Ziggy, Childisme, dan Defamiliarisasi Bahasa

Memasuki dunia Ziggy Zezsyazeoviennazabriskie adalah memasuki dunia dengan tengadah. Pembaca diajak mengikuti mata seorang bocah, yang mendongak ke atas, menyaksikan dunia orang dewasa. Berjalan di cerita-ceritanya, pembaca akan menemukan bahwa dunia orang dewasa itu terasa aneh, padahal dunia itu bisa saja dekat sekali dengan mereka. Dunia yang dekat menjadi asing. Tidak lagi familiar.

Keanehan juga muncul karena prasangka. Ketika membaca karya Ziggy dan menguntit tokoh-tokohnya, muncul pertanyaan: bagaimana mungkin seorang anak berpikir demikian? Namun, ketika lembar-lembar berganti, buku-buku ditutup, seketika itu juga sebagai pembaca, saya tepekur. Rasa asing yang saya alami secara bersamaan menunjukkan dua hal: kehebatan Ziggy sebagai penulis sekaligus posisi saya sebagai orang dewasa dan prasangkannya terhadap anak-anak. Prasangka-prasangka inilah dan bagaimana Ziggy menyikapinya melalui karya yang akan dipaparkan lebih lanjut pada tulisan ini.

Tanpa mengabaikan karya-karya yang lain—terutama karena keterkaitannya secara kreatif dan tematik—tulisan ini akan fokus pada dua karya Ziggy, Di Tanah Lada (2015) dan Semua Ikan di Langit (2017). Selain bahwa dua karya ini mendapatkan apresiasi yang besar, melalui dua novel ini, pembaca bisa merasakan pancaran ideologis dan corak kreatif Ziggy yang memosisikannya sebagai salah satu penulis terpenting Indonesia saat ini.

 

Jejak Kaki Ziggy

Ziggy telah menerbitkan lebih dari 30 karya dalam rentang waktu kepenulisan yang relatif singkat. Karya-karya itu lintas genre, gaya dan tema. Ia menulis cerita misteri, cerita fantasi, sampai kisah cinta. Dalam karya-karyanya tersebut, Ziggy menanggapi berbagai problem, dari yang personal sampai yang sosial, dari yang mundane sampai yang transenden. Novel Di Tanah Lada (2015) misalnya, mengangkat problem kekerasan domestik dan relasi kuasa dalam keluarga serta persoalan sosial masyarakat urban. Sementara itu, novel Semua Ikan di langit (2017) menunjukkan simbolisasi perjalanan transendental manusia dan pernciptaan dunia melalui perjalanan sebuah bus sebagai tokoh utamanya dengan berbagai jenis (manusia dan nonmanusia) penumpangnya. Jakarta Sebelum Pagi (2016) berfokus kepada kehidupan Emina, perempuan kantoran yang tiba-tiba mendapatkan surat misterius dan memutuskan mencari tahu siapa pengirimnya.  Kita Pergi Hari Ini (2021) mengangkat isu lingkungan, polusi, keliaran, apokaliptik, hewan, dan bumi[1] atau yang nonmanusia dalam relasi hierarkisnya dengan manusia. Yang terbaru, Kapan Nanti (2023) menghimpun delapan cerita pendek yang masih membawa gema dari cerita-cerita khas Ziggy sebelumnya.

Yang kemudian menjadi perhatian banyak kritikus adalah benang merah dalam karya-karya tersebut. Benang yang kencang dan distingtif itu berwujud sudut pandang tokoh anak-anak, atau yang digambarkan sebagai anak-anak[2]. Mereka adalah narator dan pencerita utama. Dunia dan permasalahan dalam novel ditangkap melalui mata dan dituturkan melalui mulut mereka.

Anak-anak sebagai tokoh utama dan pencerita bukanlah hal jamak ditemukan dalam novel-novel Indonesia kontemporer (tidak termasuk sastra anak). Ada kecenderungan untuk memisahkan anak-anak dari dunia dewasa. Asumsinya, menghadirkan dan menghadapi permasalahan sosial masyarakat bukanlah bagian dari dunia anak-anak. Secara teoretis, prasangka terhadap anak-anak ini disebut sebagai childisme, yang merujuk pada superioritas setiap orang dewasa terhadap anak-anak. Anggapan ini bersifat pribadi sekaligus struktural. Anggapan ini diwariskan dari generasi ke generasi, tecermin dalam superioritas orang dewasa yang dilegitimasi oleh struktur sosial terutama keluarga, hukum, dan budaya[3]. Kalimat-kalimat seperti “namanya juga anak-anak,” atau “mereka masih anak-anak,” mencerminkan prasangka tersebut. Bahkan, dengan sudut pandang childisme ini, anak-anak kerap dianggap sebagai liyan (the other), yang setara dengan liyan-liyan lain berbasis gender, ras dan kelas.

Dalam novel-novelnya, Ziggy menyatukan dua poros yang secara awam dianggap sangat berjauhan: anak-anak yang polos dan permasalahan-permasalahan rumit yang kerap dimasukan dalam wilayah orang dewasa. Dengan membenturkan dua poros ini, hipotesis saya mengerucut kepada pencapaian-pencapaian yang melekat pada perjalanan kreatif Ziggy.

Pertama, ia berupaya menepis, bahkan melawan, prasangka childisme dengan mengeluarkan anak-anak dari posisi liyan. Kedua, dengan menyatukan dua poros ini, Ziggy membuka ruang baru yang tanpa nama sebelumnya, ruang yang memberikan tempat dan mengetengahkan anak-anak sebagai subjek aktif dari sebuah dunia. Ketiga, melalui sudut pandang anak-anak, permasalahan diangkat lebih intensif. Bayangkan saja, kekerasan terhadap anak diceritakan dari sudut pandang anak korban itu sendiri. Agensi anak diciptakan dan dimaksimalkan. Keempat, interseksionalitas permasalahan juga bergerak ke permukaan. Maksudnya, ketika berbicara masalah kaum miskin kota, maka kaum itu merujuk juga pada anak-anak yang menggelandang, pada dunia mereka, pada masalah psikologis mereka. Dengan begitu, kompleksitas masalah menemukan muaranya. Kelima, pilihan Ziggy untuk mengambil sudut pandang anak juga terlihat dari strategi kebahasaannya. Ia kerap memilih bahasa yang innocent dan sederhana. Ziggy bisa mengutarakan situasi yang kompleks, emosi yang perih, dalam bahasa anak-anak yang secara sistemik sangat sederhana bahkan terbatas. Bahasa ini, seperti sudah disinggung sebelumnya, membuat saya merasa asing. Ada defamiliarisasi[4] yang membuat bahasa sederhana itu menciptakan ruang pemaknaan baru. Strategi kebahasaan Ziggy yang mengasingkan pembacanya, berbuntut pada terciptanya karakter puitik khas Ziggy, yang selain berfungsi untuk mendukung perlawanannya terhadap childisme, juga menyumbang satu strategi literer yang distingtif dalam dunia sastra Indonesia kontemporer.

Hipotesis-hipotesis di atas akan diuraikan lebih lanjut dengan mengambil ilustrasi dan kasus dari dua novel Ziggy Di Tanah Lada dan Semua Ikan di Langit, sembari terus membawa pertanyaan, sejauh mana usaha Ziggy untuk melawan childisme itu berhasil dan tidak jatuh lagi dalam perangkap dunia dan bahasa orang dewasa?

 

Tanah Lada, Tanah Anak, Tanah Bebas

Sejak halaman awal, novel ini beraroma kesedihan. Novel ini berkisah tentang keluarga kecil yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak, ketika sang ayah mewakili seluruh karakter jahat. Ia membenci anaknya dan mengendalikan istrinya dengan kekerasan multidimensi. Sang ayah yang penjudi memboyong keluarganya dari rumah yang nyaman ke sebuah rusun kumuh.  Di rusun itulah keseluruhan cerita terbangun. Adegan suami istri adalah adegan pertengkaran. Dialog antara ayah dan anaknya adalah bentakan. Sementara bahasa ibu dan anak adalah tangisan.

Ada hierarki kekuasaan antara ayah, ibu dan anak. Dalam posisi paling akhir, anak menjadi yang paling menderita. Banyak adegan dalam novel ini yang menunjukkan bahwa anak pada akhirnya sendiri dan ditinggalkan.

Tokoh anak bernama Ava kerap ditinggal dan dilupa, sementara orang tuanya sibuk dengan emosi dan relasi mereka sendiri. Sebagai contoh perhatikan kutipan adegan pertengkaran di bawah ini, yang bisa mengilustrasikan keseluruhan permasalahan dalam novel Di Tanah Lada.

 

MASIH KECIL SUDAH BERANI BAWA ANAK LAKI-LAKI KE KAMAR!” seru Papa.
Lalu, Mama, yang wajahnya sudah pucat (berarti: tidak berwarna), langsung memekik dari belakang: “ANAK UMUR ENAM TAHUN SUDAH KAU TUDUH YANG TIDAK-TIDAK!”
Dan, Papa membalas lagi:
“ITU ANAK DIDIKANMU! DARI KECIL SUDAH JADI JALANG!”
Lalu Mama tampaknya marah sekali sehingga badannya gemetaran. Dia melemparkan tas yang dia pegang ke arah Papa. Tasnya mengenai kepala Papa. Lalu Papa menggeram keras-keras seperti monster. Dia menerjang Mama dan mendorongnya sampai menabrak pintu. Kemudian, Papa menampar Mama.
Mama menyuruhku masuk ke dalam kamar. Tapi Papa mulai marah dan bilang aku tidak boleh masuk ke kamarnya. Jadi, aku masuk ke kamar mandi dan menguncinya dari dalam.
Mereka bertengkar sampai aku tertidur. Setidaknya, sampai aku tidur. Mungkin, setelahnya, mereka masih bertengkar. Aku tidak tahu.
Malam itu, aku tidur dalam kamar mandi[5].

Cerita ini dituturkan dari sudut pandang seorang anak bernama Ava. Di keluarganya, Ava jadi bulan-bulanan ayahnya. Melalui adegan di atas, apa yang terjadi pada Ava dan apa yang ia katakan, kita tahu suara lirih Ziggy.

Tokoh anak yang lain, P, tinggal bersama seseorang yang bukan orang tuanya, yang jahat pula. Orang tua aslinya, juga sibuk dengan kebingungan dan masalah mereka masing-masing.

Bayangan rumah yang normal juga jauh dari novel ini. Rumah yang aman justru mencemaskan, bahkan menjadi sumber kengerian. Di rumah mereka sendiri, mereka harus bersembunyi, tidur di koper, tidur di kardus. Mereka kerap harus kabur, meminta perlindungan sana-sini. Tempat bahagia mereka adalah di jalan, di loteng, di warung, dan dalam pelarian. Telah begitu banyak ulasan[6], yang akademis atau nonakademis terhadap novel ini. Namun, mereka luput untuk melihat adanya agensi anak-anak yang dominan.

Lebih jauh lagi, jika melihat adegan di atas, ada keanehan. Ada sesuatu yang tertahan di dalamnya. Saya berharap ada ungkapan kesedihan, ada kalimat-kalimat marah dan protes. Namun pada saat itu pula saya sadar bahwa ini adalah apa yang terjadi pada anak yang memiliki cara sendiri mengungkapkan perasaannya. Saya kemudian mengingat pengalaman waktu kecil saya yang mirip. Saat itu, ketika orang tua bertengkar, saya akan bersembunyi di kamar, menunggu perkelahian itu selesai dengan was-was dan kemudian menggambar. Harapan saya, jika saya melakukan hal yang baik, semuanya lebih cepat membaik. Mekanisme itu hampir mirip seperti halnya Ava yang lari ke kamar mandi ketika orang tuanya bertengkar.

Tentu saja ada penjelasan psikologis yang bisa dituturkan lebih terperinci yang sayangnya bukan kapasitas saya. Namun, yang bisa digarisbawahi dari prasangka ini, adalah pemahaman bahwa orang dewasa kadangkala menginginkan sesuatu yang berbeda. Mereka menciptakan gambaran lain untuk anak-anak mereka. Sementara seorang anak, memiliki cara tersendiri untuk mendefinisikan luka atau kesedihan. Demikian pula dalam pilihan bahasanya. Hal ini dibenarkan oleh Ziggy dalam salah satu wawancara bahwa sudut pandang anak kecil lebih berwarna, di luar pakem pembicaraan atau cara bicara orang dewasa.[7]

Selain kekerasan terhadap anak, kesenjangan pemahaman orang dewasa terhadap anak juga dikemukakan. Ketika Ava kabur dari rusun tempat keluarganya tinggal, ia berkata bahwa […] mereka tidak mengerti. Jadi, aku menangis. Aku menangis karena orang dewasa tidak mengerti kalau aku juga punya kepentingan. Kalau aku juga punya sesuatu yang ingin kuselamatkan. Aku menangis karena orang dewasa tidak mengerti apa-apa […][8]. Kalimat ini bisa dianggap matriks keseluruhan upaya Ziggy menanggapi kegagalan orang dewasa memahami anak-anak.

Ketidakpahaman itu bahkan berlanjut dengan peminggiran terhadap posisi anak-anak. Yang secara ekstrem bisa dikatakan peliyanan terhadap anak-anak. Peliyanan ini berlangsung melalui anggapan bahwa anak-anak belum bisa atau belum tahu kehidupan. Anak-anak itu lemah, perlu dilindungi dan diatur. Anak-anak tidak memiliki suara.[9]

Mas Alri—tokoh dewasa yang peduli mereka—berkata, “Kamu itu pintar. Tapi, kalau soal yang baik dan nggak, ternyata kamu masih anak-anak. Kamu pikir, kamu bisa sendirian ke rumah orang yang nggak pernah kamu kunjungi sebelumnya? Di kota yang nggak pernah kamu datangi sebelumnya? Kamu, dari terminal bus, mau naik apa, nyari rumahnya? Naik sepeda? Kamu bisa mati di jalan.[10] Kata-kata ini mencerminkan bagaimana anak sebagai liyan tidak bisa memiliki pandangan atas hidup mereka. Peliyanan ini juga tampak pada patronase. Seperti Mas Alri bilang:

“Jadilah anak kecil barang sebentar lagi. Lebih lama lagi.” Katanya. “Bacalah banyak buku tanpa mengerti artinya. Bermainlah tanpa takut sakit. Tonton televisi tanpa takut jadi bodoh. Bermanja-manjalah tanpa takut dibenci. Makanlah tanpa takut gendut. Percayalah tanpa takut kecewa. Sayangilah orang tanpa takut dikhianati. Hanya sekarang kamu bisa mendapatkan semua itu. Rugi, kalau kamu tidak memanfaatkan saat-saat ini untuk hidup tanpa rasa takut.” [11]

Lalu, bagaimana kita menyikapi paragraf di atas? Bagaimana memandang bayangan ideal menjadi anak-anak yang dilontarkan oleh orang dewasa? Sejauh mana dengan begitu, agensi anak-anak terenggut? Dan bagaimana Ziggy menyikapi itu?

Ada baiknya kita kembali ke cerita novel Di Tanah Lada. Di akhir novel, Ava dan P melakukan perjalanan ke tanah lada (Lampung). Dengan atau tanpa bantuan orang dewasa, mereka terus menjauh. Kami saling berpandangan untuk terakhir kalinya. Dan ratusan pikiran bergulung-gulung seperti ombak di kepalaku. Semua kebenaran yang tidak pernah kupahami, kupahami di detik itu. Tentang Mama, tentang Papa, tentang Kakek Kia… tentang P. Tentang aku. Gelap. Di sini dingin dan gelap. Tapi kami masih berpegangan tangan. Mengarungi langit di dasar laut Bersama. [12]

Pemahaman ini didapatkan Ava pada titik paling jauhnya dengan dunia; dunia orang dewasa. Cara Ziggy mengakhiri novelnya mengindikasikan adanya upaya untuk menjaga anak sebagai subjek yang menjauhi dunia dewasa, mencari tanah lada, mencari kebebasan.

 

Anak yang Berjalan dan Menjadi Tuhan

Bagaimana agensi anak diketengahkan di novel Di Tanah Lada, menemukan titik ekstremnya di novel Semua Ikan di Langit. Novel fantasi ini memenangi Sayembara Menulis Novel DKJ 2016 dengan catatan juri yang menyorot isi dan aspek kebahasannya yang apik. Novel ini dianggap memadukan cerita anak, fantasi, fiksi ilmiah, dongeng, cerita berbingkai dengan mitos penciptaan dunia.[13]

Dalam novel ini, tokoh utamanya adalah Beliau, yang berwujud anak (kecil) lelaki yang memakai jubah kebesaran, yang menjadi representasi Tuhan. Sementara itu, cerita bergulir melalui tokoh saya, sebuah bus Damri yang membawa Beliau dan tokoh-tokoh lain melakukan perjalanan vertikal-horizontal lintas galaksi dan dimensi.

Novel ini bisa dikatakan sebagai road-novel. Dalam perjalanan dan persinggahannya, tokoh-tokoh lain keluar masuk, membawa cerita, membawa pengetahuan tertentu. Perjalanan lintas ruang waktu itu membawa mereka ke Bandung waktu kini, ke Auschwitz 1944, ke toko roti, ke toko sepatu, ke peristiwa-peristiwa yang membuat Beliau marah atau sedih, dan lain-lain. Sepertinya tokoh bus dan Beliau ingin mengajak pembaca untuk mencermati peristiwa-peristiwa yang terjadi di tempat yang mereka kunjungi itu dan mengambil pemaknaan atas cerita yang disuguhkan. Selain itu, perjalanan Beliau dan tokoh-tokoh lainnya juga menjadi alegori atas siklus hidup manusia dan bagaimana dunia berakhir dan tercipta kembali.

Banyak pengulas mengatakan, cerita dan relasi antartokoh dalam novel ini terinspirasi dari The Little Prince karya Antoine de Saint-Exupery,[14] terutama tentang bagaimana perenungan atas dunia dan entitas-entitas abstraknya dilakukan oleh seorang anak-anak. Jika memang demikian, maka, dalam konteks pembahasan di muka, pada novel ini, Ziggy kembali membenturkan anak-anak dengan permasalahan yang kerap menjadi domain orang dewasa. Lebih dari itu, anak-anak diposisikan sebagai Tuhan, sang pengendali. Meskipun ada beberapa kritik terhadap referensi ketuhanan dalam novel ini, yang dianggap sangat sempit, akan lebih menarik melihat pada potensi-potensi lain (di luar rujukan tematik) yang lebih emansipatif yang bisa dibawanya. Misalnya, melalui bagaimana sosok Beliau digambarkan:

Anak lelaki itu sangat kecil. Tapi meski tangan dan kakinya kurus, kedua pipinya tampak berisi. […] Mulutnya tidak pernah terbuka. Bahkan ketika dia ‘makan’, ‘minum’, dan ‘merokok’. […] Ia tidak pernah bicara. Saya tidak pernah tahu nama anak itu yang sesungguhnya. Saya menyebutnya Beliau.[15]

Membaca bagaimana tokoh Beliau digambarkan, muncul benturan makna terhadap anak-anak yang mau tidak mau merangsek pikiran pembaca: Anak-anak tetapi merokok, anak-anak tetapi dipanggil beliau (kata ganti untuk memanggil seseorang yang dihormati, yang biasanya sudah tua atau dituakan). Permainan karakteristik ini mengacaukan gambaran kita tentang anak-anak pada umumnya. Hal ini sejalan dengan peran dan fungsi yang dilekatkan kepada anak-anak sebagai pemimpin perjalanan. Beliau ini adalah poros yang mengendalikan. Sebagai poros, semua tokoh dan kejadian berpusat dan tergantung padanya. Akan sangat sulit bagi pembaca melihat kenyataan bahwa seorang Tuhan-anak menentukan jalannya dunia.

Terkait dengan asumsi pada novel sebelumnya, karakter-karakter dalam novel ini juga mencerminkan makhluk-makhluk bukan-manusia dewasa, bahkan bukan-manusia. Sebuah bus, seekor kecoa, ikan julung-julung, menjadi tokoh-tokoh penting, sementara manusia datang dan pergi sebagai figuran. Ada kekacauan yang menahan pembaca untuk melakukan identifikasi normatif terhadap gender dan usia. Bisa dikatakan tokoh-tokohnya agender dan ageless. Hal ini sejalan dengan cerita fantasi yang dibawa novel ini, yang cair dan meleburkan sekat-sekat waktu dan kotak-kotak ruang.

Meskipun tokoh bus ini terkesan agender dan ageless, beberapa penelitian dan ulasan masih mengategorikannya sebagai novel dengan perspektif anak[16]. Sementara beberapa penelitian lain, yang memosisikan novel ini di ambang cerita anak dan dewasa, melihat situasi ini dengan kritis. Argumennya, meskipun benda-benda tampak nonhuman, tetapi mereka digerakkan dengan perspektif yang antropomorfis. Lebih jauh lagi, novel ini dianggap tetap mengetengahkan penafsiran terhadap dunia anak oleh penulis dan pembaca dewasa.[17]

 

Ziggy dan Semesta Bahasa

Menanggapi kecurigaan di atas, saya coba menelusuri tokoh utama penceritanya. Siapakah tokoh Bus ini? Tokoh yang akhirnya jatuh cinta pada Beliau ini mewakili karakteristik apa? Sejauh mana tokoh yang nonhuman secara penampakan, mencerminkan pula pemikiran yang tidak terbatas pada manusia? Apalagi manusia dewasa?

Dalam teori naratologi, narator memiliki posisi yang lebih dekat dengan penulis tinimbang tokoh lainnya. Tokoh Bus ini adalah narator. Jika demikian, tidak bisa dihindari untuk melihatnya dalam kemungkinan representasi seorang Ziggy. Tentu saja sebagai narator, tokoh Bus ini berada di dalam dan di luar cerita sekaligus. Pada bagian akhir novel, ketika dunia dan Beliau digambarkan hancur termasuk tokoh-tokoh dan seluruh isinya, narasi tetap berjalan, dari sudut pandang Bus ini. Artinya, kala itu, tokoh Bus berada di luar cerita untuk menuturkan hancur dan terbentuknya kembali dunia. Dari situ pula kita tahu, Ziggy ada dekat sekali dengan tokoh itu.

Jika Ziggy, yang anggaplah seorang dewasa, merangsek masuk ke cerita, apakah itu membiaskan seluruh upaya untuk menekan childisme di dalamnya? Saya rasa tidak serta-merta demikian. Untuk melihatnya dalam proporsi yang lebih adil, mari kita kembali ke perasaan asing pembaca ketika dihadapkan dengan bahasa Ziggy dalam dua novelnya ini.

Tokoh anak-anak novel Di Tanah Lada berada pada usia ketika ia mulai mengumpulkan bahasa (dan maknanya). Setiap tokoh Ava mendengar kata baru, ia akan mencari artinya di kamus dan mencermatinya. Keterbatasan penguasaan bahasa ini sudah membawa pembaca dewasa yang manja seperti saya ini pada situasi yang kadangkala tidak nyaman, yang artinya justru Ziggy berhasil. Namun, perlu diketahui bahwa kamus adalah kitab makna orang dewasa yang normatif dan umum. Ketika tokoh Ava, pada akhirnya menemukan makna dalam pengalamannya, yang berbeda dari yang ia cerna dari kamus, saat itu pula, pemahaman anak-anak berkembang, tidak melalui jalur normatif bahasa orang dewasa. Di saat itu pula, strategi kebahasaan Ziggy segaris dengan upayanya mengedepankan agensi dan kebebasan anak.

Sementara itu, dalam novel Semua Ikan di Langit, pembaca menemukan lebih banyak aforisma yang abstrak. Oleh banyak pengulas, bahasa novel ini dianggap terlampau surealis dan filosofis. Dengan prasangka dewasa, bahasa yang demikian dianggap jauh sekali dengan gaya tutur anak. Dalam novel ini, saya melihat upaya Ziggy bertolak dari sudut yang berbeda. Jika dalam novel pertama Ziggy menulis sebagai seorang anak yang membongkar prasangka melalui tindakannya, maka pada novel kedua, Ziggy keluar dari sosok anak itu dan melihat dari jarak tertentu. Namun, pelihatan Ziggy sudah berbeda, bebas prasangka. Oleh karena itu, tokoh anak sendiri sudah “kacau”, bahasanya juga cenderung bebas. Tidak ada batasan untuk membuat tokoh anak yang semestinya bisa diterima pembaca. Dalam novel ini, anak adalah Tuhan, yang menciptakan dunia. Jika sudah demikian, tidak jadi soal jika bahasa yang digunakan sebuah bus dan tokoh-tokoh lainnya menjadi sangat abstrak dan cerdas.

Jika pembaca mengharapkan bahasa yang lebih normal dan pemenuhan fungsi moral dan kognitif dari novel-novel Ziggy untuk pembaca anak, maka pembaca adalah orang dengan harapan subjektif yang masih melekat pada childisme. Sayangnya, menurut saya, Ziggy tidak menawarkan itu.

Ziggy memposisikan anak-anak sebagai yang penting, justru dalam upayanya untuk mengemansipasi anak-anak itu sendiri di satu sisi dan atau menciptakan (baca: mengacaukan) pemaknaan yang melawan pakem ketika anak-anak diposisikan sebagai yang paling rentan.

Hal ini tampak melalui penggambaran dan relasi antartokoh, serta penggunaan bahasa yang berupaya mendefamiliarisasi pemaknaan orang dewasa terhadap anak-anak dalam dua novel tersebut. Akhirnya, terlepas dari rasa asing dan prasangka yang masih timbul tenggelam ketika membaca karya-karya Ziggy, nyatanya, pada akhir cerita, saya merasakan pengalaman baru. Pandangan saya terhadap anak, dunia pada umumnya, dan masalah-masalah yang dihadirkan Ziggy menjadi berubah. Tercipta konstelasi yang lebih transparan dan adil dengan anak menjadi subjek yang mengemuka agensi dan peranannya.

 

[1] Pambajheng, D. I. & Sari, E. S. (2023). Environmental Ethics of The Novel Kita Pergi Hari Ini by Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. International Journal of Multidisciplinary Research and Analysis, 06, 1886-1890. https://doi.org/10.47191/ijmra/v6-i5-10

[2] https://www.thejakartapost.com/culture/2022/01/17/indonesias-peter-pan-ziggy-z-delivers-dark-subjects-with-a-childs-eye.html

[3] McGillivray, Anne. 2022. “On Childism”. Canadian Journal of Children’s Rights 9.1 (2022). 113-129.

[4] Crawford, Lawerence (1984). “Viktor Shklovskij: Différance in Defamiliarization”. Comparative Literature. 36 (3): 209-19.

[5] Zezsyazeoviennazabriskie, Ziggy. 2015. Di Tanah Lada. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 48.

[6] Baik dari segi psikologi tokoh-tokohnya, stereotipe gender, kekerasan domestik, maupun dari sudut bahasa, teknik cerita dan bentuk novel itu sendiri.

[7] Wawancara di Main Mata. (2023). “Menjadi Penulis Produktif feat. Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie”. Published 4 August 2023, accessed October 2023, from https://www.youtube.com/watch?v=1wCrf-1I78Y

[8] Zezsyazeoviennazabriskie, Ziggy. 2015. Di Tanah Lada. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 92.

[9] McGillivray, Anne. 2022. “On Childism”. Canadian Journal of Children’s Rights 9.1 (2022). 113-129.

[10] Op cit. 180

[11] Op cit. 198

[12] Op cit. 240

[13] https://hot.detik.com/book/d-3372151/naskah-semua-ikan-di-langit-menang-sayembara-novel-dkj-2016

[14] https://www.goodreads.com/author/show/7151993.Teguh_Affandi

[15] Zezsyazeoviennazabriskie, Ziggy. 2017. Semua Ikan di Langit. Jakarta: Grasindo. Hlm. 9-10.

[16] https://hot.detik.com/book/d-3372151/naskah-semua-ikan-di-langit-menang-sayembara-novel-dkj-2016.

[17] Muslimin, M. F. & Zaki, A. . (2022). Antara Pembaca Anak atau Dewasa: Membuka Tabir Fiksi Semua Ikan di Langit. TOTOBUANG, 10(2), 303-316. https://doi.org/10.26499/totobuang.v10i2.415

Marginalia27 September 2023

Ramayda Akmal


Ramayda Akmal menyelesaikan S1 dan S2 di Fakultas Ilmu Budaya, UGM, dan menyelesaikan studi doktoralnya di Universität Hamburg pada 2022. Ramayda Akmal adalah staf pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Karya-karyanya antara lain, novel Jatisaba (Pemenang unggulan Sayembara Menulis Novel DKJ 2010), antologi cerpen Lengkingan Viola Desingan Peluru (Buku Sastra Terbaik  pilihan Balai Bahasa Yogyakarta 2013), novel Tango & Sadimin (Runner up Unnes International Novel Writing Contest 2017), dan yang terbaru, antologi cerpen Aliansi Monyet Putih (2022). Selain fiksi, Ramayda menulis kritik sastra yang telah diterbitkan antara lain Pahlawan dan Pecundang, Militer dalam Novel-Novel Indonesia (2014 bersama Aprinus Salam), Melawan Takdir, Subjektivitas Pramoedya Ananta Toer dalam Novel Perburuan (2015), Selintas Naratologi Sastra dan Film Indonesia (sebagai editor, 2023).