu mengajar. Konteks khusus ini, demi aktualitas, memang sudah dihapus oleh kedua penulisnya di edisi ketiganya (1962). Edisi inilah yang kemudian menjadi bahan terjemahan Melani Budianta.

Untungnya, pada masa itu diterbitkan juga beberapa buku terjemahan dari program ILDEP (Indonesian Linguistics Development Project) sejak awal Orde Baru sebagai hasil kerja sama akademis Indonesia-Belanda, seperti buku Pengantar Ilmu Sastra (1984) dan Tentang Sastra (1989) karya Luxemburg, Bal, dan Weststeijn yang memang secara khusus dimaksudkan sebagai buku panduan (buku ajar) bagi mahasiswa S1 yang baru mulai mempelajari ilmu sastra. Namun, istilah intrinsik dan ekstrinsik rupanya telanjur lebih menarik karena memberikan logika spasial sederhana tentang analisis karya sastra dalam kategori dalam dan luar. Padahal, persoalannya tidaklah sesederhana itu karena Wellek dan Warren sendiri justru memperlakukan kategori intrinsik dan ekstrinsik sebagai hasil pengamatan sementara saja atas perkembangan kajian sastra selama masa itu. Bahkan, mereka sendiri menggunakan istilah “pendekatan” yang bersifat umum untuk kedua kategori tersebut, bukan dimaksudkan sebagai teori tersendiri yang spesifik. Justru dengan memaparkan kecenderungan sementara dari dua pendekatan tersebut, mereka mengajak para akademisi sastra untuk memikirkan suatu keterpaduan dalam kajian sastra yang nantinya dapat menjadi dasar yang mantap bagi kekhususan disiplin ilmu sastra itu sendiri di hadapan ilmu-ilmu lain. Mereka menyarankan bahwa bagaimanapun jadinya keterpaduan itu nanti, seyogianya mempertimbangkan apa yang mereka sebut “modus keberadaan karya sastra” sebagai dasarnya. Tantangan semacam ini tentu saja hanya relevan dikerjakan pada tingkat pascasarjana.

 

Perspektivisme

Keterpaduan pendekatan itulah yang kemudian coba ditawarkan oleh A. Teeuw dalam bukunya Sastra dan Ilmu Sastra yang terbit pertama kali pada 1984. Meskipun memaparkan berbagai kecenderungan teori sastra dunia pada era itu, Teeuw juga menulis bukunya dengan mempertimbangkan sebagian konteks sastra Indonesia sebab dia memang terlibat dalam program ILDEP sejak awal. Pada saat pertama kali membaca buku Wellek dan Warren pada awal 1990-an, ketika baru masuk kuliah S1, saya kelimpungan. Tentu saja saya belum siap memahaminya karena kekurangan banyak pengetahuan prasyarat dalam bidang sastra. Berkat buku Teeuw itulah saya mulai lebih mengerti konstelasi teoretis dalam ilmu sastra dan bagaimana meletakkannya dalam kerangka yang lebih terpadu. Buku Teeuw memang dimaksudkan sebagai panduan ringkas sekaligus utuh mengenai ilmu sastra yang sedapat mungkin menghindari gaya polemik yang cukup kental di buku Wellek dan Warren. Jadi, kini kita bisa menganggap bahwa buku Teeuw tersebut adalah semacam jawaban atas tantangan Wellek dan Warren mengenai keterpaduan pendekatan dalam ilmu sastra.

Meskipun Wellek dan Warren tidak memaparkan pemikiran yang utuh mengenai model keterpaduan pendekatan itu, karena buku mereka memang bersifat memancing pertukaran pikiran ibarat seorang moderator dalam diskusi, sebenarnya kedua penulis tersebut secara eksplisit tetap memberikan jalan setapak ke arah penjelajahan lebih lanjut atas model yang mungkin. Dalam hal ini, kita bisa menemukannya dalam acuan mereka kepada Roman Ingarden, seorang filsuf Polandia, ketika hendak menjelaskan konsep yang sangat penting dalam buku mereka, yaitu “modus keberadaan karya sastra” (Bab 12).

Bagi Wellek dan Warren, jika ilmu sastra memang ingin diperlakukan sebagai ilmu tersendiri di hadapan disiplin ilmu-ilmu lain, maka tidak ada cara lain kecuali menawarkan cara yang spesifik dalam mendefinisikan objek kajiannya, yaitu karya sastra itu sendiri. Untuk keperluan itulah mereka mengacu pada Ingarden yang memandang karya sastra secara fenomenologis. Dalam perspektif ini, karya sastra bukanlah objek material dan bukan pula objek ideal, melainkan objek yang tercipta dari hubungan intersubjektif antarmanusia, yaitu pengarang dan pembaca. Karena itu, logika luar-dalam (ekstrinsik-intrinsik) yang terlampau sederhana itu justru tidak bisa diterapkan di sini karena pengarang dan pembaca bukanlah sesuatu yang berada “di luar” karya sastra, sebab keberadaan karya sastra sudah dengan sendirinya menyatu dengan hubungan pengarang dan pembaca. Eksistensi karya sastra sudah telanjur menyerap pengarang-pembaca “ke dalam” dirinya. Kemenyatuan intersubjektivitas inilah yang coba ditekankan oleh Wellek dan Warren agar menjadi orientasi pendekatan ilmiah untuk membangun disiplin ilmu sastra.

Namun, sebelum kemenyatuan intersubjektivitas itu dapat dijelajahi dan dikonstruksi dengan lebih mantap, perspektif sementara mengenai pendekatan ekstrinsik dan intrinsik masih diperlukan. Saya kira ini mirip seperti perancah (scaffolding) yang sangat fungsional dalam momen tertentu untuk kemudian harus dirobohkan ketika bangunannya sudah jadi. Secara khusus Wellek dan Warren menyebut pendekatan mereka ini dengan nama “perspektivisme”. Jadi, saya telah cukup lama juga terjangkit semacam salah-baca terhadap buku mereka ketika ikut menganggap bahwa keduanya cenderung pada pendekatan intrinsik semata.

Untuk melepaskan diri dari anggapan keliru itu, saya kira cukuplah kita kembali pada definisi karya sastra menurut mereka berdua:

Karya sastra adalah sistem norma dari konsep-konsep ideal yang intersubjektif. Konsep-konsep itu berada dalam ideologi kolektif dan berubah bersama ideologi tersebut. Konsep-konsep itu hanya dapat dicapai melalui pengalaman mental perorangan yang didasarkan pada struktur bunyi kalimat-kalimatnya. (hlm. 176)

Definisi ini cukup rumit karena memadukan beragam perspektif teoretis yang sebelumnya berada dalam posisi yang tidak selalu sejalan. Terminologi “sistem norma dari konsep-konsep ideal” sebenarnya mengacu pada pemikiran Ferdinand de Saussure tentang langue sebagai sistem bahasa yang umum, yang nantinya melandasi aliran strukturalisme. Tetapi, kemudian sistem yang umum ini dibatasi dalam hubungan “intersubjektif” yang diambil dari pemikiran fenomenologis Ingarden dan makin rumit ketika itu juga terkondisikan dalam “ideologi” yang merupakan terminologi sosiologis (baik Marxis maupun bukan-Marxis). Itu pun belum selesai seluruhnya sebab terdapat dua faktor lagi yang tidak bisa diabaikan, yaitu bahwa akses terhadap sistem norma itu melibatkan pengalaman mental individu (faktor psikologis, keunikan pengalaman individu) atas lapisan/tataran/strata yang membentuk struktur karya sastra itu sendiri (bunyi, kalimat, dan sebagainya). Inilah, saya kira, yang merupakan arah bagi kemenyatuan intersubjektif itu.

Namun, pada era 1940-an memang masih sulit membayangkan suatu sistem yang kompleks, utuh, sekaligus dinamis dalam memahami karya sastra. Berbagai pendekatan dan teori sastra seperti sedang berjalan sendiri-sendiri dan tonggak-tonggak awal baru saja dipancang. Dalam paragraf terakhir buku itu, dengan terang diakui bahwa “Bagaimanapun juga, kita baru mulai belajar begaimana menganalisis karya sastra dalam keutuhan. Kita masih kurang ahli dalam menguasai metode kita, dan dasar teori metode-metode ini masih terus berubah. Jadi, masih banyak yang harus kita lakukan.” (335). Saya kira, dalam konteks itulah buku Wellek dan Warren ini memberikan kontribusi terbesarnya, yaitu memancing kita untuk membangun ilmu sastra yang utuh dengan mulai memberikan perhatian besar pada modus keberadaan karya sastra.

 

Usaha Percobaan

Dalam konteks Indonesia, usaha percobaan untuk membangun keutuhan pendekatan bagi ilmu sastra itu dapat kita amati pada sekelompok ilmuwan yang menyebut diri “Aliran Rawamangun” pada awal 1970-an. Berbeda dari keadaan di masa sebelumnya yang cenderung masih menekankan pada praktik kritik sastra saja tanpa suatu orientasi untuk membangun ilmu sastra sebagai suatu disiplin ilmiah yang sistematis, Aliran Rawamangun ini mulai mencoba membayangkan suatu keutuhan analisis atas karya sastra melalui suatu perspektif teoretis yang pada masa itu baru tumbuh, yaitu strukturalisme. Namun, tawaran ini langsung disanggah oleh sekelompok sastrawan yang menyebut pendekatan teoretisnya sebagai Metode Ganzheit yang berkaitan dengan teori psikologi Gestalt mengenai pengalaman seni. Perdebatan kedua kubu ini, kita ketahui bersama, telah menjadi peristiwa sastra yang penting pada masa itu.

Saya tidak perlu menguraikan isi perdebatan itu lebih jauh, tetapi yang relevan untuk dikatakan di sini adalah jika kita meninjaunya kembali dari perspektif buku Wellek dan Warren, pada dasarnya kedua kubu tersebut sama-sama mencoba untuk menganalisis karya sastra dalam keutuhan, titik berangkatnya saja yang berbeda. Karena itu, sebuah upaya sintesis sebenarnya sangat mungkin untuk dikerjakan seperti yang sudah ditawarkan oleh Wellek dan Warren melalui sintesis antara teori strukturalisme Saussure dan fenomenologi Ingarden yang cenderung ke arah Gestalt.

Namun, rupanya sintesis yang lebih sistematis masih harus menunggu berjalannya waktu sampai teori strukturalisme itu sendiri menjadi lebih matang dalam perkembangan internalnya pada era 1980-an, khususnya dalam teori naratologi, dan ketika sintesisnya dengan pendekatan-pendekatan ekstrinsik sudah mulai menghasilkan teori-teori yang lebih terpadu, seperti naratologi feminis (feminist narratology) dari Susan Lanser (1986) dan puitika sosiologis (sociological poetics) dari Alan Swingewood (1987). Tahap yang lebih matang inilah yang juga ditawarkan oleh Umar Junus di Indonesia melalui kajiannya atas karya sastra Indonesia dengan menggunakan perspektif sosiologi sastra.

Perjumpaan saya dengan pemikiran Junus sebenarnya tidak mengenakkan sebab ketika saya mulai mempelajari pandangannya pada awal 1990-an, masih ketika saya kuliah S1, saya tertumbuk pada serangannya yang cukup keras terhadap H.B. Jassin yang dimuat di majalah Horison No. 8, 1985. Bagaimanapun sulit bagi saya yang sudah lama terinternalisasi ke dalam keterhormatan Jassin di dunia sastra Indonesia untuk kemudian menerima kenyataan pahit yang dikemukakan oleh Junus bahwa Jassin sebenarnya terjebak dalam sikap antiteori. Dia mengkritik konsep periodisasi atau angkatan dalam sejarah sastra Indonesia yang diajukan oleh Jassin sebagai sesuatu yang tidak dilandasi oleh teori yang sistematis.

Jika kini kita menghubungkan apa yang dikatakan oleh Junus itu dengan pandangan Wellek dan Warren mengenai sejarah sastra (Bab 19), kita bisa menduga bahwa Junus sebenarnya sedang menjelajahi kemungkinan untuk menemukan landasan teoretis yang lebih kuat tentang sejarah sastra dan itu tidak bisa dilakukan dengan sekadar “menempelkan” periodisasi sastra ke periode perubahan politik, seperti Angkatan 45, Angkatan 66, dan seterusnya. Wallek dan Warren menegaskan hal serupa:

Sastra tidak boleh dianggap sebagai pencerminan pasif atau fotokopi dari perkembangan politik, sosial, atau bahkan pemikiran umat manusia. Jadi, periode sastra harus didasaran pada kriteria sastra yang murni. Kalau hasil periode sastra itu kebetulan sama dengan periodisasi politik, sosial, cabang seni yang lain, dan sejarah pemikiran, kita tidak perlu merasa keberatan. Tetapi titik tolaknya harus tetap perkembangan sastra sebagai sastra. Jadi, periode hanya merupakan subbagian dari perkembangan universal. Sejarah sastra hanya dapat disusun dengan acuan ke suatu skema nilai yang bervariasi, yang hanya dapat diabstraksikan dari sejarah itu sendiri. Dengan demikian, suatu periode merupakan bagian waktu yang didominasi oleh sistem norma, standar konvensi sastra, yang dapat ditelusuri penyebaran, diversifikasi, integrasi, dan kepunahannya. (330)

Sejak itu saya mulai menyadari secara samar-samar bahwa tampaknya dunia sastra di Indonesia pada era 1980-an itu memang sedang berpindah ke tahap baru, yaitu ketika perenungan dan penjelajahan teoretis menjadi sangat dipentingkan dalam rangka membangun studi sastra sebagai sebuah disiplin ilmiah melalui upaya-upaya sintesis yang mungkin antara apa yang selama ini sudah dipahami sebagai pendekatan ekstrinsik dan intrinsik dalam studi sastra. Dalam konteks itulah kita perlu memosisikan apa yang disebut dengan Perdebatan Sastra Konstekstual pada pertengahan 1980-an.

Sebenarnya, terminologi “sastra kontekstual” itu memang dimaksudkan sebagai suatu pendekatan teoretis untuk mengkaji karya sastra, yaitu yang mencoba menemukan hubungan antara karya sastra dan konteks sosial-historis. Jadi, itu merupakan upaya teoretis di dalam bidang sosiologi sastra, semacam puitika sosiologis jika kita mau menggunakan istilah Swingewood. Namun, bagi saya, istilah “sastra kontekstual” tampaknya juga mengandung semacam strategi diskursif untuk melawan atau menyaingi apa yang disebut “sastra universal” yang mengacu pada pemikiran Jassin pada akhir 1940-an beserta implikasi selanjutnya pada Manifes Kebudayaan pada era 1960-an. Karena itu, muncul kesalahpahaman orang yang secara harfiah membayangkan adanya karya sastra yang bersifat kontekstual, di satu sisi, dan karya sastra yang bersifat universal, di sisi lain.  Kesalahpahaman ini memang bisa menimbulkan keributan yang kontraproduktif, tetapi justru di titik itu pula efektivitas strategi diskursifnya bisa mengena, yaitu sebagai pintu masuk perbincangan untuk menggoyang wacana dominan dalam studi sastra dan sejarah sastra pada masa Orde Baru yang sudah sejak awal bersikap antipati terhadap bidang sosiologi sastra yang tentunya dikhawatirkan akan menyerempet ke pendekatan Marxis yang terlarang.

Sayangnya, pada saat itu istilah “wacana” (discourse) dalam pengertian pascastrukturalisme belum lagi digunakan dalam pembicaraan di dunia akademis kita, termasuk dalam perdebatan sastra kontekstual itu sendiri. Karena itu, setelah sekarang ini dunia ilmu sastra sudah sangat dipengaruhi oleh perspektif Kajian Budaya (cultural studies), kita bisa meninjau kembali perdebatan-perdebatan sastra pada masa lalu dengan perangkat analisis yang lebih utuh dan kompleks sehingga bangunan sejarah sastra Indonesia dapat dikaji dan ditata ulang dengan dasar ilmiah yang lebih kuat sebab, seperti kata Wellek dan Warren dalam kutipan yang sudah saya cantumkan di atas, “Sejarah sastra hanya dapat disusun dengan acuan ke suatu skema nilai yang bervariasi, yang hanya dapat diabstraksikan dari sejarah itu sendiri.”

 

Setelah Tiga Dekade

Setelah 30 tahun lebih kehadirannya di Indonesia, tampaknya pandangan Melani Budianta tentang pentingnya buku Wellek dan Warren ini masih berlaku, yaitu bahwa buku ini memancing kita untuk “mempertanyakan kembali asumsi-asumsi dasar” dalam ilmu sastra. Dengan gaya penulisannya yang kadang-kadang polemis, kadang-kadang bertanya-tanya saja dengan atau tanpa jawaban, dan kadang-kadang mencoba memberi petunjuk ke arah tertentu meski kemudian membelokkan kita ke arah lain, Wellek dan Warren membawa kita pada banyak keterbatasan pandangan dan kerja akademik yang sudah dilakukan dalam ilmu sastra sampai pada masa itu, tetapi sekaligus pula melemparkan kita pada kemungkinan-kemungkinan yang dapat dibayangkan tentang masa depan ilmu yang licin ini.

Sekalipun keduanya memang tetap belum bisa keluar dari keterbatasan pemikiran pada zamannya, mereka telah memberikan pondasi yang sulit tergantikan, yaitu bahwa apa pun perspektif teoretis yang mungkin ditawarkan mengenai karya sastra, semuanya hanya akan berkutat untuk mengambil sebagian posisi di sekitar modus keberadaan karya sastra sebagaimana yang dikemukakan oleh Wellek dan Warren. Dalam kasus naratologi, misalnya, modus keberadaan karya sastra yang menyatukan aspek intrinsik dan ekstrinsik itulah yang kemudian ditegaskan oleh David Herman dalam buku A Companion to Narrative Theory (2005, 32) sebagai kontribusi penting buku Theory of Literature itu.

…terdapat bagian dari pemikiran Wellek dan Warren yang semata-mata tidak dapat diserap oleh naratologi struktural sebagaimana telah dirumuskan pada mulanya. Karena pengaruh Saussure yang besar, kaum strukturalis tidak cukup handal untuk menangani persoalan acuan fiksional, yaitu persoalan tentang apa yang diacu oleh suatu cerita (fiksi atau bukan fiksi). Jadi, dengan mengangkat gagasan tentang Kosmos fiksional–dunia cerita yang melandasi dan dimunculkan oleh representasi fiksional–pemikiran Wellek dan Warren menegaskan persoalan semantik cerita yang masih belum dikembangkan selama hampir tiga atau empat dekade, sampai munculnya kompleksitas wacana lain yang mulai menata ulang teori cerita dan mengubah profil genealogisnya.

Dengan konsep tentang modus keberadaan sastra itu, Wellek dan Warren terhindar dari pendekatan intrinsik yang “kampungan”—untuk meminjam terjemahan Melani Budianta atas kata “vulgar” ketika dia menerjemahkan frasa “vulgar Marxism” menjadi “Marxisme kampungan” (117)—yang hanya berkutat mendaftarkan unsur-unsur intrinsik secara harfiah dan sporadis tanpa mencoba menemukan hubungan-hubungan logis yang pernah dibayangkan oleh strukturalisme. Namun, di sisi lain, hal itu membuat Wellek dan Warren juga terbuka pada dinamika sastra sebagai sesuatu yang mempunyai “kehidupan”, dalam arti bahwa “karya sastra juga bersifat historis. Perkembangannya dapat diuraikan. Perkembangan ini terdiri dari pengkonkretan karya sastra sepanjang sejarah, dan kita dapat sampai tingkat tertentu membuat rekonstruksi dari laporan kritik dan pembaca tentang pengalaman, penilaian, dan dampak karya sastra pada karya lain.” (175)

Saya kira, dalam semangat seperti itulah tawaran Martin Suryajaya (2023) akhir-akhir ini mengenai “kubus pembacaan” dapat juga kita posisikan. Daripada melihat keragaman atau bahkan booming teori sastra yang ada selama ini dalam kerangka pembagian berdasarkan kronologi, tema, dan objek kajian, Martin mengajukan klasifikasi yang sangat strategis, yaitu modalitas pembacaan, sebab jika kita kembali pada pandangan Wellek dan Warren, maka pada dasarnya modus keberadaan karya sastra itu sendiri hidup di dalam relasi intersubjektif proses pembacaan.

Akhirnya, tawaran Martin itu mengembalikan saya pada fenomena yang sudah saya kemukakan di awal tulisan ini, yaitu tentang kepopularan istilah “ekstrinsik” dan “intrinsik” dalam praktik pembelajaran sastra di sekolah sejak era 1980-an sampai kini. Menurut saya, ada semacam lompatan pikiran yang tergesa-gesa untuk secara langsung menggunakan kategori Wellek dan Warren itu untuk konteks pembelajaran sastra. Kita membutuhkan bangunan teoretis yang bersifat pertengahan (middle construct) untuk kebutuhan pembelajaran sastra atau pengembangan kemampuan literasi sastra. Mengingat bahwa belajar sastra pada dasarnya adalah belajar membaca karya sastra, maka model kubus pembacaan yang ditawarkan Martin akan bisa berfungsi strategis bagi para ahli pendidikan sastra. Namun, ini topik lain yang membutuhkan ruang diskusi lanjutan karena tulisan ini sudah perlu diakhiri.

Marginalia31 Desember 2023

Irsyad Ridho


Dosen. Naratolog. Pendukung komunitas seni di Atelir Ceremai, Jakarta.