Afrizal Malna
Ledakan dalam Sejarah Puisi Indonesia

Ilustrasi: Jiwenk

Afrizal Malna adalah salah satu sosok penyair Indonesia yang penting. Muncul pada akhir 1970-an, puisi-puisi Afrizal mengusung surrealisme yang pekat dan  menimbulkan ledakan dalam sejarah puisi Indonesia. Afrizal membangun dunia puisi dengan bahasa yang gagap—cermin dari dunia komunikasi sosial yang kacau. Satuan-satuan terkecilnya, yang berupa kata maupun frasa, tampak berdesak-desakkan, seakan tidak berkaitan satu sama lain. Namun, jukstaposisi, bahkan repetisi dan paralelisme, atas semua itu menghasilkan arsitektur citraan yang kohesif dengan kerangka “kisah” yang kelam dan perih.

Puisi-puisi Afrizal serupa wabah. Pada masanya pernah muncul genre “puisi gaya Afrizal” atau “Afrizalian” dari penyair-penyair segenerasi dan sesudah Afrizal. Para penyair itu merayakan permainan dan jungkir-balik metafora dalam puisi Indonesia dan tersurung ke dalam kegelapan. Itulah mengapa dalam sebuah wawancara Sutardji Calzoum Bachri pernah menyebutkan fenomena “puisi gelap” yang jika ditelusuri akan berinduk pada puisi-puisi Afrizal. Setelah itu, muncul pula semacam polemik tentang puisi gelap. Gaya persajakan Afrizal bukan hanya bergaung dalam puisi, tetapi juga dalam teks-teks lain yang dihasilkannya. Yang terpenting: teks teater dan esai.

Redaksi tengara.id mewawancarai Afrizal Malna bukan hanya sebagai penyair yang punya gaya tertentu yang khas dan berpengaruh pada masanya, melainkan juga sebagai juru bicara penyair generasi 1990-an. Pada saat itu, Afrizal cukup kerap membicarakan buku-buku puisi yang terbit, baik karena ketertarikan pribadinya maupun karena pesanan, di Jakarta dan kota-kota lain. Bahkan, ia membahas tren atau fenomena puisi yang dianggapnya menarik, tetapi tidak mendapatkan pembahasan atau pembicaraan yang layak. Semua itu bersamaan dengan ketertarikannya menulis teks teater dan membicarakan teater-teater kontemporer yang telah memberikan warna baru pada teater modern di Indonesia. Berikut ini percakapan redaksi tengara.id dengan Afrizal Malna.

 

Memasuki Puisi Indonesia

Dari mana awalnya Afrizal Malna mengenal sastra, puisi khususnya, dan kesenian modern?

 

DEWI KHARISMA MICHELLIA

Kami ingin mendengar tanggapan Anda mengenai kritik terhadap puisi, periodisasi puisi, dan pandangan Anda yang khas sebagai penyair yang sudah terlibat sangat lama dengan puisi Indonesia, bagaimana Anda berkarya dengan puisi, dan lain sebagainya.

 

ZEN HAE

Karena ini menyangkut kehadiran Afrizal Malna dalam perpuisian Indonesia modern, mungkin kita perlu juga kembali, katakanlah, ke masa-masa misalnya, Anda pernah bercerita bahwa Anda mulai mengenal seni modern ketika sekolah di SMP 1 Cikini ya, melihat bagaimana orang-orang melakukan latihan teater atau pembacaan puisi di Taman Ismail Marzuki (TIM), karena hampir setiap hari Anda lewat depan TIM. Bagaimana Anda memulai perkenalan pertama pada puisi Indonesia modern?

 

AFRIZAL MALNA

Terima kasih. Mungkin aku mulai dari Senen kali, ya.

Ya. bagiku Senen itu sebuah ekosistem kecil atau mungkin juga ekosistem besar, di Senen ini aku bertemu dengan banyak hal—pengemis, pedagang, orang-orang dengan berbagai budaya, pelacur, pencopet. Terus ada film India, ada film Cina, ada film Barat, semua ada di bioskop Grand, terus ada Rex, terus ada kelompok Wayang Orang Adiluhung, Wayang Orang Bharata, ada Sandiwara Miss Tjitjih, ada toko buku Gunung Agung, ada toko-toko buku bekas di sekitarnya. Nah, di era itu, buku-buku bekas itu masih banyak, buku-buku berbahasa Belanda yang sampulnya tebal-tebal.

Keluargaku keluarga pedagang, ayahku seorang kepala tukang masak (koki) di restoran Padang, jadi aku tidak punya tradisi literasi, tapi ayahku—setiap kali sedang masak dia berdendang, mendendangkan lagu-lagu Minang, setelah waktunya jam istirahat, beberapa temannya akan mengiringi dengan saluang.

Lingkunganku begitu, dan aku pernah punya dua orang pembantu yang satu suku Jawa yang satu dari Sunda. Aku mendapatkan kultur Jawa dan Sunda dari pembantuku itu, pembantu Sunda mengajak aku menonton Sandiwara Miss Tjitjih, yang pembantu Jawa mengajak aku nonton Wayang Orang Bharata. Jadi, ekosistem itu cukup membentukku, dan ujung dari ekosistem itu adalah berdirinya TIM.

Soal sekolahku, sebenarnya bukan SMP 1, tapi SMP 6, karena waktu itu sekolah itu dibagi dua—sekolah pagi dan sekolah siang. Mereka yang sekolah di SMP 1 datang pagi, sementara murid SMP 6 datang siang. Tapi gedungnya sama, aku sekolah di situ karena ada tanteku guru Agama Islam. Jadi aku sekolah di situ diawasi juga oleh tanteku. Di sana, aku punya guru yang aneh, dia pengajar mata pelajaran Bernyanyi (kalau tidak salah). Dia yang melatih kami setiap diundang aubade ke Istana Negara. Jadi, kalau setiap perayaan 17 Agustusan, sekolah-sekolah di Jakarta itu ke Istana untuk bernyanyi aubade, seperti latihan vokal. Kami membawakan lagu-lagu kepahlawanan. Guru ini setiap kali ujian memainkan piano, jadi di tengah-tengah ujian suasana hening diiringi suara piano, ini mengubah sama sekali ruang sekolah itu. Untukku, momen itu kesannya sangat mendalam.

Soal TIM, aku keluar masuk mulai lihat pameran dan seterusnya, dan aku tidak punya pilihan apa pun. Kenapa tidak punya pilihan? Beda usia antara aku dan kakakku 11 tahun. Ketika aku lahir, ibuku berharap yang lahir, tuh, perempuan. Jadilah, aku dibesarkan lebih banyak di dalam dekapan ibuku. Ibuku mengajariku menyulam, masak kue, menata rumah. Jadi, aku suka dengan pekerjaan domestik sejak kecil, tapi juga suka dengan pertukangan dan suka menggambar. Tapi kakakku melarang keras setiap aku menggambar. Jadi kalau aku lagi menggambar dan kakakku datang, aku akan buang gambar itu ke mana pun agar tidak terlihat oleh kakakku karena dia galak sekali.

Kakakku berusaha membentuk masa depanku. Kakakku memasukkan aku ke macam-macam kursus: kursus mengetik, kursus bon A, bon B—ya kursus mengetik dengan sepuluh jari. Mengetik jari Itu seru banget, dan itu membuatku gampang diterima kerja. Dan aku tetap tidak punya pilihan, apakah menulis puisi atau tidak. Aku tidak punya pilihan. Tapi di SMA ada satu momen…

 

ZEN

Di SMA mana? SMA 5 Boedi Oetomo, alias SMA Boedoet, ya?

 

 

AFRIZAL

Iya, peristiwa masuk SMA itu juga aneh. Hari pertama aku masuk, peristiwa Malari meletus. Tahun 1974.

Jadi, aku masuk sekolah di tengah kobaran-kobaran api di antara mobil yang dibakar. Di SMA, aku pegang kegiatan majalah dinding. Waktu itu ada lomba majalah dinding, setiap tahun diselenggarakan untuk SMA-SMA di Jakarta. Jurinya Ajip Rosidi. Majalah dindingku selalu menang. Setiap menang, kami mendapat hadiah voucher belanja yang bisa ditukarkan dengan buku-buku terbitan Pustaka Jaya.

Aku ke Pustaka Jaya mencari sendiri buku-buku yang kusuka. Terus aku bawa buku-buku itu ke sekolah, karena yang membina aku saat itu wakil kepala sekolah, aku melaporkan judul-judul buku itu ke wakil kepala sekolah. Pustaka Jaya, waktu itu kantor redaksinya di Senen. Wakil kepala sekolahku bilang, “Buku-buku ini lebih berguna buat kamu, daripada buat sekolah, jadi kamu bawa pulang saja semua.” Jadi, buku-buku itu aku bawa pulang. Tahun berikutnya, begitu lagi. Jadi, bukuku mulai bertambah banyak dan itu membuatku mulai masuk ke dunia sastra.

 

Berada di dalam Puisi Indonesia

Bagaimana akhirnya Afrizal membentuk dirinya sebagai penyair dan menerbitkan buku Abad yang Berlari (1984)? Apakah semua pertumbuhan penyair saat itu bergantung kepada TIM?

 

ZEN

Waktu mengambil buku di Pustaka Jaya itu, buku puisi atau buku sastra apa yang Anda pilih?

 

 

AFRIZAL

Buku-buku terbitan Pustaka Jaya itu ada puisi dan novel. Terjemahan juga ada. Aku banyak mengambil buku-buku terjemahan puisi dan novel, terutama puisi-puisi dan novel Jepang. Ada puisi Belanda juga, aku lupa namanya. Di antara buku-buku puisi itu, ada buku puisi Sapardi Djoko Damono.

 

ZEN

Ada buku Sajak Ladang Jagung-nya Taufiq Ismail, ya?

 

AFRIZAL

Ya, Taufiq Ismail. Terus, Subagio Sastrowardoyo. Ya, generasi mereka. Itu yang membuat aku mulai berkenalan dengan puisi-puisi dan mulai membandingkan antara puisi yang kutulis dengan puisi mereka.

 

ZEN

Anda mulai menulis puisi sejak usia berapa?

 

AFRIZAL

Aku menulis puisi gara-gara di SMP itu ada tradisi siaran radio, ya. Nah, di radio itu kita sering berkirim puisi dengan kartu pos.

 

ZEN

Dan puisinya dibacakan pembawa acara radio?

 

AFRIZAL

Ya, ada kata-kata mutiara juga dibacakan. Dari situ aku mulai tertarik dengan puisi. Terutama juga karena aku belajar bahasa Indonesia dari SD sampai SMP, kok merasa tidak bisa menulis, ya?

Dengan puisi, aku merasa lebih bisa menulis. Dengan kata lain, aku melihat puisi sebagai cara mudah untuk menulis. Akhirnya, aku semakin dekat dengan puisi dan ketika aku mulai punya banyak buku-buku dari Pustaka Jaya itu, dan buku-bukunya terus bertambah, aku semakin suka menulis dan mulai membandingkan puisiku dengan puisi mereka yang kubaca karyanya.

 

ZEN

Tadi Anda sebut puisi itu membuat Anda merasa bisa menulis. Dorongannya apa? Apakah karena dalam puisi orang boleh bebas bikin  kata-kata jumpalitan atau ada sesuatu, semacam magisme yang menyedot Anda ke dalamnya?

 

AFRIZAL

Aku suka pertukangan, ya membikin kandang ayam dari kayu. Saat mulai punya buku, aku membikin rak buku sendiri. Nah, alat-alat itu, seperti gergaji, palu, paku yang membuatku terpesona. Alat-alat ini menjadi imaji-imaji dalam puisiku sebenarnya.

 

MARTIN

Berarti dari awal sudah seperti itu, ya? Diksi-diksi gergaji, paku, semuanya masuk ke dalam puisi sejak Anda menulis di bangku SMP.

 

AFRIZAL

Sudah mulai masuk, tapi pengaruh penyair-penyair sebelumnya masih sangat besar, sampai kemudian tahun 1983 aku mulai menerbitkan puisi.

 

ZEN

Ini buku puisi Abad yang Berlari, ya, atau ada yang lain?

 

AFRIZAL

Di Abad yang Berlari, di situ sudah ada palu, sudah ada tombak. Kalau tidak salah, ada gergaji juga. Tapi aku menganggap itu bukan puisiku setelah terbit. Setelah terbit, dia berjarak dariku. Wah, ini bukan puisiku. Ini puisi Indonesia. Dan untuk keluar dari puisi Indonesia, aku merasa itu tidak mudah. Salah satu caranya untuk bisa keluar, aku membuat buku kumpulan esai Sesuatu Indonesia.

Prosesnya cukup panjang. Jadi, aku studi apa itu puisi. Sebenarnya untuk bisa keluar, pergaulanku pun bermacam-macam. Aku aktif juga di Sanggar Senen. Di gelanggang di Senen itu, aku ikut teater, ikut kegiatan seni lukis juga.

 

ZEN

Kelompok teater siapa yang Anda ikuti saat itu?

 

AFRIZAL

Di SMA aku sudah berkenalan dengan dunia teater.

 

ZEN

Yang di Planet Senen, kelompok teater apa?

 

AFRIZAL

Ada Teater Kertas, ada teater di SMA 5, Teater Sima (singkatan SMA 5—kalau tidak salah), atau semacamnya. Kegiatan teater dan lukis itu yang membantuku untuk menulis seperti yang aku ingin.

Tradisi kita melukis waktu itu selalu dilakukan di tempat terbuka. Misalnya di Lapangan Banteng, di Ancol, di Gereja Katedral. Kami langsung bergesekan dengan objek yang kami lukis. Saat itu, aku merasa bahasa itu terlalu jauh dari tubuhku, dan aku mulai mencari hubungan antara tubuh dan bahasa. Kira-kira seperti begitu.

 

MARTIN

Tadi Anda sempat bilang bahwa Anda kali pertama menulis puisi kemudian mempublikasikan itu, periode yang dekat sekali dengan ekosistem TIM waktu itu. Sewaktu masih SMA Anda sudah berulang kali datang ke sana, menonton pameran dan seni pertunjukan. Bisa diceritakan, apa pertunjukan yang Anda tonton saat itu? Atau, mungkin pembacaan puisi atau diskusi puisi, yang kemudian masih terkenang sampai sekarang?

 

AFRIZAL

Ya, banyak. Banyak peristiwa yang sangat berpengaruh ke aku. Pertama kali aku ikut pertunjukan teater di SMA, naskah yang dipentaskan adalah naskah Putu Wijaya. Naskah “Anu”. Sutradaranya memasukkan semua sampah ke atas panggung. Bermacam-macam sampah. Aku berpikir, “Wah, bisa begini, ya, teater.” Naskah teater bisa begini, aku tidak tahu naskah teater bisa ajaib begitu.

Nah, di era itu banyak pertunjukan yang bagus. Putu masih mementaskan karya-karyanya, yang sangat luar biasa. Sardono W. Kusumo mementaskan karyanya juga. Waktu itu pusat-pusat kebudayaan terutama Jerman, Prancis dan Jepang aktif mengirim grup-grup pentas dari negara mereka untuk tampil di TIM. Setelah Perang Dingin berakhir, kegiatan ini mulai tidak begitu aktif lagi.

Jadi sangat berpengaruh juga, sih, awal-awal itu, aku menonton pameran Gerakan Seni Rupa Baru. Terus ada juga pameran Puisi Konkret. Dalam pameran ini ada karya Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul Luka. Karya ini kuat sekali membentuk perspektifku dalam melihat karya seni.

 

MARTIN

Dan itu ada dampaknya terhadap karya-karya awal Anda, dalam Abad yang Berlari, pengalaman itu kemudian yang ditransformasi menjadi puisi-puisi dalam buku perdana Anda ini. Tapi kan tadi Anda juga menyampaikan bahwa itu terasa seperti bukan puisi Anda sendiri, tapi terasa kayak puisi Indonesia. Padahal, sebetulnya mungkin itu bagian dari interaksi dengan eksperimen terbaru dalam dunia kesenian di sekitar TIM pada masa itu. Bagaimana Anda melihat ini?

 

AFRIZAL

Mungkin itu yang aku maksud itu bukan puisiku. Di Abad yang Berlari, aku masih patuh menggunakan puisi sebagai apa yang umumnya digunakan orang. Yang tidak aku mengerti adalah mengapa teman-temanku mau menerbitkan puisi itu? Jadi, waktu itu aku sudah mulai kuliah di STF Driyarkara. Beberapa teman STF, seperti Oscar, lalu Roy Tjong, Willem Pattiradjawane, dan kawan-kawan lain tiba-tiba mengumpulkan duit buat menerbitkan buku puisi itu, dengan Lembaga Altermed sebagai penerbitnya. Ada Saut Sitompul, Boedi S. Otong yang suka membacakan puisi-puisi ini, terutama puisi “Dada”. Ke mana-mana Saut membaca puisi “Dada”, di dalam bis kota, ke Bandung, ke kota-kota lain. Ha, ha, ha. Jadi, puisi itu terbit bukan karena aku mau, tapi karena kerja keras teman-teman.

 

ZEN

Soal pengaruh, tadi Anda menyebut Sutardji, ada juga Danarto, ya. Saya sempat ingat puisi yang pertama itu, Orang-orang Punya Tombak, di majalah Horison tahun 1979 itu, menurut saya dekat sekali hubungannya dengan puisi Sutardji yang O, Amuk Kapak. Kurang lebih imajinasi tombak dengan kapak itu sebagai representasi dari dunia benda-benda yang bermain pada puisi Indonesia modern saat itu. Tapi, kenapa kurang terlihat pengaruh puisi liris, katakanlah, dari puisi Goenawan Mohamad atau Sapardi, ya? Lebih banyak pengaruh Sutardji atau Danarto yang tidak liris.

 

AFRIZAL

Karena hidup di Jakarta enggak liris banget, ya. Banyak sekali patahan hidup di Jakarta.

 

MARTIN

Anda bergaul di TIM, lalu masuk kuliah ke STF, kemudian buku pertama Anda itu diterbitkan, Abad yang Berlari. Tapi, kalau enggak salah, Anda juga sempat berkecimpung—atau bukan berkecimpung, ya—studi Akuntansi. Itu sebelum atau sesudah kerja di perusahaan ekspedisi?

 

AFRIZAL

Ya, bekerja—aku bekerja biasanya cuma tiga bulan, terus keluar. Misalnya, kalau aku melihat direkturnya lagi maki-maki seorang bawahan, besoknya aku keluar dari perusahaan itu. Aku pernah kerja di perusahaan kontraktor, di Angkutan Kapal Laut Jakarta Loyd, di Asuransi. Semuanya itu terjadi, karena aku memiliki ijazah Tata Buku Bond A dan B yang waktu itu sangat mudah diterima untuk urusan pekerjaan Akuntansi.

 

MARTIN

Apa pengalaman itu ikut berpengaruh dalam karya Anda, terhadap apa yang Anda tulis dalam puisi-puisi pada masa itu? Anda mendalami Akuntansi, hal-hal yang sangat-sangat berkaitan dengan hitung-hitungan, pembukuan dan lain sebagainya, apakah hal-hal itu berpengaruh terhadap praktik puisi Anda di masa-masa awal? Kalau misalnya kita bandingkan dengan puisi-puisi sekarang, orang dari latar belakang Akuntansi, seperti Norman Erikson Pasaribu, dia memasukkan tabel rugi laba ke dalam puisi. Sementara, Anda pada masa itu enggak terlalu banyak mengangkut dari diksi-diksi dunia akuntansi dan pembukuan itu, ya?

 

AFRIZAL

Ya, waktu itu aku tidak bisa seberani itu.

Tapi, kemudian keputusanku untuk hidup dari menulis dan kesenian itu betul-betul adalah pengaruh dari pengalaman kerja di bidang Akuntansi. Jadi, aku menghitung jam kerjaku. Jam kerjaku lebih banyak di mana—di kesenian atau di kantor? Setelah aku lihat-lihat, jam kerjaku jauh lebih banyak di kesenian. Akhirnya, aku putuskan aku keluar selamanya dari pekerjaan Akuntansi itu. Sepenuhnya aku memilih kesenian. Tapi, yang berpengaruh membuatku merasa berani, aku masukkan ke dalam puisi mungkin awalnya dari pengaruh teater kali, ya. Jadi, di teater aku merasa punya kebebasan untuk memasukkan apa pun ke dalam naskah. Termasuk, memasukkan data-data.

 

ZEN

Itu apa? Dalam pentas teater SAE Ekstase Kematian Orang-orang? Tahun 1983 itu, ya?

 

AFRIZAL

Ya, betul, yang pertama bukan Kematian Orang-orang, sih. Tapi apa betul itu, ya? Ada kesunyian, konstruksi kesunyian.

 

ZEN

Bukan Konstruksi Keterasingan?

 

AFRIZAL

Eh, Konstruksi Keterasingan. Latar belakangnya adalah perkembangan teknologi.

 

MARTIN

Saat buku puisi Abad yang Berlari itu terbit, dan setelah itu, timbul reaksi yang lumayan, ada perdebatan yang kemudian muncul kan diskusi, misalnya tuduhan atau anggapan Sutardji di satu artikel koran tentang maraknya puisi gelap sebagai benang merah penyair-penyair baru. Termasuk, di dalam artikel itu, dia menyebut Anda. Menurut Anda, apa memang waktu itu Anda seperti itukah? Seperti apa konstruksi puisi Anda sehingga dianggap sebagai puisi gelap dan seterusnya? Bisa diceritakan tentang itu? Bagaimana resepsi publik tentang puisi-puisi Anda saat itu?

 

AFRIZAL

Kita bicara soal sebuah era lain 1990-an, di mana Orde Baru membawa industri semakin maju, dan produk-produk industri masuk ke ruang tamu kita, masuk ke kamar tidur kita. Mungkin perubahan ini yang tidak terlalu dimengerti oleh generasi terdahulu, karena ketika aku berkenalan dengan H.B. Jassin, waktu itu dia menonton pertunjukan Teater Sae dan dia mengejar-ngejar aku. Dia memanggil aku, “Malna!” Dengan tergopoh-gopoh, dia mengejar-ngejar aku dari belakang sambil terus manggil-manggil. Kemudian dia berkomentar, “Saya suka puisi-puisi kamu. Tapi, saya tidak mengerti.”

Aku heran juga, dia redaktur Horison, tapi tidak mengerti puisiku. Dia bilang dia suka, tapi dia tidak mengert. Tapi, yang menarik dari pernyataan dia adalah bahwa, “Mungkin aku harus mempelajari Karl Marx, untuk mengerti puisimu.” Aku heran juga, kok, pernyataannya begitu. Ha, ha, ha.

Terus, aku ketemu A. Teeuw di Den Haag. Dia kuratorku.

 

MARTIN

Itu sudah di periode 1990-an, ya.

 

AFRIZAL

Iya, era 90-an. Teeuw juga bilang begitu, “Aku suka puisimu, tapi aku tidak mengerti.” Dan, anehnya, dia yang mengkurasi karyaku untuk diundang ke International Poetry Rotterdam.

A. Teeuw bilang begitu, dan itu pengalaman pertama aku di Eropa. Setelah aku baca puisiku di sana, reaksi publiknya berbeda sekali dengan di Indonesia. Ada seorang ibu-ibu yang memelukku, sambil menangis. Terus, pernah di suatu acara makan malam, penyair-penyair lagi makan di lantai bawah, dan aku memandangi mereka dari lantai atas. Lantai dua. Ada seorang penyair Amerika berteriak ke arah lantaiku, “Afrizal, aku mendengar puisimu dengan seribu telinga.” Dia bilang begitu. Jadi, reaksi di Indonesia dengan reaksi di luar itu terasa berbeda banget. Aku heran, kenapa untuk pembaca yang bukan berbahasa Indonesia, mereka tidak ada masalah dengan puisiku, sementara di Indonesia, puisi itu dianggap gelap. Sampai sekarang, di beberapa festival puisi di Eropa, suasananya masih begitu. Bahkan, ada seorang dari Wina yang memperkenalkan dirinya ke aku, dan dia bilang, “Aku sudah mengikuti pembacaan puisimu di tiga kota.”

 

MARTIN

Siapa orang dari Wina ini? Pengamat sastra?

 

AFRIZAL

Aku kurang tahu dia siapa. Artinya, dia suka dengan aku, dan dia suka dengan karyaku. Dia mengikuti aku ke mana pun aku baca karya. Baru di kesempatan ketiga, dia memperkenalkan diri, dan bilang bahwa dia suka karya-karyaku. Bahkan, dia membeli bukuku secara daring, Yang Berdiam dalam Mikrofon, walaupun dia tidak mengerti bahasa Indonesia.

Itu lucu sekali. Di luar negeri itu, kalau mereka suka, mereka mengundang kita makan malam. Aku tidak punya gambaran bagaimana mereka memahami puisi gelap, tapi aku pikir, karena ada kultur yang berbeda, yang membuat seperti ada lapisan yang tidak bisa mereka masuki.

 

ZEN

Tapi, sebenarnya, puisi gelap, kan, kalau kita baca tulisannya Sutardji pada 1994 itu bukan dalam nada yang negatif, ya. Maksud dari tulisan itu bahwa, puisi gelap adalah puisi yang sulit dimengerti; karena alusinya orang tidak bisa menduga ini alusinya ke mana. Jadi, dalam arti itu, bukan suatu klaim yang menganggap bahwa puisi gelap berarti sama dengan buruk. Tapi, kenapa itu kemudian kesannya negatif, ya, sekarang?

 

AFRIZAL

Tidak tahu juga, ya, karena semua puisi juga samar-samar.

Yang membuat jadi terang, ya, puisi gelap mungkin bagaimana dia didefinisikan lebih jelas; ditujukan ke puisi-puisi Amir Hamzah, ya, Karena Amir Hamzah menggunakan diksi-diksi yang sudah tidak umum. Semacam diksi-diksi Melayu yang dalam bahasa Indonesia sudah tidak eksis, jadi ketika dia ditempatkan ke era sekarang, itu justru jadi menambah beban ke puisi itu. Menambah beban bagaimana puisi itu berkomunikasi dengan pembacanya hari ini.

 

ZEN

Kalau dalam puisinya Amir Hamzah, setidaknya apa yang dikatakan Chairil bahwa puisi itu ada alusi kepada kata-kata klasik, kata-kata arkaik, yang tidak digunakan sama sekali di antara orang Indonesia tahun 1940-an, misalnya.

Tetapi, dalam puisi Anda, menurut saya, situasinya berbeda. Karena puisi Anda bukan puisi yang menggunakan kata-kata arkaik atau kata-kata kuno dari kitab-kitab filsafat klasik, kan? Tapi, kan, Anda menggunakan bahasa sehari-hari yang, di antaranya, ada botol Coca-Cola, ada apa pun, tomat segala rupa.

Ini terkesan yang Anda lakukan lebih pada pola permainan? Citraan atau segi semantik puisi yang harus berkali-kali diurai, sampai orang menemukan maksudnya. Bukan untuk paham, melainkan menikmati suasana puisi itu.

Menurut saya, agak “gelap” itu berbeda dengan apa yang dikatakan Chairil pada puisinya Amir Hamzah.

 

MARTIN

Kalau enggak salah juga Ignas Kleden bicara sesuatu tentang itu. Bisa diceritakan sedikit tentang itu? Karena saya sempat mencari referensi tentang bagaimana dia memperdebatkan mengenai puisi gelap dan seterusnya. Belum ketemu sampai sekarang. Mungkin dimuat di Kompas, ya? Dari sudut pandang Anda sendiri bagaimana itu? Tolong ceritakan tentang resepsi Ignas pada masa itu.

 

AFRIZAL

Sebenarnya Ignas seprtinya tidak pernah mempersoalkan puisi gelap, ya. Setahuku, polemik aku dan Ignas itu lebih ke cerpen.

Jadi, kalau tidak salah, waktu itu Kompas menerbitkan cerpen-cerpen pilihan mereka, dan pengantarnya Ignas—entah pengantar atau reaksi—ya, reaksi Ignas itu dimunculkan di Kompas.

Ignas memaksakan satu definisi tentang apa itu cerpen, di antaranya cerpen itu harus mengandung banyak peristiwa daripada berita, sementara generasi saat itu lebih banyak menuliskan cerita yang mengandung berita daripada peristiwa. Nah, di sana aku melawan cara Ignas mendefinisikan cerpen. Aku lupa dia berangkat dari teori siapa tentang definisi cerpen kayak begitu.

 

MARTIN

Seingat saya, judulnya itu “Perdebatan Fakta dan Fiksi…”

 

AFRIZAL

Ya, sepertinya itu judulnya. Dia seorang akademisi yang kejam. Aku ingat, dia bereaksi, dan dia bereaksi kembali dengan cara yang menurutku saat ini, ya, sangat keras, dan itu membuat aku cukup trauma untuk melakukan polemik.

 

Juru Bicara bagi Generasinya

Bagaimana kemudian Afrizal menjadi juru bicara para penyair yang tidak dibicarakan? Karena tidak ada lagi kritikus sastra seperti Jassin dan Teeuw? Atau gaya kritik orang-orang tua itu tidak cocok lagi dengan puisi-puisi penyair generasi saat itu?

 

ZEN

Dalam konteks ini, kan, sebetulnya juga bisa dibaca secara lain, ya. Bahwa generasi Afrizal atau generasi para penyair yang muncul pada 1980-an akhir itu, kan, tidak punya juru bicara, ya. Jadi mereka seperti diekskomunikasi dari generasi sebelumnya yang tidak paham. Jassin, kan, memang mengaku tidak paham, tapi tidak mengekskomunikasi. Sementara Ignas, tindakannya lebih mengarah pada ekskomunikasi ilmiah. Menghantam.

Bisa dijelaskan kenapa generasi Afrizal saat itu seperti tidak punya juru bicara? Tidak punya pembela, katakanlah.

 

AFRIZAL

Tidak tahu juga, ya, kenapa generasi saat itu tidak punya. Generasi sekarang lebih tidak punya juru bicara lagi.

 

ZEN

Iya, betul.

 

AFRIZAL

Aku merasa memang aku berbicara waktu itu untuk teman-teman generasiku.

 

MICHELLIA

Tapi justru oleh generasi sekarang Anda dilihat sebagai juru bicara generasi Anda. Dari pembicaraan kita ini, kesannya memang generasi Anda saat itu seakan-akan tidak punya juru bicara untuk bicara dengan generasi sebelumnya. Tapi, oleh generasi sekarang, justru Anda semacam tonggak periode itu, yang menjadi juru bicara generasi Anda.

 

AFRIZAL

Iya betul, ya, mungkin ya begitu.

 

MICHELLIA

Tapi ketika tadi Anda bilang tentang puisi konkret, saya sebenarnya tertarik mengkaitkan puisi Anda yang lain, seperti Berlin Proposal, sudah benar-benar bermain-main dengan teks dan bentuk. Dalam Arsitektur Hujan juga begitu. Kalau di Berlin Proposal, kan, misalnya kelihatan bagaimana puisi konkret itu tidak cuma seperti yang dilakukan Oh, Amuk Kapal-nya Sutardji. Dalam buku itu, Anda juga bermain dengan HTML, bermain dengan wujud cermin. Mungkin bahkan bermain dengan seni konseptual, seni grafis.

Apakah Anda terpapar soal seni grafis dalam puisi ini sejak mula, karena Anda tertarik melukis?

 

AFRIZAL

Permainan dengan grafis, sih, gara-gara ketertarikan dengan komputer waktu itu. Jadi, ketika aku mengubah kebiasaan menggunakan mesin tik ke komputer, perubahan itu terjadi untukku. Parah. Cukup lama aku tidak bisa menulis, membeku saja di depan komputer.

Bagaimana, ya? Itu pertama kali aku menulis dengan cahaya, ya—cahaya begitu terang. Kebetulan waktu itu ada aplikasi dari CorelDraw, jadi aku main-main dengan paint, main-main dengan aplikasi-aplikasi grafis. Nah, mulai main-main di situ, main-main kolase, itu membuat aku mulai bisa menulis.

Lewat main-main itu, lalu menjadi bahan-bahan baru. Setelah itu, eranya kemudian didukung adanya mesin fotokopi, adanya mesin printer yang murah, sementara dulu masih pakai stensilan. Terus, mulai ada telepon murah, terus kamera juga mulai murah, aku mulai pakai kamera video, mulai mengedit sendiri, lama-lama aku mulai berpikir, kenapa puisi mesti dengan kata-kata yang eksklusif begitu? Di dalam dunia puisi, kenapa materi lain tidak boleh masuk ke dalam puisi?

Di situ aku mulai pelan-pelan memasukkan materi-materi nonkata ke dalam puisi. Di samping pengalaman di Eropa, ada sejumlah pameran, beragam, aku merasa dunia seni rupa sangat provokatif. Dan kebetulan ketika di Berlin, aku berkenalan dengan karya-karyanya Herta Müller. Herta Müller ini, kan, dari Armenia, kalau tidak salah, dia migrasi ke Berlin karena meninggalkan trauma keluarganya. Dia trauma juga dengan bahasa, untuk keluar dari trauma itu, dia menggunting setiap kata-kata dari majalah, dari koran, jadi seolah-olah kata-kata itu datang dari luar, bukan dari dalam. Nah, itu cara dia keluar dari trauma. Dari situ, dia menulis puisi, kata-kata itu ditempel. Kemudian, dia terbitkan. Otomatis puisinya jadi visual, ya. Kadang-kadang ilustrasi ikut masuk juga.

 

MICHELLIA

Jadi bahkan jauh sebelum Berlin Proposal, ya. Anda di TIM mestinya dekat dengan banyak perupa, dan kegiatan-kegiatan seni rupa, juga seni konseptual—lebih kayak seperti karya Bunga Jeruk, dia bikin lukisan yang terus didampingi dengan keramik. Anda bikin puisi juga selalu ada performance yang khusus membarengi.

Seperti salah satu pembacaan puisi Anda, “Mesin Heidegger”, ada performance yang mendampingi karya puisi itu. Apa itu terpengaruh dari pertemanan dengan seniman lintas seni dan lintas disiplin? Dan itu sejak kapan bermulanya—apakah saat di TIM dulu itu? Bagaimana pergaulan Anda sewaktu di TIM dulu?

 

AFRIZAL

Kalau mulai performance, aku mulai justru di Eropa. Selama di Eropa itu, aku ditangani oleh Kurator dari DAAD yang mengundang aku. Seperti industri begitu, setiap yang diundang oleh kurator itu. Dia berfungsi sebagai moderatorku, jadi pertanyaannya, jawabannya, dan puisi yang dibaca juga sama. Terus, karena bosan, aku menggunakan performance. Ternyata mereka suka. Jadi itu awal-awal aku mulai menggunakan performance di dalam puisi.

 

MICHELLIA

Periode tahun berapa itu?

 

AFRIZAL

Tahun-tahun 2014-2015.

 

MICHELLIA

Oh, baru-baru saja, ya.

 

AFRIZAL

Iya, baru-baru saja.

 

Afrizalian, Model Puisi Gaya Afrizal

Bagaimana Afrizal mengembangkan model “puisi gaya Afrizal” yang saat itu banyak ditiru oleh penyair-penyair lain? Apa sebenarnya hakikat puisi “gaya Afrizal” itu?

 

ZEN

Saya mau kita kembali sedikit ke masa-masa awal, ya—yang tadi sempat disinggung, di dalam Abad yang Berlari itu, kan, memang ada upaya untuk memasukkan benda-benda nonsastra ke dalam puisi. Itu sudah mulai kelihatan, ya, atau dalam “Mikrofon yang Pecah” dalam buku Yang Berdiam dalam Mikrofon, tadi sudah disebut, benda-benda sehari-hari masuk ke dalam puisi.

Kemudian, apakah pada saat itu—saya, sih, terpikir itu pengaruh bukan hanya dari puisi konkret, pasti juga karena teater, ya—korespondensi benda-benda di atas panggung itu kan jukstaposisi—kalau dalam puisi itu, kurang-lebih tidak berkaitan satu sama lain, karena ada dimensi ruang dalam teater. Nah, dalam puisi juga berlaku itu tadi, benda-benda itu dimasukkan ke dalam bahasa, sehingga dia menjadi segar karena pada saat itu menurut saya memang tidak ada puisi yang mengolah kecenderungan itu tadi.

Kenapa Anda menempuh jalan mempermainkan benda-benda atau memasukkan benda-benda nonsastra ke dalam puisi?

 

AFRIZAL

Waktu itu pacarku memberi aku sebuah kalung. Dia baru pulang dari Bangkok, kalung itu cukup besar, dan aku pakai kalung itu. Ketika kalung itu aku pakai, aku merasa kalung itu memberikan identitas lain, dan aku merasa, “Oh, ternyata identitas itu bergerak, ya.” Identitas itu tidak tunggal. Identitas itu bukan sebuah pembekuan. Nah, untukku, pemikiran ini membantuku untuk keluar dari persoalan generasiku.

Generasi di atasku, Arifin C. Noer dan seterusnya, termasuk Sutardji itu, mereka semua berbicara tentang kembali ke tradisi. Pada era itu, aku merasa aku tidak punya tradisi yang membentukku. Aku ada di Jakarta, di satu wilayah budaya yang bisa dikatakan anomali.

Pengalaman benda-benda itu ikut membentuk identitas itu, mengubahku, membuat identitas itu bergerak terus. Di samping waktu itu aku dekat dengan Marianne Koenig, dia seorang antropolog teater yang menganggap mataku itu mata yang lebih antropologis daripada dia. Kami sering mengobrol dan dia berpendapat, “Menurutku pikiranmu itu seperti gambar.” Obrolan ini jadi bahan baru atau jadi metode baru untuk aku menulis puisi.

 

ZEN

Artinya setelah mendapat penguatan dari seorang peneliti, ya, momen itu menjadi bahan selanjutnya untuk puisi misalnya Kalung dari Teman atau Arsitektur Hujan?

 

AFRIZAL

Tapi juga ada pengaruh Roedjito, mungkin.

Roedjito—ya, Roedjito penata artistik di Teater SAE. Dia penata artistik juga di banyak teater penting di Jakarta. Hampir semuanya dia yang tangani, termasuk tari. Roedjito ini punya pandangan yang mistik atau metafisis tentang ruang.

Dia mengejar kunci rahasia ruang. Kuncinya ada di mana? Dan, baginya, seseorang yang tampil di panggung, dia harus menemukan kunci itu. Yang dimaksud kunci ini adalah ruang itu, bukan membentuk tempat pertunjukan, tapi membentuk arah ke pertunjukan. Jadi, cara berpikir dia mungkin ikut membantuku untuk mulai mengkomposisikan benda-benda itu. Roedjito sendiri di Teater SAE hampir tidak menggunakan artistik apa pun. Di panggung, hanya ada panggung-panggung kosong, benda-benda itu semuanya adalah benda-benda yang dibawa oleh aktor, kemudian hilang lagi, begitu.

 

ZEN

Nah, peran Roedjito di situ apa sebagai skenografer? Menentukan benda-benda yang harus masuk, atau apa?

 

AFRIZAL

Tidak. Itu peran Boedi S. Otong selaku sutradara. Entah, bagaimana, ya. Mungkin ini juga yang membuat aku cocok sama Budi. Jadi, Budi ini—untuk menghadapi teks-teksku, dia mengubah benda-benda, mengubah teks itu menjadi benda-benda yang ada dalam teks. Jadi, benda-benda itu menjadi latihan dasar teman-teman Teater SAE sebelum teks ditubuhkan.

Jadi, mereka bergaul dulu dengan benda-benda itu, kemudian Roedjito akan semakin intensif di latihan itu, menjelang mungkin ketika latihan itu sudah 60% jadi atau 70% jadi, dia mulai masuk dan seperti menciptakan bagaimana benda-benda itu bisa menciptakan gemanya sendiri.

 

ZEN

Soal ini, soal duet, katakanlah Anda dengan Boedi S. Otong ini pada masa itu sangat khas, ya. Hampir semua pertunjukan Teater SAE dibikin dengan teks oleh Afrizal Malna, bahkan sampai hampir mau bubar tahun 1990-an akhir itu. Kecocokan semacam itu sebetulnya apakah karena Boedi S. Otong pandai menafsir teks Anda atau memang karena sama-sama punya perspektif atau pandangan ingin menciptakan, katakanlah, teater atau puisi yang baru dan berbeda dari teater sebelumnya atau puisi sebelumnya?

 

AFRIZAL

Ya, setahuku Boedi itu berusaha menciptakan sebuah dunia yang lain kali, ya. Sebenarnya jauh lebih rumit. Sampai sekarang kami masih berteman karena kami masih saling berkomentar. Kami sendiri tidak mengerti apa-apa yang kami bikin tempo hari.

Tapi, kan, yang hebat dari Teater SAE adalah setiap sehabis pertunjukan kita bikin diskusi. Jadi ada diskusi, kita juga rajin bikin diskusi untuk jadi bahan-bahan pengembangan wacana.

 

ZEN

Kalau di Teater SAE itu, selain Anda, siapa lagi yang membentuk konstruksi wacana dalam teater itu?

 

AFRIZAL

Otaknya Teater SAE itu Boedi.

Sebenarnya Boedi itu cerdas, dan dia punya metode yang unik. Misalnya, dia mulai produksi, latihan. Dia pagi-pagi sudah jalan ke TIM. Waktu itu DKJ itu langganan seluruh koran Indonesia, dan dia baca koran-koran itu, terus dia akan memilih tema-tema tertentu. Tema-tema itu dia diskusikan di warung-warung di TIM. Kadang-kadang, berita-berita tertentu bisa masuk ke dalam pertunjukan.

Yang menarik adalah bagaimana dia menjahit berita-berita itu, jadi teks. Teksku sebenarnya teks orang buta, ya. Jadi, buatku, naskahku tidak bisa dipentaskan oleh kelompok lain selain Teater SAE. Aku bisa mengerti, karena memang teks-teks itu seperti tidak ada tongkat, tidak ada petunjuk arahnya.

 

ZEN

Kalau soal memasukkan teks-teks mutakhir ke dalam panggung itu, Teater Garasi sejalan, tuh. Apa itu ada pengaruh dari Teater SAE sebelumnya, ya?

 

AFRIZAL

Tidak tahu juga, ya…

 

MARTIN

Beberapa saat setelah diskusi tentang puisi gelap, juga ada tuduhan atau anggapan tentang para penyair muda yang kemudian gayanya dianggap mengikuti Anda.

Kemudian oleh Faruk H.T. mereka itu disebut sebagai Afrizalian. Kategori Afrizalian itu, kan, kategori yang kemudian sering Anda kritik juga, karena itu seperti menutup ruang eksperimentasi generasi baru dan seterusnya. Bisa berbagi pandangan Anda soal ini?

 

AFRIZAL

Aku dibentuk oleh dua kubu yang membuatku tidak punya pintu.

Kubu pertama adalah humanisme universal, kubu kedua adalah sastra sosialis. Seolah-olah dunia sastra itu hanya ada di dua kubu itu, atau di dua kutub itu. Dan itu untukku sesuatu yang cukup mencekam. Apakah tidak ada wilayah lain?

Ketika orang-orang mulai membicarakan akar tradisi, seperti satu jeda untuk keluar dari dua kubu itu. Tapi akar tradisi juga aku tidak punya, dan pengalaman hidupku ketika aku keluar-masuk kantor, sampai akhirnya kakakku putus asa, terus dia bilang, “Terserahlah, Kamu urus sendiri masa depanmu.” Untukku, itu sebuah pembebasan.

Pembebasan ini yang aku ambil, yang pengaruhnya cukup penting untukku berkarya. Akhirnya, aku memutuskan atau memberi sebuah garis tebal bahwa aku adalah generasi yang hilang. Estetikaku adalah ruang darurat. Estetikaku bergerak di mobil ambulans. Nah, aku ceritakan ini ke Boedi, dan dia tampaknya suka. Itu jadi seperti titik tolak. “Kita kayak generasi yang hilang,” kataku. Itu membuatku bisa bebas dari cengkeraman kubu-kubu itu.

Terus, ketika muncul Istilah Afrizalian, awalnya aku merasa, “Wah, ini apa, ya? Apakah aku sehebat itu?” Aku merasa, “Masak begitu, sih?” Ya, terus lama-lama aku berpikir, apakah ini politik juga? Politik untuk generasi sekarang—mereka tidak mengambil dirinya sendiri dalam berkarya? Tapi, sampai sekarang, ke perkembangan sekarang, aku merasa sepertinya itu politik juga, istilah Afrizalian, karena setelah itu puisi-puisiku jadi terasa seperti momok buatku.

 

ZEN

Soal generasi yang tidak mengambil dirinya sendiri itu—apa artinya mereka jadi epigon? Dalam hal ini, epigon generasi sebelumnya?

 

AFRIZAL

Misalnya, dalam beberapa diskusi di Jawa Timur, generasi sekarang itu, mereka takut berkarya. Ini karena sama generasi di atas mereka, karya mereka dibilang, “Ini bukan puisi, ini bukan teater.” Seperti begitu. Jadi kelihatannya perubahan generasi itu tidak terlalu berpengaruh pada cara kita memandang persoalan.

 

PKI Malam: Kritik terhadap Sastrawan Sezaman

Afrizal mengaku enggan terlibat dalam salah satu kubu sastra yang sedang berseteru, karena ia merasa sebagai generasi yang tidak terlibat dalam urusan sejarah yang baginya meninggalkan trauma. Namun, justru karena sejumlah kritiknya terhadap para sastrawan sezaman dan tindakan-tindakannya yang dekat dengan gerakan sastra yang terlibat, dia sempat memperoleh julukan “PKI Malam”.

 

MICHELLIA

Saya mau tanya soal kubu-kubu itu. Tadi Anda bilang Anda enggak di kubu Manifes Kebudayaan, enggak juga di kubu Lekra. Tapi Anda sendiri, kan, terlibat di isu-isu yang sangat sosial, Anda terlibat di Urban Poor Consortium, Konsorsium Kaum Miskin Kota. Istilahnya di Prancis itu kan Anda terlibat di literatur yang terlibat, Anda sendiri kan sudah terlibat di isu-isu itu, isu sosial politik? Jadi, kenapa Anda tidak mau dikategorikan sebagai sastrawan yang terlibat? Atau, itu Cuma karena Anda tidak mau dikotakkan dalam kubu saja? Tapi sebenarnya, Anda sendiri bagaimana, sih, Melihat diri Anda atau maksudnya siapa saja yang Anda serap pengaruhnya, dari sastrawan kedua kubu itu?

 

AFRIZAL

Aku tidak mau ada blok. Di awal-awal aku hadir di puisi Indonesia, Sutardji dan Abdul Hadi W.M. itu cukup kuat untuk mendorongku berkarya. Dan aku sangat menghormati mereka, sampai akhirnya kemudian Abdul Hadi W.M. mencetuskan Angkatan 70 yang berdasarkan akar tradisi dan sufisme, kemudian aku mengkritik Angkatan 70 itu. Pengaruhnya cukup besar. Setelah itu, mulai ada tuduhan-tuduhan kalau aku adalah PKI malam.

 

MARTIN

Itu apa, ya, maksudnya sebutan PKI Malam itu?

 

AFRIZAL

Enggak ngerti. Aku juga tidak paham apa yang dimaksud PKI Malam oleh mereka.

Bahkan pernah dalam sebuah diskusi di TIM, kemudian diberitakan di Berita Buana. Dalam berita itu, jurnalisnya mengarang bahwa aku mengajak orang untuk menginjak-nginjak Al-Quran. Terus aku coba cek dokumennya di DKJ itu, kan, selalu direkam menggunakan pita kaset, ternyata rekamannya sudah dihapus. Jadi ini cukup seram, ya. Kemudian sebutan “PKI Malam” itu pengaruhnya cukup besar, sampai koran-koran tidak memuat karyaku lagi, beberapa teman menjauh. Temanku cuma Boedi, dan Roedjito, Ipung Gozali (pelukis Jakarta, sudah meninggal) kalau tidak salah. Temanku bilang, “Jangan bereaksi. Kamu tenang saja. Itu bukan duniamu.”

Kemudian, di pembacaan puisi, aku dianggap kiri baru oleh Motinggo Busye. Dia bilang, “Kok, kamu enggak pucat, sih, disebut Puisi Kiri Baru?” Lalu, aku pikir kenapa aku harus pucat? Aku tidak mengerti juga kenapa harus pucat.

Setelah itu, karena banyak koran tidak lagi memuat karyaku, aku mulai mengirim ke Kompas. Sebelumnya, aku tidak berani mengirim karya ke Kompas. Bagiku Kompas waktu itu terlalu tinggi. Tapi, ternyata Kompas langsung memuat tulisanku dan itu membuat pembacaku bertambah luas.

Terus, aku pernah juga mengantar Pramoedya Ananta Toer dalam sebuah acara. Kami naik bajaj. “Ayo, Oom, aku temenin naik Bajaj.” Terus, Pram bilang, “Kamu enggak takut jalan sama aku?” Memang kenapa mesti takut gitu, ya?

Aku pernah juga satu mobil dengan Amarzan Loebis dan Tuti Indra Malaon. Waktu itu kita masuk ke TIM, ketika masuk ke TIM Amarzan bersembunyi di balik jok mobil. Jadi, seperti itu suasananya. Waktu itu, aku belum mengerti sejarah terlalu jauh. Ya, memang seram, tapi dunia sudah berubah. Dan itu sebabnya aku tidak mau ada di kubu-kubu. Aku tidak mau ada di dalam satu lingkaran sejarah yang traumatik seperti begitu.

Ketika Pram dapat hadiah Magsaysay, dalam sebuah diskusi di TIM aku ketemu Taufiq Ismail, terus dia bertanya ke aku, “Kamu berada di posisi mana dalam soal Magsaysay?” Aku waktu itu jawab, “Mas Taufiq, Anda ini pelaku sejarah. Aku, kan, di luar. Jadi, jangan libatkan aku ke dalam sejarah Mas Taufiq, dong.” Setelah itu Taufiq juga menjauh dariku.

Ya, suasananya seperti itu. Setelah itu, setiap aku bertemu dengan kata-kata “berpihak”, untukku kata-kata itu seperti menuduh. Seolah-olah kita tidak punya keberpihakan. Jadi setiap ada kata-kata “Kita harus berpihak”, maksudnya apa, nih? Begitulah kira-kira. Ada sebuah latar belakang yang warnanya lebih ke warna-warna trauma.

 

ZEN

Katakanlah Afrizal menjadi korban dari semangat antikomunis setelah PKI dilarang dan dibubarkan pada masa Orde Baru. Ketika propaganda hantu komunisme itu ada, ia digunakan untuk mengganyang orang yang dianggap lain atau dianggap membawa kembali anasir PKI. Nah, itu dampaknya atau manifestasinya dalam puisi Anda pada masa itu muncul enggak? Apa itu yang dikatakan dalam buku puisi Yang berdiam dalam Mikrofon atau Arsitektur Hujan? Katakanlah, suasana “pencekalan”.

 

AFRIZAL

Tidak muncul dalam karya-karya itu.

 

ZEN

Kenapa trauma-trauma itu tidak terungkapkan dalam puisi?

 

AFRIZAL

Mungkin untuk aku, hal itu terlalu kompleks, ya, untuk bisa mengungkapkannya. Aku merasa sejarah menjadi rumit, banyak sekali pihak yang melakukan klaim. Dan ini untukku tidak mudah. Aku punya pengalaman baru ketika di Jerman. Di Jerman, data-data sejarah yang gelap itu dibeberkan di publik. Nama orang-orang korban Nazi, bisa kita temukan di jalan-jalan. Arsitekturnya Nazi masih bisa ada, kita masih bisa masuk ke gedung-gedung itu dan merasakan bagaimana kekuasaan di dalam arsitektur gedung olimpiade itu di pinggir kota Berlin. Jadi kita melihat sejarah itu menjadi begitu terbuka, bukan masalah klaim. Ketika dia dibiarkan menjadi terbuka, pusat traumanya jadi reda atau lumer. Tapi ketika sejarah masih merupakan klaim kebenaran ke pihak-pihak tertentu, traumanya diwariskan terus.

Menurutku, kenapa bisa begini? Kenapa karya teman-teman dari Lekra itu tidak bisa masuk secara terbuka ke publik? Diskusi di Beranda Rakyat Garuda kemarin tentang ini dengan anak-anak muda baik sekali untuk bisa mengerti begitu banyak luka di sejarah kita. Biar ini dipahami oleh banyak pihak luar, yang keluar dari klaim kebenaran itu. Aku enggak tahu bagaimana caranya kita lebih terbuka terhadap sejarah itu dan kapan kita memulai itu untuk mengerti diri kita sendiri.

 

MICHELLIA

Kalau saya perhatikan, sepertinya ada benang merahnya antara kenapa Anda mengkritik kategorisasi seperti “puisi gelap” yang ditujukan pada generasi Anda, lalu kategorisasi “Afrizalian” untuk generasi sesudahnya, atau perkubuan berpihak kiri atau kanan dari generasi yang lampau. Sepertinya Anda ingin menghindar dari upaya-upaya melakukan gate keeping, sekarang sedang ramai di kalangan anak muda istilahnya gate keeper. Ada orang atau pihak yang menentukan ini sastra dan ini bukan-sastra, ini puisi dan ini bukan-puisi.

Itu yang sebetulnya Anda lawan dan mungkin ini ada kaitannya juga dengan inisiatif Anda dua tahun terakhir, ya, yang soal menyelenggarakan Festival Puisi Jelek di Instagram? Itu kesannya juga dalam rangka membebaskan orang untuk menulis puisi dengan biografinya masing-masing? Mungkin bisa dijelaskan juga tentang inisiatif Festival Puisi Jelek itu?

 

AFRIZAL

Ya, menurutku aku lebih cocok dan lebih pas menyebut puisi-puisiku sebagai semacam anomali. Puisi yang tidak jelas asal-usulnya, karena bagaimanapun aku dibentuk oleh rezim Orde Baru yang traumatik dan dibentuk oleh kebudayaan bisu. Jadi, ada akibatnya, yang memunculkan generasi seperti aku, generasi yang anomali, yang asal-usulnya tidak jelas. Tapi, kemudian asal-usul yang tidak jelas ini untukku menjadi penting untuk bagaimana seseorang membangun nilai-nilai yang dia yakini.

Begitu juga ketika aku menginisiasi Festival Puisi Jelek itu, aku mencoba mengerti bagaimana, sih, pengaruh Instagram atau pengaruh media sosial dalam penulisan karya sastra? Nah, untuk memetakan pengaruh itu, aku rasa tidak mudah. Akhirnya, ya sudah, kita bikin Festival Puisi Jelek yang sebenarnya digunakan untuk bisa memetakan pengaruh media sosial kepada karya sastra. Aku mengerjakannya berdua dengan Syska La Veggie, dan Syska yang lebih banyak memahami kultur media sosial.

Festival itu lebih untuk tahu bagaimana kawan-kawan berani melihat bahwa ruang mereka sudah berubah. Terus, bagaimana seseorang berani membentuk dirinya sendiri, karena generasi sekarang untukku generasi yang penting banget, ya. Mereka ada di dalam pusaran teknologi media yang canggih. Meski ketika mereka pulang ke rumah, mereka menjadi anak bapak dan ibunya—mereka tetap harus masuk ke dunia yang sangat kecil. Jadi, mungkin, mereka kayak hidup di dalam dua ruang yang aneh. Nah, dalam festival itu harapanku adalah mengetahui bagaimana mereka melakukan negosiasi atas dua ruang yang ekstrem ini.

 

ZEN

Saya mau balik sedikit lagi ke masa perkubuan tadi. Pada 1984, itu ada Perdebatan Sastra Kontekstual. Ada semangat pembuat sastra menjadi berpijak di buminya sendiri, seperti yang dibilang Arief Budiman. Nah, Anda menulis juga di Sinar Harapan, membela suatu artikel yang ikut membela sastra kontekstual tadi. Bagaimana Anda memosisikan diri Anda dalam pusaran polemik itu?

 

AFRIZAL

Di balik kritik sastra kontekstual ada sikap anti-Jakarta, Zen.

 

ZEN

Ya, betul.

 

AFRIZAL

Ya, dan aku, kan, generasi yang aneh, ya karena aku lahir di Jakarta. Sementara sebagian besar dari mereka adalah warga Jakarta yang masuk ke Jakarta untuk bisa mendapatkan impian mereka.

Pengaruh dari sentralisasi politik Orde Baru membuat Jakarta jadi sangat dominan. Ini yang membuat Jakarta kemudian jadi bahan kritik, termasuk keseniannya, karena dominasi TIM. Dan di balik itu, termasuk ada yang gerakan anti-Sutardji. Ketika aku datang ke Jogja atau ke Solo—mungkin di Jogja, ya—di sebuah acara diskusi, ada seorang anak muda yang pakai kaus, tulisannya Anti-Sutardji.

 

ZEN

Gerakan Anti-Sutardji, alias GAS.

 

AFRIZAL

Nah, sementara aku, kan, banyak jalan ke kota-kota lain. Biasanya aku jalan ke Tegal, jual buku puisi, dapat duit, dapat honor dari diskusi. Nah, duit itu aku gunakan untuk mengajak teman ke kota lain, buat membaca puisi lagi. Misalnya, sampai di Surabaya, kehabisan duit, aku pinjam duit ke redaktur Surabaya Pos.

 

ZEN

Ditukar dengan tulisan, ya.

 

AFRIZAL

Ya, pada waktu itu media cetak seperti begitu. Dan ini membuat aku jadi dekat dengan teman-teman di luar Jakarta, dan mereka enggak pernah menganggap aku sebagai bagian dari antek-antek Jakarta.

Nah, Sastra Kontekstual sebenarnya di balik itu jadi tidak jadi rumit, karena ada konstelasi politik yang tidak gampang juga, karena orang-orang datang ke Jakarta untuk mengejar impian di Jakarta, justru orang-orang itu dianggap mendominasi. Kemudian, muncul Sastra Kontekstual. Nah, Sastra Kontekstual ketika dibawa di Jakarta itu juga menurutku bunyinya jadi terasa bagaimana, ya. Apa, sih, yang mengikat kota ini? Kalau kita ingin membicarakan konteks, jadinya begitu. Tapi mungkin juga Sastra Kontekstual itu juga satu strategi untuk orang punya empati terhadap korban-korban Peristiwa 1965/1966 itu.

 

Tubuh dan Laku Materialitas dalam Puisi Afrizal

Proses penulisan puisi mengalami perubahan signifikan seiring dengan pergeseran teknologi. Pada awalnya, para penulis menggunakan mesin ketik sebagai alat tulis utama, yang menciptakan keterhubungan antara materialitas dari perangkat tersebut dan pengaruhnya terhadap proses kreatif menulis puisi. Kemudian, terjadi transisi menuju penggunaan komputer, ketika penulis berhadapan dengan realitas menulis menggunakan cahaya. Dalam konteks ini, kondisi material dan praktik menulis tidak hanya menjadi elemen fisik semata, tetapi juga membentuk karakter puisi yang dihasilkan. Pergantian teknologi bukan hanya sebuah alat, melainkan perubahan yang meresap ke dalam esensi penulisan, menciptakan dinamika baru dalam pengembangan puisi. Bagaimana ini memberi pengaruh pada karya-karya Afrizal?

 

ZEN

Dalam proses perkembangannya, Anda sering bercerita, ya, maksudnya dalam hal yang sempat disinggung tadi itu, soal praktik penulisan puisi yang terpengaruh oleh kondisi materialitas dari laku menulis itu sendiri. Misalkan, Anda berhadapan dengan mesin ketik, lalu mengalami transisi, menulis dengan komputer, di sana Anda berhadapan dengan menulis dengan cahaya, dan lalu ke bagaimana Anda mengeksplorasi tubuh, kemudian bagaimana Anda masuk dalam wahana audiovisual lewat puisi performance di Facebook, di Youtube, dan seterusnya. Nah, Anda mungkin bisa menjelaskan mengenai itu, bagaimana sebetulnya si kondisi material dan laku menulis itu juga berpengaruh terhadap karakter puisi yang dituliskan? Mungkin bisa dibahas sedikit kaitannya dengan teknologi, ya? Karena tadi Anda sebut tentang pergeseran teknologi, perkembangan teknologi ikut juga membentuk cara kita menulis.

 

AFRIZAL

Teknologi mengubah kita, ya. Sebelumnya, kan, ketika kita menulis puisi, bahasa terlalu mendominasi, ya. Di balik bahasa, kan, ada tubuh, ya. Tubuh itu lebih penting sebenarnya daripada bahasa, lalu kemudian ada media. Aku belum melihat juga, ya, pengaruh perubahan puisiku yang kutulis saat menggunakan mesin ketik dengan yang pakai komputer.

 

ZEN

Karena tadi Anda sebut Anda bereksperimen dalam hal teknologi, terkait penulisan, misalnya—selain transisi Anda ke komputer, Anda juga bisa menulis dengan keadaan telanjang. Lalu, Anda menulis paparan dengan menggunakan Excel, jadi itu menunjukkan ada kesadaran bermain wahana yang sangat kuat. Wahana dalam hal ini berarti teknologi. Apakah itu membentuk puisi yang berbeda?

 

AFRIZAL

Ya, itu pengalaman-pengalaman awal, bagaimana tubuhku bisa hadir dalam tulisanku. Aku mengetik dalam keadaan badan telanjang, ternyata ada sesuatu yang berbeda ketika kita mengetik telanjang.

 

ZEN

Rasa yang berbeda semacam apa?

 

AFRIZAL

Ada yang berbeda.

Dengan menulis dalam keadaan telanjang, tubuh lebih hadir kali, ya.

Misalnya, saat menulis dengan mesin ketik, tubuh kita memang jauh lebih hadir saat menggunakan mesin ketik daripada menggunakan laptop, karena kan ada tenaga yang dikeluarkan. Kalau kita kehabisan kertas saat mengetik dengan mesin tik, pikiran juga harus habis. Jadi, prosesnya sangat fisikal dengan mesin tik itu.

Tapi pemahaman bahwa bagaimana perubahan-perubahan media itu berpengaruh ke karya-karyaku itu, di awal-awal ini lebih liar, lebih karena nekat, karena wawasan belum ada, pengetahuan tidak banyak. Pengetahuanku berkembang justru ketika di Eropa itu.

Jadi, di Eropa, aku bertemu beberapa praktik penciptaan, terutama di seni rupa yang pengaruhnya menjadi penting. Seorang seniman Amerika Latin misalnya, Alfredo Jaar, menggunakan sebuah boks yang dindingnya penuh dengan neon “The Sound of Silence”, jadi sangat memukau tampak dari luar. Kemudian, untuk masuk ke dalam boks itu dia menyiapkan lampu merah dan lampu hijau seperti di jalan raya. Kalau lampu hijau, penonton boleh masuk, kalau merah tidak boleh. Tapi, warnanya merah terus, sehingga akhirnya penonton yang seperti tikus itu menjadi patuh menunggu warna merah menjadi hijau, dan yang mengantre tambah panjang. Kemudian, karena antrean semakin panjang, mulai ada yang menerobos masuk, dan di dalam boks hitam itu hanya ada sebuah foto dan tulisan tentang Kevin Carter, seorang fotografer Afrika Selatan, yang bunuh diri setelah dapat penghargaan dari sebuah fotonya tentang seorang gadis kecil yang sekarang lantaran busung lapar, dan di belakangnya burung pemakan bangkai menunggu kematiannya. Aku melihat bagaimana seniman bekerja dengan arsip, bekerja dengan media, dan punya metode yang untukku metode itu puitis banget. Aku seperti bertemu puisi sebagai sebuah tubuh baru. Nah, metode-metode seperti ini untukku baru dan beberapa seniman bekerja seperti itu dengan cara-cara yang menarik.

Ketika aku residensi di Berlin, ada Ho Tzu Nyen, salah satu seniman video dari Singapura, yang diundang satu tahun bersamaku. Dia memakai riset tentang komunisme melayu. Nah, risetnya itu menggambarkan bagaimana komunisme melayu di Singapura dan Malaysia itu datanya sama sekali tidak ada. Habis pada 1948, ketika komunis Melayu dihancurkan, dan penghancuran komunis melayu itu pada 1948 itu, kok, tahunnya sama, ya, dengan peristiwa di Madiun? Tapi sebuah universitas di Kuala Lumpur itu pada 1974 sudah mencoba mencari data-data tentang komunis Melayu. Dan datanya memang sangat sulit, sudah habis semua. Ada satu buku ditulis oleh orang Amerika, aku lupa namanya, dan diduga penulis buku ini agen ganda CIA. Jadi, dari risetnya ini kesimpulannya adalah bagaimana data tentang komunis Melayu itu langka. Ada satu data, tapi data ini ditulis oleh seseorang yang pijakannya agen ganda.

Temanku itu melahirkan satu karya video yang justru menggunakan footages dari film sastrawan yang dibuat oleh Hollywood. Jadi, dia mengumpulkan seluruh data film-film Hollywood tentang sastrawan di era mesin tik. Nah, yang dikutip adalah momen-momen ketika si sastrawan sangat neurotik, ketika mengetik misalnya menyobek-nyobek kertas, mondar-mandir ke jendela, balik lagi ke mesin tik, minum, mabuk, atau merokok. Setelahnya, neurotiknya, ya. Nah teksnya itu kutipan dari teks-teks buku tentang komunis Melayu. Menurutku, bagaimana sejarah di dalam karya itu dipindahkan ke tubuh lain—ketika dia dipindahkan ke tubuh lain, klaim-klaim itu jadi berhenti. Wilayahnya jadi melebar. Tiba-tiba teks itu bisa menjadi milik siapa pun. Dia masuk ke tubuh yang terbebaskan dari klaim-klaim historisitasnya, dari klaim-klaim konstruksi sejarah.

Nah, metode-metode ini menurutku penting, daripada kita sibuk memahami apa, sih, puisi itu. Mungkin, itu yang membuat aku tidak pernah cocok untuk menjatuhkan konten demi definisi sebuah puisi atau mengorbankan metode-metode kita dalam karya.

 

Afrizal di Luar Puisi Indonesia

Bagaimana Afrizal meneroka puisi Indonesia saat ini? Jika ia berada di luar puisi Indonesia, apakah itu mungkin? Bagaimana kecenderungan puisi-puisi penyair generasi sekarang? Apa yang membuat puisi Indonesia berharga jika dibandingkan dengan puisi-puisi dari kawasan Asia Tenggara?

 

MARTIN

Menghadapi situasi puisi hari ini, Anda tentunya mengikuti juga perkembangan puisi belakangan, yang menjadi lebih beragam tentu saja, variasinya sangat banyak, dan yang kurang kan sering kali justru semacam usaha untuk menuliskan semacam apa, sih, sebetulnya puisi yang berkembang hari ini di generasi-generasi yang baru ini. Nah, bagaimana Anda memandang persoalan representasi dari generasi masa kini di Indonesia? Apakah misalnya memang tidak ada juru bicara sama sekali dalam hal puisi Indonesia hari ini untuk generasi yang baru atau memang sebetulnya kita tidak lagi butuh semacam juru bicara seperti di zaman Anda?

 

AFRIZAL

Mungkin pemahaman tentang ekosistem minimal, ya. Ekosistem kita itu di dalam dunia sastra itu membuat kehidupan sastra kita menjadi kehilangan tema. Aku cukup banyak menghadiri festival-festival puisi di beberapa kota di Eropa, misalnya di antaranya misalkan Festival Sastra Asia Tenggara. Waktu itu aku diundang tahun 2015 itu, temanya tentang sastra Asia Afrika untuk mengenal generasi sekarang.

 

ZEN

Itu residensi waktu di Berlin?

 

AFRIZAL

Ya, waktu residensi di Berlin. Aku terutama menghadiri acara sastrawan-sastrawan Asia dan Afrika yang tinggal di luar negara ibu mereka. Mereka bercerita bagaimana mereka harus eksis di dalam kehidupan baru, di antaranya ada seniman dari Vietnam tapi dia tinggal di Kanada. Ada yang dari Cina Malaysia, yang tinggal di Kanada juga. Ada yang dari Vietnam, yang tinggal di Prancis. Kurasi-kurasi seperti ini menghasilkan pemetaan tema-tema generasi baru, atau seperti di Berlin Literature Festival 2014 yang aku juga diundang, di antaranya memproduksi tema gelombang ketiga dari generasi migrasi.

Acara itu memunculkan cukup banyak sastrawan-sastrawan atau penyair atau novelis di Asia Afrika termasuk Amerika Latin yang mereka migrasi ke Eropa atau ke Amerika. Mereka generasi ketiga yang membawa dan membangun budaya ketiga di rumah mereka. Yang pertama, budaya ibu mereka, entah ibu mereka dari Cina, entah dari Amerika Latin, atau dari Arab. Yang kedua, budaya dari negara tempat mereka migrasi. Yang ketiga, budaya yang dibentuk oleh generasi itu. Nah, generasi ini adalah generasi migrasi yang sudah enggak kenal bahasa ibu mereka, karena mereka lahir bukan lagi di negara ibu mereka, tapi sudah di negara ketika kakek atau ibu mereka migrasi, sudah jauh sama sekali, dan mereka akhirnya membentuk budaya ketiga. Nah, tema-tema seperti ini menurutku jauh lebih menarik daripada kita membicarakan apa itu novel, apa itu cerpen, atau apa itu puisi, karena tema ini entah kenapa tidak kita produksi di kita, ya.

Ini membuat kita punya pijakan-pijakan tema untuk melihat sastra itu arahnya ke mana. Nah, di kita, kita tidak punya ekosistem yang memetakan tema-tema ini. Menurutku, seharusnya lembaga-lembaga, mungkin DKJ, atau lembaga-lembaga pendidikan, harus membentuk tema-tema ini daripada kita ribet memusingkan apa itu puisi atau apa yang bukan puisi.

 

ZEN

Tapi, kan, kita punya banyak sekali festival yang bisa mencerminkan ekosistem semacam itu, kayak di Makassar, ada MIWF, kemudian di Jakarta kita juga punya JILF, Ubud dengan UWRF, atau Borobudur dengan BWCF—mereka itu masing-masing juga semacam punya showcase menawarkan tema-tema penting bagi kesehatan ekosistem setempat, misalnya. Apakah dengan begitu sudah bisa menjadi barometer perkembangan dari sastra Indonesia hari ini seperti bayangan Anda tadi?

 

AFRIZAL

Mungkin kita perlu ini, ya: apa, sih, yang kita bayangkan dengan ekosistem sastra? Nah, ekosistem sastra itu punya titik-titik penting, dari dunia politik, dunia penerbitan, dunia estetika, dan seterusnya dan titik-titik ini terwakili dalam ekosistem ini. Representasinya ada di sebuah festival. Mungkin seperti begitu, kita memetakan dulu ekosistem kita seperti apa. Memang aku ada datang juga ke festival di Makassar, dan di festival lain itu, memang mereka melibatkan banyak pihak, penerbit-penerbit juga, tapi aku belum punya pengamatan lebih jauh, ya, soal seberapa jauh ekosistem sastra kita yang penting itu tergambarkan di festival-festival itu.

 

MICHELLIA

Yang Anda maksudkan ada semacam proses kuratorial, dengan berbagai macam topik, yang terus melakukan kurasi kemudian menciptakan antologi bersama. Sementara, yang dilakukan festival-festival di negeri kita sebatas cenderung mengundang mereka yang menulis tema-tema atau topik-topik itu, tapi tidak menghasilkan keluaran atau produk-produk yang sesuai dengan tema itu?

 

AFRIZAL

Di antaranya juga di festival itu mulai ada pameran, ya, karena karya-karya sastra banyak yang semakin visual. Jadi, untuk beberapa karya sastra visual, ada pamerannya tersendiri. Atau, yang menggunakan teknologi, ada instalasinya.

 

MICHELLIA

Jadi, lebih lintas disiplin dan lintas wahana lagi, ya, bentuk kerja samanya.

 

AFRIZAL

Menurutku itu progresif. Jadi karya-karya komputer sudah diterima sebagai karya sastra. Misalnya, kalau si sastrawan menganggap ini bukan karya seni rupa, loh, ini puisi. Ya, karya itu harus diterima sebagai puisi, karena si pembuatnya mengatakan itu puisi, bukan karya seni visual.

 

ZEN

Festival-festival sastra kita itu mungkin bisa jadi memang kekurangan itu—kekurangan pembacaan terhadap perkembangan paling mutakhir dari sastra yang ada di Indonesia atau di Asia Tenggara, misalnya, sehingga tema-tema seperti soal migrasi di Eropa itu tidak diangkat, padahal itu kan hal yang umum terjadi, karena orang dari negara konflik datang ke Eropa itu lebih aman dan di Indonesia pengalaman itu ada dalam versi yang lebih kecil terjadi juga, orang ke Jakarta karena ada ribut politik atau orang kita yang pindah ke Amerika pada 1998. Tapi, pembacaan itu memang belum terjadi dalam festival-festival di kita, yang masih cenderung berputar pada apa itu tadi puisi. Jadi, menurut saya ketajaman kuratorialnya itu memang mesti harus disempurnakan.

 

AFRIZAL

Juga korelasinya, misalnya tema ini diakui, maka puisi-puisi yang dibacakan hanya untuk tema itu. Jadi pembacaan puisi, pembacaan cerpen, bukan sebuah dunia yang berdiri sendiri begitu. Tapi, ia terkait dengan tema yang diproduksi dalam festival itu.

 

MICHELLIA

Dari tadi, kita mendengar sudut pandang Anda sudah sangat kosmopolit. Anda membandingkan dengan pengalaman Anda di Jerman, dan pengalaman berbagai seniman di belahan negara lain. Apakah Anda sendiri sudah mulai berjejaring dengan, mungkin, penyair Asia Tenggara atau penyair di region Asia? Untuk kemudian menentukan, puisi dengan tema apa yang cocok untuk kawasan ini, misalnya?

 

AFRIZAL

Tidak bisa. Maaf, sebenarnya aku tidak bisa bahasa Inggris. Aku ke mana-mana didampingi penerjemah, jadi di mana-mana disediakan penerjemah, membuat biaya mereka menjadi tambah mahal. Jadi, ya susah berkomunikasi dengan mereka.

 

MICHELLIA

Di luar itu, tema-tema apa yang menurut Anda menarik untuk dieksplorasi oleh festival-festival sastra kita?

 

AFRIZAL

Situasinya sudah berbeda sama sekali, sampai pertengahan 1990-an. Kalau kita datang ke pembacaan puisi, kita seperti menghadiri pesta bahasa ibu dan pesta para penerjemah. Kita akan menyaksikan begitu banyak bahasa dan terpukau dengan bahasa-bahasa itu. Tapi, pada 2000-an, semua bahasa ibu seperti hilang dari festival. Mungkin yang banyak bertahan justru penyair-penyair dari Cina kali ya, mereka tetap menggunakan bahasa Cina begitu. Nah, sekarang para penulis-penulis sekarang, mereka sudah menulis dalam bahasa Inggris, mereka disebut berasal dari Vietnam, tapi tinggalnya sudah tidak di Vietnam. Pertama, mereka sudah menulis dalam bahasa inggris. Kedua, mereka sudah tidak tinggal di negeri mereka. Aku pernah datang di sebuah festival. Di hari terakhir, program itu mengundang penyair-penyair muda dari India. Mereka semua membaca puisi dalam bahasa Inggris. Kuratornya itu marah-marah di tempat itu juga, dia tanya, “Kenapa kalian tidak ada yang menulis dalam bahasa ibu? Semuanya dalam bahasa Inggris.” Jadi para sastrawan itu diomel-omeli. Jadi kuratornya ibarat jadi ibu yang memarahi anak muda di festival itu, sementara peserta-peserta banyak dari luar. Itu menarik sekali, ya, fenomena itu. Tapi, memang sekarang muncul generasi itu, ya, mereka sudah menulis dalam bahasa Inggris. Ya, sebenarnya sama seperti kita—menulis dalam bahasa Indonesia sebenarnya tidak dalam bahasa ibu sumbernya, ya, dan kita tidak pernah membuat satu tema yang mempertanyakan “Apa, sih, pengaruhnya ketika penyair-penyair kita menulis dalam bahasa nasional bukan dalam bahasa ibunya?”

 

ZEN

Anda sendiri, kan, tidak menulis dalam bahasa Minangkabau.

 

AFRIZAL

Aku, kan, tidak bisa bahasa Minang. Bahasaku bahasa Indonesia.

 

ZEN

Saya masih terpikir untuk mencari tambahan penjelasan tentang keluarga Anda, keluarga Anda tinggal di Senen sebagai perantau Minangkabau, dengan sisa-sisa budaya tradisi yang masih dipegang oleh generasi ayah Anda, tapi hampir tidak ada sama sekali bekasnya untuk generasi anak dan seterusnya. Nah, bagaimana Anda melihat itu tadi, budaya tradisi yang sayup-sayup dan samar-samar itu? Anda masih mendengar ayah berdendang dalam bahasa Minangkabau, dengan Saluang, tapi Anda tidak mengambil itu, justru mengambil alih semua dalam bahasa Indonesia dunia hari ini, di Senen, di Jakarta. Jadi boleh dibilang, 100 persen sebagai Malin Kundang—kalau menurut Goenawan Mohamad. Bagaimana Anda memposisikan, menyatakan putus hubungan dengan budaya tradisi yang dalam hal ini tradisi Minangkabau?

 

AFRIZAL

Ya, bagi orang yang lahir di Jakarta, yang tidak pernah mengenal Minang dari dalam, lebih mengenal Minang dari luar, untukku Minang itu jadi rumit, dan tidak jelas hubungannya dengan kehidupanku.

Kalau aku ikuti, aku tidak mengerti apa yang aku ikuti. Jadi, lebih baik aku putus dengan itu. Tapi, ketika dengan Boedi dan Teater SAE dalam satu acara di Padang, ada pertunjukan yang membawakan puisi “Mitos-Mitos Kecemasan” dan itu dihadiri kalau tidak salah oleh gubernur. Nah, itu setelah sekian lama Boedi bercerita bahwa karya itu membuat si gubernur itu menangis, karena tentang mitos-mitos kecemasan itu. Terus, Boedi menjelaskan bahwa puisi itu sangat menjelaskan trauma-trauma di Minang. Jadi si gubernur beranggapan puisi ini ditulis oleh anak Minang yang dibesarkan di kota. Nah, aku tidak bisa melacak pengaruh Minang ke puisiku, pasti ada ya budayanya yang ikut masuk, tapi kan tidak bisa membayangkan apa jadinya.

 

ZEN

Kalau dalam periode ini, apa kecemasan itu memang dialami generasi pada masa itu? Mereka mengeksplorasi situasi kehidupan kota yang gawat, ya, di masa Orde Baru, diam-diam sebetulnya mereka menyimpan minyak tanah yang seakan terasa gampang terbakar. Tapi, situasi di atasnya tertib. Anda menyebut seperti bahasa Indonesia semantiknya bersih, di bawahnya penuh kekacauan. Apakah situasi itu memang khas pada Afrizal atau pada penyair-penyair lain pada masa itu?

 

AFRIZAL

Aku tidak begitu mengerti, apakah aku punya kesadaran yang sama atau sensitivitas semacam itu atau tidak. Yang agak lain di generasi itu, kan, memang Wiji Thukul kali, ya, aku cukup kenal dia. Tapi kayak puisi-puisi Beni Setia, Dorothea Rosa Herliany, mereka mungkin agak lain karena dia mengeksplorasi untuk melakukan koreksi atau melakukan perlawanan terhadap budaya patriarki  dengan cara menulis sebagai penyair laki-laki, walaupun dia perempuan. Jadi, kadang-kadang puisinya jauh lebih keras daripada puisi laki-laki.

 

ZEN

Kalau puisinya Acep Zamzam Noor, itu menurut saya justru satu bentuk lain reaksi terhadap Orde Baru pada masa itu. Masih memelihara lirisisme, keagungan alam, indah.

 

AFRIZAL

Tidak tahu, ya, mungkin Acep banyak pengaruh dari Octavio Paz kali, ya.

 

ZEN

Juga semangat sufisme. Dalam sejumlah penyair, orang seperti Ahmad Syubbanuddin Alwy misalnya, dia meneruskan, Alwy yang mengerjakannya.

 

AFRIZAL

Kalau Alwy, aku bisa pahami karena dia kuliah di IAIN Sunan Kalijaga, ya. Jadi, lebih jelas pengaruhnya kelihatan di karya-karyanya.

 

ZEN

Bukannya penyair-penyair Jogja juga seperti begitu, Ahmadun Y. Herfanda atau Hamdy Salad itu?

 

AFRIZAL

Iya, ya, kenapa, ya, ha, ha, ha, aku tidak mengerti juga.

 

Memindai Zaman Lewat Puisi Indonesia

Apakah puisi Indonesia terasa lebih maju atau terbelakang? Bagaimana para penyair sekarang menyerap puisi-puisi dari khazanah dunia? Apakah diperlukan “warna lokal” dalam puisi di masa globalisasi tanpa batas ini?

 

MICHELLIA

Sedari tadi kita mendengar bagaimana Anda dalam berkarya memang merespons periode Orde Baru. Saya jadi terpikir, sejak Reformasi kan perkembangan politik Islam sekarang ini sangat mengarah ke wahabisme.

 

ZEN

Ada pengaraban, Arabisasi…

 

MICHELLIA

Ya, semacam Arabisasi. Menurut Anda, bagaimana Anda merespons peristiwa-peristiwa belakangan ini, dengan jalan yang lebih kelihatankah, masih ada metode yang Anda kembangkan setelah itu? Terutama untuk merespons politik-politik yang seperti ini, dan kalau melihat isu hari ini, apakah Anda cenderung akan meresponsnya dengan puisi?

 

ZEN

Ya, terutama karena Anda kan memang resah dengan politik identitas ya, entah itu politik tradisi, politik identitas, semua itu tema yang selalu muncul dalam karya-karya Anda…

 

AFRIZAL

Perubahan sekarang ini terjadi di luar dugaanku, ya. Begitu cepat terjadinya, tapi di balik perubahan-perubahan itu tetap ada orang-orang yang punya usaha untuk membangun jalan-jalan lain. Ada yang mulai menggali sejarah-sejarah masa lalu.

Aku tidak tahu juga Indonesia ke depannya akan menjadi seperti apa. Tapi yang aku pertanyakan, misalnya, muncul di Instagram, pertanyaan-pertanyaan terhadap puisi-puisiku dari masa lalu. Puisiku itu, puisi-puisi yang dibuat pada masa Orde Baru, yang merasa lebih bebas menuliskannya. Tapi, tiba-tiba puisi-puisi itu digugat di generasi sekarang, mereka mengancam misalnya minta nomor WA-ku. Katanya, kalau tidak diberi nomor, aku pengecut. Wah, ini bagaimana, ya? Kedaulatan kita mau dirampas. Kenapa ada orang yang merasa punya wewenang merampas kedaulatan orang lain?

Ketika ada seseorang atau pihak yang merasa punya wewenang untuk merampas kedaulatan orang lain, itu membuatku jadi berhati-hati dalam terutama berhati-hati untuk tidak melukai orang lain. Dia membaca karyaku lewat apa yang dianggap benar, dan ini kebenaran kan dalam puisi sudah tidak ada, setelah Wittgenstein berbicara tentang language game. Kebenaran itu, kan, sangat ditentukan oleh konteksnya. Untuk orang yang mengagumi bola, ya tentu dia akan terkagum-kagum dengan dunia bola. Tapi, untuk orang yang tidak, mereka akan pikir, “ini orang gila kenapa mengejar-ngejar bola dan disoraki oleh seluruh dunia?” Semua itu, kan, kebenaran yang ditentukan oleh konteks tertentu, dan Wittgenstein membicarakan itu.

Jadi, kita sudah tidak bisa lagi berbicara bahasa dan kebenaran, apalagi puisi dan kebenaran. Jadi, hal ini membuat kita memang harus punya wawasan yang beragam, ya. Ketika seseorang membaca karya sastra dengan wawasan tunggal, karya sastra itu bisa menjadi celaka, atau orang itu bisa salah baca. Jadi untukku ini menjadi persoalan yang serius ketika orang membaca di kamar tertutup.

 

ZEN

Dulu di masa-masa awal Afrizal muncul, ada semacam upaya penyair muda katakanlah begitu, menerobos satu barikade, satu situasi mapan tertentu risikonya itu tadi dibilang PKI Malam, dan lain-lain. Tapi, kan, kemudian menjadi satu tonggak sendiri dalam puisi modern, dalam puisi Indonesia mutakhir. Kalau generasi sekarang bereaksi terhadap generasi sebelumnya, apa yang akan terjadi? Apakah mereka akan memunculkan tonggak-tonggak baru atau datar-datar saja?

 

AFRIZAL

Wah, aku tidak punya jawaban untuk itu, ya. Ada seorang kawan teater di Jogja, Shohifur Ridho’i dari Rokateater, yang bilang, “Kapan, nih, Mas Afrizal mengkritik karya-karya sendiri? Masak membahas karya orang? Bahas karya sendiri, gimana?” Bagaimana, ya. Itu aku tidak tahu kenapa pertanyaan itu harus ada, apakah pertanyaan itu menjelaskan bahwa generasi sekarang ketika menulis tidak mengkurasi karyanya sendiri? Menurutku kalau terjadi yang seperti itu, berarti generasi sekarang lebih cepat selesai dalam menulis. Menurutku puisi menjadi sulit ditulis dibandingkan yang lain, ya, karena kurasi jauh lebih kompleks, ya. Kurasi terhadap bahan-bahan yang kita pakai, jauh lebih kompleks. Itu yang membuat aku tidak terpancing masuk ke seni rupa. Nah, tantangannya beda banget. Aku tidak tahu apakah itu menjawab atau tidak.

 

ZEN

Ya kalau begitu keadaannya, sebetulnya apa ada upaya membuat puisi menjadi lebih abadi? Tidak ada, ya, untuk generasi sekarang? Puisi, ya, pekerjaan atau kegemaran sementara, yang asyik-asyik aja, yang bukan membayangkan satu lanskap—yang menawarkan perbandingan yang sebelumnya, ada tonggak ini, ada tonggak itu. Tapi sepertinya enggak ada upaya menulis puisi yang tak lekang ditelan zaman, ya, kalau di antara penyair sekarang?

 

AFRIZAL

Mungkin motifnya jadi bergeser, ya. Mungkin di generasiku yang dibentuk oleh media cetak, itu kurasinya jelas. Pemetaannya juga jelas. Masih ada penyair menulis puisi dengan motif-motif untuk merayakan dunia puisi. Nah, sekarang motif orang menulis puisi lebih untuk merayakan dirinya. Untuk merayakan dirinya lewat media sosial. Jadi, ada satu situasi baru di mana siapa pun bisa menulis puisi. Bahkan, mereka dengan tidak sungkan-sungkan sering kali minta pengantar. Karena aku tetap ingin tahu puisi-puisi sekarang, jadi aku menjawab, “Oke, mana puisinya?” Rupanya, puisinya ya begitu, kayak curhat. Tapi karena aku sudah menjanjikan, oke aku tetap harus beri pengantar, pengantar yang tidak melukai dia. Memang dia menulis puisi bukan dalam sebuah komitmen kepenyairan. Dia menulis puisi lebih untuk merayakan dirinya saja.

Jadi, untukku, ketika dunia sastra atau dunia puisi kita memasuki era ini, menurutku bagaimana, ya, eranya sudah begini, ya. Nah, pertanyaannya adalah bagaimana kerja kurasi bisa berjalan di era yang kompleks begini? Bagaimana karya-karya itu bisa paling tidak terpetakan, sama seperti di era media cetak, sastra pop seolah-olah lepas dari kurasi. Nah, ini juga tekurasi di eraku. Dia strateginya bagus, terutama lewat DKJ. Bagaimana mereka punya forum penyair muda Indonesia dan penyair muda itu didefinisikan lewat kota-kota. Dan kota-kota itu, kota-kota utama ya, Surabaya, Bandung, Jogjakarta, Makassar, Lampung, Medan, Padang. Kota-kota yang sudah eksis. Nah, sepertinya strategi ini penting untuk membangun satu identitas sastra, tapi juga menjebak beberapa penyair yang “dipaksakan” masuk ke dalam kanal ini.

 

MICHELLIA

Terkait bagaimana anak-anak muda sekarang menulis, dalam satu wawancara di BBC, Anda mengomentari juga soal waktu tahun 2016 itu tentang ketiadaan kritik sastra yang menopang ekosistem kita. Yang Anda ajukan dalam jawaban wawancara itu, tentang bagaimana sebenarnya kita mesti mulai dari bahasa, karena Anda bilang di Indonesia ini bahasa Indonesia ini membengkak dengan istilah-istilah asing tadi, baik Arabisasi maupun istilah teknologi, yang kita serap begitu saja tapi enggak sejalan dengan perkembangan filsafat, perkembangan sastra, atau perkembangan sains di sini. Kita tentu tidak menginginkan kritik sastra yang sifatnya gatekeeping. Bayangan Anda tadi, kita mulai dari bahasa, dan bahwa kritik sastra itu mestinya sejalan dengan kuratorial yang melakukan kurasi tema, siapa saja yang perlu berperan dalam hal ini? Mungkin saja pihak yang bisa mendampingi Dewan Kesenian Jakarta, seperti yang Anda sebut barusan, dalam mengembangkan ekosistem kritik sastra ini?

 

AFRIZAL

Saya kira lebih baik dimulai dari kerja kurasi dulu, ya. Ketika kerja kurasi itu cukup, untuk melakukan pemetaan tema-tema yang kita anggap penting itu selanjutnya adalah soal representasi ekosistem sastra. Menurutku sistem ini akan berkontribusi ke munculnya kritik yang lain, berkontribusi untuk menjelaskan bagaimana buku-buku sastra dilihat orang lagi. Sekarang, kan, buku sastra hancur banget. Para penulis itu, mereka punya uang untuk menerbitkan puisi-puisi mereka, dan uangnya tidak harus besar karena teknologi percetakan sekarang bisa menerbitkan buku puisi atau buku sastra berapa eksemplar pun, kita cetak lima eksemplar juga tidak apa-apa. Situasinya sudah seperti itu. Bagaimana memetakan hal semacam ini dalam kerja-kerja kurasi, baru setelah itu mungkin dia akan berkontribusi untuk ekosistem yang mau kita sasar, ya. Termasuk mengembalikan lagi buku-buku karya sastra sebagai komoditas pengetahuan.

 

ZEN

Kalau mengharapkan itu kan sebetulnya ada upaya atau ada harapan terhadap perhitungan mutu.

 

AFRIZAL

Kurasi tidak harus mengatasnamakan penilaian baik atau buruk, bagus atau jelek. Jadi, penilaian lebih ke aspek tertentu, analisis tema-tema yang mau kita sasar. Kita masih berbicara tentang ini puisi baik dan tidak baik—itu juga jadi tidak terlalu penting juga sekarang ini. Yang penting mungkin bagaimana kita memposisikan mereka, menaruh mereka di dalam tema-tema itu.

Aku melihat kerja kurasi yang hubungannya tidak lagi berada di dalam kategori ini bermutu atau tidak bermutu. Tapi, kalau misalnya festival-festival itu masih berada di lembaga-lembaga seperti DKJ mungkin juga jadi kompleks, karena di DKJ kan punya mekanisme pergantian anggota yang belum tentu festival itu akan terus berlanjut. Mungkin kita perlu, ya, ada festival-festival sastra yang berdiri sendiri secara otonom. Sebagian besar, kan, festival-festival sastra di luar negeri sana adalah lembaga otonom juga, bahkan tetap didukung oleh negara.

 

MARTIN

Kalau memang kurasinya berbasis tema, artinya yang dianggap sastra dan yang bukan sastra, kan, bisa sama-sama masuk, ya? Artinya pembatasan itu jadi melebur, cair.

 

AFRIZAL

Ya, dong. Kan sekarang ini sudah tidak zamannya lagi bilang “ini sastra dan bukan-sastra” dan yang ada tonggak-tonggaknya begitu.

 

MARTIN

Itu berarti campur begitu, ya, literasi jadinya.

 

AFRIZAL

Ya, menurutku itu tantangan yang menarik, ya. Oh, tiba-tiba dalam festival sastra kita munculkan satu warung pecel lele sebagai karya puisi. Menurutku itu yang bisa disebut progresif, ya.

 

ZEN

Baik, terima kasih banyak atas obrolan ini.

Percakapan30 April 2023

tengara.id


tengara.id adalah upaya strategis untuk meningkatkan kualitas karya sastra Indonesia melalui pembacaan, pembedahan, dan penilaian yang dilakukan dengan landasan argumen dan teori yang bermutu.