Erotika (di) Indonesia: Sedikit Catatan

Ilustrasi (Sulaman) oleh N. Putri

Erotika—kisah-kisah yang memberi tekanan istimewa kepada adegan seks dalam cerita, yang terkadang disebut, tanpa argumen yang pasti, “pornografi”—selalu punya hubungan yang ambigu dengan sastra dan masyarakat.

Erotika punya pretensi “realisme”. Ia sering melihat diri sebagai karya yang, bahkan dalam taraf yang sangat imajinatif, mengklaim bertolak dari pengalaman atau peristiwa yang “sebenarnya”. Motifnya mungkin merepresentasikan, atau menggugat, mungkin mencemooh,  konstruksi sosial yang ada. Tetapi pada saat yang sama apa yang seksual di dalam erotika justru berjarak dari hidup—seperti sebuah kebun binatang yang ingin menyajikan alam yang liar tapi sesusungguhnya hanya sebuah reduksi.

Dengan kata lain, ada persoalan representasi:  bagaimana hubungan erotika dengan kenyataan, dan bagaimana pula ia menceritakannya.  

Apa yang disebut pornografi dengan sendirinya terkait dengan apa yang tabu. Ia selalu subversif. “There is no pornography without secrecy”, kata D.H. Lawrence, penulis erotika termasyhur Lady Chatterley’s Lover. Maka penting melihat peran bahasa dalam erotika—bahasa yang umumnya dilihat sebagai alat komunikasi. Dengan catatan: bahasa dalam erotika tidak hanya sarana yang bisa dipisahkan dari tubuh narasi; ia juga bahan utama, yang bertaut dengan sejarah sosial teks. Ia mengungkapkan, tapi juga menutup. Ia mencerminkan kesepakatan sosial tentang apa yang scene dan obscene, tentang keterus-terangan dan kerahasiaan, apa yang patut diungkapkan dan apa yang tidak. “Kesepakatan” di sini tentu saja problematis. Sebab interaksi manusia dalam bahasa dan dengan bahasa mengandung sebuah negosiasi, di celah-celah kekuasaan, bahkan pemaksaan.

Dalam kondisi bahasa itu, erotika dalam karya tulis Indonesia, khususnya di masa kini, lahir dan mati  setengah jalan.

Harus saya segera tambahkan bahwa pengetahuan saya tentang erotika di Indonesia sangat terbatas. Maka saya hanya akan menelaah sepotong saja dari lanskap yang luas di tengah-tengah kita: cerita-cerita yang ditulis seseorang (atau beberapa orang) yang memakai nama “Enny Arrow,” khususnya yang beredar dalam masa terakhir.

Saya memilih karya Enny Arrow sebab cerita-cerita ini tampaknya dikenal luas. Karya-karya itu beredar, sekarang dalam bentuk digital, sebagai buku-buku tipis yang tidak sampai 100 halaman. Dari beberapa informasi, saya tahu mereka jadi bacaan “cabul” setidaknya dua generasi mutakhir kota-kota besar, sejak 1980-an—meskipun tiap generasi mungkin berbeda “Enny Arrow”-nya.  

Dalam tiap cerita, kita menemui narasi yang lancar, paragraf-paragraf pendek, dengan alur yang jelas. Tak ruwet dan tak bertele-tele. Prolog dan epilog  hanya sekadarnya, tak pernah lebih dari dua halaman. Cerita tampak ingin lekas-lekas memasuki pokoknya: adegan seks, umumnya perzinahan. Narasi terpusat penuh pada adegan persetubuhan yang diceritakan dalam bagian demi bagian—meskipun nyaris tanpa suspens, tanpa progresi. Tiap adegan dimaksudkan sangat seru dan dipaparkan transparan. Tapi dengan kosakata yang terbatas, niat transparansi itu terasa hanya sampai permukaan. Yang cabul tak sepenuhnya dilanjutkan. Yang erotik praktis hanya setengah jalan.

Jika kita baca beberapa judul, kita segera akan menemukan pola cerita yang mirip satu sama lain. Karena Euro 2020, Anissa Selingkuh, tak jauh berbeda dari Skandal Zarina, Istri Pemalu.  Hubungan seks yang terjadi umumnya antara seorang isteri dengan seorang teman suami. Sang istri cantik dan punya tubuh menarik—andai dideretkan, mereka bakal seperti manekin di etalase toko pakaian;  sang suami baik hati, tapi naif dan  secara seksual tak memuaskan; sedang teman yang jadi pasangan seks, gagah, muda, umumnya pandai mencumbu, dan punya alat kelamin berukuran besar (tanpa dideskripsikan secara rinci, tanpa perumpamaan) yang bisa bertahan lama keras dalam ereksi. Proses rangsangan tak pernah panjang dan rumit. Kesepakatan perzinahan terjadi hanya dalam beberapa puluh menit, tanpa jatuh bangun dan hilang timbul, meskipun sebelumnya sang perempuan digambarkan judes, pemalu, sopan. Tak ada konflik.

Adegan selalu di ruang tertutup—di kamar di rumah sendiri, dan kadang-kadang di ruang kantor atau di sekolah. Tak pernah di mobil, atau di pantai, atau di tempat umum seperti taman. 

Tak ada orgi:  tokoh lelaki selalu tunggal, meskipun—seperti dalam Perjakaku Direbut Guru Jude—ia  bisa bersetubuh dengan lebih dari satu perempuan dalam satu adegan. Tak ada sado-masokhisme; bahkan tak ada dorongan dan imajinasi tentang itu. Tak ada kekerasan—bahkan dengan tangan dan gigi juga tidak. Tak ada instrumen tambahan, misalnya tali, ikat pinggang, borgol, penutup mata  dan cambuk. Tak ada yang brutal; tak ada seperti yang kita dapatkan dalam Sexus Henry Miller, momen ketika tokohnya mendesak Ida Verlaine, istri Woodruff, untuk melakukan mastutrbasi dengan memasukkan lilin ke dalam vagina.

With this I reached for a candle on the dresser at my side and I handed it to her.«Let’s see if you can get it in all the way.» She spread the other leg over the other arm of the chair and began to work it in.

Dalam kisah-kisah ala Enny Arrow seks berlangsung—atau dikesankan—sebagai adegan menggebu tapi sebenarnya terkendali. Si pria tak pernah menyebut si perempuan dengan ganas dan gemas sebagai whore, “cabo” atau “lonte”. Dialog berlangsung dengan panggilan “abang”, “kak”, “mbak” atau “bu”. Tak ada kata gemas yang sepadan dengan “fuck”, “tits”, “cock”, “pussy”. Laku persetubuhan adalah “menggoyang”, bukan, misalnya, “ngentot” atau yang sejenis itu. Tanpa variasi.

Maizara melanjutkan menggoyang. Dia mengusir jauh-jauh perasaan jengah karena kini dia yang berinisiatif bergoyang.        

Seharusnya, kalau mengikuti kepatutan, Wahyulah yang sepantasnya menggoyangnya. Namun karena lelaki ini kelihatannya belum bersedia, Maizara yang memutuskan untuk bergoyang

Alat-alat kelamin disebut setengah tersamar dengan kata “milik”.

Kemudian, Zarina mengarahkan milik Randy yang besar dan keras itu ke miliknya.

Buah dada berulang kali dibungkus dalam metafor “bukit kembar”:

Jemariku menelusuri bagian di antara kedua bukit kembar miliknya. Jemariku menyentuh bagian tepi bukit kembar itu.

Aku tidak mau gegabah. Meski Anissa tidak memperlihatkan tanda-tanda penolakan, namun aku tidak mau keburu nafsu. Karena itu aku sengaja menahan diri. Jemariku hanya menyentuh bagian tengah di antara kedua bukit kembar miliknya.

Kalimat-kalimat datar. Tak ada sarkasme, tak ada ironi. Tak ada humor. Tak ada percakapan yang kocak  dan tangkas. Tak ada suasana. Tak cukup detail. Kamar dan tempat tidur tak terasa hadir, atau hadir tanpa suasana. Kita tak tahu apakah ruang itu pengap atau sejuk. Kecuali suara desah dan teriak kenikmatan, bangunan verbal dalam proses seksual itu hanya mengandung makna ala kamus, bukan ekspresi vokal (bunyi) dan imaji.

Saya ingin sebentar membandingkannya dengan sebuah teks lain: ekspresi seksual dalam adegan erotis Serat Centhini, karya berbahasa Jawa berbentuk tembang setebal kurang-lebih 4.000 halaman yang digubah antara 1814-1823 di Jawa.

Perbandingan  Centhini dengan tulisan Enny Arrow ini bukan perbandingan mutu, tentu saja; kedua teks itu berlainan konteks sejarah, proses penulisan, dan audiensnya. Saya hanya ingin menilik bagaimana bahasa hadir—bahasa yang saya sebut sebagai “bahan utama” erotika, unsur yang bertaut dengan sejarah sosialnya.

Dalam Centhini jilid VIII,  misalnya, dalam adegan  ketika Jayengrana  menunjukkan alat kelaminnya,  Ni Kecer, pèrempuan dusun itu, bereaksi: menggengam erat zakar itu.

Tan ucul panêkêmira / tênggok thothok pan maksih dèn-têkêmi / bathuk tumèmpèl ing kêmpung / sarwi alon turira / dhuh bêndara kenthol amba sangêt wuyung / mugi paringa punika / ta ês ta ês bok suwawi //

(Tak dilepas genggamannya / batang dan ujung masih digenggam / dahinya menempel di dekat kemaluan / sambil mengucap pelan / aduh, tuan, saya sangat berhasrat / mohon untuk diberi ini / ta es ta es mohon diberi //)

Adegan ini dihidupkan  pilihan kata-kata. Den-têkêmi dan panêkêmira (dari kata dasar têkêm),  mengandung sugesti “gemas”; kata tênggok thothok “keras” dan “kasar”. Kata kêmpung untuk phallus terasa lucu, nakal dan menggoda. Kata kenthol sangat sugestif berasosiasi pada “konthol”, sebutan eksplitit buat alat kelamin lelaki dalam percakapan sehari-hari.

Plastisitas bunyi juga kita temukan  dalam adegan senggama yang menggambarkan sang perempuan, Janda Sembada, di saat-saat mendekati orgasme:

Ngeses-ngeses ngeled-led idune/

Kiyer kincer mulirik mendelik/

Sirah golag-galig/

(Mendesis-desis menelan ludah/

Matanya setengah terpejam-pejam, terkadang melotot/

Kepalanya bergoyang ke kini ke kanan./)

Bunyi  “ses”, “led” dan aliterasi dan rima dalam “kiyerkincer
serta  “mulirik-mendelik” sangat evokatif—satu hal yang dalam prosa  Enny Arrow hanya dinyatakan dalam, misalnya, “Ooohhh . . . .”

Kita bisa melihat kosakata yang dipakai penulis Centhini digali dari pengalaman dan wilayah yang lebih luas—yang diasumsikan juga dipahami an ideal reader, pembaca teks yang disasar penulisnya. Khazanah percakapan sehari-hari di lapisan bawah masyarakat—termasuk kata konthol dan jembut—diserap dengan leluasa ke dalam puisi  konvensional—bentuk sastra  yang juga dipakai para pujangga istana dan pesantren dalam memberi petuah.

Bahasa Jawa dalam Centhini bukan hanya soal kosa kata dan tata bahasa, melainkan sebuah sejarah sosial yang tak menyentuh latar bahasa Indonesia Enny Arrow.

Di abad ke-21, cerita Enny Arrow beredar dan menjumpai pembaca sebagai pasar yang anonim, yang tak dikenal secara akrab. Maka ungkapan tak bisa sembarangan atau sedikit kurang ajar, tak bisa menggunakan ekspresi yang sangat spesifik dan sesuai dengan konteks. Narasi ditahan di satu level komunikasi yang mudah diterima. Sang pengarang/penerbit, yang hanya punya satu persamaan dengan pembaca mereka, yakni berbahasa Indonesia—menggunakan bahasa baku karya tulis. Tak ada slang, tak ada warna lokal atau ciri generasi tertentu. Dengan kata lain: berjarak, dan berhati-hati. Apalagi sensor selalu mengancam.

Centhini, sebaliknya, ditulis untuk lingkungan yang lebih intim, yang tak asing: para literati Jawa yang saling kenal melalui karya-karya manuskrip—yakni bahan informasi yang diproduksi sangat terbatas,  yang biasa untuk berbagi. Tak kalah penting:  jika ada keleluasaan ekspresi dalam Centhini, itu adalah karena posisi sosialnya: ia karya yang lahir dari pusat kekuasaan. Ia hasil penugasan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, putra Sunan Pakubuwana IV, yang kelak bertakhta sebagai Sunan Pakubuwana V.

Dengan dukungan istana itu pula, erotika Centhini memiliki  keluasaan menampilkan keanekaragaman—juga dalam ekpresi kecabulan.  

Kisahnya memang berlangsung dalam ruang yang berubah-ubah; sebuah rekaman ensiklopedis tentang perjalanan pengungsian para pangeran Giri ke desa-desa Jawa yang mempunyai adat istiadat yang bervariasi. Tokoh juga  tak terdiri dari satu orang dengan satu corak watak.

Yang mungkin tampak sebagai paradoks, berbeda dari erotika Enny Arrow yang ditulis di abad ke-21, dalam Centhini sosok perempuan tak selamanya satu karakter yang pasif menunggu dicumbu. Terutama tokoh Randha (Janda) Sembada, perempuan desa yang kaya raya, seorang nimfomaniak setengah baya yang berani membeli “jasa” lelaki; ia  punya kuasa dan dialah yang memegang inisiatif, tanpa sikap malu-malu yang lazim digambarkan pada perempuan Jawa. Ia agresif, meskipun ucapannya tetap dalam bahasa halus: 

Gumuyu randha Sêmbada / adhuh lae-lae kenthol wong sigit / suwawi malih pulang hyun / inggih sapisan êngkas / botên kêdah dangu mung satuwukipun / gumuyu Ki Kulawirya / angling o biyang si nyai //

(Kata Janda Sembada dengan ketawa manis: //Duhai orang rupawan/jangan tuan tergesa pulang/Sekali lagi sajalah/Tak perlu lama tapi membuatku puas/Dan Kulawirya menjawab seraya ketawa: ah, nakal nyai ini//

Tapi sebagaimana dalam tulisan-tulisan Enny Arrow, dalam Centhini kekuasaan terakhir ada pada  lelaki—satu corak yang  lazim dalam pornografi. Saya kira Susan Brownmiller benar: pornografi diciptakan laki-laki. “There can be no equality in porn, no female equivalent, no turning of the tables in the name of bawdy fun.”

Para lelaki dalam Centhini selintas seperti objek pemenuh kebutuhan seksual perempuan, baik si Janda Sembadha ataupun Ni Kecer, tapi pada akhirnya, para lelakilah  yang menentukan, yang dibutuhkan, dan dengan demikian yang punya daya tawar yang tinggi. Juga yang membimbing.

Tak bisa dilupakan pula bahwa para pria dalam Centhini datang dari lapis atas masyarakat—mereka para aristokrat dari Giri yang mengungsi. Mereka punya daya tarik istimewa bagi para petani di pedalaman, dan mendapatkan penghormatan dan pelayanan dari desa tempat mereka singgah. Mereka membawa serta aura kekuasaan meskipun mereka tak lagi punya tahta.     

Mereka bahkan bisa bergerak dengan langsung, tanpa teguran, pengawasan, tanpa oposisi—dan tanpa rasa bersalah. Mereka bisa bergerak di dalam dua dunia yang berbeda, bahkan berlawnan: dunia  kota dan kraton yang mengikuti ritual Islam (setidaknya di permukaan) dan dunia pedalaman di mana ritual tak diawasi lembaga apa pun—dan seks leluasa. Tak ada hambatan buat ikut dalam ronggeng dan tayub, tarian perempuan yang merangsang hasrat.  

Tak ada permusuhan bahkan kepada pelaku seks homoerotik. Salah satu rombongan tari yang dipimpin Cebolang, bernama Nurwitri, penari muda pria yang agak keperempuan-keperempuanan, merangsang hasrat seorang adipati di Kabupaten Daha—dan segera diundang untuk disodomi. Adipati itu sendiri kemudian disodomi Cebolang, yang juga melakukan hal yang sama dengan seorang warok.

Semua berlangung dengan enteng. Kulawirya dan Jayengraga bisa berangkat salat Subuh langsung dari ranjang perzinahan, sementara perempuan pasangan seks mereka masih tertinggal di kamar.

Centhini agaknya dokumen penting sebuah masa, ketika agama dijalankan dengan taat dan rutin—tatkala puritanisme belum hadir, juga dalam ekspresi verbal. Sementara itu cerita-cerita Enny Arrow mencerminkan  sebuah masa ketika semua hal bisa diproses dan diproduksi cepat, mudah, repetitif—termasuk perselingkuhan. Di dalamnya, dengan deskripsi yang  minimal, dengan bahasa yang hemat, erotika disajikan dengan setengah terbuka, tak pernah utuh lepas, dan prosanya menjaga diri. Seperti kemasan komoditas. Ini abad ke-21. Pasar, bukan keraton, menghendaki itu.

Ubud, 26 April 2022

Esai30 April 2022

Goenawan Mohamad


Goenawan Mohamad menulis puisi, esei/kritik, lakon, dan novel. Kumpulan puisinya antara lain Fragmen, Trigris dan Don Quixote. Kumpulan eseinya antara lain Puisi dan Anti Puisi, Estetika Hitam, Albert Camus: Tubuh dan Sejarah, serta Pigura Tanpa Penjara: Esai-Esai Seni Rupa. Lebih dikenal: 14 jilid Catatan Pinggir.