Sesuatu di dalam Dipanegara
Gejolak Batin Sang Pangeran di Tengah Palagan Perang Jawa (1825-30)

Ilustrasi (Sulaman) oleh N. Putri

Babad Dipanegara merupakan torehan semangat perjuangan yang heroik, juga ingatan atas kekecewaan dan patah hati yang mendalam dari sang pangeran. Pendengaran, amatan, serta pengalaman lahir-batin sang pangeran selama Perang Jawa dikisahkan dalam Babad ini. Beberapa naratif yang menggambarkan semangat juang dan perlawanan yang heroik boleh jadi merupakan sebuah pelipur lara, obat bagi bangsa Jawa yang telah berjuang sekuat tenaga demi merebut kembali tanah air mereka dari penjajahan.

Pangeran Dipanegara mengguratkan kisah Perang Jawa dalam bentuk karya otobiografi yang berbentuk karya sastra Babad Jawa untuk mengungkapkan kekelaman itu, luka lahir-batin dan semangat juangnya, khususnya dalam periode Perang Jawa (1825-30). Babad ini merupakan sebuah transmisi ingatan perjuangan tersebut untuk memahami luka-luka, kemarahan-kemarahan, dan kemelut jiwanya. Selain ditopang oleh struktur penceritaan yang khas Babad Jawa, ruang-ruang batin sang pangeran yang melankolik turut mewarnai penulisan Babad ini.

 

Pendahuluan

Kira-kira pada 192 tahun yang lalu, di penghujung Maret 1830, gejolak batin yang mendalam dialami oleh seorang pangeran Jawa. Pangeran Dipanegara (1785-1855) namanya. Sang pemimpin Perang Jawa itu berkali-kali mengalami perundingan yang alot dengan utusan Belanda, Jenderal Hendrik Merkus de Kock (1779-1845), di Magelang. Hal itu berujung pada pengkhianatan kafir Belanda. Tiada mufakat. Sang pangeran dibuang ke pengasingan di Sulawesi.

Perang Jawa yang terjadi pada 1825-1830 itu disebabkan kesewenang-wenangan Belanda yang semakin kebangetan. Kewibawaan pemerintahan keraton Jawa bagian selatan banyak dicampuri oleh kepentingan Belanda. Tanah-tanah keraton dirampas, rakyat jelata tidak mendapatkan hak kehidupannya dengan layak, serta semakin meluasnya adat kebiasaan penjajah yang menggerus adat dan tradisi Jawa yang luhur. Alhasil, Pangeran Dipanegara melakukan perlawanan besar-besaran. Ia memimpin langsung serdadu-serdadu Jawa untuk menggempur pasukan Belanda.

Perang Suci itu ditempuh oleh sang pangeran untuk membebaskan bangsa Jawa dari cengkeraman imperialisme dan kolonialisme. Ia pun menyebut golongannya sebagai pasukan sabil atau wong Islam, yang direstui Tuhan, dan menganggap musuh sebagai kapir laknatullah Eropa yang sesat dan dikutuk oleh Tuhan. Begitupun bagi orang-orang Jawa yang justru mendukung Belanda, Dipanegara menyebutnya sebagai kapir murtad.

Perlawanan yang dilakukan untuk membela kedaulatan bangsa Jawa ia torehkan dalam Babad Dipanegara setelah sang pangeran berada dalam pengasingan pada 1830-1855. Naskah Babad Dipanegara ditulis pada awal pengasingannya di Manado (1830-1833). Dengan menggunakan huruf pegon, yang digemari kaum santri saat itu, naskah ditulis hanya dalam waktu kurang dari sembilan bulan (20 Mei 1831-2 Februari 1832). Pangeran dibantu oleh seorang juru tulis Jawa yang identitasnya belum diketahui.[i]

Uniknya, naskah Babad Dipanegara ditulis dengan metrum tembang Jawa di atas 944 lembar folio (1.151 dalam salinan yang dibuat untuk Bataviaasch Genootschap pada 1866-7).[ii] Sepertiga bagian awal naskah ini berkisah tentang sejarah Jawa dari masa kejayaan Majapahit, suksesi Kerajaan Demak, Pajang, hingga puncak kekuasaan Mataram Islam di era Panembahan Senopati (berkuasa di Mataram 1575-1601, pasca-1587 dengan gelar Panembahan) dan Sultan Agung (bertakhta 1613-46). Kisah dilanjutkan dengan pemerintahan raja-raja Mataram Islam penerus Senopati, hingga pembagian keraton Jawa bagian selatan menjadi Keraton Yogyakarta yang dipimpin oleh Sultan Mangkubumi (1749-1792) dan Keraton Surakarta oleh Pakubuwana III (1749-1788). Sisanya, atau dua pertiga isi naskah, berisi perjalanan Pangeran Dipanegara sejak masa kecil hingga perlawanannya dalam memimpin Perang Jawa sampai awal masa pengasingan di Manado (1830-33).

Persebaran kisah yang merujuk pada Babad Tanah Jawi tersebut, menurut ahli sastra Jawa modern, Nancy Florida, dikembangkan dari suatu varian yang diduga berasal dari Keraton Surakarta antara tahun 1788 dan 1836.[iii] Florida menyebutnya sebagai “tradisi kesejarahan Jawa yang dominan” meliputi kisah-kisah masa lampau dari wangsa Mataram, atau yang tak terlalu lampau. Kisah-kisah itu dijalin dengan bertolak pada kisah-kisah ramalan yang kelak berkaitan dengan generasi penerus Mataram. Jalinan-jalinan masa lampau itu juga dimaksudkan untuk mengumpulkan semua serpihan ingatan masa lampau seluas mungkin terhadap eksistensi penguasa yang berperan sebagai tokoh utama Babad, dalam hal ini Pangeran Dipanegara.

Babad ditulis dengan memperhatikan urutan kronologis peristiwa, penokohan, serta semangat perang sabil, disertai dengan ramalan-ramalan, legitimasi takdir dan pesan leluhur. Kisah-kisah tentang Kanjeng Ratu Kidul, perjumpaan dengan Sunan Kalijaga, serta bisikan-bisikan gaib sebagai aktor spiritual dan kekuatan adikodrati lainnya berkelindan meliputi bangunan struktur plot Babad Dipanegara (bandingkan Ricklefs, 2021: 494).[iv] Karya autobiografi ini ditulis secara historis menurut pandangan Pangeran Dipanegara sebagai pemrakarsa teks sekaligus sebagai tokoh utama dalam cerita dan peristiwa yang sesungguhnya. Keunikan itulah yang membuat Babad Dipanegara istimewa. Barangkali Babad ini adalah salah satu bentuk karya autobiografi pertama yang khas Jawa, ditulis oleh pelaku sejarahnya sendiri (atau sebagai pemrakarsa), dan berbentuk sastra Babad.[v]

Berbeda dengan pendapat Florida tentang Babad Tanah Jawi yang menghadirkan kisah-kisah masa lampau secara berurutan sehingga mudah dipahami, Babad Dipanegara memiki struktur plot yang lebih pelik karena maksud penulisannya lebih dari sekadar menguraikan urut-urutan sejarah. Kisah tentang Sultan Agung, misalnya, secara tersirat turut memperkokoh legitimasi Pangeran Dipanegara sebagai pewaris takhta Keraton Jawa yang berlandaskan Islam, dikukuhkan oleh ulama dan tokoh agama. Dalam sebuah naratif, Sultan Agung meramalkan tentang kekacauan yang akan ditimbulkan oleh perlawanan Dipanegara. Hal ini digambarkan sebagai berikut.

43. Kangjěng Sultan mapan aris angandika/ sampun karsaning Widi/ pan punika uwa/ běnjang sapěngkěr kula/ dados kanthi ingkang wingking/ turun kawula/ punika kang ngěmbani// 44. Sampun pěsthi karsane Allah Tangala/ Kapir jalěr ing jurit/ ing sapěngkěr kawula/ uwa Kapir punika/ mapan inggil juritneki/ neng tanah Jawa/ ngantos tri atus warsi// 45. Yen wus jangkěp tingangatus warsa uwa/ Kapir neng tanah Jawi/ pan lajěng misesa/ ngakěn ratuning Jawa/ punika uwa ing benjing/ pan wontěn uga/ uwa karsaning Widi// 46. Kang sandhingi yudane Kapir punika/ mapan risaking benjing/ nging walahuallam/ [Babad Dipanegara, 12 (Durma): 43-46].

Artinya:

Kanjeng Sultan berkata [dengan] halus, “Sudah kehendak Tuhan, Paman. Suatu saat sepeninggalku, [seseorang yang] menjadi pendamping kelak [adalah] keturunanku. Ia yang bertanggung jawab. Sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Kapir perkasa dalam peperangan setelahku [sekitar Maret 1646 masehi/bulan Sura A.J. 1568]. Paman, Kapir ini unggul dalam peperangan di tanah Jawa sampai tiga ratus tahun.[vi] Jika telah sampai tiga ratus tahun, Paman, Kapir di tanah Jawa lalu menguasai [dan] mengakui raja di Jawa. Suatu saat nanti, Paman, ada pula kehendak Tuhan, Paman, seseorang yang menemani perangnya Kapir [yang menjadi] kerusakannya kelak, tetapi wallahuallam.

Kutipan tersebut adalah percakapan Sultan Agung dengan Pangeran Purbaya. Sang pangeran melapor kepada Sultan tentang kondisi peperangan di Batavia. Sang pangeran khawatir, sebab prajurit Mataram belum dapat menguasai loji. Sultan Agung mengatakan bahwa pihaknya bakal mengundurkan diri dari peperangan. Selanjutnya, Sultan Agung meramalkan bahwa kelak di kemudian hari cucunya, dalam hal ini Dipanegara, akan membuat Belanda kerepotan.

Babad Dipanegara tidak sekadar memberikan informasi tentang peristiwa Perang Jawa serta catatan-catatan penyerangan dan romansa kehidupan Pangeran Dipanegara belaka. Babad itu juga berisi wejangan, ajaran ilmu Tauhid, perihal tata cara orang Jawa, berikut inspirasi-inspirasi kedaulatan sebagai bangsa Jawa yang harusnya merdeka dari penjajahan. Ini berbeda dengan pandangan umum tentang Babad yang disampaikan oleh John Crawfurd (1783-1868) yang bertugas di Jawa pada 1811-1816, sebagian besar sebagai Residen Yogyakarta (1811-14/1816). Ia menganggap karya Babad sebagai hiburan semata, seperti yang ia tulis dalam Kamus Deskriptif dari Pulau-pulau Hindia dan Negara-negara Tetangga, “[karya Babad] sedikit  banyak karakter romansa, dengan tujuan untuk menghibur dan bukan untuk memberi pelajaran”.[vii]

Struktur penceritaan tersebut menunjukkan bahwa Dipanegara berusaha melegitimasi dirinya sebagai sosok pemimpin Jawa yang bijaksana dan dekat dengan leluhur. Dipanegara berusaha memulihkan luka batinnya akibat peperangan yang menumpahkan air mata dan darah orang-orang Jawa yang mendambakan kedaulatan. Dipanegara juga berusaha membangkitkan harga dirinya yang terluka akibat pengkhianatan, perang saudara, serta mengukuhkan peran dirinya sebagai penjaga kedaulatan orang Jawa.

Peter Carey sedang menerangkan keadaan Kamar Dipanegara di Fort/Benteng Rotterdam (sekarang Perpustakaan Matthes dan Kantor Pemkot Makassar) kepada grup dari Penerbit Buku Kompas sebelum upacara peringatan Dipanegara di dalam Kamar Pangeran dan tuturan dramatik Babad Dipanegara di Pelataran Fort Rotterdam yang dipentaskan Mas Landung Simatupang dan timnya di Makassar International Writers’ Festival, 4-7 Juni 2014. Foto seizin Beat Presser.

Babad Dipanegara diawali dengan manggala atau pembuka yang berisi persembahan puja-puji, serta maksud dan tujuan dari pengarang. Ia menulisnya di dalam sebuah ruangan yang panas dari empat kamar yang disediakan untuk keluarga di tempat pengasingan Fort Nieuw Amsterdam, Manado, Sulawesi Utara. Dalam bait 1-5 Pupuh Mijil, dijelaskan bahwa tujuan Dipanegara menulis Babad untuk menghibur hatinya yang terluka. Selain itu, Babad juga bertujuan agar segenap keluarganya mengindahkan atau menaati agama Nabi, sebagaimana ajaran-ajaran yang pernah ia terima dan sampaikan sejak dulu hingga berada di pengasingan. Berikut adalah manggala Babad Dipanegara.

  1. Sun amědhar suraosaning ati/ atěmbang pamiyos/ pan kinarya anglipur brangtane/ aneng Kitha Měnadhu duk kardi/ tan ana kaeksi/ nging sihing Hyang Agung//2. Mapan kathah kang karaseng galih/ ing tingkah kadudon/ pan měngkana ing tyas pangesthine/ kaya paran solahingsun iki/ yen tan ana ugi/ apura Hyang Agung//3. Lara wirang pan wus sun lakoni/ nging panuhuningong/ ingkang kari lan kang dhingin kabeh/ kulawarga kang ngestokkěn yěkti/ mring agama nabi/ oleha pitulung// 4. Maring Allah kang rabil ngalamin/ lan supangat mangko/ Kangjěng Nabi kita lan wargane/ kang sěkhabat ansi kang muhajir/ lan pra rasul sami/ pra wali sědarum//5. Muga padha oleh iman suci/ pa dene wakingong/ muga Allah ngapuraa mangko/ lawan iya Jěng Nabi cilukmiyi/ tingkah ingsun dhingin/ mapan keh kang dudu// [Babad Dipanegara, I (Mijil): 1-5].

Artinya:

Hamba mengungkapkan isi hati dengan tembang Mijil, sebagai penghibur hati yang kasmaran di kota Manado di saat menulis. Tidak tampak [oleh siapapun]. Namun, kasih Tuhan banyak terasa di hati, terhadap sikap yang tidak layak. Meski demikian harapan hati bagaimana sikapku ini jika tidak ada pula ampunan dari Tuhan. Sakit dan malu sudah saya alami. Namun, permohonanku yang akan datang maupun yang terdahulu, keluargalah yang mengindahkan dengan sungguh-sungguh terhadap agama Nabi. Semoga mendapat pertolongan oleh Allah, Tuhan semesta alam. Dan kelak mendapat syafaat Kanjeng Nabi kita serta keluarganya para sahabat yang berhijrah, dan para rasul, para wali semua, semoga mendapat iman yang suci. Demikian pula diriku, semoga kelak diampuni oleh Allah serta oleh Kanjeng Nabi zil-ummiyyi atas tingkahku yang [ter]lalu banyak yang menyimpang.

Babad Dipanegara ditulis menggunakan metrum tembang. Sebagaimana pengertiannya, tembang atau menyanyi, mengindikasikan bahwa Babad Dipanegara dibaca dengan cara dinyanyikan. Masing-masing jenis tembang itu memperkuat makna cerita yang ditulis dengan membangkitkan secara melodis suasana jiwa dan makna puitis dalam cerita yang dinyanyikan (bandingkan Florida 1995:83).

Terdapat kalimat pan kinarya anglipur brangtane (sebagai penglipur hati yang kasmaran) yang merujuk pada Dipanegara sebagai pelaku sejarah Perang Jawa.

Dari sini kita bisa belajar dan menyelami sejarah kolonialisme di Jawa dengan cara pandang pelaku sejarahnya sendiri, serta bisa menyelami kemarahan-kemarahan yang sungguh emosional, baik yang tersirat maupun tersurat, terhadap pengkhianatan dan kedaulatan bangsa Jawa.

Beberapa naratif yang menggambarkan semangat juang dan perlawanan yang heroik oleh laskar Dipanegara, berpijak pada kutipan naratif di atas, boleh jadi merupakan sebuah pelipur lara, obat bagi bangsa Jawa yang telah berjuang sekuat tenaga demi merebut kembali tanah air mereka dari penjajahan.

 

Gejolak Batin Sang Pangeran

Sebagai sebuah karya sastra, Babad Dipanegara tak hanya berisi wejangan dan kisah-kisah mitologis. Babad ini juga menyimpan ingatan gejolak batin yang melankolis dan digambarkan dalam banyak adegan peperangan, perang saudara, konflik internal, penggambaran ribuan prajurit yang sabil di palagan perang, serta berbagai perundingan antara sang pangeran dan pihak Belanda yang berujung pengkhianatan. Untuk mengatasi konflik batin yang dialami, sang pangeran dikisahkan menguatkan dirinya dengan pesan-pesan Ilahiah berupa takdir dan meneguhkan harga dirinya sebagai orang Jawa yang mendambakan kedaulatan.

Penokohan subjek Dipanegara yang melankolik akan dijelaskan dengan menggunakan perspektif Freud tentang melankolia (Freud 1917).[viii] Dalam melankolia, harga diri individu mengalami penurunan secara besar-besaran. Perasaan ini rentan dialami oleh pribadi yang telah mengalami kehilangan objek yang dicintainya, serta pengalaman-pengalaman menyedihkan ataupun yang bersifat merendahkan harga dirinya. Hal inilah yang tidak terdapat dalam ratapan. Ratapan, dalam hal ini, dipahami sebagai perasaan kehilangan biasa atas suatu objek yang bisa digantikan dengan objek lain. Lebih dari itu, melankolia adalah rasa kehilangan yang dialami oleh sang subjek terhadap objek yang amat berharga dan berarti bagi subjek. Menurut Freud, rasa kehilangan yang melankolik itu bertolak dari eksistensi objek yang memiliki makna yang sungguh besar dan berarti bagi kedirian subjek.

Jelas bahwa rasa kehilangan melankolik yang dialami Dipanegara adalah kehilangan kedaulatan bangsa Jawa. Kewibawaan pemerintahan Jawa sudah karut-marut, apalagi kesejahteraan rakyat. Tatanan Jawa dirasa sang pangeran sudah bergeser amat jauh. Korupsi di mana-mana. Sebagai pemeluk Islam yang taat, sang pangeran juga melihat para birokrat Keraton Jawa lebih suka berlaku maksiat dan melakukan kebiasaan orang Belanda (ajar cara Wělandi) daripada menjaga keimanan dan nilai-nilai luhur Islam yang menjadi landasan keagamaan Keraton. Jawa, dengan demikian, bagi sang pangeran sudah kehilangan harga dirinya.

Gambaran tatanan Jawa yang kacau tersebut semakin lama membuat sang pangeran jengkel. Kemarahannya membuncah ketika Patih Danureja IV (menjabat 1813-47) memungut pajak tanpa sepengetahuannya. Danureja bersekongkol dengan Residen Nahuys (menjabat 1816-22), dan memakai nama Dipanegara untuk membenarkan kebijakan tersebut. Alhasil, para kerabat istana dan rakyat Jawa menjadi susah. Mendengar hal itu, sang pangeran lantas menemui Sultan Hamengkubuwana IV yang berkuasa kala itu untuk meminta pertanggungjawaban. Kemarahan ini digambarkan dalam Babad Dipanegara sebagai berikut.

  1. Sultan yen sira nora wruh/ iku ta pangrasa mami/ liwat lakuning durjana/ tan wurung karya ku pěsthi/ iya marang kasusahan/ ing besuk wěkasaneki// 144. Marang wong cilik ku besuk/ lan apa pangane iki/ kolektur pira cacahnya/ lawan padinane iki/ ing ngěndi pasebanira/ [Babad Dipanegara, 18 (Kinanthi): 143-144].

Artinya:

Sultan kalau engkau tidak tahu, ini [menurut] perasaanku, berlebihan kelakuan penjahat. Tak urung hal ini pasti menjadikan kesusahan [rakyat]. Akibatnya kelak kepada rakyat kecil apa makanannya? Penarik pajak berapa jumlahnya, dan apa kesehariannya? Di mana menghadapnya?”

Meskipun demikian, Sultan tak bisa mengubah kebijakan pajak. Raden Tumenggung Mayor Wiranegara, komandan pasukan keraton (sekitar 1790-pra-Maret 1856; menjabat 1817-28) yang turut mengurusi perpajakan tersebut menjadi malu karena perbuatannya ketahuan. Namun, ia tetap bersikeras bahwa surat sudah sampai di tangan Residen, dan sudah disebarkan. Mendengar hal tersebut, Dipanegara menjadi marah (běndu tyasneki). Ia lantas memberikan pilihan kepada Sultan, yang merupakan adiknya sendiri dari lain ibu: memilih dirinya, atau Wiranegara yang bersikeras bahwa surat keputusan tidak dapat ditarik.

Dipanegara semakin naik pitam ketika Wiranegara mengutip sebuah kitab untuk membenarkan keputusannya, bahwa kebijakan yang telah dikeluarkan Sang Raja tak boleh ditarik. Saking kesalnya, Dipanegara lantas menjewer telinga dan menendang Wiranegara, sembari berucap:

  1. Eh ya Mukhidin sireki/ jawane měmuruki/ pan kitap kang sira ampung/ sireku luwih bisa/ wong akeh tan ana uning/ ala běcik ingkang wěruh nanging sira// 12. Kangjěng Pangeran ngandika/ sultan-sultannya sayěkti/ sira pajara den-nyata/ sapa ingkang duwe pikir/ lamun sira pribadi/ iku atas kohil mahpul/ lamun rěmbag wong liya/ městhi kěna denowahi/ iku setan Sultan ingsun nora lila// [Babad Dipanegara, 19 (Sinom): 11-12].

Artinya:

“Hai Mukhidin! Engkau mengajar jawanya kitab yang pelajari. Engkau lebih bisa, orang kebanyakan tak ada yang tahu tentang baik buruk yang tahu hanya engkau.” Kata Kanjeng pangeran, “Sultan-sultannya engkau ajari sesungguhnya, siapa yang punya pemikiran, kalau engkau sendiri, itu kohil mahful. Kalau berembug dengan orang lain pasti bisa diubah, itu setan, Sultan, aku tidak rela.”

Kemarahan dan kekecewaan serupa hampir selalu mewarnai bait-bait Babad Dipanegara, khususnya mulai pertengahan bait ke-14. Dikisahkan dalam Babad saat itu Yogyakarta mengalami kekacauan. Intrik politik, sampai penyuapan pejabat istana kerap dilakukan oleh Belanda. Hal serupa tetap terjadi ketika rezim Inggris mengambil alih Yogyakarta dari Belanda pada pertengahan November 1811.

Residen yang bertugas kala itu ikut campur dalam suksesi kepemimpinan istana. Sultan yang saat itu berkuasa dibujuk untuk menandatangani surat perjanjian calon pengganti raja yang dikehendaki pihak Residen. Tak tanggung-tanggung, bujukannya pun disertai ancaman. Kenyataan-kenyataan tersebut membuat Dipanegara, sebagai seorang pangeran Jawa, merasa sedih, marah, sekaligus merasa harga dirinya direndahkan. Kekecewaaan dan kesedihan melihat bangsanya kehilangan harga diri dan mendorong sang pangeran untuk melakukan perlawanan. Terlebih, ia mendapat wangsit yang semakin meyakinkannya untuk melaksanakan takdir perang suci.

Selanjutnya, diceritakan sang pangeran telah mengumpulkan serdadu Jawa untuk merebut kembali kedaulatan dan harga diri sebagai bangsa Jawa. Perang suci tersebut berlandaskan pada spirit Islam. Orang-orang Jawa berkumpul di Selarong, sebuah tempat bersejarah ketika Pangeran Dipanegara dikukuhkan sebagai Sultan Jawa oleh para ulama, sarif dan pendeta, dengan nama gelar Abdul Hamid Herucakra Kabiril Mukminin Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Sang Sultan itu lantas membakar semangat para prajurit Jawa yang bersedia mati sabil. Perang Jawa dimulai!

Babad Dipanegara menggambarkan suasana perang begitu heroik. Lengkap dengan jumlah prajurit dan toponimi daerah yang dijadikan palagan perang. Namun tidak melulu soal pengaturan siasat perang dan pendudukan suatu wilayah yang telah ditaklukkan, Babad juga menggambarkan suasana batin sang pangeran yang sungkawa sebagai manusia. Makhluk yang mempunyai nurani dan kehilangan. Selama peperangan berlangsung (1825-30), sang pangeran telah kehilangan orang-orang terdekat.

Dikisahkan, saat berperang di Gawok di daerah barat Surakarta pada 15 Oktober 1826, gabungan pasukan kafir dan murtad dibuat koyak oleh pasukan Dipanegara. Mereka saling serang, saling menghujani meriam, memberondong tembakan peluru, dan beradu senjata. Berkat pasukan Dipanegara dari resimen Bulkio yang pilih tanding (tanpa tanding), pasukan kafir murtad awalnya mampu didesak mundur. Namun, kemudian keadaan berbalik. Saat musuh mengetahui di sisi lain terdapat barisan prajurit yang dipimpin Dipanegara, sontak mulut meriam dan pistol diarahkan kepada barisan tersebut. Dipanegara dihujani peluru. Para prajurit yang menyaksikan kejadian tersebut menjadi terpukul hatinya. Pimpinannya menjadi sasaran tembak. Pasukan musuh tak menghiraukan barisan-barisan yang lain. Sebab kafir murtad hanya mengincar kepala Dipanegara.

Dada sang pangeran terkena pecahan peluru meriam. Berdarah. Pakaiannya—jubah dan baju koko yang putih—basah memerah. Meskipun begitu, sang pangeran tak goyah. Ia justru meminta pasukannya tetap menerjang musuh. Sembari mengobarkan semangat para pasukan yang menaruh iba kepada dirinya, sang pangeran teringat istrinya. Namun, luka-luka itu justru semakin melecut dirinya untuk mengobarkan semangat perang para pasukan. Sang pangeran lalu pulang sebentar untuk merawat luka, sekaligus melepas rindu kepada istrinya. Hal tersebut digambarkan dalam naratif berikut ini:

  1. Sarěng miarsa Nalendra/ mapan kang rasukan abrit/ nulya engět mring kang garwa/ měngkana esthining galih/ paran polahireki/ lamun ingsun tinggal mupus/ lawan maninge nistha/ lamun ingsun mati dhingin/ baya durung kalilan Allah Tangala// Ěnteka Kapir kuhiya/ [Babad Dipanegara, 28 (Sinom): 55-56].

Artinya:

[Sang Raja] setelah melihat busananya [menjadi] merah, lalu teringat dengan istrinya. Demikian kata hatinya, “Apa [yang] kau lakukan jika aku tinggal mati? Lagipula [sungguh] nista bila aku mati terlebih dahulu jika belum diizinkan Allah Ta’ala. Habislah Kafir keparat.”

Memang keteguhan hati sang pangeran selalu diuji. Setelah dadanya dihujani peluru, sang pangeran harus menerima kenyataan bahwa yang harus dihadapi bukan saja pasukan Belanda. Namun, ia juga harus menghadapi konflik internal dengan Kiai Maja. Pelan tetapi pasti, Pangeran Dipanegara mulai tidak menyukai kelakuan Kiai Maja yang semakin takabur. Diceritakan Kiai Maja kerap cekcok dengan prajurit lainnya, berdebat soal agama dan kehidupan, tetapi cenderung mengunggulkan kepentingannya sendiri. Bahkan, Kiai Maja mulai meminta “jatah” dengan dalih untuk menghidupi keluarga. Di tengah kondisi seperti itu, De Kock berkali-kali menyuratinya. Ia meminta perang dihentikan. Meskipun demikian, Dipanegara tak pernah mau membaca isi surat tersebut.

Di tengah konflik internal yang mulai berkecamuk gara-gara Kiai Maja, Pangeran Dipanegara menerima kabar kehilangan. Istrinya, Ratu Kedhaton, meninggal dunia pada 20 November 1827 di Kawisarjo, Kulon Progo. Sebelumnya sang istri sakit-sakitan dan direncanakan akan diboyong ke Mataram. Namun takdir berkata lain. Sang istri meninggal dan dimakamkan di Imogiri.

Firasat kematian tersebut Dipanegara rasakan sewaktu bersama pasukan sedang berada di Kulur, Kecamatan Temon, Kulon Progo. Setelah salat subuh sang pangeran melihat penampakan dua kali dari sang istri tercinta yang seolah datang untuk minta pamit pulang ke Rahmatullah.[ix] Ternyata firasat tersebut kemudian disusul kabar kematian sang istri. Para prajurit menaruh iba, tetapi lagi-lagi sang pangeran berusaha menguatkan mereka untuk tetap teguh berjuang di medan perang. Sang pangeran dalam kesedihannya yang disamarkan  justru menguatkan orang-orang sekeliling yang saat itu menangisinya. Sang pangeran lalu pulang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada almarhumah istrinya.

Sang pangeran bahkan mengenakan kain jarik dan selimut bekas adindanya itu. Tanpa dicuci, aromanya tetap harum seperti sedia kala, seharum kerinduan sang pangeran kepada pujaan hati yang telah mendahuluinya. Dalam perjalanan menuju pemakaman, tak terhitung banyaknya orang yang mengiringi. Suara tambur dan trompet bersahut-sahutan. Matahari malu bersinar, bersembunyi di balik awan mendung. Hujan jatuh dari langit, membasahi rombongan panjang yang mengiringi jenazah. Kali Progo banjir bandang. Alam seolah menemani sang pangeran yang sedang mengalami kehilangan yang teramat sangat. Suasana hati Dipanegara menjadi semakin kacau, remuk, dan tak berhasrat atas apa pun. Bahkan hidupnya dirasa sudah tak berarti. Hal itu digambarkan dalam bait berikut:

  1. Sarěng mangkat Kangjěng Ratu/ mapan tambuh tyasireki/ rěmpu wus datan pakarsa/ dadya liwung mring kang kardi/ wus tan kraos aneng donya/ nging sangět pěnamurneki// (Babad Dipanegara, 31 (Kinanthi): 48].

Artinya:

Setelah Kanjeng Ratu wafat hatinya menjadi kacau remuk dan tidak berhasrat apa pun menjadi marah kepada sang pencipta. [Ia] merasa tidak betah di dunia tapi hal itu sangat disamarkan.

Selain kehilangan orang-orang terkasih, takdirnya untuk menunaikan perang sesungguhnya juga membuat hati sang pangeran bergejolak. Bagaimana tidak, Pangeran Dipanegara harus melawan keluarganya sendiri? Ia ditakdirkan untuk melawan sanak-saudaranya yang murtad. Tentu saja, ke-murtad-an itu sendiri telah membuat sang pangeran terluka. Luka itu semakin nyata ketika ia harus menggempur mereka di palagan perang.

Hal itu digambarkan saat sang pangeran memimpin perang di wilayah Kartasura. Dikisahkan ketika laskar Dipanegara berhasil memojokkan pasukan musuh, alun-alun dipenuhi sekumpulan manusia yang mengungsi akibat perang. Melihat kenyataan tersebut, hati sang pangeran bergejolak. Diakui sang pangeran, dirinya sebetulnya tidak sanggup melihat pertumpahan darah. Apalagi yang tumpah adalah darah dari saudara-saudaranya sendiri. Akan tetapi, Perang Jawa tetap harus ditunaikan. Takdir telah memilih sang pangeran.

Gejolak batin tersebut antara lain digambarkan dalam Babad sebagai berikut.

  1. Kangjěng Sultan denaturi/ mring Ki Maja lajěng bedhah Surakarta// 23. Nanging Kangjěng Sri Nalendra/ ingkang tyas pan mara katri/ kadya wus karsaning Sukma/ mring risake sěntaneki/ měngkana Sri Bupati/ kang Sinuhun mring Yyang Agung/ nging engěta kewala/ marang parentahe Nabi/ pan sědaya sagung wong Murtad punika// 24. Iya ing satanah Jawa/ dene ingkang kaping kalih/ ajrih bilih manggih alad/ dhumatěng kang samya surgi/ mapan ping tiganeki/ měksih engět wěspanipun/ duk lagya angkatira/ saking ing Rějasa nguni/ dadya kang tyas pan rangu-rangu kewala// [Babad Dipanegara, 28 (Sinom): 22-24].

Artinya:

Kangjeng Sultan diberitahu oleh Ki Maja. [Sultan] segera menaklukkan Surakarta. Namun Sang Raja dalam hati tiba-tiba bergejolak. Seperti sudah menjadi kehendak Tuhan [peristiwa] rusaknya [hubungan] keluarga ini. Demikian Sang Raja kepada Tuhan hanya teringat kepada perintah Nabi [tentang] segenap orang Murtad di seluruh tanah Jawa. Adapun yang kedua, [Sultan] takut jika mendapat kutukan oleh semua yang telah berpulang. Ketiganya, [Sultan] masih ingat [akan] tangisnya ketika keberangkatannya dari [Desa] Rejoso [di Kecamatan Nanggulan] pada waktu yang lalu. [Sultan] hatinya menjadi sangat kebingungan.   

Secara bertahap, sang pangeran tidak hanya kehilangan para pasukannya yang sabil di palagan perang dan rumahnya di Tegalreja yang dibakar habis Belanda,[x] tetapi juga harus menerima bahwa orang-orang terdekat yang ia cintai juga pergi meninggalkannya.

Di tengah-tengah peperangan, sang pangeran dikisahkan selalu mengalami kehilangan dan teringat atas kehilangan-kehilangan yang lampau. Ia telah kehilangan istrinya, Raden Ayu Maduretno (pasca-1825, Ratu Kedhaton),[xi] para kerabat Keraton Yogya,[xii] serta saudara kandung yang telah memilih berpihak kepada musuh. Atas kehilangan itu, sang pangeran dikisahkan bahkan nyaris mengakhiri hidupnya. Ingatan tentang kehilangan itu turut menjadi hantu bagi sang pangeran. Ia mulai bimbang, kehilangan orang-orang di sekeliling, yang lantas membuatnya berpikir untuk mengakhiri Perang sebagaimana ajakan De Kock melalui surat-suratnya.

Dalam kondisi seperti itu, acapkali Pangeran Dipanegara sejenak memilih menyendiri, menyamarkan perasaan batinnya dari orang-orang sekeliling. Ia kembali mengingat pesan-pesan leluhur dan spirit perang suci untuk merebut Jawa kembali. Ia acapkali melawan gejolak batinnya dengan mengubahnya menjadi hikmah dan wejangan untuk orang-orang di sekeliling: membuat api Perang Jawa semakin menyala.

Selain berkaitan dengan aspek internal subjek, acapkali melankolia dialami subjek atas objek yang dirasa ambigu. Objek yang dimaksud bukanlah wujud dari sebuah barang atau sebuah kepemilikan tertentu. Namun juga bisa berupa harapan, hasrat tertentu atau sebuah cita-cita besar. Dengan kata lain, subjek menjadi melankoli lantaran telah kehilangan hasrat atau cita-cita yang tidak pernah tercapai tersebut. Gejolak seperti ini mencapai puncaknya saat sang pangeran harus menerima kekalahannya. Perundingan-perundingan di akhir perang yang berjalan alot, berujung pada pengkhianatan. Pengkhianatan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch dan pembuangan dirinya ke Manado (pasca-20 Juni 1833, ke Makassar) adalah puncak gejolak batin sang pangeran yang melankolik.

Atas perasaan kehilangan itu, subjek merasa dirinya tidak lebih baik. Subjek bahkan menghidupkan kembali masa lalunya sebagai kritik diri yang mendalam atas kehilangan yang ia alami. Kepada masa lalunya, subjek kemudian mencela dirinya sendiri. Menurut Freud (1917:248), celaan-celaan itu tidak diperuntukkan bagi dirinya sendiri, tetapi kepada orang lain yang terkait atau dicintai. Dalam konteks Dipanegara, celaan itu ditujukan kepada orang-orang dekat yang mengkhianatinya, yakni bangsa Jawa yang memilih berpihak pada Belanda.  Babad Dipanegara adalah upaya sang pangeran menghidupkan kembali masa lalu tersebut selama dirinya berusaha merebut kembali kedaulatan bangsa Jawa.

Seorang yang mengidap melankolia, sekalipun telah kehilangan objek yang dicintai, tetap merasa memilikinya. Hal ini juga terjadi dalam diri sang pangeran. Hasrat merebut kembali kedaulatan bangsa Jawa yang telah melekat itu tak bisa hilang dari dirinya seperti sedia kala. Objek hasrat itu senantiasa hidup, melekat, tetapi menghantui dan mengawetkan kesedihan di dalam diri subjek. Dalam pandangan Freud, objek yang hilang itu dapat membuat libido mencari objek pengganti dalam bentuk angan-angan atau halusinasi. Sehingga, kemelekatan tersebut menjelma menjadi angan-angan atau halusinasi yang manunggal ke dalam ego subjek. Hal itu menjadi petunjuk bagi subjek untuk mencari pengganti objek yang telah hilang. Meskipun pada akhirnya subjek tidak bisa menemukan objek yang sama sepenuhnya seperti sedia kala.

Kendati berakhir dengan kekalahan, melalui Babad ini barangkali perjuangan Dipanegara mengalami kemenangannya dalam bentuk yang lain. Diceritakan bahwa sang pangeran telah berhasil menunaikan takdir Perang Suci membela bangsa Jawa. Kemenangan itu terepresentasikan dalam sikap Dipanegara yang, di satu sisi, tak mau kembali ke Jawa karena tak bersedia lagi menyaksikan pengkhianatan, tetapi di sisi lain,  meninggalkan Babad ini sebagai peringatan bagi anak cucunya di masa depan akan sebuah kejayaan yang didambakan.

Babad ini juga merupakan sebuah memoar, sebuah kronik-autobiografi seorang pangeran Jawa yang tangguh dan perkasa sebagai pengingat generasi mendatang yang tidak menangi (mengalami) kejadian bersejarah bahwa leluhurnya dulu pernah memperjuangkan dan mempertaruhkan nasib untuk mencapai kedaulatan.

Melalui Babad Dipanegara yang ditulis selama berada di pengasingan, sang pangeran memilih untuk tidak menyerah atau berkompromi dengan Belanda. Ia memilih terus melawan dan mempertahankan harga diri sebagai bangsa Jawa. Barangkali Pangeran Dipanegara mengajak kita untuk bersaksi terhadap apa yang tidak bisa dikatakan oleh dirinya seperti persoalan batin yang kompleks dan ia pendam sendiri selama Perang. Setiap gejolak batin yang ia alami selama perang, selalu berakhir pada pembebasan diri dan suratan takdir bagi dirinya: terus melawan.

Kisah perlawanan sang pangeran yang melankolik diakhiri dengan perasaan yang ambivalen atas rasa kehilangan subjek atas objek yang dihasrati. Ambivalensi adalah perasaan yang terbagi, yang berlawanan dalam diri sang pangeran. Di satu sisi, sang pangeran sangat mendambakan kedaulatan bangsa Jawa. Namun, di sisi lain, kedaulatan itu mesti ditempuh dengan peperangan yang bahkan harus menghabisi nyawa saudara-saudaranya sendiri. Perasaan ambivalen itu semakin menyeruak manakala hasrat kedaulatan itu berujung pada negosiasi yang alot, berakhir dengan pengkhianatan Belanda. Sama halnya dengan pengkhianatan saudara-saudara sang pangeran sendiri yang ia sebut sebagai murtad. Alhasil, sang pangeran lebih memilih membebaskan dirinya dari ambivalensi itu dengan merendahkan dan membenci musuh-musuh sang pangeran: kapir Belanda dan kaum murtad. Sang pangeran lebih memilih menguatkan dirinya, terus melawan dengan menulis Babad selama di pengasingan, serta mengungkapkan kemarahannya dengan tidak lagi ingin kembali ke Jawa, sebagaimana pengakuan sang pangeran dalam bait berikut.

XLIII.261 […] /ingsun titip ika/ kabeh anak putu mami/ kalawan sadulur ingwang// 262. Lawan maning ing Těgal Arja iki/ lan sěbalanira/ pan sun wenehakěn iki/ marang si Dipanagara//263. Sakalane ingsun durung munggah kaji/ nadyan besuk iya/ lamun prapta Měkah mami/ ingkang gumantung tyas ingwang// 264. Nora sěja Kapitan sun mulih maning/ nanging kang sun sěja/ mati aneng daganeki/ iya Kangjěng Rasulolah// (Babad Dipanegara, XLIII [Maskumambang] 261-265).

Artinya:

XLIII.261 […] Aku titip seluruh anak cucuku, serta saudaraku, dan juga [mereka yang ada] di Tegalreja beserta pendukungnya. 262. Kupasrahkan [semua] kepada si [anakku yang sulung] Dipanegara. 263. Pada waktu aku belum naik haji, walaupun besok iya [kesampaian], jika aku sampai Mekah, [hal] yang [masih] terpendam di hatiku. 264. Tidak sudi, Kapten [Roeps], aku pulang lagi, hanya yang aku inginkan mati di kaki pusaran Kanjeng Rasulullah.

Pernyataan tersebut Dipanegara sampaikan kepada Kapten Johan Jacob Roeps (1805-40) saat dirinya berada di pengasingan selama tiga minggu di Batavia (8 April-3 Mei 1830). Kapten Roeps adalah pasukan pengawal Pangeran dari Magelang ke Batavia, dan baru saja telah mengunjungi Sang Gubernur- Jenderal, Johannes van den Bosch (menjabat 1830-33), yang saat itu berada di Bogor karena terkena wabah penyakit. Menurut bait tersebut, Pangeran Dipanegara tak ingin kembali ke Jawa, dan menitipkan keluarganya kepada Jenderal melalui Kapten Roeps.[xiii] Pangeran juga mengatakan keinginannya untuk menunaikan ibadah Haji dan menghabiskan sisa umurnya di Mekkah, meskipun keinginan tersebut tak pernah terwujud.

Di sisi lain, Babad ini merupakan bentuk perlawanan lanjutan dari seorang Jawa yang mempunyai harga diri tinggi. Babad ini, dengan metrum Jawa dan tata aturan penulisan sejarah Jawa yang khas, menunjukkan kedudukan tradisi kesusastraan Jawa sebagai bentuk pendirian teguh, yang dengan begitu turut menjadi bagian dari perlawanan atas kolonialisme budaya baik sebelum maupun setelah Perang Jawa.

 

Peninggalan Dipanegara dalam Sejarah Jawa dan Indonesia

Adalah benar bahwa tiap orang dibentuk oleh zaman ketika mereka hidup. Tak terkecuali Dipanegara. Hanya tujuh tahun setelah kelahiran sang pangeran pada tahun 1785, penyair Jerman Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832) menyaksikan salah satu pertempuran awal dari perang Revolusi Prancis – Valmy (20 September 1792). Berharap melihat kemenangan mutlak Prusia terhadap tentara Republikan Prancis, ia terkejut menemukan bahwa infanteri Prusia yang terkenal itu tidak sebanding dengan semangat nasionalis wajib militer Revolusi Prancis (1789-99) dan artileri medan presisi yang baru dirancang. Di depan matanya, revolusi politik dan industri kembar, yang menghancurkan tatanan lama Eropa, datang bersama-sama dalam fokus yang jelas. Mengumpulkan para jenderal Prusia yang kalah di sekelilingnya di penghujung hari, ia seharusnya memberi tahu mereka ‘von hier und heute geht eine neue Epoche der Weltgeschichte aus, und ihr künnt sagen, ihr seid dabei gewesen [‘Dari tempat dan saat inilah era baru dalam sejarah dunia dimulai, dan Anda dapat mengatakan bahwa Anda telah ada di sana’].[xiv]

Refleksi Goethe memberi tahu kita banyak hal tentang masa-masa penuh gejolak yang dialami Dipanegara di selatan-tengah Jawa. Lahir dalam tatanan lama yang tampaknya tidak dapat diubah dari akhir abad kedelapan belas kerajaan-kerajaan Jawa tengah-selatan, ia meninggal di era kolonial tinggi pada pertengahan abad ke-19. Hidupnya terbelah oleh dua revolusi politik dan industri kembar yang kekuatannya tak terbendung, seperti yang telah disaksikan Goethe di Valmy lebih dari setengah abad sebelumnya.

Pada saat kematian Dipanegara pada tahun 1855, kapal uap (yang pertama, Kapal Dayung Van der Capellen, mengangkutnya pada tahap pertama perjalanannya ke pengasingan pada awal bulan April 1830) sudah mulai mengarungi jalur laut antarpulau. Pada saat yang sama, sistem komersial baru pelabuhan bebas menggantikan monopoli tertutup Perusahaan Hindia Timur Belanda. UU Agraria (1870), yang akan membuka Hindia bagi investasi swasta besar-besaran, tinggal satu setengah dekade lagi akan terjadi. Ini adalah zaman ketika Belanda menuai kekayaan yang tak terbayangkan dari Sistem Tanam Paksa (1830-1870) dengan mengorbankan petani penggarap Jawa yang di daerah-daerah tertentu, seperti Grobogan dan Demak, mengalami kelaparan yang mengerikan (1849-1850) dan epidemi tipus (1846-1850).[xv] Zaman ketika, sebagaimana pelukis Jawa abad ke-19 yang terkenal, Raden Saleh Syarif Bustaman (sekitar 1811-1880), secara singkat mengatakan, satu-satunya percakapan di antara masyarakat kolonial Hindia adalah “café et sucre, sucre et café” [“kopi dan gula, gula dan kopi”].[xvi] Ini adalah tahun-tahun ketika Multatuli (Eduard Douwes Dekker, 1820-1887) kemudian akan menyuarakan Max Havelaar atau pelelangan kopi Perusahaan Dagang Belanda (1860) dalam sosok Droogstoppel (‘Janggut Kering’), seorang broker kopi Belanda yang tahu harga segalanya dan nilai apa pun.[xvii]

Sisipan (Inset kiri) dari Kapten Johan Jacob Roeps (1805-42) dari lukisan cat minyak Raden Saleh Syarif Bustaman (sekitar1811-1880) “Ein historischer Tableau, die Gefangennahme des Javanischen Hauptlings Diepo Negoro” [suatu lukisan bersejarah, penangkapan pemimpin Jawa Dipanegara], 1857. Lukisan cat minyak di atas kanvas 112 x 179 cm. koleksi Istana Negara RI. Foto seizin Sekretariat Kepresidenan, Republik Indonesia.

Lalu, seberapa berharga keberadaan seorang pangeran mistik dalam dunia seperti itu? Tidak banyak bagi orang Belanda jika dilihat dari paragraf yang agak singkat yang diterbitkan di surat kabar kolonial dan nasional mereka pada saat kematian Dipanegara. Namun, bagaimana dengan orang Jawa? Apa arti Dipanegara bagi mereka? Jelas bahwa ia adalah seorang tokoh penting dalam sejarah Jawa modern; kematiannya terjadi hampir tepat di tengah-tengah antara peristiwa Perjanjian Giyanti (1755) dan proklamasi kemerdekaan Indonesia (1945). Namun, apa dan bagaimana perjuangan serta masa hidup masing-masing dari mereka yang menjadi tonggak pada periode tersebut?

Bayangkan seandainya Dipanegara lahir seratus tahun lebih dulu pada 1685 atau seabad lebih kemudian pada tahun 1885. Yang pertama adalah peristiwa pergolakan periode Kartasura (1680-1742), muncul sebagai salah satu tokoh istana Pakubuwana II (bertakhta 1726-1749) dengan minat pada jenis sastra Jawa-Islam yang diilhami dari sang ibu suri, Ratu Pakubuwana (wafat 1732).[xviii] Namun, apakah ia akan dikenang sebagai Ratu Adil yang memimpin perlawanan rakyat melawan kekuasaan kolonial? Hampir pasti tidak! Yang kedua adalah babak perjuangan dari generasi pendiri “gerakan nasional” Indonesia dengan orang-orang seperti Dr Tjipto Mangunkusumo (1885-1943), Raden Mas Soetomo (1888-1938), dan Raden Mas Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) (1889-1959). Masing-masing dari mereka hidup dalam satu zaman. Mengingat kemampuan pribadi Dipanegara, akar keyakinannya yang dalam, kecerdasan administrasi dan keuangan, serta minatnya pada dunia modern—saksikan ketertarikannya dengan instrumen navigasi di kapal perang, Korvet Pollux—memungkinkan dirinya dikenal sebagai seorang Pangeran Jawa yang multitalenta. Namun, tidak jelas apakah ia akan muncul sebagai sosok yang begitu penting seperti pada saat Perang Jawa.

Dengan demikian, zaman yang tidak biasa ketika Dipanegara hidup sangat penting untuk dipahami. Pengalamannya menggarisbawahi kebenaran diktum filsuf Inggris-Austria, Karl Popper (1902-94), bahwa sejarah adalah perjuangan manusia dan gagasan, bukan hanya kondisi material dari keberadaan mereka. Jika bukan karena tindak kekerasan yang dilakukan oleh Daendels dan Raffles di istana-istana Jawa tengah-selatan dalam empat tahun yang singkat antara tahun 1808 dan 1812, kekerasan yang mencabik-cabik keraton Yogyakarta, orang dapat membayangkan Dipanegara hidup dalam ketidakjelasan yang tenang di Tegalreja, menjalankan tugas agamanya dan mati di pertengahan abad sebagai pangeran ‘santri’ yang aneh, momok bangsawan Yogya dan orang Belanda kafir.

Terlepas dari kemampuannya yang nyata, fakta bahwa ia tidak menilai satu referensi pun dalam laporan Inggris (1811-1816), suatu periode ketika ia dianggap berperan sebagai penasihat kunci ayahnya, Hamengkubuwana III (bertakhta 1812-14), dan mentor adik lelakinya, Hamengkubuwana IV (bertakhta 1814-22), menunjukkan bahwa ia bukanlah sosok yang cukup menonjol dalam kehidupan politik kesultanan yang ingin ia gambarkan dalam Babad-nya. Residen Belanda di Yogyakarta, Huibert Gerard Nahuys van Burgst (1782-1858; menjabat 1816-1822) mungkin lebih tepat ketika menggambarkan Dipanegara dan pamannya, Pangeran (pasca 1830, Panembahan) Mangkubumi (1781-1850), sebelum Perang Jawa sebagai orang-orang yang “berdiri cukup netral dan secara universal dianggap sebagai orang-orang baik yang pendiam tanpa sedikit pun ambisi”.[xix]

Krisis agraria tahun 1823-1825 dan ketidakmampuan perwakilan Belanda di Yogyakarta dalam dua tahun menjelang Perang Jawa adalah dua katalisator munculnya sang pangeran sebagai tokoh politik utama, seperti halnya Gubernur Jenderal G.W. Baron van Imhoff (menjabat 1743-1750) dan masalah persewaan wilayah pesisir Mataram terjadi pada saat pemberontakan Sultan Mangkubumi pada 1746.[xx] Namun, setelah berperan sebagai pemimpin, Dipanegara mengemban tugasnya dengan kompetensi dan daya tarik yang bahkan lebih besar dari kakek buyutnya yang disegani, Mangkubumi.

Seorang Muslim yang taat, yang percaya dirinya sebagai bagian dari komunitas internasional orang-orang beriman (umat), ia adalah apa yang Ricklefs gambarkan sebagai personifikasi dari “sintesis mistik” di Jawa[xxi]–seorang Muslim Jawa yang tidak melihat masalah untuk menghubungi penguasa Samudra Selatan, melakukan ziarah ke tempat-tempat suci yang berhubungan dengan roh penjaga dan penguasa Jawa, dan minum botol-botol ‘obat’ anggur putih Afrika Selatan, Constantia, yang manis, sambil mempertahankan komitmen teguh pada kewajiban Islamnya.

Lukisan khayali berwarna yang menggambarkan Pangeran Dipanegara di Fort/Benteng Rotterdam sedang membaca sebuah teks tentu ilmu mistik Islam (tasawuf) didampingi istri yang sah, Raden Ayu Retnoningsih (sekitar 1810-1885), dan seorang putra, disebut “Ali Basah”, yang sedang melihat punakawan Pangeran, Bantengwareng (sekitar 1810-1858), atau bayangan sebuah makhluk halus. Foto dari Leiden Codex Orientalis 7398, koleksi Snouck Hurgronje, seizin Universiteitsbibliotheek Leiden (UBL).

Sebagai bagian dari ”bayangan panjang Sultan Agung”,[xxii] Dipanegara berjuang baik untuk pemulihan masa lalu Jawa yang ideal maupun pembentukan tatanan moral baru yang di dalamnya ajaran Islam, terutama kode hukumnya, akan ditegakkan. Ini adalah inti dari seruan populernya bagi komunitas agama dan kepentingannya untuk masa depan, dengan bentuk khusus dari ‘sintesis mistik’ akan menjadi bagian kunci dari kesalehan Islam dalam masyarakat Jawa pasca-1830.[xxiii] Desakannya pada norma-norma budaya Jawa dalam bahasa, pakaian, dan tata krama juga memberinya peran sebagai seorang nasionalis proto Jawa. Inilah seorang pria yang, dalam kata-kata mantan Gubernur Pantai Timur Laut Jawa, Nicolaus Engelhard (1761-1831; menjabat, 1801-1808), adalah “dalam segala hal seorang Jawa dan mengikuti adat Jawa”.[xxiv]

Kendati begitu, seseorang tidak dapat menelusuri ini terlalu jauh. Tidak ada indikasi bahwa ia memiliki gagasan tentang kemerdekaan nasional dalam pengertian modern, bahkan untuk tanah kelahirannya, Jawa. Memang, diperlukan hampir satu abad lagi setelah Perang Jawa sebelum gagasan-gagasan seperti itu diterima secara universal di kalangan elite nasionalis Indonesia. Yang paling bisa dibayangkan Dipanegara adalah kembalinya status quo awal abad ke-17. Dari kesaksian dua orang penasihat dekatnya, Haji Hasan Munadi (Kiai Samparwedi), komandan pengawalnya keturunan Arab, dan Basah Kerta Pengalasan (sekitar 1790-pasca-1866), ia teringat zaman ketika Belanda berperan terbatas di pantai timur laut Jawa sebagai pedagang dan tidak terlibat secara politik dalam urusan-urusan istana Jawa bagian selatan-tengah. Ia bahkan berbicara, Munadi menyarankan, tentang rencana mengalokasikan dua kota pantai utara Belanda—Batavia dan Semarang—tempat mereka akan diizinkan tinggal dan mengejar kepentingan komersial mereka tanpa hambatan, asalkan ini tidak mengeksploitasi penduduk lokal[xxv]—desakan Dipanegara pada pasar harga-harga yang harus dibayar untuk produk-produk Jawa dan kontrak-kontrak sewa tanah yang sedang berlangsung dengan mempertimbangkan apa yang akan terjadi di bawah Sistem Tanam Paksa (1830-70) Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch.[xxvi] Ini mengingat kembali situasi yang ada pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1646) sebelum bencana politik penggantinya, Amangkurat I (bertakhta 1646-1677), membuka jalan besar bagi intervensi Belanda di pedalaman Jawa.

Bahwa hal ini adalah mimpi yang mustahil sudah terbukti dengan sendirinya. Terlepas dari ketidakamanan transisi Belanda dari republik patrician ke negara bangsa dan monarki berkonstitusi antara tahun 1785 dan 1813—tepatnya masa muda dan awal kedewasaan Dipanegara—tidak ada kemungkinan bagi Belanda untuk mundur ke status quo di awal era Kompeni (VOC). Kebijakan pos Daendels dan arogansi Inggris yang tak tertahankan adalah bukti yang cukup bahwa bentuk baru kekuatan Eropa sekarang sedang diterapkan pada urusan kolonial. Prometheus Eropa telah tidak lagi terikat.

Bahkan ketika pemerintahan Belanda pasca-19 Agustus 1816 yang tidak berpengalaman kembali mendekati bencana pertama-tama dengan memperburuk krisis agraria yang memicu Perang Jawa dan kemudian dengan membuang waktu dua tahun (1825-1827) sebelum gelombang pertempuran dapat berbalik melawan pasukan Dipanegara, kemungkinan keluarnya Belanda dari Jawa tidak pernah menjadi pilihan.

Pentingnya Jawa bagi perekonomian Belanda pasca-1830 akan menjadi argumen yang cukup untuk hal ini—simak rencana Palmer & Company dari Kolkata, bank swasta kreditur utama negara kolonial Belanda, untuk mengirim sepoy ke Jawa pada Mei 1826 untuk membantu membalikkan keadaan, berjuang dan memastikan keamanan pinjaman enam juta rupee Sicca (setara dengan uang US$150 juta sekarang [2022]) mereka.[xxvii]

Gambar berwarna yang dibuat pelukis Jawa dari pertempuran antara pengikut Dipanegara dan pasukan Belanda dan Jawa dari Kraton Yogyakarta di kediaman Pangeran Dipanegara di Tegalreja pada 20 Juli 1825 yang mengawali Perang Jawa (1825-30). Dari Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) Oriental MS 13 (Buku Kedhung Kebo), folio 99. Foto seizin Universiteitsbibliotheek Leiden (UBL). (*) Dipanegara ada di sisi kiri di atas kuda hitam kesayangnya, Kiai Gentayu (Gitayu)., dan dilindungi songsong jenar (payung kuning), lambang kebesaran sebagai Sultan Erucokro (Ratu Adil). dan pemimpin perang sabil. Alasan kenapa Dipanegara tidak ditampilkan dengan pakaian khas perang sabil, yang dia kenakan selama perang, yaitu serban dan jubah putih, adalah karena pemerintah Hindia Belanda setelah 1830 menganggap pakaian itu sebagai lambang kejahatan subversi bagi bangsawan Jawa, dan naskah ini ditulis oleh seorang sekutu Belanda, Raden Adipati Cokronegoro I dari Purworejo (1779-1862; menjabat 1831-56).

Namun, rasa tidak aman Belanda tetap ada. Pemberontakan Belgia yang berhasil pada 25 Agustus 1830-21 Juli 1831 meningkatkan semangat mereka, dan untuk sementara mengancam Belanda dengan invasi Prancis dan perang Eropa baru. Bagi Dipanegara ini berarti penangkapan dan pengasingan singkat, sebuah pengasingan dengan ketakutan Belanda mendikte rezim yang semakin ketat yang selama dua puluh dua tahun terakhir menahan dirinya dan keluarganya di Fort Rotterdam di Makassar. Kematian Dipanegara yang mengenaskan di ibu kota Sulawesi Selatan pada 8 Januari 1855 menunjukkan tragedi kemanusiaan dalam inti kisah ini. Ia menghabiskan sisa hidup dalam penderitaan keluarga dan kehancuran masyarakat. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Van den Bosch mungkin merupakan penyelamatan negara Belanda, tetapi kebijakan tersebut menimbulkan bencana bagi orang Jawa. Setelah tahun 1830 sebuah dunia baru telah lahir. Itu adalah titik balik yang sama pentingnya dengan sejarah kolonial. Namun, itu akan membutuhkan biaya yang mengerikan.

 

Warisan Dipanegara untuk Kemanusiaan

Terakhir, bagaimana dengan warisan Dipanegara sebagai manusia? Sebagai pahlawan nasional Indonesia, status yang layak bagi dirinya untuk negaranya, tetapi bagaimana dengan nilai-nilai yang lebih dalam? Singkatnya, apa arti penting Dipanegara bagi dunia? Apa yang bisa kita pelajari dari kehidupan seperti itu? Kesampingkan sejenak kelahirannya yang mulia, koneksi keratonnya, kesalehan muslimnya yang sinkretis, kepercayaan Jawa dan kepemimpinannya dalam Perang Jawa. Apa yang tersisa? Apa akar dari kejeniusan Dipanegara? Apa yang membuatnya istimewa? Mengapa otobiografinya—salah satu otobiografi pertama yang pernah ditulis dalam bahasa Jawa Modern—dianggap layak dalam Daftar Memori Dunia UNESCO?

Jawabannya terletak pada kepekaannya sebagai manusia: yaitu, kemampuannya yang sangat Jawa untuk mengenali kompleksitas dunia tetapi pada intinya sangat sederhana. Masa pendidikannya di bawah sang nenek yang keras di lingkungan Desa Tegalreja akan memberikan banyak informasi. Ada banyak hal tentang Dipanegara yang mencerminkan nilai-nilai bumi desa Jawa: kekuatan fisiknya, kegigihannya untuk berjalan kaki (dan tidak hanya berziarah)—menyaksikan perjalanan pulang pergi sejauh 60 kilometer yang ia lakukan dari Tegalreja ke daerah Delanggu selama periode Keresidenan Nahuys van Burgst (1816-22) untuk mencari anak sulungnya yang telah menjadi murid Kiai Maja,[xxviii] partisipasi tahunannya dalam panen padi di tanah perkebunannya di selatan Yogya,[xxix] kelihaiannya dengan uang yang bahkan terkesan Belanda yang suka mencari uang,[xxx] perhatian yang ia ambil dengan administrasi tanahnya (tidak biasa di dunia keraton Jawa selatan-tengah pada waktu itu),[xxxi] kelembutan ekspresi dan kebenciannya pada keangkuhan dan pertunjukan,[xxxii] kedekatannya dengan alam[xxxiii], dan daya tarik dengan binatang.[xxxiv]

Ada juga kejujuran yang melucuti senjata—simak pengakuannya dalam penglihatan mistiknya tentang Raja Adil (Ratu Adil) pada 1824 bahwa ia tidak dapat bertarung karena ia tidak “tahan melihat kematian” (tan bijak ika // aningali dhumateng pěpati)[xxxv] atau—pada tataran yang sama sekali berbeda—pengakuannya dalam otobiografinya tentang kelemahannya yang melekat pada wanita, yang berbagai daya tariknya ia gambarkan dengan mata seorang penikmat.[xxxvi] Bahkan selama perjalanan panjangnya ke Banyumas bagian barat pada akhir 1829, ketika ia berada dalam cengkeraman penyakit malaria tropis yang parah, ia masih memiliki waktu untuk menghargai pesona ahli jamu (dukun) wanita tua—seorang janda genit—yang merawatnya.[xxxvii] Membaca Babad-nya, seolah-olah sang pangeran sedang duduk di ruangan yang sama dengan pembaca, begitu langsung dan jelas gaya ekspresinya. Kejelasan yang sama inilah yang begitu mengejutkan pengawalnya seorang perwira Jerman, Julius Heinrich Knoerle (1796-1833), selama percakapan dengan sang pangeran selama perjalanan ke pengasingan.[xxxviii]

Ekspresivitas seperti itu menggarisbawahi kreativitas yang mendasarinya, kemampuan untuk bergerak maju dan menciptakan dunia baru —apa yang bisa disebut “hijrah” (perjalanan/penerbangan yang bertujuan).[xxxix] Orang dapat menggarisbawahi di sini hijrah Dipanegara dari Tegalreja ke Selarong pada malam 20/21 Juli 1825—pengibar bendera Perang Jawa—kobaran api kediamannya menerangi langit sore saat ia “menari” (tandak) di tengah pengawalnya yang membawa tombak.[xl] Orang juga berpikir tentang hijrah besar lainnya dalam kehidupan sang pangeran: penangkapannya oleh Jenderal de Kock di Magelang pada 28 Maret 1830 yang menandai awal hidupnya sebagai tawanan dan pengasingan—posisinya sebagai Ratu Adil ditukar dengan “dua kamar yang panas dan menyedihkan di Fort Rotterdam”.

Inilah yang disebut oleh penari, koreografer, dan pencipta “Opera Diponegoro” (1995) terkemuka Indonesia, Profesor W. Sardono Kusuma, sebagai “penerbangan dari fisik ke intelektual” ketika sang pangeran pindah dari ranah fisik Perang Jawa ke ranah intelektual kepenulisan dan ranah meditatif dan artistik dari gambar daérah (diagram mistik) dan penyalinan Al-Qur’an. Mereka yang mengamati transisi ini berbicara tentang “ketidakpedulian, kepasrahan,[xli] atau ketundukan” Dipanegara yang tidak berubah, yang digambarkan oleh sang pangeran sendiri dalam istilah puitis seperti “emas yang dihanyut oleh air” (lir mas kintaring toya).[xlii]

Bahkan dalam kehilangan ada humor dan kemampuan untuk mundur. Di sini orang berpikir tentang pernyataan Dipanegara kepada perwira Jerman yang mengawalnya bahwa hidup adalah bisnis yang aneh ketika pada putaran roda nasib seseorang dapat kehilangan seluruh dunia dan direduksi menjadi kehidupan buronan.[xliii] Memang, seolah-olah semakin terbatas ruang fisik luar yang didiami sang pangeran, semakin luas wilayah batinnya.

Besarnya curahan sastranya di Manado dan Makassar menjadi saksi fakta ini. Di sini ada kesamaan dengan orang lain seperti Mahatma Gandhi (1869-1948), yang dunia fisiknya juga sering dihabiskan di sel penjara hanya untuk menemukan berkembangnya kreativitas batin baru yang mengubah penjaranya menjadi ashram (tempat retret spiritual). Kedalaman spiritual yang lahir dari kehidupan meditasi jelas sangat berarti di sini. Tentu saja, dalam kasus Dipanegara, buah dari tapanya dapat dilihat dari apresiasinya terhadap seni dan alam, serta keterampilannya dalam membaca karakter dan hubungan pribadi dari studi tentang wajah (ilmu firasat). Kebijaksanaan Dipanegara menunjukkan bahwa ia adalah orang yang sederhana, sadar akan kerumitan tetapi benar-benar berterus terang.

 

Kesimpulan

Di zaman imperialisme dan kolonialisme Belanda yang brutal dan kacau, kebijaksanaan Dipanegara menonjol dengan jelas dan tidak ternoda. Meskipun hidup melalui “masa kegilaan” (zaman edan), ia menjaga integritasnya. Tidak seperti penasihat agama utamanya, Kiai Maja (sekitar 1792-1849), yang menjadi xenophobic (benci kepada orang-orang asing) atau fanatik. Tidak pula seperti panglima angkatan daratnya yang masih muda, Ali Basah Sentot (1808-1855) yang membuat kesepakatan dengan Belanda (16 Oktober 1829). Sebagai penguasa Yogyakarta sekarang, Sultan Hamengkubuwana X (bertakhta 1988 hingga sekarang), menyampaikan pidatonya pada gelaran “Opera Diponegoro” karya Sardono W. Kusumo di Yogyakarta. Gelaran tersebut memperingati seratus tahun berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 2008.

Menurut Sultan, dalam pidato tersebut, Dipanegara bukanlah pengkhianat kepada rajanya saat itu—Sultan Hamengkubuwana V (bertakhta 1822-1826/1828-1855)—maupun kepada keraton Yogya. Sebaliknya, keputusannya untuk melakukan perlawanan pada Juli 1825 ditentukan oleh keadaan saat itu. Ia tidak punya pilihan lain. Ia juga mencontohkan dalam hidupnya apa yang oleh tradisi samurai Jepang disebut sebagai “the nobility of failure (keluhuran kegagalan)”: yaitu, tetap berpegang pada cita-cita—dalam kasus Dipanegara, kebangkitan agama Islam di Jawa (mangun luhuripun agami Islam wontěn ing Tanah Jawa sědaya)—meskipun ia tahu akan kalah.

Seperti yang diramalkan kakek buyutnya, Sultan Mangkubumi (bertakhta 1749-1792) ketika sang pangeran masih bayi dalam gendongan di Keraton Yogya pada akhir 1785, ia akan menyebabkan lebih banyak kehancuran bagi Belanda daripada yang telah dilakukannya selama Perang Giyanti (1749-55) tetapi hanya Yang Mahakuasa yang mengetahui hasil akhir.[xliv]

Pilihan Dipanegara untuk pergi meninggalkan Jawa adalah hijrah dari hadapan pengkhianatan dan kesewanang-wenangan. Sang pangeran menjelaskan sejarah perlawanannya dengan bangunan kultus hero Ratu Adil dan perjuangan merebut kedaulatan Jawa.

Aspek ini menunjukkan perlawanan Dipanegara dalam bentuk lain, kekalahan yang diekspresikan dalam bentuk karya sastra. Babad Dipanegara menjelaskan kepada kita tentang arti kemenangan dan kekalahan, memoar sekaligus maklumat keteguhan sebuah bangsa yang tak mau menyerah pada hegemoni imperialisme dan kolonialisme.

Sang pangeran lebih memilih Mekkah, pusat peradaban Islam dan asal-usul spirit Perang Suci yang ia lakoni sebagai tujuan akhir hidup. Meskipun, hasrat tersebut pada akhirnya tak pernah tercapai akibat rekayasa kejahatan yang dilakukan oleh Belanda kepada Dipanegara di tempat pengasingannya. Di sisi lain, Babad ini menjadi sumber untuk merekonstruksi ingatan tersebut bagi masa kini. Kehadiran Babad ini juga penting untuk kepentingan reproduksi kultural Jawa yang menggambarkan masa silam melalui penjelasan tentang wejangan dan cara hidup manusia Jawa yang diguratkan sang pangeran untuk kita.

 

CATATAN AKHIR

* Taufiq Hakim menulis bagian pertama artikel ini, yang merujuk pada aspek psikologis Babad Dipanegara, dan Peter Carey menyumbangkan bagian kedua tentang karakter dan sosok pribadi sang pangeran mulai “Peninggalan Dipanegara dalam sejarah Jawa dan Indonesia” sampai akhir. Dua penulis juga saling membaca dan menyunting tulisan penulis yang lain.

[i] Untuk diskusi mengenai identitas sang juru tulis yang dipakai Dipanegara di Manado, lihat Carey, Peter 2012. Kuasa Ramalan; Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia), hlm. 870 catatan kaki 233.

[ii] Naskah asli Babad Dipanegara (944 hlm. folio) telah hilang sesudah dipinjam oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Paguyuban Batavia untuk Budaya dan Sains) pada tahun 1863-4 dan 1866-7, tetapi sebuah salinan (1.151 folio) dibuat atas prakarsa ahli sastra Jawa kuno, Dr A.B. Cohen Stuart (1825-76), oleh juru tulis Cohen Stuart, Raden Abdul Samsi. Naskah salinan ini sekarang terdapat di Museum Nasional (MusNas) dengan nomor BG 282, lihat Carey, Peter 2019. Babad Dipanegara: A Surakarta Court Poet’s Account of the Outbreak of the Java War (1825-30) (Kuala Lumpur: Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society [MBRAS], edisi revisi kedua dari terbitan pertama 1981), hlm. xxvi, lxvi catatan kaki 7. Naskah Babad Dipanegara yang dipakai sebagai rujukan untuk artikel ini adalah Universiteits Bibliotheek Leiden (UBL, Perpustakaan Universitas Leiden) Codex Orientalis (Lor) 6547 a-d, sebuah salinan beraksara Jawa dari Br 149 a-d, sebuah versi beraksara Jawa dari BG 282 yang sekarang terdapat di Perpustakaan Nasional. Salinan ini dibuat untuk Professor G.A.J. Hazeu (1870-1929), Adviseur voor Inlandsche Zaken (Penasihat untuk Urusan Pribumi, menjabat 1904-12, 1916-20), saat ia menjabat sebagai Adviseur/Penasihat.

[iii] Florida, Nancy K. 1995. Writing the Past, Inscribing the Future: History as Prophecy in Colonial Java (Durham: Duke University Press), hlm. 264-68. Lihat juga Remmelink, Willem, peny. dan terj. (2022). Babad Tanah Jawi–The Chronicle of Java. The Revised Prose Version of C.F. Winter Sr. (KITLV Or 8). (Leiden: Leiden University Press), hlm. xv-xvii.

[iv] Ricklefs, M.C. 2021. Samber Nyawa: Kisah Perjuangan Seorang Pahlawan Indonesia Pangeran Mangkunegara I (1726-1795). Terj. Muhammad Yuanda Zara (Jakarta: Penerbit Buku Kompas).

[v] Lihat juga Ricklefs 2021: 495-7, yang mengisahkan Serat Babad Pakunegaran (British Library, London, Additional MS. 12318, salinan tahun 1779) sebagai otobiografi Raden Mas Said (1726-95; Mangkunegara I, bertakhta 1757-95), dengan merujuk kepada catatan bagian akhir (f. 418r) bahwa “ingkang murwa carita, Kangjeng Pangéran Dipati, ingkang saking lalana andon ayuda [Penulis cerita ini adalah Pangeran Dipati (Mangkunagara) yang telah kembali dari perjalanannya selama perang]”.

[vi] 300 tahun setelah wafat Sultan Agung pada sekitar Maret 1646 adalah Maret 1946. Tapi kalau kita ambil perhitungan tahun Jawa (A.J.) dari bulan Sura A.J. 1568 (Maret 1646) adalah bulan April 1937 (Sura A.J. 1868) dalam tahun masehi.

[vii] Crawfurd, John 1971. A Descriptive Dictionary of The Indian Islands and Adjacent Countries, intro. M.C. Ricklefs, Oxford in Asia Historical Reprints (Kuala Lumpur, dan lain-lain: Oxford University Press), hlm. 151. Lihat juga Ricklefs 2021: 489-90.

[viii] Freud, Sigmund 1917. Mourning and Melancholia. The Standard Edition of The Complete Psychological Works of Sigmund Freud, Jilid XIV (1914-1916): On the History of the Psycho-Analytic Movement, Papers on Metapsychology and Other Works. Terj. James Strachey (London: The Hogarth Press dan The Institute of Psycho-Analysis).

[ix] Babad Dipanegara, 28 (Sinom): 108-110. 108. Sang Nata duk salat Subuh / jroning salat aningali / kadya ingkang garwa prapta / nuhun pamit mring Něrpati / kondur dhatěng Rahmatollah / bakda salat Sribupati // 109. Mapan lajěng pungun-pungun / Kangjěng Ratu kang kaeksi / lěnggah neng empěring langgar / pan sarwi sěndheyan iki / mapan tan arsa ngandika / kang samya sohan ningali //110. Namun sungkawa Sang Prabu / dadya jrih tumungkul sami / […].

[x] Lihat Babad Dipanegara, 21 (Durma): 149-150. 149. Suwaliye udani/ yen litnangnya pějah/ lajěng wangsul sědaya/ sěsanděran usar sami/ mring Těgal Arja/ ngrisak lawan běsmeni// 150. Sampun tělas sagung brana Těgal Arja/ něnga gěntya winarni/ něnggih Jěng Pangeran/ mapan esmu sayahan/ lawan malih angěntosi/ kang dereng prapta/ langkung asmara kingkin//. Artinya: “Suwaliye [P.F.H. Chevallier, Asisten-Residen Yogyakarta, 1823-25] mengerti bahwa letnannya meninggal [tidak jelas siapa letnan yang dimaksud disini, tapi lihat catatan kaki xl]. Semua lalu kembali beriringan pasukan berkuda menuju Tegalreja [untuk] merusak dan membakar [tempat itu]. Sudah habis semua harta Tegalreja. Didiamkan, ganti [yang] dikisahkan. Kangjeng Pangeran tampak lesu seraya juga menanti [mereka] yang belum tiba. [Keadaannya] sangat menyedihkan.” 

[xi] Raden Ayu Maduretno, anak Raden Rongga Prawiradirja III, Bupati Wedana Madiun (sekitar 1779-1810; menjabat 1796-1810), dan permaisuirnya, Ratu Maduretno (sekitar 1782-1809), meninggal karena sakit di Kawisarjo, Kulon Progo, pada sekitar 20 November 1827, berumur 29 tahun, lihat Carey 2012, hlm. 917 catatan kaki 9.

[xii] Tentang istrinya, Raden Ayu Maduretno, lihat catatan kaki 11 di atas. Tentang kehilangan pamannya, Pangeran Ngabehi (pra-1825, Jayakusuma, sekitar 1788-1829) dan dua putranya, Pangeran Jayakusuma II dan Raden Mas Atmakusuma, di Pegunungan Kelir antara Kulon Progo dan Bagelen pada 21 September 1829 malam, lihat Carey 2012:776 catatan kaki 4; dan untuk pembantaiannya pakdhe-nya, Pangeran Panular (sekitar 1772-1826), dan banyak kerabat dekat lainnya di Lengkong di Kulon Progo pada 30 Juli 1826, lihat Carey 2012: 757; dan Jan Hageman Jcz 1856. Geschiedenis van den oorlog op Java van 1825 tot 1830 (Batavia: Lange), hlm. 197; dan Margono Djojohadikusumo. Memories of Three Periods: A Written Family History. Terj. dan peny. Simon C. Kemper (Jakarta: Arsari), hlm. 273-4 (yang salah menyebut tanggal pertempuran di Lengkong sebagai 31 Juli 1826, lihat hlm. 273 catatan kaki 219).

[xiii] Lihat Carey 2012: 978, yang menguraikan bagaimana Dipanegara menganjurkan kepada putra sulung, Pangeran Dipanegara Muda (sekitar 1803-pasca Maret 1856), dan dua kerabat dekat lain (putra menantu, Basah Mertanegara [sekitar 1808-pasca-Maret 1856], dan adiknya, Basah Gandakusuma, sekitar 1810-85), untuk minta saran kepada Kapitan Roeps kalau mereka merasa kesulitan: karo dene maneh pamanira Kapitan Rup iku bangě[t] pracayaningsun wěkasaningsun marang sira Dipaněgara Měrtaněgara Ga[n]ndakusuma yen ana kěng dadi kasusahane atenira běcik pamanira Kapitan Rup sira ajak rěrěmbugan [Lagipula, saya percaya sepenuhnya dengan pamanmu Kapten Roeps (dan) saya memerintahkan kamu, Dipanegara, Mertanegara (dan) Gandakusuma, jika kamu merasa kesulitan barang sedikit pun, sebaiknya kamu minta saran kepada pamanmu Kapten Roeps itu].”

[xiv] Goethe, J.W. 1960. Campagne in Frankreich 1792 (1822) dalam Erich Trunz (ed.), Goethes Werke, X: Autobiographisches Schriften II (Hamburg: Wegner), hlm. 235.

[xv] Elson, Robert 1994. Village Java under the cultivation system 1830-1870 (Sydney: Allen & Unwin), hlm. 99-127.

[xvi] D’Almeida, W.B. 1864. Life in Java with sketches of the Javanese (London: Hurst & Blackett), II: 292. Kutipan lengkap berbunyi: ‘café et sucre, sucre et café, c’est tout-ce qu’on parle ici. C’est vraiment un air triste pour une artiste’ (‘kopi dan gula, gula dan kopi, hanya itulah saja yang dibicarakan orang-orang di sini. Memang sebuah suasana yang menyedihkan untuk seorang seniman’).

[xvii] Nieuwenhuys, Rob 1973. Oost-Indische Spiegel; Wat Nederlandse schrijvers en dichters over Indonesië hebben geschreven, vanaf de eerste jaren der Compagnie tot op heden (Amsterdam: Querido), hlm. 149-50.

[xviii] Ricklefs, Merle C. 1998a. The seen and unseen worlds in Java, 1726-1749; History, literature and Islam in the court of Pakubuwana II (Sydney: Allen & Unwin), hlm. 39-91, 106-26, 214-60, 253-309.

[xix] Universiteits Bibliotheek Leiden (UBL), Bibliotheca Publica Latina 616, Portfolio 11 bagian 13, H.G. Nahuys van Burgst, “Onlusten op Java [Kerusuhan di Jawa]”, Februari 1826.

[xx] Ricklefs, Merle C. 1974. Jogjakarta under Sultan Mangkubumi, 1749-1792: A History of the division of Java (Oxford: Oxford University Press), hlm. 40-43.

[xxi] Ricklefs, Merle C. 2007. Polarising Javanese society; Islamic and other visions (c. 1893-1930) (Singapore: National University of Singapore Press), hlm. 8.

[xxii] Merle C. Ricklefs 1998b. ‘Islamising Java: The long shadow of Sultan Agung’, Archipel 56, hlm. 469-82.

[xxiii] Ricklefs 2007: 30-83.

[xxiv] Kemp, P. H. van der 1896. ‘Dipanegara, eene geschiedkundige Hamlettype’, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 46:416.

[xxv] Carey 2012: 780-81.

[xxvi] Carey 2012: 783-84.

[xxvii] Carey 2012: 501.

[xxviii] Carey 2012: 109.

[xxix] Carey 2012: 92, merujuk kepada Louw, P.J.F. dan E.S. de Klerck 1894-1909. De Java-oorlog van 1825-1830 (‘s-Gravenhage: Nijhoff, Batavia: Landsdrukkerij) V, hlm.744.

[xxx] Carey 2012: 16-17, 862 catatan kaki 212.

[xxxi] Carey 2012: 16-17, 92.

[xxxii] Lihat Carey 2012: 245, yang menguraikan bagaimana Dipanegara mengecap kunjungan resmi Daendels ke Yogyakarta (29 Juli-2 Agustus 1809) sebagai pembuangan waktu: Babad Dipanegara XIV (Sinom): 96. 96. […]/ mapan kathah bicara kang nora dadya [banyak omong tapi tiada buktinya]; atau Carey 2012: 128, yang menguraikan bagaimana Nahuys van Burgst diacuhkan saja oleh Pangeran sebagai orang yang “hanya tahu makan-minum dan menebarkan gaya hidup Belanda saja”: Babad Dipanegara XVIII (Kinanthi) 130-31. 130. […]/ Inggris wus salin Walanda/ Rěsidhen Nahis nameki// 131. Karěmannya mangan-minum / lan anjrah cara Walandi/ […] [Inggris sudah diganti Belanda (19 Agustus 1816)/ Residen Nahuys namanya. 131. Kesenangan makan-minum dan menebarkan gaya hidup Belanda saja].

[xxxiii] Carey 2012: 101-2; Carey 2019: 7-9, 239-41 catatan 22-25, tentang tata-letak kebun dan area buah-buahan, sayur-mayur dan semak-belukar di atas lahan-lahannya di Tegalreja dan Selarong, dekat Gua Secang di Kabupaten Bantul, selatan Yogyakarta.

[xxxiv] Carey 2012: 101-2, sang pangeran merujuk dengan penuh perasaan pada bermacam jenis hewan yang menemaninya selama menyepi: ikan di Selorejo, penyu, perkutut, buaya, dan macan kala menyepi di hutan semasa Perang Jawa, serta burung kakatua kesayangannya selama pengasingannya di Manado dan Makassar.

[xxxv] Carey 2012:667.

[xxxvi] Carey 2012: 138 catatan kaki 72, Babad Dipanegara XIV (Sinom): 62. 62. […] nanging sifat ngaral měksih / asring kenging ginodha dhatěng wanodya [(…) sifat mengganjal masih / sering tergoda oleh perempuan]. Lihat juga Louw dan De Klerck 1894-1909, I: 151, yang menguraikan bagaimana Residen Daniel François Willem Pietermaat dari Manado (menjabat 1827-31) melaporkan bahwa “percakapannya yang paling banyak adalah tentang para perempuan dan tampak [Pangeran] menanggap diri-sendiri sebagai kekasih yang menawan”.

[xxxvii] Carey 2012: 777 catatan kaki 7, Babad Dipanegara XXXVIII (Mijil):158-9, 158. […]/ ing Sěbedha na dhukun sawiji / wus sěpuh pawestri / gumati kělangkung // 159. Mapan dhatěng kangjěng sri bupati /ragi kěnes mangko/ rondha Nyai Asmaratarune/ […] [(…) di Sebodo ada seorang dukun / perempuan tua/ yang amat penuh perhatian. 159. (Seorang) yang agak genit/ janda (namanya) Nyai Asmarataruna/ (…)].

[xxxviii] Carey 2012: 849-50.

[xxxix] Wawancara dengan Profesor Sardono W. Kusumo, Jakarta, 19 November 2009.

[xl] Carey 2012: 707, merujuk kepada catatan buku harian tertanggal 21 Juli 1825 dari pelukis Belgia, A.A.J. Payen (1792-1853), yang mendapat laporan dari teman karib Belgia, Letnan Jean Nicolaas de Thierry (1783-1825), yang memimpin pasukan kavaleri pada penyerangan Tegalreja (20 Juli 1825), dan tujuh hari kemudian (27 Juli 1825) membunuh diri atas perasaan menyesal dan keputusasaan: ‘[pasukan Belanda] dapat melihat para pemberontak mundur pelan-pelan melewati sawah-sawah. Pangeran [Dipanegara] berada tidak jauh menunggang seekor kuda hitam gagah [Kiai Githayu] dengan perlengkapan sangat bagus. Ia berpakian putih seluruhnya bergaya Arab. Ujung sorbannya melambai diterpa angin selagi ia membuat kuda berjingkrak. Tali kekang diikatkan ke sabuknya, ia [tampak] menari-nari [tandak] di tengah pasukan kawalnya yang menyandang tombak.”

[xli] Carey 2012: 811, merujuk pada laporan Mayor F.V.H.A. de Stuers (1792-1881), yang diterbitkan Louw dan De Klerck 1894-1909, V: 746).

[xlii] Carey 2012 :810.

[xliii] Carey 2012: 144 catatan kaki 83, yang menguraikan bagaimana Dipanegara melaporkan bahwa ia telah mempunyai sekitar 60 perawat kuda di Tegalreja sebelum Perang Jawa.

[xliv] Carey 2012: 83 catatan kaki 7, Babad Dipanegara XIV (Sinom): 45-46. 45. […]/ wus karsaning Hyang Widhi / pan pinasthi iya karya lampahan // 46. pan iku luwih lan ingwang / rusake Wělonda benjing / wěkasan Walahu Alam/ […] [ (…) sudah kehendak Tuhan/ yang menentukan riwayat hidup (kita sebagai manusia) //46. Bahwa (ia) akan melebihi saya / dengan membawa kerusakan kepada Belanda besok / (tapi) hanya Tuhan YME yang tahu ujungnya]. 

Esai30 April 2022

Taufiq Hakim dan Peter Carey


Taufiq Hakim merupakan seorang pelajar filologi. Ia mendalami kajian manuskrip, khususnya era Majapahit hingga Mataram Islam. Bersama beberapa teman ia mendirikan Komunitas Jangkah Nusantara pada 2017, komunitas anak muda Yogyakarta yang rutin mengkaji manuskrip. Buku-bukunya antara lain Kiai Sholeh Darat dan Dinamika Politik di Nusantara Abad XIX, Pemberontakan Mistik Syekh Siti Jenar, dan Perang Jogja, Bara di Pelataran Sri Manganti. Selain menulis buku dan antologi, ia pernah terlibat sebagai tim kurator pada pameran manuskrip Quran di Kadipaten Pakualaman (2019), Festival Indonesia Rusia (FIM) 2019), serta tim ahli pameran manuskrip yang digelar oleh National Library of Singapore (2022) dan Islamic Arts Museum Malaysia (2022) di bidang manuskrip dan peta kuno. Ia bisa disapa di sajjanacarita@gmail.com.

Peter Carey lahir di Rangoon, Birma (kini Myanmar), 30 April 1948, adalah Emeritus Fellow di Trinity College, Oxford, dan Adjunct Professor (Guru Besar Tamu) di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Ia mendapat gelar BA (pada 1969) dari Oxford University, serta pertama kali memiliki ketertarikan pada Asia Tenggara, khususnya Indonesia, saat belajar satu tahun di Cornell University (1969-70). Ia pernah mengadakan penelitian lapangan selama empat tahun di Indonesia (1971-73, 1976-78) dan mengajar sejarah modern sebagai dosen dan fellow di Trinity College, Oxford, pada 1979 hingga 2008. Karya utamanya adalah The British in Java, 1811–1816: A Javanese Account (1992) dan The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785–1855 (2007). Ia juga sudah menulis tentang Birma (Myanmar) dan Timor-Leste. Bukunya yang paling mutakhir adalah sebuah karya yang disunting bersama Farish A. Noor berjudul Racial Difference and the Colonial Wars of 19th Century Southeast Asia (2021).