Perkara Plot “Keluarga Kudus”

Para teoretikus . . . bersikeras dengan pandangan mereka mengenai naratif sebagai suatu instrumen untuk menyesuaikan cerita dengan “waktu”, “proses”, dan “perubahan”. Saat naratornya Chekhov sama sekali abai dengan penyesuaian tersebut, langsung saja itu mengubah ceritanya menjadi suatu naratif fiksional yang sakit.

 – Pekka Tammi, “Against Narrative (‘A Boring Story’)” dalam Harold Bloom (ed.), Bloom’s Critical Modern Views: Anton Chekhov, 133.  

 

Penganugerahan cerpen “Keluarga Kudus” karya Sunlie Thomas Alexander sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2021 memicu sejumlah kritik. Tiga kritik tajam, paling tidak sepanjang pembacaanku, dihujamkan oleh Saut Situmorang, Mikael Johani, dan Felix Nesi.[1] Saut Situmorang yang menitikberatkan kritiknya pada sumber cerita “Keluarga Kudus” yang mengetengahkan persoalan etik, plagiarisme, dengan menggugat tidak disebutkannya sumber cerita yang menjadi landasan penulisan cerpen. Perkara dosa atau kecenderungan “kolonialis” dan “rasis” disulut Mikael Johani dengan membandingkan “Keluarga Kudus” dengan Max Havelaar karya Multatuli dan Heart of Darkness karya Joseph Conrad yang dianggap merendahkan orang-orang pribumi di bawah kaki bangsa Eropa yang beradab. Sedangkan Felix Nesi yang melakukan pendekatan struktural dengan penelaahan plot cerita membongkar ketidaksinambungan alur cerita “Keluarga Kudus”.

Tulisan ini tidak akan membahas ketiga kritik di atas, tetapi lebih ditujukan untuk menelaah kritik Felix Nesi yang mempersoalkan plot cerita cerpen “Keluarga Kudus”. Dua kritik Saut Situmorang dan Mikael Johani bukan tidak menarik. Alasan praktis pengesampingan dua kritik tersebut adalah keduanya tidak membahas plot cerita yang menjadi fokus tulisan ini. Oleh karena itu, kritik Felix yang menyoroti keserampanganan penggunaan bahasa daerah dan kekeliruan penggambaran bahan pakaian lokal juga berada di luar pembahasan tulisan ini.

Felix melandaskan kritiknya atas alur cerita “Keluarga Kudus” pada definisi cerita pendek oleh Jakob Sumardjo yang tampaknya mengacu pada plot formal yang merupakan urutan kejadian-kejadian yang mempunyai awal-tengah-akhir. Plot formal yang pada dasarnya adalah gerak atau alur penceritaan terstruktur memiliki tiga elemen (waktu, kausalitas, dramatik) yang terikat secara koheren.

Secara garis besar plot waktu dapat terbagi menjadi linear, kilas balik, episodik dan campuran. Plot kausalitas membentuk cerita sebagai rangkaian kejadian yang terus berkembang dalam pola sebab-akibat sampai diakhiri dengan resolusi atau kesimpulan. Sedangkan plot dramatik mengacu pembacaan cerita sebagai suatu pengalaman sensibilitas (pemerasaan) atas kejadian-kejadian dalam cerita secara imajinatif yang membangkitkan emosi tertentu. Plot dramatik mendorong kita mengalami kejadian-kejadian dalam cerita sebagai tahapan-tahapan ketegangan emosional dari landai naik ke curam ke puncak ke landai turun, hingga mencapai kesimpulan (kurva dramatik).                 

Felix mengawali kritiknya atas “Keluarga Kudus” dengan menyingkapkan tema cerita yang diasumsikan akan menjadi buhul pengikat plot. Bertolak dari tiga paragraf awal cerpen, Felix berusaha mengidentifikasi tema cerita dengan memformulasikan masalah dalam bentuk empat pertanyaan langsung dan permasalahan berkait karakter Bafoe dan pasangan Mama Martha-Bapa Yosef dalam hubungannya dengan pemilihan Keluarga Kudus. Berdasarkan formulasi permasalahan-permasalahan tersebut tampaknya Felix berharap dapat menemukan penjelasan yang dapat menerangi duduk perkara, perkembangan permasalahan, dan jawaban yang dapat menyelesaikan permasalahan melalui tindakan dan suara karakter-karakter juga narator cerpen. Namun, cerpen “Keluarga Kudus” tidak memenuhi harapan-harapan Felix.

Bagi Felix cerpen “Keluarga Kudus” tidak memiliki kesinambungan alur cerita; cerita tidak dibangun sebagai urutan kejadian-kejadian yang koheren. Guna membuktikan penilaian tersebut, Felix membongkar ketiadaan hubungan kausalitas dan kewaktuan kejadian-kejadian di dalam cerpen.

Konflik atau bagian tengah penceritaan yang mengawali cerita tidak diikuti dengan penjelasan yang memperkenalkan karakter-karakter dan tema. Sementara bagian-bagian lain cerpen, bagi Felix, merupakan kejadian-kejadian yang kehilangan ikatan logis dan kronologis—pembahasan perkara derma dan pemilihan Elizabeth Bafoe sebagai salah satu Keluarga Kudus—sesuai dengan apa dan bagaimana Keluarga Kudus yang diidentifikasi sebagai topik utama.

Masalah pertama dalam kritik Felix adalah penemuan tema cerita. Felix berupaya mengidentifikasi tema dengan memformulasikan permasalahan-permasalahan yang ditarik dari tiga paragraf awal. Namun, tema atau topik utama yang diasumsikan berada di permukaan satu peristiwa pada tiga paragraf awal tidak dapat disahkan pada tiga paragraf selanjutnya yang dianggap sebagai eksposisi.

Kegagalan pengesahan tema cerita pada bagian eksposisi diikuti dengan kegagalan membangun momentum peristiwa atau insiden (mengapa pasangan Mama Martha-Papa Yosef tidak pernah terpilih sebagai Keluarga Kudus) yang mendorong karakter-karakter, terutama karakter utama, mengambil tindakan-tindakan yang memicu konflik hingga ke puncak. Problem kausalitas ini diperparah dengan kekacauan kronologis saat penjelasan mengapa Mama Martha-Papa Yosef tidak pernah terpilih sebagai Keluarga Kudus baru muncul pada paragraf ke-10, alih-alih muncul pada paragraf ke-6 sampai ke-9.

 Pada paragraf ke-6, paragraf ke-7, dan paragraf ke-8, alih-alih menjelaskan mengapa Mama Martha dan Bapa Yosef tidak terpilih untuk memerankan “Keluarga Kudus”, narator memilih untuk menceritakan tiga poin positif dari pasangan itu, yaitu tidak pernah berkelahi (paragraf ke-6 dan ke-8), harmonis (paragraf ke-7), dan selalu aktif dalam kegiatan-kegiatan doa (paragraf ke-9), tetapi tidak pernah terpilih untuk memerankan ‘Keluarga Kudus’,” tulis Felix. Kemudian Felix meneruskan, “Pada akhir paragraf ke-10, barulah pengarang memunculkan pergunjingan mengapa pasangan itu tidak terpilih.

Munculnya topik derma, alasan tidak pernah terpilihnya pasangan Mama Martha-Bapa Yosef sebagai Keluarga Kudus, yang berlangsung sepanjang delapan belas paragraf, tampak semakin membuat cerpen kehilangan koherensi. Bagi Felix, topik derma membuat pembacaan cerpen terdistraksi dari topik utama atau tema “Keluarga Kudus”. Topik derma menjadi semacam pulau tersendiri yang tidak terhubung dengan tema cerita. “ . . . derma, terlalu dipaksakan untuk masuk ke dalam bagian dari plot. Mungkin ini bisa menjadi bab tersendiri dalam novel, tetapi sebagai bagian dari cerita pendek, ia membuat plot cerita melenceng terlalu jauh.” tulis Felix.

Kedodoran cerpen “Keluarga Kudus” semakin memburuk dari segi elemen plot waktu atau kronologis, saat topik pergunjingan perilaku Elizabeth Bafoe berkait Keluarga Kudus baru muncul pada setengah bagian akhir cerita, pada paragraf ke-29 sampai paragraf ke-46.

Tampaknya penilaian Felix yang berkesimpulan “Keluarga Kudus” memiliki ketidaksinambungan alur cerita ditarik dari penelaahan kritis yang didasarkan pada elemen kausalitas dan kronologisasi serta koherensi tematik dalam plot cerpen “Keluarga Kudus”.

Namun, penceritaan yang logis tidak hanya bersandar pada pola kausalitas dan urutan linear kejadian-kejadian dalam bangun cerita. Sedangkan tema cerita tidak hanya dapat diidentifikasi dengan menarik pemaknaan dari permukaan satu kejadian, tema cerita juga dapat diidentifikasi dengan menariknya melalui penyingkapan makna tersembunyi di balik kejadian-kejadian.

Pengidentifikasian tema cerita mungkin langkah paling penting dalam penelaahan cerita dengan pendekatan struktural. Tema cerita merupakan buhul yang mengikat kejadian-kejadian agar cerita dapat terbaca secara logis. Namun, pengidentifikasian tema cerita sering dipandu oleh prakonsepsi pembaca saat menganalisis cerita.

Dalam kasus Felix, yang mengidentifikasi tema dengan menariknya langsung dari permukaan satu kejadian, pengidentifikasian tema cerita mungkin dipandu oleh prakonsepsinya mengenai tipe cerita didaktik yang menyajikan tujuan cerita secara gamblang. Prakonsepsi semacam ini mendorong sikap pembacaan ke dalam bingkai penaratifan cerita yang mengacu cerita sebagai urutan kejadian-kejadian dalam pola sebab-akibat dan linear.

Oleh karena itu Felix mengeluarkan bagian cerita bertopik derma yang dianggap menganggu pola sebab-akibat bangun cerita dan mencela bagian-bagian cerita yang mengganggu linearitas; seperti salah penempatan bagian penjelasan tidak terpilihnya Mama Martha-Bapa Yosef sebagai Keluarga Kudus dan bagian pemeranan Elizabeth Bafoe sebagai Keluarga Kudus yang tidak tertib linearitas. Rupanya nasihat Jakob Sumardjo “ . . . tak ada bagian-bagian yang tak perlu, hanya mengemukakan suatu hal secara tajam”, betul-betul mempengaruhi analisis Felix atas “Keluarga Kudus”.

Pada dasarnya pola kausalitas, tatanan linearitas, dan koherensi berasal dari konsep Aristoteles mengenai pembangunan plot cerita yang baik yang tercakup dalam teknik pembangunan cerita berdasarkan prinsip representasi mimetik yang mengasumsikan gerak alam mempunyai awal dan akhir dengan proses logis menempati bagian tengahnya. Prinsip representasi mimetik menganggap semua jenis kehidupan tunduk pada tatanan alam. Sebagaimana plot cerita, kehidupan manusia mempunyai narasi awal-tengah-akhir, ketika pencapaian moral yang merupakan tujuan dalam naratif hanya mungkin disimpulkan setelah kehidupan tuntas dijalani. Penilaian moral sendiri ditarik dari bagaimana seorang individu menjalani kehidupannya sesuai dengan peran dan fungsi yang sudah ditentukan dalam masyarakat berdasarkan kaidah alamiah yang memilah kehidupan sebagai kehidupan tinggi dan kehidupan rendah.

Apa yang hendak dikatakan di sini: plot cerita formal atau baku bertolak dari superioritas alam yang membangun sekuensial naratif sebagai pola kausalitas, kronologis, dan koheren yang menjadi semacam bagan bagi karakter-karakter untuk bertindak dan berbicara sesuai perannya dalam cerita.

Cerpen “Keluarga Kudus” karya Sunlie bukan milik plot cerita baku semacam itu. “Keluarga Kudus” tidak merepresentasikan cerita sebagai kehidupan alamiah yang utuh, tetapi sebagai potongan kehidupan yang fragmentaris. Selembar potret atau tableau ketika waktu yang membeku menghadirkan karakter-karakter dan kejadian-kejadian sebagai simultanitas. Sebagaimana fungsi dramatik tableau pada masa Yunani Kuno dan sekularisasinya dalam tableau viavant-nya Diderot yang merupakan penangkapan suatu momen emotif dan memproyeksikannya, “Keluarga Kudus” memproyeksikan mood atau suasana hati para karakter atas suatu kejadian yang dialami bersama. Melalui peristiwa pemilihan Keluarga Kudus, karakter-karakter mengungkapkan kejengkelan mereka terhadap kebijakan gereja. Terpilihnya Elizabeth Bafoe sebagai Keluarga Kudus merupakan bukti kebobrokan kebijakan gereja yang menjengkelkan sekaligus menjadi pintu masuk untuk mengungkapkan kejengkelan-kejengkelan lainnya berkait dengan gereja.    

Guna merepresentasikan cerita sebagai potret yang selalu berjarak dari pelihatnya, “Keluarga Kudus” diceritakan lebih secara deskriptif objektif atau dengan mode plain diegesis yang memposisikan narator sebagai orang ketiga yang tidak terlibat. Namun, alih-alih menjadi narator yang mahatahu (omniscient), pencerita “Keluarga Kudus” adalah narator limited omniscient yang mempunyai pengetahuan terbatas atas jalannya cerita. Pada satu bagian cerita narator, melalui suara para tetangga, seolah setuju dengan sebab tidak pernah terpilihnya pasangan Mama Martha-Papa Yosef sebagai Keluarga Kudus, yakni, karena “. . . terang-terangan menentang kewajiban membayar derma dan sumbangan pembangunan gedung paroki baru . . . .”

Namun, pada bagian selanjutnya narator justru membantahnya sendiri melalui kasus Om Titus yang selalu tertib melunasi derma dan berbagai jenis sumbangan tetapi juga tidak pernah terpilih menjadi Keluarga Kudus. Pada bagian cerita lain lagi, Elizabeth Bafoe yang sebejat Om Titus dan belum melunasi derma serta sumbangan semirip Mama Helena (karena Mama Helena belum melunasi sumbangan akibatnya cucunya belum diperkenankan menerima komuni pertama dan ibu dari cucunya, putri sulung Mama Helena, belum menerima pemberkatan sakramen pernikahan) dapat terpilih sebagai Keluarga Kudus. Dalam konteks ini, narator, seolah seperti pembaca, tidak mengetahui kejadian selanjutnya sebelum diceritakan.

Kekeliruan Felix dalam membaca “Keluarga Kudus” adalah prakonsepsinya berkait dengan penerapan plot cerita baku dan penarikan tema atau topik utama dari permukaan satu kejadian. Plot “Keluarga Kudus” justru menentang plot baku. Simultanitas, analogis, dan fragmentaris yang membuat penceritaan “Keluarga Kudus” menentang linearitas, kausalitas, dan koherensi dalam plot baku.

Fragmen Mama Martha-Bapa Yosef, fragmen Om Titus, dan fragmen Elizabeth Bafoe yang disajikan sebagai pertunjukan tableau yang hadir secara simultan saling berkaitan secara analogis dan diikat dengan simpul kebobrokan kebijakan gereja sebagai tema. Sebenarnya mode naratif non-linear yang digunakan dalam cerpen “Keluarga Kudus” sudah sangat tidak asing, disebut sebagai plot paralel.                                                                      

[1] Percekcokan antara Saut Situmorang dan Sunlie Thomas Alexander berlangsung  di laman Facebook pada pekan pertama Juli 2022. Mikael Johani memuat telaah kritisnya di Facebook pada 6 Juli 2022. Kritik Felix Nesi berjudul “Ketimpangan ‘Keluarga Kudus’ dan Kemunafikan Gereja Katolik” dimuat di tengara.id; (https://tengara.id/blog/keluarga-kudus-cerita-pendek-terbaik-kompas-2021/)

Meja Bundar21 Agustus 2022

Dwi Pranoto


Dwi Pranoto menulis esai, puisi, dan menerjemahkan. Sempat setahun bekerja di sebuah perusahaan pelayaran yang beroperasi di Selat Bali, kemudian pindah ke Cilegon, Jakarta, kembali ke Banyuwangi, terus ke Jember. Di Jakarta sempat bergabung dengan Teater Tanah Air dan Kelompok Teater Kami. Di Jember bergabung dengan Kelompok RumahKata sambil mengisi siaran Apresiasi Seni dan Budaya di RRI Pro 1 Jember.