Sayembara—sebagaimana kata itu diserap dari bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno swayambara—adalah proses memilih yang terbaik. Di masa lalu—setidaknya melalui wiracarita—seorang putri raja akan memilih sendiri calon suaminya melalui sayembara. Orang tua sang putri akan membuka kesempatan para pemuda untuk menunjukkan kemampuan mereka—memanah atau melawan gergasi atau pendekar mahasakti, misalnya—agar dari situ sang putri bisa memilih lelaki terbaik sebagai suaminya kelak. Dalam sayembara seperti itu berlaku prinsip “yang menang adalah yang terbaik”—tanpa memandang kelas sosial, asal-muasal, dan embel-embel lainnya.
Tentu saja, seorang yang memanah tepat di titik pusat sasaran adalah ia yang terbaik dalam sayembara termaksud dan berhak dipilih menjadi calon suami sang putri. Berhadapan dengan hasil sayembara seperti ini, selera sang putri tidak kelewat menentukan. Imajinasinya tentang keterbaikan seorang pemuda bisa jadi berlawanan dengan apa yang dihasilkan sayembara. Ia tidak bisa, misalnya, menggunakan seleranya untuk memilih seorang peserta yang tidak kelewat mahir memanah, tetapi ketampanan peserta itu sejak semula telah menarik perhatiannya. Hasil sayembara tidak bisa dibatalkan—sekarang: “Keputusan Dewan Juri tidak dapat diganggu gugat.” Sang putri mesti memilih yang terbaik dari hasil sayembara tadi, meskipun. . .
Begitulah, dalam sayembara, Kunti terpaksa menerima Narasoma, meskipun ia sebenarnya tidak sreg dengan lelaki beristri itu. Jika boleh jujur, Kunti mendambakan lelaki lain. Akan tetapi, keputusan Kunti menimbulkan ketidakpuasan para peserta yang tidak terpilih. Narasoma yang tinggi hati menantang para peserta sayembara yang tidak puas itu untuk merebut Kunti dari tangannya dan, sudah pasti, mereka kalah. Sayangnya, semua itu belum berakhir. Pandu—jagoan kita—datang dan mengalahkan Narasoma. Kunti pun memindahkan untaian bunga dari leher Narasoma ke leher Pandu. Dan seterusnya, dan seterusnya. . .
Sayembara dalam dunia modern tidak sepenuhnya bisa seperti itu. Selera pemilih—dalam hal ini: dewan juri—adalah faktor menentukan. Masalahnya, dalam sebuah dewan, juri telah bergeser posisinya dari yang individual menjadi yang kolektif, sehingga proses penerapan selera bisa menjadi lebih berliku-liku karena satu sama lain harus bernegosiasi. Dalam kedewanan tenggang rasa di antara para juri diperlukan untuk mencapai kata sepakat. Perdebatan—dari yang hangat hingga yang panas, sembari menuding atau menggebrak meja sehingga cangkir kopi terguncang dan terguling karenanya—sangat mungkin terjadi sebelum para juri bersepakat menentukan pilihan mereka. Akan tetapi, sesungguhnya, selera ditentukan oleh wawasan.
Dalam hal sayembara menulis sastra selera ditentukan oleh wawasan pembacaan masing-masing juri atas khazanah karya sastra yang ada. Wawasan ini pula yang kelak bisa memastikan apakah sebuah karya benar-benar unggul, idiosinkratif, belum pernah ditulis dalam bahasa Indonesia atau hanya karya semenjana atau ternyata jiplakan dari sebuah karya lain atau terpengaruh oleh karya ini dan itu. Wawasan pembacaan seorang juri adalah mikroskop untuk memastikan keterbaikan sebuah karya peserta sayembara. Tanpa wawasan pembacaan yang kuat dan komparatif, proses penjurian sebuah sayembara tidak ubahnya proses menentukan penerima arisan.
Kontestasi wawasan pembacaan dewan juri mungkin adalah momen paling menarik dalam sebuah penjurian sayembara sastra. Sebab di situ kita bisa melihat berhimpun sekaligus berbenturannya wawasan pembacaan yang berbeda-beda. Ilustrasi tentang perdebatan panas tadi hanyalah penampakan luar dari betapa susahnya menentukan yang terbaik jika dalam sebuah sayembara para juri berhadapan dengan karya-karya yang benar-benar bagus, atau sebuah karya bagus di mata seorang juri tetapi jelek menurut juri lainnya. Para juri—yang bekerja dalam waktu terbatas, tetapi dengan tuntutan hasil kerja terbaik—mesti memilih para juara dan itu artinya mereka akan menerakan nama-nama (baru) dalam sejarah sastra Indonesia. Meskipun keputusan dewan juri selalu bersifat tidak bisa diganggu gugat, masyarakat—tidak terkecuali: peserta sayembara yang tidak menang—selalu bisa menyanggahnya. Masyarakat kritis ini seakan-akan adalah dewan juri tahap berikutnya yang meskipun pendapat mereka mengandung kebenaran, penilaian mereka sudah tidak menentukan lagi.
Sanggahan atas sebuah hasil sayembara oleh masyarakat bisa melebar ke mana-mana. Yang bisa disanggah bukan hanya hasil kerja dewan juri, tetapi juga kinerja penyelenggara sayembara. Kenapa karya si fulan bisa menang? Bagaimana penyelenggara bisa memilih dewan juri dengan kualitas seperti itu? Kenapa karya penyair wajah baru bisa menang bersama karya penyair kawakan? Gugatan atas kemenangan buku puisi Sajak Sikat Gigi karya Yudhistira A.N.M. Massardi pada anugerah buku puisi terbaik 1977 adalah ilustrasi menarik bahwa pemilihan buku sastra terbaik—bukan sayembara—bisa menimbulkan kegaduhan, bukan hanya di kalangan sastrawan tetapi juga antara sastrawan dan dewan juri. Dari situ kita juga bisa mengetahui bagaimana ekosistem kepenyairan di Indonesia saat itu masih dipenuhi sentimen antargenerasi dan seseorang yang tidak puas bisa menyeret media massa untuk memperkeras gugatannya.
Sudah sejak hampir lima puluh tahun terakhir ini Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menyelenggarakan sayembara menulis yang umumnya diselenggarakan oleh Komite Sastra. Mulai dari menulis roman, naskah drama, kritik sastra hingga manuskrip puisi.
Di antara sejumlah genre yang paling ajek adalah Sayembara Menulis Roman dan Sayembara Menulis Naskah Drama. Yang terakhir ini dalam beberapa tahun terakhir diambil alih oleh Komite Teater, sehingga Komite Sastra lebih berfokus kepada novel, kritik sastra, dan manuskrip puisi. Sebelum secara hampir konsisten Komite Sastra menyelenggarakan sayembara kritik sastra, pada 2004 untuk sekali-kalinya DKJ menyelenggarakan sayembara kritik seni. Empat tahun sebelumnya, Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) juga pernah menyelenggarakan sayembara manuskrip puisi. Bahkan, Sayembara Mengarang Roman Tahun Buku Internasional 1972 yang memenangkan Telegram karya Putu Wijaya bisa dilihat sebagai pemantik bagi DKJ untuk menyelenggarakan sayembara serupa di tahun-tahun berikutnya.
Sepanjang tahun-tahun itu, Sayembara Menulis Roman—kemudian namanya berganti menjadi Sayembara Menulis Novel, selanjutnya Sayembara Novel—adalah peristiwa sastra yang timbul-tenggelam. Pernah sayembara ini berlangsung secara teratur, tetapi tidak menghasilkan pemenang-pemenang utama. Panitia lantas menghentikannya karena alasan mutu yang terus merosot sehingga berganti dengan Hadiah Buku Utama. Setelah vakum belasan tahun, sayembara itu muncul lagi menjelang keruntuhan Orde Baru dan melahirkan Saman karya Ayu Utami sebagai pemenang pertama. Sepanjang masa itu dan kemudiannya, para juara datang dan pergi silih berganti. Yang pernah berjaya menempuh jalan hidupnya sebagai pengarang hingga hari ini—dalam ekonomi yang tidak kunjung membaik. Akan tetapi, ada pula yang—jika boleh mengutip larik puisi Chairil Anwar—“sekali berarti sudah itu mati.”
Sayembara sastra DKJ sudah telanjur identik dengan penabalan seorang juara atau kelahiran penulis-penulis baru. Akan tetapi, ada pula kekurangannya. Dalam sebuah sayembara sastra, panitia sebenarnya menerima sesuatu yang hampir tidak bisa diapa-apain lagi. Naskah yang masuk ke panitia selalu bersifat final—setidaknya untuk saat itu. Dewan juri hanya punya dua pilihan: menerimanya sebagai yang terbaik atau menyingkirkannya. Tidak ada peluang dewan juri, bahkan penyelenggara, untuk memperbaiki kualitas karya yang dianggap lumayan, atau memperbaiki keterampilan para penulis secara keseluruhan. Sebab, perkara yang satu ini hanya bisa dibereskan di lokakarya.
Sebuah lokakarya penulisan adalah sebuah proses berkelanjutan yang menjadi tempat seorang penulis bersama pengampu lokakarya membikin betul apa yang tidak beres dan memperbagus apa yang semula bertampang biasa-biasa saja. Dalam bengkel penulisan sebuah tulisan bisa dibongkar habis-habisan—sejauh pengampu dan penulis bisa melakukannya—untuk kemudian dirakit kembali dalam rupa yang lebih baik. Seorang penulis mesti menanggalkan ego kepenulisannya—karena telah beroleh pengakuan nasional dari sebuah sayembara, misalnya—untuk meninjau kembali karyanya yang sebenarnya masih dirundung banyak masalah. Tanggung jawab untuk menyelenggarakan bengkel penulisan seperti ini pernah diambil alih Komite Sastra melalui Bengkel Penulisan Novel.
Sesungguhnya Bengkel Penulisan Novel—kemudian Bengkel Kritik Sastra—adalah program yang tidak secara ajek diselenggarakan DKJ. Meskipun hasil sebuah bengkel baru akan kelihatan dalam beberapa waktu ke depan, program ini boleh diberi perhatian lebih. Memang, kemudian muncul kesan, Komite Sastra harus membereskan semua soal dalam ekosistem sastra kita, mulai dari bengkel penulisan, sayembara, diskusi, festival, penerbitan, majalah/jurnal hingga hadiah sastra. Apalagi mengingat DKJ bekerja atas sokongan dana publik, semua program itu seakan-akan wajib dijalankan. Akan tetapi, sebelum Komite Sastra mengambil alih tugas-tugas lain yang bukan tanggung jawabnya, baiklah kita sadari bahwa masalah ini adalah masalah umum di Indonesia. Kesusastraan kita tumbuh dalam situasi serba-darurat. Kesusastraan kita tidak pernah hidup dalam kondisi yang benar-benar normal. Entah sampai kapan.
Sebelum editorial ini melebar ke mana-mana, baiklah kami sampaikan bahwa tengara.id nomor ini memuat sejumlah esai yang menanggapi atau membahas hasil-hasil sayembara sastra yang pernah diselenggarakan DKJ. Redaksi meminta kepada sejumlah penulis untuk mengulas secara terfokus maupun dengan perbandingan karya-karya (puisi maupun novel) yang pernah memenangi sayembara. Atau, membicarakan secara kritis mekanisme sayembara yang selama ini dianggap telah memberikan sesuatu kepada sastra Indonesia. Semua ini kami pilih secara acak dengan melihat kemungkinan topik yang bisa digarap dan calon penulis yang bisa bekerja sama dan tentu saja dalam waktu penulisan yang sesingkat-singkatnya.
Kami mengadakan obrolan dengan Ayu Utami, Ayu Utami: Setelah Saman (1998), yang melalui Saman telah memenangi Sayembara Menulis Roman DKJ 1998, tentang bagaimana ia menulis Saman, situasi sosial-politik menjelang mundurnya Soeharto, dan bagaimana pula ia melihat mekanisme sayembara sastra yang diselenggarakan DKJ selama ini. Ayu merasa yakin bahwa sayembara seperti ini masih perlu dikerjakan untuk menumbuh-kembangkan ekosistem kesusastraan kita. Akan tetapi, bukan hanya sayembara yang kita perlukan. Kita memerlukan juga penghargaan sastra dengan argumentasi penilaian yang baik. Dalam percakapan ini, Ayu menegaskan sayembara adalah salah satu cara untuk merawat kesusastraan. Selain menimbang tentang nilai penting sayembara DKJ, Ayu mengusulkan untuk menambah sejumlah penghargaan, semisal hadiah yang dikhususkan untuk penulis perempuan, juga menghidupkan kembali penghargaan sastra yang masih relevan diadakan, seperti Kusala Sastra Khatulistiwa. Ayu sendiri menginisiasi Hadiah Sastra untuk Pemula ‘Rasa’ karena melihat pentingnya apresiasi atau penghargaan bagi karya sastra demi merawat ekosistem.
Dhianita Kusuma Pertiwi punya suara lain. Baginya, sebagaimana ia tulis dalam Menimbang Relevansi Sayembara Sastra, selama ini sayembara sastra DKJ memang telah menjadi barometer dan perhitungan bagi para penulis sastra di Indonesia. Namun, ada yang lebih penting dari itu, yakni ancaman kerutinan. Jika sebuah sayembara sekadar meladeni target kerja tahunan—atau menjalankan warisan program pengurus sebelumnya—bagaimana kita melihat program ini kelak? Apakah sayembara bisa benar-benar menghadirkan kebaruan dalam sastra Indonesia? Dhianita juga menghadapkan sayembara kepada kenyataan-kenyataan baru dalam penulisan sastra, mulai dari munculnya banyak platform penulisan hingga peran kecerdasan buatan. Bagaimana jika karya dengan bantuan kecerdasan buatan diikutkan dalam sayembara? Bagaimana para juri bisa memastikan sebuah karya diciptakan dengan bantuan kecerdasan buatan? Apakah peran baru kecerdasan buatan ini bisa diterima dalam sebuah sayembara?
Di samping pendapat-pendapat yang bersifat sapuan besar seperti di atas, kami juga menyajikan sejumlah pembacaan dekat atas karya-karya pemenang sayembara DKJ. Kiki Sulistyo, seorang penyair dan pengelola komunitas Akarpohon, Mataram, Lombok, misalnya, lewat Menyiasati Narasi: Dari Sergius Mencari Bacchus sampai Korpus Ovarium, meneroka buku-buku puisi yang memenangi sayembara manuskrip puisi DKJ: Sergius Mencari Bacchus karya Norman Erikson Pasaribu, Ibu Mendulang Anak Berlari karya Cyntha Hariadi, Kawitan karya Ni Made Purnama Sari, Sapi dan Hantu karya Dadang Ari Murtono, dan Korpus Ovarium karya Royyan Julian. Di samping memeriksa anasir penting yang menguatkan masing-masing buku puisi, Kiki juga menarik garis tegas yang membedakan satu buku puisi dari buku puisi lainnya. “Manuskrip-manuskrip pemenang utama 2015 berisi puisi-puisi dengan latar masyarakat modern dengan problem-problem perkotaannya. Sementara manuskrip-manuskrip pemenang utama 2021 berisi puisi-puisi dengan latar kampung, atau wilayah “indijines”, dengan problem-problem perubahannya,” tulis Kiki.
Sementara Ramayda Akmal lewat Ziggy, Childisme, dan Defamiliarisasi Bahasa membuktikan, sekali lagi, kecemerlangan Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie dalam menulis novel-novelnya. Terutama, Di Tanah Lada (2016) dan Semua Ikan di Langit (2018), yang ketika masih manuskrip keduanya beroleh penghargaan dari Sayembara Menulis Novel DKJ. Dalam kedua novelnya itu Ziggy bukan hanya berhasil mengolah perwatakan anak-anak yang unik, tetapi juga membuat “dunia baru” dan merancang bahasa fiksi yang menyegarkan. Di akhir esainya, Ramayda menulis begini, “Ziggy memposisikan anak-anak sebagai yang penting, justru dalam upayanya untuk mengemansipasi anak-anak itu sendiri di satu sisi dan atau menciptakan (baca: mengacaukan) pemaknaan yang melawan pakem ketika anak-anak diposisikan sebagai yang paling rentan. Hal ini tampak melalui penggambaran dan relasi antartokoh, serta penggunaan bahasa yang berupaya mendefamiliarisasi pemaknaan orang dewasa terhadap anak-anak dalam dua novel tersebut.”
Sebagaimana esai Ramayda Akmal yang berfokus ke karya seorang pengarang, demikian pula esai Sunlie Thomas Alexander, Babi-Babi dan Anjing-Anjing Nidu: Catatan Atas Novel Burung Kayu. Ia mengupas secara ketat novel Burung Kayu karya Niduparas Erlang yang masuk dalam kategori Naskah yang Menarik Perhatian Juri pada Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2019. Sunlie membingkai kupasannya dalam kaitan dengan dilema novel etnografis, yakni dilema antara bersetia pada kenyataan lapangan yang diteliti dan tuntutan untuk mereka semesta fiksi yang menarik bagi pembaca di luar kenyataan lapangan itu. Ia juga menyentuh masalah pelabelan “novel etnografis” yang sarat akan bias rasisme: seakan-akan ciri etnografis sebuah novel ditentukan oleh cara berpikir yang menempatkan segala yang jauh dari pusat (biasanya Jawa) sebagai sesuatu yang eksotis, asing, dan karenanya otomatis bersifat etnografis. Sunlie dengan telaten menyelidiki kajian-kajian antropologis tentang suku Mentawai, termasuk aneka cerita rakyatnya, dan membandingkan penggambaran itu dengan penggambaran Nidu. Telaah ini berhasil menunjukkan bahwa Burung Kayu layak disebut sebagai novel etnografis yang dilandasi oleh riset yang serius kendati masih dihantui oleh ketakutan untuk mengembangkan sudut pandang sendiri di luar pakem tradisi suku Mentawai.
Yang sedikit berbeda adalah esai Kelana Wisnu Sapta Nugraha. Ini sebuah pembacaan jauh atas novel-novel pemenang sayembara DKJ. Metode yang ia gunakan adalah sebuah pendekatan dalam studi sastra yang memanfaatkan teknologi komputasi untuk menganalisis teks-teks sastra dalam skala besar. Kelana tidak menulis tentang keseluruhan karya pemenang, tetapi memilih sampel dari sana untuk kemudian membacanya melalui mesin. Artikelnya mengajak kita merenungkan banyak hal. Apakah pola umum yang muncul dari aneka karya yang memenangi Sayembara Novel DKJ dari tahun ke tahun? Sejauh mana pola tersebut menggenapi atau malah menyanggah dugaan umum tentang novel-novel tersebut selama ini?
Pada nomor ini kami juga mengundang penulis dari negara tetangga, yakni Wan Nor Azriq dari Malaysia, yang menulis Kematian Senantiasa Akrab. Wan dengan wawasan sastranya yang luas dan gemar membicarakan secara ringkas karya-karya sastra Malaysia dan dunia, kami minta untuk membandingkan novel-novel pemenang sayembara DKJ dengan novel-novel Malaysia mutakhir. Meski tidak secara ketat membandingkan novel-novel yang dibacanya, Wan menemukan tema maut yang kerap muncul. Ia masuk ke dalam pandangan filosofis tentang elmaut dalam fiksi serumpun dan bagaimana tokoh-tokoh rekaan itu menyiasatinya. Dalam satu paragrafnya tentang novel Orang-Orang Oetimu karya Felix Nesi dan Naratif Ogonshoto karya Anwar Ridhwan, Wan menulis begini, “Dalam dunia Oetimu, kronofobia diatasi atau diisi dengan cinta, seks, dan ketuhanan. Dalam dunia Ogonshoto, politik menerjang masuk ke dalam segala aspek kehidupan, nyata atau tersembunyi; manusia Ogonshoto tidak punya waktu untuk bercinta dan memuaskan nafsu batin.”
Pada akhirnya, mesti segera disadari, pembicaraan dan telaah pada nomor ini belum menyinggung secara menyeluruh fenomena sayembara sastra DKJ. Namun, sajian ini paling tidak bisa memantik diskusi atau telaah lanjutan atas karya-karya sastra Indonesia, bukan hanya yang muncul melalui sayembara DKJ tetapi juga karya-karya sastra cemerlang yang muncul di luar itu. Kami menyiapkan nomor-nomor berikutnya untuk itu semua, kritik sastra dalam pelbagai sudut pandang terbaik. Ya, kerja memang belum selesai. Mudah-mudahan, esok pagi kami terbangun masih dengan sisa mimpi yang sama: Akan lahir karya sastra baru, kritik sastra yang lebih baik lagi, yang mampu menebus duka cita kami di dunia fana ini . . .
tengara.id
tengara.id adalah upaya strategis untuk meningkatkan kualitas karya sastra Indonesia melalui pembacaan, pembedahan, dan penilaian yang dilakukan dengan landasan argumen dan teori yang bermutu.