Rawi Tanah, Tuhan Padi, dan Piring Terbang

Ilustrasi: Alan Fajar Ma'aarij

Prolog

Menghadapi puisi adalah serupa menghadapi benda padat sekaligus cair akibat bangun dunia yang merupakan sintesis abstraksi realitas, imajinasi, dan interpretasi pengarang atas realitas yang diikat oleh pelipatgandaan daya bahasa. Karena ini pula, memusatkan perhatian pertama-tama pada bahasa sebagai piranti penyusunnya adalah keniscayaan dalam membaca puisi. Berkaitan dengan hal ini, kehadiran dua buku puisi karya Kiki Sulistyo Rawi Tanah Bakarti dan Tuhan Padi yang berselang tiga tahun beserta sejumlah penghargaan yang disematkan kepada keduanya seketika membersitkan pertanyaan apakah keduanya membentuk rangkaian sastra dan apa yang menjadikannya istimewa sehingga memperoleh sambutan demikian baik. Praanggapan bahwa keduanya memiliki kaitan bukanlah semata celetukan asal di siang bolong, melainkan karena dipicu oleh sepasang judul yang meletupkan medan semantis yang diakui atau tidak berada pada frekuensi yang berdekatan.

Sebagaimana cerita detektif yang menempatkan si detektif sekaligus pembaca di pertengahan cerita untuk kemudian secara simultan bergerak maju melalui serangkaian investigasi sekaligus mundur untuk mereka ulang kejadian berdasarkan informasi yang diperoleh dari investigasi, membaca sastra pada umumnya juga demikian, meskipun tanpa ada pembunuhan atau kematian sebagai pembuka. Teks adalah serupa bentang alam yang pada awalnya dipijak dan diindrai secara seketika dan adakalanya menjadikan si petualang kelabakan akibat berondongan citra yang diserapnya. Peristiwa yang seolah nirproses akibat saking cepatnya ini kemudian disusun ulang menjadi sesuatu yang “linear” oleh si petualang yang kemudian menjelma sekaligus sebagai katakanlah si kartografer. Teks lambat laun “dialihbahasakan” dengan “mereduksinya” sedemikian rupa hingga yang pada awalnya adalah keberlimpahan menjadi sepetak bidang berpigura, dalam artian bahwa seberapa luas pun bidang ini, tetap ada pigura yang membatasinya untuk setidaknya dapat diindrai secara utuh.

Dalam peristiwa yang demikian, sekurang-kurangnya terdapat lima titik yang juga menjadi tahapan saya melakukan pembacaan atas buku puisi Rawi Tanah Bakarti dan Tuhan Padi: rumah-teks (4), peta (3), titik awal (1), penunjuk jalan (2), dan tujuan (5)—saya sebut Saturnus—dengan pergerakan ulang-alik antara mencari, menemukan, memilah, dan memilih penunjuk jalan dan membuat peta serta antara mengenali struktur rumah dan mengarahkan landasan pacu ke Saturnus. Teks adalah sebuah bangunan—rumah—yang hanya memiliki satu bukaan untuk dimasuki guna mencapai hal-hal yang tersembunyi di dalamnya sehingga mengenali bentuk rumah ini—termasuk karakteristik bukaannya, pintunya—adalah langkah pertama yang harus ditempuh. Seorang pembaca tidak dapat melakukan teleportasi dan tiba-tiba berada di dalam rumah dan mengenali seluruh ruang dan perabotannya.

Lebih lanjut, teks adalah dasar interpretasi sehingga sejauh mana pun pembaca melakukan pengembaraan-interpretasi, teks menjadi titik pijak awalnya. Adapun yang menjadi modal untuk mengakomodasi kelima hal tersebut adalah bahasa, pengetahuan akan konvensi (genre) sastra dan jalinan unsur tekstual. Realisasi atas kelima tahapan tersebut bergantung sepenuhnya kepada teks yang dihadapi sehingga sangat dimungkinkan bahwa rangkaian tahapan pembacaan atas sebuah teks berbeda dari rangkaian tahapan pembacaan atas teks lain. Tahapan ini pada dasarnya untuk menjawab pertanyaan “Dari mana kita berasal dan ke mana kita akan menuju?” Interpretasi atas sebuah teks—dalam pengertian harfiah maupun meluas ke semesta raya—adalah ke mana kita akan menuju yang tidak akan tercapai tanpa mengetahui terlebih dulu dari mana kita berasal, yaitu teks itu sendiri.

 

Rawi Tanah

Berkaitan dengan kelima tahapan pembacaan dan mengingat bahwa puisi adalah genre yang memberdayakan bahasa dengan sedemikian rupa, yang menjadi titik awal pembacaan saya adalah judul. Secara sekilas dan eksplisit, judul Rawi Tanah Bakarti dan Tuhan Padi memperlihatkan kaitan satu sama lain akibat hadirnya tanah dan padi. Hal yang demikian bukanlah kesewenang-wenangan, melainkan dampak langsung dari pengalaman pembacaan terkait kedua kata tersebut sekaligus sebuaha fenomena yang dalam perspektif Greimas disebut sebagai isotopi, yaitu kesatuan semantis sebagai dampak keberlimpahan yang ditemui yang dapat menjadi dasar kerja interpretasi yang terarah. Isotopi tanah antara lain Bumi, air, tanaman, tumbuhan, rumah, tempat tinggal, negara, ruang, hidup, mati, sementara isotopi padi antara lain tanah, pertanian, petani, panen, makanan, dan kehidupan. Bagaimana kaitan keduanya adalah perkara lanjutan karena pada titik awal ini yang menjadi fokus perhatian adalah jalinan unsur intratekstual alih-alih intertekstual. Hal senada juga berlaku pada kata rawi dan tuhan yang kehadirannya secara bersamaan menghadirkan isotopi keilahian, meskipun secara terpisah rawi menghadirkan cerita, penceritaan (ulang), dan riwayat.

Sebuah buku puisi—seperti halnya buku cerpen—disusun dengan cara yang berbeda dari sebuah cerpen, novel, atau naskah drama yang sejak awal telah membentuk kesatuan sehingga pengenalan atas puisi-puisi penyusun juga perlu dilakukan pada titik awal ini. Berdasarkan daftar isinya, Rawi Tanah Bakarti memuat empat bagian—“Rawi Tanah Bakarti”, “Kitab Batu”, “Rumah Juru Tenun”, dan “Bakar Padi di Bakarti”—dan 48 puisi lengkap dengan nomor di awal setiap judul. Bagaimanapun, terlepas dari kemungkinan adanya kekeliruan dalam proses penataan dan perwajahan, ada dua puisi—judulnya dicetak dengan jenis huruf berbeda—yang tidak diberi nomor, yaitu “Rantai Babi” (hlm. 29) dan “Penambang Emas Bakarti” (hlm. 82). Kecuali bagian keempat yang terasa beragam, setiap bagian memperlihatkan ikatan internal yang ketat sekaligus memudahkan saya sebagai pembaca untuk melangkah dari satu tema ke tema berikutnya tanpa merasakan lompatan yang mengejutkan.

Kendati demikian, alih-alih mendapatinya sebagai informasi yang terus-menerus bertambah dan bertumpuk untuk membentuk kesatuan yang runtut seiring pembacaan dari puisi pertama hingga puisi terakhir, saya justru membayangkan kelima puluh puisi tersebut adalah serupa lema-lema di dalam ensiklopedia. Saya sengaja menyebutnya ensiklopedia—Ensiklopedia Bakarti—alih-alih kamus karena lema-lema ini tidak memuat definisi, melainkan uraian ihwal ruang, waktu, sejarah, masyarakat dan mitos Bakarti. Artinya, sebuah puisi tidak lantas mengawali atau menjadi simpulan keseluruhan buku puisi ini, melainkan membawa peristiwanya masing-masing untuk kemudian dapat dibaca dari titik mana pun dan saling menjadi referensi silang.

Mereka tidak hadir sebagai kepingan-kepingan mozaik yang kemudian membentuk gambar besar dan utuh, melainkan serupa lema-lema yang membentuk jalinan pengetahuan yang saling memperkaya dan memahamkan. Setiap membaca puisi berikutnya, ada irisan dari puisi sebelumnya dan membentuk semesta Bakarti. Hal ini—analogi lema ensiklopedia alih-alih kepingan mozaik—turut dipicu oleh adanya sejumlah puisi yang secara judul dan isi seolah merupakan anomali dari isotopi yang terbangun melalui judul buku, yaitu “Penggalian Luar Angkasa”, “Melihat Komet”, “Binatang Langit”, “Wangsit Langit”, dan “Mendaki Samudera, Menyelam ke Luar Angkasa,” meskipun bukan lantas sama sekali tidak berkaitan dengan puisi-puisi lain. Berdasarkan hal ini, saya kemudian memusatkan perhatian pada puisi yang menjadi judul buku ini.

 

 

Rawi Tanah Bakarti

kusebut tenggara saat kau sebut pertengkaran, -antara mereka,      kelasi dan pencuri di kapal yang berlayar menuju Ampenan
bulu domba, surya kanta, dupa wangi swarga, juga jimat malaya kelak luput dari tangan tukang catut, keturunan yang tercerabut
dari bijana pertama, ketika kelasi membuang mayat pencuri               ke laut
lalu hanyut ke seberang, dibawa duyung kesepian ke punuk         karang
duyung itu bibi, datang pada suatu hari dengan rambut           berkepang
matanya lengkung limau muda, kulitnya lempung pulau sokotra
dibawanya katun merah marun, majalah ejaan lama, pula cita-         cita menjadi juru doa
agar tiap yang melayat dapat melihat benang-benang lepas               dari mayat
ditanyakannya arah menuju rumah, aku sebut tenggara, dengan nawaitu
bakal dihaturkan padaku ilmu yang satu itu, ilmu menerima         semua ilmu
ilmu yang membuat pencuri hidup lagi, bersembunyi di duri           putri malu
menanti tersentuh jadi dan darah tersepuh kilau matahari, pada suatu pagi
ketika hari perayaan digelar di pelabuhan, ketika bendera digetarkan kedatangan kapal
dan menir berkumis melihat kijang-kijang berlarian di semak pandan
bersama jejak sunan, ludah kaum terbuang yang menyingkir              ke liang gunung
mencuci kisah Teganang dengan keringat dikeruhkan angin         ladang
menir itu paman, pada suatu hari pergi denga janin di perut             bibi
matanya api biru tunggul kayu, kulitnya perunggu di jantung          batu
hanya kelasi yang mengerti mengapa kini kota ini sekisut kuping bayi
sebab ia tua oleh suara ombak menolak usia, ia celaka oleh           upaya menjadi baka
padahal bibi akhirnya mati, paman bunuh diri, dan kubur           mereka terpisah dunia
satu di pusar samudera, satu di hampa udara, sedang antara keduanya hanya ada dada
di mana rahasia terbuka, bahwa di tenggara, jauh di tenggara, karang itu masih ada
tumbuh inci demi inci, bagai tubuh jin gili, jadi tanah tanpa perawi yang kausebut Bakarti

 

Selain permasalahan terkait penomoran yang luput dari dua puisi yang telah saya sampaikan, tipografi puisi pembuka ini menimbulkan pertanyaan karena sejumlah kata tampak terpenggal dari baris sebelumnya: kesengajaan ataukah dampak dari jenis dan ukuran huruf yang tidak dapat diwadahi secara optimal oleh ukuran halaman. Mengingat hal yang demikian tidak hanya terjadi pada puisi ini, unsur enjembemen—yang pada dasarnya dapat berkontribusi dalam pembangunan makna—tidak menjadi pertimbangan dalam pembacaan saya, dan langsung berfokus pada isotopi. Ada sejumlah isotopi yang dapat dicatat dari puisi tersebut: arah, pertikaian, pelayaran, perdagangan, kedatangan, laut, alam, kekerabatan, kematian, agama, pengetahuan, orang asing, rumah, kota, dan riwayat. Hal-hal inilah yang kemudian hadir dengan kadar beragam pada puisi-puisi berikutnya.

Lebih lanjut, meskipun di dalam puisi ini ada ku dan kau, kehadiran keduanya tidak menempatkan puisi ini dekat dengan si subjek lirik, melainkan berjarak karena yang disampaikannya secara umum adalah hal-hal yang telah jauh dan berlalu atau bukan pengalaman secara impromptu, hal senada juga saya rasakan pada puisi-puisi lain, termasuk puisi-puisi pada bagian “Kitab Batu” yang paling terasa kuat dalam menghadirkan ku, tetapi mengacu pada ku-batu dan peristiwa yang juga jauh. Kehadiran hal-hal yang jauh dan sering kali tidak mengacu secara langsung kepada manusia membuat saya kemudian membayangkan satu frasa untuk membungkus puisi-puisi dalam buku ini: naratif elemental. Puisi-puisi di dalam buku ini memang menghadirkan manusia, tetapi bukan manusia yang menjadi pusat tata suryanya.

Tengara tekstual yang demikian pada awalnya mengarahkan saya untuk tidak memberi perhatian khusus kepada subjek lirik, tetapi seiring perjalanan pembacaan hal ini justru mengantarkan saya membayangkan situasi perawian itu sendiri: menceritakan ulang peristiwa-peristiwa yang telah lalu dan jauh—pascaperistiwa. Hal ini sekaligus menumbuhkan pertanyaan terkait baris penutup puisi jadi tanah tanpa perawi / yang kausebut Bakarti. Sebagai penutup puisi “Rawi Tanah Bakarti,” kalimat ini tidak bermasalah, tetapi karena adanya kesamaan judul puisi dan judul buku puisi, kalimat ini menjadi bermasalah karena pada dasarnya keempat puluh sembilan puisi lain adalah rawi tanah Bakarti itu sendiri dengan perawi yang tidak tunggal. Ada usaha untuk membangun narasi tandingan—khususnya dengan kehadiran bagian “Kitab Batu”—untuk menyikapi narasi besar ihwal tanah (dan) air bernama Bakarti.

Kesan kontradiktif ini mengantarkan saya pada tahap kedua: mengenali penunjuk jalan melalui kecenderungan diksi yang digunakan. Secara umum, puisi-puisi di dalam buku ini membentuk semesta yang terang dan mudah dipahami sebagai dampak penyusunan sintaksis yang tidak berlarian kian kemari. Namun demikian, pada sejumlah puisi muncul jukstaposisi diksi-diksi yang secara sekilas adalah sepasang (hampir-)anagram, pasangan minimal yang hanya dibedakan oleh satu fonem, atau hampir-oposisi biner sebagai berikut: lidah-ludah (hlm. 15), rompak sapi-tombak api (hlm. 20), kobar-kibar, mati-mata (hlm. 20), renggut-ringgit (hlm. 21), marka-murka, ramal-amal (hlm. 27), terang-benang, malam-makam (hlm. 28), bertaring-bertarung, sandi-sandiwara-candi (hlm. 29), kandang-kanjang (hlm. 30), kokoh-bodoh, berdiam-berdiang, bersembunyi-menyembunyikan bunyi, ukir-ulir, bahwa-bawah (hlm. 31), lenyap-senyap (hlm. 38), tali-tuli (hlm. 41), pasi-pagi, menggaru-guru-pemburu, kemudian-kemudi (hlm. 43), silang-siang (hlm. 44), kalam-malam (hlm. 46), rencana-bencana, dendam-dendang, parang-perang, dapur-kapur, terkapar-terbakar, akbar-kabar, kubur-sumur (hlm. 48), melupakan-melapukkan, silsilah-si salah, tersembunyi-dari bunyi, bukti-bakti, marah-ramah (hlm. 49), batu-tuba (hlm. 50), mereka-mereka-reka, seram-suram, bajik-bijak (hlm. 52), bunyi-sunyi, tiang-riang (hlm. 53), siluman-sulaman (hlm. 54), kunang-kurungan-kenangan-kening (hlm. 56), gila-gali-lagi, berkali-kali-kali-barangkali-kalian-sekalian (hlm. 57), merambah-menambah, akar-akal (hlm. 58), betapa-petapa (hlm. 59), benang-senang (hlm. 62), sampi-jampi (hlm. 64), garis-giris, repih-perih, suangi-sungai, emas-cemas (hlm. 65), moyang-mayang (hlm. 66), kerlip-kerdip, lebah-belah (hlm. 70), ulir-bulir (hlm. 72), lantas-pantas (hlm. 73), beting-batang, panas-napas, tungkai-tangkai, lembing-lambung, bunyi-sunyi, sayap-menyayupkan-senyap, sapi-sepi (hlm. 77), lawan-kawan, senang-perang (hlm. 78), lidahnya-ludahnya (hlm. 79), murah-mudah (hlm. 80), perih-repih, sayat-ayat (hlm. 81), disapih-disepuh (hlm. 82), kayu-layu, dimerahkan-remah (hlm. 83), suangi-sungai, tenun-tenung (hlm. 84), berkelip-berkedip (hlm. 85), suangi-suami (hlm. 85), larutkan-laratkan (hlm. 86), penuh-keruh, kampung-rampung, gabah-tabah (hlm. 91), goreng-koreng (hlm. 93) dan menjatuhkan-menjauhkan (hlm. 94). Mengingat jumlahnya yang dapat dikatakan banyak, jukstaposisi ini tidak dapat diabaikan dan menjadi petunjuk ke tahap ketiga: menyusun peta buku puisi.

Sejumlah jukstaposisi tersebut mengarahkan pembacaan untuk mencermati hal-hal yang kurang-lebih senada sebagai berikut, tetapi dengan struktur yang lebih kompleks.

 

  • cacing air yang terus-menerus mengisap cahaya / wayang yang meniup bayangannya sendiri (“Pasar Malam Bakarti,” hlm. 26);
  • apa yang kau sangka ada di balik / angkasa / adalah cermin yang kita di dunia adalah bayangannya (“Penggalian Luar Angkasa,” hlm. 34);
  • bagai cermin dalam cermin, bayangan yang memantulkan / bayangan / di sini kita berkata-kata, di sana kita tak pernah ada (“Pengisap Bintang,” hlm. 38);
  • semakin tinggi tangga ini, semakin dalam aku mendaki […] semakin dalam aku mendaki / semakin tinggi tangga ini (“Mendaki Samudera, Menyelam ke Luar Angkasa,” hlm. 42);
  • aku tahu mereka tah tahu, apa itu melupakan / apa itu melapukkan ingatan / sebab yang pertama disengaja, yang berikutnya / dibuat supaya terlihat tak sengaja (“Batu Moyang,” hlm. 49);
  • sampai bocah jadi tua dan jadi bocah lagi / sampai aku tak lagi disebut batu, melainkan tuba (hlm. 49);
  • padahal bunyi adalah tanda sunyi […] sembari percaya cara hidup terbaik / adalah dengan berlaku terbalik (“Batu Jam,” hlm. 53);
  • mereka menolakku sembari menolak diri mereka sendiri (“Batu Kaca,” hlm. 54);
  • kalian bisa bilang, akulah batang yang hilang / antara kegenapan dan keganjilan (“Batu Kayu,” hlm. 58);
  • saat itu aku mengenalinya sebagai tali yang terjulur ke masa lalu / seluruh kenangan berayun di sana bagai kanak-kanak yang / riang / manakala aku semakin jauh menempuh jalan di depan, / sesungguhnya / aku telah berjalan memutar, dan kembali ke belakang tali itu (“Batu Umur,” hlm. 63);
  • Itulah mata bahasa, yang / berhenti bekerja / lantaran percaya, kebisuan adalah satu-satunya cara mengabadikan cerita (“Rumah Juru Tenun,” hlm. 63);
  • ini di Bakarti, tempat api dibakar lagi (“Musim Kering di Bakarti,” hlm. 77);
  • sebelum sepi kembali sampai, sampai sepi kembali sampai (“Musim Kering di Bakarti,” hlm. 77);
  • Jalan gelap. Sudah terang. Sudah malam (“Keluarga Penambang,” hlm. 85).
  • Di sana dia akan merawat / usia dengan / merawat orang lanjut usia (“Ke Taiwan,” hlm. 93)

 

Kelima belas baris tersebut secara umum memperlihatkan hal-hal yang janggal, baik karena kontradiktif maupun paradoksal. Bagaimanapun, yang pada awalnya tampak sekadar sebagai hal ganjil, ketika dikaitkan dengan unsur lain di dalam puisi tempatnya berada maupun puisi-puisi lain, kemudian terbaca sebagai tarik-menarik dan bahkan siklus. Hal ini ternyata telah tergambar dalam skala yang lebih besar pada puisi “Tenun Bakarti.”

 

apalah garis ini jika tak menuju ke mana-mana. garis
setelah garis, garis sebelum garis, pada latar
bidang datar, kekosongan
yang pudar
tak ada Sekardiu, tunggangan Jayengrana itu
tak ada Mandalika, perempuan yang ditelan samudera
juga tuan guru, gelar yang gemetar di bibir hambar
apabila disebut, seluruh rasa takut
bertunas di ladang, tekuras di tulang, para pengarat sampi
yang berjaga tiap malam, dengan parang terasah jampi
apalah kain ini jika tak mengisahkan apa-apa. Serat
setelah serat, serat sebelum serat. pada pudar
bidang datar, cuma kosong
pelataran

 

Baris pembuka dan bait ketiga memberi gambaran tidak hanya ihwal tenun, tetapi sekaligus memberi gambaran ihwal wujud rumah Rawi Tanah Bakarti yang dibangun dengan sejumlah garis dan serat rawi dari beragam perspektif perawi yang tarik-menarik terus-menerus dalam mengonstruksi narasi tanah bernama Bakarti.

Pada titik ini, keberadaan rumah dan Saturnus seolah-olah telah direngkuh. Namun, ternyata ada ganjalan yang berpotensi mengubah arah pembacaan. Hal ini terkait dengan lima puisi yang saya sebut sebagai anomali karena tampak lepas dari isotopi yang dihadirkan oleh judul: “Penggalian Luar Angkasa,” “Melihat Komet,” “Binatang Langit,” “Wangsit Langit,” dan “Mendaki Samudera, Menyelam ke Luar Angkasa.” Secara sekilas, puisi-puisi ini tampak menggeser fokus narasi dari tanah ke langit atau angkasa, hal ini kemudian masih ditambah dengan sejumlah citra yang mengarahkan pada kelampauan yang semakin jauh bahkan terlupakan. Bagaimanapun, apabila dicermati dengan menempatkannya sebagai bagian semesta tanah Bakarti, segala citra dan benda samawi di dalam kelima puisi ini memiliki kontribusi pada pengolahan tanah atau pertanian sehingga dapat dipahami sebagai hal-hal yang tidak sepenuhnya terlepas dari isotopi utama buku ini.

Berkaitan dengan keangkasaan, ada satu masalah lagi yang dihadirkan oleh buku ini dan perlu dipertimbangkan posisinya, yaitu kehadiran piring terbang pada tiga bagian berikut: sementara kami. terus bermimpi. melihat piring terbang / mendarat di ladang kacang (“Bakarti Setelah Pertempuran,” hlm. 21), di seberang jalan ladang mengambang / bentuknya bulat seperti piring terbang (“Pasar Malam Bakarti,” hlm. 23), lalu mereka teringat tamsil orang alim/ ada pernah berkunjung kaum yang dijunjung / mengendara piring terbang (“Penggalian Luar Angkasa,” hlm. 34), dan anakku bermimpi melihat piring terbang melintas / di belakang rumah (“Mendung di Atas Bakarti,” hlm. 78). Pada awalnya, piring terbang-piring terbang ini tampak “keluar” dari jalur, baik jalur isotopi maupun jalur tema buku ini karena mengarahkan pembaca pada satu titik yang selama ini dianggap menjadi bagian wilayah fiksi sains. Namun, ketika dicermati, ketiga piring terbang dalam ketiga puisi ini tidak ada satu pun yang sebenar-benar hadir di tengah subjek lirik atau masyarakat tekstual, melainkan sekadar sebagai bermimpi, tamsil, dan bentuknya—representasi bentuk—sehingga dengan sendirinya kehadirannya berterima. Melalui keberterimaan ini, piring terbang kemudian dapat dengan lebih mudah dibaca lebih lanjut sebagai bagian dari isotopi pendatang.

Lebih lanjut, pembacaan menjadi semakin menarik ketika mengaitkan piring terbang ini dengan bagian sebelumnya tentang jukstaposisi, kontradiksi, dan paradoks yang beririsan pada bagian puisi “Penggalian Luar Angkasa” sebagai berikut.

 

lalu mereka teringat tamsil orang alim
ada pernah berkunjung kaum yang dijunjung
mengendara piring terbang, terbang miring di udara
itulah moyang kita, pembuat peralatan dan perumus perang

 

Meskipun pada awalnya piring terbang adalah sesuatu yang jauh karena sekadar bagian dari tamsil, baris itulah moyang kita, pembuat peralatan dan perumus perang menggesernya menjadi sesuatu yang dekat, khususnya terkait mitos bahwa kita yang mengacu pada penghuni adalah juga keturunan para pendatang, keturunan pengendara piring terbang. Tarik-menarik penghuni dan pendatang—baik berupa sosok manusiawi maupun berupa pengetahuan baru—ini dengan sendirinya menghadirkan citra meliyankan yang diri dan mendirikan yang liyan. Ada narasi kemenduaan yang terus-menerus hilang-timbul pada buku puisi ini, salah satunya pada puisi “Anjing di Bakarti” berikut ini: Ada dengking di moncongnya. Ada dengking. Waktu orang / asing tiba. / Orang asing tiba dan tiba-tiba dusun sepi seperti kurun sebelum / penghuni. / Sebelum penghuni membawa bibit padi. Dan persoalan dimulai / dari harga dan timbangan laba. Dari agama dan berita-berita (hlm. 80). Bagian Orang asing tiba dan tiba-tiba dusun sepi seperti kurun sebelum / penghuni menghadirkan citra yang serupa dengan mengendara piring terbang, terbang miring di udara / itulah moyang kita yang menempatkan pendatang dan penghuni sebagai dua hal yang bertentangan sekaligus sebagai keberlanjutan. Yang pada awalnya hadir sebagai kedatangan, lambat-laun bergeser menjadi perdebatan ihwal penghuni (diri) dan pendatang (liyan), untuk kemudian bermuara pada sejumlah problematika yang menetas dari pertemuan tradisi lama dan tradisi baru.

Tarik-menarik narasi ihwal tanah Bakarti semakin mengakar sebagai Saturnus apabila mencermati puisi pembuka dan penutup Rawi Tanah Bakarti. Buku ini dibuka dengan kedatangan liyan dan ditutup dengan kepulangan diri meskipun mungkin tidak lagi dalam keadaan bernyawa. Bakarti adalah sebuah ruang yang menarik liyan untuk mendatanginya sekaligus memaksa diri untuk meninggalkannya akibat tuhan padi telah mati hanya untuk menemui ajal dalam sebuah ikhtiar demi kehidupan yang lebih baik. Tanah Bakarti pun kemudian menjadi entitas yang mau tidak mau harus diterima oleh siapa pun yang pernah menjadi bagian dari semestanya—mendatanginya lalu meninggalkannya—dan terus mengikat erat ke mana pun mereka melangkah.

 

Tuhan Padi

Berbeda dari Rawi Tanah Bakarti yang puisi-puisinya disusun dengan urutan yang ketat dan ditempatkan pada empat bagian yang tematis, Tuhan Padi terasa lebih longgar. Kaitan antarpuisi tetap hadir, tetapi ada sejumlah lompatan yang meskipun tidak sampai menyulitkan pembacaan karena masih dengan gaya tutur yang senada, tetap menempatkan saya sebagai pembaca mencari tali yang lebih merah dan panjang untuk mengikatnya.

Yang juga berbeda dari Tuhan Padi adalah penempatan puisi yang menjadi judul buku. Puisi “Tuhan Padi” berada pada urutan ketujuh, sementara yang menjadi pembuka adalah “Lagu Kebangsaan Penyelam.”

 

“Lagu Kebangsaan Penyelam”

dada kami cadas bisu beribu tahun lalu

di hadapan air, pisau pemahat yang mahir
kami menuju kedalaman dengan menahankan
seluruh beban; kegembiraan dan kesedihan
kenangan dan pendar-pendar masadepan
di tengah tekanan, tubuh kami jadi ringan
bagai balon mainan kami melayang

di atas kami bias matahari seperti sinar surgawi
menciptakan lorong cahaya dengan ikan-ikan
tembus pandang merupa doa yang dilantunkan
pelan-pelan di senyap malam
segala rahasia ini memasuki darah kami
kami hidup, kami tak memiliki rasa takut
kami mencair bersama air, jadi bagian kecil
dari alir yang bergerak dari hulu ke hilir
(2014)

 

Meskipun sempat terkejut dengan kehadiran puisi ini yang menitikberatkan perhatian kepada air, alih-alih tanah sebagai isotopi yang dihadirkan oleh judul buku, lambat laun saya memperoleh pegangan kembali dengan mengingat bekal yang saya bawa dari pembacaan atas Rawi Tanah Bakarti, yaitu ada isotopi laut di dalam puisi yang menarasikan tanah.

Selain itu, puisi ini terasa lantang dalam menyuarakan kedirian, berbeda dengan puisi-puisi pada Rawi Tanah Bakarti yang memiliki kecenderungan menempatkan subjek lirik di sebalik tabir. Nuansa yang dihadirkan puisi pembuka ini menjadi semacam cetak biru bagi puisi-puisi berikutnya yang juga lantang menyuarakan keberatan—antara protes dan politis—atas kondisi, tidak lagi sekadar menuturkan—merawikan—peristiwa seperti yang kental terasa pada Rawi Tanah Bakarti.

Apabila dicermati, kelantangan yang demikian juga disebabkan oleh sejumlah patahan—dengan adanya tanda koma jamak—pada baris-baris puisi, ujaran menjadi pendek-pendek dan karena itu pula menghadirkan kesan cepat dan tegas. Satu hal yang bagi saya juga perlu dicatat adalah bagaimana puisi pembuka ini menjadi semacam titik awal yang mengalirkan citra air menuju citra tanah pada puisi-puisi berikutnya, ada transformasi yang—sengaja maupun tidak—sedang dibangun.

Karena sejak awal pembacaan atas kedua buku ini dilakukan sebagai sebuah rangkaian, selain mendasarkan pada irisan isotopi yang terbentuk oleh judul yang sangat mungkin untuk terbantah, kiranya saya perlu meletakkan dasar yang menempatkan kedua puisi sebagai sebuah rangkaian. Hal tersebut tampak pada salah satu bagian puisi di Rawi Tanah Bakarti: tuhan padi mati di kerling para kerani (“Jarum Padi,” hlm. 76). Frasa tuhan padi (mati) pada puisi ini dan sejumlah bulir padi yang bertebaran di Rawi Tanah Bakarti kemudian tumbuh subur di Tuhan Padi.

 

Tuhan Padi

tuhan padi sudah mati, di sini, di bakarti. semenjak para kerani
membujuk petani untuk tidur pagi. dalam mimpi mereka, bibit gabah
berdiri, berlari-lari, memutari sawah seperti tukang ukur tanah.
anak bajang pulang sekolah, langsung berkemas ke kantor imigrasi:
pohon sawit tumbuh tinggi seperti permohonan bunuh diri, bukan
untuk mati melainkan untuk hidup sebagai api di bawah kuali.
ibu yang ditinggalkan melihat tuhan padi dikuburkan dalam televisi
waktu itu malam begitu berisi tapi api sudah padam, dapur hanya
menyisakan sekam serta guguran kapur dari bangunan di tengah areal
tanam. maka bernyanyilah ibu, lagu paling bisu yang ditenun dengan
jari-jari luka. mata ibu merah, kata-kata ibu tak memberi sedikitpun
berkah. anak bajang dalam pesawat membayangkan masa-masa singkat
yang sudah lama lewat.
bakarti tak lagi ada dalam peta, meskipun satelit mengintai bagai

kilau mata harimau. ibu terus bernyanyi. suaranya merembes ke baris-baris ini.
kau dengar garis-garisnya yang sunyi, ingin sampai ke jantungmu
yang sedang berupaya mati-matian mendegup-hidupkan bunyi puisi.
(2018)

 

Kendati demikian, kehadiran titimangsa pada puisi-puisi di Tuhan Padi sempat mengaburkan pembacaan terkait puisi mana yang lahir terlebih dulu. Hal ini mengingat bahwa Rawi Tanah Bakarti terbit pada 2018, sementara Tuhan Padi pada 2021 dan sekitar dua pertiga puisi bertitimangsa pra-2018. Bagaimanapun, karena yang menjadi fokus tulisan ini adalah teks, saya tetap berpegang pada tahun penerbitan kedua buku puisi, menempatkannya sebagai dua puisi yang berdialog alih-alih hipogam dan teks tranformasinya.

Dialog ini dipantik oleh sejumlah isotopi dalam puisi ini—keilahian, pertanian, tanah, kekerabatan, kepergian, kematian, kehidupan, dan rumah—yang beririsan dengan sejumlah isotopi “Rawi Tanah Bakarti.” Sejalan dengan hal ini, saya pada akhirnya membayangkan bahwa lebih mudah untuk terlebih dulu membaca Rawi Tanah Bakarti—sebagai semacam fondasi—baru kemudian Tuhan Padi—sebagai kopikarbon atau bangunan tambahan yang tetap dapat berdiri sendiri, daripada sebaliknya.

Rawi Tanah Bakarti memberi saya bekal pembacaan untuk kemudian membentuk cakrawala harapan—dalam istilah Jauss—sekaligus menyiapkan saya membaca Tuhan Padi. Melalui bekal pembacaan dan cakrawala harapan ini, saya dapat mengenali piranti—penunjuk jalan—yang digunakan untuk membangun Tuhan Padi sehingga laku menggambar peta dan menemukan rumah pun menjadi lebih mudah. Lebih lanjut, segala sesuatu yang pada Rawi Tanah Bakarti tampak sebagai estetika pertentangan—pengarang dan pembaca memakai kode atau bahasa artistik yang berbeda dalam menyusun dan membongkar teks tertentu, dalam bahasa Iser—bergeser menjadi esetetika identitas—pengarang dan pembaca menggunakan hal yang sama atau kode yang umum, kode atau bahasa artistik pengarang sudah diketahui pembaca, hanya pesannya yang baru—karena saya sebagai pembaca telah memiliki bekal awal.

Kaitan langsung kedua buku puisi ini tidak sebatas pada frasa tuhan padi (mati), tetapi juga isi puisi “Tuhan Padi” yang apabila dicermati tampak menjadi ringkasan sekaligus simpulan rangkaian tiga puisi penutup pada Rawi Tanah Bakarti.

 

Tekong

datanglah padaku dengan bahu kukuh, dada penuh,
pikiran yang keruh, aku seorang penolong
aku seorang yang gembira melihat awan-awan
dilintasi pesawat penumpang
tanganku adalah penawar bagi yang berniat pergi
dari pelosok, dari kampung, dari persoalan yang tak pernah
rampung
perkara harga gabah atau seberapa tabah berdiri di tepi sawah
menyaksi tanah tak lagi melimpahkan berkah
atau telah begitu dungu orang yang menunggu di dangau
memandang kelokang lengang dididihkan siang yang sekarang
gemar benar telanjang
mari kubuatkan suratsah, supaya tak ada masalah
supaya bisa berangkat dengan riang seakan bersijingkat ringan
di atas harapan yang sering dikeringkan kenyataan
memang ada syarat tapi taklah sedemikian berat
tak sampai membuat riwayat berakhir getir
bukankah nanti semua diganti berlipat kali bahkan melebihi
batas pantas sebuah pundi
tak usah banyak menimbang, bila tak cepat bisa terlewat
di tanah ini, antrean penumpang dapat segera memanjang
menanti giliran terbang, berusaha menjauhi kesengsaraan

 

Ke Taiwan

Ke Taiwan. Ke Taiwan dia ingin terbang. Waktu itu
langit Bakarti terang tanpa awan. Anjing kurus kering
terbaring di tanah, seperti bekas muntah.
Sisa minyak goreng pada wajan mirip sisa koreng pada anaknya
punya lengan. Dia ingin membuat rumah di sebidang tanah
yang sebanding dengan keringat dan hitungan lelah.
Tapi pesawat cepat melesat. Menyisakan garis lengket di batas
pandang planet. Lantas dibayangkannya benua. Sebentang
peta
dalam layar telepon pintar. Dia tunjuk satu titik, seakan menusuk
bintik
pada permukaan kulit. Itu Formosa. Di sana dia akan merawat
usia dengan
merawat orang lanjut usia. Atau jika mujur bernaung di pabrik
manufaktur.
Dengan begitu telah ditinggikan tiang keturunan. Tempat
bendera keluarga
berkibar di ujungnya. Seketika dia senang. Seketika juga dia
terkenang
Pada fulan binti fulan yang tak pernah pulang. Pada sekeranjang cucian
yang dibuang setelah runtuhnya tanah ke dalam galian
tambang. Waktu itu
langit Bakarti tiba-tiba menjatuhkan kabar, mejauhkan mekar
mawar
dari rimbun kebun dalam dadanya. Tersisa hanya belukar. Dan
seekor ular
dengan moncong mencorong. Menampakkan lidah belah
seorang tekong.

 

Ibu Tidur di Beranda

Ibu tidur di beranda. Siaran radio meresap di kulitnya.
Sebelum tidur ia dengar suara pesawat melintas lambat.
Ia bayangkan putranya di dalam sana, hendak pulang.
Ia bayangkan hutan-hutan sawit melengkungkan punggung
remaja
yang potret masa kecilnya buram di dinding kamar.
Tunas tomat merekah tanah, sedikit di sebelah kanan rumah.
Tapi tak ada pekerjaan, cara menghabiskan usia
Di bawah langit yang sama semenjak sepasang pendosa
dibuang dari surga. Juga untuk menerima
bahwa para pembuat pepatah telah berdusta. Tak ada surga.
Tak ada tongkat. Dan batu-batu tak diangkat derajatnya.
Ibu tidur di beranda. Dalam tidurnya, ia saksikan perahu kayu
mengangkut penumpang gelap. Hanyut ke rawa-rawa berasap.
Sirine, sorot lampu, teriakan-teriakan dalam bahasa Melayu.
Ia bayangkan putranya diturunkan dari pesawat. Terbaring pucat
dalam peti yang engsel-engselnya mulai berkarat.

 

Puisi “Tekong,” “Ke Taiwan,” dan “Ibu Tidur di Beranda” merupakan rangkaian langsung yang memperlihatkan bagaimana sebagian masyarakat tekstual menyikapi tanah Bakarti: dengan meninggalkannya ke negeri seberang untuk mencari penghidupan yang dianggap lebih baik, meskipun kenyataannya kemudian tidak senantiasa seperti yang diharapkan, setidaknya bagi yang ditinggalkan yang kemudian membayangkan putranya diturunkan dari pesawat. Terbaring pucat / dalam peti yang engsel-engselnya mulai berkarat. Dalam skala yang lebih luas, hal yang dinyatakan oleh ketiga puisi ini adalah keniscayaan bagi segala sesuatu yang terjadi pada bagian keempat Rawi Tanah Bakarti: Bakar Padi di Bakarti.

 

Piring Terbang

Selain tampak pada keempat puisi yang telah diuraikan, kaitan langsung Tuhan Padi dan Rawi Tanah Bakarti juga tampak pada kedua puisi berikut ini.

 

Laporan Surat Kabar

tentang Penampakan Piring Terbang

di Atas Gang Pelacuran

mereka terbang miring seperti kehilangan orbit

kebetulan langit bersih dan kamera kami menangkap
serpih-serpih cahaya pipih yang mirip benih

sebagian kami mengira itu teluh yang tengah menempuh
perjalanan jauh untuk masuk ke dalam ruh

tapi yang lain bilang itu semacam bintang

bintang yang terbanting dari pusaran antariksa

para pakar menilai bakal ada seranai badai, ratu adil,
matinya seorang alim, tanda-tanda munculnya kaum kasim
mereka akan merujuk pada sekian petunjuk

laporan saksi mata yang merasa pernah disiksa

setelah diculik dan pulang dalam keadaan amnesia,
seperti para penghuni gang ini

sekumpulan alien, makhluk lain yang kerap dikutuk
tapi diam-diam diidam-idamkan
(2014)

 

Penggalian Luar Angkasa

 

setelah penggalian, bunyi-bunyi besi dipantulkan matahari
tahun-tahun menyusut seketika dan seketika pula mereka
menua
bagai telah melewati jembatan terpanjang sejak pertama
mereka datang
mereka kemudian berkata, apa yang kau sangka ada di balik
angkasa
adalah cermin yang kita di dunia adalah bayangannya
lalu mereka teringat tamsil orang alim
ada pernah berkunjung kaum yang dijunjung
mengendara piring terbang, terbang miring di udara
itulah moyang kita, pembuat peralatan dan perumus perang
setiap kali digali dan ditemukan kembali, mereka melihat
benda-benda yang mengapung di angkasa
serupa benda-benda di museum purbakala
yang mereka lihat berpendar
saat langit benar-benar bersih dan mata didenyarkan rasa sedih
adalah yang terlihat pudar di kamar-kemar bersih
saat mata pengunjung menatap dengan letih

 

Frasa terbang miring yang sama-sama mengacu pada piring terbang menjadi irisan kedua puisi ini. Yang pada “Penggalian Luar Angkasa” sekadar berupa tamsil orang alim, pada “Laporan Surat Kabar tentang Penampakan Piring Terbang di Atas Gang Pelacuran” menjelma benda yang teramati langsung oleh kamera kami. Bagaimanapun, seperti kaitan antara “Tuhan Padi” dan “Jarum Padi,” titimangsa pada akhir “Laporan Surat Kabar tentang Penampakan Piring Terbang di Atas Gang Pelacuran” dapat membalik keadaan: dari yang nyata menjadi yang sekadar tamsil, dari yang pernah dan benar-benar terjadi menjadi sekadar pengibaratan.

Kondisi yang demikian, harus saya akui, membuat saya mengalami kegamangan untuk sepenuhnya bertahan pada kronologi penerbitan buku sebagai dasar pembacaan. Kedua buku ini nyatanya memang tidak lagi dapat disikapi sebagai yang-lebih-awal dan yang-lebih-akhir, tetapi sebagai dua hal yang beririsan dan berdialog tentang isu yang sama. Puisi “Tuhan Padi” dapat diposisikan sebagai yang mengawali sebagian peristiwa pada bagian “Bakar Padi di Bakarti”, sekaligus sebagai muara “Bakar Padi di Bakarti”.

Lebih lanjut, saya pun tidak mengira bahwa frasa piring terbang justru menjadi penunjuk jalan yang mengantarkan menemukan rumah sekaligus Saturnus rangkaian kedua buku ini. Baik Rawi Tanah Bakarti maupun Tuhan Padi menghadirkan relasi penghuni dan pendatang yang terkait kekinian mereka hingga muncul semacam pemahaman bahwa yang satu tidak akan ada tanpa yang lain, seperti tergambar dalam apa yang kau sangka ada di balik / angkasa / adalah cermin yang kita di dunia adalah bayangannya (“Penggalian Luar Angkasa,” hlm. 34). Frasa piring terbang adalah pelerai yang menyatukan penghuni dan pendatang sekaligus penguat adanya siklus yang terus-menerus akibat adanya dialog yang terjalin antara hal-hal lama dan hal-hal baru yang pada bagian sebelumnya dihadirkan melalui uraian tentang kata-kata yang berjukstaposisi.

Adanya dialog hal-hal lama dan hal-hal baru yang demikian kemudian menemukan muara pada puisi pamungkas Tuhan Padi.

 

Kudabatu, Kudawaktu

 

mereka menemukannya, di kedalaman antara pasir dan tekanan air
seekor kuda beku dengan rongga mata menyala biru

berapa abad ia berkubur disitu, cuma waktu, makhluk bisu itu yang tahu
tapi waktu tak membuat tanda di tubuhnya, seakan ia tak tersentuh
seakan ada perjanjian telah dituliskan dengan cara paling diam
mereka membuat peta untuk mengangkatnya, menduga berapa tenaga
bakal terkuras agar impas pencarian ditebus harga dan harum-nama
kuda itu berasal dari kurun tak terhitung, tak dicatat kitab

riwayat mana saja yang pernah mereka baca; kudabatu, kuda tanpa waktu
maka sebuah sebutan selalu diperlukan bagi tiap penemuan

sebutan yang bila orang menyebutnya akan bisu seketika

lidah jadi batu dan tulang rahang kaku: rahang fosil yang mati menggigil
di gurun salju, di bukit berhantu tempat sering terdengar angin memanggil
mereka mengangkatnya, begitu ringan ternyata bagai boneka mainan

di permukaan, cahaya perak pagi hari menyiramnya, lantas mengisapnya pelahan
kuda itu kudabatu, batu yang menguap apabila ada yang melihat

mereka melihatnya habis di udara, tak menyisakan apa-apa
betapa sia-sia semuanya, saat mereka teringat hari itu akhir tahun
tahun yang baru datang mengendara kuda; kudawaktu, kuda yang bisu
(2014)

 

Dalam puisi ini, kuda—dengan isotopi fauna, hidup, gerak, kencang, lesat—dipertemukan bahkan disatukan dengan batu—dengan isotopi benda, mati, diam. Setiap cerita—atau katakanlah riwayat—mengurung sebuah atau jalinan peristiwa di dalam sebuah atau sejumlah ruang yang dirangkai oleh waktu. Selaras dengan hal ini, dapat ditarik pemahaman bahwa tidak ada riwayat yang ditulis—untuk kemudian dirawikan—tanpa adanya dan berlalunya waktu.

Pada titik ini, ada empat hal yang perlu dicatat sebagai hasil pembacaan atas Rawi Tanah Bakarti dan Tuhan Padi sebagai rangkaian sastra. Pertama, puisi pembuka Rawi Tanah Bakarti dan Tuhan Padi sama-sama kental dengan citra air untuk kemudian lambat laun bergerak menuju citra tanah pada puisi-puisi berikutnya. Kedua, kehadiran padi dalam beragam kadar pada kedua buku, mulai sekadar disebut, dibakar, hingga menjelma tuhan. Ketiga, kehadiran piring terbang yang mengusung citra siklus awal dan akhir yang terus berputar sekaligus membersitkan pertanyaan ihwal yang-diri dan yang-liyan, seperti pada bait seperti para penghuni gang ini / sekumpulan alien, makhluk lain yang kerap dikutuk / tapi diam-diam diidam-idamkan (hlm. 43). Keempat, alih-alih ruang, waktu adalah yang mengurung sekaligus menyatukan segala.

Keempat hal tersebut—sebagai rumah—mengarahkan pembacaan pada “ajakan untuk kembali (ke dan) merawikan tanah”—sebagai Saturnus—setelah berlama-lama terlalu mencemaskan sekaligus memusatkan perhatian pada laut(an) yang menjadi arah datang para pendatang dan segala yang dibawanya: benda-benda (baru), agama (baru), dan pengetahuan (baru). Hal ini didukung dengan kehadiran diksi gunung, pegunungan, orang gunung, anak bajang, dan anjing pada sejumlah puisi yang erat dengan isotopi tanah daripada isotopi laut.

 

Epilog

Ketika sebagian puisi yang lahir sezamannya menghadirkan relasi antarnamanusia dalam ruang-ruang internal dan beragam cara, puisi-puisi Kiki Sulistyo memperlihatkan eksplorasi yang khas dengan mengedepankan elemen alam. Narasi elemental ini tidak lantas terjebak dalam romantisasi merayakan yang sublim atau sekadar bernostalgia, melainkan menjadi wahana untuk membangun wacana ekokritik sekaligus dekolonial.

Dua kumpulan puisi ini juga menegaskan kembali betapa sejarah manusia dan alam adalah tergantung kepada siapa yang mengonstruksinya, yaitu yang merawikannya. Selepas konstruksi itu jadi, eksistensinya pun tidak kemudian serta-merta dapat terus terjamin karena sepenuhnya tergantung pada adakah yang mengusung dan menjunjungnya atau setidaknya mengingatnya. Jerih payah perawian pada suatu masa bisa saja menjadi hablur akibat lembar-lembar hikayat yang telanjur dilipat (hlm. 69) dan bahkan hampa akibat turunnya perintah untuk mengubur segenap rahasia penciptaan manusia (hlm. 16) oleh sebuah generasi.

 

Daftar Bacaan

Culler, Jonathan. 1975. Stucturalist Poetic. New York: Cornell University Press.

Fokkema, D. W. dan Elrud Kunne-Ibsch. 1998. Teori Sastra Abad Kedua Puluh, diterjemahkan oleh J. Praptadiharja dan Kepler Silaban. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Greimas, A. J. 1983. Structural Semantics: An Attempt at a Method, diterjemahkan oleh Ronald Schleifer. Lincoln: University of Nebraska Press.

Iser, Wolfgang. 1980. The Implied Reader. Baltimore & London: The Johns Hopkins University Press.

Jauss, Hans Robert. 1983. Toward An Aesthetic of Reception. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Luxemburg, Jan van, Mieke Bal, & Willem G. Weststeijn. 1991. Tentang Sastra, diterjemahkan oleh Akhadiati Ikram. Jakarta: Intermasa.

Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.

Segers, Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra, diterjemahkan oleh Suminto A. Sayuti. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.

Sulistyo, Kiki. 2018. Rawi Tanah Bakarti. Yogyakarta: Diva Press.

________. 2021. Tuhan Padi. Bantul & Mataram: Halaman Indonesia & Akarpohon.

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Todorov, Tzvetan. 1977. The Poetics of Prose. New York: Cornell University Press.

Esai13 Juli 2023

Bramantio


Bramantio. Membaca dan menulis fiksi, puisi, dan telaah sastra. Mengajar di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, Surabaya.