Karena sastra ditulis untuk manusia—sebab hingga saat ini belum bisa dibuktikan bahwa sastra ditulis untuk sehamparan batu di dasar kali—maka seluruh cerita—itu pun jika karya tersebut punya cerita—dalam karya sastra mengacu kepada manusia, langsung maupun tidak, demi kepentingan manusia. Meski memasang tokoh rupa-rupa satwa, fabel mengandung sindiran atau alegori untuk manusia. Dengan perumpamaan itu si pembuat cerita alegoris itu berharap manusia yang mendengarkan atau membacanya bisa mengambil hikmah/pelajaran sebab di dalamnya ada kritik atau sindiran, untuk penguasa lalim, misalnya. Maka, dengan mempersoalkan sastra yang menulis tentang manusia dan alam sekitarnya—katakanlah: “sastra di bumi manusia”—kami mengantarkan nomor terbaru ini.
Kita telah memperbarui cara memandang sastra dari waktu ke waktu. Pada mulanya ia adalah semacam “kalam Tuhan”, lalu kita mengambil alih ia sebagai milik kita sendiri seraya menempatkannya pada posisi tertentu, sesuatu yang tinggi dan indah. Masyarakat Jawa Kuno, sebagaimana diteliti P.J. Zoetmulder, menyebut seni menulis puisi sebagai “kalangwan”—agar dengan membacanya kita terhanyut mengalami keindahan. Banyak penyair Nusantara kuno yang menyebut karya mereka sebagai suatu “puja sastra” yang ditempuh demi memulihkan keseimbangan kosmik, semacam laku tirakat yang dijalani dengan menenggelamkan diri dalam keindahan/kerinduan (kalangon). Orang-orang di luar sana menyebut proses ini demi mengalami “katarsis”—sebab dengan sastra itu jiwa manusia telah dibersihkan, disucikan, dilepaskan dari beban hidup sehari-hari. Pada suatu ketika para penguasa menyebut sastra sebagai ancaman—sementara tidak sedikit yang menyebutnya sebagai barang tidak berharga.
Namun, dalam pandangan kita yang terbaik, pada karya sastra sebenarnya kita menemukan apa-apa yang ideal, jika bukan alternatif, bahkan subversif, dari kehidupan sehari-hari kita yang cenderung membosankan. Kita memberi harga yang tinggi kepadanya, sebab di dalamnya kita menemukan kembali kehidupan kita yang lain atau yang mungkin atau yang akan; sebab dengan sastra itu kita bisa membicarakan kembali diri dan lingkungan kita dengan cara lain.
Dengan mengambil-alih apa-apa yang telah dikatakan orang di luar sana kita menyebut sastra sebagai “cermin masyarakat”, sebagai “artefak sosial”, sebagai “artefak budaya”, dan seterusnya.
Dengan menderetkan istilah-istilah ini sebenarnya kami tengah menghadap-hadapkan sastra dengan antropologi, lebih khusus lagi teks sastra dan teks etnografi. Keduanya pada mulanya dipandang berbeda. Meski sama-sama menulis tentang masyarakat tertentu, yang pertama dipercaya sangat memuliakan imajinasi dan sudut pandang pribadi penulisnya, yang kedua berbasis pada data lapangan dan mengarah ke kesimpulan tertentu. Namun, hanya pada mulanya sajak keduanya seakan-akan berbeda.
Begitulah, dalam perkembangan etnografi terbaru, cara kerja berubah, metode pengumpulan data berkembang, teknik dan sudut pandang penulisan pun berganti. Kini, dalam riset etnografi, seorang peneliti sosial bukan hanya bisa menggunakan sudut pandang pribadinya sehingga “netralitasnya menjadi problematis”, tetapi juga menggunakan data-data termutakhir yang tidak dibayangkan sebelumnya, semisal akun media sosial, sebagaimana dalam kerja etnografi dalam bayang-bayang humaniora digital (digital humanities). Itulah watak etnografi baru yang “polifonik, heteroglosial dan multigenre”—jika meminjam istilah antropolog Dan Rose.
Pada saat yang sama, sastra pun memperbarui diri, baik dalam status ontologisnya, modus produksi, media publikasi maupun cara kita menilainya—sebagaimana telah kami tegaskan pada editorial tengara.id nomor perdana.
Dengan mengusung tema “Sastra Etnografis” kami hendak membuka diskusi tentang karya-karya sastra yang menegaskan pengaburan batas antara sastra dan antropologi tadi. Dalam kajian akademis terkait antropologi dan sastra, memang dikenal sejumlah istilah yang merupakan irisan di antara keduanya: novel etnografis, puisi etnografis, etnopuitika, etnografi naratif, etnografi sastrawi, hingga “etnografi imajiner”—sebagaimana Gabriele Schwab menyebut teks sastra. Semua itu karena, baik sastra maupun antropologi, sama-sama bergulat dengan kondisi manusia yang khas. Di Indonesia karya sastra yang menempuh kecenderungan antropologis mungkin bisa disebut dengan sedikit enteng “sastra warna lokal”. Namun, yang lokal di situ kelihatan sebagai penampakan luar, sesuatu yang dapat ditangkap dengan pengindraan kita, melalui citraan, ragam bahasa, nama dan tempat.
Masalahnya sebenarnya jauh lebih kompleks dari itu.
Meskipun menceritakan tentang masyarakat tertentu, pada suatu masa di suatu tempat, sastra dengan medium bahasa mengubah banyak sekali apa-apa yang didapatnya dari masyarakat tertentu. Apa yang berwatak imajinatif itulah yang segera membedakan kandungan teks sastra dengan teks etnografi. Dalam riset etnografi seorang peneliti bisa saja terlibat secara mendalam dalam perilaku masyarakat yang tengah ditelitinya, tetapi posisinya tetaplah sebagai “orang luar”. Sementara, dalam teks sastra seorang novelis dengan lihai bisa menciptakan narator yang bukan hanya menjadi juru cerita, tetapi terlibat dalam peristiwa, seorang narator-tokoh, yang ikut menggerakan alur cerita hingga dinyatakan selesai oleh si pengarang.
Seorang antropolog sangat mungkin menambahkan kekuatan laporannya dengan lukisan yang naratif-imajinatif—sebagaimana kita dapatkan pada laporan Clifford Geertz tentang sabung ayam (tajen) di Bali atau kota imajiner Mojokuto di Jawa Timur. Tapi, bayangkan pula, jika setelah studi lapangan bertahun-tahun seorang antropolog tidak lagi menulis laporan etnografi, tetapi sebuah novel—sebagaimana Laura Bohannan. Sementara seorang sastrawan bisa pula melukiskan perjumpaannya dengan orang-orang baru yang dikenalnya di negeri asing sebagaimana laporan etnografi. Simaklah catatan-catatan A.S. Laksana selama residensinya di Finlandia.
Dalam etnografi mungkin penting mempertahankan posisi sebagai “orang luar” dalam menelaah budaya orang lain, budaya sang Liyan—sebab begitulah pada mulanya para antropolog bekerja; ilmuwan Barat meneliti suku dan budaya di Afrika, Melanesia, Indian, Jawa, Bali, dan seterusnya. Namun, dalam novel atau puisi etnogarfis kita menghadapi kenyataan yang tidak seketat itu. Karya sastra etnografis ditulis bukan hanya oleh “orang luar”, tetapi juga “orang dalam”. Berbeda dari orang luar, orang dalam, yakni penulis dari lingkungan budaya setempat yang menulis tentang manusia dan budaya setempat—sebagaimana ditegaskan Janet Tallman: “memiliki sudut pandang yang tidak dikotori oleh keterikatan budaya atau ‘titik buta’ yang membayangi orang luar.” Sebab orang dalam juga dipercaya memiliki “autentisitas” pengetahuan budaya, yang mustahil dimiliki oleh orang luar alias antropolog.
Dalam khazanah sastra etnografis berbahasa Indonesia kita mendapatkan dua sudut pandang penulisan yang sama kuatnya. Mungkin kita akan membayangkan betapa jauh jarak budaya Banten dan Mentawai, tetapi seorang penulis berdarah Banten dengan mahir menulis fiksi tentang masyarakat dan budaya Mentawai. Atau, yang sedikit lebih dekat: seorang penulis berdarah Bugis menulis tentang konflik tanah adat dan kehidupan setelah mati di Toraja. Sementara, pada saat yang sama, kita juga mendapatkan fiksi karya seorang penulis Minangkabau tentang konflik antara pengusung adat Minangkabau dan tentara Padri. Atau, penyair yang berlatar budaya Betawi-Arab menulis tentang sejarah Batavia dan Jakarta modern.
Dengan mengesampingkan faktor penulisnya—artinya, kita menghapus kaitan antara karya dan pengarangnya—maka karya-karya itu setara di hadapan pembaca dan kritikus sastra. Semua karya itu dihasilkan dengan mempertaruhan hasil riset dan kemahiran menulis. Ya, kemahiran menulis. Itulah yang menjadi bahan perhitungan kita kini.
Sebab, sebuah karya sastra tidak bisa dinilai berdasarkan argumentasi di belakangnya—dan jika seorang penelaah membahas karya dengan cara mencari argumen atau maksud pengarang, maka ia dapat terjebak dalam intentional fallacy—tetapi berdasarkan tulisan itu sendiri sebagai kesatuan isi dan bentuk.
Lantas, bagaimana kita menilai karya-karya sastra etnografis? Perangkat penilaian yang jauh lebih lengkap mesti dipasang di sini. Sebuah telaah yang komprehensif tentang sebuah karya sastra pada akhirnya bukan melulu berkutat pada soal anasir intrinsik karya sastra, tetapi juga menyingkapkan ideologi tempat karya itu dilahirkan. Karya itu harus pula ditempatkan kembali ke dalam konteks zamannya, sejarah sastra yang menghidupinya, jaringan intertekstualitas yang membangunnya. Kita masih bisa menghitung Para Priyayi karya Umar Kayam sebagai novel etnografis yang memberi gambaran kuat tentang evolusi manusia Jawa melalui sebuah keluarga dalam masa yang berbeda-beda. Kita juga bisa menempatkan The Dubliners dan A Portrait of the Artist as a Young Man karya James Joyce sebagai novel etnografis yang cakap, sebab padanya Joyce menerakan jejak-jejak modernisme novel abad ke-20, di samping mengusung kisah perjuangan pribadi, ideologi, ekonomi orang Irlandia di bawah kekuasaan Inggris.
Karena itu, jika seorang novelis etnografis tidak mengejar keunikan, kesegaran, orisinalitas deskripsi kehidupan tokoh-tokohnya, suatu gaya pribadi penulisnya—dengan kata lain, dia mengabaikan keterampilan mengolah kepaduan isi-bentuk novelnya—maka ia bukan hanya tidak bisa memberi nilai lebih novelnya dari karya etnografis, melainkan juga tidak bisa menegaskan keunggulan sastrawi karyanya itu sendiri, ia tidak mampu bersaing dengan novel dan karya sastra lain di sekitarnya—terakhir: ia bukanlah penulis yang cakap.
Ia hanya memperalat dalil-dalil antropologi untuk menutupi atau menambal apa-apa yang melemahkan karyanya.
*
Esai-esai dalam tengara.id nomor ini berusaha mempersoalkan isi dan bentuk karya sastra etnografis berbahasa Indonesia, baik dari khazanah hari ini maupun dari masa yang jauh di belakang kita. Untuk mendapatkan esai-esai nomor ini, kami, setidaknya, menempuh tiga cara: Pertama, “memesan” kepada sejumlah penulis yang kami anggap mampu menghasilkan tulisan yang kami maksudkan. Semula kami tawarkan konsep penulisan melalui kerangka acuan (terms of reference, ToR), selanjutnya kami persilakan sang penulis mengembangkan sesuai wawasan kepenulisannya. Kedua, mencari esai-esai yang telah beredar secara terbatas, karena bagi kami esai itu akan memperkuat diskusi tematik di nomor ini. Ketiga, memilih dari sejumlah esai yang masuk kepada redaksi seraya menempuh prosedur koordinatif dalam penyuntingan, bolak-balik, demi menghasilkan esai sebagaimana yang ada sekarang ini.
Esai “Menggapai Hukum Alam” karya Nirwan Dewanto pada mulanya adalah sebuah tanggapan atas tulisan Niduparas Erlang. Namun, esai bergaya epistolarik ini bisa berdiri sebagai esai tersendiri, yang memancing diskusi panjang dan mendalam tentang banyak hal dalam kepenulisan kita.
Kami memilihnya agar kami bisa ikut menegaskan kembali watak sebuah karya sastra sebagai produk tulisan—bukan perpanjangan budaya lisan. Namun, Nirwan bukan hanya mempersoalkan watak dasar karya sastra sebagai produk tulisan, tetapi juga bagaimana ekosistem sastra Indonesia, komitmen kepengarangan, rasionalitas dan pemihakan kepada ilmu—bukan takhayul atau dogma agama—dan bagaimana mestinya sebuah khazanah sastra mempertajam isi dan bentuknya.
Adapun esai “Menyusuri Keping-Keping Identitas” karya Arif Bagus Prasetyo adalah telaah kritis terhadap himpunan sajak Pinara Pitu karya Mira MM Astra, terutama yang menyangkut identitas kebalian. Arif telah meneroka penggunakan kata-kata, simbol budaya Bali dan budaya daerah lainnya, dalam puisi Mira sebagai bagian dari penegasan identitas budaya yang dimaksudkan oleh penyairnya.
Termasuk di dalamnya soal penggunaan catatan kaki, yang salah satu tujuannya adalah agar pembaca non-Bali tidak tersesat di rimba simbol budaya Bali yang dibangun Mira. Lebih dari itu, ini adalah esai yang berupaya menggunakan “maksud pengarang” sebagai titik berangkat, tetapi menghasilkan kesimpulan yang bisa keluar dari jebakan intentional fallacy.
Esai “Antara Memuji dan Menyalahi: Melihat Sisi Paradoks Burung Kayu” karya Padel Muhamad Rallie Rivaldy adalah telaah kritis atas novel Burung Kayu karya Niduparas Erlang. Esai ini mencoba membuktikan bahwa pengisahan yang dibangun Nidu dalam novelnya pada akhirnya mempertahankan sikap esensialis pengarang terhadap manusia dan budaya Mentawai.
Misalnya, dalam soal pemasangan narator yang mahatahu, penokohan perempuan yang stereotipikal hingga kesulitan pengarang untuk menghindari jebakan penggambaran hitam-putih terhadap masyarakat modern dan tradisional yang semula hendak dihindari pengarang.
Telaah yang bersifat kesejarahan muncul dalam esai “Modernisme versus Adat dalam Naskah Drama Pembalasannja” karya Aura Asmaradana. Berfokus pada naskah drama yang ditulis Saadah Alim pada 1940, Aura mencoba mendudukkan lakon ini dalam konteks zamannya dan membabarkan tegangan antara adat dan modernitas yang didistribusikan melalui kuasa kolonial.
Berbeda dari para penulis Balai Pustaka pada umumnya yang menempatkan tokoh-tokoh bumiputra pada arus modernitas yang membuat mereka tercerabut dari budaya asal mereka, Saadah Alim justru memperlihatkan tokoh-tokoh perempuan yang mengambil jalan adat untuk mengemansipasikan diri. Di situ terlihat juga bagaimana adat digunakan sebagai strategi untuk menggulirkan plot cerita.
Bergerak dengan tema adat yang serupa dengan esai Aura adalah esai “Terkungkung, Terbebaskan: Membaca Isinga: Roman Papua karya Dorothea Rosa Herliany” karya Setyaningsih. Esai ini mencoba menegakkan argumentasi penindasan perempuan dalam budaya Papua, tetapi kemudian menghadirkan pembacaan yang memotret medan perlawanan kaum perempuan yang selama ini ditindas oleh budaya patriarki.
Uniknya, salah satu jalan yang ditempuh si tokoh utama untuk membebaskan diri adalah dengan masuk ke dalam kooptasi negara, melalui organisasi pemberdayaan perempuan yang diinisiasi oleh pemerintah daerah setempat. Lantas muncul sebuah paradoks: seorang perempuan bisa membebaskan diri dari domestikasi dan tekanan patriarki hanya dengan menerima rayuan “sulur-sulur negara” yang sekilas membebaskan tetapi sebenarnya membelitnya dalam kooptasi negara modern Orde Baru.
Pembicaraan buku dalam rubrik Marginalia menampilkan esai “Tentang Anak Titipan dan Sebuah Peringatan” karya Dewi Anggraeni. Dalam keringkasannya pembicaraan buku ini berhasil membongkar apa yang menjadi masalah dalam novel Kokokan Mencari Arumbawangi karya Cyntha Hariadi. Menggunakan tokoh anak-anak, novel ini bukanlah cerita anak-anak yang menghibur.
Meski memasang tokoh perempuan dan perlawanannya terhadap industri pariwisata di Bali, novel ini juga mengandung paradoksnya yang lain, yakni, apa makna simbol burung kokokan dan bagaimana anak itu hadir sebagai masalah bagi keluarganya dan warga desa secara keseluruhan.
Terakhir adalah sebuah wawancara dengan kolektif Perkawanan Perempuan Menulis yang mencoba menyuarakan komitmen para penulis perempuan dalam berkarya dan semua itu dilakukan oleh para penulis muda dari berbagai kota di Indonesia. Perkawanan ini mencoba mengatasi batasan geografis dan menanggapi isu-isu terbaru terkait keperempuanan dan kesusastraan dalam karya-karya mereka.
Kolektif yang telah menerbitkan buku perdana bersama Tank Merah Muda menjelaskan bagaimana mereka mulai berproses untuk belajar menulis dengan lebih terstruktur, begitu pula menjelaskan perihal ekosistem sastra maupun kampus yang sebelumnya mereka hadapi di enam provinsi masing-masing, hingga pentingnya menghadirkan “suara perempuan” di dalam khazanah literatur negeri ini. Sekelumit kisah tentang pengerjaan Tank Merah Muda, yang merekam suara perempuan pada masa pasca-Reformasi, berbagai pengisahan dari luar Jakarta—yakni, persisnya dari Maluku, Nusa Tenggara Timur, Aceh, Semarang, Jawa Timur, hingga Makassar—pun mereka utarakan. Fokus kolektif pada tema sejarah dan lokalitas memang ditujukan untuk menghadirkan lebih banyak suara perempuan dari berbagai provinsi di Indonesia tentang berbagai isu lokalitas dalam latar sejarah masing-masing. Pada akhir percakapan, mereka membagikan pula praktik yang dapat ditempuh sebagai inspirasi dari kolektif ini.
Di rubrik Meja Bundar ada esai pendek Goenawan Mohamad berjudul “Sedikit Tentang Kritik”. Esai ini melanjutkan soal polemis tentang perlu-tidaknya kritik sastra dalam kehidupan kesusastraan modern di Indonesia.
Goenawan mengacu pada situasi yang cukup jauh bagi generasi penulis dan pembaca hari ini, yakni era 1960-an, sebagai salah satu rujukan untuk mengukur perkembangan wacana kritik sastra bagi pekerja sastra dan kritikus sastra itu sendiri.
Dengan lima esai utama, satu ulasan buku, satu wawancara dan satu esai pendek, kami menyajikan tengara.id nomor dua ini untuk sidang pembaca yang budiman. Dalam pembacaan secara saksama akan segera terlihat kecenderungan penulisan kritik sastra kita hari ini, yang bukan hanya mempersoalkan bentuk-bentuk sebagai watak kesastraan sebuah karya sastra, tetapi juga ideologi yang mendorong kelahirannya, anasir dan perangkat budaya yang membangunnya—sebuah pendekatan kajian budaya. Namun, sebagai sehimpunan tulisan kita tidak bisa tidak menilainya sebagai tulisan—lain tidak.
Semoga tulisan-tulisan ini bisa memperlancar jalan darah kesusastraan Indonesia mutakhir, terlebih lagi, mampu mendorong dan menampilkan bakat-bakat baru dalam penulisan kritik sastra. Sesuatu yang kerap kita keluhkan, tetapi tidak pernah benar-benar kita buktikan, apalagi kita periksa secara saksama gejala-gejalanya.
Situs ini pada akhirnya adalah ladang persemaian bibit-bibit baru, di samping lahan bertumbuhnya pohon-pohon yang menjulang hingga ketinggian tertentu—menahan amuk angin dan hujan.
Selamat membaca.
tengara.id
tengara.id adalah upaya strategis untuk meningkatkan kualitas karya sastra Indonesia melalui pembacaan, pembedahan, dan penilaian yang dilakukan dengan landasan argumen dan teori yang bermutu.