Dari Sosok Pribadi ke Laku Ilmu

Ilustrasi: Alan Fajar Ma'aarij

Sebagai tanggapan kritis atas puisi, tentu saja, kritik puisi hadir lebih belakangan ketimbang puisi itu sendiri. Jika puisi modern berbahasa Indonesia ditengarai muncul pada dasawarsa kedua abad ke-20, melalui karya-karya Muhammad Yamin, Sanusi Pane, Mohammad Hatta di majalah Jong Sumatra, maka kritik puisi baru muncul lebih dari satu dasawarsa kemudian. Terutama ketika Sutan Takdir Alisjahbana menuliskan serangkaian ulasan tentang puisi baru—Takdir tidak menyebutnya “puisi modern”—berbahasa Indonesia yang muncul pada majalah Poedjangga Baroe dan media lain saat itu, khususnya melalui tulisan bersambung sejak 1934 hingga majalah itu berhenti terbit menjelang pendudukan Jepang.

Dalam kerja kepeloporan seperti ini Takdir berhadapan dengan risiko yang tidak ringan. Ia telah menggunakan puisi-puisi sebagai objek telaah yang pada masa itu belumlah banyak jumlahnya, belum pula tinggi kualitas sastranya. Tetapi ia harus memulainya karena tanpa pembicaraan itu maka situasi kebangunan sastra Indonesia, puisi baru khususnya, akan tanpa arah yang jelas. Dalam hal ini ia memilih posisi sebagai juru peta. Karena itu, dalam kritiknya ia tidak sepenuhnya bertumpu pada kualitas, tidak juga sepenuhnya berfokus pada bentuk, sebaliknya, lebih banyak lagi kepada isi, kepada luapan jiwa penyair, sebab puisi-puisi baru itu telah menjadi “penjelmaan meluasnya jiwa Indonesia Muda dalam suasana tumbuhnya kebudayaan yang baru, yang diperjuangkan oleh Pujangga Baru.”

Kenyataan pada saat itu adalah para penyair dari pelbagai daerah Indonesia baru saja berkenalan dengan khazanah sastra modern dari buku-buku sastra berbahasa Belanda. Mereka baru, katakanlah, beralih dari langgam puisi lama (yang umumnya berupa pantun dan syair) kepada puisi baru yang umumnya mengambil bentuk soneta—sedikit puisi bebas. Mungkin, yang sedikit menguntungkan adalah bahwa sebagian besar yang terlibat dalam penciptaan ini adalah para penulis dari budaya dan bahasa Minangkabau yang terasa lebih dekat dengan bahasa Indonesia ketimbang penulis dari budaya dan bahasa lainnya. Dalam posisinya sebagai pemimpin Angkatan Pujangga Baru, Takdir berkepentingan membimbing para penyajak—begitulah Takdir menyebut subjek yang menghasilkan puisi—agar mereka bisa menghasilkan puisi baru yang lebih bernilai, lebih indah, dan lebih menyuarakan kebudayaan baru dan semangat Indonesia Baru.

Dalam hal ini, kritik puisi adalah serangkaian didaktisme. Kritik sastra diamalkan bukan sepenuhnya demi kepentingan “ilmu sastra”—sebab pada masa itu pula belum berkembang studi sastra yang kokoh di Hindia Belanda—tetapi demi kepentingan pendidikan, demi membimbing para penyair agar bisa menghasilkan, ya itu tadi, puisi baru yang lebih bernilai. Namun, sebagaimana terbukti di kemudian hari, harapan Takdir meleset, sebab sepanjang kiprahnya sebagai salah satu redaktur Poedjangga Baroe ternyata tidak banyak penyair berbakat yang muncul. Puisi yang bernilai dilahirkan oleh hanya segelintir penyair yang nama mereka kerap disebut-sebut dalam sejarah sastra Indonesia.

Kondisi ini rasanya belum beranjak terlalu jauh, ketika H.B. Jassin mulai mengambil posisi menjadi dokumentator dan redaktur sastra pada era 1940-an dan seterusnya. Peran Jassin dalam menemukan dan memperkenalkan Chairil Anwar kepada khalayak luas adalah sesuatu yang penting saat itu. Ia memberikan argumentasi yang cukup kuat bagi avantgardisme Chairil Anwar—sebagaimana Takdir membuktikan keindahan dan internasionalisme Amir Hamzah—tetapi di sisi lain, cara ia membicarakan puisi adalah juga sebagaimana Takdir. Puisi adalah suara batin penyair. Dalam pembicaraan puisi, penyair adalah orang mati yang selalu dihidupkan kembali untuk dikonfrontasikan dengan puisi-puisinya. Puisi hanya bisa bernilai ketika dalam penerangjelasannya berhasil mempertajam suara batin penyair. Tanpa menjadikan sosok dan suara batin penyair sebagai asal dan tujuan, sebuah puisi bisa jadi tidak bermakna apa-apa.

Kritik puisi model begini memuncak pada apa yang dikerjakan Subagio Sastrowardoyo sepanjang paruh pertama 1970-an. Bagi Subagio, menelaah puisi adalah mengalami pertemuan dengan pribadi penyairnya. Dalam kerja kritiknya Subagio hendak menemukan “sosok pribadi dalam sajak”—sebagaimana judul buku kritik puisinya yang terbit pada 1980. Itulah kenapa setelah panjang-lebar membahas sajak-sajak para penyair pilihannnya, Subagio menyimpulkan bahwa orientasi budaya Chairil Anwar adalah Barat dan Sitor Situmorang adalah manusia terasing dan Toto Sudarto Bachtiar telah merintis pencarian kepada sumber-sumber kejiwaan Indonesia dan Rendra adalah penyair yang “banyak berpulas dan berjingkrak-jingkrak di atas pentas sastra.”

Hal yang sedikit berbeda mungkin terjadi pada apa yang dikerjakan A. Teeuw dalam Pokok dan Tokoh (1952). Ketika ia membicarakan para penyair dan penulis roman dalam tiga generasi (Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45), Teeuw bukan hanya memberikan latar sosial-politik kehadiran karya-karya itu, tetapi juga menyigi karya-karya itu secara dekat, sambil sesekali menggunakan biografi pengarang sebagai salah satu jangkar penilaian. Akan tetapi, puncak keterampilan Teeuw sebagai kritikus puisi adalah dalam bukunya Tergantung pada Kata (1980), ketika ia membahas puisi-puisi karya sepuluh pernyair terkemuka Indonesia. Di sini, kritik puisi telah mengarah kepada ilmu, studi puisi model New Criticism, bukan semata-mata penafsiran jiwa pengarang yang terpancar dalam puisi, sebagaimana dikerjakan oleh para sastrawan cum kritikus sastra Indonesia sebelumnya.

Hari ini, terutama jika kita memeriksa kembali pelbagai dokumentasi sayembara atau bunga rampai yang memuat kritik puisi Indonesia mutakhir, rasanya, kenyataan itu belum benar-benar berubah. Mungkin, apa yang disebut kritik puisi sebagai ilmu telah berkembang kepada penggunaan pelbagai teori sastra dalam pembicaraan puisi—tetapi, ia bisa menjadi amalan buruk pada tulisan-tulisan yang secara vulgar mengerat-ngerat puisi dan mematut-matutkannya pada teori-teori yang digunakan. Ingatlah ketika pada para pendukung “Metode Ganzheit” mengecam para eksponen “Mazhab Rawamangun” yang memperlakukan puisi sebagai cadaver, bukan melihat puisi sebagai totalitas pengalaman penyair dan pembacanya. Atau, puisi sekarang ini diteropong melalui pembacaan jauh yang mencari pola sebaran dan frekuensi kata dalam karya sastra, sebuah praktik yang jika dilakukan dengan tidak hati-hati akan membuat kritik sastra menjadi cabang dari ilmu statistika.

Namun, hasrat untuk menemukan kembali “sosok pribadi dalam sajak” dalam kritik puisi bukanlah agenda yang benar-benar telah dilupakan. Dalam kasus ini penyair tidak pernah boleh dipisahkan dari karyanya. Ia harus tetap disangkut-pautkan, agar puisinya bisa mendapatkan sosok untuk bersandar, agar sosok itu bisa dimuliakan—dipahlawankan—ketimbang puisinya sendiri. Dalam situasi ketika politik mengganas, menutup katup-katup ekspresi yang mungkin, tidak terkecuali dari lapangan sastra, langkah ini banyak mendapatkan tepuk tangan.

 

*

 

Tengara nomor ini memuat esai-esai tentang puisi. Untuk nomor ini kami telah meminta sekaligus menantang sejumlah penulis untuk menelaah puisi berbahasa Indonesia, baik karya para penyair dari masa silam maupun karya penyair generasi baru. Kami juga mengharapkan pembacaan kembali atas hasil telaah yang telah dikerjakan oleh sejumlah ahli—misalnya, H.B. Jassin dan A. Teeuw.

Puisi-puisi dari generasi Chairil Anwar mendapatkan pembahasan yang lumayan banyak dalam nomor ini. Yang pertama, tentu saja, puisi-puisi Chairil Anwar itu sendiri. Meskipun sudah cukup banyak telaah puisi karya pemimpin Angkatan 45 ini, tetapi selalu ada ruang-ruang baru tempat para penelaah menempatkan sudut pandang telaahnya. Arif Bagus Prasetyo dalam “Chairil Anwar: Biografi, Puisi, Selfi” membaca secara khsusus tema individualisme dalam puisi-puisi Chairil Anwar dan mengaitkannya tema itu dengan situasi pembaca hari ini. Juga bagaimana sebenarnya biografi seorang penyair belum bisa sepenuhnya ditinggalkan ketika kita berharap mendapatkan sebuah pembacaan yang lebih lengkap dan berimbang.

Sementara Hendrik M.J. Maier, melalui terjemahan Pradewi Tri Chatami, dalam “Sitor Situmorang: Pencinta yang Mengembara dan Merindu” membaca kembali kompleks kekaryaan Sitor Situmorang yang merupakan bagian dari Angkatan 45. Bagi Maier, Sitor memang berada dalam situasi Chairil Anwar dan mendapatkan pengaruh yang kuat darinya, tetapi yang tidak kalah penting adalah bagaimana Sitor menempatkan kepenyairannya yang sedikit berbeda dari Chairil. Dengan puisi-puisi yang umumnya bertemakan hasrat mencintai dan pengembaraan, dalam tatapan Maier, Sitor jauh lebih berhasil ketimbang Chairil, terutama ketika mendayagunakan puitika pantun Melayu dan dalam pemilihan kata dan struktur puisi yang terlihat lebih ajek dan kokoh.

Eunike “Nik” Setiadarma secara khusus membahas puisi-puisi Siti Nuraini dalam The Personal is Poetical“. Sebagaimana diketahui, Walujati, Ida Nasution, Siti Nuraini, Maria Amin dan Siti Rukiah adalah para penyair yang berkiprah di dalam lingkaran dan di luar Angkatan 45 yang selama ini didominasi oleh para penyair laki-laki, terutama Chairil Anwar, Rivai Apin dan Asrul Sani. Bagi Eunike, Siti Nuraini telah “menggunakan puisi untuk menciptakan kedirian yang asing dalam tubuh yang familiar.” Suara puisinya sangat pribadi. Puisi bukan sekadar kata-kata, melainkan sesuatu yang hidup. Puisi “bukan hadiah, melainkan jerih payah.” Itulah kenapa Eunike menyimpulkan sajak-sajak Nuraini sebagai “yang personal adalah yang puitis”.

Yang juga penting dari generasi Chairil Anwar adalah peran H.B. Jassin selaku dokumentator dan redaktur sastra yang menemukan dan memperkenalkan Chairil kepada publik yang lebih luas. Jassin dengan tangan dinginnya sebagai seorang redaktur telah memberikan pembelaan atas kepeloporan dan avantgardisme Chairil Anwar dalam sejumlah tulisannya. Namun, ia adalah juga redaktur yang mengawal kemunculan para penyair semasa dan sesudah Chairil Anwar, terutama ketika ia menjadi redaktur lembar budaya majalah Mimbar Indonesia—atau, Sastra dan Horison di masa yang lebih kemudian.

Esai Saeful Anwar “Anatomi Intuisi dan Narasi dalam Kerja Kritik H.B. Jassin” adalah pembacaan kembali atas kritik puisi yang selama ini dikerjakan H.B. Jassin. Kita tahu, pada masanya, Jassin adalah seorang kritikus dan redaktur sastra yang berpengaruh. Ketika menjadi penjaga gawang lembar kebudayaan Mimbar Indonesia ia menulis sejumlah esai tentang puisi yang kemudian dikumpulkan dalam Tifa Penyair dan Daerahnya. Belum lagi sejumlah esai lepas tentang puisi yang kemudian dikumpulkan dalam Kesusastraan Indonesia dalam Kritik dan Esai sebanyak empat jilid. Ia menguraikan bagaimana Jassin menjalankan fungsi kritikus dalam arti yang luas, mulai membangun pembabakan sejarah sastra hingga berkonsultasi dengan para penyair melalui surat-menyurat yang intim.

Hendri Yulius Wijaya dalam “Menelusuri Puisi Gay Indonesia Periode 1980-an” membicarakan secara khusus puisi-puisi bertema gay di Indonesia era 1980-an. Ketimbang berat kepada kaidah stilistika, Hendri lebih berkonsentrasi kepada konteks kultural puisi-puisi queer Indonesia, pentingnya media publikasi karya mereka dan penguatan identitas queer melalui penciptaan dan penerbitan puisi. Adapun melankoli dalam puisi-puisi queer menjadi khas, jika dibandingkan dengan melankoli pada puisi Indonesia umumnya. Bagi Hendri, telaah perkenalan ini masih dirundung sejumlah masalah. Di antaranya, belum terwakilinya identitas queer lainnya. Karena itu diperlukan studi lanjutan terhadap karya-karya sastra penulis queer di luar gay. Yang juga penting, kata Hendri, “bagaimana menakar, menafsir, dan membaca queer yang spesifik dalam konteks kesejarahan dan budaya Indonesia.”

Bramantio melalui esainya “Rawi Tanah, Tuhan Padi, dan Piring Terbang” secara khusus membahas puisi-puisi Kiki Sulistyo dalam Rawi Tanah Bakarti dan Tuhan Padi. Dengan bertumpu kepada tema-tema kunci dalam puisi Kiki Sulistyo, pembacaan Bramantio menyimpulkan bahwa puisi-puisi Kiki sangat kuat dalam mengedepankan anasir alam. Alam bukan semata-mata tempat bernostalgia, tetapi juga tempat melahirkan wacana ekokritik dan dekolonial. Puisi Kiki, di kesempatan lain simpulan Bramantio, menegaskan kembali betapa sejarah manusia dan alam adalah tergantung kepada siapa yang mengkonstruksinya, yang merawikannya—sebelum semua itu dilupakan satu generasi manusia.

Di rubrik Marginalia kita mendapatkan pembacaan kembali buku Tergantung pada Kata (1980) karya A. Teeuw oleh Ariespine Dymussaga Miraviori dalam esainya “Pasung Kata dan Poetika“. Tergantung pada Kata adalah buku kumpulan telaah sembilan penyair terkemuka Indonesia kala itu, yang dikerjakan oleh Teeuw sebagai bagian dari menegakkan kritik puisi sebagai studi keilmuan yang serius dan ketat. Meskipuan Teeuw menghasilkan pembacaan yang ilmiah, ketat-dekat dan filologis terhadap korpus puisi Indonesia modern kala itu, Dymussaga melihat masih adanya bias gender dalam pembacaan itu. Juga, keterbatasan pembacaan Teeuw yang mengacu kepada “New Criticism” membuat aspek lain, biografi penyair misalnya, tidak terungkapkan. Pembacaan menjadi sangat apolitis pada satu sisi dan sangat maskulin di sisi lain.

Di rubrik Wawancara kami menghadirkan obrolan hangat dengan Afrizal Malna. Sebagaimana diketahui, Afrizal adalah sosok penyair penting dalam khazanah puisi Indonesia modern, terutama setelah kemunculan Sutardji Calzoum Bachri pada 1970-an. Afrizal yang mulai menyiarkan puisi-puisinya di akhir 1970-an adalah penyair avantgardis yang puisi-puisinya telah beroleh pengakuan nasional. Gaya persajakannya sangat khas dan memberi pengaruh kepada para penyair segenerasi dan sesudahnya. Tetapi obrolan kami juga meluas kepada kiprah Afrizal sebagai penulis teks teater dan pengamat puisi yang penting pada era 1990-an.

Afrizal Malna melibatkan dirinya bukan hanya sebagai penyair, melainkan juga pengamat sekaligus juru bicara puisi dari generasi penyair yang tanpa juru bicara. Amatan Afrizal terhadap perkembangan puisi Indonesia generasi terbaru juga menarik sebab pada hari ini penyair bukan hanya makin kehilangan juru bicara, melainkan juga media sebagaimana generasi sebelumnya. Sebaliknya, ketiadaan media konvensional seperti majalah sastra dan surat kabar membuat generasi penyair terbaru menemukan media barunya sendiri yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.

Delapan tulisan utama dan satu wawancara sebenarnya bukanlah jumlah ideal untuk membicarakan bentang puisi modern berbahasa Indonesia yang luas ini, tetapi untuk nomor ini, tulisan-tulisan itulah yang bisa kami sajikan. Namun, jangan cemas, kami masih membuka peluang munculnya tulisan-tulisan baru mengenai puisi Indonesia hingga nomor berikutnya terbit. Tulisan-tulisan yang kami maksudkan akan lebih pendek dan muncul di rubrik Blog Tengara. Kami berharap tulisan-tulisan ini juga bisa membuat pembicaraan tentang puisi Indonesia semakin semarak. Juga untuk menantang bahwa esai adalah genre tulisan yang layak diperjuangkan oleh para penulis kita.

Editorial13 Juli 2023

tengara.id


tengara.id adalah upaya strategis untuk meningkatkan kualitas karya sastra Indonesia melalui pembacaan, pembedahan, dan penilaian yang dilakukan dengan landasan argumen dan teori yang bermutu.