Chairil Anwar: Biografi, Puisi, Selfi

Ilustrasi: Alan Fajar Ma'aarij

Chairil Anwar adalah simpatisan komunis.

Begitulah kira-kira salah satu kesimpulan yang bisa ditarik dari jawaban remaja zaman sekarang jika ditanya tentang sosok Chairil Anwar. Simpatisan komunis? Mana bisa? Tanya kita terheran-heran. Mereka menjelaskan alasannya.

Dalam sebuah makalah yang ditulis baru-baru ini untuk lomba debat sastra, sekelompok anak SMA membahas “Pengaruh Puisi Sastrawan Barat terhadap Puisi-Puisi Chairil Anwar”. Salah satu puisi sastrawan Barat yang diulas adalah “To Margot Heinemann” karya John Cornford. Menariknya, puisi Cornford itu tidak saja dihubungkan dengan puisi “Huesca” Chairil Anwar, yang merupakan terjemahan bebas dari puisi “To Margot Heinemann”, melainkan juga dikaitkan dengan puisi “Persetujuan dengan Bung Karno”: puisi Chairil yang sudah sejak 1960-an dikatakan orang dipengaruhi puisi “A Pact” karya Ezra Pound.

Kita lihat jalan pikiran mereka.

Siapakah John Cornford? “John adalah seorang anggota komunis yang lembut,” kata mereka. Mengapa Chairil menerjemahkan puisi Cornford? Karena Chairil setuju dengan Cornford, kata mereka. Mengapa Chairil setuju dengan Cornford? Karena Chairil berpihak pada kubu Republik pada Perang Saudara Spanyol yang didukung oleh Cornford, kata mereka. Mengapa Chairil berpihak pada kubu yang didukung Cornford? Karena Chairil setuju dengan cara pikir Bung Karno; Chairil merupakan orang yang sangat setuju dengan pandangan Bung Karno; lihat saja puisi “Persetujuan dengan Bung Karno”, kata mereka. Siapa Bung Karno? Jawab mereka: “Presiden yang sangat prokomunis karena mempunyai hubungan erat dengan Uni Soviet (yang merupakan negara komunis) pada masa awal Kemerdekaan.” Jadi, mereka tampaknya ingin mengatakan bahwa Chairil menerjemahkan puisi karya penyair komunis karena ia mendukung penyair komunis dan presiden prokomunis.

Siapa pun yang belajar sastra Indonesia secara agak serius tentu tahu bahwa logika mereka mencong, bahkan ngawur. Mereka bisa mengembangkan logika seperti itu tentu karena kurang membaca sejarah biografis Chairil Anwar. Chairil, menurut Sapardi Djoko Damono dalam “Chairil Anwar Kita”, adalah “penyair yang tidak pernah secara tersurat menyatakan keterlibatannya pada kegiatan politik pihak tertentu”. Alih-alih dekat dengan komunis, Chairil dan karyanya justru dikecam oleh komunis, terutama ketika sayap politik kiri mendapat angin di kancah politik Indonesia pada paruh pertama 1960-an. Tulis Sapardi:

Pada tahun 1965, komisaris dewan mahasiswa sebuah fakultas sastra menyatakan bahwa gagasan kepenyairan Chairil Anwar bertentangan dengan faham Sosialisme Indonesia dan Amanat Berdikari yang digariskan Bung Karno; pernyataan itu kemudian dibenarkan oleh pimpinan fakultas yang bersangkutan, bahkan kemudian menolak tanggal 28 April—hari kematian Chairil Anwar—sebagai Hari Sastra. Pada pertengahan tahun yang sama, seorang tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia memuji keberanian pernyataan tersebut dan menyatakan bahwa pokoknya sesuai dengan sikap lembaganya yang tidak mengakui gagasan penyair yang diakui sebagai penyair terbesar ini.

Kasus “salah paham” anak SMA terhadap Chairil itu, tujuh dasawarsa sejak kematian sang penyair, seperti mengingatkan bahwa biografi Chairil masih sungguh penting dibaca hari ini. Hal ini perlu saya sampaikan di tengah keprihatinan yang terdengar hari ini bahwa orang lebih banyak memperhatikan sosok pribadi Chairil ketimbang karyanya. Biografi Chairil, termasuk mitos yang tumbuh dari biografi itu, kerap menutupi pembicaraan tentang puisinya.

Kata Nirwan Dewanto dalam “Situasi Chairil Anwar”, Kata Pembuka kumpulan puisi Aku Ini Binatang Jalang (2022) Chairil Anwar:

Terlalu lama khalayak pembaca tenggelam dalam sejenis mitos bahwa Chairil Anwar adalah si binatang jalang yang terbuang dari kumpulannya, bahwa dengan kejalangan ia membangun sastra yang baru. Mitos demikian hanya akan menempatkan Chairil ke dalam kelisanan yang membuat kita malas menyelami karyanya.

Senada dengan Nirwan, Dewan Juri Sayembara Kritik Sastra DKJ 2022 yang bertema “Modernisme Chairil Anwar”, dalam Pertanggungjawaban mereka, mengatakan:

…cukup banyak naskah yang memperlakukan puisi sebagai cerminan kehidupan penyairnya, bukan sebaliknya, sehingga analisis mereka sebenarnya bukan kritik sastra, melainkan biografi literer—itu pun dalam kadar yang belum memadai. Waham ini mengekalkan mitos Chairil Anwar sebagai “binatang jalang” dan puisi-puisinya bukanlah buah kerja intelektualitas sama sekali, melainkan hasil dari orang ngelamun, patah hati, gasang atau pengelana kota.

Saya tidak menyangkal Nirwan maupun Dewan Juri DKJ. Saya hanya ingin mengatakan bahwa yang diperlukan adalah keseimbangan antara pembicaraan tentang biografi Chairil Anwar dan pembicaraan tentang karyanya. Sebagaimana diilustrasikan oleh kasus makalah anak SMA tadi, mengabaikan biografi Chairil bisa menghasilkan “kelucuan”. Sebaliknya, rendahnya perhatian atau pengetahuan tentang khazanah puisi Chairil juga dapat memicu “kejahatan”, misalnya kemunculan puisi-puisi buruk yang diklaim sebagai karya Chairil Anwar di internet baru-baru ini. Bagaimana pun, seperti dikatakan A. Teeuw dalam Modern Indonesian Literature (1967), kebesaran Chairil Anwar terletak pada puisinya dan juga sosok pribadinya:

Kajian yang lebih cermat tentang Chairil Anwar dan kedudukannya dalam sastra Indonesia segera mengungkapkan bahwa dia tidak saja berutang kedudukan itu pada puisinya, tetapi juga pada pribadinya. Pada dia jelas ada kesatuan antara manusia dan penyair, keidentikan antara penulis dan puisi. Kita mendapati kesesuaian antara informasi yang tersedia tentang hidupnya dan kesan yang diberikan oleh puisinya. Mungkin totalitas itulah sesungguhnya kebesarannya yang hakiki, dan karena itu biografinya relevan.

Namun, yang banyak berseliweran di dunia kelisanan memang mitos, atau gosip, tentang kehidupan pribadi Chairil. Tujuh puluh tahun lebih setelah kematian Chairil, biografinya yang ditulis dengan riset yang memadai, apalagi mendalam, tetap sedikit. Jika kita hari ini mencari biografi Chairil di Tokopedia atau Shopee, misalnya, kita akan menemukan beberapa buku saja: Chairil oleh Hasan Aspahani, Mengenal Chairil Anwar oleh Pamusuk Eneste, Chairil Anwar: Bagimu Negeri Menyediakan Api oleh Majalah Tempo, Chairil Anwar: Kisah Si Binatang Jalang oleh Anom Whani Wicaksono, dan Chairil Anwar Hidup 1000 Tahun Lagi oleh Ewith Bahar. Mungkin ada sedikit lagi buku lain, termasuk novel biografis dan skenario biografis.

Para penulis biografi Chairil sering menghubungkan kehidupan sang penyair dengan puisinya. Contohnya, mereka kerap menautkan sejumlah perempuan dalam hidup Chairil dengan puisi-puisi sang penyair. Penautan itu memang didukung oleh puisi-puisi Chairil sendiri yang kerap mengandung nama perempuan historis, baik dalam judul, subjudul persembahan, maupun isi. Akibatnya, puisi yang disisipi nama perempuan historis menjadi mudah ditafsirkan orang sebagai niscaya bertutur tentang “kisah nyata” yang terjadi antara Chairil dan si perempuan.

Majalah Tempo, misalnya, menulis tentang “Sajak Putih” yang dipersembahkan Chairil “buat tunanganku Mirat”. Begini kata Majalah Tempo:

 

Bersandar pada tari warna pelangi
kau depanku bertudung sutra senja
di hitam matamu kembang mawar dan melati
harum rambutmu mengalun bergelut senda
(“Sajak Putih”, 18 Februari 1944)
Sajak ini dikirimkan Chairil kepada Sumirat melalui kartu pos ke Paron. Meski cinta mereka kandas, Chairil tampaknya belum bisa melupakan Mirat. Itu tergambar dalam dua sajak yang ditulis pada 1949 atau enam tahun berselang setelah perpisahan mereka. Pertama, “Mirat Muda, Chairil Muda”. Kedua, “Yang Terampas dan Yang Putus”.

 

Contoh lain, kali ini dari Hasan Aspahani (Chairil, 2017), tentang puisi “Hampa” yang dipersembahkan Chairil “kepada Sri yang selalu sangsi” dan puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” yang ditulis “buat Sri Ajati”. Tulis Hasan Aspahani:

 

Sri yang lahir tahun 1920, 19 Desember—lebih tua dua tahun dari Chairil—pada mulanya terbaca seperti tempat mengadu bagi Chairil. Kita baca sajak “Hampa” […]
Dan ini menanti penghabisan mencekik
Memberat-mencengkung punda
Udara bertuba
Rontok-gugur segala. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti.

 

Lalu Chairil dengan sadar mengakhiri keterhubungan perasaannya dengan Sri. Ia tak lagi mencari cinta. Kapal dan perahu tak lagi hendak melaut. Tanah dan air tidur. Hilang ombak. Dengan bijak perasaan itu dihabiskan seperti bait akhir sajak “Senja di Pelabuhan Kecil”:

 

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.

 

Kesukaan Chairil menyisipkan nama perempuan historis ke dalam puisi memang sangat menggoda pembaca untuk menafsirkan puisi-puisinya yang menyuarakan suatu hubungan dengan pihak lain (kadang-kadang secara eksplisit dalam bentuk relasi “aku” dengan “kau” atau “dia”; kadang-kadang secara implisit seperti dalam puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” yang bicara “aku” saja) sebagai puisi tentang hubungan interpersonal, hubungan antara dua insan, bahkan hubungan antara Chairil dan sosok lain dalam kenyataan. Masalahnya, “godaan biografi penyair” seperti itu bisa mengungkung atau membatasi ruang jelajah penafsiran puisi Chairil.

Perlu kita ingat, puisi yang unggul selalu multitafsir. Ia dapat ditafsirkan dengan berbagai cara dan menghasilkan berbagai makna. Makna puisi tidak pernah tunggal. Kemultimaknaan itulah yang membuat puisi selalu terasa baru, terasa segar, setiap kali ia dibaca.

Biografi penyair bisa mendorong penafsiran puisi ke arah tertentu yang sejalan dengan kisah hidup penyair, dan menutup berbagai arah penafsiran lain yang mestinya dapat memperkaya makna puisi. Biografi berpotensi membuat puisi yang bermakna jamak menjadi seolah-olah bermakna tunggal. Ketika orang membaca puisi “Hampa” Chairil dengan dibayangi biografi penyair, misalnya, hubungan percintaan antara Chairil Anwar dan Sri Ajati seolah-olah menjadi satu-satunya “makna” yang benar dari puisi itu. Padahal, sesungguhnya, masih banyak kemungkinan makna lain yang dapat digali dan sama benarnya. Biografi penyair berisiko memiskinkan puisi.          

Bila orang merujuk pada biografi Chairil, ada sejumlah nama perempuan historis yang diabadikan sang penyair dalam puisi-puisinya: Sri Ajati, Sumirat, Ida Nasution, Dien Tamaela, Gadis Rasjid, Tuti, Karinah Moordjono. Semua nama itu milik gadis-gadis yang usianya kurang-lebih sama dengan Chairil. Masuknya nama mereka ke dalam puisi Chairil seperti mengisyaratkan bahwa mereka memiliki “hubungan istimewa” dengan sang penyair. Konon ada yang dipacari Chairil, ada yang ditaksir Chairil. Ada yang dikagumi, ada yang disayangi. Apa pun, mereka jelas penting bagi sang penyair (kalau tidak, kenapa pula nama mereka dipahatkan dalam puisi?). Namun, status mereka tetap “orang lain” dalam hidup Chairil. Puisi-puisi Chairil justru tidak memuat nama perempuan historis yang berstatus “bukan orang lain” dalam hidup sang penyair. Tidak ada nama istri, putri atau ibu sang penyair.

Fakta biografis bahwa perempuan-perempuan historis yang namanya disebut-sebut Chairil dalam puisinya adalah gadis-gadis muda yang tidak ada hubungan keluarga dengan sang penyair menjadikan banyak puisi Chairil mudah dibaca orang sebagai “puisi cinta” muda-mudi yang menyuarakan gairah asmara membara atau derita patah hati—seperti dicontohkan oleh pembacaan Tempo dan Hasan Aspahani tadi. Kesan bahwa sang penyair patah hati, atau bernostalgia/berkhayal tentang hubungan asmara, akan lebih terasa jika puisi-puisi Chairil dibaca dengan bekal pengetahuan biografis bahwa perempuan-perempuan historis di sana semua lepas dari pelukan sang penyair.

Saya kira, itulah salah satu “kecerdikan” Chairil. Penyair kita seperti sengaja menyisipkan biografinya ke dalam puisi. Penyisipan unsur biografis berupa nama perempuan historis ke dalam puisi memberikan “efek realitas” yang dapat membantu pembaca yang mengenal biografi Chairil untuk melompati palang-palang komunikasi yang dibentangkan bahasa puitik dan menghalangi pemahaman.

Ambil contoh puisi “Senja di Pelabuhan Kecil”. Besar kemungkinan, tidak semua larik puisi terkenal Chairil itu dipahami pembaca.

 

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.

 

Banyak pembaca kemungkinan besar akan sulit memahami ungkapan “menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut” atau “desir hari lari berenang / menemu bujuk pangkal akanan”.

Namun, larik, kalimat, frasa atau kata tertentu yang tidak mudah dipahami seperti itu akan “terlompati” saja jika pembaca tahu tentang hubungan antara Chairil Anwar dan Sri Ajati. Dengan bekal pengetahuan biografis itu, “Senja di Pelabuhan Kecil” menjadi tampil sebagai puisi yang pada pokoknya merupakan ungkapan isi hati dari seorang pemuda kepada pemudi bernama Sri Ajati yang dicintainya (baris pertama puisi sejak awal seakan memberitahukan bahwa pembaca sedang membaca “puisi cinta”: “Ini kali tidak ada yang mencari cinta”). Bagian-bagian puisi yang sulit dipahami menjadi undur, dan yang mengemuka adalah suasana keseluruhan puisi. Nama “Sri Ajati” di awal puisi menjadi seperti mercusuar yang memandu kapal pemahaman agar tidak kandas gara-gara menabrak karang bahasa puitik. Ada kemungkinan juga, keharuan yang ditimbulkan oleh nada sedih puisi ini juga akan berkurang jika nama “Sri Ajati” dihilangkan dari puisi.

Tentunya, strategi penyisipan nama perempuan historis dalam puisi yang dilakukan Chairil tidak bekerja sendiri untuk memudahkan pembaca “memahami” puisinya. “Efek realitas”, yang membuat puisi menjadi tampil lebih komunikatif, juga dibangkitkan Chairil dengan penggunaan bahasa yang terasa membumi, dekat dengan bahasa sehari-hari, tidak mengawang-awang diterbangkan sayap kata-kata.

Sudah sering dicatat, salah satu ciri bahasa puitik Chairil adalah penggunaan dan pendayagunaan bahasa percakapan (colloquialism)—satu ciri yang membedakan bahasa Chairil dari bahasa para penyair Pujangga Baru. Namun, bukan berarti bahasa puisi Chairil mudah (ketidakmudahan bahasa Chairil sudah dibahas dengan baik oleh Boen Sri Oemarjati dalam Chairil Anwar: The Poet and His Language, 1972). Chairil adalah penyair yang mendobrak konvensi bahasa, dan dengan demikian ia eksperimentator bahasa. Ungkapan-ungkapan puitik Chairil tidak selalu mudah ditangkap maksudnya, bahkan sering sebaliknya—terlebih bagi kita yang sudah berjarak hampir 80 tahun dari masa penulisan puisi-puisi Chairil. Sudah kita lihat contohnya: Apa maksud ungkapan “desir hari lari berenang / menemu bujuk pangkal akanan”?

Meskipun bahasanya sering tidak mudah, puisi Chairil hampir selalu menyediakan ungkapan yang terasa akrab, berstruktur sederhana, sering seperti diucapkan oleh seseorang di samping kita—meskipun belum tentu jelas maksudnya. Dalam “Senja di Pelabuhan Kecil”, ungkapan-ungkapan metaforis penuh gaya yang memadati bait 2 dan menyulitkan pembacaan seakan ditebus dengan ungkapan-ungkapan sederhana yang cukup mudah dipahami maknanya di bait 3: “Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap…sedu penghabisan bisa terdekap”.

Frasa “tiada lagi” di awal bait 3 memang tidak lengkap-sempurna. Tapi justru karena tidak sempurna, pembaca diundang menyempurnakannya. Kita diundang membangun makna darinya. Apa yang “tiada lagi”? Chairil tidak memberi jawab.

Namun, pembaca yang mengenal biografi Chairil seakan pagi-pagi sudah diberi tahu sang penyair: ini “puisi cinta” yang digubah “buat Sri Ajati”. “Tiada lagi” berarti tidak ada lagi, hilang, sesuatu yang tadinya ada sekarang menjadi tidak ada. Maka yang hilang itu mungkin cinta. Tiada lagi cinta. Itu sebabnya, “ini kali tidak ada yang mencari cinta” di pelabuhan kecil itu, tidak ada lagi yang datang ke sana untuk bercinta-cintaan. Mungkin juga yang hilang adalah Sri Ajati. Tiada lagi Sri Ajati. Kehilangan cinta atau Sri Ajati tentu menyebabkan “aku sendiri”.

Setelah disodori kata “cinta” dan nama perempuan historis bernama Sri Ajati, pembaca yang tahu biografi Chairil tentu mudah membayangkan seorang pemuda historis bernama Chairil Anwar kehilangan pujaan hati dan berjalan sendirian di tepi laut sambil memendam harapan yang patah dan menahan tangis.

“Pembacaan romantis” berdasarkan biografi penyair seperti itulah yang dilakukan H.B. Jassin dalam esainya, “‘Senja di Pelabuhan Kecil’ Chairil Anwar” (Pengarang Indonesia dan Dunianya, 1983). Di mata Jassin, puisi terkenal Chairil itu mengungkapkan “kesedihan” dan “kerawanan”, menyajikan “tamasya yang muram” yang di dalamnya “berjalan ‘aku’ tanpa cinta dan harapan seorang diri sepanjang semenanjung”. Dasar pembacaan Jassin adalah kisah romansa biografis tentang Chairil dan Sri Ajati. Tulis Jassin:

 

Keterangan di bawah sajak memberikan kunci: Buat Sri Ajati. Siapakah Sri Ajati? Ia adalah seorang gadis yang tinggi semampai, warna kulitnya hitam manis, rambutnya berombak, kerling matanya sejuk dan dalam. Tidak ada agaknya pemuda sehat yang tidak akan jatuh cinta padanya…Chairil sering datang ke rumahnya. Sampai ia pada suatu hari berkata kepada Chairil, “Ril, janganlah kau datang-datang lagi ke rumahku. Aku sudah ada yang punya.”
Maka runtuhlah harapan Chairil. Dan berjalanlah ia dengan hati yang hampa membawa dukanya ke Pasar Ikan. Suasana pelabuhan kecil di Pasar Ikan waktu matahari hendak terbenam, itulah suasana yang paling sesuai dengan suasana jiwanya. Itulah suasana yang dilukiskannya untuk menjelmakan keperihan hatinya ditolak oleh gadis pujaannya.

Saya tahu biografi Chairil. Namun, saya tidak ingin membaca “Senja di Pelabuhan Kecil” dengan dibayangi biografi Chairil seperti Jassin. Tanpa bersandar pada biografi Chairil, saya melihat kemungkinan makna lain yang tidak begitu romantis pada puisi itu.

Saya akan masuk dari kalimat “tiada lagi” di awal bait 3.

Dalam terjemahannya atas “Senja di Pelabuhan Kecil”, Burton Raffel (Anthology of Modern Indonesian Poetry, 1964) menafsirkan kalimat “tiada lagi” sebagai “there’s no one else”. Tidak ada orang lain. Tafsir Raffel ini lebih jelas daripada kalimat asli Chairil, lebih padu dengan “aku sendiri” di kalimat berikutnya. Tidak ada orang lain, maka aku sendiri. Bagi Raffel, “tiada lagi” menunjuk kesendirian atau kesepian.

Lain halnya dengan Liaw Yock Fang & H.B. Jassin (The Complete Poems of Chairil Anwar, 1974). Mereka menerjemahkan “tiada lagi” menjadi “nothing more”. Artinya: hanya itu, tidak ada apa-apa lagi selain itu, tidak lebih dari itu. Yang ada hanya panorama redup-muram pelabuhan kecil di kala senja, beserta suasana murung yang melingkupinya, di bait 1 dan 2. Tiada lagi selain itu. Bagi Fang dan Jassin, “tiada lagi” menunjuk kehampaan/ketidakbermaknaan.

Dua tafsir itu muncul karena kalimat “tiada lagi” menyodorkan ambiguitas akibat strukturnya tidak lengkap. Ia dapat dibaca dengan lebih dari satu cara.

Bagi saya, kalimat “tiada lagi” adalah “mata puisi” dari “Senja di Pelabuhan Kecil”. Mata puisi adalah “titik pusat tempat puisi berbelok” (Margaret Freeman, “The Poem as Complex Blend: Conceptual Mappings of Metaphor in Sylvia Plath’s ‘The Applicant’”, Language and Literature 14 (1), 2005). Mata puisi adalah “lokus untuk visi penyair [yang]…juga berfungsi untuk membuat pembaca mempertimbangkan visi itu secara saksama dengan mencari dan menafsirkan kembali konteks pembaca sendiri, sehingga mencerminkan, ketika membaca puisi, apa yang menjadi perhatian penyair (atau narator)” (Jean Boase-Beier, “Translating the Eye of the Poem”, CTIS Occasional Papers, 2009).

Sebagai mata puisi, kalimat “tiada lagi” menandai perubahan radikal visi penyair/pembicara. Di titik “tiada lagi” itulah tatapan pembicara berbelok 180° dari keadaan pelabuhan di bait 1 dan 2 ke keadaan dirinya di bait 3 selebihnya. Sejak masuknya kalimat “tiada lagi”, pemandangan tepi laut di bait 1 dan 2 yang dikatakan Jassin sebagai “lukisan obyektif belaka” itu berubah menjadi alegoris. Lanskap lahir berubah menjadi lanskap batin. Kalimat “tiada lagi” merupakan vantage point, titik terbaik untuk memandang keseluruhan lanskap puisi. Ia ibarat menara pantau, dari mana kita dapat memandang panorama kehampaan/ketidakbermaknaan di bait 1 dan 2, seperti Fang dan Jassin, dan juga panorama kesendirian/kesepian di bait 3, seperti Raffel.       

Berbeda dari Raffel maupun Fang & Jassin, saya menafsirkan kalimat buntung “tiada lagi” dalam “Senja di Pelabuhan Kecil” sebagai repetisi yang dipadatkan dari “ini kali tidak ada yang mencari cinta” di baris 1 (ungkapan padat-efisien merupakan satu ciri bahasa puitik Chairil). “Tiada lagi” mungkin pemadatan dari “dulu ada yang mencari cinta, tapi kini tiada lagi”. Larik “ini kali tidak ada yang mencari cinta”, yang membuka tatapan ke keadaan pelabuhan di bait 1 dan 2, diulang dalam bentuk lain yang ringkas, “tiada lagi”, untuk mengawali tatapan ke keadaan pembicara di bait 3. Ungkapan “tidak ada yang mencari cinta” berarti cinta tidak diperlukan alias sia-sia.

“Tiada lagi” bertaut erat dengan “aku sendiri” (eratnya pertautan ini diisyaratkan dengan pengulangan bunyi “i” di akhir dua kalimat itu). Jika “tiada lagi” sama dengan “ini kali tidak ada yang mencari cinta”, dan “tidak ada yang mencari cinta” menunjuk pada kesia-siaan cinta, maka kesia-siaan cinta bertaut erat dengan situasi “aku sendiri”. Jika cinta mensyaratkan ikatan antara “aku” dan “kau”/“dia”, maka situasi “aku sendiri” berarti kesia-siaan/ketiadaan ikatan antara “aku” dan “kau”/“dia”—bukan sekadar sendiri secara fisik seperti yang terkesan digambarkan dalam puisi (“Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung…”). “Tiada lagi” menjadi terbaca “tiada lagi ikatan aku-dan-kau” atau “tiada lagi ikatan aku-dan-dia”. Tiada lagi “kita”, yang terbentuk dari penyatuan “aku” dan “kau”. Tiada lagi “kami”, yang terbentuk dari penyatuan “aku” dan “dia”. Tidak ada kebersamaan. Yang ada hanya kesendirian. Yang ada hanya aku.

Perhatikan bahwa dalam puisi “Senja di Pelabuhan Kecil”, tidak ada kata ganti orang selain “aku”. Dan kata “aku” itu baru muncul di bait terakhir, dalam kalimat yang menegaskan ketiadaan agen lain: “Aku sendiri.” “Aku” muncul setelah proses disintegrasi kekitaan yang terbayang pada kolase lanskap visual dan obskuritas verbal di bait 1 dan 2.  “Senja di Pelabuhan Kecil” adalah puisi tentang kebangkitan “aku” dari puing-puing kekitaan. Puisi tentang kelahiran individu dari rahim kolektivitas. Jika kelahiran selalu menyakitkan, maka inilah puisi tentang proses menyakitkan yang harus dilalui subjek untuk “bisa bilang ‘aku’”—meminjam ungkapan Chairil dalam puisi “Buat Gadis Rasid”.

Proses menuju kemunculan individu sebagai subjek yang sepenuhnya bisa bilang “aku” juga saya lihat dalam puisi “Ajakan”, “Bercerai” dan “Merdeka”.

Menurut biografi Chairil, tiga puisi tersebut konon ditujukan kepada seorang gadis historis, yaitu Ida Nasution. Nama “Ida” muncul dalam tubuh tiga puisi tersebut, meskipun nama “Ida” dalam puisi sebenarnya belum tentu merujuk pada Ida Nasution dalam kenyataan.

Biografi menuturkan, Chairil naksir berat Ida. Tapi Ida tidak menyambut uluran cinta sang penyair. Gadis cerdas ini malah tercatat pernah berkata merendahkan tentang Chairil: “Apa yang bisa diharapkan dari manusia yang tidak karuan itu?”

Cerita biografis tersebut tentu sangat menggoda orang untuk mengaitkan puisi-puisi Chairil yang mengandung nama “Ida” dengan hubungan antara sang penyair dan Ida Nasution. Hasan Aspahani, misalnya, melakukan itu.

Merujuk pada puisi “Ajakan”, “Bercerai”, dan “Merdeka”, Hasan Aspahani mengatakan:

 

Jejak nama Ida, dalam sajak-sajak Chairil terbaca kali pertama pada Februari 1943. Nada sajak yang sangat optimistis: Ida, menembus sudah caya! Hubungan dengan Ida adalah hubungan yang menggembirakan pada awalnya, jalinan yang membangkitkan harapan, sehingga Chairil mendapatkan suntikan semangat yang membuat ia mampu menembus udara setebal apa pun kabutnya, memecahkan kaca yang berlumut hitam! Hidup Chairil bersama Ida, ia rasakan seakan berada di ruangan yang legah lapang.
Kenapa pada bulan Juni 1943 Chairil menulis sajak Bercerai yang di bait akhirnya bertanya: Bagaimana? Kalau IDA, mau turut mengabur, tidak samudra caya tempatmu menghambur? Hanya tiga bulan setelah sajaknya yang manis memuja Ida?
Apa sebenarnya yang telah membuat Chairil sedemikian ingin melepas Ida dan melepaskan diri dari Ida? Sehingga lagi-lagi sebulan kemudian, di Juli 1943 ia menulis sajak dengan bait yang kasar: Aku mau bebas dari segala. Merdeka. Juga dari Ida! Mencintai—pernah aku percaya pada sumpah dan cinta—Ida adalah sesuatu yang disesali Chairil.

 

Berbeda dari Hasan Aspahani, saya tidak membaca puisi “Ajakan”, “Bercerai”, dan “Merdeka” sebagai cerminan biografi Chairil.

Saya membaca tiga puisi Chairil itu sebagai trilogi tentang progres setahap demi setahap menuju kebangkitan individu dari retakan kolektivitas. Sebuah proses ketika kolektivitas atau kebersamaan mula-mula tampak ibarat cahaya pagi yang cerah penuh harapan, kemudian meredup seperti sinar senjakala, dan akhirnya padam ditelan malam yang melahirkan fajar baru individualitas.

“Ajakan” adalah puisi yang cerah. Satu dari hanya dua puisi Chairil yang dapat disebut happy, menurut A.H. Johns dalam “Chairil Anwar: An Interpretation” (1964)—puisi gembira yang satu lagi adalah “Taman”. Puisi “Ajakan” berisi ajakan pembicara kepada “Ida” untuk bergembira berdua, bersenang-senang bersama, tanpa memikirkan apa-apa lagi: “Mari ria lagi / Tujuh belas tahun kembali / Bersepeda sama gandengan / Kita jalani ini jalan / Ria bahgia / Tak acuh apa-apa / Gembira-girang”. Dari awal sampai akhir puisi, tidak ada kata “aku”. Pronomina persona yang ada hanya “kita” (disebut dua kali), menyiratkan kesatuan/kebersamaan “aku” dengan “kau”/“Ida”. “Aku” seakan hilang ditelan impian menyilaukan tentang kebersamaan “kita”. Puisi ini memperdengarkan sikap yang sangat positif terhadap prospek kekitaan.

Sikap itu berubah drastis pada puisi “Bercerai”. Kata “aku” belum ada. Keakuan belum muncul. Sebaliknya malah ada empat kata “kita”, lebih banyak daripada dalam puisi “Ajakan”. Namun, meskipun banyak, kata “kita” itu hadir membawa krisis perpecahan: “Kita musti bercerai”. Situasi krisis digambarkan dengan gambaran kaotis “Dua benua bakal bentur-membentur. / Merah kesumba jadi putih kapur.” Kekitaan/kebersamaan harus diakhiri, dibubarkan. Tuntutan “kita” sudah begitu tak tertahankan: “Terlalu kita minta pada malam ini” (diucapkan dua kali). Pembubaran “kita” bukan hanya harus, tetapi juga urgen. Kalimat “kita musti bercerai” sampai-sampai diucapkan dua kali. Kekitaan harus dibubarkan segera, “sebelum kicau murai berderai”, biar pun “benar belum puas serah-menyerah” dan “darah masih berbusah-busah”. Kebersamaan musti diakhiri agar kungkungan situasi kelam dan dingin berakhir: “Biar surya ‘kan menembus oleh malam di perisai”. Puisi “Bercerai” mengumandangkan tahap disintegrasi kekitaan.

Dalam puisi “Merdeka”, hilanglah sudah kekitaan. Tidak ada lagi kata “kita”. Sebagai gantinya, muncul kata “aku”—sejak baris pertama, berkali-kali. Aku-subjek menegaskan kehadirannya dengan melepaskan diri dari ikatan apa pun: “Aku mau bebas dari segala / Merdeka / Juga dari Ida”. Dulu aku-subjek adalah bagian integral dari konsensus yang membentuk ikatan kekitaan: “Pernah / Aku percaya pada sumpah dan cinta / Menjadi sumsum dan darah / Seharian kukunyah-kumamah”. Namun, aku-subjek tidak betah berdiam dalam kedamaian rumah konsensus lama yang membuat “hidupku terlalu tenang”, aman dari “badai kalah menang” yang berbahaya, tapi mungkin seru menggairahkan. Aku-subjek menjadi gerah-gelisah. “Ah! Jiwa yang menggapai-gapai,” desahnya. Maka “aku” memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah konsensus lama, biar pun maut risikonya: “Mengapa kalau beranjak dari sini / Kucoba dalam mati.” Dibaca secara kronologis, puisi “Ajakan”, “Bercerai”, dan “Merdeka” memaparkan perjalanan rumit dan sulit migrasi mental subjek dari kolektivitas lama ke individualitas baru.

Puisi lain yang potensial dibaca sebagai cerminan biografi penyair adalah “Tak Sepadan”. Dalam esai “Ahasveros”, Goenawan Mohamad menyebut “Tak Sepadan” sebagai “sajak patah hati yang mencoba menelan kesedihan dengan gagah, meskipun terasa mengasihani diri”. Jalan ke pembacaan puisi “Tak Sepadan” sebagai “sajak patah hati”, seperti halnya pembacaan Jassin terhadap “Senja di Pelabuhan Kecil”, tampaknya dibuka lebar oleh kuatnya “efek realitas” yang timbul dari pengaruh biografi Chairil. Menurut biografi, Chairil adalah sosok pencinta perempuan yang sering bertepuk sebelah tangan atau tidak direstui, dan dengan demikian kerap patah hati.

Tapi bukankah tidak ada nama perempuan historis dalam puisi “Tak Sepadan”? Memang. Puisi “Tak Sepadan” tidak memuat nama perempuan historis. Meskipun demikian, “Tak Sepadan” menguarkan aroma subteks biografis juga karena puisi ini konon ada hubungannya dengan gadis historis yang dikagumi Chairil: Ida Nasution.

“Tak Sepadan” digubah Chairil pada 1943. “Sajak ini kira-kira ditulis pada hari-hari awal ia mengenal Ida,” kata Hasan Aspahani dalam Chairil. Dua tahun kemudian, Chairil menjadikan “Tak Sepadan” sebagai bagian dari puisi “Lagu Siul”, yang konon ditulis untuk Ida. Catat Tempo:

 

Sajak “Lagu Siul” yang ditulis pada 1945 mulanya ditujukan untuk Ida. Dalam naskah tulisan tangannya, Chairil menulis nama Ida dalam subjudul. Namun nama itu dihilangkan saat diterbitkan pertama kali dalam Opbouw-Pembangunan edisi 10 Desember 1945. Begitu pula saat muncul dalam buku antologi Deru Campur Debu (1957).
Jadi, jika “Lagu Siul” ditulis untuk Ida, dan “Tak Sepadan” terkandung dalam “Lagu Siul”, maka memang masuk akal untuk menduga “Tak Sepadan” ditujukan untuk Ida, meskipun tak ada nama Ida di sana.

 

Saya tidak ingin membaca puisi “Tak Sepadan” dengan dibayangi biografi Chairil.

Di mata saya, puisi “Tak Sepadan” menyatakan kemustahilan ikatan kekitaan dengan memutlakkan keterpisahan “aku” dan “kau”. Saya baca:

 

Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahgia
Sedang aku mengembara serupa Ahasvéros.

 

Sejak awal, “Tak Sepadan” menekankan kebedaan radikal antara “aku” dan “kau”. Penekanan pada kebedaan itu terasa menggemakan larik-larik pembuka puisi Amir Hamzah, “Turun Kembali”:

 

Kalau aku dalam engkau
Dan engkau dalam aku
Adakah begini jadinya
Aku hamba engkau penghulu?
Aku dan engkau berlainan

  

Dalam puisi “Tak Sepadan”, ikatan kekitaan tidak mungkin terbentuk karena “aku” dan “kau” menghuni dua dunia yang kontras. “Kau” bermukim di dunia domestik yang diam dan stabil, sementara “aku” sibuk di dunia pengembaraan yang terus bergerak dan labil. “Kau” berumah dan di rumah, sedangkan “aku” di luar rumah dan tak berumah. Keberumahan identik dengan kebahagiaan, sebaliknya ketakberumahan adalah kutukan.

 

Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka.  

 

Kontras antara keberumahan “kau” dan ketakberumahan “aku” itu bukan deskripsi keadaan. Ungkapan “aku kira: beginilah nanti jadinya” di awal puisi menunjukkan kontras itu adalah sesuatu yang dibayangkan pembicara akan terjadi di masa depan, bukan sesuatu yang aktual. Nama “Ahasveros” dan “Eros”, yang jelas bukan nama yang berasal dari Indonesia, menguatkan keasingan—citra negeri asing—pada konsep pengembaraan dan ketakberumahan di kepala pembicara. Menurut Goenawan Mohamad dalam “Ahasveros”, Ahasveros adalah tokoh dalam dongeng asing, sosok “pahlawan” yang tragis dan dikutuk menjadi pengembara abadi. Eros, kita tahu, adalah dewa cinta Yunani Kuno. Penyebutan Ahasveros, yang pahlawan, dan Eros, yang dewa, menyarankan pengagungan pembicara terhadap ketakberumahan. Meskipun tidak membahagiakan, ketakberumahan diagungkan oleh pembicara. Ketakberumahan adalah gagasan ideal baginya. Ia akan memilih pengembaraan, dan itu berarti tidak akan pernah ada “kita”.

 

Kemustahilan terbentuknya “kita” tidak disesali apalagi ditangisi, sebaliknya bahkan disarankan oleh pembicara.

 

Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka.        

 

Ketiadaan “kita” adalah sesuatu yang dipandang “baik”. Nada antisipatif puisi ini (“Aku kira: / Beginilah nanti jadinya”) mengisyaratkan bahwa aku-subjek menolak kemungkinan terbentuknya “kita”. “Kita”, yang sempat muncul satu kali dalam puisi di awal bait terakhir, segera diceraikan menjadi “kau” dan “aku” yang berbeda secara eksistensial di dua larik penutup puisi.

Puisi “Tak Sepadan”, dengan suara keakuannya yang menolak telak prospek kekitaan, bagi saya terdengar seperti manifesto individualis.

Chairil menjadikan puisi “Tak Sepadan” sebagai bagian kedua dari puisi “Lagu Siul”. Bagian pertama “Lagu Siul” berbunyi:

 

Laron pada mati
Terbakar di sumbu lampu
Aku juga menemu
Ajal di cerlang caya matamu
Heran! ini badan yang selama berjaga
Habis hangus di api matamu
‘Ku kayak tidak tahu saja.  

                       

Dengan memperlakukan puisi sebagai cerminan biografi penyair, Hasan Aspahani membaca “Lagu Siul” sebagai puisi cinta antara Chairil Anwar dan Ida Nasution. Tulis Hasan dalam Chairil:

 

Chairil benar-benar tak berdaya di hadapan Ida. Seperti laron yang terancam mati, terbakar di sumbu lampu. Aku juga menemu ajal di cerlang caya matamu. Chairil sendiri heran pada dirinya sendiri, kenapa badan yang selama berjaga, habis hangus di api matamu. ‘Ku kayak tidak tahu saja! Akhirnya Chairil memaklumi juga penyebab ketidakberdayaannya di hadapan Ida yang mendominasi itu.

 

Berbeda dengan Hasan Aspahani, saya tidak berminat menghubungkan puisi “Lagu Siul” dengan biografi Chairil.

Saya tertarik melihat perbedaan langgam bahasa antara bagian pertama dan bagian kedua “Lagu Siul”. Bahasa bagian kedua, yang adalah puisi “Tak Sepadan”, terasa kasual dan lugas. Sebaliknya, bahasa bagian pertama terasa lebih “bersayap” atau “berbunga-bunga”. Lebih bergaya. Terutama pada empat larik pertama: “Laron pada mati / Terbakar di sumbu lampu / Aku juga menemu / Ajal di cerlang caya matamu”.

Larik-larik awal itu terasa kepantun-pantunan dan berbau puisi Pujangga Baru. Gayanya dan metaforanya mengingatkan pada satu bait puisi terkenal Amir Hamzah, “Padamu Jua”:

 

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia, selalu

 

Amir menyamakan “kau” dengan “kandil” dan “pelita”. Paralel dengan itu, Chairil mengumpamakan “kau” sebagai lampu. Dengan adanya kesajajaran rasa bahasa dan perlambangan antara larik Amir dan larik Chairil itu, “kau” dalam puisi Chairil menjadi dapat dimaknai sebagai bagian dari dunia lama, dunia tradisi. Sebuah dunia tenteram yang dalam puisi Amir terbayangkan sebagai rumah yang “melambai pulang perlahan / sabar, setia, selalu”. Kehangatan rumah Amir ini terpantul pada puisi “Lagu Siul” Chairil dalam gambaran kehidupan rumah tangga: “Kau kawin, beranak dan berbahgia”.

Pembicara dalam puisi Chairil tahu, penyatuan antara “aku” dan “kau” akan mengakibatkan kematian “aku”: “Habis hangus di api matamu”. Tak ada prospek untuk terbentuknya “kita”. “Aku” menolak penyatuan fatal dengan “kau”, menolak integrasi mematikan dengan dunia lama, dunia rumah yang tenteram, sebagaimana tersirat dari ungkapan bernada ironis: “‘Ku kayak tidak tahu saja”.

Dalam “Padamu Jua” Amir Hamzah, “aku” yang pernah pergi akhirnya mencoba pulang, kembali ke pelukan “kau”: “Pulang kembali aku padamu / Seperti dahulu”. Tapi kepulangan itu tidak bisa mengembalikan “kita” yang telah pecah. “Kau” begitu ilusif dan tak terpegang. “Aku” mustahil menjangkau “kau”. Kemustahilan itu bukan saja mengakibatkan “nanar aku, gila sasar”, tetapi juga menimbulkan kesepian kronis: “Kasihmu sunyi / Menunggu seorang diri”.

Chairil Anwar lebih militan daripada Amir Hamzah. Dalam “Lagu Siul”, prospek penyatuan “aku” dan “kau”, kemungkinan terbentuknya “kita”, sejak awal ditolak. Bagian pertama puisi “Lagu Siul” mengisyaratkan bahwa kekitaan yang ditolak telak di bagian kedua adalah dunia lama, rumah tradisi, ikatan kolektivitas usang yang mematikan individu.

Sebelum Chairil, kritik terhadap ikatan kolektivitas lama saya lihat menapasi puisi “Batu Belah” Amir Hamzah. Dalam sebuah esai tentang kumpulan puisi Nyanyi Sunyi karya Amir Hamzah, saya menulis:  

 

Tokoh ibu dalam puisi “Batu Belah” dapat menyimbolkan masyarakat lama (adat), rahim sosio-kultural yang telah melahirkan sang penyair. Puisi ini menyiratkan kekecewaan sang penyair terhadap institusi sosial lama yang tidak mampu mengakomodasi keinginan individualnya. Kepada ibunya, si anak menuntut “Telur kemahang minta carikan / Untuk lauk di nasi sejuk”, tetapi si ibu tidak sanggup memenuhi permintaan itu: “Tiada sayang; / Dalam rimba telur kemahang / Mana daya ibu mencari / Mana tempat ibu meminta”. Masyarakat lama tak punya tempat untuk menampung aspirasi baru individu, karena masyarakat ini telah lapuk, tinggal menunggu ambruk: si ibu menemui ajal dimangsa batu belah.
Tetapi Amir Hamzah bukan Malin Kundang yang berani meninggalkan dan mendurhaka ibunya….Menyaksikan kematian sang ibu kultural, Amir Hamzah tidak melihat kemungkinan lain kecuali menyongsong mautnya sendiri. Si anak menyusul mati ibunya ke mulut batu belah, karena “sudah demikian kuperbuat janji”. Kontrak sosial itu terlalu kuat untuk dibobol….Betapa pun, dalam puisi “Batu Belah”, kita melihat sekilas kontradiksi batin sastrawan modernis yang jiwanya terpecah antara sikap konformis terhadap masyarakat dan motivasi-motivasi individualnya sendiri yang terdalam.

 

Kontradiksi batin Amir Hamzah dalam “Batu Belah” itulah yang tidak terlihat dalam puisi mahaterkenal Chairil Anwar, “Aku”. Aku-subjek puisi Chairil tidak menunjukkan sikap konformis sama sekali. Sang aku hanya melayani motivasi individualnya sendiri dan “tidak peduli” pada apa pun di luar dirinya, termasuk masyarakat. Pernyataan kondang “aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang” menegaskan kebedaan “aku” dengan masyarakat tempat asalnya, kolektivitas/kekitaan lama yang ia tinggalkan dalam puisi “Merdeka”.

Ungkapan “aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang” mengesankan bahwa “aku” adalah buangan, orang buangan, figur yang dibuang dari masyarakat. Namun, ungkapan “aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang” tidak hanya dapat dibaca sebagai deskripsi diri, melainkan juga permakluman diri. Syahadat identitas. Dalam artinya sebagai persaksian identitas, “aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang” adalah maklumat bahwa aku menolak menjadi bagian dari kumpulan, aku melepaskan diri dari ikatan dengan masyarakat. Aku tidak dibuang, melainkan membuang diri dari masyarakat, atau bahkan lebih ekstrem, membuang masyarakat. Aku menjauhi masyarakat. “Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang” menggemakan perkataan Aristoteles dalam Politics bahwa orang yang tidak dapat hidup dalam masyarakat, atau tidak butuh masyarakat karena sudah cukup dengan dirinya sendiri, pastilah binatang atau dewa. Citra binatang sebagai orang yang tidak dapat hidup di masyarakat ini sejajar dengan gambaran ideal tentang pengembara, orang yang tidak berumah, dalam puisi “Tak Sepadan”. Sebagai binatang atau pun sebagai pengembara, “aku” menolak “kita”.               

Dalam puisi “Batu Belah” Amir Hamzah, tokoh anak berkonflik dengan ibunya, simbol masyarakat lama, karena keinginan individualnya tidak dapat dipenuhi sang ibu. Sang ibu mati, lalu si anak ikut mati. Individu dengan aspirasi barunya tidak mungkin dapat hidup di luar kolektivitas lama. Namun, kembali ke pangkuan kolektivitas lama juga berarti kematian individu. Bagaimana pun, individu tidak akan bertahan.

Chairil seolah menyangkal premis pesimistis Amir itu. Dalam “Aku”, ia seakan-akan menebus kematian tokoh anak dalam “Batu Belah” Amir. Seperti si anak dalam puisi Amir, “aku” dalam puisi Chairil menyongsong maut: “Biar peluru menembus kulitku / Aku tetap meradang menerjang”. Namun ada perbedaan besar. Si anak Amir menyongsong maut untuk kembali ke pelukan ibunya. Ia, kata Amir, “menangis pedih mencari ibu”. Sang individu pulang ke masyarakat, dan ia mati. Si binatang jalang Chairil, sebaliknya, menyongsong maut dalam gerak menjauhi masyarakat: “Luka dan bisa kubawa berlari / Berlari / Hingga hilang pedih peri”. Ada kepedihan, tapi tidak dirasakan. Ia tidak menangis: “Tak perlu sedu sedan itu”. Dan ia menolak mati: “Aku mau hidup seribu tahun lagi”.

Bagi saya, puisi “Aku” Chairil terdengar seperti menanggapi puisi “Batu Belah” Amir Hamzah. Chairil seperti mereaksi kegamangan sikap sang Raja Penyair Pujangga Baru terhadap tegangan antara individualisme dan kolektivisme, dunia baru dan dunia lama, modernitas dan tradisi. Jawaban Chairil kepada Amir adalah pemberontakan: “Aku tetap meradang menerjang”. Namun, pemberontakan terhadap tatanan lama bukan datang dari Chairil saja. Sebelum Chairil, pemimpin Pujangga Baru, Sutan Takdir Alisjahbana, kawan seangkatan Amir, sudah berseru dalam puisi “Menuju ke Laut”:

 

Sejak itu jiwa gelisah.
Selalu berjuang, tiada reda.
Ketenangan lama rasa beku,
gunung pelindung rasa pengalang.
Berontak hati hendak bebas,
menyerang segala apa mengadang.

 

Hanya saja, suara puitik Takdir terlalu melangit. Kurang membumi. Kurang cocok untuk berontak.

Puisi “Aku” menjulang sebagai ikon individualisme Chairil Anwar. “Kita umumnya beranggapan bahwa ‘Aku’ mencerminkan sikap individualistis penyair ini; boleh dikatakan berdasarkan sajak inilah ia dianggap seorang individualis,” kata Sapardi Djoko Damono dalam “Chairil Anwar Kita”.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan individualis sebagai “orang yang tetap mempertahankan kepribadian dan kebebasan diri; penganut paham individualisme”. Definisi individualisme yang sering dirujuk orang adalah yang diberikan Oxford English Dictionary: “perasaan atau perilaku yang berpusat pada diri sendiri sebagai prinsip…tindakan atau pikiran individual yang bebas dan mandiri; egoisme.”

Suara individualis memang sering terdengar dalam puisi Chairil Anwar. Tidak hanya dalam puisi “Aku”. Saya juga mendengarnya dalam, antara lain, puisi “Tak Sepadan”, sebagaimana telah saya uraikan. H.B. Jassin (“Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45”, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai II, 1985) mendengarnya dalam puisi “Penerimaan”: “rasa keakuannya meluap-luap dalam: Kalau kau mau, kuterima kau kembali / Untukku sendiri tapi / Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.”

Namun, suara individualis Chairil tampaknya memang paling nyaring dalam puisi “Aku”, apalagi ditunjang dengan gaya larik-lariknya yang seperti slogan. Suara individualis dalam puisi ini tidak hanya kuat atau kencang, tetapi terutama keras, dalam arti garang, tidak lemah lembut. Puisi ini memperhadapkan “aku” dengan dunia di luarnya secara frontal di latar yang penuh kekerasan. Ia menolak tegas campur tangan siapa pun terhadap keputusan subjek: “Kalau sampai waktuku / ‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu / Tidak juga kau”. Melalui puisi “Aku”, Chairil benar-benar tampil sebagai sosok ego contra mundum yang mengibarkan panji individualisme.

Dalam banyak puisi Chairil, individualisme beririsan dengan kemustahilan membentuk ikatan kekitaan. “Kita” adalah mustahil. Kemustahilan itu paling eksplisit dan dramatis digambarkan dalam puisi “Sia-Sia”.

 

Cinta? Kita berdua tak mengerti
Sehari kita bersama. Tak hampir-menghampiri
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
            Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

 

Kesepian adalah kekuatan destruktif mematikan yang hadir sebagai konsekuensi dari kemustahilan “kita”: “Mampus kau dikoyak-koyak sepi.” Kekitaan, ikatan kebersamaan antara “aku” dan “kau” yang membentuk “kita”, adalah semu belaka: “Cinta? Kita berdua tak mengerti // Sehari kita bersama. Tak hampir-menghampiri”. Yang nyata hanyalah “aku” yang kedap dan terisolasi: “Hatiku yang tak mau memberi”. Yang sejati hanya “aku” yang tetap sendirian meski dalam kebersamaan.

Dalam Nyanyi Sunyi, Amir Hamzah mendapati dirinya terisolasi, sendirian total, karena terputus dari ikatan kebersamaan. Dalam puisi “Hanyut Aku”, ia tercekik sepi dan berteriak putus asa:

 

Hanyut aku, kekasihku!
Hanyut aku!
Ulurkan tanganmu, tolong aku.
Sunyinya sekelilingku!
Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin hati, tiada air menolak ngelak.
Dahagaku kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku sebabkan diammu.
Mati aku, kekasihku, mati aku!

 

Itulah nada dasar “nyanyi sunyi” yang berkumandang dalam banyak puisi Amir Hamzah dalam kumpulan Nyanyi Sunyi.

Kesunyian, kesepian, kesendirian—sebagai risiko dari bangkitnya kesadaran individualitas subjek di hadapan kolektivitas—juga menimpa Chairil Anwar. Kesunyian kronis Amir Hamzah dalam puisi “Hanyut Aku” terdengar bergema dalam puisi “Sendiri” Chairil.        

 

Hidupnya tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
la memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnya
la membenci. Dirinya dari segala
Yang minta perempuan untuk kawannya
Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakutan-menanti ia menyebut satu nama
Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?
Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!

 

Dalam puisi “Sendiri”, subjek dilanda kesepian parah. Seperti Amir Hamzah dalam “Hanyut Aku”, ia “memekik ngeri dicekik kesunyian”. Kesunyian terasa begitu mengancam sampai-sampai ia ketakutan. Dalam kesendiriannya yang mematikan itu, seperti tokoh anak yang ditinggal ibunya dalam puisi “Batu Belah” Amir Hamzah, ia menangis dan berpaling ke ibunya. Namun, jika Amir kembali ke ibunya, Chairil tidak. Ia hanya terbayang ibunya. Meski mendengar panggilan dari kumpulan lama yang dibuangnya, binatang jalang itu tidak pulang. Tapi ia tersedu.

Banyak sudah pengamat yang mencatat kesepian-kesunyian sebagai satu tema penting puisi-puisi Chairil Anwar. “Karya-karyanya tampak didominasi oleh kemuraman, oleh maut dan terornya, oleh kesepian tragis, oleh ketiadaan komunikasi nyata,” catat A. Teeuw (1967). “Kesepian tragis” itu ditunaskan Chairil dari benih yang ditanam Amir Hamzah dalam Nyanyi Sunyi. Pohon kesunyian itu kemudian dipupuk terus oleh bergenerasi-generasi penyair lain hingga tumbuh subur menjadi pohon besar bercabang-cabang yang begitu kukuh menancap di tanah tradisi puisi Indonesia. Sayup-sayup, saya masih mendengar gema kesunyian dan bahasa puitik membumi Chairil dalam puisi penyair mutakhir, Ilda Karwayu, dalam kumpulan Binatang Kesepian dalam Tubuhmu (2020):

 

DI AMBANG KISAH

seprai bermotif air mata ini
membuatku tak nyenyak tidur
ruang tak lagi ramai oleh suara
manusia. digantikan nada
notifikasi dari telepon genggam

 

Ada sisa sedu kesepian Chairil dalam puisi “Sendiri” di balik citra seprai bermotif air mata. Ada yang tak nyenyak tidur di kamar sepi yang kehilangan manusia, seperti Chairil dalam puisi “Kesabaran” yang berkata, “Aku tak bisa tidur / Orang ngomong, anjing nggonggong / Dunia jauh mengabur”. Mungkin kamar Ilda adalah kamar sunyi 3 x 4 meter yang pernah ditempati Chairil dalam puisi “Sebuah Kamar”.  

Kesepian, kesunyian dan kesendirian subjek yang pekat menggenangi Nyanyi Sunyi Amir Hamzah dan puisi-puisi Chairil Anwar adalah konsekuensi dari terbentangnya jurang antara individu dan masyarakat, antara “aku” dan “kita”. “Amir Hamzah,” tulis saya beberapa tahun lalu, “sangat peka menangkap getaran suasana batin yang merundung para sastrawan-intelektual modernis Eropa pada awal abad ke-20, belum terlalu lama dari saat penulisan Nyanyi Sunyi pada dekade 1930-an. Simtom pengunduran diri dari konsensus sosial dan alienasi psikologis merambah karya para sastrawan modernis awal di Eropa seperti Gide, T.S. Eliot, Kafka dll.”

Saya tidak tahu bagaimana Amir Hamzah menyerap suasana kebatinan yang merundung para sastrawan modernis awal Eropa. Namun, kita tahu Chairil membaca, bahkan mengagumi, karya Amir Hamzah, terutama Nyanyi Sunyi. Tulisnya dalam “Hoppla”:

 

…Amir Hamzah dalam “Nyanyi Sunyi” dengan murninya meneriakkan sajak-sajak yang selain oleh “kemerdekaan penyair” memberi gaya baru pada bahasa Indonesia, kalimat-kalimat yang padat dalam seruannya, tajam dalam kependekannya. Sehingga susunan kata-kata Amir bisa dikatakan destruktif terhadap bahasa lama, tetapi suatu sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru!

 

Chairil Anwar tidak hanya mengagumi bahasa puisi Amir Hamzah, tetapi juga mengadopsi tema puisi pendahulunya itu. Chairil meneruskan tema kesunyian dalam puisi Amir. Dengan itu, ia memperdalam gejala modernisme berupa pengunduran diri dari konsensus sosial dan alienasi psikologis yang pekat mewarnai Nyanyi Sunyi Amir Hamzah. Puisi Amir Hamzah berbicara tentang individu yang mendapati dirinya sendirian karena terpisah dari masyarakat. Puisi Chairil Anwar bersuara tentang individu yang memilih sendirian karena ia kehilangan kepercayaan terhadap masyarakat. Puisi Chairil memperdengarkan skeptisisme kuat “aku” terhadap “kita”.          

Berbeda dari Amir Hamzah, ada kontak intensif antara Chairil Anwar dan karya-karya sastrawan modernis Barat. Chairil menerjemahkan prosa Andre Gide dan puisi T.S. Eliot. Modernisme Chairil tumbuh dari bibit yang ditanam Amir Hamzah dan dipupuk dengan karya para penyair modernis Barat.    

Kesepian—suasana yang menggenangi banyak puisi Chairil—adalah turunan dari gejala umum alienasi atau keterasingan. Secara sederhana, alienasi berarti kondisi terasing dari orang lain atau sesuatu. Alienasi pekat mewarnai, bahkan bisa dibilang mencirikan, karya sastra modernis awal. Dalam sastra, tema alienasi sering muncul dalam bentuk keterkucilan psikologis individu dari komunitas atau kelompok. Isolasi psikologis inilah yang meresapi puisi terkenal The Waste Land karya raksasa modernis T.S. Eliot, misalnya. Kita baca kutipannya:      

 

A crowd flowed over London Bridge, so many,
I had not thought death had undone so many.
Sighs, short and infrequent, were exhaled,
And each man fixed his eyes before his feet.

 

Dalam larik-larik Eliot itu, alienasi dicitrakan sebagai situasi kesendirian dalam kebersamaan, sunyi dalam keramaian. Sangat banyak orang berjalan di London Bridge, tapi setiap orang hanya menatap kakinya sendiri-sendiri. Setiap orang terasing dari orang lain. Itulah situasi yang sama dengan yang dilukiskan Chairil dalam puisi “Sia-Sia”: “Sehari kita bersama. Tak hampir-menghampiri”. Dalam puisi-puisi Chairil, alienasi adalah risiko individualisme, dan individualisme adalah cerminan spirit modernis yang menyangsikan/menolak konsensus.    

Kemunculan modernisme artistik di Barat pada awal abad ke-20 adalah momen inovasi seni. Inovasi seni diselenggarakan sebagai bentuk pengunduran diri dari konsensus sosial, dalam hal ini pengunduran diri dari konvensi seni generasi lama. Dalam konteks modernisme artistik Barat, konvensi seni generasi lama yang ditolak kaum modernis berpusat pada Realisme, paham artistik yang dipandang melanggengkan konsensus sosial yang dekaden dan hipokrit.

Kaum modernis menolak Realisme dengan dua cara. Pertama, inovator modernis mengembangkan paham Simbolis tentang autonomi stilistik sehingga karya mereka seakan-akan bergantung pada konvensi artistik yang independen, tidak bergantung pada konvensi sosial. Kedua, mereka menjunjung gagasan bahwa seni dan kreativitas harus berciri subjektif, intuitif, dan ekspresionis—namun bukan dalam arti romantik yang memandang seni sebagai luapan perasaan seniman. Pelukis modernis Wassily Kandinsky, misalnya, mengatakan bahwa “Ketika agama, sains dan moralitas terguncang, dua yang terakhir oleh tangan perkasa Nietzsche, dan ketika sokongan luar terancam ambruk, orang memalingkan tatapannya dari luar ke dalam dirinya.” (Concerning the Spiritual in Art, 1914). Buku berpengaruh Freud, The Interpretation of Dreams (1900), mendukung pengunduran diri modernis dari konsensus sosial dengan menampik otoritas lama dan mengunggulkan analisis diri.    

Meskipun Chairil Anwar membaca karya sastrawan inovator modernis, saya tidak tahu apakah ia juga membaca wacana modernisme artistik yang melatarbelakangi karya mereka. Namun, Chairil jelas diakui sebagai inovator. Hendrik M.J. Maier (“Chairil Anwar’s ‘Heritage: The Fear of Stultification’”, 1987) mengatakan:

 

Hampir semua orang setuju dengan Jassin setidaknya dalam satu hal: Chairil adalah inovator bentuk. Puisinya membuka pandangan baru ke sastra Indonesia modern dengan kehematan dan ambiguitas ungkapan, dan bahasanya yang ringkas-padat dan tepat jelas menunjukkan bahwa bahasa Melayu, yang dengan hangat dipromosikan sebagai bahasa nasional Indonesia, memiliki potensi besar untuk ekspresi sastra.

 

Sebagaimana halnya kaum modernis Barat, inovasi artistik Chairil dijalankan untuk menolak konvensi generasi pendahulu, yaitu angkatan Pujangga Baru. Penolakan itu disuarakan oleh Chairil dalam prosanya, “Hoppla!” (dan sudah dibahas Jassin dalam “Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45”).

Inovasi artistik penyair modernis Barat abad ke-20 sesungguhnya tidak banyak membawa perubahan teknis dari puisi Simbolis Prancis abad ke-19. Penyair Simbolis Prancis sudah bereksperimen dengan peralatan yang banyak digunakan penyair modernis, seperti sajak bebas, permainan tipografi dan asosiasi ide-ide irasionalis.

Situasi tersebut berbeda dengan kasus Chairil. Chairil menyerap inovasi artistik penyair modernis Barat abad ke-20 untuk mendukung inovasi bentuk yang dikerjakannya secara sungguh-sungguh pada puisinya. Inovasi bentuk itu membawa perubahan teknis yang signifikan dari karya para penyair pendahulu dan mengubah wajah puisi Indonesia secara dramatis.

Bersama inovasi bentuk yang mereaksi konvensi puisi generasi pendahulu, wacana individualisme dalam puisi berada di jantung modernisme artistik Chairil Anwar.

Individualisme Chairil dalam puisi perlu dibedakan dengan individualismenya sebagai sosok pribadi. Saya sebut yang pertama “individualisme puitik”, sedangkan yang kedua “individualisme personal”.

Chairil Anwar tercatat dalam biografi sebagai sosok ultraindividualis. H.B. Jassin (1985) menulis tentang individualisme personal Chairil:

 

Padanya adalah “aku” yang paling penting, seluruh dunia berputar pada “aku”-nya dan “aku”-nyalah yang membentuk dunia sekitar…. Baginya segala nilai tidak berharga, dia hidup sebagai makhluk alam yang tiada kenal konvensi tata susila.
Tempat kediamannya tidak tetap, berpindah dari satu tempat ke lain tempat, dari satu rumah kawan ke rumah kawan lain, dari satu hotel ke hotel lain.
Dia memang tidak bisa diikat dan tidak bisa mengikat diri, dalam nafsunya yang terlalu besar untuk hidup. Hidup kekeluargaan pun tidak bisa mengikatnya, meskipun ia dapat seorang anak perempuan dari perkawinannya. Dunia terlalu luas dan rumah terlalu kecil untuk mengecap kenikmatan hidup sepuasnya.

 

Definisi kedua individualis dalam KBBI menyingkapkan sisi gelap individualisme. Individualis adalah “orang yang mementingkan diri sendiri; orang yang egois”. Penyamaan sikap individualistis dengan egois menyebabkan individualisme umumnya dipandang buruk.

Citra buruk individualis itulah, saya kira, yang berada di balik nada ironis yang seperti selalu menyertai biografi Chairil Anwar. Ketika menulis riwayat hidup Chairil, orang—mungkin tanpa disadari—sering menarik garis lurus dari kebesaran Chairil sebagai penyair ke ketragisan akhir hidupnya sebagai manusia. Seakan ada unsur hukuman pada akhir cerita tentang figur individualis yang diakui sebagai penyair terbesar kita itu.

Kita simak beberapa pendapat orang.

H.B. Jassin mengatakan sikap individualistis habis-habisan Chairil yang menerabas segala norma dan aturan itu berkontribusi besar pada prestasi cemerlangnya di dunia sastra. Individualisme Chairil sebagai pribadi bertanggung jawab atas kebesaran Chairil sebagai penyair. “Penghidupan melepas-bebas ini tidak sia-sia,” komentar Jassin tentang kehidupan individualistis Chairil, “Sebab dalam kelepas-bebasan inilah ia bisa mencapai ketinggian dan kemurnian pikiran-pikiran dan pengertian-pengertian yang mutlak, yang tidak bisa dicapai oleh orang yang serba terikat dalam gerak-geriknya, oleh segala macam ikatan kebiasaan dan adat-istiadat. Meskipun tidak punya cara penghidupan teratur, Chairil selalu penuh buah pikiran yang segar untuk usaha kemajuan kehidupan budaya dan istimewa kehidupan sastra.”

Terkesan bahwa bagi Jassin, individualisme personal Chairil adalah tenaga yang mendorong pencapaian artistik-kultural sang penyair ke tingkat tertinggi. Namun, individualisme itu pulalah yang akhirnya menamatkan riwayat sang penyair secara tragis: “Bahwa ia akan binasa dalam cara hidup tidak berketentuan,” tulis Jassin.

Hasan Aspahani juga menghubungkan kematian Chairil dengan sikap individualistis sang penyair yang memilih hidup sebagai gelandangan intelektual di Jakarta. “Tragedi dan timpaan sajak-sajak kepada diri Chairil Anwar sendiri adalah: di hari-hari terakhirnya dia benar-benar menanggung kutuk-sumpah Eros—sebagaimana ia sebut dalam salah satu sajaknya—mengembara sampai ajal tiba seperti Ahasveros,” tulisnya dalam biografi Chairil.

A. Teeuw (1967) berpikiran serupa. Catatnya:

 

Chairil menjalani kehidupan ini seperti ikan di air – hidup di mana saja dengan siapa saja, di ruang perjamuan dengan para pemimpin politik dan budaya, dan di bawah jembatan dengan tukang becak dan pelacur jalanan. Secara spiritual dia sangat vital sampai-sampai itu juga menghabiskan semua vitalitas fisiknya; dia benar-benar menghabiskan dirinya, sehingga dia tidak berdaya melawan serangan tifus dan meninggal pada 28 April 1949, ketika usianya belum genap 27 tahun.

 

Seakan-akan orang berkata: Chairil Anwar adalah penyair besar, tapi karena dia individualis, maka dia dihukum mati muda dalam sengsara.

Apa arti individualisme Chairil di zaman kita?

Individualisme personal Chairil, individualismenya sebagai sosok pribadi, dalam bentuk ego segede gajah yang ditopang “penghidupan melepas-bebas” dan gaya hidup kacau, tentu tidak relevan lagi dengan semangat zaman sekarang. Unsur-unsur individualisme personal Chairil yang masih bagus diteladani mungkin ada pada semangat membara untuk serius menekuni bidang pilihan sendiri dan selalu berusaha merintis jalan kreatif baru. Tapi itu pun di zaman sekarang mungkin tidak maksimal hasilnya jika dilakukan dengan sikap individualistis. Alih-alih semangat individualistis, zaman kita lebih menuntut semangat kolaboratif.

Di sisi lain, individualisme puitik Chairil, individualisme yang memancar dari puisinya, bisa mengajarkan sesuatu yang penting bagi kita di zaman sekarang. Pembacaan saya terhadap puisi-puisi Chairil menyingkapkan wajah individualisme berwujud “aku” yang tercipta dari penerimaan heroik, meskipun tragis, atas kemustahilan atau ketiadaan “kita”. Puisi Chairil memperlihatkan individualisme yang berkeras berdiri di seberang kolektivisme, meski harus menanggung pedih-perih.

Apakah individualisme puitik Chairil adalah pendirian antikolektivitas? Paham egosentris yang memusuhi kebersamaan? Saya kira bukan.

 

Saya baca puisi “Pemberian Tahu”:

 

Bukan maksudku mau berbagi nasib,
nasib adalah kesunyian masing-masing.
Kupilih kau dari yang banyak, tapi
sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring.
Aku pernah ingin benar padamu,
Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali,
Kita berpeluk ciuman tidak jemu,
Rasa tak sanggup kau kulepaskan.
Jangan satukan hidupmu dengan hidupku,
Aku memang tidak bisa lama bersama
Ini juga kutulis di kapal, di laut tidak bernama!

 

Dalam puisi “Pemberian Tahu”, “aku” pada mulanya ingin membentuk ikatan kekitaan dengan “kau”: “Aku pernah ingin benar padamu”. Namun, ketika sudah terbentuk, ikatan kekitaan itu ternyata semu belaka: “Kupilih kau dari yang banyak, tapi sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring.” Ada “kita”, tapi tidak ada kebersamaan. “Kita” tidak ada artinya. Maka “aku” pun memilih kesejatian dengan memutus ikatan kekitaan: “Jangan satukan hidupmu dengan hidupku”. “Aku” mengakui kemustahilan “kita”: “Aku memang tidak bisa lama bersama”.

Puisi “Pemberian Tahu” memberitahukan bahwa individualisme puitik Chairil tidak identik dengan sikap antikolektivitas. Ia tidak mengajarkan sikap antisosial. Yang ditolaknya bukan ikatan kebersamaan, melainkan ikatan kebersamaan yang semu. Ikatan kebersamaan tanpa kebersamaan. Ia menolak kesemuan dan kepalsuan “kita”.

Bagi saya, individualisme puitik Chairil mengajarkan untuk kritis dan waspada terhadap klaim dan manipulasi yang mengatasnamakan “kita”. Populisme, misalnya. Atau kampanye politik. Atau manuver apa pun yang ingin menjaring individu agar bergabung dan bergerak dengan orang banyak. Demi rakyat, demi umat, demi bangsa dan sebagainya. Bukan berarti individu tidak usah menjadi bagian dari kolektivitas apa pun. Namun, ketika memutuskan masuk ke himpunan, individu harus sadar dengan kepentingan dirinya. Kolektivitas yang dimasukinya harus berarti baginya. Sebab, pada akhirnya yang dipertaruhkan, yang memetik untung atau menanggung buntung, adalah individu itu sendiri: “nasib adalah kesunyian masing-masing”. Setiap orang bertanggung jawab atas pilihannya sendiri.

Individualisme puitik Chairil membela kesejatian dan menolak kesemuan dan kepalsuan. Visi yang sama juga dilihat orang pada individualisme personal Chairil. Sebagai individualis, Chairil digambarkan menolak kemunafikan masyarakat. Chairil, kata A.H. Johns (1964), “menganggap norma-norma kehidupan sosial dilanggengkan dan ditopang oleh kemunafikan, dan dia praktis menghancurkan diri sendiri ketimbang menerimanya.”

Pembelaan Chairil terhadap kesejatian dan penolakannya terhadap kesemuan itu membawa saya ke perkara selfi. Selfi, mengambil foto diri sendiri dengan hape untuk diunggah di medsos, begitu marak di zaman kita. Halaman medsos penuh dengan selfi. Di kesempatan apa pun di tempat mana pun, rasanya tidak afdol jika kita tidak selfi. Tiada hari tanpa selfi. Rasanya tidak berlebihan jika dikatakan, kita kini hidup di zaman selfi.

Selfi adalah soal eksistensi. Orang berselfi supaya eksis. Aku berselfi supaya diriku dilihat, diakui, dihargai orang lain. Aku berselfi karena aku tidak mau diabaikan. Aku tak mau dianggap tidak ada, maka dari itu aku berselfi. Aku berselfi, maka aku ada.

Di zaman Chairil, tak ada hape. Tak ada medsos. Dan tentu tidak ada selfi. Tapi Chairil punya cermin. Cermin bisa memantulkan wajah kita, seperti hape. Berselfi itu hampir sama dengan bercermin. Dengan berselfi atau bercermin, kita melihat wajah kita sendiri. Saya bayangkan Chairil berselfi. Tidak dengan hape, tentu saja, melainkan dengan cermin. Saya baca puisi “Selamat Tinggal”: 

 

Aku berkaca
Bukan buat ke pesta
Ini muka penuh luka
Siapa punya?
Kudengar seru-menderu
— dalam hatiku? —
Apa hanya angin lalu?
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah…!!!
Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal….
Selamat tinggal…!!!

 

Orang pergi ke pesta biasanya berdandan supaya kelihatan cakep. Begitu pula orang berselfi. Tidak ada orang berselfi supaya kelihatan jelek. Orang berselfi pasti “berdandan”, disadari atau tidak. Setidak-tidaknya ia akan merapikan rambut, atau ambil pose tertentu biar kelihatan keren. Jadi, diri yang tampil dalam selfi bukanlah diri yang sejati, melainkan diri yang sudah dirias. Aku dalam selfi bukan aku yang sebenarnya. Aku-selfi adalah semu.

Kesemuan diri-selfi itu ditolak Chairil: “Aku berkaca / Bukan buat ke pesta”. Yang dilihat Chairil di cermin bukan wajah cakep, seperti layaknya wajah orang yang berselfi, melainkan sebaliknya: “muka penuh luka”. Chairil melihat dirinya di cermin, tapi tidak mengenalinya. “Siapa punya?” tanyanya. Chairil tidak menemukan dirinya di cermin. Citra yang ditampilkan cermin adalah hasil pembesaran. Cermin membesar-besarkan atau melebih-lebihkan kenyataan hingga “segala menebal, segala mengental”. Cermin, atau foto selfi, tidak mencerminkan kenyataan. Tidak ada diri-sejati di sana. Di cermin atau foto selfi hanya ada kesemuan, fatamorgana: “segala tak kukenal”. Maka Chairil mengucapkan “selamat tinggal” kepada diri-selfi yang semu belaka.

Puisi “Selamat Tinggal” seperti mengingatkan agar kita tidak mencari pengakuan terhadap diri dengan cara dangkal dan instan yang mengandalkan kesemuan seperti selfi. Pengakuan terhadap diri mestinya dicari dengan kerja keras untuk meraih prestasi, seperti yang ditunjukkan Chairil. Bukan dengan pamer diri. Diri yang palsu pula. “Aku berselfi, maka aku ada” sepatutnya kita ganti menjadi “aku berprestasi, maka aku ada”.

Kita hidup di zaman kesemuan. Zaman oplas. Zaman paras glowing. Zaman kopi tanpa kafein, krim tanpa lemak, bir tanpa alkohol, seks tanpa hubungan kelamin (seks virtual). Kita hidup di era kulit tanpa isi, tanda tanpa makna, eksistensi tanpa esensi. Di zaman kita yang merayakan kesemuan ini, Chairil Anwar adalah suara kesejatian yang mengetuk pintu kesadaran kita.

Esai13 Juli 2023

Arif Bagus Prasetyo


Arif Bagus Prasetyo dikenal luas sebagai kritikus sastra dan seni rupa, penyair angkatan 2000-an, kurator lukisan, dan ahli penerjemahan yang meraih berbagai penghargaan. Kini ia menetap di Bali. Sebagai kritikus, Arif meraih berbagai penghargaan untuk karya kritiknya, antara lain Pemenang I Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2007, Anugerah “Widya Pataka” 2009 dari Pemerintah Provinsi Bali, serta Anugerah Puisi CSH 2009. Dalam bidang penerjemahan, ia telah menerjemahkan lebih dari 20 buku asing ke dalam bahasa Indonesia. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di berbagai antologi puisi. Buku terbarunya, Saksi Kata: 18 Esai Sastra (2021).