Sitor Situmorang: Pencinta yang Mengembara dan Merindu
Ketika Sitor Situmorang menerbitkan kumpulan puisi pertamanya yang bertajuk Surat Kertas Hijau pada 1953, ia telah menjadi sosok yang cukup dikenal di lingkar sastra Jakarta. Ia baru pulang dari residensi selama tiga tahun di Eropa, Paris dan Amsterdam, pusat kebudayaan bagi orang-orang Indonesia berpendidikan Barat yang sedikit jumlahnya, tetapi besar otoritasnya. Ia telah menerbitkan satu-dua puisi yang tidak luput dari perhatian. Ia menulis sejumlah esai mengenai ragam topik kehidupan intelektual dan politik di republik muda Indonesia: mengenai perkembangan bahasa Indonesia, kebudayaan mestizo, sastra dan kebosanan—topik-topik yang melingkupi masalah bagaimana bentuk dapat diberikan kepada konsep “Indonesia” dan peranan apa yang dimiliki seorang sastrawan dalam formasi ini.
Ia menghadiri rapat-rapat dan konferensi-konferensi, dan membuat dirinya didengarkan. Bagi mereka yang ada di Jakarta, terdapat aura misterius melingkupi pria ini, seorang Batak yang memesona dan fasih bicara, datang dari daratan Sumatra Utara nun jauh di sana dan telah mengunjungi tempat-tempat terjauh, berupaya menjadi pribumi dan pengamat pada saat yang bersamaan. Ada yang istimewa dalam gayanya menulis, ide-idenya, caranya mengekspresikan diri. Anggun, cerdas dan menggoda. Surat Kertas Hijau bukan hanya membuktikan talentanya, tetapi juga menjadikannya penyair Indonesia terkemuka, seorang pewaris sejati Chairil Anwar, penyair besar revolusi.
Dalam perbincangan dan tulisan mengenai penyair dan pengarang, sejumlah kritikus sastra Indonesia memilih untuk berpikir dalam kerangka angkatan.
Lahir pada 1924, dan aktif sebagai pewarta di Medan, Jakarta, dan Yogyakarta pada masa revolusi, Sitor termasuk ke dalam yang disebut Angkatan 45, istilah yang diciptakan untuk merujuk kepada sekelompok seniman emo yang moncer pada masa pendudukan Jepang dan revolusi dan berbagi kesamaan sikap tertentu mengenai kehidupan. Mereka ikonoklastik, para pemikir cemerlang yang tercerabut dari tempat lahir mereka, terbuka kepada dunia, terobsesi kepada gagasan bahwa kenyataan seharusnya berbeda. Namun, sulit menunjuk seorang pemimpin intelektual yang dapat mewakili suara angkatan ini dan membentuk agenda yang padu.
Istilah “Angkatan 45” tidak berterima secara luas hingga pada 1950, ketika para penulis yang dimasukkan ke dalam kategori ini hanya berdasarkan usia—meskipun beberapa dari mereka tidak terlibat dalam eksperimen literer pada masa revolusi di Jakarta. Upaya-upaya dikerahkan untuk mendefinisikan tujuan bersama, tetapi sia-sia belaka.
Pada masa revolusi, Chairil Anwar, Asrul Sani, Idrus, dan Rivai Apin telah menjadi penulis-penulis yang paling menarik bagi bayangan orang-orang akan sastrawan di Jakarta. Dalam tatanan yang kerap berubah-ubah di antara kawan dan penggemar, mereka mendiskusikan masalah-masalah dunia dan kesenian di warung-warung kopi dan rumah-rumah orang Indonesia dan Belanda terpandang. Di majalah dan koran, mereka diberi tempat untuk menyalurkan keriaan dan sukacita mengenai masa penuh pergolakan ini melalui puisi, cerita pendek, gambar, lukisan, dan esai, membangkitkan perasaan bahwa ada semangat baru di udara, cukup kuat untuk menggeser pencapaian kolonial dan tradisi kedaerahan, cukup bertenaga untuk mengekspresikan imaji republik baru yang ada di benak mereka.
Sitor Situmorang tiba di Jakarta dari Medan yang jauh pada 1946 sebagai jurnalis muda yang gelisah, mencari tempat di dunia yang sedang melaju; semestinya tidak mengejutkan apabila ia juga tersihir oleh kekuatan revolusi. Merasakan kedekatan kepada kaum intelektual yang gaduh dan para seniman yang mendobrak panggung, ia berhasil berkenalan dengan beberapa dari mereka—dan tidak lama kemudian diterima ke dalam lingkaran mereka.
Ketika dunia telah mengakui Indonesia sebagai negara yang berdaulat pada 1949 dan kekacauan mereda, para sastrawan ini dipaksa untuk mendefinisikan ulang kegelisahan revolusioner mereka dan merefleksikan peranan yang harus mereka mainkan dalam republik muda Indonesia. Tidak lama semangat mereka melesu dan kegembiraan memudar. Adalah sebuah ironi para kritikus menganonisasikan istilah “Angkatan 45” untuk merujuk kepada siapa saja yang menulis karya sastra pada masa revolusi dan setelahnya (termasuk mereka yang tidak ada sangkut pautnya dengan Chairil Anwar dan kawan-kawannya) sementara perkoncoan Jakarta ini sedang dalam proses bubar jalan. Melihat ke belakang, boleh dibilang bahwa sejak 1950 arena telah sedia untuk perdebatan panas yang mendominasi kehidupan kultural Jakarta pada awal 1960-an, puncaknya, peristiwa 1965 mengantarkan Sitor Situmorang ke bui, “alamat terlama sepanjang hayat, tempat terlama saya bermukim tanpa sekalipun beranjak.”
Pada 1950, dua deklarasi pendek terbit yang kini dapat dibaca sebagai nubuat yang kelak terjadi kemudian. Pertama adalah “Kredo” (Surat Kepercayaan Gelanggang) dari Asrul Sani dan beberapa kawannya, yang membuka perdebatan. Kemudian ada Mukadimah yang ditulis oleh pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI). Ini adalah manifesto Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi yang baru didirikan untuk seniman dan intelektual.
Surat Kepercayaan Gelanggang adalah deklarasi kemenangan atas optimisme dan vitalitas; para penggagasnya mengeklaim sebagai “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia” yang kelak “meneruskan kebudayaan dengan cara kami sendiri”. “Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia,” tulis mereka, “kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara-suara yang dilontarkan dari segala sudut dunia dan yang kemudian dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri.” Segalanya baru, serba-terbuka dan dengan keringanan hati. Pada praktiknya, para penandatangan dan simpatisan manifes ini menganut pemikiran ala Barat yang berprinsip seni untuk seni; mereka menganggap bahwa tiap karya seni harus dinilai dalam dirinya sendiri dan tiap seniman harus memiliki kebebasan penuh dalam berekspresi.
Mukadimah Lekra, di sisi lain, adalah kisah getir yang menganalisis masyarakat Indonesia dipungkasi oleh simpulan mengenai fungsi seni. “Gagalnya Revolusi Agustus 1945, Rakyat Indonesia sekali lagi terancam suatu bahaya, yang bukan saja akan memperbudak kembali Rakyat Indonesia di lapangan politik, ekonomi dan militer, tetapi juga di lapangan kebudayaan. Gagalnya Revolusi Agustus 1945 berarti juga gagalnya perjuangan pekerja kebudayaan untuk menghancurkan kebudayaan kolonial dan menggantinya dengan kebudayaan yang demokratis, dengan kebudayaan Rakyat. Gagalnya Revolusi Agustus 1945 berarti memberi kesempatan kepada kebudayaan-feodal dan imperialis untuk melanjutkan usahanya, meracuni dan merusak-binasakan budi-pekerti dan jiwa Rakyat Indonesia.”
Mukadimah Lekra mendaku bahwa seniman dan intelektual memiliki peranan penting dalam pembebasan rakyat Indonesia; sebuah karya sastra atau sebuah lukisan tidak boleh hanya dilihat kualitas artistiknya saja, namun yang lebih penting, dampaknya bagi “rakyat Indonesia.”
Mukadimah Lekra mendaku bahwa seniman dan intelektual memiliki peranan penting dalam pembebasan rakyat Indonesia; karya sastra atau lukisan tidak boleh dinilai kualitas artistiknya saja, namun, yang lebih penting lagi, dilihat dampaknya bagi “rakyat Indonesia.” Bagaimanapun juga, seni bukanlah karya dari seorang individu semata, melainkan juga karya dari sebuah komunitas, yang merefleksikan masyarakat sekaligus menjadi pedoman baginya.
Sejak semula, Sitor Situmorang menemukan dirinya berada di tengah dua ekstrem yang terepresentasikan baik dalam karya sastra maupun kritik terhadapnya. Di satu sisi, ia tidak menyepakati gagasan bahwa seni harus diapresiasi dalam dirinya sendiri. Seni harus menjangkau pembaca dan membuat mereka menyadari dunia di sekeliling mereka; seni harus memantik wacana mengenai kehidupan bermasyarakat di Indonesia secara keseluruhan, dan bukan hanya didiskusikan mengenai kualitas artistiknya belaka. Di sisi lain, Sitor juga tidak merasa nyambung dengan analisis komunis atas masyarakat dan gagasan “kebudayaan rakyat”. Rasanya terlalu kaku, terlalu getir, terlalu totaliter. Ia percaya bahwa aktivitas kreatif harus menjelajahi kemungkinan-kemungkinan dalam menemukan sebuah “kebudayaan nasional”, yang barangkali bisa menjadi wadah bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam esai-esainya, Sitor terus menekankan fokusnya berulang kali: identitas sejati Indonesia akan terbentuk dalam waktu lama dan disiplin intelektual di angkatannya masih terlalu lemah untuk mengukirnya. Kawan seangkatannya tidak sepenuhnya menyadari bahwa pengalaman revolusi adalah inspirasi yang lekas pudar, dan ada masalah-masalah lain yang harus diperhatikan dalam skala nasional.
Mungkin yang paling terkenal adalah kemarahannya ketika menanggapi esai Asrul Sani “Catatan atas Kertas Merah Jambu”, yang di dalamnya ia menekankan kepada Asrul kewajiban moral dari intelektual dan seniman untuk aktif dalam pembangunan sosial dan tidak bersembunyi di menara gading intelektualisme egois.
Sitor bertanya, “Tidakkah seharusnya setiap rakyat Indonesia sedia berkontribusi bagi pembangunan masyarakat baru yang digaungkan pemimpin revolusi Sukarno?” Ia berpendapat bahwa revolusi belum usai, dan “bersama klerk, para menteri, serdadu, dan umat manusia pada umumnya, kaum intelektual dan para penyair juga memiliki peranan dalam membentuk Indonesia”. Kekuatan mereka adalah menguasai bahasa Indonesia, dan jika dipergunakan dengan efektif dan sesuai, mereka layak dapat tempat di pusat panggung nasional. Masyarakat harus dirangsang untuk menciptakan kebudayaan baru, masyarakat baru. Keingintahuan dan keterbukaan terhadap semua hal dari dunia luar, yang disinggung dalam Surat Kepercayaan Gelanggang, dapat membantu memperkuat kebudayaan nasional. Pada saat yang sama, hal ini harus setidaknya dibarengi dengan keterbukaan kepada pencapaian dan konsep-konsep yang telah tersedia atau telah terbangun di Indonesia. Sumber inspirasi semestinya tidak hanya datang dari kebudayaan Eropa; kebudayaan Batak, Bali, Jawa, Bugis, rakyat Indonesia dengan tradisi yang kuat juga harus memainkan peranan dalam pembentukan budaya Indonesia-yang-sedang-dibangun ini. Sebagai seorang Batak, Sitor mengeksplorasi tidak hanya para penulis Barat tetapi juga warisan kebudayaan Batak. “Mari kita pergi, lewat semak dan lumpur, nyanyikan kerinduan akan Tanah Leluhur. . .”
Dari kemunculan pertamanya di Jakarta pada masa pendudukan Jepang, Chairil Anwar telah didaulat sebagai idola di antara para penulis yang menjadi dewasa selama revolusi. Menjalani hidup sebagai pengembara, menulis puisi-puisi dalam baris-baris pendek dengan luapan emosi tanpa kekangan yang menghantam pemirsa dan pembacanya bak godam, Chairil menangkap kaos dari masa revolusi. Beberapa baris puisinya—“Aku ingin hidup seribu tahun lagi”, “hidup hanya menunda kekalahan”, dan “Aku ini binatang jalang dari kumpulannya terbuang”—menjadi mantra dalam gelanggang seni dan intelektual; kematiannya pada 1949 pada umur dua puluh tujuh berperan besar dalam mengokohkan dirinya pada tahun-tahun yang akan datang. Bagi banyak orang, ia adalah jelmaan dari poète maudit (penyair terkutuk). Karya-karyanya membuka cakrawala bagi para penulis baru di Indonesia. Ia menantang kemapanan bait-bait anggun dan indah yang mendominasi kehidupan sastra di Jakarta pada masa-masa terakhir zaman kolonial. Ialah yang menyingkirkan para seniman Poedjangga Baroe, majalah garda depan yang mendominasi kehidupan kultural Batavia sebelum perang. Ia berani mengejek mereka semua sebagai orang-orang udik dan bebal—dengan pengecualian Amir Hamzah, “raja penyair”, yang berasal dari Sumatra Utara, sebagaimana dirinya, dan Sitor kemudian.
Dalam semua karya Sitor, Chairil Anwar hadir sebagai sosok seniman yang ia rasa sebagai paling dekat dengan dirinya. Puisi-puisi Chairil menemukan gemanya di Surat Kertas Hijau—kata kunci, citraan, metafora—dan yang juga penting dicatat adalah fakta bahwa kumpulan puisi ini memang ia dedikasikan untuk Chairil. Dalam esai-esai yang ditulis Sitor pada awal 1950-an, sosok Chairil kerap hadir sebagai panutan bagi generasinya, sumber inspirasi bagi semua yang muncul setelahnya. Dan dalam sketsa autobiografi yang ia terbitkan kemudian, Chairil hadir sebagai sosok pria misterius dengan aura mengagumkan.
Jelas sudah Sitor Situmorang sulit menerima istilah “Penyair Angkatan Revolusi” dan kita bisa menduga-duga sejauh mana gaya hidup Chairil memberinya inspirasi untuk menjalani kehidupan sebagai seorang penyair, dengan seluruh dunia sebagai rumah dan puisi sebagai tempat berpulang: “Sampai menjelang umur 30 [sic!] tahun sekarang, saya tak pernah punya pekerjaan yang teratur dan dibayar…Namun, saya yang pada waktu-waktu tertentu dapat ilham lalu menulis sajak dan disebut penyair di tengan rutin sehari-hari, saya merasa hidup di dunia penyair, tapi sebagai bagian tak terpisahkan dari dunia sekeliling. Tanpa adanya jaminan munculnya ilham, atau berulangnya gelombang kreativitas, penyair selalu dirundung ragu, antara harapan dan kekuatiran, dan berharap, dengan membenahi diri dan membina kepekaan, agar selalu siap apabila ia datang, sebagai sesuatu yang tidak bisa direncanakan atau dibangkitkan sesukanya.”
Terbitnya Surat Kertas Hijau memapankan Sitor Situmorang sebagai penyair terkemuka, dihormati dan dikagumi. Dalam sebuah esai yang ia tulis sekitar tiga puluh tahun berselang, ia mengungkapkan kumpulan puisi ini hanya memiliki satu tema: “percintaan dan pengembaraan sebagai dua aspek dari satu jenis pengalaman.” Bisa diperdebatkan bahwa cinta dan keinginan mengembara terus menjadi tema yang menjadi obsesinya, yang menjahit semua karyanya; pencarian sia-sia akan kepastian dan keamanan. Bila kita mencari semacam perkembangan dalam pencarian puitiknya, kita bisa mengenalinya sebagai pergeseran lembut dan perlahan dari penekanan atas “cinta” ke “keinginan mengembara”, dari penjelajahan hubungan-hubungan personal kepada penjelajahan akan tempat-tempat muasal, awal mula, tanah para leluhur.
Dalam esai yang sama Sitor juga menawarkan gambaran mengenai para leluhur puitiknya: “Sebagai tema ia adalah penjelmaan pengaruh sastra romantik Barat, yang di sana punya silsilah pula sebagai berasal dari zaman troubadour zaman Abad Pertengahan sejarah Eropa. Bentuk yang ternyata dominan ialah soneta—dari tradisi Barat pula. Dengan istilah teknis, dapatlah dicatat: mengenai isi dan bentuk, SKH tergolong hasil asimilasi wawasan cinta dan adaptasi bentuk tradisi Barat, seperti yang telah dirintis Pujangga Baru dan dipribumikan oleh Chairi Anwar.”
Tiga tahun berselang, dua kumpulan puisi lainnya terbit—Dalam Sajak dan Wajah Tak Bernama, keduanya diluncurkan pada 1955—dalam keduanya, bentuk, bahasa dan citraan dari Surat Kertas Hijau diperluas dan diperbaiki.
Dua kumpulan puisi ini, tulis Sitor beberapa waktu kemudian, digubah dalam kondisi trans. Ini adalah tipikal dakuan dari banyak penulis modern Indonesia: mereka tidak ragu mengumumkan kepada publik bahwa mereka mencipta dalam kondisi trans, dalam “mistikum”, jika merujuk kepada Pramoedya Ananta Toer, prosais gemilang Indonesia. Karya sastra bukan produk seorang individu semata; ia adalah gema dari masyarakat atau bahkan kekuatan semesta yang kemudian mewujud dalam penciptaan karya. Sebuah keterberkatan yang memberi para pengarang hak untuk berpikir bahwa mereka bercakap dan mencatat atas nama komunitas dan masyarakat mereka—dan dunia.
Para pengarang hendaknya didengarkan. Mereka memiliki pesan untuk disiarkan. Mereka semestinya diberikan otoritas moral. Dengan kata lain, menulis puisi adalah aktivitas irasional. Saat merenungkan situasi ini, Sitor nyaris bangga menyampaikan kepada kita semua bahwa ia hampir tidak pernah memikir-mikirkan aspek teknis dalam berkarya: “Saya sendiri tidak pernah mempelajari teori-teori bentuk puisi. Malahan saya mempunyai kecenderungan yang bersifat anti-analisis (intelektual), sedang dalam berkarya (setelah sungguh-sungguh ada output), teori saya kuatirkan sebagai pembunuh potensial dari spontanitas (naluri) penulisan.”
Yang menarik perhatiannya bukan pertanyaan bagaimana sebuah puisi diciptakannya, tetapi bagaimana puisi bekerja, dan dalam konteks ini penting untuk mencatat bahwa banyak dari puisinya memiliki khalayak pembaca—seolah-olah sang penyair ingin memastikan ia membagikan pengalaman kosmiknya dalam mencinta dan mengembara dengan kehadiran khalayak pembaca, termasuk dirinya sendiri.
Pembaca yang tercinta,
jangan bertanya
lahirnya sajak,
jawabnya pulang maklum
pada dirinya,
apabila ia berkata sesuatu padamu
seperti padaku juga,
sebagai karya kita bersama,
tapi yang selanjutnya
menjalani hidupnya sendiri
jadi akar dan roh bahasa umat manusia,
berkebangsaan, namun di atas bangsa.
Tiga kumpulan puisi yang telah disebut di atas diikuti oleh penerbitan kumpulan cerpen Pertempuran dan Salju di Paris pada 1956. Ditulis dalam gaya realis yang menjadi ciri khas kebanyakan prosa yang terbit pada masa itu, kumpulan cerpen ini menunjukkan kecermatan seorang wartawan andal.
Sebagai sketsa dan kisah, kumpulan cerita ini lewat begitu saja, segera terganti oleh kisah-kisah lain, hanya meninggalkan sedikit jejak dan kenang di benak para pembaca. Kumpulan naskah dramanya yang terbit pada 1954, Jalan Mutiara, pun memiliki nasib yang sama; keduanya lekas pudar dari benak pembaca.
Masa hening dari penciptaan berlangsung ketika Sitor melanjutkan kerja jurnalistiknya, terlibat dalam dunia sinema, belajar, memberi ceramah. Sambil mempersiapkan diri menyambut gelombang inspirasi baru, ia membangun pandangannya mengenai kebudayaan nasional kepada banyak perjumpaan dan artikel, menekankan pentingnya pengetahuan lokal, menunjukkan keengganan untuk menoleh kepada kebudayaan non-Indonesia. Yang paling benderang adalah gagasannya untuk pembangunan kesenian nasional dalam bahasa nasional—semendunia apa pun gagasan yang dimiliki pengarang, ia mesti merangkumnya dalam simbol yang tersedia di lingkungannya dan menyampaikannya dalam bahasa Indonesia.
Di Jakarta pada masa itu, semakin banyak seniman bicara, semakin miskin jumlah karyanya. Popularitas Sitor merangkak naik tetapi ia tak bisa menaruh ceramahnya kepada praktik menulis—seolah kata-katanya adalah upaya penghabisan untuk menghalau krisis yang melanda intelektual dan seniman, perasaan yang sudah ia wanti-wanti semenjak awal kariernya sebagai penulis. Diskusi ada di mana-mana, polemik tidak kurang, tetapi karya sastra yang monumental tidak tercipta. Apa yang terjadi kepada kesenian? Mengapa para penulis tidak bisa mendapat tempat di tengah masyarakat? Mengapa mereka tidak diberikan otoritas selayaknya? Bagaimana mengatasi kebuntuan berkarya? Mengapa pertimbangan politik mulai mengatur-atur karya kreatif?
Kumpulan puisi Sitor Situmorang pada 1961 berjudul Zaman Baru adalah penyaksi semangat zamannya, penuh dengan slogan yang dipilih dengan cermat, perenungan atas cinta dan pengembaraan, pujian kepada bangsa yang secara politik berterima dengan filsafat kenegaraan yang dianut Sukarno tahun-tahun belakangan. Ia mungkin kurang memiliki kedalaman dan ambivalensi seperti karyanya terdahulu, tetapi secara retoris, ia masih menunjukkan kompetensi seorang penyair yang membaca tanda zaman dan mencoba mengekspresikannya. Dalam bentuk maupun isi, Zaman Baru tidak bisa tidak menyerupai puisi yang dicipta penyair yang menemukan sandaran ideologi dan emosional kepada Lekra. Mereka semua mencoba mempersenjatai para pembaca dengan frasa-frasa dan pesan yang dapat digunakan untuk melawan kuasa para imperialis, kapitalis, para komprador dan militer, kekuatan-kekuatan yang mencoba memudarkan semangat revolusi Sukarno dan dialektika yang diupayakan seniman terlibat untuk membuktikan argumen mereka.
Pada awal 1960-an perdebatan di gelanggang kebudayaan Jakarta berpusat kepada semakin mendesaknya pertanyaan bagaimana seniman Indonesia menjadikan diri dan seninya sebagai alat yang aktif dalam pembangunan masyarakat Indonesia sejati. Pandangan budaya dan politik semakin lama saling bertalian dan pernyataan kebudayaan apa pun mengisyaratkan sikap politik, inilah hasil akhir dari upaya Lekra yang menggemakan slogan “politik sebagai panglima”, yang tidak pandang bulu dalam menantang tiap gagasan mengenai kuasa dalam berkesenian.
Waktu itu, Sitor adalah anggota aktif Lembaga Kesenian Nasional (LKN); ia mendukung gagasan untuk menyediakan agenda kebudayaan untuk Partai Nasional Indonesia (PNI) yang bisa bersaing dengan upaya para komunis di PKI dalam menasionalisasi kebudayaan yang diusung Lekra. Misi ini juga bisa bersaing dengan upaya partai Islam dalam membangun konsep kebudayaan Islami melalui organisasi seperti Lembaga Seni Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi).
Sitor dan LKN tanpa ragu-ragu memihak Sukarno. Sebagai seorang yang mendaku diri sebagai pemimpin besar revolusi, Presiden mencoba untuk berdiri di atas semua golongan untuk menjaga sedikit harmoni dan mencegah perpecahan di Indonesia. Konflik kebudayaan—bahkan saat melihat kembali masa-masa itu, konfrontasi pribadi dan ideologis sulit diuraikan—mencapai puncaknya di sekitar polemik Manifes Kebudayaan, yang terbit pada Agustus 1963 ditandatangani oleh para intelektual terkemuka yang menyampaikan argumen untuk membela kebebasan kreatif dan mengusung Chairil Anwar sebagai panutan.
Ketika sembilan bulan kemudian Manifes Kebudayaan dilarang sebagai upaya kontra-revolusi, Lekra dan LKN menyambut putusan tersebut dengan meriah. Pada 1965, semua polemik berujung kepada kekerasan: tentara melakukan kudeta, menyingkirkan Sukarno dan tidak menghentikan pembantaian massal orang-orang yang diduga komunis. Banyak anggota terkemuka Lekra dibui dan karya mereka dilarang beredar, komunisme kemudian menjadi musuh ideologi negara. Sitor masuk bui pada 1967. Puisi-puisinya dicekal. Sekali waktu itu, terdapat kesan seolah-olah sastra ada pengaruhnya bagi keseluruhan negara; setidaknya bagi intelektual Jakarta, yang tahu sama tahu di luar ketidaksukaan terhadap satu sama lain.
Sitor bebas pada 1976 tanpa pernah menjalani persidangan. Pada tahun-tahun kemudian, bukan sesuatu yang mengejutkan jika ia memilih untuk menghilang dari radar. Setelah kepulangan emosional ke Tanah Batak dan pengembaraan ke wilayah-wilayah lain di Indonesia—caranya menulis dalam prosa dan puisi terasa seperti laporan perjalanan—ia akhirnya menetap di Belanda untuk memulai hidup baru. Di tanah nun jauh sekali lagi si pengembara dapat menjadi pengamat dan pelaku, pribadi selamanya ia inginkan. Penuh cinta, penuh damba.
Tersebut enam benua,
kujalani tujuh samudra.
Mana paling indah?
Jawab telah lama
tanpa perlu bertanya:
Negeri terindah,
ialah setiamu
Pangkal tolak kembara
di dasar samudra rindu.
Kumpulan puisinya yang terbit kemudian: Dinding Waktu pada 1976 dan Peta Perjalanan pada 1977; pada dua kumpulan ini, puisi-puisi lama dapat ditemukan bersanding dengan puisi-puisi yang lebih baru dalam koleksi yang campur aduk yang agak menyulitkan dalam menentukan apakah eksplorasi atas cinta dan kembara telah kehilangan pukau dalam kata dan sajaknya. Kekhawatiran itu tidak terbukti. Terbitnya buku-buku tersebut masih menunjukkan keberlangsungan tema dalam sajaknya, yang kian tampak setelah buku-buku lamanya juga dicetak ulang—tema yang sama masih muncul.
Melalui intensitas kunjungannya ke Jakarta pada 1980-an Sitor meraih kembali sebagian otoritas intelektual dan puitiknya, dan menggunakannya untuk menekankan, lebih dari sebelumnya, pentingnya kembali kepada akar tradisi untuk memperkuat identitas Indonesia. Ia juga berupaya untuk berkontribusi kepada perdebatan yang sedang berlangsung yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai peristiwa-peristiwa yang berujung kepada pembantaian komunis pada 1965. Tidak semua menyambut kepulangannya dengan sukacita; ketidakpercayaan, iri, dan kecurigaan mengelilinginya, pun kekaguman dan ketakjuban. Pencariannya akan akar dan mula semakin intens. Karya-karyanya dibahas, ditelaah dan dipelajari. Kumpulan puisinya yang mencakup rentang waktu 40 tahun terbit pada 1989 dengan judul Bunga di Atas Batu: Si Anak Hilang mengukuhkan persona puitiknya.
Dalam kenang, mudah untuk berkata bahwa tidak perlu Sitor Situmorang merasa dirinya berada di bawah bayang-bayang Chairil Anwar. Bahkan Surat Kertas Hijau, kumpulan sajaknya yang paling awal, menunjukkan bahwa ia memiliki suara yang berbeda dan tema yang sangat personal, tergambar jelas misalnya pada baris pertama dan terakhir dari “Berita Perjalanan”:
Kujelajah bumi dan alis kekasih
Kuketok dinding segala kota
Semua menyisih
…
Sejak itu sepakat kebuntuan
Jadi teman seperjalanan kekosongan
Dalam sajak mencari kepenuhan
Perang antara kesetiaan dan pengembaraan
Sejak Surat Kertas HIjau, kebanyakan puisi Sitor memiliki struktur yang seolah-olah transparan; komposisinya—padat dan berimbang—kiranya tidak berlebihan bila kita menyebutnya sebagai penyair yang lebih gemilang tinimbang Chairil Anwar, bahkan di puisi-puisi terakhirnya. Lebih ajek dalam bentuk, konstruksi puisi-puisinya yang anggun meleburkan teknik sajak Melayu tua dan soneta Eropa dengan inovasi yang ia temukan sendiri. Metafora-metaforanya lebih konsisten: cermin, jendela, ruang: mata dan pandang; tubuh perempuan; angin, lautan, dan bumi; kapal dan pelabuhan. Rangkaian metafora ini membentuk peta kata-kata, berita perjalanan yang mampu menggugah pembaca rasa takjub yang juga dirasakan si penyair. Meskipun lebih canggih dan cakap ketimbang Chairil, Sitor, pendeknya, masih dibayang-bayangi Chairil, barangkali karena publik mengetahui bahwa Chairil mencipta puisi-puisinya di masa revolusi bergolak—dan kisah revolusi memiliki tempat utama dalam pembangunan kebudayaan nasional, dekat kepada jantung hati Sukarno dan Sitor sendiri.
Chairil barangkali memiliki peranan penting sebagai inovator, menghubungkan dirinya dengan bumi manusia, memutus hubungan dengan sejarah dan tradisi, mengedepankan personanya sendiri. Sitor berhasil menunjukkan bahwa inovasi dan emosi diri dapat dijalinkan dengan renungan akan tanah tumpah Indonesia. Gema pantun Melayu lama memperdengarkan suaranya. Warisan tradisi Batak menyahutnya. Pencarian akan “Indonesia” terang belaka. Dan suaranya memperdengarkan kesepian dan ketercerabutan terasa nyeri.
Meskipun demikian, sejak kemunculannya pada akhir 1940-an hingga kejatuhannya setelah 1965, Sitor merasa dirinya mesti, berulangkali, memformulasikan sikapnya terhadap Chairil. Pada esai-esai awalnya ia mengidentifikasikan diri dengan sang penyair Revolusi: “Angkatan Chairil mempunyai élan minus kepastian ‘ilmu pengetahuan’ Takdir…Angkatan Chairil tidak mempunyai sejarah, tetapi melahirkan dan lahir dari revolusi. Angkatan Chairil Anwar belum mempunyai ‘pandangan hidup’, melainkan baru menunjukkan ‘sikap hidup’…Kebudayaan Chairil adalah kebudayaan meletuskan dan merombak dan kemudian mencipta. Tapi saya nyatakan bahwa taraf mencipta ini baru merupakan ‘permulaan dari suatu permulaan’”.
Betul, permulaan yang digagas Chairil mengisyaratkan perlunya tidak lanjut, dan tidak lama kemudian Sitor mulai menjaga jarak dari kredo Angkatan 45 seperti banyak seniman terpandang pada angkatannya, di antaranya Rivai Apin, A.S. Dharta dan Pramoedya Ananta Toer. Zaman berganti, dan perkembangan sosial-budaya di Jakarta—dalam struktur kuasa di Indonesia, ibu kota cenderung mendikte seluruh negara—memaksa Sitor mendefinisikan ulang peranan seniman modern di Indonesia: ia harus menyampaikan pengetahuannya kepada pembaca dengan cara yang membuat mereka juga merasa perlu terlibat dalam pembentukan kebudayaan nasional, masyarakat yang adil dan bahasa yang kuat. Dan apakah penyair tak punya otoritas moral?
Sudah sepatutnya Sitor muncul sebagai salah satu kritikus paling keras atas Manifes Kebudayaan 1963, mengecam para penandatangannya kurang memiliki komitmen kepada revolusi, mempunyai sikap anti-Indonesia, dan sikap hormat berlebihan kepada Barat. Kerapnya rujukan para penandatangan manifesto kepada Chairil sebaga idola mereka membuatnya menimbang ulang di mana ia berpijak. Pada 1963 Sitor menulis: “Dalam kerangka sejarah, Chairil Anwar tentu saja mewakili kaum intelektual borjuis yang diberi nektar kebudayaan Eropa Barat, kemudian menjadi antek-anteknya. Orang-orang Barat menunjukkan minat yang khusus kepada aspek Barat dalam karya sastra kita, dan dengan demikian mereka cenderung mengabaikan karya sastra Indonesia yang progresif. Terang belaka bahwa pendukung manifes berada di belakang layar berupaya untuk memoles-moles Chairil demi kepentingan mereka sendiri. Chairil Anwar tak ada sangkut pautnya dengan ini semua; ia sudah berpulang tak elok apabila ia dibawa-bawa dan dibuat bertanggungjawab atas dosa politik yang dilakukan para penandatangan manifes yang masih hidup. Satu dua puisi revolusioner yang Chairil tulis tidak menjadikannya ‘penyair revolusi’ sebagaimana klaim mereka. Chairil Anwar tak butuh cap semacam itu.”
Chairil adalah penyair penting pada zamannya, tetapi pada 1960-an, ketika perlawanan kebudayaan terkait erat dengan perjuangan politik, karyanya tidak lagi relevan. Panggilannya untuk melanjutkan “awal dari mula” telah didengar; bersamaan dengan perubahan di masyarakat, kebudayaan Indonesia berubah, dan di dalamnya, sastra juga turut berubah. Dua tahun kemudian, Sitor lebih tepat sasaran dalam serangan kemarahannya terhadap orang yang memakai bayang Chairil untuk menjustifikasi sikap mereka: “Mau tidak mau, Chairil Anwar telah terjebak di jejaring kebudayaan kontra-revolusi. Dengan kata lain, Chairil Anwar dan kelompok kesusastraan dan intelektualnya telah tercerabut dari revolusi.”
Kapan pun waktu dan di mana pun tempatnya, bagaimana pun situasinya, sastra dapat berperan sebagai saksi. Namun filsafat dari penciptaan “mistikum”—ekspresi spontan dari keseharian—akan muncul dan membuat puisi sekadar lalu. Maka, jika setiap puisi dan setiap penyair berisiko kedaluwarsa, bagaimana mereka dapat menanggulangi waktu? Bagaimana seseorang dapat memilah antara kesementaraan dari sebuah puisi dari yang lebih kekal, jika tidak bernilai universal? Bagaimana seseorang menghubungkan waktu dan tempat, gerak dan geming, konsep-konsep mendasar dalam tiap filsafat sastra?
Tidak peduli seterikat apa pencarian puitik Sitor kepada waktu, dalam genealoginya sebagai seniman, sangat mungkin untuk merekonstruksi titik yang ajek dan terjaga mutunya dan dapat membantu para pembaca untuk memahami puisi-puisinya—titik yang ajek, titik yang dapat dirujuk. Tentu, ia punya lebih banyak pendahulu yang tidak hanya seorang Chairil Anwar, sebagaimana para seniman yang terkumpul dalam Angkatan 45. Terdapat puisi mengenai tanah kelahirannya, jauh di tanah Batak; yang menjadi suar mula, sebuah awal, dan akhir dari nyaris segala yang ia tulis. Ada pendidikan Belandanya yang mencapai klimaks dalam perjalanannya melintasi Eropa: Slauerhoff, Nijhoff, Celan dan Rimbaud telah membuatnya menyadari puisi sebagai pilihan hidup, sikap hidup. Lalu ada kekerabatannya dengan sajak Melayu lama yang mencapai puncaknya pada karya Hamzah Fansuri dan Amir Hamzah.
Sitor dilahirkan di Harian Boho, sebuah desa di Danau Toba, Sumatra Utara, tempat angin berembus dari pegunungan ke permukaan air pada pagi hari, mencipta gelombang dan riak di sepanjang pesisir. Ayahnya, Ompu Babiat, adalah orang penting di daratan Batak; pada awal abad ia menentang desakan Belanda, dan penolakan ini dibayar mahal. Desanya dibumihanguskan, ia dan orang-orang sekampungnya dipaksa keluar untuk kemudian menetap di lembah dekat danau, meninggalkan batu-batu peninggalan budaya Batak di belakang mereka. Dalam puisi Sitor kemudian, ini menjadi simbol dari asal muasalnya.
Kisah negeri terjal:
Bunga di atas batu.
Lakon lembah kekal
dibuai Waktu.
Pada saat Sitor lahir, Ompu Babiat telah menjelma lelaki tua yang teguh memegang kepercayaan Batak lama dan menjalankan ritual adatnya di tengah mayoritas Kristen. Sewaktu kanak, Sitor menyaksikan dan mengalami ritual tersebut, memenuhinya dengan ketakjuban dan membekaskan kenang yang menghantuinya sepanjang hayat. “Sampai umur tujuh tahun saya dibesarkan di lingkungan tradisional, di lingkungan tradisi lisan, berbahasa Batak; sejak kecil saya mendengarkan khotbah-khotbah, dalam bahasa (sastra) Injil, lewat terjemahan ke dalam bahasa Batak. Saya mendengarkan lagu-lagu rakyat, mendengarkan musiknya; saya kenyang sastra di upacara-upacara, saya terekspos kepada ide-ide puitis dan bentuk-bentuk sastra, tanpa teori. Kepekaan saya, seperti juga kepekaan orang lain, terbina olehnya.”
Sewaktu bocah ia dikirim ke sekolah Belanda di Sibolga, Balige dan Tarutung, pusat kota di pinggiran Batak. Di sana ia mengasah sensitivitas puitiknya pada tradisi lisan ditambah ibadah dan nyanyi Kristen yang diwajibkan dalam kurikulum sekolah Belanda dan bahasa Melayu, bahasa pasar dari semua pusat kota di tahun-tahun terakhir Hindia Belanda.
Di sekolah ia diperkenalkan kepada kebudayaan Barat, dan karya sastra Belanda khususnya—yang tidak hanya karya Multatuli, Max Havelaar, novel yang meninggalkan kesan mendalam bagi generasi pemuda Indonesia. Tidak hanya Chairil Anwar, Ompu Babiat, dan himne Kristen yang menjadi teman sepanjang hayat Sitor, para penulis Belanda seperti Du Perron, Slauerhoff dan Nijhoff juga sayup-sayup hadir di dalam karyanya. Penting untuk dicatat bahwa Sitor menerjemahkan karya-karya Du Perron, penulis yang menekankan pentingnya sikap moral penulis, dan ia juga menerjemahkan Nijhoff, penyair yang mahir dalam metafora dan ambivalensi, simbol inkonklusif par excellence. Bukan tanpa alasan bahwa dalam salah satu puisi-puisi utama di kumpulan sajak pertamanya Slauerhoff muncul di bait: “dalam sajak mencari kepenuhan, perang antara kesetiaan dan pengembaraan”, dan bahwa beberapa puisi yang hadir kemudian didedikasikan untuk penyair Belanda yang meratapi dan mengglorifikasi kehendaknya untuk mengembara ke seluruh dunia. “begitulah, hati saya terlalu lekat dengan kegelisahan dan kerinduan” Dan selain Nijhoff ada pula Bloem; yang penggambaran kiasan kesehariannya seolah-olah tampak bersahaja dalam bait-bait elegan dan kata-kata sederhana, namun kemudian mengalami kelokan metaforis di ujung puisinya yang membuat puisi-puisi ini mengandung ambivalensi dan membuatnya menarik, enigmatik, dengan akhir terbuka—dan melampaui ketertarikan sesaat.
Selain budaya Eropa yang ia pelajari dari guru-guru Belanda, Sitor juga menjadi karib dengan kekuatan Melayu modern, bahasa nasional, bahasa yang ia pelajari untuk bicara dan mendengar, membaca dan menulis sebagai anak sekolahan. Melayu adalah bahasa pasar dan surat kabar di kota-kota Sumatra dan Jawa, dan para nasionalis telah mendakunya sebagai bahasa Indonesia. Melayu adalah bahasa masa depan. Melayu juga merupakan bahasa masa lalu, dari pantun dan syair, bentuk puitik yang menggabungkan deskripsi alam dengan emosi diri dalam aturan jumlah kata yang ketat, yang mirip dengan soneta. Melalui Melayu, Sitor kemudian dapat membaca karya-karya Amir Hamzah dan Hamzah Fansuri, dua penyair Melayu yang menginspirasinya untuk mencari keseimbangan dan harmoni dalam bunyi dan ritme yang tidak dapat atau tidak hendak diraih Chairil dalam vitalitas revolusinya.
Sebuah genealogi beragam bentuk muncul baik dalam bahasa maupun wacana, pendeknya, cukup kuat untuk mencerabut penyair dari akarnya, dengan beragam bentuk yang cukup untuk memberikannya pijakan bagi dunia kesepian dan kerinduan yang ia ciptakan. Tercerabut ia, sebagaimana para intelektual seangkatannya; baginya pula tak ada jalan kembali lagi. Perasaan ini ditangkap secara efektif di baris-baris terakhir “Si Anak Hilang”, yang dalam bentuk sajak Melayu lama berkisah mengenai seorang pemuda modern mengunjungi orangtuanya setelah lama mengembara:
Malam tiba ibu tertidur
Bapak lama sudah mendengkur
Di pantai pasir berdesir gelombang
Tahu si anak tiada pulang
Karya Sitor meliputi, sejauh ini, pengalaman dari empat puluh tahun terus mencinta dan mengembara. Tentu tidak semua puisinya dapat mengatasi ruang dan waktu. Beberapa di antaraya berupa sketsa seperti cerita pendeknya, potret kehidupan, cair dan fana. Beberapa di antaranya memiliki nilai yang lebih kekal karena membahas masalah bahasa, kehidupan, dan kematian dalam bentuk yang penuh dengan ambiguitas dan enigma. Empat puluh tahun adalah waktu yang lama. Kehidupan Sitor adalah hidup yang berwarna. Akan sangat sulit untuk membuat karakterisasi karya puitiknya secara keseluruhan, meskipun dari berita perjalanan kita dapat membuat gambaran berdasarkan bacaan cermat ia menentang semua gagasan perkembangan dan perubahan. Tema-temanya terbatas, tetapi penjelajahannya tidak. Ia tetap elusif.
Kebanyakan karya Sitor bersifat pribadi yang membuat kita tergoda untuk mengelirukan Sitor sebagai pribadi dan Sitor si penyair. Berkali-kali kita dikisahkan perjalanan-perjalanan si penyair, percintaannya, kerinduannya dan kenang-kenangannya. Ini terus-menerus diulang dengan cara yang obsesif, sehingga kita tergoda untuk berpikir bahwa kita tahu betul kehidupan pribadi si penyair, godaan yang membuat kita sulit mengabaikan biografi si penyair. Orang bisa juga memilih untuk melakukan lompatan bahasa dan melakukan pembacaan puitik yang melampaui segala yang personal, semua yang referensial.
Karakteristik utama dari puisi Sitor adalah kesederhanaan dalam memilih kata, kejelasan sintaksis. Kisah dan gambaran seolah-olah transparan: ia mengisyaratkan kontrol dan koherensi yang hanya dapat dikonfirmasi dalam rima dan ritma reguler—namun sekalinya pembaca menyiapkan dirinya untuk pemaknaan mendalam, transparansi itu menghablur. Kejelasan puisinya meninggalkan ruang-ruang terbuka yang tidak dapat dipenuhi dengan menghubungkannya dengan puisi-puisi lainnya. Puisi Sitor adalah puisi kata per kata, menggugah konsep, mengundang gambaran dan citraan yang tak pernah menjadi utuh.
Dalam puisi-puisi terbaiknya—boleh kita bilang, puisinya yang paling khas—gambaran yang dibingkai kata-kata elegan dari pengalaman pribadi yang tampak benderang dikaburkan renungan filosofis. Contoh terbaik dari kehidupan keseharian dengan “pengalaman universal” ada pada puisi “Angin Danau Zurich”.
Angin, langit, matahari: Tema detik ini
bergema dalam gelakmu di permukaan danau.
Alam dan kenangan sejenak terpadu
sirna jarak luas tujuh samudra
dalam pandangan. Namun begini
berdayung sampan di negeri orang
terus mengganjal dan berdentang
—luka dalam pun terus menganga—
sayatan panah kenangan di dasar jiwa
bisikan purba, air dan langit danau Toba.
Puisi ini dibuka seperti kisah pengembara, tetapi kata-kata seperti “angin”, “pandangan” “samudra”, “sampan”, “kau” “kenangan”, dan “Toba”—membuat bagian dari berita perjalanan Sitor, mengingatkan kepada karyanya secara keseluruhan—mengubah gambaran pengalaman keseharian menjadi sekuens kata-kata yang berjuang di antara ruang dan waktu, di sini disimpulkan dalam “kenangan” dan “alam”, merefleksikan konflik yang terus-menerus berlangsung, menghukum si pencinta yang mengembara dalam kesepian merindu. Gema tawa menjadi bisik mula. Tatapan menjadi lesat anak panah. Tujuh samudra menjadi Danau Toba. Penyair terasa menjadi sampan yang gontai. Dan sedari mula kata pertama adalah “angin” elusif dan tidak kasatmata, tiba-tiba terbaca seperti pertanda dari sebuah pesan puitik yang pada awalnya berada dalam bahaya, atau begitulah kelihatannya, untuk kemudian berakhir di ruang semesta dari tujuh samudra dan kemudian diselamatkan kenangan. Pada masa kiwari adalah masa lalu, puisi ini tampak hendak berkata, tetapi kemudian, sebuah puisi tidak hendak merangkum dirinya sendiri tanpa kehilangan kekuatan, pesan, dan angin. Puisi harus bisa berbicara untuk dirinya sendiri. Itulah yang dilakukan oleh puisi-puisi Sitor.
[1] Esai ini pada mulanya berjudul “Introduction”, sebuah esai pembuka untuk buku kumpulan puisi Sitor Situmorang To Love, to Wander (The Lontar Foundation, 2014), edisi Inggris sepilihan sajak Sitor berdasarkan terjemahan John H. McGlynn. Terjemahan esai ini dikerjakan oleh Pradewi Tri Chatami. Penerjemahan esai ini sudah mendapatkan izin tertulis dari Hendrik M.J. Maier, dengan sepengetahuan Yayasan Lontar selaku penerbit buku tersebut.
Hendrik M.J. Maier
Hendrik M.J. Maier mendalami studi bidang filologi dan kritik tekstual bahasa-bahasa di Indonesia di Universitas Leiden, Belanda, di sana ia menjabat sebagai ketua Bahasa dan Sastra Melayu dan Indonesia sebelum pindah ke UC Riverside pada 2003. Minat utamanya tetap sama: bahasa dan sastra Indonesia dan Malaysia, yang sekarang ia coba pahami dalam jaringan yang lebih luas, khususnya interaksi sosial-politik dan budaya di kawasan Asia Tenggara. Dia telah menerbitkan banyak tulisan tentang tulisan/sastra dan sejarah Melayu, dan menggabungkan kegiatan ilmiahnya dengan penerjemahan teks-teks Melayu modern dan kuno. Beberapa minat sekundernya meliputi apa yang disebut "sastra kolonial" dan sejarah bahan cetak di Asia Tenggara. Beberapa publikasi utamanya adalah In the Center of Authority - the Malay Hikayat Merong Mahawangsa (Cornell UP, 1988) dan We are Playing Relatives - a Survey of Malay Writing (Leiden, 2004). Dia telah menerbitkan sejumlah artikel di jurnal terkemuka di bidangnya, Indonesia dan Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde.