Bersetia pada Konvensi, Bergairah pada Sejarah
Membaca Sair Rempah-Rempah (1918) Karya Marco Kartodikromo

Ilustrasi (Sulaman) oleh N. Putri

Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, di tanah Hindia bertebaran begitu banyak karya sastra Melayu Pasar yang dipelopori oleh kaum Tionghoa peranakan dan kalangan aktivis bumiputera. Dalam jenis karangan itu, roman dan syair adalah genre yang banyak ditulis oleh para pengarang, juga digemari oleh para pembaca. Marco Kartodikromo (1890-1932), salah seorang aktivis antikolonial, banyak menulis karya sastra semacam itu. Marco menulis roman sebagai penghibur, dan pada kesempatan lain, ia juga menulis kumpulan syair untuk menyampaikan pandangan-pandangannya di ranah pendidikan, politik, hingga aktivisme. Seratus satu tahun silam, Sair Rempah-Rempah, kumpulan syair itu, terbit dalam bentuk buku. Dan barulah tiga tahun lalu naskah itu kembali diterbitkan[1] menyusul roman dan catatan jurnalistiknya yang sudah terlebih dahulu terbit ulang.

Sejak dua dekade silam, Marco mulai dibaca kembali dan dikaji oleh peneliti. Sebelum itu, ia bersama penulis Melayu Pasar lainnya nyaris terkubur rapat-rapat dalam sejarah sastra Indonesia. Banyak dari kita sudah tahu, sejarah sastra yang ditulis oleh para akademisi semasa era Orde Baru terlihat begitu alergi, juga menjauhi, keberadaan sastra Melayu Pasar yang secara politik dianggap berseberangan dengan rezim yang berkuasa. Sejarah sastra mengubur karya dari pengarang yang dianggap berdekatan dan berhaluan kiri[2].

Meski kemudian pada masa itu upaya untuk membicarakan sastra Melayu Pasar, termasuk di dalamnya sastra pra-Indonesia dan Tionghoa peranakan, pelan-pelan dimulai, terutama oleh Pramoedya Ananta Toer dan Claudine Salmon, tetapi porsinya masih sangat-sangatlah terbatas. Bahkan informasi tentang karya tokoh pergerakan kiri pun bisa dibilang hanya bersifat bisik-bisik saja dalam pembicaraan sastra Indonesia. Sair Rempah-Rempah segerbong dengan teks-teks yang sengaja ditutupi perannya di masa lalu itu. Pembicaraan kita atas syair[3] pun selama ini seringkali hanya terkotak pada jenisnya yang tergolong sastra lama—buku Puisi Lama Sutan Takdir Alisjahbana yang dicetak berkali-kali hingga sekarang mengukuhkan itu, tanpa ruang untuk menghamparkan secara lebih leluasa suara apa yang terdengar dan topik-topik apa sajakah yang dibicarakan di sana.

Bahwa kemudian genre syair tak berumur panjang, dan Sair Rempah-Rempah tenggelam bersamanya, itu kenyataan yang tak terbantah, dan tentu saja ini bukan menjadi suatu persoalan—timbul tenggelamnya sebuah genre teks sastra itu niscaya. Sutan Takdir Alisjahbana, misalnya, dengan terbuka menyebut syair sebagai genre yang sulit bertahan lantaran bentuknya yang kaku, tepatnya dalam menghadapi berbagai kemungkinan kreatif dari para pengarang syair. Katanya, “payahlah ia menjadi buah kesusastraan yang sempurna tiap2 baris tentang irama, bunyi dan arti”[4]. Seiring waktu, bentuk syair memang ditinggalkan dan kemudian pelan-pelan dialihkan ke bentuk puisi yang lebih modern, yang lepas dari kekangan bentuk dan pakem.

Di sisi lain, jika dilihat dari hubungannya dengan sepak terjang Marco di kancah pergerakan, Sair Rempah-Rempah menjadi semacam titik didih dari seluruh letupan atas karya-karya yang pernah ia tulis sebelumnya. Segala bentuk seruan dan kata-kata “panas” yang bertebaran di koran-koran, baik di koran yang Marco kelola sendiri maupun koran lain yang sevisi dengannya, bisa disebut mengerucut dalam buku syair tersebut. Tanggapannya atas berbagai kontradiksi di arena pergerakan serta pandangannya atas suatu nasion yang merdeka, terbaca di situ. Seturut itu, Sair Rempah-Rempah pantas disebut sebagai karya yang berperan memanaskan jagat pertarungan ide dan kata-kata bermatra nasionalisme dan antikolonialisme, sekaligus mengantarkan Marco meringkuk di jeruji besi yang sepi, yang kemudian mendorongnya menuju level pergerakan lain, yaitu ke tataran praksis.

 

Bingkai “New Historicism”      

Sebagai teks dari masa lalu yang teramat jauh konteks dan waktu terbitnya dengan pembaca kekinian, sangat bisa dibayangkan kendala yang bakal dihadapi pembaca teks tersebut, terutama saat ia bertemu muka dengan pembaca-pembaca baru. Menyelinap satu-dua pertanyaan di benak saya: sepenting apa sebenarnya karya harus dibaca sehingga ia harus dicetak ulang? Tak berhenti di situ, pertanyaan lain datang menyusul: konteks apa kiranya yang melatari sebuah karya perlu dibaca dan dibaca lagi oleh pembaca yang hidup seabad setelah teks itu diterbitkan kali pertama?

Ada beberapa jawaban yang berhasil saya upayakan ke hadirat sidang pembaca sekalian. Pertama, dan sangat mungkin ini sudah bisa pembaca tebak, ketokohan Marco dan sepak terjangnya di dunia politik dan pers pergerakan. Ia termasuk jajaran tokoh utama pers bumiputera dan sekondan utama dari organisasi pergerakan radikal Sarekat Islam. Perannya di sini bukan cameo, sebaliknya memainkan fungsi-fungsi strategis—ia jurnalis, redaktur, sekaligus propagandis. Kemampuannya berperang dalam kata-kata, baik dalam bahasa jurnalistik maupun sastra, menjadikan sosoknya tak bisa dikesampingkan saat membicarakan sastra awal abad ke-20 di Hindia. Kedua, Sair Rempah-Rempah telah memberi segaris pemandangan baru dalam horizon sejarah kesusastraan Indonesia yang timpang dan rumpang, terutama pada periode 1900 hingga 1930-an. Dua sampai tiga dekade yang lalu, atau selama masa Orde Baru, namanya jarang disebut oleh kalangan akademisi sastra ketika membahas periode sastra awal. Baru belakangan, namanya mulai disebut di ruang perkuliahan jurusan sastra.[5]  

Ketika Sair Rempah-Rempah terbit kembali dalam edisi baru, persoalan yang juga lumrah muncul ialah bagaimana khalayak pembaca mutakhir memahami, atau setidaknya berupaya memasuki, teks tersebut. Kebanyakan pembaca tentu akan terlebih dahulu terbentur oleh citarasa tata bahasanya yang otomatis akan membuat pembaca merasa sangat berjarak. Meski persoalan ini sebenarnya masih bisa diatasi dengan ejaan baru yang disuguhkan penerbit di terbitan terbarunya.

Yang paling utama bagi pembaca mutakhir sebenarnya ialah bagaimana mereka memahami konteks syair tersebut? Ini tentu tantangan yang sulit, sebab membaca Marco dalam konteks kekinian akan sangat sulit dicapai umpamanya kita tidak berkenan dan sabar untuk membuka lembaran catatan sejarah periode itu. Sebagai karya yang erat kaitannya dengan pikiran dan tindakan pengarangnya, upaya pembacaan melalui kacamata new historicism sebagai alat bantu menurut saya paling pas untuk diajukan di sini. Cara pandang ini memberi ruang bagi kita untuk membaca kembali secara lebih kritis teks yang sebelumnya pernah dikuburkan, atau dipandang rendah oleh sebuah rezim.

Pandangan new historicism yang digagas oleh Stephen Greenblatt pada 1982 itu punya kearifan untuk menempatkan teks satra dari beragam genre ke dalam satu diskursus kebudayaan yang lebih luas dan saling terhubung, bahkan antara teks sastra dan non-sastra, antara gagasan dan peristiwa[6]. Pandangan tersebut termasuk bagian dari reaksi atas pandangan new criticism yang meletakkan karya sastra sebagai sesuatu yang otonom, seolah ia terlepas begitu saja dari dimensi ruang dan waktu kelahirannya. Pandangan new historicism memungkinkan para pembaca mengajukan pendekatan sejarah dalam melihat hubungan antara teks sastra dengan teks lain yang terbit pada masa yang berdekatan, untuk kemudian menyisir kekuatan dan gagasan yang dimunculkan akibat teks sastra tersebut pada masanya.[7] Dalam kacamata new historicism, perhatian atas teks sastra juga bisa dilekatkan pada keterkaitan teks sastra dengan berbagai hal-hal di luar teks tersebut, seperti unsur politik dan sosial yang melingkupinya.[8]

Marco menulis teksnya berdasarkan kisah atau pengalaman yang benar-benar diketahui dan dilihatnya. Hal itu lantaran pada periode itu para pengarang punya kecenderungan menyandarkan sastra sebagai wahana pengawet peristiwa[9]. Latar belakang pengarang yang mayoritas berasal dari kalangan jurnalis turut mengukuhkan kecenderungan itu. Dengan perkataan lain, di kalangan sastra Melayu Pasar, terutama di ranah syair, ada rantai yang mengikat antara bagaimana sastra ditulis dan peristiwa yang tengah, juga telah, terjadi.

Dengan memperhatikan tanggapan Marco atas peristiwa-peristiwa penting yang bersinggungan dengan wilayah aktivitas serta gagasan-gagasannya, terlihat bahwa Marco memiliki gairah pada peristiwa-peristiwa yang membentuk sejarah. Hal ini tercermin, terutama dalam caranya menyajikan sejarah sebagai hidangan yang sesuai dengan lidah kaum bumiputera, terkhusus orang Jawa—ini mengacu pada syairnya yang di beberapa bagian mencoba merekonstruksi sejarah kolonialisme di Hindia. Bahkan, dalam kasus Marco, sejarah justru diupayakan ditulis secara lebih adil. Ia tak ingin sejarah hanya dilihat dalam perspektif penjajah. Wilayah-wilayah penjelajahan tersebutlah yang akan menjadi fokus esai ini.

 

Di Ranah Konvensi

Buku Sair Rempah-Rempah menghimpun delapan bagian syair, yaitu “Sama Rasa dan Sama Rata”, “Botjah Angon”, “Kemardika’an”, “Tabeat Apakah?!”, “Penoentoen”, “Djawijah”, “Dari Negri Blanda”, dan “Badjak Laoet”. Masing-masing bagian ditulis dalam rentang waktu berbeda, meskipun tidak terlalu jauh jaraknya. “Sama Rasa dan Sama Rata” pernah terbit secara berkala di koran Pantjaran Warta, 13 – 17 dan 19 – 21 Februari 1917. Sedangkan “Badjak Laoet” pernah disiarkan di Sinar Hindia pada 23 Desember 1918. Semua bagian syair itu kemudian disatukan dalam sebuah buku tipis, semacam brosur kecil, yang diterbitkan oleh N.V. Sinar Djawa, Semarang.

Marco dikenal sebagai jurnalis dan penulis roman. Di lapangan jurnalisme, namanya sangat dikenal, apalagi bagi pelanggan koran-koran pergerakan, seperti Sarotomo, Sinar Hindia, Doenia Bergerak dan seterusnya. Sementara itu, persinggungannya secara kreatif dengan syair terlihat empat tahun sebelum Sair Rempah-Rempah terbit sebagai buku, tepatnya saat Marco menerbitkan novel Mata Gelap pada 1914. Di situ, dalam adegan pertemuan antara tokoh Amce dan Emmace, Marco memunculkan empat larik syair sebagai bagian dari peranti penguat adegan antara kedua tokoh tersebut. Diceritakan, tokoh Amce mencoba menyampaikan sindiran kepada Emmace melalui syair/pantun. Begini petikannya:

Terang bulan di mana-mana

Hingga bintangnya jarang kelihatan

Terang bercahya parasnya nona

pantaslah jadi rebut-rebutan[10] 

Dalam pandangan Kwee Tek Hoay, tokoh Tionghoa peranakan yang produktif mengisi genre sastra Melayu Pasar, syair yang disisipkan Marco ke novelnya itu tergolong syair lagu kroncongan[11]. Lirik itu dinyanyikan bersama alunan lagu dan musik keroncong. Marco adalah salah satu saksi zaman ketika genre syair tengah mengalami masa kepopulerannya. Meski dalam kungkungan bentuk yang pakem, syair sebenarnya memberi ruang yang bebas untuk mewadahi berbagai topik dan tema. Saking bebasnya, banyak orang menulis syair secara kebablasan, tak tahu aturan. Sebagai misal, pada 1886 di Semarang, seorang warga Tionghoa peranakan, Ting Sam Sien menulis sebuah syair berbentuk iklan yang isinya berupa deretan bait dan larik berisi judul dan penjelasan singkat atas 40 buku yang dia jual[12]. Agar pembaca sekalian bisa membayangkan bagaimana kiranya syair iklan tersebut, mari simak salah satu contoh lariknya:

Die bawah ini saja membrita,

Pada sekalian pembatja kita,

Dari hal segala boekoe tjerita,

Harganja joega poen ada besrenta.

 

Dari hal dagangan itoe,

Harep pembatja priksa njang tentoe,

Saja terangken satoe persatoe,

Boekoe Sam Kok terseboet njang kesatoe.

Iklan berwujud syair. Peristiwa tersebut bisa dibaca sebagai bukti kedekatan masyarakat dengan syair. Syair begitu populis dan diterima banyak golongan. Lantaran ia dibaca banyak orang, maka ide untuk membuat iklan berwujud syair pun muncul. Untuk melihat lebih jelas kedudukan syair yang berkembang pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, agaknya perlu saya tambahkan uraian tentang bagaimana syair kala itu dilihat dan disikapi.

Syair memang bukan buah karya yang lahir secara asli dari rahim kebudayaan Nusantara. Bentuk asli syair berasal dari Arab[13]. Tradisi lisan yang hidup di kawasan Melayu dan Hindia membuat ia seolah disambut dengan tangan terbuka. Ia dalam perkembangannya diterima dan banyak disukai, terutama lantaran kesederhanaan strukturnya yang sangat mengedepankan persamaan bunyi di tiap akhir lariknya. Selain itu, kemunculan kapitalisme cetak juga cukup menyokong persebaran syair ke khalayak pembaca yang lebih luas. Koran dan buku menjadi kendaraan bagi syair mendarat di tangan para pembacanya.

Saking kondangnya, syair menjadi genre yang seolah tak memiliki batasan: ia bisa ditulis dengan jumlah larik yang begitu panjang dan diterbitkan ke dalam bentuk buku, terutama sebelum kapitalisme cetak mencapai puncaknya di Hindia Belanda dan membuat terbitan koran dan majalah berlimpah. Untuk itu wajar bila sebuah buku syair, misalnya, sanggup memuat ribuan larik dalam tiap judulnya. Fakta ini pula yang kemudian merangsang para pengarang untuk menyadur teks-teks bersejarah ke dalam syair, tidak melulu ke dalam bentuk roman, dan memaksimalkan bentuk dan isi syair untuk misi-misi tertentu.  

Pada 1905, misalnya, terbit sebuah syair yang menggambarkan sejarah organisasi perkumpulan Tionghoa peranakan di Hindia Belanda, Tiong Hwa Hwe Kwan.[14] Syair ini tak bercerita sepenuhnya fakta. Sebaliknya, ada batas yang kabur antara fakta dan fiksi meski upaya menghadirkan sejarah dalam teks syair terasa begitu dominan. Syair kemudian berubah menjadi genre yang terbuka untuk berbagai macam topik dan misi.

Meski demikian, bukan berarti tidak ada orang yang peduli atas kaidah dan ukuran syair. Kwee Tek Hoay adalah sosok yang dengan tegas menyampaikan ukuran-ukuran perihal keketatan estetika syair. Ada beberapa aturan main yang harus ditaati oleh penyair agar sebuah syair bisa dianggap bermutu tinggi. Selain persamaan bunyi di akhir larik, kesanggupan menata kata-kata dari berbagai bahasa ke dalam larik-larik syair yang rapi juga menjadi pertimbangan utama[15]. Kwee Tek Hoay yang pernah menjadi seorang redaktur koran kemudian dengan tegas menganggap syair yang tidak dikerjakan dengan baik wajib direvisi. Karya sastra bukan kitab suci yang tak bisa disunting, katanya.

Marco mengerti berbagai kaidah syair di atas, setidaknya dalam menata kata-katanya ia sanggup menghasilkan persamaan bunyi di akhir larik. Membaca Sair Rempah-Rempah, terlihat sekali gelagat Marco dalam menghadirkan bait-bait yang rapi dan konsisten, yaitu satu bait empat larik. Larik-larik tersaji pendek dan lugas, langsung ke maksud yang hendak dituju, seperti halnya pada bait berikut:

Kami memilih djalan jang teroes,

Tidak bengkok, tapi amat loeroes,

Tertulis dengan hoeroep jang bagoes

“Sama rapat,” dan papannja aloes

Terlihat bagaimana bunyi akhiran “oes” hendak dicapai: “teroes”, “loeroes”, “bagoes”, dan “aloes”. Bunyi akhir konsonan maupun vokal, semuanya tergarap dengan baik. Pada bait di atas, Marco tengah menceritakan tekad hatinya di jalan pergerakan. Hidup di pergerakan itu “loeroes” dan “bagoes”. Bait itu bernada optimis dan punya arah edukasi publik terkait keputusannya hidup di jalan pergerakan. Sementara itu, pada bait-bait syairnya, akhiran larik dengan bunyi vokal bisa disebut paling mendominasi, ini telihat pada bait di bawah ini:

Ajam berkoekoek seloeroeh desa

Tanda waktoe pagi soedah njata

Hawa dingin poen soedah terasa

Mata hari molai bertjahja

Seperti barusan saya singgung, dalam syair-syairnya terdengar dengan lantang suara-suara didaktis. Marco sadari sepenuhnya bahwa pendidikan itu persoalan ruwet di negara jajahan. Ia menuduh pemerintah kolonial tak pernah serius mengurusi pendidikan. Dalam salah satu artikelnya, Marco secara terbuka menyampaikan pandangannya atas kondisi pendidikan di tanah Hindia. Katanya, “Kalau kita pikirkan bahwa diseloeroeh Hindia ini ada barang 60 djoeta orangnja. Tentoe sahaja wadjibiah pemerentah dan bangsa partikulir mendirikan beriboe-riboe roemah sekolah dan haroes djoega diadakan beratoes-ratoes orang goeroe. Roepa-roepanja pemerentah tidak dapat memberi pengadjaran kepada sekalian ra’jatnja, karena ia…tak bersedia.”[16] Seruan untuk kemajuan pendidikan ada di larik-larik tulisan di koran: syair dan esai-esai politik.

Untuk itulah syair-syair Marco pantas disebut suara penebar tuntunan dan arahan di jalan pendidikan, pergerakan, dan politik. Kesadarannya atas situasi kolonialisme, yang menempatkan bumiputera berada di bawah perlakuan tak adil kolonial, membuat Marco harus menegaskan ini di syairnya.

Saya menduga, hal semacam itu tak semuanya dipahami oleh masyarakat bumiputera, yang lama-lama menganggap masa kolonial sebagai suatu kewajaran yang berasal dari mengakarnya mental inferioritas terjajah. Atas kebijakan kolonial yang dianggapnya membahayakan bumiputera, Marco memang sulit berpura-pura atau berdiam saja. Seperti  saat ia menulis reportase di koran, syairnya pun benar-benar menunjukkan sikapnya. Seperti pada petikan berikut:

Djangan selalu kita dihina,

Seperti boekan bangsa manoesia

Kita ini manoesia djoega,

Sama dengan si besar dan kaja

Melihat bagaimana Marco menulis syairnya, ia tampak sangat ingin bersetia pada bentuk. Padahal perlu kita ketahui bahwa tak setiap pengarang menulis dalam bentuk yang persis empat larik tiap baitnya. Banyak penyair lain yang memanfaatkan syair dalam bentuk larik yang memanjang, tak berhenti di larik keempat[17]. Syair adalah karya sastra, dengan demikian bersifat kreatif, dan karenanya membuka peluang bagi pengarang untuk menjadikannya laboratorium guna membuka kemungkinan-kemungkinan pengucapan dan bentuk yang lebih kreatif. Salah satu judul syair yang boleh dikatakan menonjol dan melebihi konvensi yang lazim kala itu ialah Siti Akbari karya Lim Kim Hok. Pada syairnya, saya bisa menemukan ada upaya untuk mencoba menghadirkan narasi yang lebih variatif. Lim Kim Hok bahkan memberi satu sapuan larik yang mengedepankan pola naratif yang lentur.

Pada waktu burung-burung baru tinggalkan sarang,

Yaitu pada waktu hari baru jadi trang,

Dalam Barbari sudah ada banyak orang

Yang berbangkit akan menjuwal atau membli barang

Pola narasi di atas dianggap “segar” pada masa itu, dan bisa dibandingkan dari situ bahwa Marco tak memaksimalkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dieksplorasi dari syairnya. Barangkali satu hal yang bisa menjelaskan ini ialah Marco melihat syair sebagai bagian dari laku politiknya. Lewat syair ia hendak menjejakkan pikiran-pikirannya, tanggapannya atas situasi kolonial yang kala itu tengah ia hadapi—inilah juga yang menunjukkan bagaimana Marco bersetia kepada bentuk. Kesetiaan ini bisa dilihat sebagai konsekuensi logis atas kecenderungannya yang hanya berfokus pada muatan syair, di situlah sebenarnya batas kreativitas Marco. Pada masa itu, syair memang seringkali ditulis dengan menunjukkan situasi dan keadaan yang tengah berlangsung. Ini terlihat pada bait awal bagian “Sama Rata dan Sama Rasa.”

Sair inilah dari penjara

Waktoe kami baroe dihoekoemnja

Di-Weltrveden tempat tinggalnja

Doe belas boelan poenja lama

Syair dengan begitu sangat erat kaitannya dengan peristiwa yang pengarang alami, atau hal-hal terkait situasi dan lingkungan yang pengarang amati. Dalam konteks ini, Marco sadar penuh bahwa ia harus hadir di dalam sajaknya, menyampaikan pengalaman-pengalamannya. Bahkan tak terkecuali tentang perjalanannya mengunjungi daratan Belanda selama beberapa bulan. Peristiwa bertemu orang Belanda di Belanda tentu berbeda dengan bertemu orang Belanda di Hindia Belanda. Di tanah penjajah, relasi yang muncul antara Marco dengan orang Belanda justru setara. Sebaliknya, di Tanah Airnya, ia dan sebangsanya dipandang sebagai manusia kelas dua oleh Belanda.

Kedatangan Marco ke Belanda memang memberi kesan mendalam bagi Marco, sebagaimana bisa dilhat dalam dua karyanya, yaitu Student Hidjo dan Sair Rempah-Rempah. Berbeda dengan pengisahannya di roman, pada syairnya Marco justru menceritakan tentang kegelisahannya hidup di tanah penjajah. Baginya, keberadaannya di sana justru nirfaedah.

Melihat kegelisahan Marco, Soewardi Soerjaningrat lantas membujuknya agar mau berlama-lama di Belanda. Di Belanda, Marco tentu bisa bekerja dan menambah ilmu pergerakan serta menajamkan pisau bahasa Belandanya yang konon masih kurang bagus.[18] Bujukan Soewardi ini pun tertuang di dalam syairnya di bab “Dari Negri Blanda”:

Soewardi dengan Raden Ajoenja,

Dia bersama sama tertawa,

Sebab mendengar saja berkata,

Dia mendjawab kepada saja:

 

“Kamoe bisa bekerdja di sini,

Boeat keperloean bangsa kami,

Ta’ perloe kamoe lekas kembali,

keboeroe-boeroe pergi Betawi.”

 

Mati hidoep sama sama kita,

Djaoeh sanak familie dan bangsa,

Terboeang djaoeh di negri Blanda,

Karena membela bangsa kita.”

Soewardi mengajak Marco tinggal lebih lama di Belanda dengan dalih pergerakan sekalipun di ranah yang berbeda. Perjuangan membela Tanah Air tak sepenuhnya harus berhadapan langsung di arena yang berhadap-hadapan. Soewardi memilih berjuang dalam pemikiran lewat perannya di Belanda, di jantung kolonialisme. Mendengar itu, Marco tetap bergeming, ia kukuh dan yakin tak ingin mengubah pendiriannya: cepat pulang ke Jawa. Ia merasa bangsanya di Hindia lebih membutuhkan kehadirannya lantaran tengah diancam bahaya kolonialisme yang kian mengisap. Marco tak betah lama-lama di Belanda, dan menjawab tegas tawaran Soewardi:  

Nee! Tidak saja mesti berangkat,

Poelang tanah Djawa dengan tjepat,

Kalaoe perloe saja berani nekat,

Menjerang kepada si khianat.”

Sekalipun tidak fasih, Marco bersikukuh memakai bahasa Belanda sebagai bagian dari siasatnya bersyair. Ia menempatkan bahasa sebagai piranti yang lentur, fungsional, dan tanpa beban. Dalam situasi kolonialisme, ketika bahasa belum menjadi satu entitas yang disepakati bersama, keputusan memilih bahasa sehari-hari pada masa itu tentu saja sangatlah politis.

Tidak hanya bahasa Belanda, Marco juga memaksimalkan penggunaan berbagai bahasa, yaitu Jawa, dan Melayu, secara ulang-alik, lepas tanpa beban, sebagaimana ia dengan enteng merecoki tata aturan kolonial yang dianggapnya “mengisap”. Bahkan jika kita menengok roman pertamanya, Mata Gelap, Marco juga dengan manasuka memasukkan diksi-diksi dari bahasa Sunda hingga Portugis.[19]

Pada saat bersamaan, kata-kata itu di mata kolonial justru punya efek yang sanggup membikin hati jengkel, geram, hingga marah—berdasarkan kesan inilah, Mrazek menyebut Marco sebagai salah satu pengarang dan wartawan yang sanggup mempertemukan antara pengemis dan borjuis melalui bahasa.

Mrazek menyebut Marco telah melakukan “pengucilan linguistik” lantaran kebiasaan Marco yang mencampuradukkan bahasa, mematah-matahkannya, sehingga akan terdengar begitu kasar di telinga kolonial[20]. Itu misalnya bisa kita lihat pada bait berikut:

Ini boekan pikiran Satrijo,

Jang berperang dengan boeto olo,

Tapi ini hatinja Pandito,

Waktoe dia di-Goewo Baroto

Tampak di bait itu kata “Satrijo”, “boeto olo”, “Pandito”, dan “Goewo Baroto” yang tak lain berasal dari bahasa Jawa. Marco mengikutkan penulisan teksnya sesuai pelafalan—dalam penulisan bahasa Jawa, dialek “o” biasanya ditulis “a” (satria, pandita, barata, dan sebagainya). Efek penulisan tersebut membuat larik syair tersebut menjadi terbaca lebih rapi dan harmonis. Pun dengan bahasa Belanda yang oleh Marco digunakan secara kreatif, dengan memperhatikan efek bunyi yang akan dihasilkan. Bait berikut menunjukkan kejelian Marco itu:

            Ja:”Trappen op wien het onder zich weet”

            Dan:”Likken al wie het boven zich weet”

            Itoe tabeatnja bangsa demit

            Of pendjilat yang mentjari doewit

Sampai di sini terlihat lebih utuh dan terang bagaimana Marco menghadirkan syairnya. Jika dilihat dari temuan Sapardi dalam penelitiannya, Marco bisa disimpulkan sepenuhnya menganut konvensi persyairan yang berlaku. Sapardi mendeteksi ada beberapa konvensi yang sangat lazim ditempuh oleh para pengarang syair semasa itu. Pertama, syair seringkali ditulis berdasar saduran cerita India dan Eropa. Kedua, dalam hal bahasa, diskursus kebahasaan tengah memanas dengan politik bahasa yang kian mengerucut sejak terbitan-terbitan Melayu Pasar dan bacaan liar bergeliat. Syair ibarat wadah yang memungkinkan semua bahasa terfungsikan di sana.

Selain itu, lantaran kuatnya tradisi lisan yang sudah lebih dahulu ada di tanah Hindia Belanda, syair menjadi sangat lisan dan biasanya menjadi ajang untuk menyampaikan pesan-pesan didaktis: para penyair benar-benar memanfaatkan syair sebagai alat edukasi atas nilai-nilai tertentu yang dipegang sang penyair. Terakhir, dalam syair lazim muncul pengakuan atau pernyataan dari pengarang yang ditujukan langsung kepada pembaca. Pengakuan itu bisa berupa permohonan maaf atas kurangnya ilmu, atau ketaksanggupan untuk menunaikan apa yang disampaikannya. Ini, misalnya, tergambar dalam salah satu larik di syair milik Marco:”Saja hanjalah berkata sadja/ Ta’ tentoe bisa melakoekannja.”   

Mengacu konvensi yang Sapardi kemukakan di atas, kentara betul Marco tipikal pengarang yang setia menyusun syairnya dalam bentuk yang paling lazim kala itu. Cara menyajikan tiap larik syairnya itu pun begitu lugas dan khas—karakter “suara” Marco, seperti halnya ketika kita membaca tulisan jurnalistiknya yang penuh satir, ejekan, dan diperkuat pula dengan sikapnya yang tegas, terasa pula di syair-syairnya.

Dalam urusan bahasa, Jawa dan Belanda berkelindan, seolah tidak ada lagi tendensi hierarki, tak ada bahasa yang derajatnya lebih tinggi satu di antara lainnya. Dalam syair-syair itu bahasa sudah ditundukkan di bawah konvensi estetika bunyi dan bentuk.

Di sisi lain, ini menunjukkan Marco memang tak berupaya untuk menjebol, melakukan satu upaya visioner dengan mencoba lepas dari konvensi. Alih-alih mencari terobosan, Marco justru mencoba berkubang dalam tempurung konvensi dan memanfaatkannya sebaik-baiknya. Untuk memperjelas sepak terjang Marco di rel persyairan, sebagai penutup bab ini, ada baiknya kita simak ucapannya di jurnal Hidoep, pada 1 Juni 1924 berikut ini:

Sebagai toean pembatja tentoe telah makloem, bahwa boekoe-boekoe itoe kami keloearken boekan menoedjoe kebagoesan bahasa, tetapi menoedjoe kebegoesan bangsa dan manoesia.[21]

 

Gairah Pada Sejarah

Ketika pada 1924 Marco akhirnya berhasil menulis sebuah babad, catatan sejarah, tentang bangsa Jawa dalam perspektif yang lebih berpihak pada bumiputera, para pembaca karyanya yang setia tentu tahu bahwa benih-benih tulisan semacam itu, sebenarnya sudah tumbuh sejak Sair Rempah-Rempah terbit pada 1918, yaitu pada bab “Botjah Angon”, “Djawijah”, dan “Badjak Laoet”. Marco menyadari bahwa sejarah harus dikonstruksi dalam perspektif sendiri, yang tak kolonialistik, tak bergantung pada penilaian dan pencatatan dari pihak Belanda. Baginya, narasi sastra adalah upaya merepresentasikan tanggapannya dalam melihat dan menilai berbagai peristiwa yang ia ketahui,[22] dengan begitu otomatis ketika menulis teks sastra persoalan sejarah pun tak lepas dari amatannya.

Naskah Babad Tanah Djawa, nama buku babadnya itu, memang tak sampai benar-benar selesai ditulis. Namun, dalam proses pengerjaannya, naskah itu disusun dengan metode penulisan sejarah yang ketat, layaknya para sejarawan modern bekerja. Marco merujuk pada sumber-sumber babad terdahulu, catatan perjalanan, buku-buku bertopik serupa yang telah terbit, dengan topik pembahasan yang dimulai sejak era Hindu di Jawa. Satu hal yang penting dicatat di sini: ia melakukan kritik sumber atas naskah yang ia rujuk.[23] Ini lantaran ada dilema pada diri Marco ketika ia menjumpai bahwa banyak referensinya berasal dari buku berbahasa dan ditulis oleh orang Belanda. Tak serta merta mengutip, ia justru selalu berpijak pada pembacaan kritis atas teks-teks tersebut. Dalam hal ini Marco punya keyakinan yang menarik perihal menyikapi referensi berbahasa asing, “Apabila kepandaian kita tjari dengan bahasa asing itoe telah tjoekoep, dan kita telah mempoenjai boekoe-boekoe jang perloe, boleh bahasa itoe laloe kita lempar.”[24]

Tak hanya naskah itu yang tak rampung Marco tulis, salah satu proyek agungnya yang lain, yaitu biografi tokoh-tokoh pergerakan yang tersingkir sebab pembuangan oleh pihak pemerintah kolonial, bernasib sama. Katanya, “Barangkali saat ini soedah waktoenja kita membikin boekoe peringetan tentang perdjalanan penoentoen-penoentoen Rajat Indonesia jang sama mendjadi korban mendapat hoekoeman boeang atau pendjara.[25]” Marco kali pertama menulis catatan biografis mengenai sosok Haji Misbach yang dibuang ke Manokwari. Ia kenal baik Haji Misbach, dan sadar bahwa sobatnya itu mesti tercatat, terdokumentasikan. Kedekatan Marco dengan Haji Misbach terjalin berkat hubungan jurnalistik. Ketika Marco menerbitkan Doenia Bergerak, Misbach adalah pelanggannya. Ketika giliran Misbach yang juga aktivis hendak menerbitkan Medan Moeslimin, Marco pun siap sedia membantunya.[26]

Tokoh-tokoh “penoentoen rajat” satu per satu kena ciduk. Jika tidak ada upaya mencatat ketokohan mereka, bisa dipastikan keteladanan dan jasa mereka bagi Hindia bakal terlupakan. Marco pun memulai niat mulia itu, meski pada akhirnya catatan biografis tentang Haji Misbach itu menjadi satu-satunya yang selesai ia tulis. Medan pergerakan lebih mengundangnya bergelut di tataran aksi massa. Misinya pada kerja kesejarahan pun tersendat.

Upaya Marco mencatat seperti yang sudah saya singgung barusan itu punya landasan keberpihakan pada sejarah. Tak mengherankan bila pada Sair Rempah-Rempah gairah itu terasa begitu melimpah-ruah. Namun, sebelum kita melangkah lebih jauh menapaki bagaimana nalar sastra berkelindan dengan kesadaran atas sejarah dalam syair-syair Marco, agaknya akan lebih elok jika kita tengok sejenak ke belakang hubungan antara sejarah dan sastra dalam lintasan masa lalu, yaitu sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, untuk melihat di mana posisi Sair Rempah-Rempah itu, terutama jika dilihat sejak kapitalisme cetak memberi pengaruh pada pembesaran misi keberaksaraan di tanah Hindia.

Sejak Politik Etis mulai digemakan di tanah terjajah, produksi percetakan dan persebaran buku bacaan mulai mendapat tatapan dan perhatian serius. Jika hendak dilihat secara runtut, terutama dari segi penerbitan teks-teks cerita, bisa disebut percetakan dan penerbitan milik peranakan Eropalah pemulanya, kemudian Tionghoa, baru disusul bumiputera. Sebagai gambaran, pada kisaran tahun 1858 sampai 1900 saja tercatat ada sekitar 14 terbitan berkala yang semuanya dimiliki dan dikelola oleh peranakan Eropa. Namun, harus dicatat pula di sini bahwa pada 1888-1891 juga sudah pernah terbit surat kabar Sinar Terang milik Yap Goan Ho. Selain fakta keduanya yang membuktikan peran Tionghoa dan Eropa peranakan, ada pula tokoh Marah Soetan, penulis cerita yang karangannya, baik berupa syair maupun reportase, banyak tersiar di koran dan majalah pada masa yang sama.[27]

Dalam ranah penulisan teks sastra yang menekankan pada nilai-nilai sejarah, tiga nama tokoh berikut sudah selayaknya tak lupa saya sebut: F.H. Wiggers, H. Kommer, dan F. Pangemanann. Dua nama pertama adalah tokoh Eropa peranakan, sedangkan yang terakhir bumiputera asal Minahasa. Mereka berjasa dalam “mendorong dan mengarahkan penulisan-penulisan ceritera asli dengan latar belakang sejarah Indonesia”.[28] Mereka melakukan kerja-kerja kepenulisan, dari menulis berita, mengarang cerita, hingga menyadur. Cerita-cerita dengan rujukan kondisi sosial di Hindia menjadi perhatian mereka. Pangemanann, misalnya, menulis Tjerita Si Tjonat dengan tokoh bandit yang hidup di Batavia. Lalu H. Kommers menulis Tjerita Njonja Kong Hong Nio yang merekam kehidupan bangsawan pribumi.

Berbeda dengan dua sejawatnya, Wiggers punya peran lebih lantaran ia berhasil menerjemahkan naskah penting berjudul Van Slaaf tot Vorst karya Nicolina Maria Cristina yang tenar dengan nama pena Melati van Java—Wiggers mengalihbahasakan cerita ini menjadi Dari Boedak Sampai Djadi Radja. Cerita ini saya anggap penting lantaran ia ditulis oleh seorang peranakan Eropa, tetapi mengambil inspirasi dari tokoh Hindia, yaitu Untung Suropati, yang berontak melawan kolonial Belanda. Lebih dari itu, identitasnya sebagai penulis Eropa peranakan, membuat ia punya empati yang besar kepada tokoh Untung.[29] Keputusan Wiggers menerjemahkan roman itu perlu dilihat sebagai suatu bentuk keberpihakan. Ia telah menghadirkan ke pembaca bahasa Melayu satu contoh roman era kolonial yang menyoroti bumiputera secara lebih setara.

Pada masa yang kurang lebih sama, keterlibatan Tionghoa peranakan sangat penting untuk dilihat. Mereka adalah perantau yang kemudian menetap di tanah Hindia dan seiring waktu berupaya mereka ulang konstruksi budaya dan lingkungan tempat tinggal mereka semirip mungkin ke dalam bentuk teks-teks sastra Melayu Pasar.[30] Atas dasar itulah upaya menghadirkan bacaan-bacaan roman beralaskan sejarah Tionghoa menjadi bisa dipahami. Roman sastra berbahasa Melayu Pasar bergerak di jalan penyaduran dan terus berkembang menjadi diskursus yang tak bisa dipandang remeh. Untuk mengambil contoh terbaik ialah penerbitan karya sastra sejarah Tionghoa klasik, di antaranya Sam Kok atau Roman Tiga Kerajaan karya Lu Guanzhong, Song Kang atau Batas Air karya Shi Naian, dan See Yoe atau Catatan tentang Perjalanan ke Barat atau Kera.[31] Roman Sam Kok sendiri cukup istimewa, bahkan beroleh tanggapan yang sangat baik dari pembaca sekaligus memberi kesan mendalam bagi kalangan Tionghoa. Ini terbukti dari temuan Claudine Salmone yang melihat banyak lukisan yang terinspirasi dari roman itu di dinding kuil di Jawa.[32]     

Berdasarkan sejarah, berpijak pada peristiwa—pandangan semacam inilah yang menjadi acuan lazim bagi sebagian pengarang masa itu. Ia menjadi suatu kewajaran. Dalam novel Mata Gelap Marco, misalnya, kita jumpai subjudul “Kisah jang Soenggoeh Kedjadian di Tanah Djawa.” Ini bentuk nyata atas perwujudan dari pemahaman bahwa sastra selalu berpijak pada realitas. Dengan perkataan lain, proses penulisan karya sastra tak selalu berangkat dari imajinasi belaka, tetapi justru mengambil fakta sebagai landasan.[33] Dari runutan di atas, semakin terlihat jelas relasi sastra dan sejarah dalam kaitannya dengan terbitnya Sair Rempah-Rempah. Teks-teks yang muncul sebelum dan semasa Marco mulai berproses kreatif sangat besar kemungkinan membentuk pemahamannya dalam mendudukan posisi sastra dan sejarah. Marco mendapat banyak preseden yang mengilhaminya untuk menulis teks sastra bermotif serupa.  

Pada karya sastranya itu, bisa kita rasakan betapa menggebu gairah Marco atas sejarah tercurah. Ia tak abai pada realitas yang kala itu tengah terjadi. Pada Sair Rempah-Rempah, itu termanifestasikan sejak ia memilih judul. Jika kita baca secara saksama, tak kita jumpai satu bait pun dalam syairnya yang mencantumkan kata rempah-rempah, atau setidaknya menyinggung secara eksplisit persoalan rempah-rempah. Ini tentu agak unik, meski sangat bisa dirunut arah penjudulan tersebut.

Pertama, bab-bab syair dalam Sair Rempah-Rempah sudah mengalami respons “keras” dari pemerintah kolonial Belanda sejak kali pertama diterbitkan di koran, tepatnya jauh sebelum naskah tersebut disusun dan diterbitkan menjadi buku. Akan terkesan seperti menantang perang secara terbuka dan terang-terangan jika judul yang dipilih eksplisit berisi kritik. Kedua, pemilihan frasa “rempah-rempah” secara denotatif mengesankan itu adalah buku syair biasa, dengan begitu ia bisa sedikit lebih mulus untuk beredar dan sampai ke tangan pembaca. Ini mengingat pada 1918 Marco sudah mendapat sorotan dari pihak kolonial karena dianggap sebagai tokoh yang tulisan-tulisannya mengganggu ketertiban. Ketiga, frasa “rempah-rempah” memuat memori kolektif masyarakat Hindia tentang kemasyhuran rempah-rempah pada masa lalu. Secara semiotik, Marco tengah mengajak publik untuk menyadari “kebesaran” bangsanya melaui frasa tersebut.     

Frasa rempah-rempah ini sendiri memang bersejarah. Penjudulan buku itu pun bisa dimaknai secara historis-politis. Pembacaan Marco atas sejarah Nusantara yang mendalam dan merentang jauh sejak zaman Hindu, membuat ia sadar atas posisi dan hubungan rempah-rempah dengan sejarah kolonialisme. Pada masa lalu, rempah-rempah itu pukau sekaligus petaka. Ia memukau dan dianggap menyimbolkan kekayaan Nusantara, yang sebab itu menjadi semacam ingatan kolektif bersama bangsa ini. Berkatnya pula Nusantara ibarat menjadi poros baru dalam peta perdagangan global. Kapal-kapal asing berebut singgah ke Nusantara. Catatan dan buku petunjuk perjalanan ditulis kaum pendatang dari Eropa demi memuluskan birahi mereka pada rempah-rempah.[34]

Sayang sungguh sayang, lantaran rempah-rempah pula orang-orang asing merisak dan merusak Nusantara. Satu contoh nyata, Belanda datang beserta VOC-nya dengan jalan kekerasan dan politik pecah belah demi menguras habis-habisan sumber rempah-rempah.[35] Di tangan VOC kejayaan Nusantara atas rempah-rempah itu pun menjadi milik masa lalu, dan kolonialisme Belanda layak ditunjuk hidungnya sebagai penyebab segala petaka itu. Kebijakan mereka yang imperialistik membuat ekosistem ekonomi rempah-rempah menjadi bubrah. Keputusan Marco menjuduli Sair Rempah-Rempah dengan begitu punya rujukan sejarah yang sahih.

Tentu saja tak hanya pada urusan judul semata. Pada Bab “Botjah Angon”, Marco menyuguhkan sebuah alegori, sebuah perumpamaan yang menceritakan tentang kisah tokoh bernama Podo bersama kerbaunya. Cerita ini terkesan sederhana tetapi memuat simbol-simbol politis. Kerbau itu simbol bumiputera. Semaoen pernah menjelaskan, kerbau menggambarkan simbol kerakyatan, dekat dengan citra bumiputera. Kerbau juga punya karakter pendiam tetapi sanggup mengamuk dan membahayakan siapapun yang mengganggunya. Di kalangan aktivis muda kala itu, kerbau punya pukau simbolik: ia pernah dijadikan simbol organisasi pergerakan politik dan disepakati sebagai ikon perlawanan.[36]

Cerita si Podo dan kerbaunya berlanjut. Di hadapan mereka berdua, ada sekawanan hewan buas yang siap beradu kekuatan. Kedatangan kerbau dianggap ancaman bagi hewan buas yang dipimpin oleh sesosok “bidadari”. Kerbau hendak mengambilalih hutan yang telah dikuasai oleh sekawanan hewan buas itu. Bagi kerbau, hutan itu warisan leluhur yang telah dirampas hewan buas, sehingga sudah menjadi kewajibannya untuk merebutnya kembali. Debat sengit tak terelakkan. Sang “bidadari” pemilik hutan ngotot, merasa telah membeli hutan itu dari nenek moyang Podo.

“Tempat ini soedah kita beli,”

“Dari nenekmoe jang soedah mati,”

“Dengan oeang dan bebrapa djanji,”

“Begitoelah kata Bidadari.”

Pernyataan itu dianggap tak sesuai dengan apa yang Podo ketahui. Podo sang “botjah angon” itu justru kian menegaskan pendiriannya,

Berkata Tjah Angon dengan keras:

“Ini otanlah doeloe dirampas,”

“Oleh nenekmoe jang mata boeas,”

“Sekarang kita akan membalas!”

Bait itu keras dan penuh amarah! Dongeng hewan ini seolah hanya bercerita tentang konflik antara pemilik hutan dan seorang “botjah angon” meski sebenarnya punya makna mendalam. Pertentangan itu berkaitan tentang siapa pemilik sah hutan yang “banjak roempoetnja” itu. Publikasi syair ini di kala Hindia tengah dikungkung kolonialisme tentu memunculkan tafsiran-tafsiran pelik. Hutan itu tanah Hindia dan Podo itu bumiputera. Percekcokan di atas mengarah ke sejarah pendudukan Hindia oleh Belanda. Dalih hutan telah dibeli menjadi pengesah “bidadari” berhak menguasainya. Imajinasi bahwa “bidadari” itu putih, melambangkan sosok Belanda dan merujuk pada warna kulit mereka. Kedatangan Belanda bermula transaksi perdagangan yang kemudian beralih ke politik penguasaan. Alegori itu punya misi mulia, mengenalkan situasi Hindia ke kalangan pembaca bumiputera agar sadar atas sejarah praktik kolonialisme.

Masih dalam semangat menarasikan sejarah kolonialisme, pada bab “Badjak Laoet” Marco membawa syairnya pada penggambaran kisah tentang orang-orang asing yang singgah ke tanah Jawa. Istilah “badjak laoet” memang punya rujukan yang jelas ke masa lalu. Marco menjelaskan kedatangan bajak laut itu memang punya misi kriminal, yaitu merampas, merompak, dan menjarah. Pada bait pembuka syairnya, Marco langsung menggambarkan watak bajak laut tersebut:

“Ha! Ini tanah bagoes sekali,

Soedah tentoelah kita diami,

Djalan mana jang kita laloei,

Boeat merampasi tanah ini!”

 

Begitoe berkata badjak laoet,

Melihat tanah toemboeh djoewawoet,

Jang bisa membikin kenjang peroet,

Dan joega bisa membikin gendoet.

Bajak laut itu datang bermisi “merampasi” tanah dan mencari “kenjang peroet”. Penggunaan frasa “tanah toemboeh djoewawoet” tentu saja mengacu ke tanah Jawa, seperti disinggung Marco dalam Babad Tanah Djawa. Di situ, Marco menyebut penamaan Jawa itu salah satunya berasal dari catatan sejarah bahwa dulu di Jawa banyak ditumbuhi tanaman jewawut. Sementara itu dalam konsep hukum formal, bajak laut selalu berkonotasi dengan aktivitas ilegal lantaran tak memiliki legitimasi hukum dan tergolong sebagai tindak kejahatan kemanusiaan.

Upaya Marco memilih cerita bajak laut sangat mungkin lantaran ia menganggap Belanda termasuk dalam golongan itu. Asumsi Marco dalam syairnya bukan suatu kekeliruan. Ekspansi Belanda ke wilayah Nusantara dengan kapal-kapalnya yang juga tak luput dari tindakan kekerasan adalah bukti sahih bahwa perbuatan itu layak dilabeli aksi pembajakan. Apalagi setelah politik pendudukan dilangsungkan, Belanda juga mulai melancarkan aksi-aksi kolonialisme dan imperialisme, yaitu melalui penguasaan pengaruh di bidang politik, agama, dan ekonomi.[37]

Selain melalui alegori, pada syairnya terbaca pula secara eksplisit bagaimana Marco menyuarakan sikap terhadap Belanda. Keputusan hidup di pergerakan memang sudah bulat sempurna, meski hidup dalam kondisi semacam itu jelas membuat Marco tergencet sana-sini. Apalagi tiap ia bereaksi terhadap satu persoalan seperti ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial, ganjaran berupa pemenjaraan seringkali tak terelakkan. Namun, ia tak menganggap ganjaran itu sebagai hal yang mesti disesali. Dalam diri Marco sudah bersemayam sebuah keyakinan tentang kapan sebaiknya menempatkan diri menjadi “satrijo” dan kapan berpikiran sebagai “pandito”. Katanya,

Baik soedara berhati doea,

Batin Pendito, lahir satrijo,

Waktoe perang berhati Satrijo

Kaloek kalah kalah berhati Pandito

Larik itu menjelaskan posisi Marco dalam bersikap di jalur politik pergerakan. Satria mesti bermental berani: berani bicara, berani melawan, berani menerima konsekuensi. Ketika sudah terjun di padang pertarungan, satria pantang untuk mundur. Sedangkan sebagai “pandito”, ini menyimbolkan sikap Marco ketika pada akhirnya ia harus berhadapan dengan kenyataan yang pahit, seperti harus “kalah” lantaran dijebloskan ke penjara gara-gara tulisan-tulisannya itu.

Bagi Marco, pengibaratan sebagai “pandito” itu solusi dalam menerima dinamika di dunia pergerakan. Ini dibuktikan dengan produktivitas Marco justru ketika ia dibui—ia berhasil  menelurkan karya legendarisnya, yaitu Student Hidjo, di sana. Selain itu, ketika kemudian Marco harus undur diri dari pergerakan untuk sementara waktu demi menata kembali pikiran dan strateginya, ia justru merancang Babad Tanah Djawa yang ditulisnya semasa ia menyendiri di Salatiga.

Sikap semacam itu tentu bukan tanpa alasan. Marco itu pembaca Jawa, menafsirkan pemikiran dan kebijaksanaan orang-orang Jawa. Menjadi satria sekaligus pandita adalah laku bijak hasil pengendapannya sebagai orang Jawa. Apalagi pada masa kolonialisme: zaman tengah bergerak di antara “goncangan” dan reaksi. Pada awal abad ke-20, modernitas mulai menyala terang di satu sisi, sedangkan semangat untuk menjadi manusia merdeka yang lepas dari penjajahan mulai bersemi di sisi lain. Godaan pada diri kaum bumiputera tentu bergeliat dan bergejolak. Terlena pada keadaan atau bangun dan bergerak melawan adalah pilihan berisiko. Sikap awas dan waspada Marco dalam menghadapi zaman bisa dirunut melalui petikan syairnya berikut ini:

RONGGO WARSITO telah berkata

Didalam abadnja orang gila

Siapa jang tidak toeroet gila

Akan terserang hidoep sengsara.    

Nama berhuruf kapital—berdasarkan versi asli Marco—itu tak lain Raden Ngabehi Ronggowarsito alias Raden Bagus Burhan. Ia lahir pada 1802 dan dikenal luas sebagai pujangga Jawa pamungkas yang piawai meramal. Petikan syair di atas juga merujuk pada “ramalannya” yang paling kondang dan paling diingat publik. Bait tersebut merujuk ke Serat Kalatidha yang saking tenarnya terlalu sering dikutip orang-orang di Jawa, sejak era Marco hingga kini oleh para pejabat dan politikus. Nasihat dan petuah dalam serat-seratnya menyampaikan pesan agar manusia pada masa depan lebih eling lan waspodo.

Merujuk pada syair di atas, saya artikan Marco tentu paham karya ketokohan Ronggowarsito sebagai pujangga Jawa. Sevisi dengan pandangan Marco tentang sejarah, karangan Ronggowarsito yang berjudul Paramayoga layak dipandang sebagai upayanya dalam menafsir dan merekonstruksi sejarah Jawa, sekaligus mengadakan perbandingan atas berbagai teks referensi sejarah yang ada pada masa itu. Ronggowarsito sendiri mengaku menulis Paramayoga dengan berangkat dari beberapa teks yang ia baca, di antaranya Pustaka Darya dari India, Miladuniren dari Turki, Salsilatulquyub dari Sri Lanka, dan sebagainya.[38]

Pembacaan atas literatur sejarah itu kemudian memunculkan satu hamparan pemaknaan yang subtil dan visioner tentang Jawa, sehingga tak mengherankan bila dalam pembacaan yang lebih mutakhir karya Ronggowarsito itu dianggap mengandung unsur-unsur filsafat sejarah.[39] Marco mengajak pembaca mengingat Jawa dalam matra ketokohan dan ketenaran petuah bijak Ronggowarsito. Ramalan itu justru memberi preseden bagi Marco untuk “meramal” nasib perjuangannya di pergerakan melalui syair yang ia tulis. Dalam bara dan api perjuangan merebut kemerdekaan, Marco mencatat sendiri kemungkinan paling ekstrem dalam perjalanan hidupnya sebagai tokoh pergerakan dan aktivis antikolonial. Mari kita simak “ramalan” itu:

Orang mentjari kemardika’an,

Ta’dapat pangkat dan kekaja’an,

Tapi sering mendapat hoekoeman,

Dan achirnja djoega kematian

Tujuh tahun setelah Marco menulis syair itu, perlawanan kaum kiri terhadap Belanda mencapai titik membara. Pada 1925, terjadi pemberontakan kaum komunis di Jawa dan Sumatera, dan Marco membersamai gelombang perlawanan itu yang menyebabkan ia diganjar pembuangan ke tanah neraka Boven Digoel. Pada 1932, di sanalah Marco memejamkan matanya untuk yang terakhir kali[40]. Ia sudah “meramal” nasibnya kelak bakal seperti apa, dan ia tentu tak kaget dengan akhir perjalanannya itu. Ia tak pernah kalah atau menunda kekalahan. Jalan hidupnya telah ia tulis sendiri di syairnya. Ia tahu pasti betapa tak ada kemerdekaan yang datang cuma-cuma.

Lewat Sair Rempah-Rempah Marco telah memberikan salah satu gambaran yang cukup siginifikan tentang bagaimana sebuah syair pada era pra-Indonesia ditulis dan “dimainkan” perannya. Marco sebagai seorang penyair pada kenyataannya memang tak sanggup melampaui pakem konvensi, dan dengan begitu ia bisa dibilang tak melakukan pendobrakan atas bentuk. Ia menggelinding di rel yang sudah ada. Namun, hal ini bisa dimengerti lantaran kepentingan Marco atas syair bukanlah pada bagaimana menjebol konvensi itu.

Sebaliknya, Marco lebih memainkan bentuk itu sebagai kendaraan untuk menebarkan gagasan-gagasannya: dari edukasi, reaksi, hingga subversi. Ia ingin mengedukasi kalangan bumiputera yang menurutnya masih belum mengerti persoalan mendasar dari kolonialisme. Lewat syairnya pula Marco mencoba bereaksi dengan berbagai persoalan dan peristiwa yang kala itu terjadi di tanah Hindia. Pada saat yang sama pula, Marco secara terbuka mencoba mensubversi wacana kesejarahan yang pada masa itu begitu terpusat pada cara pandang kolonial. Melalui syairnya Marco mencoba menawarkan satu perspektif tentang bagaimana sejarah dipahami dan diletakkan dalam diskursus karya sastra, terutama untuk melihat diri dan bangsa dalam posisi sang pemandang, bukan sebagai yang dipandang.

[1] Marco Kartodikromo, Sair Rempah-Rempah (Semarang: Penerbit Beruang, 2019).

[2] Yoseph Yapi Taum, Diskursus Bacaan Liar: Kajian Terhadap Dua Sastrawan Liar Dalam Periode 1900-1933 (Jurnal Penelitian. Volume 17, No.2, Mei 2014, hal.130).

[3] Pada masa akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, istilah syair dan pantun sangat biasa dipertukarkan secara bebas. Selain itu, secara penulisan juga berubah-ubah: ada yang memakai “sjair”,”sja’ir”, dan “sair”. Di esai ini, penulis menggunakan syair, tetapi untuk penyebutan karya Marco sesuai dengan yang tertulis di naskah asli, yaitu “Sair Rempah-Rempah”.   

[4] Sutan Takdir Alisjahbana, Puisi Lama, (Jakarta: Dian Rakyat, 1985, hal.47).

[5] Dosen-dosen saya di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro, sudah menyinggung topik seputar bacaan liar, sastra Melayu Pasar, dan menyilakan mahasiswanya jika hendak meneliti karya sastra pada periode tersebut.

[6] Yoseph Yapi Thaum, Sastra dan Politik: Representasi Tragedi 1965 dalam Negara Orde Baru (Yogyakarta: Sanata DharmaUniversit Press, 2015, hal.18).

[7] Melani Budianta, Budaya, Sejarah, dan Pasar: New Historicism dalam Perkembangan Kritik Sastra (Susastra 3, Volume 2, Nomor 2, 2006, hal.3-18.

[8] Yoseph Yapi Thaum, Sastra dan Politik, hal.19.

[9] Sapardi Djoko Damono, Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan: Sebuah Catatan Awal (Bandung, Penerbit Remaja Rosdakarya-Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2004, hal.29)

[10] Marco Kartodikromo, Mata Gelap: Kisah yang Sungguh Terjadi di Tanah Jawa (Semarang: Penerbit Beruang, 2021, hal.10).

[11] Sapardi Djoko Damono, Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan, hal.48.

[12] Claudine Salmon, Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa (Jakarta: KPG, 2010, hal.62).

[13] Sapardi Djoko Damono, Puisi Indonesia Sebeum Kemerdekaan, hal.7.

[14] Claudine Salmon, Sastra Indonesia Awal, hal.290.

[15] Sapardi Djoko Damono, Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan, hal.47.

[16] Sinar Hindia, 19 Agustus 1918.

[17] Simak Jan Rusconi, Sja’ir Kompeni Welanda Berperang Dengan Tjina, H. Veenman & Zonen – Wageningen, 1935.

[18] Takashi Shiraisi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (Jakarta: Grafiti, 1997, hal.110).

[19]Baca keterangan  Koesalah Soebagyo Toer dalam Marco Kartodikromo, Mata Gelap (Jakarta: Jaker, 2015).

[20] Rudolf Mrazek, Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan nasionalisme di Sebuah Koloni (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, hal.46-57).

[21] Agung Dwi Hartanto, Karya-Karya Lengkap Marco Kartodikromo: Pikiran, Tindakan, dan Perlawanan (Jakarta Pusat: I:Boekoe, 2008, hal. 245).

[22] Agus Sulthon, Konvergensi Identitas Mas Marco Kartodikromo: Proses Membingkai Narasi Sastra dalam Gerakan Sastra (Jurnal Bahasa, Volume 11, edisi September 2021, hal 3-4).

[23] Agung Dwi Hartanto, Karya-Karya Lengkap Marco Kartodikromo, hal.74.

[24] Sinar Hindia, 19 Agustus 1918.

[25] Hidoep, 1 September 1924.

[26] Agung Dwi Hartanto, Karya-Karya Lengkap Marco Kartodikromo, hal.78.

[27] Pramoedya Ananta Toer, Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia (Jakarta: Hasta Mitra, 1982, hal.6-7).

[28] Razif, Bacaan Liar: Budaya dan Politik pada Zaman Pergerakan (Semarang: Penerbit Beruang 2021, hal.15-18).

[29] Dick Hartoko, Bianglala Sastra: Bunga Rampai Sastra Belanda (Jakarta: Djambatan, 1979, hal.142-143).

[30] Claudine Salmon, Sastra Indonesia Awal, hal.121.

[31] Henri Chambert-Loir, Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, Jilid 1, (Jakarta: KPG, 2021, hal.207).

[32] Claudine Salmon, Sastra Indonesia Awal, hal.88.

[33] Yoseph Yapi Thaum, Diskursus Bacaan Liar, hal.133.

[34] Fadly Rahman, Negeri Rempah-Rempah: Dari Masa Bersemi Hingga Gugurnya Kejayaan Rempah-Rempah, Patanjala, Vol.11, No.3, September 2019, hal.356-358

[35] Fadly Rahman, Negeri Rempah-Rempah, Hal.360.

[36] Lihat Hendri F. Isnaeni, “Merah Putih, Kerbau, dan Banteng” (Historia.id, 18 Desember 2014). Merah Putih, Kerbau, dan Banteng – Historia

[37] A.B. Lapian, Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX (Depok: Komunitas Bambu, 2009: 117-118).

[38] Dian Widiyanarko, Unsur-Unsur Filsafat Sejarah dalam Pemikiran R.Ng. Ronggowarsito, Jurnal Filsafat, No.14, No.1, 2004, hal 37.

[39] Idem, hal 38.

[40] Henri Chambert-Loir. Sastra dan Sejarah: Tiga Belas Karangan (Jakarta: KPG-Forum Jakarta-Paris, 2018)

Esai30 April 2022

Widyanuari Eko Putra


Widyanuari Eko Putra bermukim di Demak. Beberapa esai dan resensinya pernah dipublikasikan di Suara Merdeka, Jawa Pos, Koran Jakarta, Tribun Jateng, Republika, Koran Tempo, Kompas, dan majalah Basis. Pada 2014, ia berkesempatan mengikuti Lokakarya Kritik Seni Rupa & Kurator Muda Indonesia, Dewan Kesenian Jakarta dan Ruang Rupa, dan pada 2020 mengikuti program Sastrawan Berkarya ke Daerah 3T di Kepulauan Aru, yang diadakan oleh Kemendikbud. Buku termutakhir yang telah ia tulis: Yang Tinggal Hanyalah Kata: Pujian dan Kutukan untuk Puisi Koran (2020); Bertandang ke Dobo: Catatan Perjalanan (2021), dan Penebar Rayuan: Iklan Rokok di Majalah Tahun 1990-an (2022). Selain bekerja di Universitas PGRI Semarang, kesibukannya sekarang ialah terlibat di Penerbit Beruang, Semarang, dan berkuliah di jenjang pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro.