Ketimpangan “Keluarga Kudus”
—dan Kemunafikan Gereja Katolik

Ilustrasi: Goenawan Mohamad

Pada 28 Juni 2022, Harian Kompas menyelenggarakan anugerah Cerita Pendek Terbaik Kompas 2021. Pemenangnya adalah Sunlie Thomas Alexander lewat cerita pendeknya “Keluarga Kudus” (diterbitkan di Kompas, Minggu, 07 Maret 2021). “Keluarga Kudus” memotret dinamika penganut agama Katolik di Noemetan, sebuah paroki pengguna bahasa Uab Meto, tidak jauh dari perbatasan antara kabupaten Timor Tengah Utara dan Timor Leste (Daerah Administratif Khusus Oecusse-Ambeno).

Melalui alur cerita, suara narator, maupun pembicaraan antartokoh, cerpen itu menceritakan perayaan liturgi Gereja Katolik, kebiasaan bergosip dalam masyarakat setempat, kekerasan dalam rumah tangga, stigma kepada janda, desas-desus tentang kaum berjubah, sumbangan wajib yang dibebankan oleh Gereja, dan beragam hal lain.

Saya tertarik tentang bagaimana Sunlie, seorang muslim, laki-laki, dan seorang kelahiran Bangka yang belum pernah ke Timor, menantang dirinya untuk bercerita tentang keseharian keluarga Katolik di Timor, dengan perempuan sebagai tokoh sentralnya, dan melibatkan begitu banyak isu dalam format cerpen koran yang ruangnya sangat terbatas. Bagaimana ia menggarapnya? Apa yang bisa dipersoalkan atau yang pantas dirayakan darinya?

 

Ketidaksinambungan Alur Cerita

Cerita pendek disebut cerita pendek pertama-tama bukan karena jumlah huruf atau ukurannya yang pendek, tetapi karena cakupan ceritanya. Dalam buku Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen, Jakob Sumardjo menyimpulkan bahwa cerita pendek “hanya memiliki satu arti, satu krisis, dan satu efek untuk pembacanya . . . dan tak ada bagian-bagian yang tak perlu, hanya mengemukakan suatu hal secara tajam.”

Berdasarkan hal itu, melalui pendekatan struktural, kita akan menelaah seperti apa plot dalam “Keluarga Kudus”.

Total ada 46 paragraf dalam cerita Keluarga Kudus yang dibuka dengan konflik.

“Zaman sekarang ternyata ular betina pun bisa jadi keluarga kudus!” ujar Mama Martha bersungut-sungut pagi itu sepulang dari misa Pesta Keluarga Kudus Nazaret. Bapa Yosef urung melinting tembakau Joker di tangannya. Mengangkat kepala, ia menatap istrinya dengan wajah melongo.

“Mam Tua, lu maksud ular betina itu siapa?”

“Siapa lagi kalau bukan si Bafoe itu!” suara Mama Martha jadi meninggi.

Tiga paragraf ini mengantarkan pembaca kepada topik yang akan dibicarakan. Apa itu “keluarga kudus”? Siapa itu “Bafoe”? Mengapa ia dijuluki oleh Mama Martha sebagai “ular betina”? Mengapa pada zaman sekarang ular betina tidak boleh menjadi “keluarga kudus”? Juga, pertanyaan lain dengan topik sentral “keluarga kudus”, si Bafoe, dan pasangan Mama Martha-Bapa Yosef.

Paragraf ke-4 hingga ke-6 merupakan paragraf eksposisi yang menjelaskan drama “Keluarga Kudus” dalam misa Pesta Keluarga Kudus Nazaret, proses pemilihannya, dan keterangan bahwa Mama Martha dan Bapa Yosef belum pernah terpilih untuk memerankannya.

Pada paragraf ke-6, paragraf ke-7, dan paragraf ke-8, alih-alih menjelaskan mengapa Mama Martha dan Bapa Yosef tidak terpilih untuk memerankan “Keluarga Kudus”, narator memilih untuk menceritakan tiga poin positif dari pasangan itu, yaitu tidak pernah berkelahi (paragraf ke-6 dan ke-8), harmonis (paragraf ke-7), dan selalu aktif dalam kegiatan-kegiatan doa (paragraf ke-9), tetapi tidak pernah terpilih untuk memerankan “Keluarga Kudus”.

Di sini keanehan mulai terlihat. Apa hubungan tiga poin itu dengan “Keluarga Kudus”? Apakah poin itu adalah syarat untuk memerankan “Keluarga Kudus”? Ia tidak mendukung argumentasi bahwa mereka pantas menjadi “Keluarga Kudus”—sebab tidak ada penjelasan tentang syarat untuk memerankannya. Ini membuat paragraf-paragraf itu menjadi premis terpisah yang berdiri sendiri tanpa fungsi. Kehadirannya hanya kelihatan seperti tempelan yang tidak berkesinambungan dengan plot cerita—kelihatan hanya sebagai ambisi untuk membicarakan kekerasan dalam rumah tangga, isu yang memang penting untuk diangkat dalam sastra tetapi sayangnya tidak berkaitan dengan alur cerita.

Pada akhir paragraf ke-10, barulah pengarang memunculkan pergunjingan mengapa pasangan itu tidak terpilih, yaitu penolakan Bapa Yosef untuk membayar derma yang jumlahnya ditentukan oleh pastor paroki. Alih-alih melanjutkan cerita, paragraf ini dijadikan jembatan untuk membahas derma, sesuatu yang berbeda dari topik utama.

Ini bukan tikungan kecil. Didukung oleh lima argumentasi yang dibagi ke dalam 18 paragraf, yaitu imbauan ketua lingkungan untuk membayar derma (paragraf ke-13), penolakan Bapa Yosef (paragraf ke-12 dan ke-15), penolakan janda miskin (paragraf ke-11), pelunasan derma dengan hasil judi (paragraf ke-17 hingga ke-19), sanksi Gereja jika umat tidak membayar derma (paragraf ke-23-25), serta derma yang menjadi utang yang mendatangkan malu jika tidak dilunasi (paragraf ke-26-28).

Tidak hanya 18 paragraf pendukung, ada tiga tokoh tambahan yang dihadirkan untuk mendukung “plot baru” ini, yaitu Om Markus sang ketua lingkungan yang bertugas menagih derma, Oom Titus yang suaranya mewakili orang-orang mampu, dan Oma Monika, janda tua miskin, ibu Bapa Yosef.

Dengan kehadiran 18 paragraf pendukung dan tiga tokoh tambahan ini, fokus cerita sejak konflik dan eksposisi yang diarahkan kepada cerita seputar Elizabeth Bafoe, peran “Keluarga Kudus”, dan hubungannya dengan pasangan Martha-Yosef, menjadi terdistraksi dan melenceng secara signifikan ke topik tentang derma. Topik ini diceritakan dengan panjang-lebar seperti halnya babak baru dalam sebuah cerita.

Topik tentang Elizabeth Bafoe dan “Keluarga Kudus” baru dimunculkan kembali di paragraf ke-29 hingga paragraf ke-46, atau pada setengah bagian akhir dari cerita.

Keanehan lain terjadi. Pada setengah bagian akhir cerita, tokoh Mama Martha dan Bapa Yosef, tokoh sentral di setengah bagian awal cerita, yang memperkenalkan dan memiliki “persoalan” dengan Elizabeth Bafoe, menghilang. Begitu pula dengan tokoh-tokoh yang hadir sepanjang pembahasan tentang derma. Untuk melanjutkan kisah plot utama, menjawab konflik tentang Elizabeth Bafoe, diciptakan lagi sebelas tokoh baru—sebelas tokoh yang suara dan karakternya mirip dengan tokoh-tokoh sebelumnya. Istri yang galak (paragraf ke-34), perempuan yang menyebut si Bafoe sebagai ular (paragraf ke-37), dan ketua lingkungan (paragraf ke-44).

Kita bisa bertanya mengapa menghilangkan tokoh Mama Martha dan Bapa Yosef yang sejak awal hadir untuk memberi kontras kepada tokoh si Bafoe? Tetapi, pertanyaan yang lebih penting adalah mengapa menghilangkannya, hanya untuk digantikan dengan tokoh-tokoh lain yang karakterisasinya sama saja? Lalu ke mana tokoh-tokoh yang membahas soal derma?    

Kita bisa menyimpulkan bahwa delapan belas paragraf panjang dengan tiga tokoh tambahan yang menguliti apa dan bagaimana itu derma, terlalu dipaksakan untuk masuk ke dalam bagian dari plot. Mungkin ini bisa menjadi bab tersendiri dalam novel, tetapi sebagai bagian dari cerita pendek, ia membuat plot cerita melenceng terlalu jauh.

Jika kita menghapus delapan belas paragraf yang membahas derma secara panjang-lebar (paragraf ke-10-28), juga menghapus tiga paragraf tentang kebaikan Mama Martha dan Bapa Yosef (paragraf ke-7-9), atau dengan kata lain setengah bagian cerita, kita tidak akan mengubah apa-apa.

Sunlie kelihatan sangat berambisi untuk mengkritik beberapa persoalan Gereja sekaligus hanya dalam satu cerita pendek. Ini tidak hanya membuat “Keluarga Kudus” menjadi tidak berfokus, tetapi juga tidak memiliki kedalaman eksplorasi. Alih-alih terbaca sebagai cerita pendek, malah kelihatan seperti resensi novel realis dengan penokohan yang buruk dan beberapa persoalan lain seperti yang akan kita bahas berikut.

 

Usaha Menulis Sang Liyan

Saya telah menyebutkan bahwa Sunlie adalah seorang muslim, laki-laki, dan seorang kelahiran Bangka yang belum pernah ke Timor. Saya akan langsung menjelaskan beberapa hal yang menunjukkan perlunya Sunlie bekerja lebih giat jika ingin menuliskan sang liyan.

Pada paragraf ke-7, Sunlie mempertentangkan antara “ibu-ibu yang ceriwis” dengan “pasangan harmonis yang diberkati Tuhan.”

Kendati Mama Martha dikenal oleh para tetangga sebagai ibu-ibu ceriwis yang suka mengomel, siapapun yang mengenal pasutri itu dengan lebih dekat pasti tahu bahwa keduanya sungguh pasangan harmonis yang diberkati oleh Tuhan kita Yesus Kristus.

Saya masih belum mengerti pertentangan dua hal tersebut. Apakah ibu-ibu ceriwis biasanya membuat pasutri menjadi tidak harmonis? Lebih jauh, mengapa, menurut penulis, keceriwisan ibu-ibu menjadi penyebab ketidakharmonisan sebuah pasangan? Bagaimana dengan bapak-bapak ceriwis?

Yang kedua, eksotisme perempuan Timor yang mengenakan kain tenun.

Sementara itu diam-diam jakun bapa-bapa turun-naik menyaksikan lenggokan pinggulnya yang berirama, yang terbalut ketat kain tais tenunan. (paragraf ke-23.)

“Begitulah Bapa Markus menjadi korban pertama dari kemolekan bokong perempuan itu.” (paragraf ke-25.)

Kain tais adalah kain tradisional wanita Timor Tengah Utara yang dibentuk dari jalinan benang yang diikat berlapis-lapis lewat proses menenun. Jalinan benang yang berlapis ini membuat kain tais menjadi lebih berat dan lebih tebal daripada kain kebanyakan. Sekitar tiga kali lebih tebal daripada kain batik—bisa lebih tebal lagi jika itu adalah motif timbul yang rumit. Tekstur kain tais yang tebal, warna dasar motif tenun yang gelap, ditambah cara mengikatnya di pinggang untuk upacara (abtai), mustahil bisa membuat bokong perempuan kelihatan molek. Bokong molek dalam balutan kain tenun adalah imaji eksotisme orang luar Timor. Kita bisa melihat begitu banyak peraga busana menggunakan kain tenun yang dibalut seketat dan semolek mungkin untuk memuaskan imaji itu.

Yang ketiga, dan yang bagi saya lebih parah, adalah penggunaan bahasa Melayu Kupang dalam percakapan antartokoh dalam cerpen “Keluarga Kudus”.

Dengan gaya realis dan penggambaran latar tempat yang terang benderang, penggunaan bahasa Melayu Kupang dalam percakapan tokoh di Kefamenanu adalah kekeliruan yang sangat fatal. Hal ini mengulang kesalahan khas orang-orang dari industri kreatif di Jakarta (baca: pusat). Film dengan latar Atambua menggunakan bahasa Melayu Kupang, film dengan latar Sumba menggunakan bahasa Melayu Papua, dan seterusnya.

Ragam bahasa Melayu yang digunakan penduduk di Timor Tengah Utara adalah bahasa Melayu Kefa. Bahasa Melayu Kefa terbentuk dari zeroisasi dan monoftongisasi bahasa Indonesia, dipengaruhi juga oleh aksen dan interferensi bahasa Uab Meto, dan berbagai bentuk serapan dari bahasa Portugis dan Belanda.

Contohnya, jika Sunlie ingin konsisten menghadirkan dialek lokal dengan latar Timor Tengah Utara, alih-alih menulis: “Beta gandeng janda saja (paragraf ke-16)” ia harus menulis “Say gandeng janda sa.” Kata ganti orang pertama dalam bahasa Melayu Kefa bukan beta seperti dalam bahasa Melayu Kupang, tetapi say, sebuah hasil zeroisasi apokop dari saya, yang dalam beberapa konteks kalimat akan mengalami monoftongisasi menjadi se. Sebagai informasi, bahasa Melayu Kefa tidak berbatasan langsung dengan bahasa Melayu Kupang, dipisahkan oleh bahasa Melayu Soe—jarak yang sangat jauh untuk membenarkan penggunaan bahasa Melayu Kupang dalam cerita.

Hal ini penting untuk dibicarakan, sebab dalam pergaulan, bahasa Melayu Kefa sering dianggap kampungan oleh pengguna bahasa Melayu Kupang. Dan tidak hanya dalam tataran linguistic racism (meminjam penjelasan Paul V. Kroskrity), stigma bahwa orang Timor pengguna bahasa Uab Meto itu kampungan, bodoh dan terbelakang, telah dimulai sejak 1930-an menurut catatan sejarawan Gerry van Klinken dalam bukunya The Making of Middle Indonesia: Kelas Menengah di Kota Kupang. Stigma itu terus berlanjut sampai dengan hari ini. Pada 2019, Gubernur NTT, Viktor Laiskodat mengumpat seorang bupati di Timor Tengah dengan kata namkak, yang bisa berarti “bodoh”, “bingung”, “linglung”, dan sebagainya (VOXNTT, 28 Januari 2019). Dalam sebuah wawancaranya yang lain, Laiskodat juga menyebutkan bahwa pulau Timor adalah penghasil orang bodoh di NTT (Pos Kupang, 15 Agustus 2020).

Kita juga bisa menemukan rubrik khusus bahasa Melayu Kupang di dua media besar yang distribusinya di seluruh NTT, yaitu harian umum Pos Kupang dan Jurnal Sastra Santarang. Ini seperti usaha untuk menjadikan bahasa Melayu Kupang sebagai bahasa yang superior dan mewakili NTT. Padahal pengguna bahasa Melayu Kupang hanya sekitar 224.583 jiwa, atau sekitar 8,3% dari total keseluruhan penduduk di NTT, dengan lebih dari 20 ragam bahasa Melayu. Penggunaan bahasa Melayu Kupang dalam cerpen berlatar Timor Tengah Utara tidak hanya semakin mengolok orang Timor Tengah Utara, tetapi juga seolah-olah melegitimasi “penjajahan” bahasa Melayu Kupang atas ragam bahasa lain di Nusa Tenggara Timur.

Penggunaan bahasa Melayu Kupang menjadi lebih kuat setelah didramatisasi dalam pembacaan cerpen yang disutradarai oleh Wawan Sofwan. Berpegang pada teks, Wawan mengubah seluruh percakapan ke dalam bahasa Melayu Kupang. Alih-alih menghidupkan cerita, pembacaan cerpen ini mendistorsi imaji. Mendengarkan tiga orang ibu rumah tangga dari pedalaman Timor Tengah Utara berbicara dalam bahasa Melayu Kupang seperti mencoba membayangkan tiga ibu PKK di Ponorogo menggosipkan tetangganya dengan menggunakan gaya bahasa dan aksen Jaksel. Hal yang mustahil, jauh dari imajinasi, dan omong kosong besar.

Beberapa pujian terhadap produk lokalitas seperti kain tenun dan penggunaan bahasa lokal muncul saat diskusi penganugerahan cerita pendek. Ini tidak lebih adalah pujian yang datang dari ketidaktahuan, yang dijelaskan Graham Huggan sebagai bagian dari postcolonial exotic. Saya kira juri kita di Jakarta sedikit banyak mengalami hal ini: memuji tanpa tahu apakah yang dituliskan adalah sah. Dalam tataran yang lebih tinggi, kecenderungan postcolonial exotic adalah menjual karya-karya yang dianggap membahas tempat-tempat yang terpinggirkan, hanya dari kacamata orang luar. Suatu hal yang bisa kita lakukan jika tidak ada kehati-hatian.

Latar tempat dan bagaimana Gereja Katolik berkembang di Timor tidak sedikit pun disinggung dalam pengantar buku kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2021. Hemat saya, jika penulis maupun Kompas sepakat untuk berfokus hanya pada persoalan hipokrisi Gereja dan mengabaikan semua unsur yang berkaitan dengan latar tempat, saya kira mereka bisa menciptakan suatu tempat imajinatif untuk membahas persoalan Gereja Katolik. Atau sebutlah mereka bisa memindahkan latarnya ke suatu tempat di Bangka atau Yogyakarta yang tentu saja lebih dikenalnya.

Persoalan lain adalah, untuk menahbiskan Keluarga Kudus sebagai terbaik, Catatan Dewan Juri dibuka dengan klaim yang sangat berlebihan, keliru, dan terkesan asal usung nama tokoh. “Setelah hampir setengah abad pidato kebudayaan Mochtar Lubis tentang watak “Manusia Indonesia”, akhirnya kita menemukan cerpen yang membongkar belitan akar hipokrisi di masyarakat.”

Ada dua pertanyaan besar saat membaca kalimat di atas. Pertama, bagaimana Dewan Juri menyimpulkan bahwa tidak ada satu pun cerita pendek sejak tahun 1977 yang “membongkar belitan akar hipokrisi di masyarakat?” Bagaimana dengan cerita pendek-cerita pendek lain bertema feodalisme, korupsi, dan hal sosial lain yang menjadi konteks pidato kebudayaan Mochtar Lubis?

Kedua, jikapun kita sepakat bahwa akar hipokrisi masyarakat adalah, seperti yang dituliskan di Catatan Dewan Juri: “kebobrokan praktik kehidupan keber-agama-an, dalam sebuah institusi bernama gereja”, apakah benar Keluarga Kudus adalah cerpen yang pertama membahas kebobrokan itu, sejak pidato Mochtar Lubis? Baiklah, dua pertanyaan itu menjadi pekerjaan rumah untuk dipikirkan bersama.

 

Merayakan Kemenangan “Keluarga Kudus” atas Kemunafikan Gereja

Terlepas dari struktur cerita yang tidak padu dan kegagalan Sunlie mengenakan topi orang Timor—yang tentu saja selalu bisa diedit lagi dan dibagi dalam beberapa cerpen, atau diubah menjadi novel sehingga bebas memasukkan berbagai alur—apa yang menjadi kekuatan cerita pendek “Keluarga Kudus”? Apa yang penting dari cerita pendek ini? Apa yang ikut saya rayakan dari kemenangannya?

Hal yang menarik dari “Keluarga Kudus” adalah isu yang diangkatnya. Kekerasan dalam rumah tangga, skandal frater-frater yang kuliah di Kupang, gosip tentang anak kandung dari para pastor dan bruder, dan persoalan derma yang dibebankan oleh pastor kepala paroki kepada seluruh umat, yang kemudian berubah menjadi utang umat kepada Gereja.

Ada banyak novel dan cerita pendek yang menggarap tentang kekatolikan di Timor dan NTT pada umumnya. Beberapa tahun yang lalu Reinard L. Meo menerbitkan cerpen di Koran Tempo tentang pastor pemerkosa, dan seingat saya cerpen itu cukup menjadi pembicaraan sesudah dikritik oleh AS Laksana. Persoalan KdRT di Timor juga pernah diangkat oleh Fanny Jonathan Poyk dalam cerita pendeknya yang diterbitkan oleh Kompas. Skandal kaum berjubah telah sering dibahas dalam karya sastra, sejak novel Saman, Lamalera, hingga Orang-Orang Oetimu.

Khusus dalam kasus yang berkaitan dengan Gereja, belum ada perubahan yang signifikan. Tanpa penyelidikan terhadap kasus-kasus yang ada, pada 2019 Komisi Waligereja Indonesia membantah adanya pelecehan seksual dalam Gereja.

Fransisca Tri Susanti, seorang guru senior di SD St. Lukas Pademangan meminta upah yang normal bagi guru-guru, sesuai Peraturan Menteri Ketenagakerjaan. Tidak hanya permintaannya yang ditolak, tetapi ia dipecat tanpa alasan. Ia memohon bantuan kepada para petinggi Gereja— pastor maupun uskup—tetapi diabaikan.

Saya sendiri mendatangi pastor kepala sekolah di SMK Bitauni sebanyak empat kali, meminta ia untuk memproses seorang pastornya yang melakukan berbagai rangkaian pelecehan terhadap perempuan. Empat kali itu juga ia mengabaikan saya. Saya memecahkan kaca dan ia melaporkan saya ke polisi. Sementara Adi Ampolo, pastor predator di sekolah itu, dipindahkan ke keuskupan untuk dilindungi, tanpa ada proses lanjutan.

Dalam diskusi pada malam penganugerahan, Sunlie menceritakan bahwa ia mendapatkan cerita tentang kasus-kasus Gereja Katolik Timor dari istrinya, Yonetha. Saya ingat, sekitar tahun 2020 Sunlie menelepon saya dan mengabarkan bahwa ia dan istrinya harus melunasi sejumlah besar uang derma wajib agar bisa mendapatkan Status Liber, surat dari Gereja yang menerangkan bahwa Yonetha tidak terikat dalam sakramen perkawinan dan boleh menikah lagi.

Derma yang diwajibkan oleh Gereja di Timor mungkin merupakan hal baru bagi orang di luar Timor. Sunlie sendiri bahkan tidak percaya pada frasa “derma wajib”: derma kok wajib? Namun, derma wajib telah dinormalisasi di Timor. Saya ingat, sejak kecil, saya selalu mendengar pengumuman nama-nama “lingkungan yang menunggak derma wajib dan dilarang menerima sakramen”. Hal ini terjadi terlebih saat akan ada pembangunan gedung gereja.

Romo Franz Magnis-Suseno sendiri pernah menyoroti Gereja Katolik yang membangun gedung gereja mewah di antara orang-orang miskin. Kini melalui “Keluarga Kudus”, Sunlie memberi tahu Romo Magniz dan seluruh pembaca di Indonesia bahwa gedung yang mewah itu bukan hanya dibangun di tengah orang miskin, tetapi juga dibangun oleh orang-orang miskin, dengan beragam pungutan wajib yang jumlahnya ditentukan oleh pastor paroki.

Sebagai minoritas di Indonesia, Gereja Katolik jarang mendapatkan sorotan, meski gemar menyembunyikan masalah demi masalah di bawah karpet. Bayangkan berapa orang yang telah menjadi korban kesewenang-wenangan dan kemunafikan para pemimpin Gereja Katolik. Derma yang mencekik dan berubah menjadi utang, upah kerja yang tidak sesuai dengan alasan pelayanan, pelecehan seksual yang ditutupi secara sistematis, pemecatan sepihak, dan seterusnya.

Maka pencapaian “Keluarga Kudus” dalam Anugerah Cerpen Terbaik Kompas 2021 adalah kemenangan “Keluarga Kudus” atas kemunafikan Gereja.

Saya berharap, dengan penganugerahan Cerita Pendek Terbaik Kompas 2021 kepada “Keluarga Kudus”, ada pemimpin agama Katolik yang mau membacanya, dan benar-benar memikirkan kembali keberpihakannya, mengakui kesalahan yang telanjur dibuat, memperlakukan umatnya dengan adil, dan mulai memperbaiki diri. Sebab agama seharusnya hadir sebagai pihak yang melindungi, bukan yang menerkam dan memangsa.

Blog13 Juli 2022

Felix Nesi


Felix Nesi, menulis puisi, cerpen, novel dan naskah drama. Novelnya Orang-Orang Oetimu (Marjin Kiri, 2019) meraih penghargaan Sastra Kemdikbudristek 2021. Sejak 2020, mendirikan Sane Tua Kolo, komunitas petani di Timor Tengah Utara. Ia adalah alumni residensi International Writing Program Universitas Iowa tahun 2022. Naskah monolognya yang baru saja dipentaskan berjudul "Yang Tertinggal di Jakarta" (Titimangsa, 2022). Sejak tahun 2019 menjadi redaktur di bacapetra.co.

Berlangganan

tengara.id adalah situs kritik sastra yang dikelola oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta. Tengara adalah upaya lanjutan dalam mengisi kelangkaan pertumbuhan kritik sastra dalam kehidupan kesusastraan Indonesia.