Pasung Kata dan Poetika

Judul Buku      : Tergantung Pada Kata

Penulis            : A. Teeuw

Tahun Terbit   : 1980

Penerbit          : Pustaka Jaya, Jakarta

 

Lebih dari empat puluh tahun setelah A. Teeuw pertama kali menerbitkan Tergantung Pada Kata, buku ini masih menjadi salah satu bacaan pokok dalam studi sastra khususnya sajak. Seperti yang bisa dikira-kira dari judulnya, dalam buku ini A. Teeuw memusatkan perhatian pada kata sebagai tubuh sebuah sajak. Menggunakan elemen-elemen linguistik, Teeuw menguliti kata-kata di sajak terpilih dalam lapisan konotatif dan denotatif, bahkan mempreteli prefiks, sufiks dan infiks, sebagai senjatanya dalam mencari makna.

Pada bagian pengantar, Teeuw menegaskan bahwa sepuluh sajak pilihannya ini bukanlah sajak terbaik, tetapi mampu menjadi contoh sajak yang baik untuk dibaca secara dekat. Taksiran positif saya, Teeuw memilih sajak-sajak tersebut karena kompleksitas, gagasan, bentuk dan isu yang berada di dalam sepuluh sajak ini mampu dibaca secara bulat dan berlapis.

Teeuw membahas sepuluh sajak yang memiliki cakupan karakteristik yang cukup luas pada saat itu. Kesepuluh sajak tersebut secara berurutan adalah “Kawanku dan Aku” (Chairil Anwar); “Si Anak Hilang” (Sitor Situmorang); “Jante Arkidam” (Ajip Rosidi); “Salju” (Subagio Sastrowardoyo); “Cocktail Party” (Toeti Heraty); “Saat Sebelum Berangkat”, “Berjalan di Belakang Jenazah” dan “Sehabis Mengantar Jenazah” (Sapardi Djoko Damono); “Pada Sebuah Pantai: Interlude” (Goenawan Mohamad); “Sajak Lisong” (Rendra); “Ombak Itulah” (Abdul Hadi WM); dan “Husspuss” (Sutardji Calzoum Bachri).

 

Membaca Teeuw Membaca

Saya mencoba membahas pembacaan Teeuw terhadap kesepuluh sajak tersebut ke dalam beberapa kategori, berdasarkan “tingkat kenyamanan” Teeuw berhadapan dengan sajak-sajak tersebut. Sebagai seorang kritikus sastra yang teguh pada konvensi dan teknikalitas, Teeuw percaya bahwa konvensi memiliki peran penting dalam penulisan sastra sebab di situlah batas antara keterbacaan dan ketidak-terbacaan teks dijaga.

Pemerkosaan dan pelanggaran konvensi adalah sifat karya seni yang khas, malahan pada masa-masa tertentu hasil dan nilai sebuah karya seni sebagian besar ditentukan oleh berjaya-tidaknya dalam usahanya mendobrak dan merombak konvensi sastra itu. Tetapi dalam pelanggaran si seniman mau tak mau terikat pada konvensi itu. Tidak pernah ada kebebasan mutlak atau kemungkinan untuk penyimpangan total; sebab perombakan total akan berarti bahwa bagi pembaca tidak ada kemungkinan lagi untuk memahami karya seni itu; modalnya untuk mendekati sebuah karya seni terutama terdiri atas sistem konvensi yang ada, yang dikuasainya; kalau sistem itu sama sekali tidak dapat dipakai lagi untuk memahami sebuah karya seni maka dia bingung, apresiasi tidak mungkin lagi baginya. Jadi karya seni selalu berada dalam ketegangan antara sistem dan pembaharuan, antara konvensi dan revolusi, antara yang lama dan yang baru. (11-12)

Empat pembacaan pertama yang saya bahas adalah pembacaan atas sajak “Kawanku dan Aku” (Chairil Anwar); “Si Anak Hilang” (Sitor Situmorang); “Salju” (Subagio Sastrowardoyo); dan “Saat Sebelum Berangkat”, “Berjalan di Belakang Jenazah”, dan “Sehabis Mengantar Jenazah” (Sapardi Djoko Damono). Pada pembacaan atas keempat sajak ini, Teeuw fokus pada aspek kebahasaan—morfologis, semantis, sintaksis, bunyi dan diksi untuk memahami makna keempatnya. Sebagai filolog, Teeuw paham betul bagaimana cara menguliti teks di hadapannya.

Teeuw adalah kritikus yang sangat detail dalam membaca teks yang sedang ia hadapi. Ia tidak hanya berhasil meninjau pembaharuan apa saja yang dilakukan Chairil Anwar dalam “Kawanku dan Aku” atas konvensi Pujangga Baru yang digunakan pada saat itu—siapa sangka, ternyata jumlah vokal dan konsonan yang digunakan Chairil adalah sebuah pemberontakan. Namun, Teeuw juga mampu mendalami keterasingan yang tersembunyi di balik penggunaan sudut pandang penulis seperti yang dilakukannya pada pembacaan “Si Anak Hilang”. Hal yang sama juga dilakukannya pada pembacaan atas “Salju”, ketika ketiadaan konvensi yang karib dengan sajak yang baik dibacanya sebagai sarana dalam menyampaikan makna di balik kata-kata.

Tetapi dalam sajak “Salju” ketiadaan tanda baca dan baik memperoleh makna yang khas. Arus kata dan baris yang terus menerus belaka, tanpa pemecahan, tanpa penandaan, melambangkan salju yang jatuh terus menerus, tanpa perbedaan, tak henti-hentinya. (66)

Konvensi dan kepaduan adalah dua hal yang saling berkelindan. Tiga puisi Sapardi Djoko Damono, “Saat Sebelum Berangkat”, “Berjalan di Belakang Jenazah” dan “Sehabis Mengantar Jenazah” yang terangkum di dalam Duka-Mu Abadi adalah tiga tubuh yang berbeda tetapi memiliki kaitan dalam tataran tema. Teeuw mencoba menggali kepaduan di antara trilogi ini melalui majas-majas yang digunakan Sapardi, sehingga ketiga sajak ini berhasil dimaknai sebagai sebuah tubuh yang koheren.

Tiga pembacaan berikutnya adalah pembacaan atas sajak “Jante Arkidam” (Ajip Rosidi), “Pada Sebuah Pantai: Interlude” (Goenawan Mohamad) dan “Ombak Itulah” (Abdul Hadi WM). Berbeda dari empat puisi sebelumnya, ketiga puisi ini memiliki bentuk yang agak lain. “Jante Arkidam” adalah sebuah puisi epik yang ditulis ke dalam 119 baris, sementara “Pada Sebuah Pantai: Interlude” meletakkan tubuhnya di batas sajak dan prosa. Tubuh “Ombak Itulah” sendiri berdiri di dalam rumus konvensi sajak, tetapi aspek kebahasaan sajak ini tidak berdiri di titik yang sama bersama bentuk/formnya.

“Jante Arkidam” tidak perlu disibak maknanya dengan perkakas linguistik seperti yang sebelumnya dilakukan Teeuw, sebab Ajip tampaknya sangat gamblang dalam menyampaikan makna melalui kata yang dipilihnya. Bagi saya, membaca puisi adalah melihat potongan-potongan gambar yang memantik nuansa dan pengalaman. Dengan kata lain, nuansa dan pengalaman adalah produk dari puisi sebagai tubuh yang utuh dan tidak tercerai-berai. Sepertinya, itulah yang dirasakan Teeuw ketika berhadapan dengan “Jante Arkidam”, seperti yang ditulisnya, bahwa “sajak ini bersifat filmis—kita sebagai pembaca maju dari sorotan ke sorotan, secara melompat-lompat; cerita beradegan ini mempunyai kelancaran yang luar biasa.” (51)

Hampir mirip dengan “Jante Arkidam”, “Pada Sebuah Pantai: Interlude” adalah sajak yang menyajikan potongan-potongan gambar yang hampir tidak padu antara satu dan lainnya, tetapi dapat dimaknai secara utuh jika potongan-potongan tersebut tidak dibaca secara terpisah. Konvensi yang diingkari, batas yang kabur antara tubuh sajak dan prosa seharusnya bisa dibaca Teeuw seperti saat ia membaca “Salju”: “Pada Sebuah Pantai: Interlude” adalah sajak tentang dua insan dalam hubungan yang kabur pula. Namun, Teeuw menggunakan pembacaan dekat untuk memaknai sajak ini.

Pada puisi berikutnya, “Ombak Itulah”, Teeuw mencari makna melalui relasi aku dan kau serta diksi yang digunakan Abdul Hadi W.M. Teeuw menyinggung bagaimana karakter/ciri khas seorang penulis dalam tulisannya dapat dilihat dari kata yang dipilih—dan Abdul Hadi, menurutnya tidak menggunakan konvensi puisi sebagaimana berikut:

Abdul Hadi tidak memakai kata-kata yang sulit, tetapi dia menjadikan kata-kata yang biasa [menjadi] sulit: rambut dan hijau kedua-duanya kata yang sangat biasa—tetapi makna yang biasa itu dirongrong oleh gabungan rambut hijau: gabungan ini menjadikan pembaca terkejut, sebab dia menghadapi sesuatu yang tidak diketahuinya dari pengalaman sehari-hari sebagai pemakai bahasa—dia harus secara kreatif menciptakan kembali makna kedua kata ini dalam gabungan yang aneh ini. Alat-alat puitik biasa seperti bunyi tidak begitu diperhatikannya atau dimanfaatkannya; secara sintaktik sajak ini juga tidak begitu sulit, tidak ada keambiguan sintaktik seperti sering kita jumpai dalam puisi Chairil Anwar dan Sitor Situmorang; penggalian kekayaan morfologi Bahasa Indonesia demi tujuan puisi juga relatif jarang. (142)

Keanehan yang dilakukan oleh Abdul Hadi, yang menjadikan sajaknya sukar untuk dimaknai ini kembali pada apa yang dikatakan Teeuw di awal buku mengenai ketegangan antara konvensi dan pembaruan yang harus dipelihara seorang penulis sehingga karyanya masih dapat dipahami pembaca.

Dua pembacaan berikutnya adalah pembacaan atas “Cocktail Party” (Toeti Heraty) dan “Sajak Lisong” (Rendra). Dua sajak ini berbeda dari sajak-sajak sebelumnya, sebab untuk memaknai keduanya, pembaca harus melakukan pembacaan berlapis tidak hanya pada unsur kebahasaan dan konvensi puisi yang diamini Teeuw, tetapi juga konteks sosial teks tersebut. Teeuw membuka pembahasannya atas “Cocktail Party” dengan kata ‘kompleksitas’ dan ‘berlapis’. Saya merasakan ada kegagapan dalam usaha Teeuw memaknai sajak ini melalui kacamata linguistik seperti biasanya. Di bagian akhir, Teeuw menutupnya dengan:

Ekspresinya sangat khas wanita, wanita modern, dalam rangka kehidupan kemasyarakatan modern pula. Tetapi pengalamannya, perasaannya, kekecewaannya, keputusasaannya, dapat dikatakan universil: cerita segitiga yang “biasa saja” di sini dihidupkan kembali dalam kombinasi ke-sekali-an dan keuniversalan yang merupakan rahasia puisi yang sungguh-sungguh. Dan kekuatan sajak ini saya ketemukan dalam koherensi dan kekompleksannya; beberapa tingkat makna harus kita kembangkan dan artikan dan pertahankan sekaligus. Segala unsur sajak ini: bunyi, makna, sintaktik, struktur larik dan bait, hubungannya dengan sajak di sekitarnya, segala-galanya dimanfaatkan sepenuh-penuhnya untuk memungkinkan, bukan, untuk mengharuskan kita ikut serta dalam pengalaman si aku. (88)

“Cocktail Party” adalah satu-satunya sajak yang ditulis oleh perempuan yang terpilih dalam buku ini. Isu perempuan yang diangkat Toeti, yang tidak bisa dimaknai secara terbatas dengan elemen-elemen linguistik, juga kompleksitas aku-lirik dengan konteks yang multi-lapis tampak seperti sukar dijelaskan dengan baik oleh Teeuw, berbeda dari sajak-sajak lainnya dalam buku ini.

Pembacaan konteks di luar teks juga dibutuhkan dalam pembacaan “Sajak Lisong” (Rendra). Alih-alih merupakan sajak liris tentang kegundahan eksistensial, “Sajak Lisong” adalah kritik Rendra terhadap negara. Teeuw tetap berupaya mencari “keindahan” sajak ini melalui bunyi, sampai akhirnya menyimpulkan bahwa sajak semacam ini lebih menyenangkan para pendengar daripada para pembaca (127). Namun, apakah Teeuw begitu menafikan fungsi praksis sajak sebagai medium politis, sehingga ketika sebuah sajak tidak memiliki estetika sesuai konvensi, lantas kehilangan nilainya?

Satu pembacaan terakhir adalah pembacaan atas “Husspuss” (Sutardji Calzoum Bachri). Sepertinya mudah ditebak bahwa sajak Sutardji tentu bukan favorit Teeuw. Teeuw melontarkan beberapa kritik terhadap sajak ini, misalnya:

Seandainya kita dapati sebuah sajak dalam kumpulan sajak Indonesia yang hanya terdiri atas rentetan kata semacam ini, saya kira sajak itu oleh siapa pun juga tidak akan dianggap berhasil, sebab rangka interpretasi (dan interpretasi adalah: pemberian makna!) bagi pembaca tidak ada. (148-149)
Hanya waktu yang akan dapat membuktikan apakah Sutardji menjadi seorang perombak dan pembaharu yang pembaharuannya akan dicernakan oleh Bahasa Indonesia—ataukah dia akan hilang sebagai angin lalu, memberi kesegaran untuk sebentar, barangkali malahan akan mengadakan lingkungan epigion, tetapi yang nanti tidak ada bekasnya lagi. (156)

Ada kegelisahan terbaca dalam kritik Teeuw terhadap sajak Sutardji, yang landasannya adalah “mau jadi apa sastra kita??”. Bisa dimaklumi, eksperimen Sutardji adalah hal yang sulit dicerna oleh Teeuw. Namun, tentu saja, kata-kata dalam sajak Sutardji memang tidak dapat dimaknai seperti biasanya Teeuw membaca sebuah sajak. Di sisi lain, sajak Sutardji adalah sebuah #sikap pemberontakan terhadap konvensi yang mengekang dan pemaknaan kata sudah tidak penting lagi.

 

Konvensi =/= Harga Mati

Ada pertanyaan menarik yang saya dapat ketika pertama diminta untuk menulis ulasan ini: apakah kritik puisi jarang dilakukan karena lebih sulit daripada kritik prosa? Saya sempat menyinggung mengenai ini di bagian sebelumnya, bahwa membaca puisi adalah pengalaman. Pengalaman yang didapat setiap orang ketika berhadapan dengan teks akan berbeda, tergantung pada pengalaman yang sudah ada sebelumnya. Melakukan kritik puisi bisa jadi lebih sulit, sebab rasanya seperti memamah makanan untuk orang lain. Sangat rentan untuk menjadi sangat subjektif pula, apalagi jika diberi batasan untuk tidak menggunakan konteks di luar teks tersebut. Ketika pengalaman kolektif dipinggirkan, pengalaman yang muncul dalam pembacaan teks pun dikerdilkan.

Dari sisi penulis, rasanya juga tidak mungkin untuk menghasilkan sebuah teks tanpa adanya pemantik dari luar dirinya. Kegelisahan eksistensialis yang sangat personal pun lahir dari konteks di sekeliling subjek, yang artinya teks tidak lahir begitu saja dari langit seperti wahyu. Dalam menuliskan kegelisahan dan apa pun yang hendak disampaikannya, setiap penulis memiliki cara yang berbeda dan sering kali batas-batas dalam konvensi tidak bisa melampauinya. Dengan demikian, kecenderungan Teeuw untuk melepaskan teks dari konteks di luar teks itu sendiri termasuk penulisnya merupakan hal yang mustahil. Melepaskan teks dari penciptanya berarti menafikan alasan mengapa teks itu ada.

Jika melihatnya dari kacamata formalisme New Criticism, tentu tidak ada yang salah dari pembacaan Teeuw. Pembacaan jarak dekat adalah metode yang jitu untuk melihat karya sebagai sebuah teks yang otonom. Namun, pembacaan formalis yang mengesampingkan posisi teks di antara teks lainnya membuat kritik menjadi sangat apolitis. 

Yang saya khawatirkan adalah, pembacaan yang terlalu dekat justru mengaburkan makna teks sebagai satu tubuh yang utuh. Obsesi Teeuw dengan konvensi dan teknikalitas juga menggambarkan kekakuan dan betapa tidak luwesnya kacamata yang digunakan pada saat itu—atau ya barangkali Teeuw memang Aristotelian sejati. Hal lain yang menjadi catatan saya terhadap buku ini adalah jejak-jejak dominasi maskulinitas yang terlihat melalui pemilihan penulis yang sajaknya masuk ke dalam buku ini, serta penggunaan kata “perkosa” tiap kali Teeuw merujuk pada “pelanggaran konvensi”.

Dalam kurun waktu empat puluh tahun, konvensi telah kabur batasnya dan hubungan antara penulis/pembaca dan teks pun lebih luwes. Ada banyak sekali perubahan yang terjadi dalam penciptaan dan penelaahan sastra, termasuk juga konteks lain di luar sastra yang erat kaitannya dengan teks. Pandangan dan pemikiran Teeuw menjadi titik tolak yang penting untuk mempelajari perkembangan kritik sastra Indonesia, sebab Teeuw merupakan salah satu kritikus sastra Indonesia awal yang memiliki banyak kontribusi dalam kesusastraan Indonesia.

Marginalia13 Juli 2023

Areispine Dymussaga Miraviori


Areispine Dymussaga Miraviori adalah seorang periset independen. Kajiannya meliputi sastra, seni pertunjukan, dan budaya populer. Saat ini sedang menempuh program doktoral di Department of Comparative Literature, University of California, Riverside. Beberapa tulisannya tersebar di jurnal dan media lokal. Dymussaga bisa disapa melalui email dymussaga@gmail.com.