Membaca Kecenderungan Kritik Sastra di Indonesia
Dari Kajian Pascakolonial hingga Humaniora Digital

Ilustrasi: Gelar Prakosa

Pada 1998, di tengah kecamuk gerakan reformasi yang menyuarakan perubahan, analisis karya sastra untuk tugas akhir sarjana di sebuah kampus diwarnai pendekatan psikoanalisis. Situasi ini mendorong saya yang saat itu tengah menulis skripsi tergoda untuk menggunakan teori yang sama[1]. Melalui sebuah naskah drama realis, saya berselancar untuk melihat samudera dinamika kondisi psikologis para tokoh. Seakan saya seorang psikolog yang menghadapi dan mengidentifikasi simtom-simtom pasien dengan problem mental, padahal yang saya hadapi adalah tokoh-tokoh rekaan dalam sebuah teks sandiwara. Tokoh hipokrit dalam drama tersebut memiliki ambisi besar menjadi pemimpin yang berharap hormat dari publik, tetapi di balik itu ia menggunakan cara-cara culas sehingga menyakiti batin-batin tokoh lainnya. Agar terhindar dari beban teori bidang psikologi an sich, perhatian terhadap bagaimana sang penulis naskah drama menggunakan kecapakan sastrawinya dan latar belakang kehidupan serta kondisi psikologisnya dalam merepresentasikan ambisi dan konflik sosial yang berdampak pada kondisi psikologis tokoh-tokohnya bisa menjadi bagian penting dalam kajian tersebut.

Pada saat saya dan sebagian mahasiwa berjibaku mengkaji karya sastra dengan pendekatan psikoanalisis, saya bertemu dua orang mahasiswa yang  mempunyai keberanian mengkaji karya sastra dengan teori berbeda. Seorang mahasiswi menggunakan teori feminis dan seorang mahasiswa mengaplikasikan teori eksistensialisme untuk skripsi sastra mereka. Sayup-sayup tersuar kabar, beberapa dosen dan teman-teman mahasiswa membincangkan dua mahasiswa tersebut. Penggunaan teori feminis pada konteks dan situasi saat itu masih dianggap ‘tabu’ dan terlalu berani karena membawa semangat perlawanan kaum perempuan terhadap budaya patriarki yang memengaruhi berbagai sendi masyarakat.

Muncul anggapan bahwa pilihan mengkaji karya satra dengan pisau analisis feminis itu melawan kodrat wanitanya. Namun, saya salut, di tengah terpaan asumsi dan prasangka itu, dia tetap terus berproses untuk menyelesaikan skripsi bidang sastranya tersebut. Dia ingin memberikan warna baru, mengubah tradisi penggunaan teori tertentu yang mengakar di sebuah Program Studi. Mahasiswa satunya menggunakan teori eksistensialisme untuk menelaah naskah drama absurd Menunggu Godot karya Samuel Beckett[2]. Sang mahasiswa juga menerima tanggapan kritis dari anggota akademia kampus yang menilai kajiannya ‘tidak biasa’. Konsep ‘existence precedes essence’ (eksistensi mendahului esensi), yang dia gunakan dianggap menegasikan keberadaan Tuhan sehingga berbahaya jika memengaruhi pemikiran dan perilaku sehari-hari.

Sekitar 2006, setelah 3 tahun saya menjalani amanah mengajar mata kuliah sastra, saya makin paham bahwa, pada saat itu, tidak semua anggota akademia kampus menerima teori-teori Barat itu. Sekelompok mahasiswa memprotes dosen yang mengajarkan teori-teori Barat, seperti feminis dan eksistensialisme di kampus. Di pertemuan-pertemuan berikutnya di kelas teori sastra dan kritik sastra, saya tegaskan bahwa belajar sebuah teori dari pemikir Barat tidak berarti akan mempraktikkannya dalam laku keseharian.

Pada tahun-tahun tersebut, saya juga menemukan kajian-kajian mahasiswa yang menggunakan teori kritik sastra Marxis. Kemudian, pada 2010-an, penggunaan teori pascakolonial, ekokritik, feminis, dan juga gastrokritik dilakukan, meskipun sebenarnya pada tahun 1990-an telaah sastra dengan teori pascakolonial sudah dilakukan beberapa kritikus Indonesia. Pada 2020-an kajian sastra dan wisata juga muncul, di tengah masih maraknya kritik sastra berbasis teori pascakolonial, ekokritik dan feminis. Kelahiran, kehidupan dan perkembangan kritik sastra sebagaimana disampaikan Faruk (2018:280) dipengaruhi oleh wacana lain yaitu karya sastra.

Tanpa kemunculan karya-karya sastra yang menarik, kerja-kerja kritik sastra tak akan menemukan tantangan kuat. Kemunculan karya-karya sastra bertema pascakolonial, lingkungan dan makanan telah mendorong makin menjamurnya kajian-kajian dengan teori-teori yang relevan dengan isu-isu tersebut. Kita bisa melihat dan membaca hasil-hasil telaah sastra baik di lingkungan akademis maupun dalam kegiatan sayembara dan forum diskusi sastra luar kampus yang dihiasi berbagai analisis karya sastra dengan teori-teori tersebut. Dalam praktik melakukan kajian dan menulis kritik sastra, seseorang bisa terinspirasi terlebih dahulu dari karya sastra kemudian dia mencoba mempelajari teori relevan, atau sebaliknya yaitu seseorang telah belajar sebuah teori, kemudian dia ingin mengaplikasikan teori tersebut untuk menelaah karya sastra yang relevan.

 

Kritik Sastra Akademik dan Kritik Sastra Sastrawan

Apakah lembaga akademik yang menjalankan pendidikan bahasa dan sastra, seperti Fakultas Sastra, yang pada era sekarang telah banyak berubah menjadi Fakultas Ilmu Budaya, dengan Program-Program Studi Bahasa dan Sastra-nya mendorong lahirnya kecenderungan-kecenderungan kritik sastra dengan teori-teori mutakhir? Kita perlu mengakui bahwa beberapa akademisi yang menekuni bidang sastra telah banyak menulis teori dan metode sastra dengan aplikasi-aplikasinya. Bila kita ingin mencari rujukan teori dan metode ini di Indonesia kita akan bertemu buku-buku karya akademisi sastra dari Indonesia, meskipun rujukan-rujukan yang dipakai para akademisi ini adalah berbagai referensi dari para pemikir Barat. Kemudian, apakah ada pengamat sastra dan sastrawan yang tidak berasal dari latar pendidikan sastra mencurahkan perhatian dan kajiannya untuk mambahas teori dan metode sastra? Di beberapa forum saya beberapa kali menyimak diskusi sastra yang jika pembahasannya menyentuh hal-ihwal teori dan metode telaah sastra, pemateri atau peserta yang tengah merespons hal ihwal tersebut menyampaikan bahasa diplomatis,”kalau urusan teori dan metode serahkan saja kepada para akademisi sastra.”, meskipun sebenarnya ada sastrawan dan kritikus sastra yang tidak berstatus akademisi seringkali menyitir teori dalam mengkaji sastra secara sistematis. Pernyataan bahwa urusan teori dan metode sastra adalah urusan akademisi menyiratkan anggapan bahwa para akademisi sastra di kampus-kampus menyuntuki dan seakan lebih paham perihal metode dan teori sastra di perkuliahan dan juga penelitian mereka. Pernyataan demikian, menurut saya, seharusnya tidak menciptakan garis demarkasi peran-peran yang bisa dimainkan akademisi sastra dan para penelaah sastra dari luar lingkungan akademis, karena teori dan metode telaah sastra bisa dipelajari, disajikan, diperdebatkan oleh siapapun yang mempunyai kompetensi tentang hal tersebut.

Pradopo (2020:86) menyebutkan salah satu ciri kritik sastra akademik, yang dibedakan dengan kritik sastra sastrawan, terkait penggunaan sandaran pandangan atau pendapat para ahli sastra yang berhubungan untuk memperkuat pernyataan dan argumentasinya. Sebagai contoh, Edward Said dan Homi K. Bhabha adalah figur berlatar sastra (ahli sastra) yang mengembangkan teori-teori yang menjadi pijakan kajian sastra pascakolonial.

Selain ciri tersebut, Pradopo juga menyebutkan ciri-ciri lainnya dari kritik sastra akademik yaitu analisis yang mendetail, disusun dalam susunan yang sistematik, unsur-unsur karya sastra disoroti semuanya, terdapat pertanggungjawaban ilmiah dengan penyebutan data yang akurat, dan penggunaan metode ilmiah. Kita bisa melihat bagaimana akademisi sastra cum kritikus sastra mengkaji karya-karya sastra bertema pascakolonial melalui lensa terori pascakolonial secara teoritis dan sistematis. Analisis yang dilakukan dalam kajian-kajian tersebut diperkuat dengan kutipan-kutipan teori dari Said, Bhabha, Spivak dan pemikir pascakolonial lainnya. Sementara, salah satu ciri penulisan kritik sastra sastrawan menurut Pradopo (2020:85) adalah bersifat esaistis. Gaya tersebut, dalam kaitannya dengan kajian bernuansa pascakolonial seperti esai Ikhwan yang berjudul Tentang Menulis Liyan yang dimuat di Jawa Pos (25 November 2023). Membaca esai ini, para pembaca akan melihat ide-ide yang mengalir, tanpa beban teoretis. Ikhwan membahas perbandingan bagaimana penulis India, R.K. Narayan dan para penulis kulit putih, seperti Kipling dan Foster tanpa harus ‘terbebani’ konsep-konsep dalam kajian pascakolonial, seperti liyan (the other). Ikhwan hanya menyebutkan buku Orientalisme karya Said, tanpa menjadikannya konsep-konsep di dalamnya sebagai rujukan. Misalnya, ketika hendak membandingkan tahun penerbitan buku Orientalisme pertama kali yaitu 1978 sama dengan tahun penerbitan sebuah buku karya Narayan yang diberi pengantar oleh novelis Inggris bernama Graham Greene.

Pertanyaannya, apakah para penelaah sastra yang bukan berstatus akademisi atau lebih menyandang status sastrawan, yang notabene sebagian dari mereka juga berlatar pendidikan sastra bisa menulis telaah dengan seperangkat teori sebagai fondasi dalam interpretasi? Saya percaya mereka mampu melakukannya. Mereka yang lulusan pendidikan sastra dan pernah menyusun tugas akhir ilmiah analisis karya sastra mempunyai dasar kemampuan untuk itu. Namun, jika kritik sastra ditulis secara formal dengan sistematika seperti karya ilmiah, maka khazanah kritik sastra yang oleh Pradopo dicirikan lebih ke gaya esai justru tidak mewarnai khazanah kajian sastra. Sementara, identitas akademisi sastra mengandung konsekuensi tuntutan untuk menghasilkan kritik sastra yang berkualitas.

Kritik terhadap kualitas kritik sastra akademisi fakultas sastra pernah disuarakan. Christanti (2014) dalam pengantar Antologi Pemenang Sayembara Kritik Sastra Sastra DKJ 2013 “Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi” menyampaikan kritiknya terhadap kondisi, ‘atmosfir’, dan kualitas kritik sastra yang diproduksi sebagian akademisi. Christanty menulis,” Bagaimana dengan kritik sastra yang bertumpu pada penelitian para akademisi di fakultas-fakultas sastra? Tanpa  bermaksud mengabaikan peran mereka yang benar-benar  berjasa, saya memahami keterbatasan waktu mereka untuk  dapat berkonsentrasi di bidang ini (mengingat kritik sastra adalah disiplin tersendiri) dan dampaknya.” Pernyataan Christanty, di satu sisi, mengakui peran para akademisi sastra yang telah berkonstribusi dalam perkembangan kritik sastra. Namun, di sisi lain, dia mengkritik kualitas kritik sastra yang diproduksi sebagian ‘orang kampus’ yang kualitasnya kurang. Keterbasan waktu akademisi tersebut disebabkan ketidakmampuan mengelola waktu dengan baik sehingga sang akademisi tidak bisa mengikuti dan mempelajari perkembangan kajian sastra dan teori-teori mutakhir secara maksimal.

 

Kritik dan Tantangan Penggunaan Teori (Barat)

Teori dan aplikasinya dalam kritik sastra telah melahirkan perdebatan. Dalam kata pengantar untuk bunga rampai telaah sastra DKJ, Hae (2010) memberikan respons terhadap kecenderungan telaah sastra yang bergerak ke arah cultural studies dan pemberhalaan teori. Maksud dari pemberhalaan teori ini, dalam pandangan Hae, berkaitan dengan takluknya sang penelaah di hadapan teori[3].

Dalam pemahaman saya, masalah ini terkait ketidakmampuan pengkaji atau kritikus sastra untuk menggunakan teori sebagai alat untuk menginterpretasi karya sastra secara ‘proporsional’, sehingga muncul telaah dengan teori yang begitu dominan pengutipan dan elaborasinya, tetapi teori itu sebenarnya tidak bersentuhan secara langsung dengan tubuh teks secara subtansial. Akibatnya, teori terlihat sekadar menjadi tempelan, ajang gagah-gagahan, dan sekumpulan ide yang terkesan dipaksakan agar teks karya sastra mengikuti teori itu, bukan sebaliknya. Namun, pendapat Hae ini tidak menolak teori-teori yang bermunculan, terutama-teori-teori dalam kajian sastra yang berasal dari para pemikir Barat.

Hae lebih mempersoalkan aplikasi dari teori-teori yang terlalu berlebihan. Telepas urgensi teori mutakhir dalam mengkaji karya sastra, kerja kritik sastra tetaplah terkait dengan proses pembacaan secara suntuk atas karya sastra. Kesungguhan seorang kritikus dalam membaca karya sastra secara berulang untuk mengidentifikasi berbagai struktur bangunan instrinsik dan berbagai bagian teks yang menyajikan isu-isu tertentu haruslah menjadi kerja serius. Keterpanaan dan ketertarikan atas sebuah teori tidak seharusnya membuat pengkaji karya sastra kemudian memaksakan teori tersebut untuk digunakan mengkaji karya sastra tertentu yang sesungguhnya tidak menggambarkan fenomena dominan terkait dengan ide-ide dalam teori tersebut. Dari waktu ke waktu hal ihwal ini secara berulang mendapat sorotan, seperti yang disampaikan dalam pertanggungjawaban para dewan juri Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta.

Di balik kemunculan kajian-kajian karya sastra dengan teori-teori Barat, muncul kegelisahan dan kritik akademisi sastra. Rachmat Djoko Pradopo dalam makalahnya dengan tajuk Menuju Poetika dan Kritik Sastra Indonesia yang Berwatak Indonesia yang dipresentasikan dalam seminar susastra Indonesia di Padang pada 1988 menggambarkan ketidakpuasan terhadap kritik sastra Indonesia pada saat itu karena penggunaan teori sastra dan kritik sastra Barat secara luas di Indonesia, seperti strukturalisme, semiotik, dekonstruksi, estetika, resepsi, dan feminis. Menurut Pradopo, teori-teori tersebut diciptakan dan dituliskan berdasarkan karya sastra Barat, sesuai dengan konsep estetika Barat sehingga tidak cocok, tidak tepat, dan bisa menghasilkan penilaian yang “semau-maunya”, yang dapat merusak karya sastra Indonesia, dan bahkan makna karya sastra itu tidak akan tertangkap atau tergali. Sayangnya, sebagaimana diklaim oleh Pradopo, meskipun muncul harapan kritik sastra dengan teori sastra yang khas Indonesia, kenyataannya (hingga waktu itu) belum pernah para ahli sastra Indonesia dan ahli sastra asing (dari Indonesia) yang menulis teori-teori sastra khas Indonesia, sebagaimana yang diharapkan. Dalam pengamatan saya, teori-teori sastra mutakhir yang ditulis para ilmuwan sastra Indonesia, seperti teori feminis, teori pascakolonial, dan teori ekokritik, masih bertumpu pada sumber-sumber teori-teori serupa yang telah berkembang di Barat. Lalu, apakah sedemikian tidak cocok dan tidak relevannya teori-teori Barat tersebut sebagaimana yang diklaim oleh Pradopo sehingga harus dimunculkan teori-teori sastra yang cocok dengan konsep estetik sastra Indonesia?[4] Dalam praktiknya di Indonesia di era sekarang, beberapa teori yang disebutkan oleh Pradopo, seperti feminisme yang diteorikan pemikir Barat, digunakan untuk mengkaji karya-karya sastra Indonesia yang menarasikan berbagai fenomena diskriminasi perempuan, sebagaimana yang juga terjadi di Barat. Namun, dalam pengembangan telaah sastra yang mengusung fenomena gender, seorang penelaah dapat mempelajari dan mengelaborasi pemikiran-pemikiran para intelektual Indonesia yang memberikan perhatian khusus pada isu-isu perempuan pada konteks Indonesia. Dinamika kehidupan perempuan dalam ranah kebudayaan Indonesia yang plural bisa menunjukkan perbedaan dengan apa yang terjadi di belahan dunia lain.

Dalam kajian pascakolonial terhadap karya-karya sastra Indonesia, penggunaan teori-teori pemikir Barat dan pemikir Asia yang menetap di Barat (seperti Homi K. Bhabha dan Gayatri Spivak) tentu harus dikontekstualisasikan di Indonesia jika teori-teori tersebut ingin diaplikasikan untuk membahas karya-karya sastra Indonesia. Peristiwa dan dampak penjajahan Inggris di India tentu memiliki perbedaaan dalam beberapa hal dengan penjajahan Belanda di Indonesia. Kajian-kajian pascakolonial terhadap karya sastra Indonesia sudah seharusnya juga mempertimbangkan penggunaan pemikiran-pemikiran para tokoh Indonesia, seperti Soekarno, Sjahrir, Cipto Mangunkusomo, Ki Hajar Dewantara, Armijn Pane, Mochtar Lubis, dan Kartini.

Terlepas dari perdebatan soal teori-teori Barat di Indonesia, saya melihat penggunaan terori-teori ini tetap mewarnai perkembangan kritik sastra di lingkungan akademis, termasuk alam publikasi-publikasi ilmiah, dan berbagai kegiatan terkait telaah-telaah sastra, baik dalam sayembara kritik sastra maupun dalam esai-esai sastra yang bermunculan di berbagai media massa. Beberapa kecenderungan penggunaan teori kritik sastra yang saya gambarkan merupakan identifikasi berdasarkan fenomena dan dokumen kritik sastra yang saya amati dan baca. Teori-teori yang menjadi tren dalam kajian sastra, seperti ekokritik, pascakolonial, feminis, sastra dan pariwisata, gastrokritik, makin menegaskan ketertarikan dan pengetahuan para penelaah sastra terhadap tawaran diskursus dari teori-teori tersebut. Meskipun kajian dengan teori-teori tersebut berkembang, bukan berarti seorang kritikus tidak lagi memerlukan kompetensi menganalisis struktur sebuah karya yang dibangun dari unsur-unsur pendukung.

 

Teori Pascakolonial dalam Kritik Sastra di Indonesia (1990-an-Sekarang)

Sejarah panjang penjajahan Indonesia telah membawa dampak sosial, politik, pendidikan, dan budaya di Indonesia. Penjajahan telah menginspirasi kemunculan berbagai karya sastra dan teori-teori pascakolonial. Sebelum teori pascakolonial yang dipengaruhi buku Edward Said berjudul Orientalisme (1978) berkembang, berbagai karya sastra yang menarasikan relasi pribumi-penjajah dan menggambarkan dampaknya terhadap konstruksi identitas telah bermunculan jauh sebelumnya. Novel-novel seperti Student Hidjo karya Marco Kartodikromo, Salah Asuhan karya Abdoel Moeis dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka bisa ditelaah dengan lensa teori pascakolonial karena di dalamnya terdapat gambaran kontestasi budaya Barat dan Timur serta bagaimana para tokoh di dalamnya menegosiasikan identitas mereka di tengah kontestasi tersebut.

Sebagai payung besar kajian, teori pascakolonial menyediakan berbagai istilah kunci, seperti hibriditas, mimikri, ruang antara, rasisme, liyan, identitas, dan beberapa konsep lain yang bisa digunakan untuk mengkaji karya-karya berlatar dan bertema kolonial/pascakolonial (lihat Aschroft, Griffiths dan Tiffin, 1998). Di balik fenomena hibriditas, sebagai sebuah fenomena dampak penjajahan, kritikus tetap bisa mengeksplorasi strategi yang dilakukan sastrawan untuk merepresentasikan hibriditas tersebut. Telaah pascakolonial ini juga bisa dikaitkan dengan latar belakang identitas pengarang dan visi kepengarangannya sebagai penyambung lidah orang-orang dari negeri terjajah dan penjajah. Kita juga bisa mengkritik fenomena para pengarang dari negeri jajahan yang lebih memilih menggunakan bahasa negara penjajahnya.

Telaah karya-karya sastra dengan lensa teori pascakolonial telah bermunculan pada 1990-an hingga sekarang. Mengingat karya-karya sastra bertema kolonial/pascakolonial begitu melimpah di tanah air dan di luar negeri, para penelaah sastra mempunyai banyak pilihan. Para sastrawan yang mendapat nobel sastra mengangkat berbagai dampak penjajahan dalam karya mereka, seperti V.S. Naipaul dan Derek Walcott.

Dewanto pada 1992 menulis sebuah esai bertajuk Derek Walcott, Karibia dan Sastra Hibrida yang kemudian dibukukan dalam bukunya, Senjakala Kebudayaan (1996). Dewanto membuka esainya dengan mengingatkan peristiwa penjajahan waktu lampau di Kepulaauan Karibia yang hingga jauh hari ke depan masih menyisakan kesedihan sekaligus menekankan relasi ras kulit putih dan kulit hitam. Secara menarik, Dewanto memotret berbagai dampak penjajahan bangsa Barat, seperti hibriditas budaya, yang bisa dilihat dari kemunculan kebudayaan kreol, mimikri, serta penetrasi sastra Eropa melalui pendidikan dalam kehidupan warga Karibia. Dalam esai ini, Dewanto tidak secara eksplisit mengutip pemikiran-pemikiran para teoretikus pascakolonial, seperti dalam tradisi kritik sastra akademik, namun esainya yang berangkat dari fenomena umum penjajahan di Karibia hingga kemudian masuk pada analisis spesifik karya Walcott memberikan kesan telaah pascakolonial yang Dewanto lakukan tidak terbebani, terjebak, dan terkungkung teori secara kaku. Istilah sastra hibrida yang Dewanto sematkan untuk karya-karya Walcott menunjukkan penyebutan kreatif sekaligus subtansial karena penggunaan istilah hibrida, yang pada asal mulanya diperuntukkan untuk menggambarkan percampuran tanaman, binatang, dan ras (lihat Young, 1995), dia gunakan untuk memberi identitas sastra yang menyuarakan dan mendeskripsikan fenomena multikultural.

Tulisan Faruk bertajuk Mimikri dalam Sastra Indonesia yang dimuat KALAM Edisi 14/1999, dan kemudian diterbitkan kembali dalam buku Beyond Imagination: Sastra Mutakhir dan Ideologi menunjukkan diskursus pascakolonial dalam kajian sastra makin mengemuka. Jika tulisan Dewanto yang membahas karya Walcott tidak menyebutkan dan mengutip teori-teori poskolonial secara eksplisit dan detil, Faruk yang memiliki latar belakang tradisi akademis sastra di kampus  menggunakan pikiran-pikiran Edwad Said, Homi K. Bhabha dan para pemikir pascakolonial lain untuk membahas fenomena peniruan-peniruan (mimikri) dalam masyarakat kolonial dan dalam ranah sastra. Faruk memang menyinggung secara umum karya-karya tulis seperti catatan perjalanan dan karya sastra para penulis Belanda sebagai dampak dari penjajahan yang terjadi. Namun, ketika Faruk sampai pada pembahasan fenomena kritik terhadap penjajah Belanda melalui karya sastra, Faruk memberikan contoh karya sastra Indonesia yaitu novel Sitti Nurbaya. Menariknya, dalam mengkaji fenomena penjajahan dan dampaknya Faruk tidak hanya mengacu pada teori Said, Bhabha, dan para pemikir Barat, tetapi juga memanfaatkan berbagai khazanah pemikiran Soekarno, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Ki Hajar Dewantara sehingga konteks kolonial dan pascakolonial Indonesia bisa lebih didalami.

Kajian fenomena dampak penjajahan, seperti hibriditas, dalam sastra berlatar kolonial/pascakolonial makin berkembang di Indonesia seiring pembahasan teori-teori kolonial/poskolonial dan aplikasinya di berbagai kampus dan tempat-tempat kajian di luar kampus. Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang telah lama muncul kemudian terus menjadi bahan kajian dengan pendekatan dan teori pascakolonial hingga masa sekarang. Novel Bumi Manusia misalnya, sebagai novel yang menyajikan kompleksitas relasi manusia Belanda, Indo, dan Pribumi, menjadi sumber kajian pascakolonial dengan fokus yang berbeda-beda.

Karya novelis Suparta Brata, seperti Saksi Mata, yang menggambarkan penjajahan Jepang di Indonesia juga dikaji dalam perspektif pascakolonial. Aksi penjajahan memang tidak semata dilakukan Barat, tetapi juga bangsa Asia. Penjajahan yang dilakukan bangsa Eropa dan bangsa Asia, seperti Jepang, di Indonesia membawa dampak berbeda. Belanda yang lebih lama bercokol di Indonesia membawa berbagai perubahan signifikan dalam kondisi sosial masyarakat, budaya, hukum. Sementara Jepang yang menguasai Indonesia dalam waktu relatif tidak lama tidak meninggalkan warisan berpengaruh. Namun, penjajahan yang dilakukan keduanya di Indonesia memberikan inspirasi penciptaan karya-karya sastra sebagai tanggapan atas penguasaan, kekejaman, eksploitasi, dan berbagai tindakan diskriminasi yang terjadi.

Karya-karya sastra pascakolonial karya para sastrawan yang relatif baru menyajikan narasi-narasi kolonial di Indonesia terus bermunculan di era mutakhir. Sebutlah nama-nama sastrawan Indonesia yang secara khusus menciptakan karya-karya sastra bermuatan isu-isu kolonial/pascakolonial sesudah Pramoedya Ananta Toer, seperti Iksaka Banu, George Wibisono, Azhari Ayub, dan sebagainya. Iksaka Banu misalnya dikenal sebagai sastrawan yang sangat memberikan perhatian terhadap penciptaan cerita-cerita berlatar kolonial. Mengamati fenomena munculnya karya sastra bernuansa kolonial/pascakolonial, pada 2017, saya mengikuti lomba esai sastra yang diadakan majalah BASIS dengan memfokuskan telaah pada buku kumpulan cerita karya Iksaka Banu. Dalam kumpulan cerita Semua untuk Hindia, Banu memosisikan tokoh Belanda sebagai narator cerita yang memiliki pandangan positif tentang Indonesia sehingga diskursus tersebut menjelma resistensi atas citra negatif kondisi sosial masyarakat Indonesia (Fajar, 2020:3). Beberapa tokoh Belanda dalam cerita pendek Banu dinarasikan mempunyai rasa memiliki atas Indonesia, karena mereka lahir dan besar di Indonesia dan telah terbiasa membaur dalam masyarakat dengan budaya yang berbeda dengan budaya negara asal mereka di Eropa.

Perkembangan kajian pascakolonial pada 2010-an juga tidak hanya dipengaruhi dan diperkaya oleh teks-teks karya sastra yang mengangkat latar penjajahan pada masa silam, tetapi juga karya-karya sastra berisi kisah diaspora dan eksil Indonesia di Eropa. Para eksil yang menetap di sebuah negeri asing berada dalam bayang-bayang kehidupan mereka pada masa silam di tanah air asalnya (Fajar, 2017: 15). Mereka berada, meminjam Bhabha (1994:4), dalam “ruang antara”, yang membuat mereka selalu berada dalam negosiasi identitas dan dialektika dua bangsa dan negara, antara masa lalu dan masa kini—bahkan masa depan.

M. Irfan Zamzani, yang menjadi pemenang ketiga Sayembara Kritik Sastra DKJ tahun 2013, menulis telaah berjudul Polarisasi Barat dan Timur dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori, Sebuah Perspektif Poskolonialisme. Zamzani menekankan kuatnya dampak penjajahan yang mengonstruksikan Barat secara superior, seperti tergambar dari bagaimana novel Pulang menempatkan Paris, bagian latar dari novel ini, sebagai kota romantis, pusat fashion dan keindahan. Dengan berpijak pada buku Orientalisme Edward Said, Zamzani mengklaim konstruksi alur cerita dalam novel Pulang mencerminkan bagaimana Timur dicitrakan sebagai wilayah yang secara politik inferior, dipenuhi kekerasan, represi, dan kebrutalan, sementara Barat tempat tokoh eksil Indonesia bermukim digambarkan aman dan tentram. Dalam pandangan Zamzani, narasi, stigma, dan pengetahuan yang dianggit Barat atas Timur penuh dengan distorsi, tak sesuai dengan realitas. Telaah Zamzani yang terfokus pada representasi polarisasi Barat dan Timur dalam novel Pulang ini menjadi salah satu rujukan yang digunakan oleh Harry Isra M. yang menulis esai Memandang Seperti Penjajah: Pascakolonialitas dalam Puya ke Puya karya Faisal Oddang yang disiarkan dalam situs Tengara.id pada 19 Agustus 2021. Hary Isra M. menunjukkan temuannya bahwa novel Puya ke Puya karya Faisal Oddang tidak menempatkan Barat dan Timur secara biner, superior dan inferior, tetapi sebagai dua entitas yang sama buruknya. Konstruksi negatif tentang Timur, dalam hal ini masyarakat Toraja, menurut Isra turut dibangun melalui teknik penceritaan polifonik yang memungkinkan tokoh-tokoh memberikan komentar atas identitas pribumi yang kacau dan malas, di tengah kungkungan adat yang membebani dan memperbanyak utang. Tulisan Isra menarik karena sebagai sebuah kritik sastra, kajian yang dilakukan tidak semata-mata menyingkap fenomena dialektika konstruksi identitas Barat dan Timur, tetapi juga menunjukkan kelemahan dan kekurangan novel Puya ke Puya.

 

Perkembangan dan Relevansi Teori Ekokritik (2000-an hingga 2023)

Kritik sastra yang mengkaji representasi relasi alam dan manusia dalam berbagai karya sastra berkembang seiring kemunculan teori-teori yang membangun relasi sastra dan isu-isu lingkungan. Hal ini juga didukung dengan banyaknya karya sastra yang mengartikulasikan problem-problem degradasi lingkungan yang disebabkan oleh tindakan manusia. Pada 1978 kritikus William Rueckert memunculkan istilah ekokritik (ecocriticism), dalam artikel berjudul “Sastra dan Ekologi: Sebuah Eksperimen Ekokritik” di jurnal IOWA Review. Teori ini menjadi lensa analisis berbagai karya sastra yang mendeskripsikan relasi manusia dan alam yang direpresentasikan dalam karya-karya sastra. Telaah ekokritik kemudian makin berkembang dengan kemunculan teori-teori lebih mutakhir yang tertuang dalam buku-buku seperti The Ecocriticism Reader: Landmarks in Literary Ecology (Glotfelty dan  Fromm, 1996), Eco-facts and Eco-fiction (Baarscher, 1996), Ecocriticism (Garrad, 2004), Nature in Literary and Cultural Studies (Gersdorf dan Mayer, 2006), dan berbagai sumber referensi lain. Para akademisi Indonesia pada 2010-an kemudian menulis buku-buku teori terkait ekokritik dan aplikasinya, seperti Ekologi Sastra (Sudikan, 2016), dan bunga rampai Sastra Ekologis: Teori dan Praktik Pengkajian (2016) dengan editor Suwardi Endraswara, yang memuat berbagai artikel kajian sastra dalam perspektif ekokritik yang ditulis para akademisi yang hadir dalam Konferensi Internasional Kesusastraan HISKI, 13-15 Oktober 2016, di Fakultas Bahasa dan Seni UNY. Artikel-artikel dalam buku ini menggunakan berbagai teori pemikir Barat tentang sastra dan ekologi. Barat memang memberikan fondasi dan inspirasi bagi pengembangan kajian sastra ekokritik di Indonesia. Namun, konteks peristiwa dan dinamika di Indonesia membutuhkan sebuah pembacaan berdasarkan keunikan dan ciri khasnya.

Pada 2011, ketika Pertemuan Penyair Nusantara VI digelar di Jambi, panitia membuka seleksi makalah melalui pengiriman abstrak yang akan dipresentasikan sebagai makalah pendamping untuk program seminar di acara tersebut. Dalam seleksi tersebut muncul abstrak bertajuk Nilai Kearifan Lingkungan dan Eksploitasi Alam dalam Puisi-Puisi Indonesia Kontemporer yang kemudian dikembangkan dalam makalah dengan fokus kajian puisi-puisi F.Azis Manna yang mengangkat isu bencana lumpur Lapindo, puisi Zawawi Imron yang menggambarkan relasi manusia (nelayan) dan alam (samudera), dan beberapa puisi lain dengan menggunakan teori ekokritik (Fajar, 2011).

Pada tahun yang sama, muncul riset tentang novel Ratna Indraswari Ibrahim Lemah Tanjung juga dengan lensa ekokritik. Fajar dan Hapsari (2011) menemukan gambaran tindakan-tindakan manusia untuk mengalihfungsikan lahan hijau (hutan kota), di satu sisi, dan gerakan para aktivis lingkungan untuk menyelamatkan alam, di sisi lain, dalam novel tersebut. Pada 2017, dalam Lomba Sastra dan Seni UGM, yang meraih penghargaan kategori kritik sastra adalah tulisan berjudul Tragedi Lumpur Lapindo: Penderitaan Manusia dan Kerusakan Alam dalam puisi-puisi Tanggulendut karya F. Azis Manna. Puisi-puisi Manna dalam Tanggul Endut memotret tidak hanya gambaran bencana lumpur Lapindo, tetapi juga strategi Manna dalam mengartikulasikan bencana tersebut melalui ekspresi-ekspresi puitik. Puisi-puisi Manna tidak hanya mengangkat gambaran kerusakan alam sekaligus sosial budaya sebagai akibat lumbur Lapindo, namun kritik simbolis Manna terhadap sepak terjang pemilik modal dengan didukung peralatan eksplotatifnya  yang menjadi biang kerok kehancuran ekosistem. Tragedi lumpur Lapindo di Sidoarjo telah menggelitik kesadaran dan kreativitas Manna sebagai penyair asal Sidoarjo Jawa Timur, yang turut merasakan dampak luapan lumpur yang dialami orang-orang Sidoarjo yang tinggal di area semburan (Fajar, 2020). Pada 2022, ketika saya mengikuti Sayembara Kritik Sastra DKJ, saya tidak secara khusus menyebut penggunaan terori ekokritik dalam telaah saya terhadap puisi-puisi Chairil Anwar, tetapi ide untuk menulis naskah Chairil Anwar Tak Menghiarukan Alam? dipengaruhi dan terinspirasi oleh pengetahuan saya tentang teori-teori ekokritik dan telaah-telaah saya sebelumnya atas karya-karya sastra yang merefleksikan isu-isu harmoni dan disharmoni antara manusia dan alam.

Khazanah karya sastra Indonesia yang merepresentasikan relasi alam dan manusia menarik pengkaji sastra setelah kajian ekokritik makin mengemuka di Indonesia. Cep Subhan (2023), yang melihat perkembangan kajian ekokritik,  kemudian menganalisis puisi-puisi Taufiq Ismail dengan lensa ekokritik[5] yang dikaitkannya dengan perspektif agama yang telah banyak digunakan dalam menelaah karya-karya Taufiq Ismail. Kajian Subhan yang menekankan kombinasi pendekatan ini makin memperkaya kajian ekokritik, yang dalam perjalanannya telah berkembang sebagai akibat persentuhannya dengan bidang lain seperti feminisme (sehingga memunculkan ekofeminisme).

Kajian yang melihat representasi alam tidak hanya an sich melalui teori ekoritik tetapi juga agama ini berpeluang menggali konteks berbagai persoalan relasi alam-manusia di Indonesia. Tawaran Subhan dapat dicatat sebagai kebaruan (novelty). Kritik sastra anggitan Subhan ini di bagian pembahasan puisi berjudul N.Y.[6] (yang oleh Subhan diduga singkatan dari New York, kota di Amerika yang pernah dikunjungi Taufiq Ismail) belum secara spesifik diperkuat teori ekokritik yang dia singgung di bagian awal tulisannya. Padahal, konsep ekokritik tersebut sangat penting untuk menganalisis oposisi biner antara semen dan cemara, kota dan desa, dan modernitas versus tradisional yang digambarkan dalam puisi bertajuk N.Y. tersebut. Mayer (2006) dalam kajiannya mengutip pandangan filsuf Val Plumwood yang membangun kategori yang memperhatikan relasi dinamis antara bidang sosial ekonomi dan lingkungan. Oposisi biner Plumwood tersebut menunjukkan alam secara inferior. Gambaran detail dikotomi Plumwood bisa dilihat melalui daftar di bawah ini (yang disebut terlebih dahulu dinilai lebih superior dari yang disebut kedua) (Plumwood 1997: 43, sebagaimana dikutip Mayer, 2006):

 

culture / nature

reason / nature

male / female

mind / body (nature)

master / slave

reason / matter (nature)

rationality / animality (nature)

reason / emotion (nature)

mind, spirit / nature

freedom / necessity (nature)

universal / particular

human / nature (non-human)

civilised / primitive (nature)

production / reproduction (nature)

public / private

subject / object

self / other

 

Penempatan dikotomi ‘culture/nature’ di daftar paling atas menandakan logika dikotomi dominasi yang mencirikan sejarah filsafat rasional Barat dan menjadi efektif dalam praktik-praktik sosial ekonomi: alam telah ditempatkan terpisah dan inferior dari budaya, manusia diposisikan istimewa karena kapasitas pemikiran rasionalnya, sedangkan non-manusia diposisikan secara diametral dan inferior dari manusia (Mayer, 2006). Fenonena-fenomena seperti yang dijelaskan Mayer ini terepresentasikan dalam karya-karya sastra Indonesia yang menggambarkan bagaimana manusia menempatkan alam sebagai objek semata untuk memenuhi kebutuhan mereka, tanpa kesadaran untuk menjaga dan melestarikannya.

Sastrawan Naning Pranoto, dan Yeni Fatmawati, (2019) menyebut istilah sastra hijau yang dalam penjelasan definitifnya dikaitkan dengan teori ekokritik. Pranoto dan Fatmawati berdasar pada pendapat Cheryll Glotfelty dan Harold Fromm yang menekankan ekokritik sebagai kearifan ekologi yang dikaitkan dengan karya sastra. Dalam tulisan ini pula, Pranoto dan Fatmawati mengutip pendapat Ahmad Tohari yang mengatakan sastra hijau sebagai sastra imani, yaitu sastra yang mampu meningkatkan kesadaran hidup bergantung pada alam (bumi dan seluruh isinya). Dalam semangat untuk mewacanakan sastra hijau sebagai medium menyelamatkan lingkungan, Pranoto melalui Rayakultura yang dikembangkannya mendukung lomba cerita pendek yang diadakan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dalam upaya melacak karya-karya sastra yang ditulis untuk kegiatan tersebut, saya menghubungi cerpenis Mashdar Zainal yang pernah mengikuti lomba tersebut. Zainal memberi saya file cerpen bertajuk Hikayat Alas Larangan yang menarasikan pantangan melakukan tindakan perusakan tumbuh-tumbuhan di hutan tersebut dan konsekuensi yang harus diterima jika pantangan itu dilanggar. Seorang warga yang nekat menebangi tanaman di hutan tersebut harus menerima akibat kesulitan keluar hutan dan bahkan istrinya dinyatakan hilang setelah mencarinya ke dalam hutan karena tak kuasa menunggu sang suami yang tak kunjung pulang. Pesan cerpen tersebut jelas bahwa manusia diharapkan tidak melakukan eksploitasi terhadap alam.

 

Telaah Ihwal Perempuan dalam Karya Sastra: Urgensi Teori Feminisme

Telaah sastra feminis dalam jagat kesusastraan Indonesia juga telah berkembang hingga sekarang. Beberapa penulis sastra lelaki, menariknya, memberikan perhatian pada fenomena karya-karya sastra para penulis perempuan. Di tengah makin semaraknya karya-karya sastrawan perempuan, kencenderungan ini memberikan tanda bahwa kajian yang dilakukan tidak memandang latar belakar identitas seseorang (laki-laki atau perempuan), tetapi lebih mengedepankan kualitas dan isu-sisu menarik yang diusung.

Pada 2002, dalam buku berjudul Dunia Perempuan: Antologi Cerita Pendek Wanita Cerpenis Indonesia, yang disunting oleh Korrie Layun Rampan[7], Sapardi Djoko Damono mengkaji perkembangan dan karakteristik cerita-cerita pendek karya sastrawan perempuan Indonesia. Damono dengan jeli menyebutkan judul-judul karya para cerpenis perempuan yang menghasilkan karya sejak 1940-an hingga tahun 1990-an. Sapardi di akhir esai juga menyinggung soal latar belakang pendidikan para cerpenis perempuan dalam antologi Dunia Perempuan yang mayoritas memiliki latar pendidikan tinggi dari berbagai bidang untuk menunjukkan bahwa perempuan penulis tersebut maju dan bagaimana bidang-bidang studi yang diambil para cerpenis tersebut berkorelasi dengan dan memengaruhi pilihan tema dan visi mereka.

Ihwal posisi penyair perempuan dan puisi yang ditulisnya juga disinggung Afrizal Malna (2020) dalam esai Gender Puisi: Catatan di Kamar Persegi. Membahas puisi karya Susy Aminah Azis  berjudul Catatan di Kamar Persegi yang terbit pada 1961, Malna menggaris bawahi identitas penyair pemilik puisi tersebut, “Puisi itu bercerita tentang seorang perempuan, dan ditulis oleh perempuan pula.” Dengan menekankan ‘ditulis oleh perempuan pula’, saya berasumsi bahwa identitas penyair ini ditekankan Afrizal untuk melihat sejauh mana penyair perempuan mengartikulasikan identitias diri atau kaumnya. Dengan menggunakan lensa semiotik dan gender[8], Malna mengidentifikasi pergeseran struktur-struktur jagat gender dalam sebuah kamar yang dipenuhi berbagai penanda seperti hadiah buku dari kekasih, sprei putih di atas ranjang besi, pakaian perempuan, kotak surat berlapis kain sutra, dan sang perempuan. Sayangnya, sang kekasih tidak muncul lagi, karena telah berselingkuh. Sang perempuan terkungkung dalam kamar dan kenangan-kenangan. Bagi Malna cara bagaimana benda-benda itu disusun oleh sang wanita merepresentasikan wacana tentang perempuan. Kamar, perempuan, dan benda-benda itu, menyiratkan makna domestikasi perempuan. Kajian Malna soal bagaimana citra dan posisi perempuan dikonstruksi dalam dan melalui puisi ini relevan serta bisa menginspirasi kajian sastra feminis. Soal bahasa dalam puisi penyair perempuan juga disinggung Malna. Artinya, selain soal merananya perempuan sebagai akibat kuasa dan pengkhinatan lelaki serta konstruksi identitas domestik perempuan, Malna memperhatikan unsur bahasa dalam puisi. Namun, bahasa pada konteks kajian Malna bukan semata unsur pembangun struktur instrinsik puisi, melainkan juga soal bagaimana bahasa bisa atau tidak bisa mencerminkan identitas penyairnya. Bukan berarti puisi-puisi penyair perempuan secara bahasa lebih halus, karena Afrizal mengklaim sebagian puisi Amir Hamzah, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Muhammad, dan Eka Budianta lebih halus dari puisi-puisi yang diciptakan penyair perempuan.

Pada 2010-an kritikus Bandung Mawardi dan sastrawan cum esais Beni Setia sama-sama membahas puisi karya Oka Rusmini, tetapi mereka memiliki interpretasi yang berbeda. Sebagaimana Afrizal, baik Mawardi dan Setia, tidak mendasarkan analisis mereka pada dukungan rujukan-rujukan teori feminis. Dalam buku Sastra Bergelimang Makna, Mawardi (2010), membuka esai yang berjudul Biografi (Tubuh) Perempuan: Puisi Mengisahkan Ibu dengan pernyataan di bawah ini:

Perbincangan perempuan dan atau dalam sastra mengalami pasang surut dengan pelbagai pemunculan wacana mengacu pada kehadiran teks sastra dan kesanggupan untuk hidup di belantara sastra Indonesia mutakhir dalam dominasi kepengarangan lelaki (2010:81).

Pernyataan Mawardi tentang dominasi kepengarangan lelaki dalam jagat sastra perlu lebih jauh dikuti dengan data-data tentang posisi, kuantitas[9] dan kualitas, serta prestasi para pengarang perempuan di Indonesia. Kita juga bisa bertanya dengan kritis di tengah dominasi redaktur sastra laki-laki di berbagai media massa di Indonesia dalam rentang, sebutlah misalnya, 1990-an hingga 2020, bagaimana kesempatan dan apresiasi yang bisa diraih oleh para sastrawan perempuan? Di tengah perdebatan soal dominasi tersebut, yang menarik tentu saja adalah soal isu-isu yang diangkat para sastrawan perempuan dalam karya-karya mereka. Mawardi dalam esai yang membahas puisi-puisi Oka Rusmini berusaha melihat bagaimana latik-larik puisi karya Rusmini merepresentasikan kehidupan dan identitas sosial budaya dan tubuh seorang perempuan (ibu) dengan segala pergulatan dinamisnya dengan lingkungan dan keluarganya. Beni Setia (2010) dalam sebuah esai di Kompas[10] merepons analisis Mawardi atas puisi Lingkaran yang larik-lariknya begini: Dulu, pada masa kanak-kanak, seorang perempuan melempar-/ku ke laut. Membiarkan ikan pari mengasuhku.Sekarang/ kumuntahkan dagingku sendiri. Akankah kubuang kau ke laut/juga? Beni setia mengkritik klaim Mawardi bahwa puisi tersebut menyiratkan makna pengalaman pahit tanpa curahan kasih dan pengasuhan dari ibu yang menimbulkan trauma dan dendam untuk melakukan tindakan yang sama.

Beni Setia memiliki pandangan berbeda dalam menelaah puisi tersebut dengan menghubungkan puisi tersebut dengan biografi Oka Rusmini yang sejak kecil tinggal bersama sang nenek, yang berakibat jauhnya hubungan Rusmini dengan ibu dan saudaranya. Ketika sang nenek meninggal, Rusmini harus menghadapi kenyataan bahwa ketika nenek spiritualnya meninggal, adat menolak memberikannya kesempatan untuk memberikan penghormatan terakhir.  Beni Setia juga mengungkapkan pernikahan Rusmini dengan lelaki non-Bali yang menyebabkan Rusmini dikucilkan dari lingkungan keluarga. Puisi Lingkaran dalam pandangan Setia harus diletakkan dalam konteks biografis demikian. Perbedaan telaah Mawardi dan Setia ini tentu membuat jagat kritik sastra atas karya sastrawan perempuan menjadi hidup. Masing-masing kritik sastra tersebut mempunyai dasar tersendiri, dan tentu memiliki lubang kelemahan sendiri. Misalnya, soal kajian sastra yang dikaitkan dengan biografi pengarang, kita bisa bertanya sejauh mana data biografis pengarang akurat dan bagaimana data tersebut bisa turut membantu dalam menginterpretasi makna puisi. Pertanyaan lain ialah dengan membaca puisi-puisi karya sastrawan tanpa mengenali latar belakang kehidupannya apakah seoarang kritikus akan tersesat dan tak bisa menghasilkan analisis yang kuat.

Perkembangan kajian sastra feminis di dalam dan di luar dunia akadedemis mendapat dukungan dari berbagai buku teori dan metode sastra feminis yang muncul di Barat dan di Indonesia. Di Indonesia, teori dan metode kritik sastra feminis ditulis para akademisi. Sugihastuti dan Suharto (2005), yang menulis buku Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya, memberikan gambaran fenomena posisi dan relasi perempuan dan lelaki dalam sastra Indonesia dan Barat: apa perbedaan sastra modern Indonesia dan sastra Barat dalam memosisikan perempuan, fenomena komersialisasi seksualitas dalam karya-karya sastra popular, dan soal struktur gender yang timpang.

Dari gambaran-gambaran tersebut Sugihastuti dan Suharto berharap kritik sastra feminis dapat menjadi alat untuk mengevaluasi sejauh mana konsistensi pembelaan perempuan dalam sastra Indonesia dan melihat subordinasi perempuan dalam sastra Barat. Dalam konteks Indonesia, berdasarkan pandangan tersebut, kritik sastra feminis hendaknya dapat menjadi pijakan dalam menelaah sejauh mana para penulis perempuan dan lelaki di Indonesia mengartikulasikan gagasan dan ekpresinya untuk mengonstruksi relasi gender. Sementara, Udasmoro (2023) dalam bukunya Metodologi Penelitian Sastra Perspektif Gender mengatakan bahwa penyusunan buku tersebut ditujukan untuk memberikan masukan pada para mahasiswa dan peneliti sastra tentang strategi riset sastra dengan perspektif gender. Menulis kritik sastra dalam prosesnya mencerminkan tahapan riset, karena di dalamnya terdapat proses membaca, mengumpulkan data-data primer dan sekunder, hingga analisis dan menarik kesimpulan.  Dalam buku ini, selain tahapan penelitian ilmiah, Udasmoro secara khusus menjabarkan berbagai konsep dalam teori feminis, seperti soal patriarki, publik dan privat, pasca-feminisme, cyborg feminist manifesto dan beberapa lainnya. Berbagai penjelasan atas teori ini akan memberikan tantangan bagi kritikus sastra feminis untuk mengimplementasikannya dalam menelaah karya-karya sastra relevan. Biasanya, dari para mahasiswa yang belajar teori-teori tersebut ada sebagian yang tertarik mengembangkan kajian sastra feminis tidak hanya dalam dunia akademisnya, tetapi juga dunia sastra yang digelutinya sesudah mereka menyelesaikan studi. Udasmoro (2017) menyunting berbagai telaah sastra berperspektif gender dalam buku Dari Doing ke Undoing Gender. Para penulis dalam buku tersebut berlatar pendidikan sastra, budaya dan media, tetapi semua tulisan membahas karya sastra dengan dengan lensa feminis. Referensi kajian sastra feminis seperti ini akan memberikan warna dan pengaruh bagi perkembangan kritik sastra di Indonesia ke depan.

 

Sastra Kuliner dan  Gastrokritik

Kritik sastra gastrokritik yang membahas relasi karya sastra dan dunia boga muncul dalam sayembara sastra dan publikasi ilmiah pada 2010-an. Istilah gastrokritik dalam kajian sastra bisa ditelusuri melalui esai Ronalds Tobin, kritikus Prancis, bertarjuk “Qu’est-ce que la gastrocritique?” (Apa itu gastrokritik?) pada 2002 dan  materi kuliah berjudul  “Pemikiran untuk makanan, sastra dan gastronomi” pada 2008 (sebagaimana dikutip oleh Pires, 2012). Pemikiran Tobin membuka telaah interdisipliner sastra dan dunia kuliner.

Kajian ini menarik tidak hanya karena menganalisis representasi makanan dan peran-perannya dalam mengonstruksi identitas sosial budaya, tetapi juga karena berhubungan dengan bagaimana berbagai penanda makanan menjadi unsur pembentuk estetika karya sastra.  Telaah karya sastra dengan teori gastrokritik memberikan tawaran pembacaan baru dan memperkaya eksplorasi makna berbagai gambaran dunia boga dalam karya sastra. Identitas tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra bermuatan isu makanan secara dominan bisa diteropong dengan lensa ini; ungkapan “Anda adalah apa yang Anda makan (you are what you eat) merefleksikan pilihan dan konsumsi makanan membentuk jati diri tokoh-tokoh yang dinarasikan dalam karya sastra.

Kritikus sastra, Bramantio, yang penah menulis kritik tentang metafiksionalitas Cala Ibi, tertarik membahas novel-novel seperti Filosofi Kopi dan Madre karya Dee Lestari dan Mokol karya Nukila Amal dengan sudut pandang gastrokritik. Bramantio (2013) menulis artikel bertajuk Sastra dan Kuliner: Evolusi dari Gastronomi ke Gastrosofi dalam Tiga Cerpen Indonesia. Bramantio menganalisis bagaimana kopi, kuliner dan adonan yang dalam cerpen-cerpen karya Dee dan Amal tidak hanya menjadi unsur untuk memahami pemenuhan kebutuhan ragawi manusia, tetapi juga mengidentifikasi jati diri manusia dan bagaimana hidup dirayakan melalui kuliner, yang kemudian bergerak ke hal lebih luas tentang renungan-renungan keindonesiaan.

Bangunan citra tokoh dan gambaran budaya dalam karya sastra bisa dibangun melalui narasi khazanah kuliner lokal, tradisional hingga modern (Fajar, 2013). Novel Pulang karya Leila S. Chudlori, yang oleh Zamzani dikaji dalam perspektif pascakolonial, bisa ditelaah dengan lensa gastrokritik. Di Paris, eksil Indonesia menegosiasikan identitas, melestarikan budaya, dan memenuhi selera lidah mereka dengan mendirikan restoran bernama “Tanah Air”. Di ruang kecil restoran yang merepresentasikan kekayaan makanan Indonesia, para pengunjung bisa menikmati aneka makanan seperti kentang iris pedas, rendang Padang, gulai pakis, gulai anam, nasi kuning dan kering tempe. Prancis sebagai latar para eksil Indonesia bertahan hidurp memiliki tradisi kuliner ala Eropa yang telah mengakar, tetapi eksil Indonesia menunjukkan kecintaan mereka terhadap Indonesia.

 

Sastra Wisata sebagai Tawaran Baru

Pada 2020, Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Bali bekerjasama dengan Balai Bahasa Bali mengadakan Sayembara Kritik Sastra bertema “Relasi Sastra dengan Kearifan Lokal, Pariwisata dan Ekonomi Kreatif” dengan tiga dewan juri yaitu I Nyoman Dharma Putra, Sunu Wasono, dan Arif Bagus Prasetyo. Dalam naskah pertanggungjawaban juri disebutkan bahwa tema ini tergolong baru untuk sebuah kompetisi penulisan kritik sastra. Dalam pandangan juri, naskah-naskah yang masuk menunjukkan usaha penulis untuk mengkaji representasi pariwisata dalam karya sastra yang jarang dijamah dalam kritik sastra. Penentuan tema yang spesifik ini memberikan tantangan tersendiri bagi para peserta karena mereka harus mencari dan memilih karya yang relevan dengan tema tersebut. Mereka juga harus membaca berbagai referensi tentang relasi sastra dan wisata untuk mengetahui bagaimana kajian-kajian serupa telah dilakukan sebelumnya. Dalam khazanah kesusasteraan Indonesia, berbagai karya sastra menggambarkan fenomena dan peristiwa yang bisa dikategorisasikan sebagai wisata. Karya-karya sastra demikian memberikan peluang lahirnya kajian-kajian yang mengulik dinamika latar dan tokoh-tokoh dalam karya sastra yang membentuk narasi identitas nasional, pemaknaan ulang sejarah yang hingga kini relevan untuk direnungkan, perkembangan potensi alam dan kondisi sosial budaya masyarakat.

Dalam pembahasan relasi sastra dan wisata, Watson (2006:5) menyatakan bahwa wisata sastra tidak terbatas pada kunjungan ke makam, tempat lahir dan rumah milik sastrawan yang telah meninggal, tetapi juga ke situs-situs yang para pengarang pernah kunjungi, tuliskan dan jadikan tempat menulis. Mengacu ke penjelasan Watson, novel Amba (2015) karya Laksmi Pamuntjak bisa menjadi sumber kajian sastra dan wisata karena novel ini mengisahkan perjalanan tokoh utama perempuan bernama Amba ke Pulau Buru, tempat sastrawan Pramoedya Ananta Toer menghasilkan Tetralogi Buru dan menghabiskan waktunya selama bertahun-tahun sebagai tahanan politik, untuk mencari jejak kekasihnya bernama Bisma, seorang dokter lulusan Eropa yang pernah ditugaskan di sana. Jika kita membaca novel Amba, kita seakan diajak menyusuri sudut-sudut pulau ini dalam nuansa sastra, karena penggambaran pulau Buru dalam novel karya Pamuntjak ini dipenuhi personifikasi dan metafora, yang membuat pulau tempat para tawanan politik ini seakan hidup, memiliki kekuatan untuk menghidupkan kembali sejarah kelam yang pernah terjadi (Fajar, 2020:10).

Naskah kritik sastra karya Setyaningsih dengan judul Menanam Pariwisata Hijau (Membaca Kokokan Mencari Arumbawangi Garapan Cynthia Hariadi) yang diikutkan dalam Sayembara Kritik Sastra HISKI Bali 2020 mengkaji novel Hariadi yang menggambarkan kepentingan pengembangan wisata berbasis alam yang membawa dilema bagi orang-orang desa karena mereka berhadapan dengan orang-orang kota, para pemilik modal besar, yang hendak mengalihfungsikan bahkan mengambil alih lahan-lahan di desa. Setyaningsih dengan jeli menyajikan data-data dalam novel yang mendeskripsikan bagaimana orang-orang desa begitu mencintai tanah mereka. Esai Setyaningsih ini menunjukkan kajian interdisipliner sastra, pariwisata, dan lingkungan. Aspek pariwisata, alam dan lingkungan terpancar dalam novel Hariadi sehingga karya tersebut bisa diposisikan sebagai novel yang mengusung isu-isu pariwisata dan lingkungan sehingga bisa dikaji dengan perspektif ekokritik. Isu seperti yang diangkat Hariadi dan dibahas oleh Setyaningsih, mengingatkan saya pada cerpen Damhuri Muhammad berjudul Kepala Air yang menceritakan konflik antar anggota masyarakat yang berpolemik mengenai rencana pemanfaatan sebuah lubuk sakral untuk destinasi wisata, yang saya kaji pada 2015.[11] Keunikan dalam konteks Indonesia yang perlu diperhatikan oleh kritikus yang menggunakan teori ekokritik adalah soal bagaimana pandangan tokoh agama dengan kompetensi keagamaannya dalam memandang lingkungan-alam dan rencana pengembangannya yang kemudian memunculkan konflik.

Pada 2020, saat sayembara kritik sastra bertema sastra dan pariwisata digelar, para akademisi sastra seperti Novi Anoegrajekti, Djoko Saryono, dan I Nyoman Dharma Putra menyunting sebuah bunga rampai yang berjudul Sastra Pariwisata dan diterbitkan penerbit Kanisius. Saya menangkap semangat pengembangan kajian interdipliner sastra dan pariwisata melalui buku ini. Putra (2017), kritikus cum akademisi, yang menjadi salah satu penyunting buku ini dalam artikelnya yang berjudul Pariwisata Sastra: Kombinasi Kajian Sastra dan Kajian Pariwisata menyatakan bahwa perpaduan sastra dan pariwisata diharapkan menjadi sebuah telaah baru sehingga dapat memperluas dan menambah berbagai analisis karya sastra yang telah memanfaatkan ilmu lain seperti sejarah sastra, sosiologi sastra, antopologi sastra, dan juga ekologi sastra.[12] Kemunculan kajian sastra dengan perspektif dan teori mutakhir akan menghindarkan telaah-telaah sastra dari repetisi kajian yang pernah dilakukan sebelumnya.

 

Sastra dan Humaniora Digital

Kajian humaniora digital dalam dunia sastra bermunculan seiring perkembangan teknologi. Kini, karya sastra tidak hanya teks-teks dalam dokumen-dokumen tertulis dan yang diciptakan oleh kreativitas manusia tetapi juga mesin. Sastra telah bertebaran di bebagai platform digital dan didokumentasikan dalam berbagai perangkat teknologi. Karya-karya sastra yang bermunculan baik di media digital maupun cetak di era mutakhir bisa merupakan hasil yang diproduksi mesin, seperti artificial intelligence (AI).  Menurut Wilkens (2015), humaniora digital, khususnya studi sastra yang dibantu komputasi, menyediakan serangkaian pendekatan baru untuk mengatasi kelimpahan bahan sumber di bidang sastra.

Pendekatan komputasi membantu dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi pola sastra mulai dari teks individu hingga seluruh bidang dan sistem penciptaan budaya. Di Indonesia saat ini telah tersedia berbagai teks sastra berbasis digital. Dalam penelitian atas teks-teks tersebut diperlukan perangkat teknologi untuk melakukan identifikasi dan interpretasi. Dalam pandangan Wang (2022), humaniora digital adalah perubahan paradigma dalam riset yang menjembatani kesenjangan antara ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan ini sangat penting untuk studi sastra, terutama yang mengkaji sastra bandingan dan internasional. Humaniora digital menfasilitasi analisis karya-karya tertentu dan “pembacaan jarak jauh” untuk memberikan gambaran luas tentang evolusi sejarah sastra dunia. Sementara, Bergenmar dan Leppänen (2015) berpandangan bahwa penelitian dan teori gender belum berkembang baik dalam sejarah sastra komputasional dan sastra dunia, sehingga perlu dikembangkan riset berbasis digitalisasi, baik melalui database bibliografi atau korpos teks, yang berfokus pada gender dan pemahaman lintas budaya.

Penelitian Andrew Piper dan Mark Algee-Hewitt (sebagaimana dikutip Wilkens, 2015) tentang tanda tangan linguistik Goethe dalam The Sorrows of Young Werther menggunakan “pembacaan topologis” untuk mengukur pola kata dalam berbagai teks. Mereka berniat untuk melacak kehidupan Werther dalam tulisan-tulisan Goethe yang kemudian. Menghitung frekuensi kemunculan kata, menghapus kata-kata non-informatif yang berfrekuensi tinggi (seperti konjungsi dan preposisi), dan membandingkan frekuensi antar kata dalam karya-karya Goethe lain adalah bagian dari metode ini. Untuk mengukur kesamaan, jarak Euklidean antar teks diperkirakan, dengan teks yang menggunakan kata-kata yang sama akan berjarak lebih dekat satu sama lain. Penelitian ini terkesan strukturalis dan kuantitatif, tetapi memberikan tawaran kajian baru karena dilakukan dengan perspektif humaniora digital. Piper dan Algee-Hewitt mengklaim bahwa ada kesinambungan yang signifikan antara karya Goethe awal dan akhir, seperti yang ditunjukkan oleh koherensi dan pengelompokan kata yang dihasilkan. Mereka menekankan pentingnya membaca korpus sebagai objek, peran acara penghargaan sastra untuk penulis berpengaruh, teks, dan gerakan kritikus. Penelitian ini menunjukkan keuntungan dari kritik sastra yang didukung komputasi dengan memungkinkan untuk menafsirkan kembali korpus Goethe di sekitar premis baru yang dihasilkan melalui pemetaan pola oleh mesin. Saya membayangkan kita bisa melakukan telaah dengan model serupa untuk mengidentifikasi berbagai struktur dalam karya-karya sastra Indonesia, baik yang klasik maupun mutakhir, mencakup karya-karya sastra dalam jumlah yang besar. Namun, kritik model demikian cenderung struktural, terfokus pada pada pola-pola mekanistis dan formulaik unsur-unsur dalam karya sastra.

Kajian sastra dalam bingkai humaniora digital juga merambah Indonesia. Martin Suryajaya[13] (2023) menyusun buku Penyair sebagai Mesin yang dianggapnya bisa dikategorikan sebagai kritik puisi sekaligus buku puisi. Sebagai kritik, buku Suryajaya membahas puisi-puisi yang telah diolah dari puisi-puisi yang telah muncul di jagat sastra dengan mesin. Sementara, sebagai buku puisi, Penyair sebagai Mesin juga menghimpun puisi-puisi yang diproduksi oleh mesin. Suryajaya menelaah berbagai kelemahan penciptaan puisi oleh mesin, mulai terkait dengan ketidakmampuan mesin, khususnya Artificial Intellegence (AI), dalam menangkap maksud pengarang, menciptakan gaya personal, dan mengonstruksi keyakinan estetik tertentu, karena AI tidak memiliki kompetensi bawaan estetik. Kritik sastra karya Suryajaya ini terfokus pada puisi-puisi ciptaan AI.

Bagaimana jika kajian sastra dalam ranah humaniora digital membahas hak kekayaan intelektual dan isu plagiasi kritik sastra, riset sastra, dan karya sastra yang diproduksi AI?  Seseorang dapat meminta AI menelaah karya sastra. Kemudian AI akan bekerja membuat telaah berdasarkan korpus data yang telah terhimpun sehingga kritik sastra yang diproduksinya cenderung mengacu pada, bahkan repetisi dari, telaah-telaah sebelumnya, sehingga kemungkinan kritik sastra tersebut tidak memberikan tawaran novelty atau kebaruan. Pranoto (2023) dalam makalah bertajuk Artificial Intelligence (AI) dan Masa Depan Sastra yang dipresentasikan dalam acara diskusi “Sastra dan AI” Jatim Art Forum Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) pada 7 November 2023 mempertanyakan kepemilikan hak kekayaan intelektual  (HAKI) hasil riset sastra yang dirancang oleh peneliti sastra, tetapi dalam proses pelaksanaan riset, analisis teks sastra dikerjakan oleh AI.  Ihwal HAKI juga Pranoto persoalkan dalam konteks penciptaan karya sastra yang dalam prosesnya AI memainkan peran dominan. Dalam pandangan saya, perihal mengerjakan penelitian sastra, menulis kritik sastra, dan menciptakan karya sastra dengan ‘bantuan’ AI secara dominan berhubungan dengan mental penggunanya. Jika seorang peneliti atau penulis memiliki mental menerabas, tidak lagi percaya pada kompetensi intelektual dan kreatifnya, maka AI bisa menjadi godaan besar sekaligus alat dominan memproduksi karya. Akibatnya, daya kreatif individual akan mengalami degradasi, bahkan hilang ditelan mesin.

 

Catatan akhir

Di tengah beberapa kecenderungan kritik sastra dengan teori-teori yang saya elaborasi dalam tulisan ini, kita tetap harus melihat arus telaah sastra yang menggunakan teori dan pendekatan lainnya. Beberapa kecenderungan tersebut dipengaruhi kemunculan berbagai karya sastra dengan tema-tema yang membuka kemunculan teori-teori relevan. Berbagai kritik sastra dengan teori pascakolonial dan feminis telah cukup lama berkembang dan hingga kini banyak penelaah sastra menggunakan keduanya dalam menganalisis karya sastra. Sementara, pendekatan gastrokritik, sastra wisata (literary tourism), dan humaniora digital yang muncul belakangan juga diminati oleh para pengkaji sastra. Teori-teori yang mewarnai kajian sastra beberapa dasawarsa terakhir membuka peluang pembacaan yang lebih beragam terhadap (karya) sastra dan perkembangannya.

 

Kepustakaan

Ashcroft, B., Griffiths, G. dan Tiffin, H. (1998). Post-Colonial Studies: The Key Concepts.

London: Routledge.

Baarschers, W.H. (1996) Eco-facts and Eco-fiction, London: Routledge.

Bergenmar, J., & Leppänen, K. (2021). Gender and Vernaculars in Digital Humanities and World Literature. Gender in Literary Exchange, 4–18. https://doi.org/10.4324/9781003152323-2

Bhabha, H.K. (1994) Location of Culture, London: Routledge.

Christanty, L. (2014) “Pengantar”. Dalam Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 (Editor Dini Andarnuswari), Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Damono, S.D. (2002) “Pengantar”. Dalam Dunia Perempuan: Antologi Cerita Pendek Wanita Cerpenis Indonesia, Yogyakarta: Bentang.

Dewanto, N. (1996) Senjakala Kebudayaan, Yogyakarta: Bentang.

Fajar, Y. (2021) “Wisata Bersama Amba: Jejak Tapol, Potensi Alam, dan Budaya Pulau Buru”. Dalam Sastra, Pariwisata, Lokalitas:Antologi Esai Sayembara Kritik Sastra HISKI bali 2020, Singaraja: Mahima.

Fajar, Y. (2020). Jalan Kritik Sastra: Aplikasi Teori Poskolonial hingga Ekokritik, Malang: Beranda.

Fajar, Y. (2017) Sastra yang Melintasi Batas dan Identitas, Yogyakarta:Basabasi.

Fajar, Y. (1 November 2015) Narasi Pergulatan Tradisi dan Budaya lokal, Koran Kompas.

Fajar, Y, dan Hapsari, D.E. (2011) Relasi Manusia dan Alam: Budaya Melestarikan dan Mengekspolitasi Alam dalam Novel Lemah Tanjung Karya Ratna Indraswari Ibrahim, Laporan Penelitian DPP/SPP Fakultas Ilmu Budaya UB.

Fajar, Y. (27 Oktober 2013) Sastra dan Kuliner. Koran Kompas

Fajar, Y. (2011). “Nilai Kearifan Lingkungan dan Eksploitasi Alam dalam Puisi-Puisi Indonesia Kontemporer”. Dalam Mengangkat Batang Terendam: Telaah Perpuisian Melayu Nusantara Mutakhir (Kurator: Ahmadun Yosi Herfanda, Faruk HT, Maizar Karim), Yogyakarta: Jalasutra.

Faruk  (2001) Beyond Imagination: Sastra Mutakhir dan Ideologi, Yogyakarta: Gama Media.

Faruk. (2018) Nasionalisme Puitis: Sastra, Politik, dan Kajian Budaya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Glotfelty, C. and Fromm, H. (eds). (1996) The Ecocriticism Reader: Landmarks in

Literary Ecology, London: University of Georgia Press.

Hae, Z. (2010). “Pengantar”. Dalam Dari Zaman Citra ke Metafiksi: Bunga Rampai Telaah Sastra DKJ (Editor Zen Hae), Jakarta: KPG dan Dewan Kesenian Jakarta.

Ikwan, M. (25 November 2023). Tentang Menulis Liyan. Koran Jawa Pos.

Isra M., H. (19 Agustus 2021), Memandang Seperti Penjajah: Pascakolonialitas dalam Puya ke Puya karya Faisal Oddang. Tengara.id

Madiyant, M. (2003) Psikotes. Psikokritik…Dalam Sastra Interdisipliner: Menyandingkan Sastra dan Disiplin Ilmu Sosial, Yogyakarta: CV. QALAM.

Malna, A. (2000) Sesuatu Indonesia, Yogyakarta: Bentang.

Mayer, S. (2006) “Literary studies, ecofeminism and environmentalist”. Dalam Nature In Literary And Cultural Studies Transatlantic Conversations On Ecocriticism. (Editor  Catrin Gersdorf dan Sylvia Mayer), Amsterdam dan New York: Rodopi.

Mawardi, B. (2010) Sastra Bergelimang Makna, Solo: Jagat Abjad.

Pamuntjak, L. (2015) Amba, Jakarta: Gramedia.

Piera, Maria José Perieira. (2012) Dealing with Appetites. Angela Carter’s Fiction. Dissertation. Universidade de Lisboa.

Pradopo, R.D. (2020) Beberapa Teori Sastra, Metode kritik, dan Penerapannya, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pradopo, R.D. (2013). “Menuju Poetika dan Kritik Sastra Indonesia yang Berwatak Indonesia”. Dalam Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan. (Editor Subagio Sastrowardoyo, dkk), Bandung: Penerbit Angkasa.

Pradopo, R.D (1997) Prinsip-Prinsip Kritik Sastra, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pranoto, N. dan Fatmawati, Y. (2019). Sekilas tentang Sastra Hijau. https://rayakultura.net/sastra-hijau/

Pranoto, D (2023) Artificial Intellegence (AI) dan Masa Depan Sastra. Makalah Seminar ‘Sastra dan AI’ Jatim Art Forum Dewan Kesenian Jawa Timur.

Putera, I.N.D. (2018). Pariwisata Sastra: Kombinasi Kajian Sastra dan Kajian. Makalah Seminar Nasional Wisata Sastra Siti Nurbaya di Universitas Andalas.

Rampan, K.L. (2002) “Sepatah dari Penyusun”. Dalam Dunia Perempuan: Antologi Cerita Pendek Wanita Cerpenis Indonesia, Yogyakarta: Bentang.

Rueckert, W. (1978). Literature and Environment,  Jurnal IOWA Review.

Setyaningsih. (2021). “Menanam Pariwisata Hijau (Membaca Kokokan Mencari Arumbawangi Garapan Cynthia Hariadi)”. Dalam Sastra, Pariwisata, Lokalitas:Antologi Esai Sayembara Kritik Sastra HISKI Bali 2020, Singaraja: Mahima.

Sumanto, B. (2001). Jagat Teater, Yogyakarta: Media Pressindo bekerjasama dengan Yayasan Adikarya dan The Ford Foundation.

Suryajaya, M. (2023) Penyair Sebagai Mesin: Sebuah Experimen dalam Penulisan Jauh dan Sejarah Lain Puisi Indonesia, Jakarta: Gang Kabel.

Suryajaya, M (2023). Humaniora Digital untuk Sastra Indonesia: Menjawab Tantangan Kajian Sastra di Era Digital. Pidato Kesusastraan HISKI Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. 21 Desember 2023.

Udasmoro, W. (2023) Metodologi Penelitian Sastra Berperspektif Gender, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Udasmoro, W. (editor, 2023). Dari Doing ke Undoing Gender: Teori dan Praktik dalam kajian Feminisme. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Wang, N. (2022). The rise of a new paradigm of literary studies: The challenge of digital humanities. New Techno Humanities, 2(1), 28–33. https://doi.org/10.1016/j.techum.2022.11.001

Watson, N. J. (2006) The Literary Tourist Readers and Places in Romantic &Victorian Britain, New York: Palgrave Macmillan.

Wilkens, M. (2015). Digital Humanities and Its Application in the Study of Literature and Culture. Comparative Literature, 67(1), 11–20. https://doi.org/10.1215/00104124-2861911

Young, R. (1995) Colonial  Desire:  Hybridity  in  Theory,  Culture  and  Race, London and New York: Routledge.

Zamzani, M.I. (2013). “Polarisasi Barat dan Timur dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori, Sebuah Perspektif Poskolonialisme”. Dalam Memasak Nasi Goreng Tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 (Editor Dini Andarnuswari), Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

 

[1] Dalam konteks semangat kajian interdisipliner sastra dan ilmu-ilmu bidang lain, pada 2003 muncul buku bertajuk Sastra Interdisipliner: Menyandingkan Sastra dan Disiplin Ilmu Sosial, yang di dalamnya memuat tulisan Muslikh Madiyant dengan judul Psikotes, Psikokritik…(tiga titik setelah kata psikokritik ini sesuai dengan penulisan judul yang dilakukan Madiyant). Dalam esai ini, Madiyant (2003:43) menjelaskan bahwa peluang kajian psikoanalisis dalam karya sastra dimulai ketika Freud dan kemudian Lacan mulai menguji validitas teori l’inconscience-nya yang ditemukan dalam sastra.

[2] Telaah atas karya-karya drama absurd yang dilakukan oleh akademisi, misalnya, bisa dilacak melalui buku Jagat Teater karya Bakdi Sumanto (2001). Dalam pengantar Sumanto mengatakan bahwa buku tersebut merupakan kumpulan tulisan yang dihasilkan dalam kurun waktu berbeda-beda. Saya menduga produksi kajian tersebut telah dilakukan Sumanto jauh hari sebelum buku itu diterbitkan. Saya mempunyai beberapa teman yang kuliah di kampus tempat Pak Bakdi Sumanto mengajar dan di antara mereka ada yang bercerita bahwa Pak Bakdi mengajar mereka drama-drama absurd. Dan ada mahasiswa beliau yang saya kenal mengkaji drama absurd. Pilihan atas tema dan ketertarikan para mahasiswa atas sebuah kajian seringkali dipengaruhi oleh wawasan yang didapatkan dari dosennya. Beberapa naskah drama seperti Caligula, Menunggu Godot, dan Pelajaran dibahas oleh Sumanto.

[3] Hae juga menyinggung soal pemberhalaan teori dalam kritik sastra ini dalam esainya yang bertajuk Ancaman Cermerlang untuk Kritik Sastra, yang dia presentasikan dalam Temu Sastrawan Indonesia II, di Pangkalpinang, Bangka Belitung pada 30 Juli-2 Agustus 2009. Esai ini kemudian dibukukan dalam  buku Sembilan Lima Empat (2021)

[4] Konsep estetik, yang dimaksudkan oleh Pradopo (2013:114) di atas, ditentukan oleh  kondisi manusia Indonesia sendiri, yaitu ditentukan oleh kondisi kesejarahan dan kondisi sosial-budaya bangsa Indonesia sendiri, yang menulis karya sastra Indonesia itu.

[5] Di bagian awal-awal naskahnya, Subhan (2023) mendeskripsikan kegandrungan terhadap sastra ekologis yang memicu kemunculan aliran kritik sastra ecocriticism. Namun, apa definisi dan  bagaimana ecocriticism sebagai teori sastra, yang memberi perhatian khusus pada representasi manusia, alam dan lingkungannya, diimplementasikan pada analisis karya sastra tidak secara khusus dibahas.

[6] Puisi N.Y. karya Taufiq Ismail, (sebagaimana dikutip Subhan, 2023), adalah sebagai berikut: sebelas ribu mil/

dan rabu di sini mahal harganya/poster pucat di beton dingin/anak tuan-tuan butuh hijau cemara// dinding kota menjulur dalam/bukit semen dan besi kapur/suara dan cahaya tak terjangkaukan/merembeslah dalam pori-pori sel/panjangnya bayang perigi//anak-anak tumbuh dengan 2 rabu/rabu semen dan rabu cemara//

[7] Rampan (2002) dalam pengantar sebagai penyunting mengatakan bahwa tujuan penyusunan antologi Dunia Perempuan adalah untuk memperkenalkan para cerpenis tersebut dengan keunikan karya mereka karena sampai waktu itu (ketika buku diterbitkan) belum ada antologi yang secara khusus yang hanya memuat cerita-cerita pendek dari para wanita cerpenis Indonesia. Pernyataan Rampan terkait upaya memperkenalkan para cerpenis bisa dimaknai sebagai sosialiasi tidak hanya karya-karya penulis perempuan, tetapi juga identitas/biodata mereka yang memberi informasi proses kreatif dan pencapaian mereka. Dengan makin dikenalnya para penulis perempuan, maka khazanah kesusastraan Indonesia akan terhindar dari dominasi dokumentasi dan publikasi para sastrawan laki-laki.

[8] Membaca esai Ma, pembaca yang belum bersentuhan dengan teori semiotik dan gender perlu menyediakan waktu untuk membaca dan memahami teori-teori dua hal tersebut, karena esai tidak ‘terbebani’ kutipan-kutipan teori; istilah-istilah terkait semiotik dan gender telah lebur dalam kajian, tanpa elaborasi-elaborasi teoritis tersendiri.

[9] Afrizal (2000) menyatakan bahwa sejarah puisi di Indonesia adalah sejarah puisi dari dunia lelaki, baik kuantitas dan kualitasnya. Dengan mendasarkan argumennya pada empat antologi besar puisi Indonesia yang disusun oleh Linus Suryadi AG dengan puisi-puisi mulai 1920-an hingga 1987, tercatat hanya 21 penyair perempuan dari 179 penyair. Data ini di era mutakhir, baik dari segi kuantitas dan kualitas, perlu dieksplorasi dan dikaji untuk mendapatkan gambaran terkini.

[10] Judul Esai Beni Setia adalah Memahami Oka Rusmini, dimuat di Kompas, 17 Oktober 2010.

[11] Pembahasan cerpen ini dan beberapa cerpen lainnya dalam buku cerpen Damhuri Muhammad Anak-Anak Masa Lalu, saya tuliskan dalam ulasan buku berjudul  Narasi Pergulatan Tradisi dan Budaya lokal  yang dimuat di Kompas 1 November 2015

[12] Pendapat I Nyoman Dharma Putra disampaikan melalui makalahnya yang dipresentasikan dalam Seminar Nasional “Wisata Sastra Siti Nurbaya” yang diadakan secara kolaboratif oleh Prodi Magister Ilmu Sastra Pascasarjana FIB Unand, Hima Magister Ilmu Magistra Andalusia, HISKI Komisariat Unand, dan

Pemerintah Kota Padang, pada 7 September 2018 di FIB Universitas Andalas.  Menurut informasi Putera dalam catatan kaki makalah tersebut, makalah sebenarnya ditulis , untuk sebuah seminar di Semarang yang akan dilaksanakan pada November 2017, tetapi seminar tersebut tidak jadi disajikan karena terjadi bencana alam erupsi Gunung Agung.

[13] Dalam Pidato Kesusastraan berjudul Humaniora Digital untuk Sastra Indonesia: Menjawab Tantangan Kajian Sastra di Era Digital, Suryajaya (2023) menekankan pentingnya humaniora digital dalam kajian sastra, terutama terkait ‘Pembaacaan jauh’ dalam menelaah pola umum dalam korpus besar sastra Indonesia. Pembacaan jauh ini untuk melengkapi ‘pembacaan dekat’ yang tak mungkin dilakukan untuk belasan ribu karya sastra dalam setahun.

Esai31 Desember 2023

Yusri Fajar


Yusri Fajar menetap di Malang dan menjadi dosen di Fakultas Ilmu Budaya UB. Ia menyelesaikan S1 di Fakultas Sastra UNEJ dan S2 dengan fokus pada Sastra Diaspora di Universitas Bayreuth Jerman. Tulisan-tulisannya dimuat di Horison, Kompas, The Jakarta Post, Basis, Media Indonesia, dan Jawa Pos. Buku-bukunya antara lain Surat dari Praha (Kumpulan Cerpen, Februari, 2012), Kepada Kamu yang Ditunggu Salju (Sehimpunan Puisi, Maret, 2017), Sastra yang Melintasi Batas dan Identitas (Sehimpunan Esai, April, 2017), Tamu Kota Seoul (Novel, Desember 2019), dan Jalan Kritik Sastra: Aplikasi Teori Poskolonial Hingga Ekokritik (Kumpulan Esai, 2020). Ia menerima Anugerah Sutasoma Balai Bahasa Jawa Timur tahun 2017 untuk Buku Esai/Kritik Sastra Terbaik, pemenang pertama Lomba Kritik Sastra HISKI Bali dan Balai Bahasa Provinsi Bali 2020, dan juara 2 Lomba Esai Sastra “Penularan Jassin” yang diadakan Majalah BASIS dan Bilik Literasi Solo, 2017, serta pemenang 2 Lomba Kritik Sastra UGM 2017. Cerpennya “Kota tanpa Bunga” terpilih sebagai cerpen terbaik dalam Temu Sastrawan MPU DKI Jakarta 2014.