Hantu Nyai Grintil

oleh Zen Hae
Ilustrasi: Goenawan Mohamad

 

Ada hantu gentayangan di Batavia—Hantu Nyai Grintil

Dalam fiksi, hantu diciptakan bukan hanya untuk menakut-nakuti, tetapi juga untuk menghibur pembaca. Sosoknya bisa jadi menyeramkan, tetapi kita selalu ingin melihatnya, lagi dan lagi. Kita ingin melihat ia meneror para pendosa sampai akhirnya mereka tumpas. Tetapi, teror itu juga bisa menimpa orang-orang yang tidak bersalah yang karena ketakutan mereka kepada hantu memunculkan kejadian yang lucu-mengenaskan dan pembaca bisa ketawa karenanya.

Sebagaimana dalam cerita silat, balas dendam adalah motif penting dalam cerita hantu. Yang lemah dan dikalahkan dalam dunia nyata—didorong oleh kepercayaan kita akan “kehidupan setelah mati”—akan bangkit dari kematiannya dan membalas dendam. Mereka yang berharap akan menunggu si hantu agar datang kembali, menampakkan dirinya, dengan membawa janji penebusan atau pembebasan.

Sebagaimana umumnya balas dendam, semua itu akan berlangsung di luar praktik peradilan dan semaksimal mungkin menghindari campur tangan hamba hukum. Jika pun aparat hukum mesti campur tangan, biarlah ia hadir di akhir cerita saja, ketika sang pendosa telah dikalahkan dan si hantu siap kembali menghuni dunia masa lalunya.

Tuntasnya balas dendam boleh disebut sebagai kembalinya dunia yang kacau kepada yang tertib. Ketertiban sosial telah dipulihkan dan itu tidak dilakukan oleh kita yang masih menghuni dunia fana ini, tetapi oleh ia yang telah mati. Karena itu dalam cerita hantu kita yang masih hidup selalu berutang budi kepada orang yang telah mati. Atau sebaliknya, kita memang sengaja memanfaatkan mereka untuk menuntaskan urusan-urusan yang tidak bisa kita menyelesaikannya sendiri.

Dengan kata lain, kita menggunakan hantu untuk macam-macam kepentingan. Untuk siasat kejahatan misalnya.

Itulah yang terjadi dalam roman Harta jang Terpendem atawa Kadjahatan Njai Marsina (Batavia: Drukkerij Sin Po, 1920) karangan Tan Kim Sen alias Probitas alias Ch. Chen Sheng (1895-1959), seorang pengarang Tionghoa Peranakan di Batavia yang awalnya bekerja sebagai wartawan, pengusaha percetakan, dan akhirnya bekerja sebagai pegawai perhotelan.

Salah satu ciri penting roman ini adalah karena upayanya melukiskan kehidupan sosial di Batavia bukan melalui masyarakat Tionghoa Peranakan, tetapi Arab Peranakan, dan semua itu dihubungkan oleh tradisi pernyaian dan yang tak kurang penting: kepercayaan akan hantu. Claudine Salmon menandai roman ini sebagai salah satu roman etnografis yang ditulis oleh pengarang Cina Peranakan pada dasawarsa kedua abad ke-20.

Dalam roman ini hantu telah digunakan untuk siasat kejahatan seorang nyai yang serakah. Si nyai telah menggunakan kepercayaan akan hantu—yakni Hantu Nyai Grintil—untuk memperdayai dan menaklukkan orang yang mempercayainya sehingga ia dengan mudah menguasai harta yang bukan miliknya.

Namun, siapakah Nyai Grintil sebenarnya? Marilah kita buka sedikit ia punya cerita.

Semasa hidupnya Nyai Grintil adalah seorang perempuan bumiputra yang tidak suka kepada Belanda. Sebab lelaki Belanda adalah kafir—sementara ia adalah muslimah. Tetapi, entah kenapa, ia termakan oleh pantangannya sendiri, jatuh cinta—buta, malah—kepada seorang lelaki Belanda dan rela menjadi gundiknya. Ketika hamil ia mati—entah karena apa. Sebagai nyai Belanda, Nyai Grintil kemudian dikuburkan di permakaman orang-orang Belanda.

Konon sebagai orang yang melanggar sumpahnya sendiri, arwah Nyai Grintil tidak diterima di akhirat, maka dari itu ia menjadi hantu gentayangan. Hantu Nyai Grintil dipercaya warga sebagai hantu yang menyeramkan dan kerap gentayangan di Gang Gardu dan sekitarnya, di kawasan Mangga Dua. Salah seorang yang sangat percaya pada hantu Nyai Grintil adalah Ali, yang sehari-hari bekerja sebagai tukang kebun di kediaman Joesoef Alsagaf, seorang lelaki Arab Peranakan yang sudah berkeluarga di Cimanggis, tetapi ada piara nyai bernama Marsina.

Ali bukan hanya percaya pada hantu Nyai Grintil, tetapi juga haqqul yaqin Saneah, istrinya, ketiban sakit keras lantaran melihat setan alias kesambet. Karena habis akal, Ali mencoba mengobati istrinya dengan memanfaatkan selembar surat berbahasa Arab yang selama ini ia anggap sebagai jimat. Karena tidak paham bahasa Arab, ia meminta bantuan Joesoef untuk membacanya. Sialnya, saat Joesoef membacakan surat wasiat itu, Nyai Marsina menguping.

Ternyata, surat itu adalah surat wasiat seorang Arab yang ada meninggalkan harta senilai 50.000 gulden dalam sebuah peti dan ditanam di halaman sebuah langgar tua di tepi rel kereta api jurusan Tanjung Priok-Senen. Meski mulanya tidak percaya, Ali kemudian bertekad untuk menggali peti yang ditunjukkan dalam surat wasiat itu. Sementara, Nyai Marsina yang serakah membujuk suaminya agar merampas peruntungan Ali, tetapi Joesoef menolak. Akhirnya, Nyai Marsina bertindak sendirian.

Pada malam ketika hendak menggali peti itulah Ali melihat penampakan perempuan serba-putih berkelebat. Penampakan sekilas itu sudah memunculkan dugaan kuat tentang hantu Nyai Grintil yang selama ini sangat ditakuti. Tetapi, Ali sudah kepalang tanggung. Akhirnya, setelah menggali dan menggali dengan linggis, ia benar-benar menemukan sebuah peti yang berisi beberapa kantong emas-perak.

Lagi satoe kantong Ali boeka dan isinja mera-mera, jaitoe oewang emas ringgitan dan perakan. Ali rasaken kapalanja poesing, matanja berkoenang-koenang oleh kerna baroe perna dapet liat oewang jang begitoe banjak. (20-21)

Ketika itulah Ali mendengar tawa perempuan, tetapi ia tidak dapat melihat sosoknya. Dalam keadaan panik, ia segera ambil simpulan bahwa itulah suara hantu Nyai Grintil. Dalam ketakutan setengah mati Ali berlutut sambil memeluk peti, sementara bayangan hantu itu mendekat dan mendekat. Ali membayangkan kematiannya yang sebentar lagi. Tetapi, sekonyong-konyong hantu itu merampas peti dan membawanya lari. Ali heran, kenapa hantu yang semula ia takutkan itu malah menggondol peti harta itu. Maka ia kejar hantu itu dan rebut petinya.

Saling tarik satoe sama laen, achirnja ia bedoea djadi bergoelat. Ali dapet tindi itoe setan, tjekek batang lehernja, tatkala mana sakoenjoeng koenjoeng dari belakang kapalanja ditimpah dengen batoe besar. Ali bertreak satoe kali dan roeboeh tjelentang dengen berkeledjetan. (22)

Sampai di sini mestinya pembaca sudah tahu siapa sosok di balik setan Nyai Grintil itu, itulah dia Nyai Marsina. Yang memukul Ali dengan sebongkah batu adalah Joesoef—ia akhirnya ikut andil juga. Namun, kelak Joesoef menyesal telah berkomplot dalam kejahatan ini, tetapi Nyai Marsina tidak.

Singkat kata singkat cerita, kejahatan Nyai Marsina terbongkar—bahkan ia terlibat kejahatan yang lain lagi. Ali yang semula dianggap gila karena hantaman batu berhasil membongkar kejahatan mantan bintang komedi bangsawan itu dan menjebloskannya ke penjara. Ali yang semula hanya seorang tukang kebun bertukar posisi menjadi pahlawan dan hartawan, tetapi ia tetap sebagaimana biasanya, seorang lelaki yang bersahaja.

Roman Harta jang Terpendem bisa jadi bukan karya sastra pertama dalam bahasa Melayu Tionghoa yang memasang hantu sebagai tokoh cerita. Sebabnya pembaca sastra masa itu—bahkan hingga hari ini—adalah mereka yang percaya akan kehidupan sesudah mati yang karenanya mereka percaya pula akan adanya hantu.

Baik hantu sebagai penampakan kembali orang mati maupun hantu dalam pengertian metaforis: sosok yang menakutkan dan menggoda. Armijn Pane, misalnya, menggunakan ungkapan “Hantu Perempuan” untuk tokoh Murniati dalam lakonnya Jinak-jinak Merpati (1953), sosok perempuan yang dianggap merusak rumah tangga orang baik-baik.

Tan Kim Sen menulis cerita hantu dalam nalar cerita detektif. Cerita hantu jenis begini ada juga bandingannya di tempat lain. Yakni, serial kartun Scooby-Doo—serial kegemaran saya di masa kecil. Serial ini selalu memperlakukan cerita hantu dan kekuatan gaib sebagai siasat penjahat untuk menjalankan aksinya. Empat remaja dan seekor anjing dalam cerita itu pada mulanya akan terteror oleh peristiwa yang misterius dan menakutkan. Bahkan, si anjing akan selalu dibuat kocar-kacir oleh penampakan hantu. Akan tetapi, dengan modus kerja seorang detektif, mereka akan membongkar tuntas permainan keji itu. Cerita hantu atau kekuatan gaib akan selalu bisa dibuktikan tidak benar dan karenanya tidak layak dipercaya.

Dalam sebuah cerita anak berjudul Menjebak Hantu Kuburan Pasirnaga (1987) karangan Sri Waluyati Sandi kita juga mendapatkan modus cerita detektif yang kurang-lebih sama. Kepercayaan akan hantu telah membuat upaya jahat seorang yang akan menguasai tanah milik orang lain nyaris tak terendus, sampai akhirnya seorang anak kecil yang pemberani membuktikan semua kejahatan itu. Kita ikut gembira dengan pertualangan anak-anak membongkar kejahatan berkedok hantu.

Tetapi, dunia hantu orang dewasa seperti tidak banyak berubah. Dalam hampir sebagian besar cerita hantu di Indonesia—lebih-lebih yang ditampilkan dalam film—selalu kita dapatkan hantu sebagai penampakan kembali arwah penasaran yang akan membalas dendam dan semua itu harus ditumpas.

Ia seperti bagian dari masa lalu yang tidak boleh hadir hari ini. Sebagaimana Komunisme, jika kata-kata Jaques Derrida boleh dikutip di sini, “ia tidak boleh bereinkarnasi; ia mesti tidak diperbolehkan kembali karena ia adalah masa lalu.”

Dan pencegahan kembalinya hantu ke dunia hari ini adalah heroisme tersendiri—sebuah jihad—sebab bukan sekali dua tindakan pencegahan itu menggunakan kekuatan ayat-ayat Tuhan. Si penakluk dalam hal ini tidak menggunakan nalar detektif, tetapi juru dakwah. Yang kacau di masa lalu tidak boleh mengambil andil di dunia hari ini. Dunia hari ini mesti dibikin tertib—lebih-lebih dengan bantuan tangan Tuhan.

Namun, jangan kita lupa, hampir seluruh sosok hantu dalam cerita hantu di Indonesia adalah perempuan: Kuntilanak, Sundel Bolong, Mariam, Nenek Gerondong, Pocong, Suster Ngesot dan seterusnya. Berbeda dari cerita hantu yang digarap oleh para penulis dalam kategori “Gotik Perempuan” (Female Gothic) yang bisa sangat revolusioner dan subversif—beruntung, sekarang kita mendapatkannya melalui cerita-cerita Intan Paramaditha.

Sejatinya, fenomena hantu perempuan dalam imajinasi orang Indonesia juga bisa dibaca sebagai manifestasi bawah-sadar laki-laki dewasa yang takut secara permanen kepada perempuan. Mereka menjadi terlalu cepat dewasa—bukan, “menjadi tua”, kata Avianti Armand—tanpa sempat menjadi anak-anak. Apa boleh buat.

Blog11 Januari 2022

Zen Hae


Zen Hae menulis cerpen, puisi, esai dan kritik sastra. Menerbitkan buku kumpulan cerpen Rumah Kawin (2004) dan buku puisi Paus Merah Jambu (2007). Yang terakhir beroleh penghargaan Karya Sastra Terbaik 2007 dari majalah Tempo. Buku terbarunya adalah kumpulan cerpen dalam tiga-bahasa (Indonesia, Jerman, Inggris) The Red Bowl and Other Stories (2015). Ia ko-editor untuk dua jilid The Lontar Anthology of Indonesian Short Stories dan Antologi Cerpen Indonesia (keduanya diterbitkan Yayasan Lontar, 2017). Ia juga ko-editor untuk penerbitan BTW Book seri kedua yang diterbitkan oleh Yayasan Lontar menjelang London Book Fair 2019.

Zen pernah menjadi anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (2006-2012). Pada 2012 ia bergabung dengan Komunitas Salihara dan sejak 2018 menjadi kurator untuk program Gagasan di komunitas tersebut. Pada 2017 ia menjadi penulis mukiman (writer-in-residence) di Praha dan Český Krumlov, Republik Ceko, atas dukungan Komite Buku Nasional-Kementerian Pendidikan Kebudayaan, untuk menulis novel tentang dunia kependekaran silat dan revolusi di Jakarta dan sekitarnya.