Menyusuri Keping-keping Identitas
Membaca Pinara Pitu Mira MM Astra

Ilustrasi: Bunga Jeruk Permata Pekerti

If we don’t name ourselves we are nothing.

-Audre Lorde[1]

 

Pinara Pitu (2016) adalah buku kumpulan puisi Mira MM Astra, penyair perempuan Bali kelahiran 1978. Memuat 33 puisi bertahun 2011 hingga 2016, Pinara Pitu adalah buku puisi perdana karya penyair yang mulai dikenal publik sastra nasional pada pertengahan 2010-an ini.

Pada 2014, Pinara Pitu sebenarnya sudah terbit dalam edisi lain, dengan sampul berbeda. Edisi awal tersebut juga berupa buku, tetapi mungkin lebih mirip dengan “manuskrip”—jumlah puisinya lebih sedikit (tentu saja, karena terbit dua tahun lebih awal), tidak ada nama penerbit, bahkan tidak ada daftar isi.

Edisi 2016 lebih “layak” sebagai buku. Penerbitnya berdiam di Yogyakarta. Ada juga nama penyunting: Komang Ira Puspitaningsih, sastrawati asal Bali segenerasi dan juga teman Mira yang tinggal di Yogyakarta. Edisi baru dilengkapi pula dengan kata pengantar penyair dan kata penutup penyunting serta dihiasi gambar. Pinara Pitu yang dibahas dalam esai ini adalah edisi 2016, kecuali jika disebut lain.

Satu ciri yang langsung membetot perhatian pada buku puisi Mira adalah judulnya: Pinara Pitu. Apakah gerangan “pinara pitu”? Sebagian besar pembaca pasti tidak tahu artinya. Periksalah daftar isi buku, maka kau akan tahu “pinara pitu” ternyata judul salah satu puisi Mira. Di bawah puisi “Pinara Pitu”, tercantum keterangan tentang arti “pinara pitu”: “suara genta yang dalam mikrokosmos (tubuh manusia) disamakan dengan tujuh cakra yang terdapat dalam tubuh manusia atau sapta cakra, dan mengandung pancaran energi ke-Tuhan-an”. Ternyata “pinara pitu” adalah istilah dalam tradisi spiritualisme/mistisisme Hindu-Bali.

Penggunaan istilah Bali untuk judul buku puisi, seperti yang dilakukan Mira, tentu bukan gejala baru. Sebelumnya, ada buku puisi Patiwangi (2003) dan Saiban (2014) karya Oka Rusmini. Buku antologi puisi bersama bahkan lebih banyak lagi yang memasang judul “khas Bali”.

Yang terbaru, Blengbong (2021), yang memuat puisi puluhan penyair Bali yang karya mereka pernah dimuat dalam rubrik bergengsi “Pos Budaya” asuhan mendiang Umbu Landu Paranggi di koran Bali Post. Dan puisi—juga prosa dan drama—yang bertema atau berwarna Bali karya pengarang Bali (pun pengarang luar Bali) sungguh berlimpah pula, sedari dulu.

Pinara Pitu dibuka dengan mantra-doa Hindu-Bali:

Om Awighnam Astu Namo Sidham

Om Sidhirastu Tad Astu Swaha

Om prano Dewi Saraswati, wajebir

wajiniwati, dhinam awinyawantu

Om pawakanah Saraswati wajebhir

wajiniwati yajnam wastu dhiyawasuh

Om Dewa Suksma parama acintyaya

namah swaha

Sarwa karya prasidhantam

Om santhi, santhi, santhi, Om.

Dalam “Sebuah Persembahan”, kita baca pula ucapan persembahan Mira yang memperdengarkan keyakinan religius Hindu-Bali: “Sembah sujudku yang tertuju kepada Betara Lelangit dan leluhur atas segala anugerah dan ampunan”.  

Sejak awal, Pinara Pitu seperti ingin menyatakan identitas kebalian. Mira seperti memaklumkan sejak dini bahwa buku puisinya berbicara tentang Bali.

Warna lokal kebalian tidak saja tampak pada judul, doa maupun ucapan pembuka buku Pinara Pitu. Masuklah ke dalam puisi-puisi dalam kumpulan itu. Maka akan kautemukan berlimpah ruah istilah budaya dan nama lokal Bali. Begitu banyaknya sampai-sampai pembaca non-Bali, bahkan mungkin orang Bali sendiri, akan susah menikmati puisi-puisi itu karena tersandung-sandung kosakata khas Bali yang tidak mereka pahami artinya. Kesusahan ini terlihat pada pengakuan pembaca Pinara Pitu. Contohnya, dalam esai “Bermula Tanpa Nama hingga Ketika Aku Memilih Namaku” di situs web Penerbit Gambang, Heri Maja Kelana—jelas seorang non-Bali—menulis:

Saya tidak bisa bertemu dengan puisi-puisi Mira. Mungkin saya terlalu naif dalam memandang puisi, atau saya mempunyai perspektif sendiri terhadap puisi, atau bahkan puisi Mira ini terlalu tertutup. Sehingga saya susah untuk masuk dan merasakan pengalaman yang penyair tuliskan. [. . .] Saya tidak paham dengan budaya Bali, mungkin ini yang menyebabkan saya susah bertemu dengan puisi-puisi Mira. Akhirnya saya hanya dapat meraba serta menerka apa yang ingin disampaikan buku kumpulan puisi Pinara Pitu ini.[2] 

Agaknya, pengetahuan ensiklopedis tentang Bali dan budayanya (termasuk agamanya) diperlukan pembaca untuk memahami, atau menikmati, puisi-puisi Mira yang pekat diselubungi akar belukar tradisi Bali. Sekadar ilustrasi, simak petikan puisi “Debu Weton”:

bersama seperangkat sukla kalpa, sujang tuak arak beralas plawa antawali

kupanah arahkan pada langit saga pengider sembilan dewa

bermimpilah dalam ayunan kain sangsangan

bersama anak batu gilingan bumbu

merah bawang, garam, mesui disurup cahaya bintang katai

 

dan jika kelak tumbuh sayap selakamu yang belia

ikatlah gelang besi kari pada sepasang kaki kijangmu

bersanding keris tombak, prayascitta, dyus kamaligi

tariklah nafas airmu, tumbuhkan jadi api yang tersimpan rapi

tertunjang kayu canging brahma, lenga burat wangi, sesaji geti-geti  

Hamburan istilah budaya lokal (ditulis dengan huruf miring oleh penyair) seperti memblokir komunikasi. Namun, Pinara Pitu menyediakan semacam jalan masuk. Buku puisi Mira dilengkapi dengan banyak catatan kaki.

Di bawah hampir semua puisi dalam Pinara Pitu, ada glosarium yang memberikan definisi atau penjelasan untuk pelbagai istilah atau nama yang kira-kira asing—setidaknya belum masuk kamus bahasa Indonesia—bagi pembaca umum Indonesia. Di bawah puisi “Upacara Darah”, misalnya, terdapat penjelasan untuk sederet istilah eksotis: campuhan, dedari, sesayut, patawala, mahisa, daksina, gantal, buratwangi, nasi camani, geringsing, gedogan, kalpika rukmi, patila, bintang katai, andong, nagasari, ardanareswari, pepagan, dewandaru. Memang rimbun. Glosarium di bawah puisi bisa lebih panjang daripada puisi itu sendiri. Sudah begitu pun, tetap masih saja ada istilah tidak lazim yang luput dari jangkauan glosarium.

Efek kehadiran glosarium cukup unik: Pinara Pitu tidak tampak seperti sekadar buku puisi, melainkan buku puisi+ensiklopedi. Mungkin inilah kumpulan puisi yang paling banyak catatan kakinya dalam sastra kontemporer kita.

Saya katakan “ensiklopedi”, karena glosarium dalam Pinara Pitu memang diniatkan lebih dari sekadar menyediakan arti atau definisi istilah. Sesungguhnya glosarium itu berasal dari penyunting. Penyair sendiri tampaknya tidak memandang penting kehadiran glosarium untuk membantu pembaca “memahami” puisinya. Indikasinya, Pinara Pitu edisi awal tidak ada catatan kakinya.  

Dalam “Epilog”, sang penyunting menulis:

Pembubuhan catatan kaki juga sama melelahkannya dengan proses-proses sebelumnya. Karena saya tidak sedang melengkapi kata cetak miring itu dengan arti dan makna saja. Lebih dari itu, ada konteks sosial budaya yang juga mesti dipaparkan di sana. Maka mau tak mau saya membaca banyak referensi mengenai kosmologi Hindu-Bali, budaya Bali-Mandar-Sumba, tata cara upakara dan upacara, dan pemaknaan-pemaknaan sesaji Bebali.

Sang penyunting, yang berdarah Bali, mengaku: “Awalnya saya agak ngotot untuk tak menyertakan glosarium. Tapi ketika saya menghitung jumlah kata-kata asing dalam puisi-puisi Mira, saya lalu agak putus asa, kemudian mengambil jeda untuk menimbang-nimbang pilihan untuk menyertakan glosarium.” Didorong kekhawatiran bahwa puisi Mira akan menghadapi “kendala besar dalam proses berkomunikasi dengan para pembaca” karena “mayoritas idiom yang dimunculkan mengarah pada dunia sosial, kultur, dan spiritual Bali” dan terlalu banyak “kata-kata arkaik” yang digunakan penyair, penyunting “akhirnya memilih metode catatan kaki sebagai usaha untuk mendekatkan Mira dengan pembaca”.

Usaha penyunting itu—menilik respons pembaca yang “susah bertemu dengan puisi-puisi Mira” sebagaimana yang saya kutip di atas—tampaknya tidak selalu efektif. Pengetahuan ensiklopedis yang disediakan Pinara Pitu tidak otomatis membuat pembaca menjadi paham dengan budaya Bali dan kemudian “paham” dengan puisi Mira—jika kata paham tidak berlebihan untuk menggambarkan komunikasi antara pembaca dan puisi.

Pengalaman saya sendiri ketika membaca Pinara Pitu, glosarium tidak banyak membantu saya menikmati puisi Mira—malah cenderung sebaliknya: mengganggu. Ketika membaca puisi-puisi di awal buku, saya memang terdorong berkonsultasi dengan catatan kaki yang memanggil-manggil di bawah puisi. Namun, lama-kelamaan, karena entri catatan kaki begitu banyak dari puisi ke puisi, membaca ulang-alik antara puisi dan glosarium jadi terasa melelahkan. Glosarium mengganggu kenikmatan membaca puisi karena ia menginterupsi pembacaan, tapi tidak mudah diabaikan juga.

Akhirnya, pada suatu titik, saya tidak lagi membaca catatan kaki, meski dengan risiko banyak kata menjadi tidak saya mengerti artinya. Mengusung lirisisme bersuasana “nyanyi sunyi” dengan metafora yang bertumpuk-tumpuk berkeluk-keluk dan suka mengejar efek bunyi, puisi Mira toh tidak menjadi terang benderang maknanya atau pesannya atau amanatnya jika saya memahami arti istilah-istilah lokal di dalamnya. Kalau saya bisa menerima mantra, juga menikmati puisi modern yang diilhami mantra, yang tentu tidak membawa pengertian dalam kata-katanya, kenapa saya mesti mencari pengertian pada puisi Mira dengan memelototi catatan kakinya?

Puisi, kita tahu, bukan sebatas pengertian—sebaliknya, banyak puisi bahkan sengaja menjauhi pengertian, demi alasan estetis atau politis, misalnya. Puisi bukan hanya berisi makna atau pesan atau amanat.

Tanpa (membaca) glosariumnya, puisi Mira mungkin menjelma jadi semacam “mantra”: tidak kita mengerti, tapi bisa kita merasakan—hawanya, geregetnya, musiknya, dan sebagainya. Mungkin kehilangan arti, tapi tidak niscaya tidak berarti.

Kadang-kadang glosarium puisi Mira malah menimbulkan kekecewaan. Contohnya, glosarium menjelaskan bahwa “kalpika rukmi” adalah “cincin”. Saya jadi bertanya-tanya: kalau arti “kalpika rukmi” identik belaka dengan cincin, kenapa pula sang penyair tidak memakai kata “cincin” saja yang pasti dipahami semua pembaca? Mengapa memilih kata yang tidak lumrah untuk mengatakan sesuatu yang begitu lumrah? Mengapa ungkapan “cangkupan seharga kalpika rukmi bermata mulia” (“Upacara Darah”) dianggap penyair lebih bagus daripada “cangkupan seharga cincin bermata mulia”? Apa nalarnya? Apa karena lebih eksotis belaka? Harap dicatat, pertanyaan kritis saya yang meragukan pilihan diksi penyair itu muncul karena saya membaca glosarium! Seandainya tidak ada catatan kaki, mungkin “kalpika rukmi” takkan menjerat pikiran saya di bumi nalar semata, tapi menerbangkan imajinasi saya ke antah-berantah.

Namun, agaknya glosarium yang menyuntikkan serum “pengertian” ke tubuh puisi memang selaras dengan proyek puitik Mira. Pinara Pitu adalah buku puisi yang diniatkan oleh penyairnya untuk menyampaikan suatu pengertian. Ada pengertian yang hendak dikomunikasikan Mira melalui puisi kepada pembaca. Untuk itulah ia tidak membiarkan puisinya datang dan berbicara sendiri kepada pembaca, melainkan mengantarkannya dengan esai pengantar: “Bunyi Puisi dan Keyakinan dari Dalam Diri”.

Saya mengambil kata pengantar Mira sebagai jalan masuk untuk memaknai puisi-puisi Pinara Pitu. Dengan memasukkan “maksud penyair” sebagai faktor penting yang memandu pemaknaan puisi, pandangan saya mungkin akan dianggap mengidap cacat intentional fallacy oleh para pewaris pemikiran kritikus sastra William K. Wimsatt dan Monroe Beardsley dalam esai terkenal “The Intentional Fallacy” (1946).

Wimsatt dan Beardsley berpendapat bahwa mendasarkan pemaknaan atau penilaian karya sastra pada maksud pengarang adalah keliru. Bahwa maksud penyair berbeda dengan puisinya, sehingga makna puisi harus dicari pada teks puisi itu sendiri, bukan pada keterangan di luar teks puisi. Bahwa maksud penyair adalah bukti eksternal yang bisa menyesatkan jika dibawa masuk ke dalam analisis untuk menerangi makna puisi.

Teori Wimsatt dan Beardsley itu sudah ditantang orang.[3] Saya tidak ikut menantang. Alih-alih, saya justru mengamalkan pengakuan Wimsatt dan Beardsley sendiri bahwa catatan penyair (yang tentu mengandung maksud penyair!) ternyata tidak selalu merupakan bukti eksternal yang bercokol di luar puisi, tetapi bisa juga dianggap sebagai bagian dari puisi. Begini kata mereka mengenai catatan T. S. Eliot untuk puisi kondang The Waste Land:  

We mean to suggest by the above analysis that whereas notes tend to seem to justify themselves as external indexes to the author’s intention, yet they ought to be judged like any other parts of a composition (verbal arrangement special to a particular context), and when so judged their reality as parts of the poem, may come into question.

Dalam esai “Bunyi Puisi dan Keyakinan dari Dalam Diri”, Mira mengungkapkan maksudnya menulis Pinara Pitu:

PINARA PITU bagi saya adalah kesempatan saya berbagi 33 kisah serpihan kecil perjalanan hidup yang saya alami. Catatan bagi tumbuh kembang saya sebagai manusia yang pernah berada di “pengasingan” panjang dan akhirnya mesti pulang KEMBALI ke BALI. “Pengasingan” panjang dan “indah” inilah yang akhirnya membentuk diri saya. [huruf kapital dari pengarang]

Pinara Pitu adalah tentang “perjalanan hidup” untuk “kembali ke Bali” yang “akhirnya membentuk diri” penyair. Dengan kata lain: sebuah perjalanan mencari identitas yang berorientasi ke Bali. Pencarian identitas ini dilakukan penyair dengan menggali akar budaya leluhur untuk menemukan dirinya setelah tercerabut dari lingkungan asalnya:

Saya kemudian hidup dalam usaha memahami proses 8 tahun saya terlontar ke negeri seberang, kehilangan ibu, kakek-nenek, ayah tempat saya bersandar, pengalaman menjadi ibu, perjalanan tanpa henti demi menapak jejak leluhur entah untuk apa, mengenali muasal darah-wit, melakoni berbagai upacara, belajar membaca makna dan simbol sesaji, belajar membaca kalender dan penanggalan serta setiap kaitannya dengan alam semesta, belajar memahami beberapa lontar, juga membaca kepekaan tubuh yang membuat diri terasa ganjil.     

Ada semacam problem kehampaan identitas personal-eksistensial pada Mira. Penyair ini mengaku “terlahir tanpa pernah merasakan dekap ayah dan ibu kandung” dan kemudian diasuh oleh orang tua angkat. Menurut penyunting Pinara Pitu dalam “Epilog”, “Mira lahir tanpa mengenal siapa ayah-ibu kandungnya”. Ia “puluhan tahun tak mengenal akar silsilah dirinya”. Ternyata ayah kandung Mira adalah bangsawan tinggi, putra raja Klungkung terakhir, Ida Dewa Agung Oka Geg.

Kata “astra” pada nama pena “Mira MM Astra” (nama aslinya Putu Mira Novianti) mengisyaratkan apa yang terjadi. Menurut kamus bahasa Bali,[4]astra” adalah “anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah antara ayah dari golongan tri wangsa dan seorang ibu dari golongan orang kebanyakan” (tri wangsa terdiri dari Brahmana, Ksatria, dan Wesia, tiga golongan yang dalam masyarakat Hindu dianggap berstatus lebih tinggi daripada orang biasa). Kehampaan identitas personal-eksistensial akibat posisi diri sebagai astra inilah yang tampaknya coba ditebus penyair dengan melakoni “perjalanan tanpa henti demi menapak jejak leluhur”. Dan upaya penebusan itu berarti bahwa pencarian identitas personal-eksistensial menjadi bersenyawa dengan pencarian identitas kebalian.

Tema besar pencarian identitas itu terkuak pada “Bermula Tanpa Nama”, puisi pertama dalam Pinara Pitu. Karena nama adalah penanda identitas, maka judul puisi tersebut cukup jelas menunjukkan suatu keadaan awal yang tidak memiliki identitas. Puisi ini terdiri atas empat bait yang masing-masing diawali dengan larik “bermula tanpa nama”—sebuah ungkapan ketiadaan identitas. Pada bait 1 dan 2, ketiadaan identitas subjek digambarkan dengan diksi “mati”, “sunyi”, “sepi”, “duka”—gaya ungkapan khas “nyanyi sunyi” yang begitu klasik dalam puisi lirik Indonesia: 

Bermula tanpa nama

bersanding sepadan aksara mati

tabah menyanyi sunyi

tanpa  tawar menawar lagi

kususuri biru paras dewa di langit sepi

tanpa batas dan tepi

Bermula tanpa nama

Rupa ini mengaca dan mengeja

di lekuknya ada tanda tanya

ada nyawa menatap sepi

akrab dengan duka

dalam tawa sederhana

         yang pertama

Pada bait 3, ketiadaan identitas memunculkan pertanyaan tentang muasal kultural dan biologis subjek: apakah telaga suci Kertagosa / tergali dari cakar ayah saat bercengkerama di kosala / ataukah kelabu air itu / adalah segara tertimba dari seberang pulau / himpunan air mata / dan hikmat titik-titik peluh ibu (glosarium puisi mengatakan Kertagosa “dibangun pada tahun 1686 oleh Ida Dewa Agung Jambe adalah bagian dari kompleks Puri Semarapura. Terletak di jantung Kota Semarapura.”) Tidak adanya tanda tanya menyiratkan bahwa perkara muasal kultural dan biologis bukanlah pertanyaan yang dapat dijawab dengan jelas, melainkan lebih seperti teka-teki yang menghantui. Pada bait terakhir, ketiadaan identitas itu ditangani dengan menelusuri identitas kebalian yang telah melahirkan subjek: Bermula tanpa nama / rupa ini terbata / membaca akar membumikan jejak / di antara tanda petik dan koma / di mana cinta dan karma bermula. Dengan cara demikianlah subjek beroleh makna hidupnya: “pertanda tak ada kelahiran yang sia-sia”. Dari puisi “Bermula Tanpa Nama”, puisi-puisi selanjutnya dapat dibaca sebagai semacam jejak perjalanan subjek mencari identitas.

Penyelaman subjek ke dunia leluhurnya demi “membaca akar membumikan jejak” itu tecermin paling jelas pada berlimpahnya istilah budaya Bali dalam puisi-puisi Mira, sebagaimana yang saya sampaikan di atas. Puisi Mira dibanjiri diksi, ungkapan maupun citraan dari dunia tradisi Bali, terutama yang berhubungan dengan ritual, kerohanian, dan mitologi Hindu-Bali. Ungkapan yang ditimba dari sumur ritual Hindu-Bali seperti ini mudah dijumpai dalam Pinara Pitu:

Inilah 1.600 depa jarak kesunyian kita

sebelum penuh mata panah mengarah dari timur laut ke tenggara

terimalah puspa lingga

tubuh dari tubuhku yang abu

sesaji, api akar wangi, daun aswattha,

seuntai padi, bulu ayam, angsa dan kain sutra

dalam kibasan manuk dewata

melintas pohon-pohon tua yang menyulam doa    

Bait tersebut dipetik dari puisi “Naga Banda”. Naga banda adalah patung berwujud naga pada upacara pembakaran mayat Hindu-Bali (arti “naga banda” tidak tercantum dalam glosarium di bawah puisi). Puisi “Naga Banda” merayakan satu aspek tradisi Bali yang paling populer: ngaben.

 Idiom Bali juga pekat mewarnai puisi yang tidak bertema tradisi Bali seperti halnya “Naga Banda”. Sebagai contoh, berikut ini bagian dari lantunan “nyanyi sunyi” Mira: 

Kucurkan alinea demi alinea, denting tujuh genta bhagawanta

hingga aku terhampar jadi tikar

segading kulit mahisa

di Dasar Bhuwana, di Padma Tiga,

di mandala Iswara,

di kaki naga Antaboga, Basuki dan Taksaka.

(“Sajak Seribu Pintu”)

kupetik daun di jejak sepi kunang-kunang

satu demi satu melayang

bayangnya jatuh memeluk lingga

menjelma sesayut, pengukub jiwa

daksina, duras dan bunga-bunga menggarami gulita

(“Kematian Daun”)

Pembiakan idiom Bali yang begitu subur dalam puisi-puisi Mira dapat dipandang sebagai strategi pembentukan identitas.

Secara umum, identitas mengacu pada kesamaan. Identitas etnik, misalnya, oleh kamus didefinisikan sebagai “kesadaran psikologis yang mendasari rasa diri seseorang dalam suatu kelompok etnis berdasarkan kesamaan kebiasaan, warisan, nilai-nilai, sejarah, bahasa, dan ras”.[5] Ada dua cara untuk memunculkan “kesamaan” yang mendasari identitas: pertama, dengan mengaburkan perbedaan antara anggota-anggota satu kelompok; kedua, dengan menegaskan perbedaan antara anggota satu kelompok dan mereka yang ada di luarnya.[6] Mira menggunakan cara kedua. Idiom Bali dikerahkan secara besar-besaran dalam puisi untuk membentuk identitas kebalian dengan menekankan perbedaan antara dunia Bali dan dunia non-Bali.

Terbentuk terutama dari istilah-istilah budaya Bali yang asing bagi umumnya pembaca Indonesia, identitas kebalian dalam puisi Mira menjadi identitas bermarkah (marked). Dalam linguistik, kebermarkahan (markedness) adalah konsep untuk melukiskan proses ketika identitas tertentu beroleh status default dan istimewa yang kontras dengan identitas lain.[7] Kebermarkahan membuat identitas tertentu menjadi tidak terlihat sebagai identitas, sementara identitas lain di seberangnya menjadi tampil mencolok.

Dalam puisi Mira, bahasa Indonesia mewakili identitas keindonesiaan yang tidak bermarkah dan tidak kentara sebagai identitas. Identitas kebalian yang dibentuk Mira dalam puisinya menjadi bermarkah dan tampil mencolok karena menyimpang dari identitas keindonesiaan yang diam-diam melekat pada bahasa Indonesia yang digunakan untuk menulis puisi. Identitas bermarkah ini adalah produk dari penggunaan bahasa bermarkah dalam puisi Mira: bahasa puisi yang menyimpang dari “norma” (yaitu bahasa Indonesia) karena mengandung banyak unsur khazanah budaya Bali yang belum terangkul dalam bahasa Indonesia.

Dengan bahasanya yang bermarkah, puisi Mira terlibat dalam proses pembentukan identitas. Dalam puisinya, Mira mengeksploitasi kemampuan bahasa untuk mengungkapkan makna dalam dua tataran: semiotik dan pragmatik. Ia tidak hanya menggunakan kata untuk mengacu pada konsep, tetapi juga untuk menyerukan identitas dirinya sebagai anggota kelompok etnis Bali. Seruan identitas itu terutama dilakukan melalui pemakaian ekstensif idiom Bali.

Teori tindak tutur memberi tahu kita bahwa bahasa tidak hanya menyatakan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu. “The issuing of the utterance is the performing of an action,” kata J.L. Austin, penganjur teori itu. Dalam puisi Mira, kata-kata eksotis yang diambil dari perbendaharaan kultural-geografis Bali merujuk pada konsep, sebagaimana yang ditunjukkan oleh glosarium di bawah puisi. Mereka menyatakan sesuatu. Namun, lebih daripada itu, mereka melakukan sesuatu: mereka bertindak mengadakan kebalian pada latar keindonesiaan puisi Mira.

Fungsi mereka dalam melakukan sesuatu bahkan lebih penting daripada fungsi mereka dalam menyatakan sesuatu. Mira tidak terlalu menggunakan mereka untuk menyatakan sesuatu tentang Bali, melainkan lebih untuk menghadirkan Bali. Mereka performatif. Sekadar contoh dari puisi “Jalanan Menuju Jayasabha”:

Tertimang dalam keranjang menjinjing sekena isi alam

busung, slepan, kelapa, daun sirih, rekah kelopak pacah

pudak, jepun, kenanga, cempaka, bungkak gading, bungkak gadang

seisi meja sesaji dewata

Istilah-istilah budaya Bali yang ditulis penyair dengan huruf miring itu dijelaskan dalam glosarium di bawah puisi. Namun, seandainya mereka tidak dijelaskan pun, puisi tidak lantas menjadi gelap. Arti mereka tetap bisa diraba dari kata-kata di sekitar mereka yang membentuk konteks tentang sesuatu yang berkaitan dengan tanaman dan sesaji. Signifikansi mereka tidak terletak pada arti mereka, melainkan pada kehadiran mereka sebagai representasi kebalian. 

Idiom Bali dalam puisi Mira membentuk identitas kebalian dengan kehadiran mereka. Dan teks puisi Mira pun menjadi tindakan identitas budaya: tindakan menunjukkan keanggotaan penyair dalam budaya Bali.

Namun, Pinara Pitu tidak kental dengan tanda kultural-geografis Bali saja. Buku puisi ini dibagi menjadi tiga bagian, dengan gambar hitam-putih memisahkan bagian yang satu dengan yang lain. Masing-masing bagian berisi 11 puisi.

Di bagian kedua, puisi-puisi Mira menjelajahi persentuhan dan pengalaman dengan kawasan kultural-geografis-linguistik di luar Bali. Penyair banyak menghadirkan istilah budaya dan toponim di kawasan Sulawesi dan Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur. Puisi-puisi di bagian ini lebat dengan kosakata eksotis dari dua wilayah tersebut: Malalayang, kayu benang, manguni, telu makasiou, waruga, Bantik, bininta, Kananggar, njara, maranongu, talinbaro, hinggi dan banyak lagi. Idiom etnik non-Bali dalam puisi Mira tidak kalah rimbun dengan idiom etnik Bali. 

Keberadaan puisi-puisi bertema non-Bali itu mengatakan sesuatu yang menarik tentang wacana identitas yang meresapi Pinara Pitu. Jika puisi bertema Bali adalah konstruksi identitas kebalian, apakah hal yang sama berlaku untuk puisi bertema non-Bali? Selain mengonstruksi identitas kebalian, apakah puisi-puisi Mira juga mengonstruksi identitas keminahasaan, kemandaran, dan kesumbaan dengan banyak menghadirkan idiom Minahasa, Mandar, dan Sumba? Jawaban saya positif. Tidak ada perbedaan signifikan dalam cara Mira menangani idiom etnik Bali atau pun etnik non-Bali dalam puisi-puisinya. Keduanya sama-sama dihadirkan dalam puisi dengan mengutamakan aspek pragmatik atau performatifnya dibanding aspek semiotik atau semantiknya.

Dengan melakukan konstruksi identitas Bali dan juga identitas non-Bali, Pinara Pitu memproblematiskan paham tentang identitas. Puisi-puisi Mira secara ironis menisbikan, atau mencairkan, identitas. Secara paradoksal, mereka seperti menggariskan batas identitas, tetapi hanya untuk menunjukkan kerentanan atau kekaburan batas identitas. Dalam Pinara Pitu, identitas itu seperti dibatasi selaput permeabel yang mudah ditembus oleh pergerakan subjek. Dari puisi ke puisi, subjek tampak bergerak menyusuri identitas kebalian ke identitas keminahasaan ke identitas kemandaran ke identitas kesumbaan.

Penanda identitas etnik, misalnya, bahkan bisa hadir serempak dalam satu puisi. Fenomena ini terlihat dalam puisi “Sesaji Penyeberangan ke Manakarra”, antara lain. Manakarra, menurut glosarium di bawah puisi, adalah “julukan yang diberikan kepada daerah Mamuju, Sulawesi Barat”. Wajarlah bila puisi ini mengusung istilah budaya Sulawesi Barat seperti “nasi kadundung” (glosarium: “makanan khas Suku Pattae, Sulawesi Barat. Hidangan nasi dilengkapi ayam kampung yang disajikan dengan bumbu-bumbu berbahan daun kedondong muda dan pakis. Nama ‘kadundung’ diberikan karena makanan ini berbahan pucuk daun kedondong.”) dan “to eran batu” (glosarium: “tarian daerah Suku Pattae di Sulawesi Barat). Namun, puisi ini ternyata juga banyak mengandung istilah budaya dari Sumba dan Bali seperti “belis” (glosarium: “maskawin [Bhs. Sumba].”), “daksina” (glosarium: “sejenis sesaji sebagai lambang penghormatan. Juga merupakan lambang Bhuana Agung Sthana Hyang Widhi Wasa.”), dan “sangga urip” (glosarium: “menyiapkan kedudukan Ida Bhatara saksi di ubun-ubun.”).

Puisi “Sesaji Penyeberangan ke Manakarra” mengungkapkan pengalaman batin penyair yang berkenaan dengan perjalanan ke Manakarra di Sulawesi Barat. Namun, sudah sejak larik-larik pertama, puisi ini memeragakan ambivalensi subjek:

Di selatan sana telur-telur meletus di dedahan randu tua

Siapakah yang tak menyisihkan ingatannya

Ingatan akan kelahiran

Di awal puisi yang judulnya mengacu pada perjalanan ke Sulawesi Barat, ingatan subjek justru tertawan pada tanah kelahiran. Kata “Manakarra” diseru-seru, beberapa istilah budaya Sulawesi Barat dikemukakan, tetapi subjek lebih banyak berbicara dengan menggunakan idiom tradisi Bali. Seakan-akan subjek berada di posisi ambang, di perbatasan antara identitas-identitas yang berbeda. Puisi ini tampak membayangkan identitas sebagai—dalam perspektif Gloria Anzaldúa[8]—daerah perbatasan yang cair, liminal, dan tak tentu.                                

Cairnya identitas juga tersirat dari banyaknya nama tempat dalam puisi-puisi Mira. Penanda lokasi geografis bertebaran dalam Pinara Pitu: Kertagosa, Kali Unda, Penida, Kusamba, Semarapura, Malalayang, Mahenang, Siladen, Kananggar, Kalumpang, dan seterusnya. Subjek seakan bergerak dari tempat ke tempat, menembus tapal batas geografis dan kultural, dan dalam pergerakan itu ia membentuk identitas dirinya. “Di Kalumpang / masa lalu selalu tahu di saat mana mesti kembali / dan aku menanam setapak demi setapakmu sedemikian dekat / pada hulu urat nadi. . . ,” kata penyair dalam puisi “Kalumpang”. Itulah identitas yang labil, fragmentaris dan berubah-ubah karena ditempa dalam kerangka perjalanan dan mobilitas. Dalam puisi Mira, identitas geografis dan identitas kultural menjadi fragmen-fragmen yang membentuk mosaik identitas personal, suatu mosaik yang terus berubah, selalu dalam proses, karena subjek senantiasa berjalan dan tak henti menafsirkan perjalanannya.      

Struktur Pinara Pitu yang terbagi menjadi tiga bagian memantulkan perjalanan hidup yang dilalui penyair dan menjadi motif penulisan puisinya. Bagian pertama berisi puisi-puisi yang berfokus pada dunia Bali. Bagian kedua, sebagaimana yang disampaikan di atas, memuat puisi-puisi yang meneroka dunia luar Bali. Bagian ketiga kembali menyajikan puisi-puisi renungan di seputar dunia Bali. Pembagian tersebut seperti menggambarkan secara simbolis perjalanan hidup sang penyair yang dilahirkan di Bali, merantau ke luar Bali (Mira kuliah di Republik Ceko pada 2001-2008), dan kemudian pulang ke Bali.

Puisi terakhir di bagian ketiga, yang tentunya menutup Pinara Pitu, bertajuk “Ketika Aku Memilih Namaku”. Judul puisi ini sangat sugestif karena terdengar menutup siklus perjalanan yang dibuka oleh puisi pertama Pinara Pitu, “Bermula Tanpa Nama”. Judul “Ketika Aku Memilih Namaku” di penghujung buku mengisyaratkan bahwa sang penyair akhirnya menemukan identitas dirinya yang telah susah payah, megap meriang, dicarinya dengan menempuh perjalanan panjang berliku-liku.

Menarik, identitas yang ditemukan itu tampak berkarakter dinamis dan aktif. Citra gerak mendominasi puisi. Pada bait pertama, subjek mendefinisikan dirinya sebagai daya pergerakan yang berorientasi ke kebebasan:

Demi membebaskanmu

nafasku terjelma jadi pemburu

bersayap selaka warna

mengepak di gemerlap senyap      

Subjek adalah “pemburu bersayap mengepak” yang bergerak “demi membebaskanmu”. Ia agen dari gerak pembebasan.

Momen penemuan identitas digambarkan dengan ungkapan “saat itulah aku memilih namaku” yang mengawali bait selanjutnya. “Nama”, alias identitas yang didapatkan itu, tidaklah diam beku, melainkan bergerak dinamis. Nama/identitas “bangkit dari celah batu karang, menuruni lembah, melayang di lintasan bintang, menyelinap ke sudut kamar terpengap, menyingkap kelambu mengitari ranjangmu”.      

Pada bait terakhir, subjek kembali mendefinisikan dirinya secara aktif dan dinamis, kali ini dengan proyeksi ke masa depan:

Sebab nafasku

pemburu bersayap gemerlap

yang kelak menyelinap

melarung jantung dan ginjalmu pada puncak

buih laut selatan

Beragam tanda identitas kultural-geografis-personal yang bertaburan dalam Pinara Pitu mungkin terkesan dangkal-superfisial bagi pembaca. “Pilihan kata yang dipilih Mira terkesan hanya mengejar sisi eksotik dan keunikan budaya Bali saja,” tulis penyunting dalam “Epilog”, agaknya mengutip pendapat seorang komentator. Namun, bagi saya, superfisialitas tanda-tanda identitas itu justru mangkus untuk menunjukkan betapa identitas adalah suatu konstruksi yang cair, tak-stabil, dan tak-pasti dan tak-jelas batas-batasnya.

Dengan cara yang ironis, Pinara Pitu menantang pandangan esensialis yang mendasarkan identitas pada satuan eksklusif seperti etnisitas. Puisi-puisi dalam kumpulan ini menjelajahi identitas sebagai proses rumit yang berlangsung terus-menerus, yang melibatkan persentuhan, persilangan dan pergulatan dengan yang sama maupun yang beda. Identitas tidak pernah mandek, melainkan selalu bergerak, dirumuskan lagi dan lagi melalui perjalanan menyeberangi tapal batas bahasa, budaya, dan geografi.      

Betapa pun, identitas kebalian tampil menonjol dalam Pinara Pitu. Puisi bersuasana Bali lebih banyak daripada puisi yang merefleksikan dunia non-Bali. Warna Bali tetap dominan.

Tentu saja Mira tidak sendiri. Akademisi sastra Nyoman Darma Putra mencatat bahwa wacana etnisitas Bali sudah muncul sejak lama dalam karya sastra para pengarang Bali.[9] Pada masa penjajahan Belanda, tema Bali banyak diangkat oleh sastrawan Bali (meskipun Bali masih dibayangkan sebagai satuan-satuan identitas lepas berdasarkan golongan, kelompok dan sebagainya, alih-alih satu kesatuan etnik), terutama akibat kebijakan politik “tradisionalisasi” adat dan budaya Bali yang dijalankan pemerintah kolonial Belanda untuk membendung masuknya pengaruh radikal nasionalisme dan komunisme ke Bali. Sempat meredup diterpa gelombang pasang nasionalisme pada masa Revolusi dan Orde Lama, wacana kebalian beriak lagi dalam sastra pada era Orde Baru, terutama sebagai reaksi kritis terhadap serbuan budaya global yang masuk lewat pintu kebijakan pariwisata berskala industri. Didorong oleh desentralisasi dan mengentalnya kekecewaan terhadap pusat yang dipandang mengisap Bali, wacana identitas kebalian begitu semarak pada era Reformasi, dalam sastra maupun diskusi publik. Pengarang Bali pada era Reformasi, kata Putra, “lebih fokus menulis hal-hal tentang Bali, mengindikasikan mereka gigih menyelami alam pikiran, budaya, dan lingkungan mereka sebagai orang Bali. Karya-karya mereka menjadi arena bagi orang Bali untuk lebih memahami siapa sebetulnya diri mereka dan ke arah mana sebaiknya mereka melangkah. Dengan kata lain, karya-karya itu adalah refleksi terus-menerus untuk merumuskan kebalian.”

Jadi, perkara identitas kebalian atawa wacana etnisitas Bali tampaknya sudah menjadi “tradisi” dalam perjalanan sejarah sastra Indonesia di Bali. Sebuah “tradisi” kuat yang terentang sejak zaman kolonial sampai era kiwari, mulai Pandji Tisna hingga Mira MM Astra.

Pinara Pitu menyingkapkan informasi menarik yang menambah penjelasan tentang mengapa pengarang Bali menulis tentang Bali, terutama kenapa penyair Bali berpuisi perihal Bali, khususnya pada masa sekarang. Dalam “Epilog”, Komang Ira Puspitaningsih mengungkapkan:

Mira sangat berkiblat pada Oka Rusmini. Mira membaca semua buku Oka Rusmini. Meneliti, menguliti, menyayat, mengirisnya hingga Mira sangat mengenal karakter penulisan Oka. Mira dengan sepenuh sadar menjadikan Oka Rusmini sebagai patron dalam prosesnya berkarya. Tak dapat dipungkiri bahwa napas Oka kemudian menelusup pada puisi-puisi Mira. Puisi-puisi yang trengginas, sangat padat, lompatan-lompatan imaji yang mencengangkan dan kadang janggal, juga kesan kekejian yang tersirat mencerminkan betapa berat proses hidup yang dilaluinya. Dengan sangat disadarinya pula, ia belum mau melepaskan bayang-bayang Oka dari prosesnya itu. Oka Rusmini adalah penulis Bali yang sangat ia hormati, dan menurut saya sekaligus ia ‘benci’. Betapa pun sengitnya Mira pada “Akar Pule”. Betapa pun sulitnya Mira membaca “Tempurung”. Tapi tidak ada penulis lainnya yang bisa membuat Mira begitu bersemangat dan sanggup berdarah-darah menulis puisi melebihi Oka Rusmini. Penulis yang ingin ia ikuti jejaknya. Penulis yang sangat ingin ia tiru kedisiplinannya.

Dalam Pinara Pitu, sekurang-kurangnya memang ada satu puisi yang begitu jelas menampakkan pengaruh kuat puisi Oka Rusmini. “Peti Pandora”, judulnya. Oka pernah menulis puisi dan buku puisi berjudul Pandora (2008). Ungkapan puitik khas Oka mewarnai tebal-tebal puisi “Peti Pandora” Mira. Banyak diksi keras berdimensi ketubuhan bernada sadistis: “mengerat urat-urat di tubuh”, “menuang tetesan cairan otakmu”, “mencangkul bulat mata kecombrang” (bunga favorit Oka!), dan sebagainya—ekspresi “kemarahan” semacam ini sesungguhnya tidak banyak terdapat dalam puisi Mira lainnya, yang secara umum bernada lebih lembut daripada puisi Oka. Terdengar pula getar erotika perempuan dan suara kritis tentang tradisi patriarkis Bali: “sungai yang lihai melarutkan wujud perempuanmu”, “Buka pintumu wahai Ksatria! Aku ingin menyentuh kulitmu”—wilayah yang juga tidak banyak dijelajahi dalam puisi Mira lainnya.

Seperti korpus puisi Oka, repertoar puisi Mira banyak diwarnai diksi dan citraan dari anasir-anasir upacara adat Bali. Oka maupun Mira kerap menggunakan motif dan metafora upacara keagamaan Hindu-Bali untuk menghadirkan suasana dan sikap tentang Bali dalam puisi mereka. Bedanya, Mira cenderung menggunakannya untuk mengungkapkan suasana, sedangkan Oka lebih banyak memakainya untuk menyatakan sikap.

Oka Rusmini tentu bukan penyair pertama yang suka memainkan upacara tradisional Bali sebagai motif dan metafora puitik. Sebelum dia, ada GM. Sukawidana, antara lain. Sukawidana bahkan seperti terobsesi dengan upacara. Baca saja judul buku-buku puisinya yang banyak mengangkat tema Bali: Upacara-Upacara, Upacara Tengah Hari, Upacara Senja Upacara Tanah Moyang.

Sejatinya, Sukawidana adalah guru—dalam arti harfiah maupun simbolis—Oka Rusmini. Penyair ini adalah guru Bahasa Indonesia Oka di SMPN 1 Denpasar. Namun, lebih daripada pengajar bahasa, Sukawidana secara personal menanamkan virus kecintaan kepada sastra (dan teater) pada murid-muridnya melalui Sanggar Cipta Budaya yang diasuhnya. Beberapa muridnya benar-benar jatuh cinta kepada sastra.[10] Menurut Oka, Sukawidana adalah orang yang pertama kali mengirimkan puisi Oka ke Bali Post dan memperkenalkannya kepada redaktur sastra di koran itu, Umbu Landu Paranggi, mendiang penyair legendaris yang diakui sebagai “mahaguru” oleh banyak penyair Bali.

Sebagaimana puisi Oka, puisi Sukawidana kerap menyuarakan kritik perihal kondisi sosial, budaya dan lingkungan Bali. Seperti puisi Sukawidana, puisi Oka—terutama dari periode awal—banyak mengusung istilah budaya Bali. Oka mengaku mengenal puisi Sukawidana sejak SMP. Namun, ia menampik dikatakan mengambil puisi Sukawidana sebagai model awal puisinya. Alih-alih, ia menyebut Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi A.G., yang kaya dengan idiom budaya Jawa, sebagai buku puisi yang mula-mula mendorongnya untuk menulis puisi yang banyak diwarnai idiom budaya Bali.

Mira menulis puisi di bawah bayang-bayang Oka. Namun, ia bukan pengekor belaka.

Dalam puisi-puisinya, Mira mengerahkan idiom budaya Bali dengan kadar yang jauh lebih intensif dan ekstensif daripada Oka untuk mengembangkan pengaruh sihir puitik penyair pendahulunya itu. Hasilnya, dalam pandangan saya, justru mengingatkan pada bahasa puisi Sukawidana.

Sekadar untuk bahan perbandingan sepintas, berikut ini nukilan puisi Sukawidana:[11]

kanak kanak perawan

lupa

mesti menari di mana saat piodalan di pura-pura

hilang jimat suara genggong

pucuk pandan di pintu-pintu

: “aku kehilangan rupa garis moyang!”

maka saat melasti ke pesisir

ke sumber sumber mata air

suruhlah pekembar melepas ‘biing nyelem’

ke dalam kalang

agar tabuh rah melengkapi sesajen

upacara menyongsong icaka

sebelum bencana lebih dahsyat

datang dari langit!

(“Sajak Tanah Bali”)

letakkan sesegeh putih kuning                 

di gerbang-gerbang pura

sanggah cucuk bara api

caru jagat manca warna

racikan arak berem

tabuh rah di pelataran pura

brumbun biru lekong sandeh godeg arang

tajian temberang hidup pakembar

(“Ritus Tanah Bali”)

Pinara Pitu menawarkan sekilas kemungkinan jawaban lain tentang mengapa karya sastra berwajah etnik Bali diproduksi oleh pengarang Bali pada masa kini. Identitas puisi Mira memberikan jendela kecil untuk melihat adanya peran “faktor pengaruh” di lingkaran sastrawan Bali yang ikut membentuk minat pengarang Bali terhadap isu kebalian.  

    

[1] Karla Hammond, “An Interview with Audre Lorde”, The American Poetry Review, Vol. 9, No. 2 Maret/April 1980, 18-21.

[2] https://penerbitgambang.com/2016/11/05/bermula-tanpa-nama-hingga-ketika-aku-memilih-namaku/. Esai ini juga dimuat dalam situs web Mira: https://mirammastra.wordpress.com/2016/11/14/bermula-tanpa-nama-hingga-ketika-aku-memilih-namaku/. Penerbit Gambang adalah penerbit Pinara Pitu.

[3] Misalnya, John Farrell, The Varieties of Authorial Intention: Literary Theory Beyond the Intentional Fallacy (London: Palgrave Macmillan, 2017).

[4] Ni Luh Partami dkk., Kamus Bali-Indonesia: Edisi Ke-3 (Denpasar: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016).

[5] KBBI Daring. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/identitas%20etnik.

[6] Mary Bucholtz dan Kira Hall, “Language and Identity” dalam Alessandro Duranti (ed.), A Companion to Linguistic Anthropology (Malden: Blackwell, 2004), 645 hlm. Selanjutnya ditulis A Companion to Linguistic Anthropology.

[7] A Companion to Linguistic Anthropology, 372.

[8] Gloria Anzaldúa, Borderlands/La Frontera: The New Mestiza (San Francisco: Aunt Lute Book Company, 1987).

[9] I Nyoman Darma Putra, “Figur dalam Karpet: Refleksi Etnisitas dan Nasionalisme dalam Teks Sastrawan Bali Abad ke-20” dalam I Nyoman Sudiana, dkk. (ed.), Makalah dan Prosiding Seminar Nasional Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya IV (Singaraja: Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Ganesha, 2016).

[10] Ketika masih duduk di bangku sekolah menengah, beberapa murid Sukawidana—antara lain, Oka Rusmini—menimbulkan kejutan besar karena puisi mereka dibukukan dalam kumpulan Rindu Anak Mendulang Kasih (1987) yang diterbitkan Balai Pustaka, penerbit besar bergengsi pada masa tatkala menerbitkan buku tidaklah mudah seperti sekarang. Murid Sukawidana yang terus aktif menulis puisi adalah Oka Rusmini, Aan Almaidah Anwar, Dewa Putu Sahadewa, Chandra Yowani, Sri Jayantini, Ika Permata Hati, dan Wulan Dewi Saraswati. Puisi mereka dibukukan dalam Peladang Kata: Reuni Puisi Sanggar Cipta Budaya SMP Negeri 1 Denpasar (Denpasar: Pustak Ekspresi, 2019).   

[11] GM. Sukawidana, Upacara-Upacara (Yogyakarta: Akar Indonesia, 2015).

Esai24 Desember 2021

Arif Bagus Prasetyo


Arif Bagus Prasetyo dikenal luas sebagai kritikus sastra dan seni rupa, penyair angkatan 2000-an, kurator lukisan, dan ahli penerjemahan yang meraih berbagai penghargaan. Kini ia menetap di Bali. Sebagai kritikus, Arif meraih berbagai penghargaan untuk karya kritiknya, antara lain Pemenang I Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2007, Anugerah “Widya Pataka” 2009 dari Pemerintah Provinsi Bali, serta Anugerah Puisi CSH 2009. Dalam bidang penerjemahan, ia telah menerjemahkan lebih dari 20 buku asing ke dalam bahasa Indonesia. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di berbagai antologi puisi. Buku terbarunya, Saksi Kata: 18 Esai Sastra (2021).

Berlangganan

tengara.id adalah situs kritik sastra yang dikelola oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta. Tengara adalah upaya lanjutan dalam mengisi kelangkaan pertumbuhan kritik sastra dalam kehidupan kesusastraan Indonesia.