Antara Memuji dan Menyalahi
Melihat Sisi Paradoksal Burung Kayu

Ilustrasi: Bunga Jeruk Permata Pekerti

Ada beberapa persoalan dalam Burung Kayu, novel perdana Niduparas Erlang, yang bertalian erat dengan dinamika masyarakat adat Nusantara hari ini. Dalam tulisan ini, kita akan mendiskusikan novel yang mengambil objek kisahan penghuni Uma Mentawai itu, termasuk representasi Mentawai, visi yang ditawarkan si Pengarang, dan apa yang menjadi kelebihan sekaligus kekurangannya. Di sini, kita akan membuktikan sisi paradoksal novel Nidu dalam mempromosikan gagasan kemurnian akar identitas, di samping kepandaiannya mencuri dan meramu repositori budaya.

Hasil curian dalam kantung budaya Nidu

Tradisi berkisah (lisan) adalah jantung gaya naratif Burung Kayu. Narator orang ketiga yang mengambil peran sebagai si mahatahu dalam novel ini adalah jelmaan dari si juru kisah termaksud. Selain lewat penggunaan kata seru Ei, Tilei, Nen, dan Alei pada awal dan akhir paragraf kisahan tertentu, kekuatan karakter tradisi lisan ini juga sejalan dengan pola kepiawaian Nidu membangun skema metrik teratur, yang seakan-akan meminta pembaca untuk ikut berkidung bersama irama kisahan, dan mencampurbaurkan istilah khusus dan tata bahasa masyarakat Siberut ke dalam struktur cerita. Untuk yang pertama, sila simak kutipan di bawah:

Di antara gundukan tanah yang masih merah dan yang sudah ditumbuhi rerumputan, di antara salib-salib kayu yang terpacak tegak lurus dengan langit atau yang miring ke utara atau yang tumbang-terkulai dan patah digerogoti rayap, satu per satu maju ke gelanggang. Sikerei-sikerei menari dalam lingkaran, menyanyikan lagu-mantra, menggemerincingkan jejeneng, dan mengibas-ngibaskan dedaunan di udara terbuka. Roh leluhur di undang untuk menyaksikan, mengutuk dan menimpakan celaka kepada siapa pun yang berdusta.

Aman Takgougou sebagai penantang, maju dengan garang sembari mengacungkan parang. Sebatang sasa sepanjang setengah repa lelaki dewasa, yang masing-masing ujungnya dipegangi saudaranya, melintang tepat di hadapannya. (2020, 109)

Akhiran rima -a, -ang, dan -nya pada setiap jeda kalimat dapat ditemukan pada paragraf di atas. Selain itu, kita juga memperoleh penekanan berulang pada diksi-diksi berkadar fonetik kuat, seperti “tumbang-terkulai”, yang berlaku pada halaman-halaman sebelum dan selanjutnya dalam novel Nidu. Contoh lainnya, “elang yang melayang-mengintai-menyambar-menerkam anak ayam” (2020, 2), “meliuk-berkelokan” (2020, 5), “ditolak-dihindari” (2020, 6), “tanah gembur tanah berlumpur” (2020, 57), “pantang-larang” (2020, 59), “memikat-menjerat” (2020, 98), “menyuruk-menggigiti” (2020, 141), dan “manyang melayang dan menyambar” (2020, 174). Ritual pembentukan ritme, tata kata, repetisi bunyi, dan lebih penting lagi, upaya mempertontonkan (act of display) kejadian dalam novel Nidu ini agaknya familier dengan ciri khas prosa liris dalam khazanah susastra Indonesia. Untuk menyebut beberapa nama dalam tradisi penulisan ini, kita boleh melirik karya-karya Linus Suryadi A.G. dan Raudal Tanjung Banua. Sebagai perbandingan konkret, sila simak penggalan singkat dari cerpen “Pengkhianatan Seorang Kuncen” karya Raudal: “Kabar itu bagai lepas dari tembolok seekor burung liar, berat dan berdenyut. Merasuk ke kepala orang-orang yang resah di atas tilam […] Beruntung Mulyopuro muda masih sempat mengembara, dari sendang yang ramai gelak-ria, gua-gua yang pengap-harap oleh doa, hingga hening pucuk gunung” (2020). Dalam pembacaan ulangnya atas Picasso, T.S. Elliot menelurkan: “Penyair hijau meniru; penyair matang mencuri.” Mungkin saja, Nidu mencoba mengamalkan waham ini, atau mungkin juga ia melakukan penghormatan kepada para penulis prosa liris seperti Raudal sebagai salah seorang penulis yang cukup banyak memengaruhinya.

Terkait tradisi lirisme dalam penulisan sastra (mungkin umumnya pada puisi) di Indonesia, kita bisa mengacu pendapat Afrizal Malna yang mengibaratkan tradisi liris itu seperti sebuah “imperium” yang sulit dibobol.

Saking menjamurnya tradisi berkisah/bersyair seperti ini, boleh jadi di setiap pusat-kecil sastra di wilayah-wilayah Indonesia setidaknya terdapat satu atau dua penyair liris, sehingga tidak jarang muncul komentar yang memosisikan lirisme sebagai semacam hegemoni penulisan sastra.

Dalam tradisi liris Barat pun Jonathan Culler menyebutkan gaya bersyair ini seolah-olah tidak tergulingkan, bukan berarti tidak berubah, sejak zaman Horace di Yunani. Namun, tradisi ini bukanlah suatu kondisi terberi karena pengaruh lirisme bukan hanya bagian dari warisan tradisi lisan atau repositori filologi Nusantara, yang lebih kental dengan pengaruh India dan Arab, tapi juga persentuhan para penyair Indonesia modern dengan literatur liris Barat. Goenawan Mohamad (2006, 257) berkomentar bahwa ada sebuah tema wajib dalam tradisi (puisi) lirisme itu, yaitu mengenang. Pembaca juga dapat menemukan tema sejenis dalam buah pena Nidu. Tepatnya bukan mengenang, melainkan mengais remah-remah ingatan yang terserak dan hilang sebagian, dengan kata lain sebuah rekoleksi ingatan.

Setelah diibaratkan imperium, lirisme juga kerap diasumsikan menjadi altar penahbisan seseorang yang kepingin menjadi penyair tulen. Perumpamaan ini masuk akal sejauh merujuk pada tipikal lirisme yang mengandung unsur seremonial, karena formula dasarnya itu melibatkan semacam ritual penulisan seperti pemilihan suku kata dan susunan metrum, sehingga kualitasnya seolah sakral sebagaimana terdapat pada karakter tradisi lisan. Hal ini masih satu denyut dengan jantung naratif Burung Kayu. Tetapi, pada tahap tertentu, lirisme juga sebenarnya dapat menjadi strategi pengisahan pengarang.

Contoh konkret dari strategi menulis liris ini dapat kita temukan dalam ulasan Goenawan Mohamad terhadap sajak-sajak pasca-1945. Menurut Goenawan, lirisme pada masa itu adalah agenda untuk memboyong sebuah motif politis tersembunyi, yaitu melupakan. Sayangnya, menurut Goenawan, strategi yang sama tidak dapat diimplikasikan seorang penulis prosa/novel. Dalam perkara prosa-liris, opini Goenawan ini mungkin boleh dikesampingkan.

Pertama, karena prosa liris seperti karya Nidu sarat dengan keterikatan dan unsur sejarah (sebuah upaya representasi Mentawai). Kedua, karena model utama yang juga dibawa oleh lirisme adalah wacana epideiktik, bukan subjektivitas semata seperti “mengenang” atau “melupakan.” Apakah lirisme menjadi strategi yang tepat bagi novel Nidu? Hal ini akan saya bahas pada bagian menjelang akhir.

Seno Gumira menyebutkan novel Nidu adalah contoh karya sastra yang berhasil lolos dari “kepura-puraan dalam tampang ilmiah.” Penilaian Seno agaknya berlandaskan keberhasilan Nidu menyelipkan pengertian-pengertian istilah khusus dalam bahasa Mentawai, alih-alih membuat indeks, seperti pada kutipan: “sebagai simata belaka—sebagai orang awam saja” (2020, 71) dan “Mereka menjadi apa yang disebut sebagai teitei uma, atau tetangga yang rumahnya di belakang rumah kita” (2020, 125). Pada bagian lain penjelasan narator Nidu terkadang muncul melalui sebuah adegan. Contohnya, pada penjelasan tipu sasa sebagai ritual pemotongan rotan dengan tujuan tertentu, seperti penyelesaian konflik (2020, 109). Namun, taktik menulis ini bukan hal segar, karena laku naratif serupa kerap digunakan penulis-penulis yang mengusung latar sosial masyarakat adat tertentu. Salah satu contohnya adalah pada novel Tiba Sebelum Berangkat karya Faisal Oddang: “Puang Matua Rusmi baru saja selesai irebba, baru saja selesai dilantik sebagai bissu” (2018, 15) dan “collong pello’—bahasa Bugis untuk menjelaskan penyakit yang mirip dengan ambeien, tetapi lebih parah” (2018, 30).

Selain soal di atas, unsur lain dalam novel Nidu, yang kerap dikomentari banyak pengulas dan kritikus, adalah penetrasi tata bahasa oral Mentawai ke dalam gramatika bahasa Indonesia. Nidu juga melibatkan rupa-rupa kidung pujian (2020, 150-153), sedikit gaya ungkap dalam cerita silat (2020: 94), dan tentu saja pembangunan suasana magis yang menyelimuti hampir seluruh objek kisahan. Sementara itu, perkara penetrasi bahasa tradisional di muka tadi, contohnya diselipkan Nidu dalam dialog antarpenduduk Mentawai seperti pada kalimat “Oi. . .Kaipa uei khap?” dan “Anai ube’ ta?” (2020, 80-81) dan keterangan waktu yang disampaikan via fokalisasi internal seorang tokoh. Misalnya, “Legeumanai yang tak pernah berulah dan hanya mementingkan sekolah dan sekolah dan sekolah” (2020, 119). Di sini, repetisi kata sekolah pada kutipan itu untuk menjelaskan kontinuitas waktu yang dilewati Legeumanai selama menempuh pendidikan. Hal ini agaknya sejalan dengan tata bahasa Mentawai (Zainuddin dkk., 1978) yang menjelaskan bahwa dalam budaya Mentawai tidak ada kata yang mewakili keterangan waktu yang akan datang, seperti lusa, tulat, atau tubin. Namun demikian, kata besok juga hampir tidak pernah muncul dari deskripsi narator Nidu, kecuali lewat tokoh Si Juling (2020, 82). Di sini tampaknya Nidu bertolak belakang dari hasil penelitian Zainudin (dkk.) yang menuliskan mancep ‘besok’ sebagai salah satu keterangan waktu yang berlaku di masyarakat adat tersebut. Kita juga menemukan tradisi percakapan yang khas sebagaimana digambarkan di bawah:

“Tentu saja sebanyak alat toga yang dulu dikeluarkannya untuk mae, kakak-kakak, dan bajak-bajak si istrinya itu,” kata si lelaki bermata juling. Lalu ia memerinci dengan nada mengejek, yang terus menerus digemakan oleh lima atau tujuh orang lain di sapou itu. “Sepuluh rumpun sagu,” yang ditimpali “Sepuluh rumpun sagu!” oleh yang lain.

“Sepuluh batang durian.” Yang lain menimpali, “Sepuluh batang durian!”

“Sepuluh batang kelapa.” Yang lain menggemakan, “Sepuluh batang kelapa!”

“Sepuluh ekor babi.” Yang lain menyusul, “Sepuluh ekor babi!”

“Sepuluh long ayam.” Yang lain mengulang, “Sepuluh long ayam!”

“Sepuluh kuali nomor 10.” Yang lain menekankan, “Sepuluh kuali nomor 10!” […]

Tawa mereka membahana. Tubuh mereka berguncang-guncang. Sebagian terbatuk-batuk, tersedak asap, lalu berdahak dan meludah.” (2020, 73-74)

Karikatural, nonefektif, dan menggegarkan mungkin menjadi kesan utama dari nukilan di atas bagi para garda depan penganut PUEBI dan KBBI. Sebagaimana kutipan tersebut, Nidu sebenarnya sedang mendayagunakan kelisanan bahasa tradisional dalam kisahannya. Memang, deformasi gramatikal yang menyalahi cara lumrah tata bahasa resmi membangun kelogisan adalah salah satu ciri lain lirisme tradisi lisan yang kita singgung di awal. Ia—lirisme—bisa menjadi disruptif ketika bergandengan dengan tata bahasa, tapi juga menjadi radikal dalam perkara politik bahasa pada saat yang sama. Secara semantik, repetisi bunyi dalam masyarakat Mentawai “yang liris” di muka, sebagaimana diungkapkan Nidu di peluncuran bukunya di kanal Youtube Teroka Teroka (2020), berfungsi sebagai gambaran gaya bercemooh ala antarpenghuni Uma di Mentawai.

Penjelasan di muka menjadi alasan mengapa sindrom gegar pada sebagian besar publik pembaca Burung Kayu adalah hal wajar, karena konvensi bahasa novel Nidu ini terus berlanjut sampai akhir. Di satu sisi, strategi defamiliarisasi di atas dapat dibaca sebagai sebuah angin segar bagi ruang gramatika bahasa Indonesia yang pengap atau mungkin juga langkah si Pengarang untuk masuk ke dalam lorong politik bahasa, tetapi di sisi lain strategi demikian juga menampilkan komitmen afiliasi novel Nidu dengan tanah Mentawai tanpa tedeng aling-aling. Komitmen ini menjadikan novel Nidu memiliki posisi tawar untuk lepas dari paradoks; antara menyuarakan masyarakat pinggiran (repositori kultural Mentawai) dan mengikuti kaidah yang disokong pusat (memakai bahasa nasional dan mengikuti kaidah novel modern).

Posisi narator dalam novel Nidu juga sejenak mengingatkan kita pada istilah tokoh-narator yang diutarakan Sunlie Thomas Alexander (2020), karena tidak jarang narator Nidu mengambil-alih suara tokoh dalam bentuk solilokui, tidak sebagai pemandang (fokalisator), dan penegasan bentuk paragraf (cetak miring sesuai teks asli) menekankan bahwa si narator berupaya terlibat langsung dalam cerita. Contohnya dapat dilihat pada kutipan di bawah:

“Legeumanai berupaya mengingat-ingat semua nama tempat dan semua nama kerabat. Tapi yang terus membayang dalam kepalanya melulu Maria Saroro dari suku-batang-langsat, yang sama sekali tidak sesuku sekerabat dengannya.

O, Maria Saroro yang jelita, mengapa engkau mesti memilih sasareu dan membuatku menderita? Adakah nasihat ayahmu tentang menjadi orang Minang hanya kau dengar sepenggal-sepenggal?” (2020, 138)

Akan tetapi, alih-alih seperti Sunlie yang membela keterlibatan narator dalam cerita seperti di atas sebagai hal baik dalam perkara mengundang keintiman pembaca dan menjadi strategi naratif yang bermanfaat bagi si Pengarang (2020, 129-135), di sini saya menekankan ciri khas yang mengekor pada penggunaan sudut pandang orang pertama (maksudnya istilah “tokoh-narator”) itu pada kecenderungannya meninggalkan lubang menohok dalam sebuah dunia rekaan karena sifatnya yang tidak dapat dipercaya.

Dalam novel Nidu, penggunaan tokoh-narator meskipun berfungsi mempertebal suasana dan emosi kisahan sekaligus mengundang simpati para pembaca, cenderung menjadikan hampir seluruh objek kisahannya satu-dimensi karena berada di bawah satu suara otoritatif. Konsekuensinya, narator dengan kemampuan seperti ini terkadang, baik disengaja maupun tidak, meninggalkan lubang dalam kisahannya.

Contoh kecil dari lubang menohok yang tertinggal dalam novel Nidu akibat dari otoritas narator ini dapat ditemukan pada penokohan si Juling. Layaknya Pandir Shakespearean, fungsi tokoh itu sejatinya amat besar dalam objek kisahan, meski di permukaan hanya tampil sebagai penyampai berita bagi Saengkerei (2020, 81). Nama “Juling” sendiri agaknya juga bukan sematan tanpa makna. Sebagaimana dijelaskan narator Nidu, satu tokoh ini adalah provokator di balik pemberontakan terhadap perusahaan kayu (2020, 93, 116), tapi juga gemar bermain licik di balik layar dengan “menjual tanah milik sukunya kepada perusahaan kayu” (2020, 119). Dari deskripsi narator, kita dapat mengetahui sisi ketamakan dan kepandaian bertipu muslihat pada si Juling. Tapi sketsa yang diberikan Nidu menjadi kurang utuh karena tidak ada sematan deskripsi yang menjelaskan alasan di balik provokasi si Juling terhadap komunitas Uma, meskipun dia dirumorkan mendapat keuntungan berlipat dari menjual tanah adat. Si Juling ini mungkin satu tokoh yang mampu mengubah akhir atau bahkan keseluruhan cerita, tapi narator Nidu agaknya silap dan tidak sengaja menjadikan kesolidan objek rekaannya goyah. Lewat nalar kisahan pembaca memang dapat dengan mudah mengenali leitmotif dari tokoh satu ini, tapi transisi penokohannya bergerak seakan-akan melompat di awal lalu tiba di akhir. Ia tidak merajut kelindan dan meninggalkan rumpang dalam novel Nidu.

Mencari Mentawai bersama Nidu

Di lembah yang kadang berubah menjadi danau itu batang-batang sagu yang tegak-menjulang adalah ibu yang setia menunggu. Seperti kumbang sagu setia menunggu tamra, si ulat sagu, menggulung diri demi menjelma kumbang baru. Sementara batang-batang sungai yang meliuk-berkelokan di sekujur lembah adalah ayah yang tak menunggu, tapi setia melarungkan segala duka segala lara, menghanyutkan apa saja. (2020, 5)

Deskripsi ala naturalis di atas adalah lukisan Mentawai yang disuguhkan Nidu kepada para pembacanya di halaman awal. Akan tetapi, kita juga seyogianya memahami bahwasanya narator Nidu sedang membentuk kodrat gender terhadap alam dan adat Mentawai lewat penyisipan personifikasi “ibu” dan “ayah”. Ketika ibu diandaikan sebagai pohon sagu yang pasif “menunggu,” ayah adalah yang bergerak membawa arus peradaban layaknya “sungai.”

Mungkin narasi di atas menjelaskan kentalnya warisan trah bapak dalam masyarakat Mentawai, tapi melalui asumsi di atas, kita juga layak mempertimbangkan kelemahan dari penggunaan karakter tradisi lisan dalam laku naratif. Alasan paling kuat barangkali karena adanya konsekuensi besar untuk membuat lanskap penokohan monoton, karena kandungan wacana epideiktik di dalam lirisme tradisi lisan. Sebab dengan adanya wacana ini, sepanjang mengikuti kisahan pembaca seakan-akan berdiri di antara dua kutub dan dengan mudah membedakan mana tokoh baik dan yang buruk.

Persoalan seperti di atas tidak hanya muncul sepintas lalu, karena penggambaran Nidu terhadap perempuan Mentawai juga mengikuti pakem kartografi alam yang telah dibentuknya di muka. Pembaca memang bakal menemukan juga sikap-sikap mandiri yang muncul dari tokoh perempuan, seperti Taksilitoni yang menjalin hubungan dengan Aman Legeumanai atas dasar kehendak nuraninya sendiri (2020, 68-69). Tapi, ia pun masih dengan suka rela mewarisi peninggalan mendiang suaminya itu, yang meninggal karena malaria di kemudian (2020, 59), dan “kelak membalas kekalahan uma mereka oleh uma seberang itu.” Dengan kata lain, ia bersedia menjadi mata uang perang (2020, 68) dan pasif ketika merespons kuasa uma mendiang suaminya. Terlebih lagi, ia juga menganggap dirinya sebagai sekadar penjaga “warisan anak lelakinya” (2020, 69). Bangun perwatakan ini menjadikan tokoh Taksilitoni Bai Sanang seolah tidak berjiwa, tidak memiliki posisi tawar, dan hanya bertindak sesuai templat.

Penggambaran perempuan semakin tergusur ketika narator Nidu menampilkan sketsa Maria Saroro. Tokoh Maria adalah satu-satunya perempuan yang cukup berani melepaskan diri dari belenggu tradisi dan menikah dengan “Saijawa” (2020, 144). Tetapi, perempuan yang diidamkan Legeumanai itu hanya sebuah gambar buram yang diproyeksikan lewat kenangan Legeumanai yang galau, dan hal ini menjadi landasan mengapa pembentukan citranya monoton.

Terlebih lagi, tidak ada narasi penyeimbang yang menjelaskan fungsi lain si tokoh perempuan itu dalam cerita. Konsekuensinya, tokoh Maria hanya menjadi siluet tentang citra negatif perempuan hamil di luar nikah “entah oleh angin atau seekor anjing” dan berpaling pada “sasareu” (2020, 153-154) pada satu sisi. Meski di sisi lain, leitmotif ini menjadi batu loncatan bagi laju perwatakan Legeumanai yang secara tiba-tiba mendapat panggilan gaib menjadi sikerei belakangan.

Penggambaran narator Nidu terhadap para tokoh perempuan lain juga tidak lebih baik dari di atas seperti tampak dalam dialog antara Bai Sanang, Istri Guru Baha’i, dan Bu Dokter asal Medan. Bai Sanang adalah tipikal istri penurut yang bahkan tidak berani membawa bayinya yang sedang kritis ke Puskesmas tanpa persetujuan sang suami. Sementara Bu Dokter memiliki perwatakan yang begitu naif, meskipun di permukaan ia melakukan penghormatan kepada adat Mentawai: “ia tak ingin membandingkan kehidupannya di Medan, pendidikannya yang memadai, dengan pendidikan dan kehidupan para perempuan di lembah” (2020, 101). Bagaimanapun adegan di muka menyangkut nyawa seorang bayi, dan para perempuan itu malah kemudian berkumpul dan saling membincangkan persoalan posisi perempuan dalam tradisi adat.

Ruang yang terbentuk dari dialog para perempuan itu sebenarnya dapat berfungsi sebagai benih pembentukan solidaritas antarperempuan. Akan tetapi, meski saling berbagi kisah, tidak ada upaya dari masing-masing tokoh perempuan untuk mengambil prakarsa dan mereka bersama-sama hanya “menunggu dan menunggu dan menunggu” kedatangan suami Bai Sanang.

Sungguh pun ada pembayangan seperti “kerja sama antara dunia medis dan dunia roh” dari benak Bai Sanang, yang demikian tidak lebih dari keluguan seorang individu dengan segala ketakberdayaannya. Bahkan keluguan itu tidak menorehkan tanggapan sekalipun dari Bu Dokter di hadapannya. Alhasil, narator Nidu malah melanggengkan stereotip perempuan yang gemar berkumpul dan menggunjing (2020, 101-103).

Penggambaran citra laki-laki pun sama tunggalnya dengan para tokoh perempuan di atas. Contoh kecilnya tecermin dari citra maskulinitas yang “magege” pada Aman Legeumanai.

Hal ini dapat disimak sejak awal kemunculan si tokoh yang selalu awas dan siap untuk berperang sampai akhir kemunculannya dalam kisahan. Akhir kemunculan si pemimpin uma itu tidak lain adalah adegan yang menggambarkan keheroikannya mempertahankan harga diri uma dengan simbol menggantungkan “burung-enggang-kayu” di pohon sebelum pada akhirnya mati konyol saat demamnya kambuh (2020, 57-58). Selanjutnya, kita dapat berkaca dari penokohan Saengkerei yang berpengalaman lebih dari dua belas tahun menengahi dinamika antarkomunitas adat di barasi dan “dipercaya menjadi kepala desa” (2020, 86). Walaupun tampak bijaksana dan tidak reaksioner dalam bertindak, sejatinya ia masih mengangankan kelanggengan harga diri uma-nya terdahulu dan merencanakan misi diam-diam untuk “mengukuhkan kembali marwah-wibawa sukunya di mata suku-suku lain” (2020, 120) ketika menyekolahkan anaknya di Tanah Tepi. Selain itu, ketika terjadi kisruh di barasi, ia lebih banyak “menghindari konflik,” “menimbang-nimbang,” dan “[mem]bungkam” pikirannya sendiri (2020, 76, 86, 89). Konsekuensinya, watak bijaknya di awal seolah-olah dibuat-buat dan berlebihan.

Pola serupa di atas juga berlaku dalam penokohan Legeumanai, satu tokoh sentral yang menjadi pertaruhan gagasan inti Nidu dalam novelnya. Meskipun telah disinggung semenjak awal, pembaca agaknya tidak menemukan laku pengembangan perwatakan yang kontinu dari putra tiri kebanggaan Saengkerei itu. Pada satu bagian, kita mungkin menemukan adegan yang menggambarkan keterikatan si anak dengan leluhurnya pada insiden kejatuhan Aman Legeumanai, ayah kandung si anak, dari pohon (2020: 60). Namun, setelah Taksilitoni diperistri Saengkerei dan berpindah ke barasi, tidak ada laju deskripsi perwatakan yang menjelaskan Legeumanai kecil, kecuali tentang hubungan teman sepermainan “memanah dan menombak” antara si anak dan Effendi, anak Guru Baha’i (2020, 77-79), dan kurikulum sekolah yang “memaksanya” mempelajari pengetahuan Minangkabau dan nyanyian-nyanyian gereja (2020, 143) tanpa laku penghayatan. Di bagian akhir, alih-alih memperoleh alur transisi perwatakan yang logis, pembaca malah mendapat penegasan watak Legeumanai yang mengalami disorientasi selama bekerja sebagai pegawai negeri di Padang; “sudah berapa lamakah ia meninggalkan barasi,” dan mengandaikan diri sebagai seorang “Silango” yang “menjauh dan terus menjauh” dari leluhur (2020, 146).

Semua itu menjadi landasan mengapa narator Nidu amat otoritatif dalam menentukan kompas pemaknaan para pembaca. Alasan-alasan itu kemudian meneguhkan visi kesejatian akar identitas budaya yang disokong si Pengarang. Menjelang akhir novel, persoalan identitas ini tampak dengan bernas:

Dan kini, ia kembali menyandang nama Legeumanai Sura’-Sabbeu. Walau mungkin ia akan tetap dipanggil Ahmad jika melancong ke Padang atau bertemu kawannya yang Sipuisilam, atau tetap dipanggil Agustinus jika bertemu kawannya dalam perkumpulan Orang Muda Katolik di asramanya dulu. (2020, 166)

Bagi Legeumanai yang telah ditahbiskan menjadi seorang sikerei kala itu, pemosisian demi pemosisian terhadapnya dahulu memang bukan perkara “yang perlu [di]persoalkan” seumpama “pemberian saraina” (2020, 168). Malahan, lapis demi lapis identitas yang disematkan pada dirinya itu juga menjadi strategi ganda Legeumanai untuk “lebih diuntungkan” (2020, 145) dalam rangka memperoleh privilese kapital sosial dan ekonomi. Namun, unsur teks yang kian mengarah pada visi kemurnian identitas itu adalah penyisipan metafora “tamra [ulat sagu] yang selamat” terhadap Legeumanai ketika ia berhasil melewati jalur kartografi spiritual dalam perjalanan pulangnya dari Padang ke barasi (2020: 149-155). Layaknya membayar tuntas kerinduan, metafora tersebut mengisyaratkan sebuah kelahiran baru yang diperoleh si sikerei muda seperti “kumbang sagu yang terbang berkitar-kitar” (2020: 158) untuk berpulang ke “masa lalu yang tak lekang” (2020, 149). Pada penghabisan kisah, bayangan Effendi yang buyar bersama embusan asap rokok dari mulut Legeumanai itu mungkin dapat dibaca sebagai semacam komitmen melepaskan semangat multikultural dan menanggalkan setumpuk sematan identitas yang tidak ia kehendaki “seolah ia ingin menghembuskan masa lampau yang tak menyenangkan atau menghalau ingatan-ingatan yang mengecewakan” (2020, 172).

Dua burung kayu dalam novel Nidu

Masyarakat adat Mentawai yang konon nomaden dan tidak pernah mengalami penjajahan adalah salah satu contoh kasus unik dari peta besar “manusia perbatasan” Nusantara. Kendati demikian, pengaruh interaksi lintas-budaya adalah perkara yang tidak dapat dinafikan dari komunitas adat dimaksud. Semenjak kedatangan sasareu, situri peselancar, dan intervensi pemerintah, bagi manusia Mentawai yang kini, pendidikan “beasiswa,” fasilitas “kesehatan gratis,” alat produksi “senso dan mesin pompong,” dan logika transaksi ekonomi liberal adalah kebutuhan sekaligus keyakinan yang terinternalisasi ke dalam perwatakan mereka; “kalau sasareu mau lihat tarian kita, mereka harus bayar” (2020, 93, 166).

Nidu juga tidak lupa mengilustrasikan bagaimana keterlibatan “popor senapan” aparat, residu kebijakan Swasembada Pangan, dan propaganda anti-komunisme Orde Baru ikut terlibat dalam dinamika pelik komunitas Mentawai (2020, 86, 118, 170). Terlebih lagi, bukan hanya lewat lanskap politik makro seperti di samping, pengaruh “dari luar” juga termanifestasikan lewat ruang yang lebih intim seperti pada adegan panas Taksilitoni dan Bagaiogok dari balik semak popoupou (2020, 55). Namun, adanya faktor-faktor disebutkan tidak serta-merta menghentikan ambisi narator Nidu untuk tetap mencari mana yang masih autentik dari manusia Mentawai.

Dalam ihwal ini, kita dapat becermin dari sikap narator Nidu sendiri, yang tak hanya melanggengkan citra klenik penghayat kepercayaan, tapi juga terlampau bernas dalam penyematan diksi-diksi tertentu terhadap kualitas sakral tidaknya sebuah adegan dalam novel. Boleh jadi, narator Nidu adalah jelmaan sastrawi dari seorang sikerei asal Mentawai itu sendiri dengan sikap ekstra-keberpihakannya. Dengan kata lain, seorang narator yang berafiliasi. Sebagai pertimbangan, sila simak kontras pada dua kutipan di bawah:

SIKEREI muda itu menari bersama para roh leluhur yang telah diundang-dipikat tujuh sikerei tua dengan semahan telinga kiri seekor babi. Ia menari dan menari, kakinya mengentak-entak lantai, tangannya merentang tegang. Pukulan-pukulan pada gajeumak—yang bagian kulitnya mesti dipanaskan berkali-kali di dekat api—meningkahi setiap gerak-lakunya merentak. Tato di sekujur tubuhnya berkilap-kilap diterpa cahaya lampu minyak. (2020, 1)

SIKEREI-SIKEREI belia itu menari dan menari. Kaki-kakinya mengentak-entak lantai panggung, diiringi pukulan gajeumak dan sebuah lagu pop yang mengalun dari recorder dengan kabel berjuntai. Tato-tato tiruan di sekujur tubuh mereka yang telanjang, tato dari tinta spidol hitam yang digunakan guru di sekolah, tak mengilap diterpa matahari. Mereka berputar-putar, melingkar, dengan gerak tangan serupa manyang, serupa melayang. Daun-daun sura’ luat, hijau-kuning-ungu-merah-oranye yang terselip di lengan, dan di kabit tiruan mereka berkibaran. Daun-daun itu mempercantik dandanan mereka. [. . .] Tak ada ekstase dalam tarian-tarian itu. (2020, 173)

Pada nukilan di atas, kita menyaksikan dualisme yang kentara antara yang kudus (masa lalu) dan yang profan (masa kini). Menurut Martin Suryajaya (2020), dalam Siapakah Masa kini?, strategi alur kisahan seperti ini adalah keunggulan: “dengan berporos pada masa lalu, Nidu telah menyajikan masa kini dengan tajamnya.” Tapi strategi kisahan demikian, menurut saya, memiliki kelemahan karena landasan dualisme (pinggiran-pusat/lalu-kini) serta konsekuensi keharusan menggeser salah satu dari pasangan minimal yang terpaut di dalamnya. Konsekuensi menggeser itulah yang bisa jadi melanggengkan garis demarkasi antara lalu dan kini tanpa sintesis antara kedua-dudukan perkara. Tidak bisa tidak, mesti diakui, alur kisahan bertolak novel Nidu hendak melanggengkan yang lalu itu pada tempatnya, namun secara peyoratif mendorong yang kini pada jurang kemerosotan berlainan.

Karena alasan di atas, pembaca setidaknya bakal menemukan segi paradoksal dari keseluruhan novel Nidu. Pada awal kisahan, narator Nidu tampak berupaya mengungkapkan intervensi berbagai pihak yang mencoreng marwah uma tapi berhasil membujuk para manusia Mentawai itu sendiri untuk berpaling dari “pantang-larang” tradisi mereka. Tapi di penghujung, ada semacam laku penebusan kesalahan. Semua yang ternodai, dibersihkan di sungai di balik “pangkal lidah” Legeumanai. Ada semacam pengalaman kehilangan yang dibagikan pada pembaca ketika menelusuri tanah Mentawai yang tidak lagi murni, tapi pada saat yang sama kesemuan juga muncul ketika solusi “gaib” membenahi semua kekecewaan itu.

Paradoks ini menyeruak di akhir dan memengaruhi ketegasan visi yang ditawarkan novel Nidu. Melalui pemaknaan ini, saya berpendapat judul novel Nidu sendiri memberikan pembaca kesan yang amat paradoksal. Pada satu pihak burung kayu menjadi “simbol “kemenangan” pako’” (2020, 13) tapi di lain sisi ia tetaplah tidak lebih dari seonggok kayu. Sebuah tiruan dari yang riil. Namun, dari sudut pandang lain, sisi paradoks ini juga yang menjadi konsekuensi langsung dari penggunaan lirisme (tradisi lisan) sebagai strategi naratif.

Di sini, kita mesti membaca lirisme sebagai wacana epideiktik. Melaluinya, kita dapat menemukan tarik-menarik antara dua ihwal pada sebuah karya: antara memuji dan menyalahi. Dua kutub ini dapat kita temukan pada dua penggalan kontras di muka tadi. Fungsi utamanya bukan untuk memihak salah satu di antaranya, melainkan melihat tegangan yang muncul dari keduanya itu. Pada novel Nidu, tegangan ini tampaknya tidak menampilkan beragam variasi, tapi malahan monotonal, hitam-putih, dan antiklimaks. Dan dari sisi kemonotonan itu pembaca absah saja menyimpulkan bahwa satu-satunya unsur yang matang dalam perkara perwatakan adalah narator magis Nidu itu sendiri, yakni narator yang menunggalkan dimensi perwatakan para tokoh dalam objek kisahannya. Namun, karena kandungan representasinya, dua hal bertolak belakang di atas tadi; antara keautentikan masa lalu dan keartifisialan masa kini, pada akhirnya menjadikan novel Nidu terjerembap ke dalam jebakan stereotip. Karenanya, opini untuk menyebutkan lirisme tradisi lisan sebagai strategi yang tepat bagi novel Nidu tampaknya harus ditunda.

Kepustakaan

Alexander, Sunlie Thomas. “Bualan Warto Kemplung, Cerita Bersambung Mustofa Abdul Wahab (Sebuah Pembacaan atas Dawuk: Kisah Kelambu dari RumbukRandu)” dalam Dari Belinyu ke Jalan Lain ke Rumbuk Randu: Dari Parodi sampai Black Comedy. Yogyakarta: Gambang Buku Budaya, 2020.

Banua, Raudal Tanjung. “Pengkhianatan Seorang Kuncen” dalam Koran Tempo, edisi 22-23 Februari, 2020.

Erlang, Niduparas. Burung Kayu. Padang-Jakarta: Teroka Gaya Baru, 2020.

Mohammad, Goenawan. “Melupakan: Puisi dan Bangsa, Sebuah Motif dalam Modernisme Sastra Jakarta Setelah Tahun 1945” dalam Keith Foulcher dan Tony Day (ed.). Clearing a Space: Kritik Pascakolonial tentang Sastra Jakarta Modern. Jakarta: Yayasan Obor Jakarta dan KITLV-Jakarta, 2006.

Oddang, Faisal. Tiba Sebelum Berangkat. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018.

Suryajaya, Martin. Siapakah Masa-Kini? Diunduh dari https://www.martinsuryajaya.com/post/siapakah-masa-kini pada 16 Agustus 2020.

Lenggang, Zainuddin H. R. dkk. Bahasa Mentawai. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978.

Esai24 Desember 2021

Padel Muhamad Rallie Rivaldy


Padel Muhamad Rallie Rivaldy menamatkan studi sastra di Universitas Indonesia pada 2019. Kini, ia menulis dan meneliti secara independen. Salah satu buah penanya Menyoal Rumah dan Identitas: Diaspora Muslim di Inggris (Pustaka Kaji, 2019).

Berlangganan

tengara.id adalah situs kritik sastra yang dikelola oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta. Tengara adalah upaya lanjutan dalam mengisi kelangkaan pertumbuhan kritik sastra dalam kehidupan kesusastraan Indonesia.