Menelusuri Puisi Gay Indonesia Periode 1980-an
Berawal dari Kegamangan
Saya ingin memulai esai ini dengan sebuah pertanyaan sederhana. Apakah yang membuat suatu puisi dapat disebut sebagai puisi ? Sebuah langkah awal untuk menjawabnya barangkali dapat dimulai dengan mendefinisikan apa yang sesungguhnya termaktub dalam istilah queer yang semakin marak digunakan dalam leksikon aktivisme Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) urban Indonesia sejak tahun 2016[1]. Pada tahun tersebut, serangan bertubi-tubi kepada komunitas LGBT melalui pernyataan negatif dari pejabat publik hingga media massa tak hanya menyebabkan prasangka dan kebencian terhadap kelompok minoritas gender dan seksual ini semakin meningkat, tetapi juga melekatkan konotasi negatif pada terminologi ‘LGBT’ yang dipersamakan dengan ancaman moral, abnormalitas, bahkan sebuah perwujudan perang proksi untuk menghancurkan budaya Indonesia (Wijaya 2020: 2). Pemanfaatan istilah queer mungkin merupakan sebuah upaya untuk mengganti label LGBT yang sudah kadung dipersetankan. Uniknya, istilah queer juga bisa membuka potensi, kesempatan, dan peluang lebih luas untuk mengangkat keberagaman gender dan seksualitas yang tak selalu bisa terangkum dalam kotak identitas LGBT.
Dalam konteks bahasa Inggris, istilah queer awalnya mengandung makna negatif. Ia dipakai untuk merujuk pada sesuatu yang aneh, abnormal, dan sakit—biasanya ditujukan kepada kaum homoseksual. Baru pada tahun 1980-an, terminologi queer diambilalih dan didefinisikan ulang secara politis oleh komunitas LGBT sebagai istilah payung untuk seksualitas non-heteroseksual (McCann dan Monaghan 2020: 2). Teori queer (queer theory) sebagai disiplin keilmuan lahir melalui sebuah konferensi akademik pada tahun 1990 di Universitas California, Santa Cruz (Ghaziani dan Brim 2019: 3). Teresa de Lauretis merupakan akademisi pertama yang menggunakan istilah teori queer dalam ranah keilmuan yang diutarakan dalam konferensi tersebut (ibid.). Meskipun teori queer membahas gender dan seksualitas non-heteroseksual, para teoretikus dan akademisi kajian ini menolak mereduksi kajian ini hanya tentang seksualitas. Malahan, teori queer menolak untuk didefinisikan, sebab ia terbuka terhadap pelbagai cara dan kemungkinan baru untuk memahami gender, seksualitas, sekaligus politik perjuangan (McCann dan Monaghan 2020: 3) di luar kotak-kotak identitas yang normatif. Karena itulah, teori queer cenderung kritis terhadap label-label identitas dan menempatkan queer sebagai potensi perubahan dan transformasi di masa mendatang—sesuatu yang belum ada saat ini (Munoz 2019), kepelbagaian kemungkinan yang silang sengkarut, berantakan, dan tak selalu ajek (Sedgwick 1993), atau perlawanan atas norma dominan yang berlaku (anti-normativitas) (Wiegman dan Wilson 2015). Selain teori queer turut menolak kategori identitas dan oposisi biner antara homoseksualitas dan heteroseksualitas (Ghaziani dan Brim 2019: 10), istilah queer juga dapat dimaknai sebagai kata kerja—atau dalam Bahasa Inggris menjadi queering—sebagai aktivitas melawan norma-norma yang berlaku secara dominan dalam masyarakat (McCann and Monaghan 2020: 3).
Menelusuri definisi dan pemaknaan istilah queer yang beragam membikin saya gamang ketika menulis esai ini. Di satu sisi, penggunaan kata queer di Indonesia secara gamblang merujuk pada identitas non-heteroseksual. Sementara itu, di sisi lain, dalam kajian akademik, queer bermakna lebih dari sekedar identitas gender dan seksual. Definisi yang mana yang harus saya ikuti ketika membaca puisi queer Indonesia? Kegamangan ini ternyata bukan milik saya seorang. Dalam pengantar antologi puisi “100 Queer Poems” (2022), editor dan penyair asal Inggris Andrew McMillan turut berujar tentang tantangan dalam proses kurasi puisi queer. Ia mengakui bahwa ia pun tidak paham tentang apa yang dimaksud dengan puisi queer (queer poem). Puisi-puisi dalam antologi ini, menurutnya, dapat melontarkan pembaca ke dalam banyak kemungkinan untuk menemukan jawabannya.
Lantas, ia pun bertanya lebih lanjut: Apakah puisi queer berarti hanyalah puisi yang ditulis oleh penyair yang mengidentifikasi dirinya sebagai queer? Apakah puisi queer adalah puisi yang mengangkat tema queer secara eksplisit? Apakah puisi queer merupakan puisi yang melakukan ‘queering’ (queer sebagai kata kerja) terhadap bahasa, bentuk, atau struktur puisi?[2] Tak berhenti hanya sampai pada pertanyaan-pertanyaan di atas, McMillan juga memberi perhatian pada kemungkinan bagaimana puisi atau penyair bisa jadi dimaknai atau dipahami secara berbeda ketika puisinya dimuat dalam antologi ini dan dilabelkan sebagai queer. Akhirnya, untuk penyair yang masih hidup, Mcmillan dan rekan editornya, Mary Jean Chan mencoba menghubungi mereka satu per satu, bilamana memungkinkan, untuk memastikan para penyair ini tidak berkeberatan dimuat dalam antologi bertema queer ini.
Karena kerumitan inilah, saya berusaha seketat-ketatnya untuk menempatkan diri dalam konteks kesejarahan queer[3] di Indonesia. Membaca kembali puisi queer Indonesia berarti menengok kembali sejarah queer Indonesia untuk memahami konteks historis yang menjadi latar belakang penulisannya. Itulah mengapa saya akan menggunakan istilah ‘puisi gay’ dalam esai ini, karena memang pada waktu ketika puisi tersebut diterbitkan, label identitas gay masih dominan digunakan sebagai identifikasi diri kaum homoseksual laki-laki. Dengan menelusuri puisi gay yang diterbitkan pada periode tahun 1980-an, saya berupaya membaca puisi-puisi ini sesuai dengan konteks kesejarahan pada saat itu—di mana perjuangan aktivisme gay pada periode tahun 1980-an bertujuan untuk menumbuhkan penerimaan diri terhadap orientasi dan identitas seksual sebagai gay di tengah tekanan masyarakat heteroseksual bentukan rezim Orde Baru. Berbeda dengan pendekatan teori queer yang cenderung skeptis terhadap identitas, politik gay era ini justru menitikberatkan pada pentingnya identitas gay, baik bagi individu maupun bagi pembentukan komunitas gay yang solid untuk memperjuangkan penerimaan sosial. Bagaimana proses penelusuran puisi gay ini saya lakukan? Pertimbangan apa saja yang menjadi dasar dari setiap langkah yang saya ambil?
Pertama, saya mencoba menengok pada periode saat identitas gay mulai diadopsi oleh individu yang mempunyai ketertarikan romantik dan seksual sesama jenis di Indonesia, yakni pada perkiraan akhir tahun 1970-an dan tahun 1980-an (Boellstorff 2005). Menurut hemat saya, fokus pada periode ini dapat membantu saya untuk meneroka bagaimana proses pembentukan dan pemaknaan identitas gay pada masa lampau dapat ditafsirkan melalui puisi—bagaimana sebuah puisi dapat mengekspresikan identitas dan perasaan individu atau komunitas gay? Penelusuran puisi gay pada kurun waktu ini mempertemukan saya pada arsip zine, sebuah media mirip newsletter setebal 15-16 halaman yang dicetak hitam putih dan diterbitkan oleh organisasi gay Indonesia pertama, Lambda Indonesia. Zine bertajuk G: Gaya Hidup Ceria ini memuat, di antaranya, cerpen, puisi, dan informasi positif tentang homoseksualitas, untuk memberdayakan komunitas gay sehingga tidak lagi takut untuk jujur menjadi dirinya sendiri. Meskipun tiada informasi rinci tentang latar belakang penulisnya, keberadaan puisi-puisi ini dalam zine kaum gay merupakan pijakan untuk berasumsi bahwa penulisnya beridentitas gay, puisinya bertema homoseksual atau ditujukan untuk kelompok homoseksual. Dengan berpegang pada asumsi ini, saya terbebas dari beban untuk menuding atau menebak-nebak apakah si penulis adalah gay.
Kedua, fokus terhadap zine berarti turut melihat ekosistem penerbitan di luar dunia penerbitan arus utama. Ketika komunitas gay masih tertatih-tatih melawan stigma dan membangun penerimaan, media alternatif menjadi wahana yang relatif lebih aman ketimbang media arus utama untuk berekspresi, apalagi di tengah himpitan stigma negatif dan keterbatasan ruang yang ada. Mungkin, dan tentu saja harus dibuktikan dengan studi mendalam lanjutan, puisi queer Indonesia bermula dan bertumbuh dari pinggiran, bukan semata-mata melalui industri penerbitan arus utama. Sekadar menambah sedikit informasi tambahan, di era Internet, puisi-puisi queer juga seringkali dapat dijumpai tak hanya dalam publikasi organisasi LGBT, tetapi juga di dalam milis, blog, atau forum daring komunitas LGBT, seperti Boyzforum atau blog Sepoci Kopi.
Dengan memberikan perhatian pada puisi gay yang diterbitkan oleh zine G: Gaya Hidup Ceria antara tahun 1982 hingga 1984, esai ini merupakan sebuah penghormatan pada aktivitas sastra queer yang bertumbuh dari pinggiran.
Sebagai pembaca, kita mungkin tak akan pernah mengetahui siapa penulis puisi tersebut sesungguhnya. Namun, tapak tilas yang ditinggalkannya ibarat sebuah kompas yang bisa mendampingi kita untuk membaca masa lampau queer dari masa kini, dan menemukan apa yang politis dari nuansa melankolis, melodramatis, sekaligus perlawanan dari puisi-puisi gay periode tahun 1980-an ini.
Puisi Gay, Identitas Gay, dan Sastra Indonesia
Sebelum pembaca kecewa, saya ingin menyatakan terlebih dahulu bahwa esai ini tidak bertujuan dan berwenang untuk memberikan gambaran kronologis kesejarahan puisi queer Indonesia secara lengkap. Saya akui sulit untuk menemukan puisi-puisi bernuansa queer. Keterbatasan saya dalam proses penelusuran pada periode sebelum 1980-an mengantarkan saya pada sebuah puisi yang bisa ditafsir sebagai puisi queer, yaitu ““Betina-nya” Affandi” (1946) karya Chairil Anwar. Larik “Dalam tubuhmu ramping masih berkejaran/ Perempuan dan Laki” bisa saja ditafsir sebagai pengakuan atas kombinasi laki-laki dan perempuan dalam sebuah raga—sesuatu yang, tentu saja, queer.
Betina, jika di barat nanti
menjadi gelap
turut tenggelam sama sekali
juga yang mengendap,
di mukamu tinggal bermain Hidup dan Mati.
Matamu menentang — sebentar dulu! —
Kau tidak gamang, hidup kau sintuh, kau cumbu,
sekarang senja gosong, tinggal abu…
Dalam tubuhmu ramping masih berkejaran
Perempuan dan Laki.
-Chairil Anwar, “”Betina-nya” Affandi” (1946)
Di tengah kesulitan dalam menemukan puisi-puisi queer yang ditulis oleh penyair nama-nama besar atau arus utama sebelum tahun 1980an, saya teringat pada puisi mbeling yang digagas oleh Remy Sylado pada tahun 1971. Bentuk dan konten puisi ini tidak hanya mengusung kritik terhadap kemunafikan rezim Orde Baru (Kepustakaan Populer Gramedia 2023: xi), melainkan juga melawan “…pandangan estetika yang menyatakan bahwa bahasa puisi harus diatur dan dipilih-pilih sesuai stilistika yang baku….[yang] menurut gerakan puisi mbeling, hanya akan menyebabkan kaum muda takut berkreasi secara bebas” (ibid.: xiii).[4] Kala itu, seseorang hanya dianggap absah sebagai seorang sastrawan bila karyanya dimuat di majalah Horison yang waktu itu dipimpin oleh H.B. Jassin, figur yang dijuluki sebagai “Paus Sastra Indonesia” (ibid.: xii). Seno Gumira Ajidarma dan A. Teeuw bahkan memandang puisi mbeling sebagai keriaan remaja dalam dunia persajakan Indonesia dengan pesan-pesan yang lebih mengena ketimbang kiasan-kiasan yang rumit (ibid.: xv). Singkatnya, puisi mbeling bisa dipandang sebagai pemberontakan terhadap kemapanan perpuisian Indonesia pada masa itu, sekaligus perlawanan terhadap kekuasaan rezim Orde Baru. Dari perspektif teori queer yang berkembang sejak tahun 1990-an, barangkali penentangan terhadap norma dominan dalam perpuisian Indonesia dapat dimaknai sebagai proses queering—sebuah kata kerja—terhadap keajekan persajakan negeri ini.
Menariknya, tema homoseksualitas juga muncul secara eksplisit dalam dua puisi penyair bernama asli Immanuel Panda Abdiel Tambayong ini, yaitu “Nymphomania Jeng Sri” (1971) dan “Telor-Telor” (1972). Bukan tujuan dari esai ini untuk menilai kualitas baik-buruk dari kedua puisi tersebut. Bagi beberapa orang, kedua puisi ini bisa jadi menerbitkan perasaan tidak nyaman lewat kelakar jenaka yang bisa saja dianggap merendahkan individu homoseksual. Namun, bila saya mencoba memaknainya dalam konteks historisnya, yakni sebuah era ketika istilah gay atau lesbian belum terlalu banyak digunakan, puisi “Telor-Telor”, misalnya, dapat dibaca sebagai sebuah upaya untuk mengakui kemungkinan dan keberadaan relasi homoseksual antarlelaki yang ditulis dengan gaya nyeleneh Remy. Sebuah afirmasi atas asmara sepasang lelaki melalui kelakar nakal, barangkali.
dua telor
martabak spesial
tiga telor
martabak istimewa
empat telor
sepasang homoseks
-Remy Sylado, “Telor-Telor” (1972)[5]
Ketika melirik tahun terbit puisi ini, saya terhenyak sendiri, menyadari adanya hubungan yang menarik antara tahun penulisan puisi “Telor-Telor” dengan sejarah queer, atau lebih tepatnya, identitas gay Indonesia. Meskipun Indonesia dikenal memiliki sejarah keberagaman gender dan seksualitas (Davies 2010; Peletz 2009), individu dengan hasrat romantik dan seksual terhadap sesama jenisnya baru mulai mengidentifikasi diri sebagai gay atau lesbian pada kisaran awal tahun 1980-an (Boellstorff 2005; Wieringa 2019). Pernikahan sepasang lesbian bernama Jossie dan Bonnie pada bulan Juni 1981 yang diumumkan secara terbuka di media massa menyebabkan diskusi terbuka tentang homoseksualitas di ruang publik tidak terbendung lagi.
Dalam kurun waktu yang sama, majalah mingguan nasional, Liberty, tak ketinggalan mengumumkan perkawinan lesbian pertama di Indonesia yang dihadiri oleh 120 undangan (Boellstorff 205: 63). Laporan media terkait pernikahan lesbian ini kemudian diikuti dengan mulai mencuatnya diskusi-diskusi terbuka tentang homoseksualitas—mulai dari bahasan tentang definisi homoseksualitas, pengakuan dari individu homoseks, hingga ‘penyebab’-nya—di berbagai media (Boellstorff 2005; Wijaya 2020). Terlepas dari pro dan kontra terhadap homoseksualitas dalam artikel-artikel media tersebut, subyek homoseksual—gay dan lesbian—mulai menyadari dan mampu menemukan nama untuk hasrat romantik dan seksualnya yang barangkali selama ini belum dinamai (lihat juga Wieringa 2019: 44). Kesadaran atas adanya individu lain yang memiliki ketertarikan dan hasrat seksual yang sama merupakan sebuah basis pembentukan komunitas gay dan lesbian yang dapat memperjuangkan keberadaannya secara kolektif dan politis.
Hanya saja, pembentukan komunitas tidak terjadi begitu saja secara otomatis. Perlu adanya upaya khusus dan kepemimpinan yang memampukannya untuk tercipta. Di sinilah, aktivisme gay Indonesia memiliki peran penting dalam pembentukan komunitas gay. Lambda Indonesia (yang kemudian disebut sebagai ‘Lambda’ seterusnya dalam esai ini), yang didirikan oleh sekelompok kecil gay Indonesia pada bulan Maret 1982 di kota Solo, merupakan organisasi gay pertama Indonesia. Karena homoseksualitas masih dipandang sebelah mata, bahkan negatif oleh masyarakat, Lambda mempunyai misi untuk menyebarkan wacana homoseksualitas yang lebih positif. Sebab, aktivis Lambda percaya, pemahaman yang afirmatif ini dapat membantu individu dengan hasrat seksual sesama jenis untuk menjadi lebih berdaya. Selanjutnya, mereka berharap para individu ini akan lebih berani mengidentifikasi diri sebagai gay dan menyatukan diri ke dalam sebuah pergerakan untuk memperjuangkan keberadaan gay di hadapan masyarakat dan negara (Oetomo-Oen 1982; Wijaya 2020). Salah satu cara untuk mewujudkan visi ini adalah melalui penyebaran publikasi yang tak hanya dapat menghubungkan antarindividu gay dan lesbian, tetapi juga membangun kesadaran positif tentang orientasi seksual dan diri sebagai seorang gay.
Inilah cikal bakal kelahiran zine G: Gaya Hidup Ceria yang terbit untuk pertama kalinya pada bulan Agustus 1982, beberapa bulan setelah kelahiran Lambda. Distribusi zine ini bukanlah tanpa tantangan tersendiri. Rezim Orde Baru non-demokratis yang berkuasa pada saat itu memunculkan pertimbangan khusus aktivis dalam menyusun strategi pergerakan gay. Mereka tidak berharap konfrontasi langsung dengan pemerintah dapat menghancurkan perjuangan yang masih seumur jagung ini. Sebagai jalan keluar, aktivis Lambda membatasi distribusinya hanya untuk individu yang berlangganan saja.
Siapapun bisa berlangganan dengan cara mengisi formulir yang termuat dalam zine, dan mengirimkannya dalam amplop tertutup kepada Kotak Pos 122. Taktik ini barangkali dapat dibaca pula sebagai upaya untuk menjaga kerahasiaan identitas individu gay dan lesbian di tengah masyarakat yang belum bisa menerima keberadaan mereka (Wijaya 2020).
Memeluk identitas gay atau memahami diri sebagai homoseksual tidak serta merta selalu berarti menempatkan diri di luar norma sosial budaya yang dominan. Pada masa ini, banyak individu homoseksual yang menikah secara heteroseksual untuk menjadi warga negara Indonesia yang ideal (Boellstorff 2005; Davies and Wijaya 2019). Mereka bahkan melihat dirinya sebagai orang ‘sakit’ (ibid.). Gambaran warga negara ideal ini dibayangkan melalui figur manusia dewasa yang menikah dan membangun keluarga batih, mengikuti ideologi keluarga yang digaungkan oleh Orde Baru. Lelaki menjadi suami dan kepala keluarga, sedangkan perempuan sebagai ibu yang berada dalam ruang domestik (Suryakusuma 1996). Kebanyakan individu gay juga memiliki kecenderungan yang relatif minim untuk memperjuangkan keberadaan diri dan identitas seksualnya. Tak heran bila aktivis berfokus untuk membangun penerimaan diri terlebih dahulu untuk memungkinkan perjuangan yang ‘lebih politis’ di masa mendatang.
Selain memuat informasi tentang homoseksualitas yang positif dan memberdayakan, sekaligus kolom internasional dan nasional yang membuka peluang untuk bertukar surat antarindividu, zine G: Gaya Hidup Ceria juga menerbitkan cerpen dan puisi yang diterjemahkan dari Bahasa Inggris atau ditulis oleh individu tanpa biodata penulis yang jelas untuk ditelusuri siapa ia sesungguhnya. Saat mengunjungi kembali dan mencoba memahami puisi-puisi ini, saya pun mulai memikirkan cara membaca puisi-puisi yang berkecenderungan melodramatik dan berbicara tentang cinta atau hasrat yang tak kesampaian atau keterasingan diri. Bagaimana bila perasaan sedih, kehilangan, keterasingan, dan kesepian ini merupakan bagian dari formasi identitas gay dan lesbian Indonesia? Seringkali, analisis politik identitas gay menekankan pada kesamaan identitas sebagai dasar perjuangan, seolah-olah identifikasi terhadap identitas yang sama sudah cukup menjadi basis politik untuk perjuangan. Bagaimana dengan kesamaan perasaan tertindas dan terpinggirkan yang dimiliki sesama individu gay? Bagaimana bila proses individu memilih dan menempatkan diri dalam sebuah identitas tak bisa dilepaskan dari perasaan yang mengiringi individu saat menempati identitas tersebut?
Ketika identitas dan relasi gay dianggap abnormal, bahkan dicerca oleh masyarakat, individu gay bisa jadi merasakan perasaan bingung, kesepian, tertindas, dan kehilangan arah untuk membayangkan dan meraih masa depan yang ‘lebih baik’—masa depan yang hanya diciptakan untuk kelompok heteroseksual yang memenuhi gambaran ideal negara dan masyarakat. Bagaimana bila perasaan negatif ini, meskipun seringkali tidak dianggap politis, dimaknai sebagai bagian dari formasi politik perjuangan gay Indonesia itu sendiri?
Berangkat dari pemahaman konteks sosio-historis di atas, pada bagian selanjutnya, esai ini akan membahas sepilihan puisi yang dimuat dalam zine G: Gaya Hidup Ceria yang terbit sebanyak delapan edisi sepanjang tahun 1982 hingga 1984. Bahasan dalam esai ini terhadap sepilihan puisi tersebut akan berkisar pada elemen melodrama yang turut mengandung nuasa perlawanan dan agensi dalam puisi-pusi gay tersebut. Saya akan membahas bagaimana gairah dan perasaan homoseksual diungkap dan dikodifikasi dalam puisi yang sedikit banyak mengandung muatan perasaan melankolis seperti laiknya melodrama. Perlu dicatat, melodrama bukan berarti tidak bermuatan politis sama sekali. Perasaan melankolis, seperti kehilangan, kesepian, dan juga upaya menemukan sense of belonging, merupakan dorongan penting untuk berupaya terus berharap dan membayangkan sebuah situasi yang lebih baik di tengah deraan ketidakmungkinan (lihat Goldberg 2016 dan Munoz 2019). Dengan kata lain, perasaan yang seringkali dicitrakan negatif ini bisa diolah untuk menjadi sebuah imajinasi dan upaya politis untuk terus mencari dan menemukan kemerdekaan diri dan komunitas, atau membentuk relasi baru dengan keluarga dan masyarakat sekitar. Perasaan-perasaan ini juga digambarkan tak satu dimensi saja, tetapi turut dibarengi dengan agensi dan kekuatan untuk terus bertahan di jalan yang telah dipilih, meskipun masyarakat tak henti-hentinya menentang. Dalam beberapa puisi, pergulatan komunitas gay diekspresikan dengan ungkapan yang mirip dengan seruan perjuangan kemerdekaan dan persatuan bangsa Indonesia. Beberapa puisi juga terasa erotik, terutama bagaimana masa depan—dibayangkan melalui subteks relasi intim kedua lelaki—ditafsirkan sebagai sebuah masa penuh misteri yang dapat ditafsir sebagai sebuah kala ketika penerimaan sosial terhadap hubungan gay telah terwujud sehingga keduanya bisa bersatu dalam cinta. Untuk menggoda pembaca agar membaca lebih lanjut, saya berikan nukilannya di bawah ini:
Misteri adalah masa depan
Engkau di dalam aku
Aku di dalam engkau
-Johan, “Misteri” (November 1984)[6]
Saya berharap istilah melodrama tidak dipahami sebagai sesuatu yang tak serius atau rendahan, seperti yang biasanya dipahami dari istilah ‘ratu drama’ (drama queen). Justru sebaliknya, Saya mencoba menemukan agensi di dalam melodrama, yang sering dianggap sebagai tak punya dimensi politis.
Bagaimana proses queering ini bekerja sebagai metode pembacaan teks? Dibangun atas dasar anti-normativitas dan perlawanan terhadap oposisi biner, proses queering merupakan sebuah upaya untuk membaca secara dekat dan menemukan sesuatu yang queer, homoerotik, atau yang tidak lazim di dalam teks-teks yang dianggap heteronormatif. Metode pembacaan semacam ini dapat ditemui dalam karya Eve Kosofsky Sedgwick yang berjudul “Between Men: English Literature and Male Homosocial Literature” (1985). Sedgwick menampilkan hasrat homososial yang menjadi perekat relasi keintiman antarlelaki heteroseksual dalam teks-teks sastra yang selama ini tidak pernah dianggap queer. Dengan kata lain, sesuatu yang queer atau tidak lazim dapat ditemukan dalam relasi normatif.
Proses queering dalam pembacaan teks juga mengandung pendekatan dekonstruksi. Selain mencoba menemukan subteks laten yang queer dan tak lazim, seorang pembaca pun dapat mengambilalih (reclaim) representasi tertentu dalam teks dan memaknainya dengan cara berbeda (lihat Kafer 2020: 94). Misalnya, dalam karya kontroversial No Future: Queer Theory and The Detah Drive (2004), Lee Edelman membaca teks-teks sastra dengan menggunakan lensa psikoanalisis Lacan untuk menelajangi apa yang selama ini jarang kita perhatikan: bagaimana ‘masa depan’ dibayangkan melalui figur simbolik ‘Anak’ yang akan lahir di masa mendatang. Individu queer yang tidak bereproduksi melambangkan naluri kematian, kehancuran atas masa depan. Pendekatan semacam ini disebut sebagai tesis anti-sosial (anti-social thesis) dalam teori queer.
Melalui penjelasan di atas, proses queering tidak melulu berfokus untuk menemukan aspek-aspek queer yang terkait dengan gender dan seksualitas saja. Tetapi, ia juga mencoba mendekonstruksi aspek-aspek kehidupan lain, seperti waktu kehidupan yang dibayangkan secara linier—masa kecil, sekolah, menikah, dan bereproduksi—dan dilazimkan menjadi standar kehidupan normatif. Inilah yang disebut sebagai chrononormativity oleh Elizabeth Freeman (2010). Queering adalah sebuah bentuk pembacaan subversif yang tentu saja memunculkan perspektif dan kritik yang turut beragam terhadap norma-norma dominan—sebuah upaya reading against the grain.
Untuk mengakhiri bagian ini, sekaligus menyatakan kesulitan saya dalam menemukan puisi-puisi gay yang ditulis oleh nama-nama besar atau diterbitkan penerbit arus utama pada periode ini, saya ingin kembali mengingatkan—dan tentu saja, mengajukan sebuah proposal (yang tentunya harus diklarifikasi lewat studi lebih lanjut dan mendalam), bahwa puisi queer bermula dan bertumbuh dari pinggiran[7], tidak melulu hanya dari ranah penerbitan arus utama, terutama ketika isu-isu homoseksualitas menghadapi tentangan keras dalam masyarakat.
Agensi dan Kekuatan dalam Melodrama
Dalam edisi perdana yang terbit pada bulan Agustus 1982, zine G: Gaya Hidup Ceria memuat sebuah puisi terjemahan karya Constantine P. Cavafy yang bertahun rilis 1927 dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Dede Oetomo. Alasan mengapa puisi ini dialihbahaskan, barangkali, bisa ditemukan dalam sepenggal informasi yang ditaruh di bawah puisi ini: “Kebanyakan puisinya bersifat erotik dan secara terbuka membicarakan homoseksualitas.” Puisi berjudul “Dua Pemuda 23 dan 24” ini berkisah seorang lelaki yang menanti kawan lelakinya di sebuah kafe dengan penuh harap. Setelah beberapa saat, kawan yang ditunggu akhirnya datang membawa kabar bahwa ia menang judi. Berita kemenangan itu membikin cinta di antara keduanya bertambah hidup, dan keduanya enggan pulang ke rumah yang telah menolak keberadaan mereka. Mereka pun berakhir di rumah teman, minum-minum. Kala minuman mahal sudah habis, keduanya kembali ke pelukan bahagia dalam cinta, seolah-olah hanya inilah yang mereka miliki tanpa ada habisnya.
Temannya membawa kabar tak terduga.
Dia menang enam puluh pound di rumah judi.
Wajah mereka yang tampan, keremajaan mereka yang meluap
cinta peka yang mereka rasakan satu sama lain
disegarkan kembali, dihidupkan, diperkuat
oleh enam puluh pound dari rumah judi.
Dan penuh riang, tenaga, dan ketampanan
mereka pergi – bukan pulang ke keluarga terhormat
(yang toh sudah tidak menghendaki mereka):
tapi ke rumah teman, dan mereka minta
kamar, dan minuman mahal, dan lagi mereka minum.
Dan ketika minuman mahal telah habis
dan karena sudah hampir jam empat pagi
mereka menyerah penuh bahagia ke dalam cinta.
-Constantine P. Cavafy, “Dua Pemuda 23 Sampai 24” (1927)[8]
Dalam puisi ini, kesedihan yang ditampilkan nyaris minim. Meski keduanya terusir dari keluarga mereka tak gentar untuk mempertahankan cintanya—hidup terlunta-lunta, tak memiliki rumah untuk berpulang, dan bertahan hidup (atau bahkan, mencoba menikmati hidup dengan minum-minum?) dari peruntungan judi yang menandakan tiadanya kepastian atas keamanan finansial. Pada akhirnya, ketika pesta dan minum-minum telah usai, keduanya menyerah penuh bahagia ke dalam cinta. Tanpa penyesalan apapun atas keputusan dan jalan hidup homoseksual yang mereka ambil. Dari pembacaan saya, puisi ini menekankan agensi dan keberanian individu gay untuk tidak menyerah pada penolakan keluarga dan masyarakat terhadap homoseksualitas. Larik terakhir “mereka menyerah penuh bahagia ke dalam cinta” menandaskan betapa cinta, sebentuk perasaan yang tumbuh di antara sepasang lelaki, akan selalu membikin mereka bahagia di tengah dera dan tekanan. Mereka selalu berserah pada cinta. Pemilihan dan penerjemahan puisi ini mungkin ada kaitannya dengan misi zine untuk membangun keberdayaan diri gay Indonesia.
Puisi dengan penekanan pada perasaan cinta, kesepian, atau kehilangan memang menjadi karakteristik puisi gay Indonesia tahun 1980-an. Antropolog Amerika Serikat, Tom Boellstorff (2007: 55), turut mengakui bahwa zine gay and lesbian Indonesia memberikan penekanan lebih pada cinta, bukan seks. Cinta, dalam konteks historis periode ini, menjadi pusat kegagalan individu homoseksual. Ketika pernikahan menjadi sebuah keharusan untuk menjadi warga negara Indonesia yang ideal (Boellstorff 2005; 2007), maka cinta antara sepasang lelaki sudah dapat dipastikan tak akan dapat berakhir dalam pernikahan; cinta homoseksual ini akan selalu dibayang-bayangi oleh kegagalan. Meskipun banyak gay Indonesia menikah secara heteroseksual, cinta homoseksual mereka (atau orientasi homoseksual yang mereka miliki) tetaplah berada di luar atau tidak memiliki tempat dalam rezim heteronormativitas Orde Baru ini (lihat Boellstorff 2007: 52). Dengan kata lain, perasaan cinta dan asmara mereka tak diakui oleh masyarakat dan negara, sehingga cinta dan homoseksualitas dalam sejarah queer berada dalam hubungan negatif—homoseksualitas terkait erat dengan kegagalan cinta dalam meraih kebahagiaan yang biasanya terwujud dalam pernikahan atau relasi yang diakui oleh masyarakat dan negara (lihat Love 2007: 21). Simak puisi di bawah ini yang melukiskan cinta tak kesampaian, kesepian, dan pupusnya kebahagiaan seorang gay.
Apakah aku tak boleh bersahabat dengan dunia ini
Haruskah aku hidup menyendiri
Sendiri dalam kesepian
dan terasing
Apakah aku tak boleh bercinta
mencintai dan dicintai……..
dengan orang yang kusayangi
Hidupku seperti dalam bola kaca
dapat melihat tak dapat menyentuhnya
apalagi merasakannya
…
-Doni Alphabet, “Bola Kaca” (1927)[9]
Menurut saya, nuansa melodramatis tentang asmara yang tak kesampaian dan kesedihan diri bukan berarti tidak memiliki dimensi politik. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana karya bernuansa melankolis dan melodramatis ini dapat dipahami sesuai dengan konteks historisnya, dan tidak menyelepekannya sebagai sekadar ‘puisi cinta yang menye-menye’. Bagaimana bila kesedihan yang diungkapkan ini dipandang sebagai bentuk ekspresi yang jujur untuk menyentuh masyarakat agar dapat memahami kesedihan yang dihadapi oleh komunitas gay saat itu, ketika banyak dari mereka baru mulai memeluk identitas gay-nya yang penuh risiko dan ketidakmungkinan untuk masa depan yang ‘bahagia’, seperti kaum heteroseksual?
Pada edisi kedua dan ketiga zine G: Gaya Hidup Ceria yang rilis pada bulan Oktober 1982, dua puisi yang ditulis oleh Wawan, “Kepada Kawanku” dan “Kepada Mama” diutarakan seperti sebuah ungkapan permohonan langsung kepada para sahabat dan ibunya agar mereka dapat memahami kegundahan dan kesedihan yang dirasakannya sebagai seorang gay.
…
Kawanku, aku disini dengan jalanku
tanpa arah yang pasti
tanpa terpikir titik akhir
tapi, itu harus terjalani
dan aku akan selalu berada disana
sekalipun aku menoleh
jalanmu
rasa kita, tak akan jua sama
-Wawan, “Kepada Kawanku” (1982)[10]
Dalam pembacaan saya, puisi bernada pengakuan langsung ini melukiskan kesedihan dan perasaan alienasi secara gamblang. Namun, di tengah deraan perasaan negatif ini, si Aku-Lirik tidak sedikit pun menyerah. Walaupun sempat menoleh jalan kawannya (yang bisa ditafsir sebagai seorang heteroseksual), ia tetap tak menyerah begitu saja—ia tetap bersikukuh dengan jalannya tanpa arah yang pasti dan titik akhir yang jelas. Kadangkala, saya merasa bahwa tafsir atau pembacaan atas perasaan manusia masih terjebak dalam kerangka biner. Perasaan negatif tak menyediakan ruang pada adanya perasaan positif yang bisa hadir secara bersamaan, dan sebaliknya. Bagaimana bila perasaan dimaknai tidak dalam oposisi biner yang menihilkan kemungkinan bahwa berbagai bentuk perasaan—baik positif maupun negatif—dapat berada secara bersisian? Aku-Lirik tak hanya merasakan keterasingan dan kesedihan, tetapi juga agensi dan kebertahanan untuk terus melangkah dalam jalan hidupnya sebagai seorang gay.
Puisi kedua Wawan, “Kepada Mama” berbentuk sebuah pengakuan Aku-Lirik untuk membuka diri sebagai gay kepada ibunya. Serupa dengan puisi sebelumnya, nuansa kesedihan dan keterasingan muncul secara dominan. Hanya saja, pada saat bersamaan, keterasingan tersebut dibarengi dengan keinginan dan upaya untuk menjadi jujur, sekaligus menjalin relasi dengan ibu yang dianggap dapat membebaskan Aku-Lirik dari keterasingan. atau bahkan, kepura-puraannya dalam menyembunyikan homoseksualitasnya. Dalam puisi ini, upaya pembebasan tidak melulu terjadi dalam bentuk perlawanan dan pemberontakan yang bersifat individualis, tetapi justru dibayangkan dapat mewujud melalui kejujuran dalam relasi anak dan orangtuanya—dalam konteks ini disimbolkan oleh figur ibu. Dengan kata lain, perasaan keterasingan bisa turut memunculkan keinginan dan usaha membangun relasi yang tulus dan jujur dengan keluarga dan sekitarnya sebagai jalan keluarnya.
…
ma………
dimana jiwaku berada?
apakah berganti menjadi semu
merenung
dan meyakinkan
mengharap
dan mengangkuhkan
hal-hal tak berarah
ma………
bukanlah tali ini
aku tak lagi kuat bertahan
dalam maya………….
-Wawan, “Kepada Mama” (1982)[11]
Asmara yang tak kesampaian akibat samsara heteronormativitas, atau gambaran diri yang penuh cela mengemuka dalam beberapa puisi. Namun, sekali lagi, nuansa melankolis ini dibarengi dengan optimisme atau kekukuhan diri dalam mencari jalan pembebasan atau untuk tetap bertahan dengan hasrat dan identitas gay yang telah dipilihnya. Simak dua puisi di bawah ini yang tetap mengangkat agensi individu yang enggan menyerah dan tetap berdaya upaya di tengah cela dan nistaan masyarakat.
Aku tidak seputih melati
Seperti yang anda kira
…
Aku hanya satu dari berjuta insan
Yang pernah lebur bekas terjajah
Yang ingin bangkit buat merdeka
Dengan membawa kekeringan bekas luka
Namun enggan menadah buat meminta
…
Aku adalah tempaan dari kepalsuan
Yang berusaha bebas dari umpat dan cemooh
Yang mengharap fajar hidup ceria
-Prasetio, “Pengakuan” (1982)[12]
…
Mengapa dicela kalau kau jadi milikku?
Hanya karena kita sama-sama cucu Adam
Segala telah kucoba kukerah dengan daya upaya
Tapi nista dan caci masih merajalela
Kapan itu kan berakhir.
-Minfat, “Azazi” (1982)[13]
Di tengah ketidakpastian akan masa depan bagi individu gay, beberapa puisi membayangkan masa depan ini sebagai misteri. Sebagai sebuah misteri, ia tidak bisa disingkap pada saat ini. Kita tak tahu bagaimana masa depan misterius yang kemungkinan membahagiakan ini akan mewujud—apakah ia akan hadir dalam bentuk pengakuan terhadap identitas gay oleh masyarakat dan negara, pernikahan sesama jenis yang legal, atau bentuk lain. Dalam puisi “Seribu Kunang-Kunang” dan “Misteri”, cinta dan masa depan gay dilukiskan dalam nuansa erotik—penyatuan diri kedua lelaki, tanpa ada penjelasan lebih jauh tentang apakah penyatuan ini akan dilegitimasi atau diinstitusionalkan seperti apa. Misteri ini, bagi saya pribadi, justru mengundang imajinasi politis komunitas gay atau queer untuk membayangkan berbagai model penerimaan dan pengakuan yang dapat muncul dalam beragam bentuk. Ia tidak diresepkan sejak awal; ia terbuka untuk peluang kreatif. Yang tak kalah jelas adalah penekanan terhadap cinta—cinta hadir sebagai penyatuan antara dua insan, antara rasa dan sukma, yang tak melulu hanya mengandalkan seks ragawi. Dalam pembacaan saya, lagi-lagi saya menemukan agensi dan kebertahanan diri, terutama untuk tetap optimis berharap dan menanti misteri di masa mendatang untuk tersingkap.
…
Misteri adalah engkau
Butir keringat
Di lembah dada yang bidang
Kenikmatan
Di kelam mata yang redup
Kelembaman
Di dasar jiwa yang teduh
…
Misteri adalah harapan masa depan
Engkau di dalam aku
Aku di dalam Engkau
-Johan, “Misteri” (November 1984)[14]
…
Seribu kunang-kunang
adalah malaikat muda
tampan dan perkasa
berikan rasa dunia sorga
Seribu kunang-kunang
adalah kau dan aku
rasamu dan sukmaku
terpadu menjadi satu
-N. Sumarno, “Seribu Kunang-Kunang” (1981)[15]
Di antara puisi bernuansa melankolis, beberapa puisi turut berupaya untuk membakar gairah perjuangan—penekanan terhadap agensi dan perlawanan terhadap tekanan sosial. Menariknya, sang penyair mencoba mengubah perasaan keterasingan dan ketertindasan, dan memadukannya dengan nuansa perjuangan kemerdekaan dan penyatuan bangsa Indonesia, yang dapat dilihat dalam larik, “Yakinlah kita kan menang/ Karena bersatu kita teguh/ Bercerai……kita runtuh”. Ungkapan “Bersatu kita teguh, Bercerai kita Runtuh” kini diambilalih oleh komunitas gay, dan menciptakan analogi menarik antara pembentukan bangsa dan perjuangan penyatuan komunitas gay.
Kawan! mengapa kau bertopang dagu?
Ayo bangkitlah dan singsingkan baju!
Jangan kau puas dengan nasibmu sekarang
Jangan kau biarkan mereka mengolok kita
Jangan kau rela mereka merendahkan kita
Walau di dunia minoritas kita berada
Jangan hal ini mengecilkan hatimu
Karena kau mempunyai suatu kelebihan
Yang mungkin tak dimiliki oleh mereka
Inilah yang menjadi kemenangan kita
Mari kita berjuang bahu-membahu
Demi hak dan cita-cita kita bersama
Karena bersatu kita teguh
Bercerai kita……runtuh
-Agung N., “Demi Cinta dan Cinta” (Awal September 1982)[16]
Selain judul yang mengandung dua kata cinta—bagaimana cinta (bukan melulu seks) menjadi fokus perjuangan, saya tergoda dengan frasa “dunia minoritas”. Pun saya membayangkan bila puisi ini diterbitkan dan dimuat dalam sebuah media tanpa label queer atau gay, kata “minoritas” dapat membuka pelbagai kemungkinan untuk merujuk pada kelompok minoritas lain yang tak harus hanya berkisar pada identitas gender dan seksual. Bisa jadi etnis minoritas, atau individu dengan kemampuan beragam (difabel).
Untuk menutup bagian ini, saya sengaja menampilkan satu puisi tentang lesbian yang saya temukan di zine G: Gaya Hidup Ceria—kemungkinan besar satu-satunya puisi lesbian yang dimuat di sana sebelum zine ini berhenti terbit di bulan November 1984. Serupa dengan puisi sebelumnya, sang penyair juga berulang kali mengambil-alih dan menjahit ungkapan yang berkaitan erat dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia dan persatuan bangsa ke dalam pergulatan komunitas homoseksual. (Boellstorff 2005; lihat juga Hegarty 2023: 23).
Saya yakin, siapa pun akan dapat merasakan agensi perlawanan dalam larik-larik puisi lesbian ini. Inilah barangkali keberagaman dari puisi queer—seperti puisi pada umumnya, ia menjadi ruang ekspresi berbagai perasaan yang saling berkelindan. Ia bisa bernuansa melankolis, tetapi juga bisa jadi penuh dengan bara perlawanan; bahkan keduanya bisa jadi berada dalam satu tubuh puisi yang sama.
Legakan hatimu, tak usah kau ragu
Esok mentari kan bersinar lagi
Sendu dan tangis tak ada gunanya
Biarkan masa lalu terlupakan
Ini saatnya kau bangkit lagi
Andalkan tekadmu untuk bersatu
Nikmati hidup, reguklah kebahagiaan
Ikrarkan janji setiamu
Ntuk kejayaan “Lambda Indonesia”
Deritamu, Deritaku juga
Obor persatuan menantimu
Nista dan cela pasti terhindar
Erat kita berpegang tangan
Satu hari satu tujuan
Inilah seruanku, kawan
Aroma kehidupan milik kita bersama
-Anky GF, “Kawan” (Awal September 1982)
Melalui pembacaan di atas, saya berupaya membaca puisi-puisi gay di atas dalam konteks kulturalnya, ketimbang memberikan penilaian stilistika—merdu atau tidaknya berdasarkan ukuran puisi lirik yang lazim di Indonesia. Hal pertama yang ingin saya tekankan adalah betapa pentingnya medium (dalam hal ini, zine organisasi gay) dalam memberikan ruang ekspresi terhadap komunitas gay, sekaligus bagaimana keberadaan medium ini turut memiliki pengaruh untuk melegitimasi bahwa puisi ini merupakan puisi gay, terutama ketika penulisnya tidak selalu membuka diri tentang identitas seksualnya. Yang kedua adalah puisi-puisi gay ini mengambilalih nuansa liris melankolis yang sebenarnya mudah dijumpai umumnya dalam puisi Indonesia. Namun, ketika puisi ini dipahami bertema homoseksual atau ditulis oleh gay, puisi tersebut mendapatkan tambahan konteks sehingga ia dapat dimaknai sebagai puisi tentang kehilangan, keterasingan, dan perjuangan untuk penerimaan terhadap seksualitas gay.
Sampai saat ini, saya masih menemukan kesulitan untuk menemukan kode-kode kultural yang khas dan menjadi pembeda antara puisi gay dan puisi pada umumnya. Barangkali hal ini dapat menjadi fokus analisis selanjutnya bagi peneliti lain, atau memperlebar jangkauan puisi yang dianalisis dalam periode waktu yang juga lebih luas untuk menemukan pola-pola puisi gay atau queer yang khas Indonesia.
Pergumulan Lebih Lanjut
Saya ingin mengakhiri esai ini bukan dengan sebuah kesimpulan, melainkan justru pergumulan. Membaca puisi gay masa lampau ini dari masa kini berarti juga melakukan refleksi terhadap masa kini dan mengidentifikasi perihal-perihal lain yang dapat dibahas lebih lanjut untuk menelusuri tapak tilas perkembangan puisi, atau bahkan, sastra queer Indonesia. Melalui pergumulan inilah kita dapat terus bertanya, menganalisis, dan mencari arsip-arsip kesejarahan lain yang berpotensi melengkapi atau mengoreksi pemahaman yang sudah ada. Khusus dalam bagian ini, saya ingin membagi pergumulan tersebut dalam tiga aspek besar, yaitu representasi dan keberagaman, stilistika, cara pembacaan, serta medium penerbitan.
Pertama, pengunaan label puisi queer harus diikuti dengan sikap mawas diri dan hati-hati. Bila merujuk queer sebagai keberagaman gender dan seksualitas, atau penolakan terhadap label-label identitas, berarti definisi queer itu sendiri bisa dimaknai sebagai sesuatu yang lebih luas dari sekadar puisi yang ditulis oleh atau tentang kelompok queer. Puisi tentang gay yang saya bahas di sini tidak serta merta dapat mewakili identitas lainnya, seperti lesbian dan transgender. Kerumitan akan bertambah bila keberagaman kelompok queer pun dikawinkan dengan keberagaman lain, seperti ketimpangan akses sumber daya dan lokasi geografis, apalagi mempertimbangkan bahwa ada kemungkinan penulis di luar Jakarta atau kota-kota besar masih kesusahan untuk mengakses ruang dan sumber daya penerbitan. Pergumulan ini seyogianya dapat mendorong upaya penelusuran puisi-puisi tentang atau yang ditulis oleh lesbian dan transgender di Indonesia, bahkan mempertanyakan politik identitas yang sudah menjadi pendekatan yang relatif populer dan dominan di Indonesia dalam analisis sastra. Mengutip Gayatri Spivak, kritikus sastra Dewi Anggraeni (2023: 84) mengungkap bahwa kelompok subaltern atau tertindas “sebenarnya memiliki komposisi yang heterogen dan berbeda dari satu daerah ke daerah lain karena watak perekonomian maupun perkembangan sosial di wilayah tersebut tidaklah sama”. Pergumulan selanjutnya adalah bagaimana kita membaca dan mengapresiasi puisi bertema gay yang ditulis oleh penyair yang kita tak pernah tahu apa identitas seksualnya. Pada tahun 2000-an ini, saya menjumpai beberapa puisi gay atau queer yang ditulis oleh penyair yang bukan gay, semisal puisi “Gay” dan “Hemafrodit” karya Binhad Nurrohmat (2004), puisi esai “Cinta Terlarang antara Batman dan Robin” karya Denny JA (2012) atau puisi berbahasa Inggris “Transcript of a conversation between me and Aris, Exxxxxx taxi driver cab number Maxxx” karya Mikael Johani (2017).
Kedua, saya mengakui bahwa saya bukan kritikus sastra, sehingga ruang lingkup esai ini tidak memeriksa apakah ada kesamaan gaya stilistika tertentu—seperti, metafora—yang diadopsi dalam puisi-puisi gay atau queer ini. Apakah ada gaya penulisan atau stilistika tertentu yang boleh dibilang queer? Ataukah puisi queer mengikuti konvensi puitika arus utama, sembari berupaya untuk mengintegrasikan isu-isu queer? Sejauh mana konvensi tersebut telah di-queer-kan (queer sebagai kata kerja)?
Ketiga, saya membaca puisi gay dengan berasumsi bahwa puisi ini ditulis untuk dan tentang individu atau komunitas homoseksual. Ada pelbagai cara pembacaan yang queer untuk menjejaki gairah seksual yang non-normatif atau representasi gender dan seksual yang tidak konvensional yang terkandung dalam puisi-puisi yang tak harus ditulis oleh kelompok minoritas seksual? Misalnya, seperti yang dibahas di atas, puisi Chairil Anwar berjudul “”Betina”-nya Affandi” (1946) yang bisa ditafsir sebagai pengakuan atas kombinasi laki-laki dan perempuan dalam sebuah raga—sesuatu yang, tentu saja, queer. Hanya saja, pembacaan seperti ini sebaiknya turut mengindahkan konteks historis pada periode penulisannya.
Keempat, selain zine, puisi-puisi queer dapat ditemukan juga dalam publikasi lain yang diterbitkan oleh organisasi-organisasi queer dan/atau feminisme, seperti Jurnal Perempuan. Dalam era Internet ini, saya rasa, pemanfaatan wahana maya untuk mendobrak tatanan dominan dan menciptakan ruang baru dalam dunia kepenulisan Indonesia bukan hanya milik kelompok queer. Pada awal tahun 2000-an, penyair Anya Rompas (2019: 155-156) mendirikan sebuah komunitas puisi daring di Yahoo! Groups yang kemudian berkembang menjadi sebuah komunitas bernama Paviliun Puisi yang menggelar malam open mic—baik luring maupun daring—dan dihadiri oleh banyak anak-anak muda. Menurut Rompas, pada masa itu, puisi-puisi dari internet dianggap sebagai “puisi-puisi yang ditolak oleh koran-koran” (2019: 158). Bila makna queer diperluas melampaui kotak-kotak identitas, queering (queer sebagai kata kerja) boleh jadi dimaknai sebagai usaha untuk mengangkat suara-suara yang selama ini jarang direpresentasikan, sekaligus melawan dominasi suatu wahana ekspresi yang dilegitimasi sebagai sesuatu yang adiluhung (misalnya, medium koran dalam analisis Rompas), melalui ruang-ruang ekspresi alternatif.
Akhir kata, barangkali tugas kita selanjutnya adalah bagaimana menakar, menafsir, dan membaca queer yang spesifik dalam konteks kesejarahan dan budaya Indonesia. Apakah ada queer yang khas Indonesia? Bagaimana queer dan Indonesia dapat duduk bersisian? Apakah potensi dan tafsir politis yang dapat muncul ketika queer melakukan ‘queering’ (queer sebagai kata kerja) terhadap Indonesia, dan ketika Indonesia melakukan queering terhadap queer itu sendiri? Atau mungkin tidak menemukan jawaban yang pasti dan ajek itu sendiri merupakan sesuatu yang queer juga?
Ucapan Terima Kasih
Selama penulisan dan penyempurnaan esai ini, saya memperoleh banyak bantuan berharga dari Dewi Anggraeni, Dewi Kharisma Michellia, Keith Foulcher, Mikael Johani, dan Martin Suryajaya.
Referensi
Anggraeni, Dewi. 2023. Berayun di Antara Keberpihakan dan Autokritik. Jakarta: CV. Pustaka Anagram.
Boellstorff, Tom. 2005. The Gay Archipelago: Sexuality and Nation in Indonesia. Princeton dan Oxford: Princeton University Press.
Boellstorff, Tom. 2007. A Coincidence of Desires. Durham: Duke University Press.
Davies, Sharyn Graham. 2010. Gender Diversity in Indonesia: Sexuality, Islam, and Queer Selves. Oxon: Routledge.
Edelman, Lee. 2004. No Future: Queer Theory and the Death Drive. Durham: Duke University Press.
Freeman, Elizabeth. 2010. Time Binds: Queer Temporalities, Queer Histories. Durham: Duke University Press.
Goldberg, Jonathan. 2016. Melodrama: An Aesthetics of Impossibility. Durham: Duke University Press.
Hegarty, Benjamin. 2023. “An Inter-Asia History of Transpuan in Indonesia”. Dalam Queer Southeast Asia, disunting oleh Shawna Tang dan Hendri Yulius Wijaya, 1-14. Oxon: Routledge.
Johani, Mikael. 2017. we are nowhere and it’s wow. Jakarta: Post Press.
Johani, Mikael. 2021. “stop asking is this puisi, no one’s interested in your answer.” Divagyrations- Eine kleine Mekifantasie (blog), 15 Desember 2016, https://mikaeljohani.com/2016/12/15/stop-asking-is-this-puisi-no-ones-interested-in-your-answer/ (diakses 23 Maret 2023).
Kafer, Alison. 2020. “Queer Disability Studies”. Dalam The Cambridge Companion to Queer Studies, disunting oleh Siobhan Sommerville, 93-107. Cambridge: Cambridge University Press.
Love, Heather. 2007. Feeling Backward: Loss and the Politics of Queer History. Cambridge dan London: Harvard University Press.
McCann Hannah, dan Whitney Monaghan. 2020. Queer Theory Now: From Foundations to Futures. London: Bloomsbury Academic.
Mcmillan, Andrew. 2022. “Some Statements, Some Questions” Dalam 100 Queer Poems, disunting oleh Mary Jean Chan dan Andrew McMillan. London: Vintage.
Munoz, Jose Esteban. 2019. Cruising Utopia: The Then and There of Queer Futurity (10th Anniversary Edition). New York: New York University Press.
Nurrohmat, Binhad. 2004. Kuda Ranjang. Jakarta: Melibas.
Oetomo-Oen, Dede T. 1982. “Charting Gay Politics in Indonesia” (tidak dipublikasikan).
Peletz, Michael. 2009. Gender Plurality: Southeast Asia Since Early Modern Times. Oxon: Routledge.
Rompas Anya. 2019. “Ketidaksetaraan 4.0 atau Hanya Ketidaksetaraan?” Dalam Menafsir Kembali Batas: Sebuah Buku Lanjuran untuk Jakarta International Literary Festival 2019, disunting oleh Hilman Handoni, 155-165. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Sedgwick, Eve Kosofsky. 1985. Between Men: English Literature and Male Homosocial Desire. New York: Columbia University Press.
Sedgwick, Eve Kosofsky. 1993. Tendencies. Durham: Duke University Press.
Suryakusuma, Julia I. 1996. “The State and Sexuality in New Order Indonesia.” Dalam Fantasizing the Feminine in Indonesia, disunting oleh Laurie J. Sears, 92-119. Durham: Duke University Press.
Sylado, Remi. 2023. Puisi Mbeling (Cetakan Kedua). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Wieringa, Saskia E. 2019. “Is the Recent Wave of Homophobia in Indonesia Unexpected?” Dalam Contentious Belonging, disunting oleh Greg Fealy and Ronit Ricci, 113-132. Singapura: ISEAS Publishing.
Wijaya, Hendri Yulius. 2020. Intimate Assemblages: The Politics of Queer Identities and Sexualities in Indonesia. Cham, Switzerland: Palgrave Macmillan.
[1] Dalam konteks aktivisme queer Indonesia, sebelum tahun 2016, istilah queer juga digunakan sebagai nama sebuah festival film, Q! Film Festival, yang diadakan sejak awal tahun 2000-an.
[2] Diterjemahkan secara bebas dari Kata Pengantar “Some Statements, Some Questions” yang ditulis Andrew McMillan dalam antologi “100 Queer Poems” (2022).
[3] Dalam esai ini, dalam konteks pembahasan puisi queer Indonesia, saya menggunakan istilah queer untuk merujuk pada spektrum identitas gender dan seksualitas yang beragam dan luas dari identitas gay.
[4] Sejarah singkat kelahiran puisi mbeling dapat ditemukan dalam “Sekapur Sirih Cetakan Pertama” dari antologi Puisi Mbeling karya Remy Sylado yang diterbitkan ulang oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada bulan Maret 2023.
[5] Puisi ini dimuat dalam antologi “Puisi Mbeling” hal. 42.
[6] Versi lengkap puisi ini dapat dibaca di G: Gaya Hidup Ceria, edisi November 1984, halaman 11.
[7] Penyair dan kritikus sastra Mikael Johani (2021) juga mengungkapkan minimnya puisi queer dalam skena arus utama sastra Indonesia.
[8] Versi lengkap puisi ini dapat dibaca di G: Gaya Hidup Ceria, edisi Agustus 1982, halaman 12.
[9] Versi lengkap puisi ini dapat dibaca di G: Gaya Hidup Ceria, edisi Maret 1983, halaman 11.
[10] Versi lengkap puisi ini dapat dibaca di G: Gaya Hidup Ceria, edisi Oktober 1982, halaman 12.
[11] Versi lengkap puisi ini dapat dibaca di G: Gaya Hidup Ceria, edisi Oktober 1982, halaman 12.
[12] Versi lengkap puisi ini dapat dibaca di G: Gaya Hidup Ceria, edisi Mei 1983, halaman 10.
[13] Versi lengkap puisi ini dapat dibaca di G: Gaya Hidup Ceria, edisi Oktober 1983, halaman 11.
[14] Versi lengkap puisi ini dapat dibaca di G: Gaya Hidup Ceria, edisi November 1984, halaman 11.
[15] Versi lengkap puisi ini dapat dibaca di G: Gaya Hidup Ceria, edisi Mei 1983, halaman 10.
[16] Versi lengkap puisi ini dapat dibaca di G: Gaya Hidup Ceria, edisi Mei 1983, halaman 10.
[17] Versi lengkap puisi ini dapat dibaca di G: Gaya Hidup Ceria, edisi Oktober 1983, halaman 10.
Hendri Yulius Wijaya
Hendri Yulius Wijaya adalah penulis Intimate Asssemblages: The Politics of Queer Identities and Sexualities in Indonesia (Palgrave Macmillan, 2020) dan penyunting Queer Southeast Asia (Routledge, 2022). Ia menerbitkan buku puisi berjudul Stonewall Tak Mampir di Atlantis (EA Books, 2021).