Sebelum “Aku” (1943)
Penyair Pujangga Baru Sudah Bi(a)sa Bilang ‘Aku’

Ilustrasi: Goenawan Mohamad

Sungguh saya terkejut ketika Saut Situmorang, penulis buku kumpulan esai Politik Sastra (2009) dan Sastra dan Film (2022), menyodorkan sebuah pernyataan sembrono dalam sebuah tayangan, yang diunggah oleh kanal Creatief melalui media Youtube, bahwa Chairil Anwar melakukan suatu modernisasi bahasa ucap melalui penggunaan diksi ‘aku’ dalam sajak-sajaknya. Sungguh saya tersentak ketika Saut Situmorang, penyair yang menempuh studi sarjana Sastra Inggris di Victoria University of Wellington (Te Herenga Waka) dan pascasarjana Sastra Indonesia di Auckland University (Waipapa Taumata Rau), berujar dengan penuh percaya diri dalam tayangan tersebut: “Chairil Anwar itu memakai kata ‘aku’. Sementara, di jaman itu, para penyair kan memakai kata ‘beta’ (2022, Creatief Production, menit 3:30 hingga 3:38).”

Saut Situmorang menekankan suatu klaim, yang tampak tidak didukung referensi kuat sepanjang video tersebut, bahwa kata ‘aku’ yang digunakan oleh Chairil Anwar adalah ciri khas kelisanan penutur bahasa Melayu yang digunakan di Medan, dan tidak pernah ditemui dalam karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah.

Esai sederhana ini tidak akan membantah bagaimana sajak-sajak Chairil Anwar dipengaruhi oleh corak kelisanan bahasa ucap Melayu Deli yang digunakan oleh mayoritas penutur di Medan dan sekitarnya (Deli Serdang). Ada dua fokus utama yang akan dibahas dalam esai pendek ini. Pertama, penggunaan kata ‘aku’ telah biasa digunakan oleh para penyair Poedjangga Baroe (selanjutnya saya akan menyebutnya Pujangga Baru) sejak tahun 1930-an. Saya akan menunjukkan bagaimana Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah telah berulang-ulang memakai kata ‘aku’ dalam sajak-sajak yang sudah diterbitkan melalui majalah Pujangga Baru. Kedua, jauh sebelum para penyair tahun 1930-an tersebut, kata ‘aku’ telah digunakan oleh pengarang teks Melayu klasik di luar wilayah penutur Melayu Deli di Medan dan sekitarnya. Saya akan menunjukkan bahwa naskah Melayu klasik Gurindam Dua Belas dan Tuhfat al-Nafis, ditulis oleh Raja Ali Haji yang lahir dan meninggal di Pulau Penyengat pada abad ke-19 (bukan penutur Melayu Deli), telah menggunakan kata ‘aku’ untuk menyebut subjek-pengarang. Melalui esai pendek ini, saya mengundang pembaca untuk mengikuti analisis sederhana dengan cara bertahap demi tiba pada satu titik akhir pembahasan yang dapat disimpulkan: Chairil Anwar bukan pelopor yang memulai modernisasi bahasa ucap yang bersifat radikal atau revolusioner dengan merintis penggunaan ‘aku’ sebagai kata atau morfem. Mohon dibaca dengan runtut.

 

Sutan Takdir Alisjahbana dan Kata ‘Aku’

Sutan Takdir Alisjahbana (1908-1994) telah memasukkan diksi ‘aku’ ke dalam bentuk puisi liris, sebelum Chairil Anwar.

Dalam sajak berjudul “Seindah Ini”, Alisjahbana menyertakan sebuah kata ‘aku’ yang diikuti ekspresi penuh rasa bersyukur: “Aku terima kasih kepadamu, Tuhan memberiku hati/ tulus-penyerah seindah ini:/ Sedih pedih menangis, waktu menangis!/ Girang gembira tertawa, waktu tertawa!/ Marak mesra bercinta, waktu bercinta!/ Berkobar bernyala berjuang, waktu berjuang!” Dalam sajak bertarikh 10 Agustus 1937 itu, dimuat dalam majalah Pujangga Baru pada bulan dan tahun yang sama dengan waktu penulisannya, pembaca dengan mudah dapat menemukan sebuah kata ‘aku’ dalam isinya. Tidak ada kata ‘saya’ dan ‘beta’ dalam baris atau larik lain di sajak tersebut.

Tiap kali kita mengikuti jejak karya penyair yang lahir di Natal tersebut, kata ‘aku’ ini berulang kali hadir dalam sajaknya yang bertema ketuhanan, ditulis pada periode 1930-an. Dalam sajak berjudul “Kepada Kaum Mistik”, Alisjahbana menggunakan kata ‘aku’ pula untuk memisahkan subjek-penulis dari golongan yang ditudingnya mencari Tuhan di malam kelam: “Tetapi aku bertemu Tuhanku di siang-terang.” Sajak bertarikh 19 Oktober 1937 ini bahkan menggunakan kata ‘aku’ secara berulang-ulang, melalui teknik repetisi yang disebut sebagai anaphora — pengulangan sebuah kata atau frasa di awal klausa atau kalimat untuk memberi efek artistik bagi pembaca dan pendengar, seperti berikut: “Aku berbisik dengan Tuhanku/ dalam kembang bergirang rona/ Aku mendengar suara Tuhanku/ dalam deru mesin terbang diatas kepalaku/ Aku melihat Tuhanku/ dalam keringat ngalir orang sungguh bekerja.” Diksi ‘Aku’ dan ‘dalam’ diulang-ulang di awal larik secara bergantian, untuk memberi repetisi bunyi yang mengundang kesan artistik.

Sajak “Kepada Kaum Mistik” tersebut sangat menarik untuk dibahas lebih mendalam. Pertama, pada awal dan akhir tiga lariknya, kata ‘Aku’ dan ‘Tuhanku’ dihadirkan untuk dapat dinikmati bunyinya, dalam teknik khusus yang mengulang bunyi /ku/ dari morfem {aku} dan bunyi /ku/ dari klitika {-ku} (selanjutnya saya sebut sebagai morfem terikat) yang membentuk kata ‘Tuhanku’. Hal ini menunjukkan bahwa pengarangnya secara sadar menggunakan morfem utuh {aku} untuk keperluan estetis demi menghadirkan perulangan bunyi /ku/ yang bersumber dari morfem bebas {aku} dan morfem terikat {-ku}. Keduanya, morfem bebas {aku} dan morfem terikat {-ku}, adalah morfem bermakna leksikal yang memiliki makna pada dirinya sendiri, walau morfem {-ku} memiliki kodrat terikat untuk ditempatkan sebagai afiks — bunyi yang dapat ditambahkan di awal (prefiks) atau di akhir (sufiks) sebuah kata.

Saya menduga bahwa Alisjahbana menggunakan morfem utuh {aku} karena morfem utuh {saya} dan morfem utuh {beta} tidak menawarkan efek bunyi /ku/ yang memikat jika seorang penyair hendak mengikutkan morfem terikat {-ku} dalam sebuah larik yang sama.

Kedua, teknik retorika tersebut menunjukkan bahwa, bertahun-tahun sebelum Chairil Anwar, Alisjahbana sang penyair Pujangga Baru telah secara sadar menggunakan diksi ‘aku’ secara berulang-ulang untuk mengolah tujuan estetika yang diinginkannya dalam menjelajahi potensi bunyi dan makna dari morfem bebas {aku} tersebut. Sekali lagi, ditinjau dari aspek estetika melalui bahasa ucap seorang pengarang Pujangga Baru yang menggunakan Bahasa Indonesia, kesadaran penggunaan morfem {aku}, sebagai morfem utuh dan bebas, menunjukkan bahwa: tidak ada pembaruan yang bersifat radikal atau revolusioner dari penggunaan morfem {aku} atau kata ‘aku’ yang kerap kita jumpai dalam sajak-sajak Chairil Anwar.

Lantas, patut pula diajukan pertanyaan seperti ini: Apakah kata ‘aku’ hanya digunakan oleh penyair Pujangga Baru dalam kaitan penulisan sajak bertema ketuhanan semata? Tidak.

Dalam karya lain, “Kalah dan Menang” (1944), Alisjahbana juga menggunakan kata ‘aku’ sebanyak satu kali dalam isi sajaknya: “Di padang lantang yang kutempuh ini,/ aku tak mungkin dikalahkan: /Sebab disini jatuh sama artinya dengan bertambah/ kukuh berdiri.” Dalam sajak bertarikh 4 Mei 1944 tersebut (pada masa pendudukan Jepang) dan dimuat oleh Majalah Pembangunan, Tahun I, No. 2, 23 Desember 1945 (beberapa bulan setelah teks proklamasi kemerdekaan dibacakan oleh Soekarno di Jakarta, 17 Agustus 1945), Alisjahbana tidak sedang mengekor sajak “Aku” yang ditulis oleh Chairil Anwar pada 1943 (dimuat oleh harian Pemandangan tahun yang sama). Alisjahbana telah biasa menggunakan kata ‘aku’ dalam sajak-sajak yang ditulisnya sejak tahun 1930-an.

Saya menduga bahwa Alisjahbana juga telah biasa menemukan kata ‘aku’ dalam karya penulis lain yang diciptakan sebelum periode 1930-an. Tidak mungkin ia mengabaikan Mohammad Yamin (1903-1962) yang merintis puisi modern dalam bahasa Melayu, “Tanah Air”, pada periode 1920-an: “Pada batasan, bukit Barisan,/ Memandang aku, ke bawah memandang;/ Tampaklah hutan rimba dan ngarai;/ Lagipun sawah, sungai yang permai:/ Serta gerangan, lihatlah pula,/ Langit yang hijau bertukar warna/ Oleh pucuk, dan kelapa;/ Itulah tanah, tanah airku/ Sumatra namanya, tumpah darahku.” Dalam sajak bertarikh Juli 1920 itu, Yamin menggunakan diksi ‘aku’. Namun, dalam sajak berjudul sama bertarikh 9 Desember 1922, Yamin mengubah diksi ‘aku’ menjadi diksi ‘beta’: “Di atas batasan Bukit Barisan/ Memandang beta ke bawah memandang:” (Pujangga Baru: Prosa dan Puisi, ed. H.B. Jassin, 1963). Dalam kasus khusus perubahan yang ditunjukkan dalam sajak “Tanah Air”, saya menduga Yamin memilih diksi ‘beta’ — dengan menerapkan teknik aliterasi — demi mengejar efek bunyi konsonan /b/ yang dipakai secara berdekatan dalam kata ‘batasan’, ‘Bukit’, ‘Barisan’, ‘beta’, dan ‘bawah’ dalam dua larik awal.  

Dalam kasus khusus Sutan Takdir Alisjahbana yang memandang peradaban Barat sebagai orientasi kemajuan, kita perlu bertanya: apakah ada suatu hal khusus yang menyebabkan ia menggunakan diksi ‘aku’ dalam sajak-sajaknya? Hal ini hanya dapat dijawab dengan menghadirkan pertanyaan susulan seperti ini: mengapa Sutan Takdir Alisjahbana menulis dalam bahasa Indonesia, bukan dalam bahasa Belanda atau bahasa-bahasa yang digunakan pengarang Barat lainnya?

Jawaban yang paling mungkin untuk ditawarkan: Alisjahbana memandang bahwa ada ruang dalam bahasa Indonesia untuk memasukkan nilai-nilai individualisme dan rasionalisme Barat. Sajak “Kepada Kaum Mistik”, yang bernuansa polemik melalui penggunaan diksi ‘aku’ ini, dapat dibaca dalam kerangka pemahaman modern semacam itu. Diksi ‘aku’ menawarkan bahasa ucap yang diinginkannya: suara diri sang pengarang tersalurkan melalui keberadaan morfem {aku} yang membentuk diksi ‘aku’ tersebut.  

Bagi pengarang periode 1930-an seperti Alisjahbana, ini bukan lagi soal menegakkan bahasa Melayu, melainkan soal eksistensi sebuah istilah yang sudah dikenal pada masa tersebut: Bahasa Indonesia. Munculnya majalah Pujangga Baru tidak dapat dipisahkan dari munculnya semangat nasionalisme bertahun-tahun sebelumnya, yang dipelopori oleh eksponen Kongres Sumpah Pemuda pada periode akhir 1920-an, yang memunculkan istilah Bahasa Indonesia. Secara legal-formal, pada periode 1930-an, tidak ada nasion bernama Indonesia; belum ada negara yang mengakui kedaulatan sebuah entitas nasional bernama Republik Indonesia. Namun, sudah ada upaya untuk memperjuangkan identitas nasional dengan istilah Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bagian dari identitas nasional tersebut; pengarang tahun 1930-an tidak terlepas dari konteks sosial-politik yang membentuknya.

Itulah sebabnya mengapa pada 1944, ketika sajak “Kalah dan Menang” ditulis, kata ‘aku’ sudah bukan sesuatu yang asing dalam teks-teks yang ditulis oleh para penyair. Diksi ‘aku’ bahkan dapat digunakan untuk menegaskan sikap seorang pengarang modern yang ingin menunjukkan suara pribadinya, sekaligus sebagai menggantikan kata ‘kami’—merujuk pada entitas sebuah nasion bernama Indonesia.

Jika cara pembacaan semacam ini dipaksakan terhadap sajak “Kalah dan Menang”, larik ‘aku tak mungkin dikalahkan’ dapat ditempatkan tidak terpisah dari konteks sosial-politik pendudukan Jepang yang melingkupinya: kami (bangsa Indonesia) tak mungkin dikalahkan. Namun, yang perlu ditekankan di sini: Alisjahbana tidak menggunakan kata ganti pihak-pertama plural dalam sajak tersebut. Dia tidak menggunakan morfem utuh {kami}. Dia tidak menggunakan morfem utuh {kita}. Dia memilih morfem bermakna leksikal {aku} yang tunggal untuk menghadapi morfem bermakna leksikal {mereka} yang plural. Titik. Dalam pemahaman Alisjahbana, individualitas — kalau tidak ingin menggunakan kata individualisme — adalah bentuk dari munculnya suara pribadi dan jatidiri individu ‘aku’ melawan ‘mereka’ yang jamak di tengah masyarakat. Ditinjau dari aspek individualitas ini, penggunaan diksi ‘aku’, dalam sajak “Aku” (1943) yang ditulis oleh Chairil Anwar dan dalam “Kalah dan Menang” (1944) yang ditulis oleh Sutan Takdir Alisjahbana, dapat dibaca sebagai penolakan atas pengungkungan diri. Mereka menolak pengurungan terhadap jatidiri individu yang sedang berhadapan dengan upaya pengekangan oleh kekuatan luar dirinya.

 

Amir Hamzah dan Kata ‘Aku’

Amir Hamzah (1911-1946) juga telah berulang-ulang menggunakan kata ‘aku’ dalam bentuk puisi liris pada periode pemerintahan kolonial Hindia Belanda, sebelum Chairil Anwar menulis puisi pada masa pendudukan Jepang. Penggunaan diksi ‘aku’, dalam susunan redaksional judul dan isi sebuah sajak, telah digunakan oleh Amir Hamzah, beberapa tahun lebih awal sebelum Chairil Anwar. Amir Hamzah menggunakan interaksi antara diksi ‘aku’ dan diksi ‘kau’ dalam konteks khusus pembentukan puisi liris. Pembaca pasti dapat dengan mudah menemukannya dalam baris pertama karya berjudul “Taman Dunia”, sebuah karya yang terdapat dalam kumpulan 24 sajak Nyanyi Sunyi (1937) itu: “Kau masukkan aku ke dalam taman dunia, kekasihku!” Baris penutup sajak tersebut ditutup oleh kemunculan kata ‘aku’ pula: “Termangu aku gilakan rupa.”

Dalam sajak lain, “Hanyut Aku”, sebuah karya juga yang terdapat dalam kumpulan 24 sajak Nyanyi Sunyi (1937), kata ‘aku’ dihadirkan berulang kali. Sejak awal, dalam judul dan baris pertama, kemudian diulang lagi di baris kedua, Amir Hamzah menegaskan pengulangan kata ‘aku’ yang mengikuti kata ‘hanyut’: “Hanyut aku, kekasihku!/ Hanyut aku/ Ulurkan tanganmu, tolong aku!” Dalam sajak tersebut, kata ‘aku’ digunakan oleh Amir Hamzah sebanyak tujuh kali. Benar, tujuh kali, dalam sebuah sajak. Saya menduga bahwa Amir Hamzah menggunakan morfem utuh {aku} karena morfem utuh {saya} dan morfem utuh {beta} tidak menawarkan efek bunyi /ku/ yang memikat jika seorang penyair hendak mengikutkan morfem terikat {-ku} pada akhir kata ‘kekasihku’ dalam sebuah larik yang sama. Dalam hal ini, ada pola yang sama, baik Amir Hamzah dan Alisjahbana menggunakan diksi ‘aku’ untuk keperluan menghadirkan repetisi bunyi /ku/ dalam satu larik yang sama.   

Dalam sajak “Berdiri Aku” yang sudah diterbitkan dalam majalah tahun 1930-an, lalu dimuat dalam kumpulan Buah Rindu (1941), misalnya, Hamzah menulis sejak baris pertamanya: “Berdiri aku di senja senyap.” Dalam sajak tersebut, tampak kata ‘aku’ telah hadir sejak awal, dalam teks judul dan baris pertama. Dalam sajak tersebut, kata ‘aku’ dimasukkan secara konsisten ke dalam bentuk puisi liris; pembaca tidak akan menemukan kehadiran diksi ‘saya’ atau ‘beta’ yang dianggap lebih halus untuk mewakili kata ganti subjek orang-pertama.

Konsistensi ini, tampak dari awal hingga akhir sajak tersebut, menunjukkan tidak adanya konflik dalam kesadaran penulisnya bahwa kata ‘aku’ dapat dipinggirkan sejenak, atau dialihkan, demi munculnya kata ganti subjek orang-pertama lain yang terasa lebih sopan dan pantas. Tidak ada keraguan semacam itu.

Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan kata ‘aku’, sebagai pilihan bahasa ucap yang mewakili individu untuk menggantikan kata ‘saya’ atau kata ‘beta’ yang dianggap lebih halus, bukan suatu terobosan revolusioner yang dimulai oleh Chairil Anwar.

Sejak menulis judul dan isinya, Amir Hamzah dengan mantap telah memilih kata ‘aku’ untuk mewakili tujuan estetika yang diinginkannya, tanpa harus menunggu hingga seorang penyair bernama Chairil Anwar menulis sajak berjudul “Aku” (sebelumnya sempat berjudul “Semangat”) dengan frasa ‘Aku ini binatang jalang’, bertahun-tahun kemudian pada periode 1940-an. Justru, Chairil Anwar mengekor tradisi yang sudah dimulai oleh generasi penyair sebelumnya dengan menggunakan kata ‘aku’ dalam puisi liris tersebut.

Apakah penggunaan diksi ‘aku’ dalam puisi liris bertema ketuhanan yang dipilih oleh Amir Hamzah adalah upaya untuk melarikan diri dari masalah — semacam eskapisme dari masalah sosial-politik yang ditimbulkan oleh kolonialisme Hindia Belanda? Tidak. Saya yakin sekali, tidak. Kumpulan Buah Rindu ditutup dengan frasa “Kepada tuan, Indonesia Besar” di akhirnya. Amir Hamzah adalah eksponen dari perkumpulan Indonesia Muda, sebuah organisasi yang dibentuk pada 31 Desember 1930 untuk menyatukan organ-organ kedaerahan Jong Java, Jong Sumatra, dan lain-lain. Organisasi nasional ini tidak bisa dipisahkan dari peristiwa Kongres Pemuda Kedua tahun 1928 yang mencetuskan kesadaran nasional: berbangsa satu (Bangsa Indonesia), bertanah air satu (Tanah Air Indonesia), dan menjunjung tinggi bahasa persatuan (Bahasa Indonesia). Termasuk pula di dalamnya sebuah pengakuan: lagu Indonesia Raya. Dari sudut pandang ini, bahasa Indonesia, sebagai sebuah frasa, sudah digunakan oleh para aktivis pergerakan untuk menggantikan frasa bahasa Melayu. Apakah dalam imajinasi pengarang yang aktif sebagai eksponen Indonesia Muda itu dikenal frasa “Bahasa Indonesia-Medan” atau “Bahasa Indonesia-Deli”? Saya tidak memiliki referensi kuat untuk mengiyakan. Jawaban saya: tidak ada hal semacam itu.

Artinya, ada dua poin yang dapat ditafsirkan dari strategi berbahasa seorang Amir Hamzah. Pertama, sajak-sajak yang ditulis oleh Amir Hamzah periode 1930-an yang telah mengenal penggunaan diksi ‘aku’, yang ditulis setelah Kongres Sumpah Pemuda Kedua tahun 1928, adalah upaya perlawanan kultural seorang pengarang terhadap kolonialisme Hindia Barat. Dalam konteks periode 1930-an, Pemerintah Hindia Belanda telah memasukkan ilmu pengetahuan melalui kurikulum pengajaran modern selama puluhan tahun lamanya; sekolah formal didominasi oleh hegemoni bahasa Barat (Belanda, Jerman, Prancis, dan lain-lain).

Menulis sajak-sajak ketuhanan dengan bahasa persatuan, termasuk publikasi terjemahan Setanggi Timur, adalah cara Amir Hamzah membangun interaksi dengan sesama kalangan terdidik yang menggunakan bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Kedua, konflik utama yang dihadapi Amir Hamzah bukanlah dilema dalam menemukan bahasa ucap yang ditandai dengan kebimbangan dalam memilih kata ‘aku’, ‘saya’, atau ‘beta’. Bukan. Namun, bagaimana menggunakan bahasa Indonesia untuk menghadapi hegemoni pemerintah kolonial Hindia Belanda? Penyair ini pernah memimpin Indonesia Muda cabang Surakarta. Amir Hamzah secara sadar menulis dalam bahasa Indonesia — sebuah istilah untuk merujuk bahasa persatuan yang digunakan oleh aktivis Indonesia Muda dalam rangka mewujudkan tujuan pergerakan yang dimimpikan dalam kongres para pemuda-pemudi itu: nasion Indonesia. Sebelum menerbitkan kumpulan puisi, Hamzah sudah menyampaikan pidato di kongres pemuda, tahun 1930. Hamzah tidak menulis dalam bahasa Belanda, walau dia dapat melakukannya — dipelajarinya melalui pendidikan formal kolonial MULO hingga tingkat AMS (beroperasi di bawah asuhan organisasi Budi Utomo). Seluruh sajak yang ditulis oleh Amir Hamzah, dalam bahasa Indonesia, sebaiknya dibaca sebagai strategi perlawanan kultural terhadap hegemoni pendidikan kolonial Barat yang pernah ditempuhnya.

 

Raja Ali Haji dan Kata ‘Aku’

Sejatinya, penyair-penyair periode tahun 1930-an tidak melakukan terobosan revolusioner dan radikal dengan menggunakan kata ‘aku’. Mereka hanya melanjutkan, secara gradual, suatu tradisi yang sudah digunakan dalam naskah Melayu klasik. Saya bukan seorang pakar di bidang kajian teks Melayu klasik: apakah diksi ‘aku’ bukan sesuatu yang asing dalam beberapa naskah Melayu yang ditulis pada abad ke-19?  

Saya ragu-ragu untuk menjawab dengan tegas bahwa dalam tradisi penulisan teks Melayu klasik, penggunaan kata ‘aku’ sebagai bahasa ucap untuk menggantikan subjek pengarang, sudah lazim. Jauh sebelumnya, Raja Ali Haji (1808-1873) telah memasukkan kata ‘aku’ dalam karya Gurindam Dua Belas. Namun, tidak seperti yang telah dilakukan oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah, kata ‘aku’ tersebut tidak hadir dalam judul dan isi selusin pasal gurindam tersebut. Kata ‘aku’ digunakan oleh Raja Ali Haji dalam teks yang mengantar pembaca masuk ke dalam pasal pertama gurindam, untuk membedakan bentuk syair dan gurindam: “Syahdan adalah beda antara gurindam dengan syair itu aku nyatakan pula.”

Artinya, dalam teks Melayu klasik, kata subjek ‘aku’ sudah digunakan tanpa harus menunggu kata tersebut digunakan oleh penutur Melayu Deli di Medan lalu dituangkan ke dalam bentuk sajak liris oleh seseorang bernama Chairil Anwar pada 1940-an. Tidak. Sebagai kata ganti pihak-pertama untuk subjek pengarang dalam teks Melayu klasik, kata ‘aku’ tidak pula perlu dianggap mewakili kasta tinggi-rendah tertentu.

Dalam karya lainnya, Raja Ali Haji juga menggunakan kata ‘aku’ seperti tampak dalam teks Tuhfat al-Nafis: “Dan aku namai akan dia ‘Tuhfat al-Nafis’ pada mengatakan/ kelakuan daripada raja-raja Melayu dan Bugis” (Virginia Matheson & Barbara W. Andaya, 1982). Sekali lagi, tidak mungkin menyebut Chairil Anwar melakukan terobosan revolusioner atau radikal hanya berdasarkan penggunaan kata ‘aku’ pada abad ke-20 tanpa mengingat munculnya morfem aku yang merujuk pada kata ‘aku’ sebagai subjek-pengarang dalam teks Melayu pada abad ke-19.

Penggunaan kata ‘aku’ dalam teks Tuhfat al-Nafis ini sangat menarik untuk dibahas. Raja Ali Haji memakai kata ‘aku’ dalam rangka menilai layak atau tidaknya sebuah teks digunakan sebagai sumber rujukan, sehingga ia tampak membaca suatu karya sebagai pengarang modern abad ke-19: “Syahdan, akan tetapi aku terjumpa dengan siarah sebelah Siak; akan tetapi sejarah dan siarah Siak itu daripada awal hingga akhirnya tiada bertahun dan tiada bertarikh, apalagi bulan dan akhirnya, tiada sekali-kali aku bertemu” (Inche Munir bin Ali, Singapura: Malaysian Publication Ltd., 1965, hal. 104). Sejak abad ke-19, pengarang yang menulis dalam aksara Arab-Melayu bahkan sudah menggunakan kata ‘aku’ untuk menyebut dirinya sebagai subjek-pengarang yang memeriksa kelayakan sebuah naskah untuk digunakan sebagai sumber rujukan. Artinya, modernisasi bahasa ucap yang dianggap dekat dengan kelisanan penuturnya, melalui penggunaan kata ‘aku’ untuk menyebut subjek-diri, tidak dimulai oleh penyair Chairil Anwar, tidak pula dimulai oleh penyair Sutan Takdir Alisjahbana, tidak pula dimulai oleh penyair Amir Hamzah. Tidak. Siapa yang memulainya pertama kali? Entah.

 

Apa yang Dapat Disimpulkan?

Demikianlah, seperti yang telah dijanjikan pada pembuka esai ini, saya berharap bahwa pembaca telah tiba pada satu titik pembahasan yang dapat disimpulkan: Tidak ada pembaruan yang bersifat radikal atau revolusioner dari penggunaan morfem {aku} atau kata ‘aku’ dalam sajak-sajak Chairil Anwar.

Mohon maafkan kelancangan saya yang membantah klaim tak berdasar yang diucapkan oleh Saut Situmorang. Saya yakin beliau hanya bercanda, atau setidaknya pura-pura tidak tahu bahwa penggunaan kata ‘aku’ telah biasa digunakan oleh para penyair Pujangga Baru sejak tahun 1930-an.

Saya percaya bahwa beliau sengaja menyimpan pengetahuan tinggi yang dimilikinya agar orang menduga bahwa dia tidak paham bagaimana Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah telah memakai diksi ‘aku’ dalam sajak-sajak yang diterbitkan melalui majalah Pujangga Baru. Saya memahami bahwa beliau hanya ingin memantik polemik dengan pura-pura menjadi orang awam yang tidak paham bahwa bahkan jauh sebelum para penyair tahun 1930-an tersebut, beberapa teks Melayu klasik, Gurindam Dua Belas dan Tuhfat al-Nafis yang ditulis oleh Raja Ali Haji pada abad ke-19, juga telah menggunakan morfem {aku} untuk merujuk pada kata ‘aku’ dalam rangka menyebut subjek-pengarang.

Chairil Anwar mengekor tradisi yang sudah dimulai oleh generasi penyair sebelumnya. Chairil Anwar menggunakan kata ‘aku’ secara berulang-ulang — bukan diksi ‘awak’ untuk kata ganti pihak-pertama yang sangat khas mewakili kelisanan penutur Melayu Deli di Medan — karena morfem ‘aku’ itu sudah biasa digunakan oleh para penyair sebelumnya.

Saya selalu mengangkat topi setinggi-tingginya untuk kerendahan hati Bang Saut, sang penyair terbaik Indonesia yang sangat disayangi para aktivis pergerakan kita; cintanya sangat murni mendalam kepada intelektualisme. Mohon dimaklumi seandainya pembaca menemukan kesalahan dalam esai pendek ini; saya tidak memiliki pendidikan tinggi formal di bidang Ilmu Sastra (Inggris dan Indonesia) seperti seorang Saut Situmorang — Chairil Anwar adalah topik dari tesis pascasarjana yang tidak diselesaikannya karena, mungkin, terlalu mudah dan tidak menantang untuk dituntaskannya. Itu pula alasan mengapa esai ini tidak membahas satu sajak pun yang ditulis oleh Chairil Anwar; saya tidak memiliki ilmu yang mumpuni. Saya yang dungu, bodoh, dan awam ini selalu terbuka dan sangat rela untuk dicela, dicemooh, dihujat, apalagi hanya diingatkan dalam bentuk kritik dan komentar. Mohon dimaklumi seandainya saya mengakhiri esai sederhana ini dengan sebuah klaim sembrono: Tidak ada orang yang memahami Chairil Anwar, dan seluruh aspek penting terkait Sastra Indonesia yang melingkupinya, sesempurna seorang Saut Situmorang. Tidak ada. Titik.

Blog12 Juli 2022

Tomy D. Ginting


Tomy D. Ginting, lahir di Purwakarta, 16 Januari 1985, menyelesaikan studi tingkat sarjana bidang ilmu teologi di Tokyo Christian University, 2020. Sejak 2003, sajak-sajaknya yang ditulis dalam bahasa Indonesia dipublikasikan dalam antologi atau jurnal cetak, dan situs sastra daring. Buku pertamanya, Hikmat Keba(j)ikan: Sekumpulan Sajak Sederhana (Sleman: Indie Book Corner, 2015), sebuah prosa humor yang ditulis untuk menghina sajak-sajaknya sendiri, dicetak sebanyak sepuluh eksemplar.