Kalau Mereka Mengingat Saudara Tua
Zaman Jepang dalam Tiga Karya Angkatan 45

Ilustrasi: Goenawan Mohamad

Seperti dua sisi mata uang, masa pendudukan Jepang mewariskan dua wajah dalam ingatan kolektif masyarakat Indonesia sampai hari ini. Di satu sisi, Jepang menjadi promotor sekaligus agen diseminasi budaya kekerasan, yang residunya masih kelihatan sampai hari ini. Budaya ini mengajarkan bahwa sebaik-baik cara menyelesaikan masalah adalah dengan perkelahian fisik, dengan pihak yang terbukti mampu memingsankan atau bahkan menewaskan lawan kelahinya dinyatakan sebagai kampiun. Di sisi lain, Jepang juga mensponsori “pengindonesiaan” instan di berbagai lini kehidupan masyarakat, antara lain lewat indoktrinasi ultranasionalisme dalam membela tanah air, pelembagaan sentimen anti-Barat dalam segala macam manifestasinya, dan penyebarluasan bahasa Indonesia yang, pada pengujung kolonialisme Belanda, masih prematur sebagai bagian dari identitas nasional Indonesia.

Apabila kedua wajah ini ditelaah melalui perspektif sejarah, ia akan kelihatan sumir dan seolah tak perlu dipertimbangkan. Penglihatan ini adalah sintesis tiga faktor. Pertama, analisis sejarah berusaha menempatkan pendudukan Jepang ke dalam konteks Perang Dunia II, sebagai bagian kecil dari berbagai peristiwa yang terjadi pada kurun yang sama. Lensa makro ini menjadikan potret realitas mikro seperti nuansa batin atau impresi pribadi kurang diperhatikan atau dipinggirkan, demi memperoleh lanskap historis yang akurat dan obyektif.

Kedua, analisis sejarah umumnya memautkan peristiwa dengan tokoh(-tokoh) yang jadi pelaku sentral dan membangun lanskap ketokohan, meski perubahan progresif sudah dimulai sejak 1960-an dengan historiografi yang fokus membawa perspektif wong cilik, sebagaimana dikerjakan oleh Sartono Kartodirdjo. Akan tetapi, dalam penulisan sejarah pendudukan Jepang, porsi lebih besar masih diberikan untuk sosok-sosok seperti Soekarno, Hatta, Sutan Sjahrir, Ki Hadjar Dewantara, Agus Salim, dan Hasjim Asy’ari. Orang-orang biasa, yang benar-benar mengalami kesengsaraan di bawah pemerintah militeristik, tidak atau sangat sedikit memperoleh kesempatan berbicara.

Ketiga, dan yang terpenting, analisis sejarah merekam nuansa teror dan potret kekerasan sistemik sebagai fakta hampa yang dianggap sebagai fait accompli. Ia memang sudah terjadi, tetapi tidak bisa digugat karena tidak punya bukti manifes selain pengalaman penyintasnya. Ia terjadi begitu saja, dan harus diterima tanpa perlawanan, seolah-olah tak punya keterhubungan apa-apa dengan psikologi sosial masa itu, meski sesungguhnya kekerasan dan teror—terlebih dalam skala yang luas—pasti memicu luka batin yang memengaruhi perkembangan mentalitas sebuah masyarakat di kemudian hari.

Akibat tiga faktor di atas, perspektif sejarah dapat dianggap “kalah” dengan kesusastraan dalam upaya memahami dan memproyeksikan kesan-kesan manusiawi suatu zaman sedahsyat pendudukan Jepang di Indonesia. Kesusastraan, dalam kelihaiannya menggunakan memori dan melibatkan permainan emosi, tak pelak menjadi medium terbaik untuk menggambarkan suatu zaman secara lebih dekat melalui realitas semu berupa intimasi personal yang terbangun antara pembaca dan latar waktu yang digunakan dalam sebuah cerita. Sastra dapat mencangkul batin dan menerima pergolakan sanubari manusia melalui penggambaran terhadap tokoh, atmosfer, bangunan cerita, maupun regulasi intensitas konflik sepanjang alur. Tidak mengherankan kalau sastra bisa menjadi perkakas yang efektif untuk menyampaikan kesaksian tentang zaman teror dan kekerasan, seperti termaktub dalam sebuah adagium yang terkenal Seno Gumira Ajidarma menjadi terkenal: Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Karena jika jurnalisme berusaha menyampaikan fakta, sastra berusaha menyampaikan kebenaran.

Keunggulan sastra inilah yang saya temukan dalam tiga karya sastra yang tergolong dalam Angkatan ’45. Tiga karya itu adalah Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma oleh Idrus (1948); novel Atheis oleh Achdiat K. Mihardja (1949); dan novel Perburuan oleh Pramoedya Ananta Toer (1949).

Ketiganya menyediakan latar ruang, waktu, dan atmosfer yang secara spesifik telah menangkap gejolak zaman Jepang, selain memberikan pengakuan implisit akan betapa besar pengaruh tahun-tahun kekerasan dan teror Jepang bagi kehidupan sehari-hari maupun psikologi masyarakat Indonesia, terutama bagi mereka yang selama ini berada di luar panggung sejarah.

 

Yang Melawan dalam Keseharian

Kumpulan Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (seterusnya DAM) akan saya kupas pertama. Bukan hanya karena ia terbit paling awal di antara Atheis dan Perburuan, tetapi juga atmosfer yang dibawakan DAM relatif berbeda dengan yang dibawakan dua karya sastra lainnya. Idrus, sosok yang diagungkan Pramoedya Ananta Toer sebagai “stylist yang tidak tertandingi”, telah menghadirkan cerita-cerita dalam DAM sebagai potret keseharian yang hendak menunjukkan perlawanan, walau hanya tersampaikan dalam gerutu, cemooh, atau sketsa humor yang pahit.

Tidak kurang dari 112 halaman (edisi 2005) dari 170 halaman DAM didedikasikan untuk cerita-cerita yang terbagi dalam dua bab: “Zaman Jepang” dan “Corat-Coret di Bawah Tanah”. Bab “Zaman Jepang” berisi cerita pendek “Ave Maria” dan sandiwara “Kejahatan Membalas Dendam”, sementara bab “Corat-Coret di Bawah Tanah” berisi 7 cerita pendek, yakni “Kota-Harmoni”, “Jawa Baru”, “Pasar Malam Zaman Jepang”, “Sanyo”, “Fujinkai”, “Oh…Oh…Oh!”, dan “Heiho”. Di antara semuanya, sandiwara 4 babak “Kejahatan Membalas Dendam” menyita porsi halaman terbanyak.

Jika H.B. Jassin menyebut “Zaman Jepang” dan “Corat-Coret di Bawah Tanah” terletak pada semangat cerita yang memperhadapkan idealisme vis-à-vis realisme dalam menilai zaman Jepang, saya lebih menyoroti teknik setiap cerita dalam memaparkan konteks ruang dan waktu pengisahan yang disusun secara bertahap, yang merepresentasikan transformasi citra Jepang di mata rakyat dari hari ke hari. Dimulai dari cerita pendek “Ave Maria”, konteks ruang waktu dijelaskan secara samar melalui permainan metafora yang bernada romantik seperti ungkapan daun-daun jarak berdesir-desir ditiup angin malam dan penyebutan sepintas bahwa Zulbahri yang frustrasi memilih jadi jibakutai sebagai pelarian sesudah berpisah dari istrinya yang baru ia nikahi delapan bulan.

Dalam sandiwara “Kejahatan Membalas Dendam”, pengungkapan konteks ruang-waktu disampaikan satu langkah lebih terbuka dan membumi. Citra Jepang dibawakan dalam nuansa heroisme: pemuliaan kerja-kerja agraris dan pengumpulan padi, kampanye penggunaan bahasa Indonesia oleh para penyuluh, serta konflik antara golongan muda dan tua berikut rupa-rupa stereotipe yang menyertainya. Ishak, pengarang muda, optimis dan percaya pada kemenangan Asia Timur Raya. Untuk itu, ia mendukung Jepang dengan bertindak sebagai juru kampanye pengumpulan padi yang naif dan tidak paham situasi akar rumput. Sebaliknya, pengarang senior seperti Suksoro tidak bisa terus-menerus membela pendiriannya dan berakhir dengan pilihan mengalah pada arus semangat muda yang menggebu-gebu.

Manifestasi citra Jepang terakhir dalam DAM, seluruhnya ditemukan dalam tujuh cerpen dalam “Corat-Coret di Bawah Tanah”. Kali ini tidak ada romantisisme, nuansa kepahlawanan, atau aura kedigdayaan. Dari lensa idealis yang memandang Jepang di atas angin, Idrus menukik dengan melukiskan zaman Jepang dari kacamata rakyat biasa lewat fragmen kehidupan sehari-hari. Pelukisan ini menjadi karikatural, autentik, dan di sana-sini memperlihatkan kepolosan yang jenaka, satiris, tetapi bermakna. Hal ini semata karena Idrus tidak menunjukkan motif berusaha mengagungkan Jepang, atau sebaliknya, mendramatisasi kesengsaraan rakyat—yang sebenarnya memang sudah terjadi. Posisi seperti ini menjadi celah pembaca untuk bebas menginterpretasikan penilaian Idrus terhadap Jepang.

Simaklah cara Idrus melukiskan pernak-pernik kejadian selama 20 menit di atas sebuah trem kota dalam cerita pendek “Kota-Harmoni”. Ia memulai dengan latar ruang: sebuah trem yang penuh sesak dengan orang, keranjang, dan tong kosong maupun isi. Suasana runyam ini ditambahi bau keringat dan terasi, ditingkahi orang meludah sembarangan, dan udara pengap yang masih juga ditimpali asap rokok. Cerita mengalir dari sini: seorang Tionghoa yang protes karena disindir, naik turun penumpang yang chaos, seorang Jawa yang heran karena kondektur yang tidak mampu menertibkan penumpang, sampai arogansi seorang Jepang yang baru masuk.

Momen karikatural lain yang juga ditangkap Idrus adalah percakapan tukang kacang dan tukang es lilin di bawah radio umum yang berakhir nelangsa, karena pertanyaan tentang jabatan “Sanyo” yang disebutkan berulang-ulang di radio, dianggap menghina pemerintah Dai Nippon. Dalam cerita-cerita lain, Idrus mengisahkan tentang rapat Fujinkai yang berputar-putar padahal memiliki maksud yang sederhana, adegan jual-beli yang menggambarkan ketimpangan relasi kuasa dalam sebuah perjalanan kereta api, sampai pertengkaran suami-istri karena pilihan sang suami untuk bergabung di Heiho yang berakhir antiklimaks.

Melalui DAM, Idrus mengingat Jepang dalam citranya yang berganti-ganti. Ia mula-mula romantik dan menggembungkan dada karena gairah heroisme yang melambung tinggi.

Namun, Jepang juga hadir dalam wajah manusia yang rapuh, yang menuntut setiap orang agar sanggup menerima kenyataan bahwa perang, bagaimanapun, tidak pernah benar-benar gilang-gemilang dan kalis dari sisi pahit, yang dirasakan terutama oleh mereka yang, secara ironis, tidak ataupun sangat sedikit memiliki pengetahuan tentang apa yang sesungguhnya terjadi.

 

Yang Datang Mendidihkan Pergolakan

Jika Idrus melalui DAM mengabadikan pengalaman terlibat dalam interaksi dengan “senukil” dari bangunan kekuasaan militeristik Jepang yang berubah wajah dari waktu ke waktu, Achdiat K. Mihardja melalui Atheis menukik dan berusaha menggali lebih jauh ke alam bawah sadar, dengan menghadirkan proyeksi efek perubahan sosial dan ketegangan sekitar tahun kekerasan pendudukan Jepang terhadap psikologi seorang individu. Atheis tidak memberikan penilaian—secara eksplisit—terhadap kekuasaan Jepang yang opresif. Alih-alih, Atheis secara langsung menjelaskan dampak destruktif dari tekanan sosial terhadap masyarakat Indonesia, terutama mereka yang telah rapuh dan terguncang seperti tokoh Hasan.

Eksposur latar waktu pendudukan Jepang diberi porsi 68 halaman oleh Achdiat, terhitung Bagian XIII sampai selesai, ditambah empat halaman Bagian I yang sejatinya menjadi penutup seluruh rangkaian cerita tentang Hasan dan kawan-kawannya. Berbeda dengan Idrus yang coba membangun nuansa zaman Jepang lewat metafora dan penyampaian tersirat, Achdiat menulis dengan rinci seluruh kejadian yang terjadi dalam tiga setengah tahun sejak Hasan menikahi Kartini pada 12 Februari 1941, sehingga pembabakan latar waktu menjadi jelas, bahkan hampir menyerupai sebuah kaleidoskopi.

Di halaman 165 (edisi 2005), Achdiat menulis, “Banyak, banyak sekali kejadian-kejadian dalam tempo kurang lebih empat puluh bulan itu. Di antaranya yang penting-penting ialah: 1. pemerintah Hindia-Belanda tekuklutut pada kekuasaan balatentara Dai Nippon dengan tidak memakai syarat apa-apa; 2. Rusli menjadi ‘catut besar’ dengan maksud supaya mengongkosi dan membiayai gerakannya ‘di bawah tanah’; 3. beberapa kawan, di antaranya Bung Gondo, masuk polisi rahasia Jepang sebagai ‘pembantu’ Kenpei dengan maksud infiltrasi, supaya bisa melindungi gerakan di bawah tanah dari Bung Rusli cs; 4. kawan-kawan lainnya menginfiltrasi badan-badan Jepang lainnya yang penting, di antaranya memasuki juga pers, radio, dan barisan propaganda.”

Menghadapi perubahan yang demikian dahsyat itu, satu-satunya mekanisme pertahanan yang dimiliki Hasan tak lain adalah istrinya sendiri, Kartini. Hanya saja, mahligai rumah tangga yang belum berapa tua itu terguncang sejak Kartini tak sengaja menemukan surat dari ayah Hasan, yang isinya mencela pernikahan sepihak mereka dan tanpa tedeng aling-aling mencela kepribadian istri pilihan anaknya. Celakanya, meski Hasan telah mati-matian meyakinkan bahwa ia melupakan surat itu, perjodohannya di kampung, dan membantah semua fitnah yang diarahkan padanya, Kartini bukan perempuan yang mudah percaya, ia malah mengambil sikap acuh-tak-acuh, yang justru membangkitkan amarah Hasan. Rumah tangga itu pun berganti rupa menjadi sarat seteru dan perkelahian. Dari sinilah, cerita beredar.

Satu momentum transformasi subtil yang dapat dicermati dari alur Atheis mulai Bagian XII adalah afirmasi Hasan terhadap implikasi “penyimpangan” yang ia lakukan terhadap ajaran agama konservatif yang semula ia anut, yang lambat-laun disadarinya merupakan bawaan dari pengaruh perubahan sosial akibat masuknya balatentara Jepang. Ia yang mampu menahan diri, seorang jatmika yang tenang, menjadi temperamental dan mudah terombang-ambing—suatu gambaran yang mendekati karakteristik tentara Jepang masa itu. Perubahan ini tampak dalam kemurkaan Hasan yang diluapkan pada asisten rumah tangganya, Mimi, saat mengetahui bahwa Kartini memiliki affair dengan Anwar, penyair karib Hasan dan Rusli (hal. 169-173).

Di samping menginjeksikan efek psikologis di alam bawah sadar yang membawa Hasan ke arah perubahan watak di tengah guncangan kepribadiannya, Atheis memosisikan latar waktu pendudukan Jepang sebagai pembangun suasana (moment builder) yang efektif. Ini terlihat dalam sebuah fragmen yang paling terkenal dalam roman ini, yakni saat Hasan tertembak di akhir cerita karena diduga sebagai mata-mata ketika pengumuman bahaya udara (kusyu keiho).

Dengan gaya yang spontan, adegan tertembaknya Hasan di tengah gencar bunyi sirene menyerupai pamungkas film hitam putih yang seru sekaligus mengharukan. “Ia bergegas terus. Tidak peduli pada bahaya udara. Tidak peduli orang-orang pada berlindung […] Dadanya dibakar terus oleh api amarah yang menjolak-jolak, yang menyalakan matanya, mengaburkan telinganya, mengacaukan pikirannya […] Tiba-tiba… tar…! tar…! aduh! Hasan jatuh tersungkur. Darah menyebrot dari pahanya […] Badan yang lemah itu berguling-guling di aspal, bermandi darah. Kemudian dengan bibir melepas kata, ‘Allahu Akbar’, tak bergerak lagi.” (hal. 232).

Melalui kacamata Achdiat, Atheis mengingat masa pendudukan Jepang lewat permainan lambang-lambang dan tengara zaman yang tercermin dalam perubahan kepribadian para tokoh yang berlangsung dramatis, mendidihkan pergolakan dan dengan itu menuntun jiwa Hasan yang terguncang langsung pada kehancuran yang sia-sia dan tragis. Pergantian latar waktu Atheis pun menjadi bukan sekadar berperan sebagai pembabakan cerita belaka, melainkan sebagai determinan yang menstimulasi efek kejadian yang sama sekali tidak terduga.

 

Yang Menggugat dalam Bisikan

Berbeda dengan DAM dan Atheis yang memberikan ruang bagi pembaca menginterpretasikan pendirian pengarangnya terhadap teror dan kesewenang-wenangan tentara pendudukan Jepang, Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya PAT) telah mencantumkan disclaimer tentang pendirian yang ia ketengahkan dalam novel Perburuan. Dalam esai “Perburuan dan Keluarga Gerilya” yang dimuat Proses Kreatif II: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang (1984), PAT tegas menjelaskan bahwa novel ini didasari semangat anti-Jepang, tepatnya antimiliterisme Jepang, yang sepenuhnya didasarkan pada proses indrawi yang ia alami sendiri dalam kontak langsung dengan orang-orang Jepang yang berkuasa kala itu. Tidak mengherankan, jika arsitektur novel Perburuan seluruhnya bernapas gugatan yang kental terhadap Jepang dan cara-caranya dalam menegakkan kekuasaan.

Premis cerita Perburuan relatif sederhana. Tidak seperti DAM yang menyelipkan momen sketsa karikatural atau Atheis yang mengaduk emosi pembaca melalui potret pergumulan jiwa yang terguncang, Perburuan mengambil latar peristiwa gagalnya pemberontakan PETA Blitar pada 1944. Hardo, putra seorang wedana dan mantan prajurit PETA yang turut memberontak, kemudian lari dan menjadi sasaran perburuan Kempeitai, polisi rahasia Jepang yang menunggu waktu untuk mencopot kepala Hardo dan kawannya, Dipo, dari batang leher mereka.

Dalam menjalani hari-harinya diburu inilah, Hardo dibawa hidup berhadapan dengan kenyataan-kenyataan pahit: ayahnya yang dipecat Jepang dan hidup sebagai penjudi, sekondannya yang berkhianat, dan tunangannya yang terjebak ketidakpastian ketika menunggu Hardo kembali. Semua itu dialami Hardo dalam masa-masanya menjadi kere (gelandangan) yang terpaksa hidup dalam penyamaran. Ia dan Dipo, memang sempat tertangkap, persis saat Jepang angkat bendera putih dan proklamasi kemerdekaan berkumandang. Kendati harus berakhir antiklimaks dengan kematian Ningsih yang tewas tertembak, Hardo telah memilih satu dari semua keinginan yang hendak ia peroleh: kekalahan dan pembalasan dendam kepada Jepang.

Konfirmasi PAT mengenai semangat anti-Jepang yang membungkus Perburuan menjadi titik tolak dengan konsekuensi ganda bagi cerita ini. Pertama, atmosfer yang coba dihadirkan adalah perasaan muak dan penolakan terhadap kesewenang-wenangan tentara pendudukan. Kedua, pemilihan sudut pandang penceritaan yang paling otoritatif dijatuhkan pada seorang bekas tentara (sekrup kekuasaan militeristik Jepang) yang berpaling menjadi gelandangan (yang melambangkan juga kemelaratan hidup akibat sektor agraris yang dipaksa menyumbang kebutuhan logistik perang). Kedua konsekuensi tersebut ganti-berganti mengejawantah dalam pembentukan alur, dan lewat ejawantah itu, cerita bergerak.

Konsekuensi pertama terwujud dalam penggambaran suasana suram yang disampaikan oleh narator maupun dialog para tokoh yang sebagian berisi keluh-kesah, takut, dan sesal yang tertahan. Contoh-contoh penggambaran ini bertebaran di banyak halaman. Ambil contoh dari halaman 21-22 (edisi 1994), saat gelandangan Hardo bercakap dengan calon bapak mertuanya, ayah Ningsih. “Kalau aku pergi ke kota, di mana-mana kulihat anak kecil menjelempah di pinggir-pinggir jalan tiada bernyawa lagi. Di depan-depan pasar dan toko, di bawah jembatan, dalam tong sampah, dalam selokan, semua bangkai…. bangkai manusia, bangkai orang dewasa dan anak-anak dan orang tua.” Contoh lain dapat ditemukan halaman 50, saat Hardo bercakap dengan penjudi yang tak sadar bahwa anaknya ada di sebelahnya. “Terasa-rasa olehku samurai yang putih itu telah melayang-layang di atas kepalaku. Kadang-kadang aku sampai memekik ketakutan. Kalau sebentar kemudian tetangga samping-menyamping berlari-larian membanjiri kamarku, barulah aku insaf, tak terjadi apa-apa atas diriku.”

Barulah pada konsekuensi kedua, corak gugatan terhadap kekuasaan Jepang amat terasa. Hardo banyak terlibat dalam dialog-dialog pendek yang disampaikan dengan gaya yang nyaris mirip orang menggumam dengan perasaan tertekan, seakan keluar dari jiwa yang telah kenyang merasakan pahit dunia. Salah satu fragmen terkenal novel ini, misalnya, ketika ayah Ningsih, yang prihatin atas pelarian Hardo dan ketidakjelasan nasib anaknya yang menanti kembalinya Hardo, mengeluh dan memohon kepada Hardo.

Tidakkah anak punya perasaan kasihan pada Ramli dan pada emaknya?

Suruh tunggu,” kata kere itu membatu

Tunggu? Tunggu sampai kapan?

Sampai Nippon kalah….

Dialog-dialog pendek yang diucapkan seperlunya ini bertahan hingga akhir cerita. Ini mengakibatkan pengungkapan cerita menjadi sangat lambat, linier, dan di sana-sini membuat pembaca mampu menahan napas untuk menyelesaikan sebuah babak yang, terkadang, menciptakan nuansa cerita yang disampaikan dalam bisik penuh kecemasan. Hardo yang sejak semula telah berposisi sebagai “korban berlapis” dari militerisme dan kemelaratan zaman, menjadikan pengisahan dari sudut pandangnya paling masuk akal, khususnya saat menggugat terhadap penderitaan dan kesengsaraan berganda yang ditimpakan penguasa Jepang pada rakyat Indonesia.

Melalui kacamata PAT dalam Perburuan, Jepang hadir dalam wajah beringas dan bengis yang seutuhnya. Penggambaran ini dibangun melalui narasi yang menggugat ketertindasan dan kemelaratan, serta derita yang lahir dari kekejaman dan pengkhianatan.

Novel ini sekaligus juga sebuah pertanyaan ulang tentang makna pembebasan yang sejak semula dijanjikan Jepang; janji yang kian lama kian terasa bagaikan mimpi indah di siang hari yang buyar saat tersambar halilintar kecamuk perang yang tidak kenal ampun.

 

Yang Tersisa di Ingatan Kita

DAM, Atheis, dan Perburuan mengingat Jepang dengan cara yang berbeda-beda. Bagi Idrus, Jepang hadir dalam wajah yang berganti-ganti: dari saudara tua, pahlawan, sampai penguasa arogan. Bagi Achdiat, zaman Jepang tidak hanya melahirkan teror yang membatasi ruang gerak individu, tetapi juga tekanan yang memiliki dampak jauh hingga merusak psikologi seorang yang terguncang. Sementara bagi Pramoedya, Jepang adalah kekuasaan bengis yang sewenang-wenang dan tidak kenal ampun terhadap siapa saja yang menentangnya. Tiga wajah ini tentu saja lahir dari pancaran jiwa yang tertekan, suatu rekaman yang jujur dan jernih dari orang-orang yang mendambakan kebebasan dalam keadaan terbelenggu. Muskil untuk dibayangkan wajah-wajah demikian diketemukan jika orang meneropong zaman Jepang melalui lensa sejarah peristiwa saja, sebab pengalamaan kemanusiaan yang konkret seringkali hanya dapat disampaikan lewat cerita yang melibatkan emosi, rasa, dan nuansa batiniah. Boleh jadi sejarah memberi kita ingatan zaman Jepang yang kelabu, gelap, sarat penderitaan, tetapi bergelora dan menggebu-gebu. Semua ingatan itu sejatinya akan jadi abstrak dan nisbi belaka seandainya dipelajari dengan pendekatan yang berjarak dan dengan kesadaran bahwa semua itu adalah realitas lampau yang tak mungkin terulang kembali. Dalam titik buta yang diakibatkan penjarakan historiografis inilah sastra bisa memberi kesaksian yang lebih konkret, melibatkan olah pikir yang mengajak pembaca untuk bertarung menciptakan realitas baru yang menghidupkan zaman Jepang sebagai apa adanya, dengan kedigdayaannya yang gilang-gemilang, sekaligus dengan kerapuhannya yang inheren dan manusiawi (*)

Blog29 Agustus 2022

Chris Wibisana


Chris Wibisana, lahir di Jakarta, 1 Agustus 2003. Saat ini, tengah menempuh studi S1 di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Mulai menulis sejak kelas VIII SMP dan menerbitkan karya-karya tulisannya secara luas pada akhir 2020 dan awal 2021. Sejak Mei 2021, menjadi kontributor reguler naskah sejarah di tirto.id dan pada Oktober 2021 diterima sebagai wartawan di Badan Otonom Pers Suara Mahasiswa UI.