Ayu Utami
Setelah Saman (1998)

Ilustrasi: Jiwenk

Ayu Utami adalah salah satu penulis yang berpengaruh dalam lanskap sastra Indonesia kontemporer. Novelnya, Saman, yang memenangi Sayembara Menulis Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998, memadukan elemen keindahan sastrawi dengan refleksi mendalam atas realitas sosial dan budaya. Novel ini juga beroleh pujian lantaran isu-isu penting yang diangkatnya, mulai dari hak asasi perempuan, tubuh, erotisme, agama, kehidupan urban, konflik tanah hingga gerakan prodemokrasi menjelang kejatuhan Soeharto.

Saman berkisah tentang persahabatan empat perempuan dan perbenturannya dengan para tokoh lelaki, di antaranya Wisanggeni alias Saman, seorang mantan pater yang menjalani hidup begitu bebas, menentukan pilihan-pilihan hidup yang begitu idealis, jauh berbeda dibandingkan dengan keempat gadis yang tumbuh besar di perkotaan dan terkungkung dalam sangkar mereka sendiri. Selanjutnya, novel tersebut berkembang menjadi sejumlah karya berseri: Larung (2001), dan Maya (2013), atau dapat juga dilihat sebagai seri Bilangan Fu, dengan judul-judul Bilangan Fu (2008), Manjali dan Cakrawibawa (2010), serta Lalita (2012).

Ayu Utami juga menuliskan gagasan-gagasannya melalui esai—sebuah keahlian yang tumbuh bersamaan dengan pekerjaannya sebagai wartawan di sejumlah media—sebagaimana terekam dalam Si Parasit Lajang (2003). Keluasan pandangan dan kritisisme intelektualnya terasah melalui keterlibatannya dalam sejumlah gerakan prodemokrasi dan kebudayaan, tidak terkecuali saat mengelola Komunitas Utan Kayu dan Komunitas Salihara. Melalui karya dan kiprahnya, Ayu Utami telah mendorong semangat berkarya, dan membuka ruang bagi percakapan yang mendalam mengenai isu-isu kritis saat ini. Sejalan dengan pengalamannya bersastra, ia berupaya menjawab berbagai tantangan dan kebutuhan ekosistem sastra, di antaranya dengan menggagas kelas penulisan sastra, termasuk lewat penghargaan Hadiah Sastra untuk Pemula ‘Rasa’. Berikut ini percakapan antara redaksi tengara.id dengan Ayu Utami.

 

Saman Bermula dari Intuisi

Ayu mengakui bahwa ia bukan tipe penulis yang membatasi diri pada struktur. Ia memulai Saman dari intuisinya dan pengalamannya bekerja sebagai wartawan dan gerak aktivisme yang ia alami sebelum Reformasi 1998.

 

DEWI KHARISMA MICHELLIA

Kami ingin tahu bagaimana proses Anda sejak kemenangan Anda di Sayembara Roman DKJ dengan Saman, lalu bagaimana Anda berproses dengan menerbitkan buku-buku selanjutnya yang masih berkaitan dengan Saman, dan bagaimana Anda hari ini menginsiasi hadiah sastra Rasa.

Karena itu, mungkin kami akan mengajak Anda kembali ke belakang, tahun 1998, saat buku Saman diterbitkan. Dari mana Anda mulanya mengetahui sayembara ini dan berproses menulis novel? Kami membaca dalam pengantar di novel Anda, Anda bercerita setelah dipecat dari majalah Forum, Anda punya cukup banyak waktu untuk kemudian menulis novel Saman. Bagaimana Anda berproses ketika itu dan bagaimana, sih, rasanya memenangi sayembara bergengsi tersebut?

 

AYU UTAMI

Saya memang dipecat dari majalah Forum setelah pemberedelan. Dipecatnya tahun 1995, tapi peristiwa pemberedelan itu tahun 1994. Sebenarnya, saya tidak langsung menulis novel ketika dipecat itu. Pokoknya saat itu kami kehilangan pekerjaan dan di-blacklist sebagai pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI), tidak boleh lagi bekerja di media massa di masa Soeharto. Itu titik di mana saya kemudian menjadi aktivis untuk kebebasan pers. Tapi, tidak bisa secara resmi menulis sebagai wartawan lagi. Artinya, saya tidak bisa mengembangkan karier di dunia jurnalistik. Lalu, tahun-tahun itu sebetulnya saya lebih menjadi aktivis. Kami mulai mendirikan Komunitas Utan Kayu. Ada kegiatan menerbitkan buku, sebuah buku pengganti dari laporan utama media, itu adalah salah satu usaha untuk mengatasi sensor pemerintah.

 

ZEN HAE

Buku apa saja itu?

 

AYU

Macam-macam. Kami sebut “proyek buku cepat”, antara lain misalnya buku Bayang-Bayang PKI, itu sebetulnya hasil penelitian  Institut Studi Arus Informasi (ISAI). Status saya saat itu adalah sebagai peneliti ISAI. Ada sejumlah pekerjaan; arahan pekerjaan saya untuk kebebasan pers. Misalnya, kami bikin penghargaan untuk pers mahasiswa. Selain itu, melakukan wawancara, reportase, dan menerbitkannya dalam bentuk buku dan bukan majalah, karena menerbitkan majalah saat itu masih perlu izin, buku tidak perlu izin. Kalau diberedel, cuma bukunya saja yang diberedel, bukan satu bisnisnya diberedel.

Jadi, itulah apa yang saya kerjakan dari tahun 1995 sampai kira-kira 1997 di ISAI. Kemudian, tahun 1997, kami mulai membangun Teater Utan Kayu (TUK). Tempat ini, TUK, teaternya belum ada. Yang ada hanya kantor-kantor, terutama ISAI. Kegiatan kami fokus untuk kebebasan pers. Tahun 1997, Galeri Lontar mulai dibuka, pameran pertamanya adalah karya-karya Agus Suwage. Toko bukunya Toko Buku Kalam, kedainya Kedai Tempo.

 

ZEN

Kalam sudah terbit jauh sebelumnya, ya…

 

AYU

Kalam terbit tahun 1994, sebelumnya Horison sempat diterbitkan Tempo, Agustus 1993, lalu ada konflik, kemudian Horison kembali pada pemilik lama. Untuk menggantikannya, Tempo kemudian menerbitkan Kalam.

Saat itu, saya memulai pekerjaan membantu Kalam juga, dengan Nirwan Dewanto, saya lupa apakah saat itu sebelum atau sesudah dia berangkat ke Amerika Serikat, tapi seingat saya, saya mulai bekerja untuk Kalam untuk mengurus seminar tentang kiri baru di Indonesia. Terus, bersama teman-teman lainnya, mulai berkegiatan di Teater Utan Kayu karena saat itu teater sudah mulai beroperasi tahun 1997. Galeri, kedai, dan teater serempak tahun 1997.

Ada banyak waktu luang saat itu. Kami mulai berkesenian, suasana rangsangan kesenian mulai semarak lagi. Mulai ada diskusi, saat itu saya membantu di Kalam; dikerjakan oleh saya, Nirwan Dewanto, Ahmad Sahal, Goenawan Mohamad, Hasif Amini, dan Sitok Srengenge. Saya kira suasana itu membuat ada rasa berkesenian, sedangkan sebelumnya terasa aktivisme terus. Jadi di momen itu, saya merasa punya waktu dan mencoba mulai menulis novel. Jadi, saya memang sedang menulis novel sebelum tahu ada sayembara DKJ.

 

MICHELLIA

Lama vakum juga, ya, sayembaranya saat itu…

 

AYU

Jadi memang enggak ada ekspektasi.

Kemudian, kebetulan, ternyata Dewan Kesenian Jakarta membuka sayembara lagi. Lalu, saya dikasih tahu, saya rasa saya dikasih tahu oleh Mas Goen dan Sitok, mereka masih suka main ke TIM dan teman-teman sastrawannya banyak. Saya kira saya tahu dari mereka, mereka tahu saya lagi menulis novel. Kemudian, mereka bilang, “Udah, ikutkan aja.”

Jadi, sebetulnya, latarnya itu.

 

MICHELLIA

Kenapa menulis dengan nama samaran Jambu Air?

 

AYU

Kenapa, ya? Saya lupa kenapa. Tapi waktu itu saya merasa, mungkin Jambu Air itu nama yang lucu. Sebenarnya saya meniru anaknya Darmanto Jatman, Bunga Jeruk. Buat saya nama itu lucu. Jadi, saya mau pakai nama samaran Jambu Air.

Sekarang saya enggak tahu persis kenapa saya merasa harus pakai nama samaran. Mungkin karena tadinya saya pikir nama itu enggak dihilangkan dari naskah.

Terus, saya enggak tahu apakah ada trauma nama, ya. Saya lama pakai nama samaran. Eh, bukan nama samaran, sih. Tapi menyamarkan nama, enggak menyebutkan nama, sudah lama itu. Sejak diberedel, saya sempat juga jadi wartawan di majalah D & R, kantornya di Gondangdia. Itu majalah yang sebetulnya dimiliki oleh orang-orang Tempo juga. Pemrednya Bambang Bujono. Cuma kita semua enggak pakai nama. Bekas orang Tempo pada kerja di situ, aku juga sempat di situ, enggak terlalu lama. Tapi kira-kira begitu. Apakah mungkin karena ada suasana ketika itu kita pakai nama samaran? Zaman dulu, kita jadi aktivis, kan, di rapat semua punya nama samaran. Apakah kami sudah terbiasa dengan suasana pakai nama samaran itu? Entahlah, saya lupa juga.

 

ZEN

Tapi masa itu orang-orang AJI memang bekerja di media-media yang ada, kemudian mereka menerbitkan Suara Independen, yang redaksinya entah di mana, disebut PO Box Australia atau apa, saya lupa. Mas Goen pernah menulis beberapa esai, tapi redaksi itu tidak bisa dilacak lokasinya di mana. Artinya, suasana Orde Baru masih membayang-bayangi kaum jurnalis yang anti-PWI, ya, yang tidak memilih masuk ke dalam kelompok PWI. Apakah juga situasi itu mungkin yang mendorong Anda menulis dengan nama samaran Jambu Air?

 

AYU

Betul, saya sudah tidak ingat lagi, tapi mungkin suasana masa itu yang mendorong saya. Kita terbiasa menggunakan nama samaran. Suasana yang biasa saja, pakai nama samaran. Normal saja. Sekarang, mungkin itu tidak terasa normal. Tapi, pada masa itu, kami merasa itu sudah biasa. Kali ini, pakai nama samaran yang lucu, Jambu Air.

Jadi, sebetulnya saya juga ikut aktif di majalah Independen itu. Tapi, kan, kemudian kantor AJI diserang, terus beberapa teman masuk penjara, kita memutuskan untuk punya satu kegiatan yang enggak underground. Majalah Independen itu underground, kantornya tanpa lokasi pasti. Tapi untuk membuat jaringan dan mahasiswa, ataupun menerima dana dari luar negeri dan melakukan pelatihan-pelatihan, perlu organisasi resmi yang sah dan tidak dilarang. Karena itu, kami mendirikan ISAI. ISAI itu organisasi resmi, badan hukum yang masih sah, yang boleh melakukan macam-macam, boleh melobi atau meminta dana dari luar negeri juga. Sementara, AJI underground-nya.

 

MICHELLIA

Jadi, sepertinya latar belakang Anda yang sangat kental unsur jurnalistik dan aktivismenya ini yang kemudian membuat Saman itu juga kental unsur-unsur aktivisme, politik, dan banyak anasir agama Katolik dengan tokoh seorang pater.

Terkait penokohan sendiri, Anda juga pernah bilang bahwa novel Saman ini sendiri adalah bagian dari manuskrip yang judulnya Laila Tak Mampir ke New York? Apakah semua pengonsepan ini sebenarnya berlatar belakang keresahan Anda sebagai aktivis, jurnalis, ketika itu yang mengalami pemberedelan?

 

AYU

Saya kira, iya. Saya ini bukan orang yang berangkat dari konsep. Saya orang yang berangkat dari bereaksi terhadap lingkungan. Setelah beberapa lama, baru kemudian merefleksikan. Setelah reaksi, baru menentukan langkah berikutnya. Prosesnya selalu begitu. Sekali lagi, saya bukan orang yang berangkat dari kategori dan konsep. Saya adalah orang yang berangkat dari pengalaman. Dan intuisi. Barulah dalam refleksi, kemudian saya mengolah semua itu. Kemudian, baru memikirkan langkah yang lebih rasional. Proses itu berjalan terus-menerus.

Kalau saya melihat ke belakang, ini menjadi semacam kewajaran saja. Saya menjadi wartawan, terus ada pemberedelan, jadi aktivis, dan kemudian saya terjeblos ke dalam dunia aktivisme, berjuang. Sebagai wartawan, saya juga mulai melihat banyak ketidakdilan. Lalu, menjadi aktivis, menjadi semakin sadar lagi. Dan akhirnya suasana itulah yang membentuk mansukrip atau usaha menulis novel Saman itu. Tadinya judulnya Laila Tak Mampir ke New York. Kenapa judulnya begitu? Ya, lagi-lagi, mungkin karena terasa lucu saja. Karena saya ke New York, terus rasanya lucu menulis dengan judul itu. Tapi, itu cerita tersendiri.

Terus, mungkin, kalau sebagai suatu rekaman zaman, itu menceritakan gejala atau beberapa ciri zaman itu, yaitu masa akhir Orde Baru, katakanlah tahun 1980-an – 1998. Misalnya, tokoh Saman. Tokoh itu seorang pastur, memang pasti karena saya datang dari komunitas Katolik dan saya merasa paling dekat secara emosional dan mungkin secara informasi sehingga membuat tokoh yang datang dari lingkungan itu. Tapi, pada masa itu, sebetulnya peran gereja Katolik di dalam aktivisme cukup besar. Memang tidak di permukaan, tapi cukup besar. Kita tahu Budiman Sudjatmiko ditangkap di rumah siapa, di rumah kakaknya Romo Sandyawan Sumardi.

Sekarang, kita tahu bahwa institusi Katolik banyak menyelamatkan anak-anak aktivis. Dan ini kenapa pada masa itu sisa-sisa pengaruh teologi pembebasan terasa jelas di Indonesia. Ada banyak, teurtama Yesuit, yang agak kiri. Ada juga yang bukan Yesuit, misalnya Romo Mangun, ya.

Teologi pembebasan masuk ke Indonesia kira-kira tahun 1970-an dan pengaruhnya cukup besar dan menjadi inspirasi bagi banyak pastor muda. Rupanya karena memang besar pengaruh komunis dalam teologi pembebasan di Amerika Latin, Vatikan merasakan ini sebagai ancaman juga, karena kelompok teologi pembebasan ini mulai mengambil jalan-jalan kekerasan. Paus ketika itu, Yohannes Paulus II, datang dari Polandia dan musuhnya dia adalah komunis. Jadi, dia sangat anti-komunis, sehingga akhirnya teologi pembebasan di dunia semacam dilarang. Ada suatu perdebatan tentang teologi pembebasan ketika itu, termasuk di Indonesia, karena yang tidak setuju akan mengaitkan teologi pembebasan dengan pengaruh komunisme.

Tapi harus diakui ketika itu inspirasi mengenai teologi pembebasan masuk ke negeri ini, dan ketika itulah banyak pastor yang dipengaruhi itu dan saya kira salah satu keterlibatan mereka di dalam gerakan aktivisme ada pengaruhnya dari sana.

Selalu Bermula dari Kisah Personal

Nilai sebuah cerita yang kuat, bagi Ayu, bertitik tolak dari sudut pandang personal. Tokoh-tokoh dalam Saman adalah representasi zaman yang Ayu alami.

 

MICHELLIA

Yang menarik, konflik lahan dalam novel yang dialami oleh Pater Wisanggeni juga Anda kaitkan ke konflik yang jauh lebih personal. Jadi, sebenarnya dia, Pater Wisanggeni, ingin memperjuangkan lahan ini untuk Upik supaya mendapatkan tempat yang layak untuk tidak dipasung dan lain sebagainya. Artinya, ada konflik personal dari Wisanggeni, Saman ini.

Tarikannya kemudian justru ketika dihadapkan ke keuskupan setempat, Wisanggeni harus mengganti nama menjadi Saman dan lain sebagainya. Itu kan jadi konflik yang jauh di luar konteks personal. Sementara, sebenarnya, perjuangan Wisanggeni ini sendiri, kan, lebih dekat ke konflik personal. Bagaimana Anda membuat lapisan-lapisan konflik personal ini dikaitkan ke konflik yang lebih besar?

 

AYU

Buat saya, sebuah cerita bernilai kalau cerita itu personal. Punya sudut pandang personal. Yang membuat sebuah cerita lebih bermakna dari sebuah berita karena personal; kalau tidak personal, ya tidak usah cerita, statistik saja. Saya kira begitu. Tapi ini mungkin juga karena saya seorang wartawan yang dididik dalam tradisi Tempo. Meskipun majalah Forum tidak 100% milik Tempo, tapi 50% sahamnya dimiliki Tempo. Saya pertama kali menjadi wartawan di majalah Matra, jadi semua tradisi Tempo, karena Matra punyanya Tempo juga.

Saya belajar dari buku menulis untuk wartawan, yang saya baca pertama kali, adalah Misalkan Saya Wartawan Tempo, ditulis oleh Goenawan Mohamad. Waktu itu, cara menulis semacam itu masih baru di Indonesia, betul-betul mengajarkan wartawan untuk membuat cerita menjadi hidup dengan cara mencari tokoh. Jadi, sudut pandang tokoh setidaknya sebagai titik masuk atau sebuah ilustrasi kasus menjadi penting. Enggak ada tulisan yang enggak ada tokohnya. Enggak ada berita yang enggak ada tokohnya. Jadi, kita memang harus menggali tokoh.

Mungkin itu yang membentuk saya sebagai seorang penulis, selain hal-hal lain. Secara religius, saya terbentuk juga untuk melihat manusia lebih penting daripada hukum. Maka, hal itu mewujud dalam nilai yang saya percaya, bahwa cerita itu tentang manusia, person, jadi harus personal. Kalau sebuah cerita menampilkan konflik dari ukuran besarnya saja, saya belum terbayang nilainya di mana.

Jadi, saya kira, paling tidak dalam tulisan-tulisan saya, semua konflik pasti ada urusan yang sangat personal, kepentingan personal, atau perasaan personal yang akan membuat nilai masalah itu menjadi ada manusianya. Bahwa nanti dia berkembang karena konteksnya dan menjadi urusan yang publik, itu terjadi, tapi selalu ada unsur personal di dalamnya.

 

ZEN

Sebelum masuk lanjut ke dalam cerita di dalam novel, saya ingin kembali ke latar sosial politik yang terjadi pada tahun-tahun itu. Menurut saya, ini agak spesifik, karena pada 1980-an akhir setelah Revolusi Iran 1979 itu muncul suatu gerakan Islamisme di kampus. Puisi sufi dan segala rupa, diskusi Islam dan lain-lain muncul.

Tiba-tiba tahun 1990-an berganti pada situasi, yang tadi sudah kita sebut sebagai latar dalam novel Saman, bahwa kecenderungan Kiri Baru terbilang kuat sekali. Misalnya, kita tahu tahun 1995 Pram memperoleh Magsaysay yang kemudian heboh, penolakan dari sejumlah orang, Prahara Budaya muncul, dan lain-lain. Ketakutan pada OTB (Organisasi Tanpa Bentuk), dan lain-lain. Kiri-kiri baru yang membuat landasan Saman menjadi sangat khas dan kuat, karena Wisanggeni dalam novel ini adalah orang pergerakan yang lahir dalam situasi masa itu, bukan pada situasi sebelumnya.

Fundamennya kuat karena situasi sezaman, sangat khas, sangat spesifik, sangat Indonesia, yaitu menguatnya kiri baru di Indonesia, paruh kedua tahun 1990-an. Misalnya, Hilmar Farid dan kawan-kawan bikin Jaringan Kerja Budaya.

Jadi, bagaimana Anda melihat peralihan ini? Sebelumnya Islamisme kuat di kampus-kampus, dan tiba-tiba berubah, berbalik, dengan kekuatan Kiri Baru dan menjadi sangat bergengsi bagi anak muda. Misalnya, membaca buku Pram bisa ditangkap, dan itu menjadi heroisme sendiri kalau seseorang memilih jalur kiri. Landasan ini, selain faktor pribadi Wisanggeni yang Katolik, menurut saya aspek latar sosiologis Indonesia saat itu membuat Wisanggeni sangat kuat sebagai Katolik, kiri, bergerak di grassroot, dia bergerak di perkebunan.

 

AYU

Kalau bicara dari pengalaman, saya tidak mengalami gerakan Islam di kampus. Maksud saya, saya tidak tahu itu. Saya selalu masuk di sekolah Katolik, tidak mengalami semua itu. Saya baru mengalami kehadiran Islam menonjol ketika masuk UI. Seumur hidup, dari TK sampai SMA, saya sekolah Katolik, jadi mayoritas di sekolah. Memang tahu dari tontonan televisi zaman SD. Tapi efeknya sebetulnya dalam gerakan Islam di kampus-kampus, saya tidak mengalami.

Saya punya pertanyaan: bayangan saya gerakan kiri terus ada, Islamisme di kampus muncul setelah semangat Revolusi Iran, tapi pada tahun 1980-an akhir, Soeharto mulai menggunakan kartu Islam, naik haji, mendirikan ICMI, dan dia merangkul tokoh-tokoh Islam. Di situ, jangan-jangan terjadi kooptasi, atau penjinakan sedikit pada gerakan Islam, karena orang-orang dan isu-isunya dirangkul melalui ICMI. Jadi di situ mungkin tidak menjadi oposan lagi karena sudah dirangkul.

Tapi seingat saya, anak-anak mahasiswa angkatannya Erik Prasetya, misalnya, senang dan merasa gagah ketika membaca Pramoedya. Bahkan Erik kuliah di ITB, dekat dengan penerbitan itu, ya, dengan Joesoef Isak. Mereka dapat terbitan pertama buku-buku itu. Jadi, dari tahun 1980-an awal, Pramoedya bebas dan buku-bukunya mulai diterbitkan, para mahasiswa sudah merasa gagah dengan membaca buku-bukunya. Periode yang berdekatan dengan demonstrasi mahasiswa tahun 1979 NKK/BKK. Tapi bisa ditanyakan ke angkatan mereka, saya kira memang Islam tidak pernah menjadi warna yang dominan untuk menjatuhkan Soeharto di kalangan mahasiswa. Di kalangan mahasiswa, isu utamanya memang kiri.

 

ERIK PRASETYA

Salman ITB memang baru mulai bangkit di tahun-tahun itu.

 

AYU

Jadi, begitu, saya sendiri tidak pernah mengalami, dan mungkin juga tidak tahu bangkitnya kegiatan rohis-rohis islami. Pada zaman saya, sudah mulai mahasiswi berjilbab, dan cowok-cowok celana cingkrang berjanggut. Mereka enggak mau salaman, dan lain sebagainya, saya enggak tahu. Itu mulai marak setelah Reformasi sebenarnya.

Suasananya yang menonjol saat itu memang ideologi kiri, sih.

 

ZEN

Tadi Ayu menyebut Saman sebagai rekaman zaman, karena memang isinya situasi kontemporer dari satu gerakan pro-demokrasi yang muncul di masa akhir Orde Baru dan kemudian mengambil posisi di daerah-daerah perkebunan. Tapi juga ada satu atau beberapa bagian anak-anak kelas menengah yang punya problem juga dengan Orde Baru, Laila, Shakuntala, dan kawan-kawannya itu, yang ada jembatannya dengan Wisanggeni yang pastur. Jadi, situasinya memang keresahan Orde Baru bukan hanya dirasakan oleh pergerakan, tapi juga oleh anak-anak kelas menengah, yang punya pendidikan tinggi, yang hidupnya asyik, tapi tiba-tiba diikat oleh satu situasi yang menurut saya sama. Jadi, ada dua wilayah tematik, antara kaum pergerakan di Perabumulih, Saman, Upi, dan lain-lain, ada satu lagi wilayah agak tinggi, Laila, Shakuntala, kelompok orang-orang berpendidikan…

 

MICHELLIA

Dari sana sebenarnya kelihatan, ya, karakterisasi zaman ketika itu.

Ada geng anak perempuan ini, kan, Shakuntala, Cok, Yasmin, Laila—karakterisasi mereka yang hidup di ibu kota, dengan corak sosial politik seperti itu, pilihan jurusan kuliah mereka juga, Yasmin dengan latar belakang orang tua seperti itu dan kerja di firma hukum, lalu lanjut bekerja di HRW dan lain sebagainya…. jadi pilihan Anda membuat karakterisasi yang kuat kaitannya dengan sosial politik kiri Wisanggeni ini, mengaitkan geng perempuan ini dengan sang pater, bahkan perkenalan dan pertautan mereka terjadi sudah sedari mereka masih di bangku sekolah. Jadi, sebenarnya latar sosial politik ketika itu yang menginspirasi Anda menuliskan karakter seperti itu?

 

AYU

Saman adalah novel yang saya tulis dengan intuisi saja. Saat itu, saya tidak, belum, dikenal sebagai sastrawan. Itu novel yang saya tulis….

 

MICHELLIA

Untuk pertama kali, ya?

 

AYU

Sebetulnya, saya pernah menulis novel sewaktu SMA, tapi tidak berhasil.

Tapi, Saman adalah novel yang saya tulis tanpa pretensi apa pun. Enggak ada pikiran apa pun, keinginan apa pun, tanpa pretensi. Saya mau menulis saja. Jadi, makanya saya bilang, saya tidak merencanakannya sebagai sebuah catatan zaman.

Tadi saya cuma bilang, kalau kita memang melihat Saman sebagai suatu catatan zaman, tapi ini dari kacamata kita sekarang, kita bisa melihat Saman adalah catatan zaman ketika itu. Tapi pada saat saya menulis ini, saya tidak berpikir sama sekali untuk membuat catatan zaman. Itu betul-betul anak-anak muda saat itu. Pengalaman saya yang saya punya ketika itu. Latar anak-anak Tarakanita. Itu lebih menggambarkan keterbatasan saya. Lingkungan saya cewek-cewek Tarakanita. Enggak usah dikarang-karang, itu yang sebenar-benarnya terjadi, kita biasanya jatuh cinta pada pembimbing rohani. Kekaguman pada seorang pastor pembimbing, sangat umum terjadi pada momen retret.

Tidak ada konsep. Semuanya pengalaman.

Dari segi pembuatan, betul-betul intuitif. Tanpa pretensi apa pun. Enggak ada teori. Menulis begitu saja. Karena itu, mungkin karya ini bisa dilihat sebagai materi yang terbentuk secara spontan, dan kita bisa melihatnya sekarang sebagai catatan mengenai zaman itu. Pilihan-pilihannya. Misalnya, yang paling sederhana, saya sebagai orang kelas menengah, yang bapak saya jaksa, pendukung Orde Baru, tentu saja saya diajari bahwa pemerintah itu baik, Soeharto itu bagus, saya baru mendapat kesadaran lain kemudian, sewaktu jadi wartawan.

Jadi, peralihan dari seorang anak yang melihat tidak ada masalah, dunia ini aman, lalu mendapatkan kesadaran bahwa ternyata Indonesia itu penuh dengan ketidakadilan. Itu yang kira-kira terjadi pada empat cewek di Saman itu, itu seperti pengalaman saya. Kemudian, dunia semacam itu jadi ketemu saja, satu dunia yang aman bertemu dengan satu dunia yang direpresi dengan orang-orang termarginalisasi, mereka bertemu. Itu catatan zaman itu, dari seorang anak perempuan kelas menengah kota yang menyadari keadaan.

 

Isu Seksualitas, Bukan Sesuatu yang Tabu

Saman dengan empat karakter perempuannya menampilkan suara polifonik, suara-suara berbeda tentang satu isu besar: seksualitas, utamanya tentang keperawanan. Ayu berkaca pada pengalamannya semasa kecil, yang menyeret anak-anak perempuan pada zamannya dalam ketakutan dan rasa traumatis ditempeli dengan label “perawan” dan pandangan “perempuan hanya bermakna jika masih perawan.”

 

MICHELLIA

Di luar isu sosial politik, isu soal keperawanan itu tinggi sekali dalam novel ini, ya?

Bahkan dari awal sampai akhir, bahkan dari eksplorasi empat suara karakter perempuannya, ketika mereka masing-masing menyatakan dan menyuarakan pendapat mereka tentang keperawanan dan seksualitas, itu tampak kuat sekali.

Begitu juga bagaimana Wisanggeni melihat Upi yang memiliki kelainan seksualitas.  Anda menggambarkan seksualitas Upi yang abnormal dengan sangat kuat. Unsur seksualitasnya bisa dibilang sangat kental dalam novel ini, tapi bukan seksualitas sekadar dalam tataran erotika atau sensual saja, tapi juga ada kedalaman, karena ada eksplorasi pemikiran setiap tokoh ini. Misalnya Shakuntala yang ada kaitannya antara bagaimana dia mengeksplorasi tubuhnya sebagai penari dan sensualitasnya dengan kebenciannya pada ayahnya. Jadi, ada latar belakang dari semua unsur seksualitas itu. Mengapa unsur seksualitas begitu kuat dalam novel ini?

 

AYU

Sebenarnya untuk itu ada jawabannya di dalam buku biografi saya, Pengakuan Eks Parasit Lajang. Sekarang kita bisa melihatnya catatan pada masa itu, saya tumbuh pada suatu zaman ketika orang masih membicarakan tentang keperawanan. Buat saya, ada ngerinya itu, bahwa perempuan harus perawan. Pada masa saya kecil, itu terasa serius. Saya enggak tahu zaman sekarang. Saat kecil, itu terasa serius. Selain orang tua berbisik-bisik, dalam bisik-bisik keluarga, anak kecil meraba-raba “ada apa, sih?” di sekitarnya. Orang tua tidak langsung menyampaikan semuanya dengan eksplisit.

Dalam perabaan itu, saya menangkap bahwa ada yang mengerikan. Ada rasa ngeri, “Oh, kita harus perawan, ya?” Kalau tidak perawan, kita tidak berharga. Itu mengerikan. Pelan-pelan itu makin mengerikan buat saya, sampai pada titik saya merasa itu harus dilawan. Kayaknya saya memang produk dari sebuah zaman ketika keperawanan masih membikin trauma yang harus dibongkar. Ketika itu, saya kira kemudian dalam percakapan atau di majalah, kita menemukan beredar teks mengenai keperawanan. Isu itu masih penting, di konsultasi seksologi, atau psikologi. Di koran Kompas ada konsultasi psikologi dengan Leila Ch. Budiman. Atau Naek L. Tobing, Boyke Nugraha. Rubrik-rubrik yang ada di media massa. Di rubrik-rubrik ini, muncul isu itu. Di Oh Mama Oh Papa di majalah Kartini, di Pos Kota  lain lagi, semuanya muncul.

 

MICHELLIA

Seperti mimpi buruk, ya.

 

AYU

Mimpi buruk, sebenarnya.

Saya meraba-raba, dan saya merasa pada titik tertentu ini menakutkan dan ketakutan ini harus dibongkar.

Saya kira saya pernah diwawancara Kompas juga perihal ini. Saya dituduh bahwa seks menjadi bumbu utama. Saya bilang, bukan bumbu utama. Seks adalah menu utamanya. Bukan bumbunya. Seks itu dagingnya, bukan mericanya. Karena seksualitas adalah problem buat perempuan, lebih daripada laki-laki.

Jadi, itulah yang saya alami ketika itu dalam upaya untuk membongkar ketakutan, atau memerangi ketakutan ini.

 

MICHELLIA

Yang menarik, melalui suara polifonik dalam novel Anda, keperawanan adalah sesuatu yang mengerikan bagi beberapa tokoh-tokoh Saman, tapi justru Laila memeluk keperawanannya sampai kemudian Shakuntala dan kawan-kawannya bingung dengan temannya ini, sampai mereka mencari akal apa yang harus dilakukan dengan si Laila. Bahkan dari awal sampai akhir, bagaimana novel ini dibuka, dan bagaimana novel ini dilanjutkan di Larung, kita lihat bagaimana pergulatan Laila. Dia masih sangat memeluk keperawanannya. Bagi saya, ini menunjukkan suara polifonik dalam novel ini. Bahwa ada suara orang yang mengalami satu lapisan trauma dan menunjukkan dia baik-baik saja dengan keperawanannya.

 

AYU

Laila tidak baik-baik saja dengan keperawanannya, tapi dia tidak mau melanggar aturan saja.

Begini, karena itu mungkin saya memilih ada empat perempuan masing-masing dengan pandangan atau reaksi berbeda terhadap hal yang sama.

Saya tidak suka menghakimi. Saya lebih suka menunjukkan satu masalah, sekaligus juga melihat bahwa semua orang punya posisi yang berbeda-beda dalam mengatasi suatu problem. Ada yang bisa mengatasinya, ada yang memilih berkompromi, ada yang takut, ada yang berani.

Karena itu, saya kira saya memang ingin mengambil berbagai posisi berbeda, dan dikontraskan dalam empat perempuan ini. Laila, yang mewakili sosok konservatif yang saya kira mewakili kebanyakan anak-anak pada masa itu. Shakuntala, yang rebellious, tapi dia berpikir, dan dia meremehkannya dengan kesadaran. Cok, yang enggak mikir, yang gue seneng ajalah pokoknya, tapi dia enggak ada refleksi. Yasmin, yang munafik. Enggak ada yang lebih bagus di antara mereka, tapi saya pikir ini adalah sikap-sikap yang bisa diambil oleh individu. Bagaimana mereka menghadapi persoalan itu, sekaligus kita menunjukkan bahwa persoalan ini ada. Mereka tidak biasa-biasa saja. Mereka semua mengatasinya dengan kompleksitasnya masing-masing.

 

ZEN

Tadi Anda menyebut Saman ditulis secara spontan. Kurang-lebih satu suara tentang satu zaman yang belum terlalu jauh. Masa-masa akhir Orde Baru, atau 10 tahun sebelum Orde Baru berakhir. Tapi menurut saya, secara bentuk karya ini tidak spontan. Artinya sebagai fiksi dia dirancang, secara teknis masterfully crafted.

Ada suara yang mewakili suara dominan dalam masyarakat tentang keperawanan, ada suara yang cuek, ada suara kaum munafik, ada suara kaum pergerakan di bawah. Jadi, sebagai bentuk, novel ini sangat kompleks. Ada unsur polifonik, satu strategi literer yang pada masa itu hampir tidak pernah dibayangkan digarap dalam sastra Indonesia, makanya kemudian banyak krtikus atau telaah yang menyebut Saman sebagai sebuah novel baru yang membawa suara polifonik dalam sastra Indonesia.

Jadi, aku ingin tahu bagaimana Anda menuju ke sana. Bahwa sebuah situasi spontan, situasi yang belum terlalu jauh dari kehidupan pengarang, dirancang dan dibangun dengan struktur yang tidak spontan, ada lapisan-lapisannya, rumus-rumusnya. Ada tekniknya. Secara sastra, kita bisa lihat strukturnya sangat kuat. Bagaimana Anda mencapai bentuk kompleks seperti itu?

 

AYU

Saya tidak setuju dengan pendapat Anda.

Kalaupun tampak ada strukturnya, lebih intuitif. Sebetulnya tidak kompleks. Saya tidak membaca teori apa pun ketika itu, teori posmodern juga belum baca. Saya hanya baca artikel-artikel yang masuk ke Kalam. Sewaktu seminar posmo, saya juga tidak ikut, hanya mengorganisir seminar Kiri Baru.

Jadi, saya bukan dari latar belakang teoretis. Saya berlatar belakang jurnalis dan aktivis. Kalau mau disebut karya dengan struktur, yang saya sadar sebagai permainan bentuk, saya rasa itu Bilangan Fu. Kalau Saman, saya tidak sadar, kecuali satu: saya capek dengan banyak aturan yang saya jalani di media massa. Banyak aturan yang harus dijalani wartawan di media massa. Selain itu, saya capek juga dengan versi sejarah yang tunggal dari pemerintah. Kalau ada pemberontakan, mungkin hanya itu. Saya ingin membebaskan diri saya dari aturan-aturan itu.

Jadi, sebetulnya Saman tanpa struktur. Awal, tengah, akhir, tidak ada hubungannya. Dan sebetulnya, sewaktu ada pengumuman sayembara, saya sudah menulis Saman lebih panjang daripada itu. Namun, sayembara itu punya batas panjang halaman. Jadilah, saya potong naskah itu. Yang saya kira, kayaknya bisa berdiri sebagai sebuah manuskrip, hanya sampai di sini. Jadi, saya potong di situ.

Tadinya, cita-citanya tokoh utamanya si Laila. Dengan bentuk seperti ini, tokoh utamanya tidak bisa Laila. Dia hilang di tengah jalan, dan di bab akhir justru tidak muncul. Jadi, saya ganti judulnya dengan Saman.

Tidak ada bentuknya.

 

ZEN

Jadi, Saman itu tokoh baru atau memang sudah ada sedari awal?

 

AYU

Tokoh itu sudah muncul sejak awal, tapi kan kemudian terasa yang dominan adalah Saman. Akhirnya, Laila tidak jadi dominan. Di Larung, Laila juga tidak jadi.

Dari sana terlihat bahwa Saman dibuat tanpa kesadaran struktur apa pun. Hanya saja, saya memberikan ruang bagi kompleksitas, yang mungkin terlalu dijinakkan pada cara menulis model-model sebelumnya, atau model di media massa. Misalnya, karya harus fokus, pengembangan karakter harus berkembang begini, begini, begini. Itu yang saya hilangkan ketika menulis Saman.

Jadi saya sendiri juga terkadang merefleksikan, kenapa Saman disukai orang?

Padahal, dari segi perkembangan karakter, karakternya tidak berkembang. Dari segi perkembangan plot, ada plot baru yang berpindah-pindah.

Jadi, kalau saya mencoba menganalisis, apa sih kelebihannya Saman? Kelebihannya mungkin secara bahasa tergarap dengan baik, detailnya tergarap baik. Isunya sangat baru, sangat dekat, dan digarap dengan berani. Jadi ada banyak hal yang sebelumnya tidak digarap orang dengan cara seperti itu. Tapi kalau soal struktur, justru itu adalah hal yang tidak ada di Saman.

Kalau orang belajar di kelas menulis bersama saya, dan bertanya bagaimana caranya menulis novel seperti itu, saya biasanya mengatakan, ini analisis belakangan, mungkin Saman punya struktur lain, yang bukan plot, bukan perkembangan karakter. Tapi dia sebetulnya perkembangan erotic tension. Jadi, Saman makin lama makin erotik, meski tokohnya berlainan. Pertama, kisah cinta Laila dan Sihar. Lalu, secara sensual dan erotik, tensi meningkat, sampai ke bagian akhir. Jadi, mungkin itu yang tersembunyi pada Saman dan tidak pernah dilihat orang. Tokoh-tokohnya berbeda, tapi sebetulnya ada suatu sensualitas yang bergerak menjadi erotisme, di belakang diendus oleh pembaca tanpa sadar.

 

ZEN

Buat saya, yang menarik di situ ada perpaduan antara politik dan erotisme. Misalnya, surat-menyurat antara Yasmin dengan Saman. Surat-suratnya bertanggal. Yang saya ingat, ketika Yasmin menulis “Saman, perkosalah aku,” itu tanggal 22 Juni 1994. Itu adalah tanggal pemberedalan Tempo.

 

AYU

21 Juni. Iya, memang itu ada kode-kode. Cara saya untuk mengingat.

 

ZEN

Buat saya, itu perpaduan alusi yang asyik. Politik represi Orde Baru dan erotisme berpadu di situ, di tanggal 22 Juni 1994.

 

AYU

Saya kira itu salah satu kenikmatan kecil yang bisa dilakukan pengarang, menaruh tanggal seperti itu.

 

MICHELLIA

Jadi, Saman ditulis secara intuitif saja?

 

AYU

Betul-betul intuitif. Tanpa rencana. Aku tidak merencanakannya dari awal soal tanggal itu. Ketika aku berhadapan, sekarang aku harus memberi tanggal di surat itu, jadi aku beri tanggal itu saja, “ah seru nih”. Tapi untuk struktur besar, enggak; itu Bilangan Fu.

 

Saman, Fondasi bagi Semesta Cerita

Maya, mengaitkan seri Bilangan Fu dengan dwilogi Saman dan Larung, dan menjadi jembatan dari kedua seri tersebut. Apakah hal ini sudah diniatkan sedari awal? Ayu mengakui tokoh-tokohnya hidup dalam semesta, yang bisa dia wujudkan dalam karya-karya tersendiri, yang tetap saling padu dan terjalin satu sama lain.

 

MICHELLIA

Saman semacam fondasi, cerita pertama, dari seri-seri berikutnya yang kemudian Anda tuliskan. Kemudian Saman menjadi dwilogi, Saman-Larung, lalu kemudian menjadi trilogi karena ada Maya. Tapi, kemudian Maya mengaitkan ke seri Bilangan Fu tersendiri, Lalita dan seterusnya. Apa yang memantik itu terjadi? Bagaimana Anda mengembangkan Cok ada di cerita Larung dan lain sebagainya?

 

AYU

Kalau Larung, sebagian memang sudah tertulis sewaktu saya menulis Saman. Tapi memang belum selesai, dan akhirnya di Saman, kalau kita lihat, saya enggak berhasil mengembangkan Laila. Jadi, sebetulnya itu menunjukkan bahwa novel Saman dan Larung intuitif dan spontan saja, karena yang saya inginkan di awal tidak terpenuhi. Bayangan saya, saya mau menulis cerita tentang Laila, dan Laila hilang di tengah jalan.

Jadi, sebetulnya, apa yang terjadi pada penulis-penulis baru yang keasyikan pada tokoh lain, itu terjadi pada Saman. Kekuatannya bukan pada struktur besarnya. Kekuatannya pada cara bercerita saja. Pada deskripsinya. Pada intensitas tokohnya. Jadi pada hal kecil-kecilnya, novel ini berharga. Pada struktur besarnya, novel ini buyar.

Di Saman, ada beberapa macam arketipe yang muncul lagi di tulisan-tulisan saya yang lain. Misalnya arketipe tentang perempuan yang tidak punya suara. Itu ada di Larung dan Saman. Ibunya Saman, kalau masuk ke dunianya sendiri, dia hilang, dia nonrasional. Di Larung, ada perempuan tanpa pita suara.

 

MICHELLIA

Karakterisasi perempuan di cerita Anda memang kuat, ya. Di Larung ada nenek yang mau dibunuh oleh sang cucu, Larung.

 

AYU

Sekali lagi, saya tidak merencanakan. Semua itu intuitif.

Perempuan-perempuan itu muncul sebagai wakil dari yang nonrasional. Nonverbal. Kenapa begitu? Saya belum tahu. Tapi munculnya begitu. Saya tidak merencanakan. Tiba-tiba saja, muncul ibunya Saman. Ibunya cenderung bisa gila saat dia hamil. Cerita semacam itu saya dapatkan dari beberapa tempat, tentang perempuan yang saat hamil jadi aneh.

 

MICHELLIA

Blue period…

 

AYU

Bukan cuma blue period. Aneh saja. Cenderung tidak waras.

Di Saman malah itu berkaitan dengan hubungan dunia spirit. Ada hantu-hantu. Ibunya punya hubungan dengan makhluk-makhluk halus.

Di Larung, selain neneknya yang sangat kuat itu, ada tokoh yang selintas muncul, yaitu perempuan tanpa pita suara. Kenapa karakter itu muncul? Saya tidak tahu. Maksudnya, dia muncul begitu saja. Jadi, semacam ada arketipe dalam bawah sadar saya yang muncul. Dan ini agak kelihatan ketika muncul lagi dalam Bilangan Fu dalam bentuknya yang lebih tertata, lebih panjang dan tergarap.

 

MICHELLIA

Kalau melihat semua karya ini secara utuh, setelah Anda menyelesaikan semua seri ini, kalau kita merunutnya secara kronologis, kita mesti memulai membacanya dari yang mana? Dari Saman, atau dari karya yang lain? Keterjalinan ketika Anda membuat satu tokoh dengan tokoh yang lain, seperti Parang Jati, Sandi Yudha, ada hubungannya dengan karakter-karakter di novel Saman.

 

AYU

Kalau ada yang tanya, mana dari karya saya yang mesti dibaca lebih dulu, saya akan bertanya ke orang itu, “Kamu pembaca yang kuat, atau kamu mau baca yang gampang?” Jadi, saya tanya dulu. Kalau dia suka bacaan yang ringan, saya bilang Parasit Lajang, Simple Miracles, Cerita-cerita Enrico. Itu gampang bacanya. Kalau yang susah, ya baca Bilangan Fu.

Saya tidak terlalu peduli juga mereka mau membaca dari novel yang mana, saya juga tidak berharap mereka memahami dunia yang saya bangun. Untuk apa? Buat sebagian orang, mungkin itu tidak penting juga.

Kembali ke arketipe tadi, yang menurut saya penting, proses menulis pada akhirnya seperti psikoanalisis. Kita membikin cerita, seperti mimpi kita. Pada saat proses menulis, itu sebagian adalah intuisi. Misalnya, saya tidak bisa tahu, kenapa ada tokoh perempuan tanpa pita suara? Saya tidak tahu kenapa tokoh itu muncul. Khusus tokoh itu, mengapa dan bagaimana munculnya, saya tidak tahu. Tokoh-tokoh lain, ada yang punya referensi. Tapi ada tokoh-tokoh yang muncul begitu saja, yang saya juga tidak tahu, dan akhirnya itu seperti proses psikoanalisis buat saya, saya menulis, kemudian saya menganalisis, “Ini apa, ya? Sebenarnya siapa dia?” Terus terkadang, tokoh itu bisa muncul lagi di tempat lain. Secara intuitif, karya itu kemudian berkembang.

Dari sana, saya merefleksikan, “Oh, kayaknya saya punya kegelisahan ini.” Dengan perempuan yang tanpa pita suara itu, menurut saya itu adalah suatu kegelisahan atau pertanyaan besar saya mengenai bahasa, mengenai rasio, yang verbal, ketidakcukupan dari bahasa untuk memahami kehidupan kita. Lalu, kemudian saya mempertanyakan, kenapa saya cenderung menempatkan yang nonrasional ini pada tokoh perempuan? Itu belum terjawab sampai sekarang.

 

MICHELLIA

Selain penokohan itu, Anda juga mengeksplorasi ruang dalam tiap novel. Dari Sumatra dalam pengisahan Saman, kemudian ke Bali dalam Larung, lalu candi-candi di Jawa dalam seri Bilangan Fu.

 

AYU

Kenapa Sumatra? Jawabannya sederhana saja. Sebagai wartawan, saya punya banyak informasi soal daerah itu. Sebetulnya waktu itu kasusnya banyak membahas peralihan kebun ke kelapa sawit. Waktu itu, belum terjadi di Indonesia Timur, masih terjadi di Sumatra. Jadi teknis saja. Enggak ada yang khusus tentang Sumatra.

 

MICHELLIA

Lalu ke Bali, dengan neneknya yang kasta ksatria dalam Larung

 

AYU

Kalau Larung, itu diilhami dari bukunya [Geoffrey] Robinson, The Dark Side of the Paradise. Dari sana saya baru menyadari kalau korban peristiwa 1965-1966 di Bali banyak sekali. Hampir setiap keluarga mengalami antara membunuh atau dibunuh. Saya terlihami buku itu.

 

MICHELLIA

Kemudian tarikannya ke panjat tebing, percandian, dan bilangan fu tersendiri?

 

AYU

Sebetulnya Saman-Larung adalah satu periode saya, periode Orde Baru. Periode 1965 terus berulang.

Kalau saya mau membagi—karena ini pendekatan sastranya berbeda sama sekali—Saman dan Larung adalah reaksi saya pada Orde Baru. Saya capek atau muak dengan, katakanlah, narasi besar. Yang saya alami bukan teori narasi besar, melainkan aturan-aturan yang saya hadapi di media massa, sejarah yang tunggal versi orde baru, dan struktur yang rapi. Karena itu, Saman melepaskan diri dari semua itu.

Saman menawarkan cerita yang tidak berhubungan. Strukturnya pecah. Sebetulnya itu suatu reaksi dari zaman yang terlalu tertib. Itu zaman Saman. Orang menganggapnya sebagai posmodernis, dan lain sebagainya. Tapi waktu itu saya tidak terlalu berkiblat ke teori. Dorongan saya lebih dari diri sendiri, bukan dari teori. Saat itu saya masih meraba-raba soal teori-teori itu. Saya lebih intuitif.

Setelah Reformasi, zaman berubah. Pancasila tidak dipercaya lagi. Kita meragukan segala hal. Fanatisme beragama muncul. Kedaerahan muncul. Jadi, sebetulnya ketika menulis Bilangan Fu, saya justru menawarkan suatu struktur yang baru. Bilangan Fu rapi sekali, bertolak belakang dari Saman dan Larung. Betul-betul terikat rapi, semua cerita punya hubungan satu sama lain, enggak ada yang lepas sendiri. Saman awur-awuran. Bilangan Fu tidak; semua elemen berhubungan, terikat, dibagi menjadi tiga bagian yang tertata.

Bilangan Fu sangat terstruktur. Saya kira, ini karena saya menghadapi sebuah zaman ketika kita kehilangan narasi besar, kita kehilangan kerapian, kita kehilangan sesuatu yang kita percayai, dan muncullah sentimen-sentimen agama, ini-itu. Di situ juga, saya kira Bilangan Fu, kenapa mengangkat kembali kebatinan, karena itu yang ketika itu sedang direndahkan betul oleh FPI dan organisasi-organisasi semacam itu. Dan sebetulnya saya juga melihat bahwa enggak cuma Islam saja, Kristen dan modernitas, orang modern juga punya kecenderungan yang sama dogmatisnya. Dan sebetulnya kita perlu melihat suatu kesadaran model yang lalu, Indonesia dikenal sebagai bangsa yang toleran di masa lalu, bisa melakukan macam-macam sinkretisme.

Di zaman Majapahit, kita mensinkretiskan Siwa-Buddha. Dari zaman dulu, kita punya kemampuan melakukan sinkretisme maupun sintesis. Pada zaman lebih kuno, ada model Bhinneka Tunggal Ika-nya Sutasoma, ketika Siwa dan Buddha dipersatukan. Pada zaman modern, dengan Bhinneka Tunggal Ika yang modern, lewat Pancasila, itu kan kemampuan melakukan sintesis, dan sinkretisme agama. Ini kemampuan yang sebetulnya sudah ada di dalam tradisi kita, atau dalam kultur kita, yang pada masa saya menulis Bilangan Fu, ini mulai hilang dengan model pendidikan yang terlalu rasional dan dogmatis. Itu yang melatari Bilangan Fu. Karena itu, Bilangan Fu mengangkat kembali kepercayaan-kepercayaan lokal.

 

Bilangan Fu, Pusaran bagi Semesta Cerita

Pada akhirnya, Ayu berfokus mengembangkan semesta ceritanya dalam Bilangan Fu. Setiap karakternya yang telah ia ciptakan sedari awal saling terhubung dalam seri ini.

 

MICHELLIA

Mengapa karya-karya ini perlu dijadikan satu seri, Maya mengaitkan Saman dan Larung dengan seri Bilangan Fu? Ada apa, sih, dengan Bilangan Fu sampai kemudian semua karya Anda berpusar ke sana?

 

AYU

Saya tahu Bilangan Fu bukan novel yang ramah. Dan sebagian orang bilang, “Oh, Ayu sudah enggak bisa nulis. Sekarang bahasanya sudah enggak puitis.” Saya, sih, ketawa saja.

Saya menulis berdasarkan karakter yang bercerita, bukan karakter saya pribadi. Di Saman manis, karena yang menulis Laila. Dia sentimentil. Tapi Sandi Yudha, memang tidak menyenangkan orangnya. Dia kasar. Jadi, bahwa Bilangan Fu ditulis dengan bahasa tidak halus, tidak romantis, tidak sentimentil seperti Laila, karena yang bercerita di situ adalah Sandi Yudha. Buat saya, yang penting saya tulus dengan karakter saya. Saya tidak bikin karakter yang kasar, tapi menulis dengan bahasa halus; enggak lah, itu bohong namanya.

Saya merasa Bilangan Fu buat banyak orang Indonesia ketika itu adalah novel yang berat. Padahal saya senang dengan isu-isunya, dan saya suka pada karakter-karakternya, saya merasa karakter-karakter ini belum cukup dikembangkan sebagai cerita. Saya suka pada satu karakter yang namanya Tuyul. Buat saya, itu karakter yang lucu, dan saya ingin mengembangkan karakter ini, tapi kan tidak cukup di Bilangan Fu saja. Jadi, terpikirlah saya bikin seri Bilangan Fu, yang jauh lebih ringan dari Bilangan Fu, dengan tokoh-tokoh yang masih sama, dan saya bisa cerita tentang candi-candi, atau cerita lain mengenai Nusantara. Daripada saya harus bikin tokoh baru, saya khususkan bikin seri Bilangan Fu itu. Cita-cita saya semula mau bikin 12 novel untuk seri itu, tapi baru tercapai tiga saja.

Jadi itu latar belakang seri Bilangan Fu. Kenapa harus dihubungkan dengan Saman? Karena ada isu-isu yang bersisipan, dan tahunnya kira-kira sama, kenapa tidak sekalian ketemu saja?

 

MICHELLIA

Itu menjadikan cerita Anda seperti suatu semesta sendiri, karya-karya Anda meminjam dari semesta yang sudah Anda ciptakan.

 

AYU

Ya, karena sebetulnya, kan, setiap orang punya dunianya ya, punya semestanya sendiri. Dan sederhananya, saya sudah kadung kenal tokoh-tokoh itu, dan saya ingin main lagi dengan mereka.

 

Pandangan Pribadi tentang Ekosistem Sastra

Pengalaman menulis novel berbasiskan dari intuisi dan menolak kebakuan struktur bagi novelnya bermula dari keengganan Ayu yang mengenal sejumlah kawannya hanya “gagah-gagahan” saja soal teori sastra.

Namun, kemudian, dia mengatasi keengganannya dengan teori sastra dan menawarkan cara belajar menulis sastra yang efektif dalam kelas-kelas penulisannya. Setelah berkecimpung lama di dunia kepenulisan, dia juga semakin yakin bahwa ekosistem sastra membutuhkan lebih banyak penghargaan dan sayembara, serta kelas penulisan, untuk terus memompa semangat bersastra.

 

ZEN

Tapi apa bayangan Anda soal struktur novel ketika itu? Anda pasti membaca juga karya-karya lain.

 

AYU

Tapi saya tidak baca karya-karya Amerika Latin.

Jadi waktu orang-orang banyak menyebut soal realisme magis, saya enggak baca. Justru tahun 1990-an itu, saya lebih banyak baca novel-novel Indonesia, daripada novel terjemahan. Buku tidak segampang sekarang. Saya sibuk sebagai wartawan, tidak punya waktu untuk membaca semua. Jadi, bayangan saya saat itu soal novel, ya cara bercerita saja.

Sekali lagi, saya menulis tanpa pretensi apa pun. Saya saat itu bukan siapa-siapa. Mungkin karya itu tidak akan ada yang menerbitkan. Jadi, saya datang tanpa pretensi apa pun. Mungkin itu novel yang pengalaman menulisnya paling asyik, karena saya enggak punya pretensi.

Jadi, bayangan saya soal novel, ya apa pun, yang bercerita.

 

ZEN

Kalau tidak salah, Anda studi Sastra Rusia di Universitas Indonesia, ya?

 

AYU

Iya. Tapi, ya, saya enggak suka teori-teori sastra waktu itu. Mungkin karena perkenalannya cukup buruk. Jadi sebetulnya, kenapa saya masuk Sastra Rusia? Karena saya tidak boleh masuk Seni Rupa ITB. Terus, disuruh masuk Sastra Rusia oleh ayah saya, ya sudah, dia yang bayar uang kuliah saya. Jadi, itu rencana saya. Itu terakhir kalinya saya menurut dengan orang tua saya. Sampai dapat foto ijazah, saya putuskan, sudah saya enggak mau menurut lagi.

Saya juga bukan dari keluarga intelektual yang membaca banyak teori. Kalau pun saya tertarik Filsafat, batas yang saya tahu Filsafat Yunani. Sewaktu SMA, yang saya tahu sedikit filsafat Yunani tentang Platon dari majalah. Tapi enggak terlalu penting. Saya lebih suka orang Romawi daripada orang Yunani, gagah soalnya. Juga Sigmund Freud. Itu yang ada di kepala saya sewaktu SMA. Kenapa saya tertarik Freud? Mungkin karena saya sudah punya leaning yang cocok dengan teorinya soal seksualitas. Kok, kayaknya ada benarnya. Jadi, kalau saya pikir, bukan Freud membuat saya tertarik membincangkan soal seks. Tapi, saya tertarik pada Freud karena saya sudah tertarik pada seks.

Jadi, yang aku mau katakan, sewaktu saya masuk Sastra Rusia, perkenalanku dengan orang-orang yang membaca teori enggak terlalu impresif. Aku merasa mereka gagah-gagahan doang; mereka sebenarnya ngomong apa, sih? Mereka mencoba membuat dirinya terlihat gagah. Jadi, dari sana, aku tidak tertarik teori sastra apa pun. Aku tertarik pada linguistik. Buatku ilmu itu lebih jejek. Lebih jelas.

Jadi, karena itu, baru kemudian saya mengejar belajar teori-teori atau pemikiran mengenai kesusastraan. Itu tidak terjadi sebelumnya. Ketika ditanya waktu itu saya pikir apa itu novel, novel itu ya bercerita saja, yang seru, dan ceritanya bisa apa pun.

 

ZEN

Novel Saman kemudian menjadi Pemenang Pertama Sayembara Menulis Roman DKJ dan mendapat sambutan yang cukup baik dari para kritikus dan khalayak pembaca. Artinya, setelah beberapa tahun Sayembara Roman DKJ saat itu tidak diselenggarakan karena alasan mutu dan lain-lain, dan baru dikerjakan lagi pada 1998 itu. Bagaimana Anda melihat sayembara semacam itu dalam konteks kemunculan para penulis baru; generasi Ratih Kumala sampai Felix Nesi. Apakah sayembara semacam ini masih punya nilai penting hari ini?

 

AYU

Penting sekali.

Sebetulnya, setelah saya terjeblos dalam dunia sastra, akhirnya saya jadi tahu, bahwa, ya tentu saja sastra itu penting, karena bagian dari pemikiran, dan perlu ada cara untuk merawat itu. Sayembara adalah salah satu cara untuk merawat kesusastraan. Kita tahu juga bahwa orang Indonesia zaman dulu menulis karena ada sayembara. Sekarang lebih baik, orang menulis tanpa ada sayembara, jadi pasarnya sudah terbentuk. Tapi di tengah pasar yang banyak ini, kita tetap butuh pegangan tentang mana yang bernilai, mana yang bermutu. Hal semacam ini kalau dilepaskan kepada pasar, ya tidak bisa.

Pasar terkadang hanya memilih yang cocok dengan zamannya, memuaskan hasrat-hasrat tertentu saja. Buku bestseller, kan, belum tentu buku yang bagus. Jadi, pasti kita tidak bisa menyerahkan perawatan kesusastraan kepada pasar semata. Karena itu, sayembara sangat perlu untuk patokan. Dan sebetulnya, memang perlu ada banyak sayembara. Sayangnya, sekarang bahkan sayembara Kusala Sastra Khatulistiwa sudah tidak ada lagi. Jadi, kita sebetulnya sebagai bangsa punya sedikit sekali sayembara. Sayembara DKJ ini sebetulnya sekarang ini tinggal satu-satunya harapan. Tidak boleh hilang. Karena, siapa yang akan merawat mutu kesusastraan? Cara merawat mutu kesusastraan memang ada banyak, tapi sekarang kita lihat sekolah tidak lagi mengajari pelajaran sastra, creative writing tidak menghasilkan penulis. Seharusnya ada banyak cara memelihara kesusastraan, tapi kan banyak yang lemah. Sekarang, sayembara adalah salah satu cara untuk merawatnya. Yang sekarang kita punya, menurut saya tinggal DKJ. Tadinya, kita punya Kusala Sastra Khatulistiwa.

 

MICHELLIA

Itu yang menginspirasi Anda untuk mengisiasi Hadiah Sastra Rasa untuk Pemula?

 

AYU

Hadiah itu terpikir ketika saya mendapatkan Penghargaan Achmad Bakrie. Kita tahu, Aburizal Bakrie punya masalah. Hadiah itu ada masalahnya, sehingga Franz Magnis-Suseno menolak, Goenawan Mohamad mengembalikan penghargaan itu. Sulit juga, kalau kita mau murni, bersih dari segala dosa. Goenawan menolak, Magnis menolak karena memang waktu itu ada peristiwa Lumpur Lapindo.

Saya mendapatkan hadiah itu; saya mikir-mikir, saya berterima kasih diberi penghargaan, tapi saya mikir juga, saya harus berbuat apa dengan hadiah ini? Akhirnya, keputusan saya, paling tidak sebagai ucapan terima kasih, mumpung saya waktu itu sudah menjalankan kelas penulisan di Salihara selama tujuh tahun, jadi kenapa enggak saya bikin hadiah untuk setidaknya ditujukan bagi murid-murid saya? Karena itu tadi, saya pikir sayembara adalah hal yang penting untuk merawat kesusastraan.

 

ZEN

Tadi Anda menyebut kelas menulis kreatif di Salihara. Menurut saya, itu salah satu kelas yang secara konsisten dijalankan oleh Komunitas Salihara. Ini menunjukkan bagaimana seorang penulis merawat keterampilan dengan cara membuka bengkel penulisan, dengan harapan, keriaan menulis berkembang dan mencapai bentuk yang terbaik. Tapi, ketika awal digagas, apa ya ide bengkel menulis ini?

 

AYU

Bengkel penulisan itu kita yang bikin, ya, sewaktu di DKJ.

Dulu saya dan Zen bersama-sama di Komite Sastra DKJ, periode 2006-2009. Kami menyadari perlu ada bengkel penulisan, kelas penulisan.

 

ZEN

Pengampunya adalah A.S. Laksana dan Yusi Avianto Pareanom.

 

AYU

Jadi sebetulnya Zen dan saya sama-sama sepakat, kita perlu kelas menulis atau suatu tempat, bengkel, workshop, untuk memperbaiki atau mematangkan tulisan. Maka, dulu di DKJ kami bikin bengkel penulisan novel, yang diampu Sulak dan Yusi.

Kemudian, saya sudah tidak bekerja di DKJ lagi, kami masing-masing bekerja di Salihara. Saya kira ide kami waktu itu begini. Salihara terkadang dianggap menawarkan program-program yang terlalu elite, terlalu tinggi. Jadi, waktu itu idenya, kenapa tidak kita bikin program untuk pemula? Salah satu bentuknya kelas penulisan. Karena, kita harapkan, kalau orang mulai bisa menulis, maka dia lebih bisa mengapresiasi tulisan yang lebih kompleks. Jadi, di Salihara ada beberapa program yang memang ditujukan untuk pemula.

Kalau dari pengalaman saya sendiri, setiap kali presentasi atau bertemu orang dalam diskusi buku, selalu ada pertanyaan, “Bagaimana caranya menulis?” Jadi, lalu saya pikir, sebetulnya orang membaca novel, banyak dari mereka yang tidak berhenti hanya membaca, tapi ingin menulis juga. Dari sana, saya berusaha menjawab. Pelan-pelan, dalam proses, saya mencoba menyadari proses saya menulis.

Waktu menulis Saman, saya menulis saja, intuitif, keputusan tidak diambil matang-matang, hanya berdasarkan intuisi, ketika harus memberi tanggal, nama, atau menentukan tokohnya harus bertindak apa. Itu saat menulis, tidak dipikirkan matang. Tapi setelah Saman, karena saya banyak bertemu orang yang bertanya bagaimana caranya menulis, akhirnya saya pelan-pelan memeriksa proses saya sendiri. Itu yang saya coba bagikan di kelas, dan menuliskan buku dari hasil kelas di Salihara itu.

Pendekatan saya adalah mencoba membuat kelas itu menjadi tidak berteori sama sekali. Jadi, balik ke intuisi. Karena membaca teori mungkin hanyalah privilise orang yang punya waktu. Tapi, kalau enggak punya waktu, kalau kita bego, bisa enggak kita menulis? Bisa. Jadi, di kelas itu saya mengajarkan cara penulisan yang bisa berbasis intuisi, dan dibarengi dengan langsung merefleksikannya. Memang ditujukan untuk para penulis pemula yang enggak punya kesempatan untuk terlalu baca teori. Dan saya, kan, enggak pakai teori sebenarnya.

 

MICHELLIA

Jadi, pakem-pakem intuisi menulis yang Anda gunakan untuk mengerjakan novel-novel itu yang kemudian menjadi bahan di kelas?

 

AYU

Jadi, begini, kita bisa punya dua cara.

Kita bisa pakai struktur, pakai rencana-rencana. Tapi, ada juga orang yang kecenderungannya spontan saja. Saya biasanya memulai dengan menyatakan itu, bahwa ada dua jalan yang bisa ditempuh, dan saya persilakan mereka memilih cocoknya yang mana. Saya jelaskan bahwa masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya. Jadi, di kelas itu saya akan menunjukkan kekurangan para penulis yang menulis dengan spontan, sambil jalan mereka mengerjakan karya mereka.

Jadi, kira-kira begitu. Saya tidak mengharapkan mereka menulis dengan melalui jalan yang saya pilih, karena mungkin mereka punya kecenderungan yang lain, karakter berbeda. Dalam proses itu, aku akan tahu, misalnya, seseorang menulis terlalu terstuktur, kekurangannya apa, lalu seseorang yang menulis terlalu liar, kekurangannya apa. Biasanya, kita akan cari jalan tengahnya. Penulis yang terlalu terstruktur akan saya arahkan untuk mencari cerita-cerita yang lebih berdaging, karena terlalu konseptual misalnya. Sementara, penulis yang menulis dengan liar harus merapikan ceritanya ke dalam struktur. Tidak ada teori. Kita menulis, kita melihat apa kesalahannya, apa kekuatannya, dan diperbaiki. Begitu saja.

 

MICHELLIA

Apa yang menurut Anda perlu dikembangkan dalam ekosistem bersastra selain kelas menulis dan hadiah sayembara?

 

AYU

Pertama, hadiah sayembara harus diperbanyak, tapi dengan pertanggungjawaban yang bagus. Kita juga lihat sekarang ada banyak sayembara, malah pesertanya harus bayar. Jadi, ada banyak juga sayembara yang menurut saya kurang bertanggung jawab.

Sebaiknya ada banyak sayembara. Saya pernah usul juga kepada beberapa teman. Misalnya, sayembara untuk penulis perempuan. Meski mungkin sebagian dari kita akan bertanya, “Kenapa memang harus ada sayembara untuk penulis perempuan?” Menurut saya, itu tetap saja bisa dilakukan. Mungkin untuk melakukan kajian apa saja isu yang ditulis perempuan. Berkaca juga dari pengalaman penghargaan Badan Bahasa, waktu itu ada satu kali yang tidak ada pemenang perempuannya sama sekali. Berkaca juga dari pengalaman sejarah kanonisasi sastra, kita tahu ada banyak penulis perempuan, tapi namanya tidak ada, tidak tercatat, dan kita baru sekarang mencatat kembali. Berkaca dari persoalan itu, masih ada marginalisasi, terutama terkait representasi, ketika pencatatannya. Makanya, hadiah untuk penulis perempuan, menurut saya perlu. Saya sudah ngomong dengan beberapa teman yang mungkin punya organisasi yang cocok melakukan itu. Di luar negeri ada banyak penghargaan sejenis itu. Lalu, kita juga perlu memperkuat hadiah-hadiah sastra yang sudah ada. Ada cara enggak untuk menghidupkan kembali Kusala Sastra Khatulistiwa? Dulu ada Habibie Award yang diberikan oleh Yayasan Habibie, sekarang diambil oleh BRIN, dengan hadiah yang lebih besar. Contoh semacam ini bagus.

Terus, menurut saya, yang diusahakan di Salihara, tapi susah payah banget, adalah Peta Sastra. Itu salah satu cara mengajarkan kesusastraan dengan cara yang gampang, untuk anak-anak, dengan cara yang lebih relate dengan kepentingan mereka, dengan cara yang memperlihatkan bahwa kesusastraan adalah bagian dari pergerakan pemikiran. Kalau yang kita pelajari di kelas, sepertinya sastra itu terpisah, dan sastra itu cuma puisi, cerpen, novel, yang tidak dikaitkan dengan konteksnya; dan bentuk lain seperti surat dan lainnya tidak dianggap sebagai kesusastraan, ini membuat suatu pemisahan. Akhirnya, sastra dipelajari terisolasi pada suatu ilmu tentang kesusastraan, yang mungkin enggak ada relevansinya buat orang umum. Tapi, begitu kamu memasukkan sastra sebagai bagian dari sejarah intelektual bangsa ini, maka dia jauh lebih punya relevansi daripada orang yang tidak spesialis.

Kalau mempelajari sastra secara terisolasi, kita akan terus bertanya: apa pentingnya? Terus, kita disuruh percaya bahwa buku-buku yang disebut guru-guru itu karya bagus. Saya waktu di sekolahan enggak bisa percaya bahwa Siti Nurbaya itu bagus. Kan, kita sudah enggak bisa baca, bahasanya kayak begitu, ya? Jadi, sebetulnya kita bisa mengajarkan bahwa buku itu penting sebagai perkembangan pemikiran kebangsaan kita, meski buku itu dalam konteks sekarang sudah tidak terasa bagus lagi. Kalau kita sebagai murid dipaksa percaya bahwa buku itu bagus sampai zaman sekarang, bagaimana kita percaya? Kalau kita tidak percaya pada apa yang kita pelajari, ya tidak masuk akal, kita jadi mempelajarinya karena kita harus lulus saja.

Buat anak modern, bahasa karya sastra saat itu sudah enggak nyambung sama sekali. Paling enggak, guru bisa mengajari ke kita bahwa buku itu penting. Coba sekarang guru bisa mengubah bahasanya ke bahasa sekarang, itu jauh lebih menarik, daripada mengatakan “ini karya hebat”. Anak-anak ini mau belajar sastra, tapi kan mereka tidak bisa dipaksa. Harus masuk akal, masuk dengan kacamata mereka.

Yang paling berat buat saya, kalau saya tidak percaya dengan apa yang saya pelajari, dan itu banyak sekali pelajaran yang saya tidak percaya gunanya, untuk apa aku pelajari? Sebenarnya kepentingan si guru adalah meyakinkan, “ini penting”.

 

ZEN

Kalau dalam konteks kepenulisan hari ini, cukup banyak bengkel penulisan yang Anda kerjakan, ada juga lokakarya penulisan yang diselenggarakan secara berkala. Terkadang penerbit membuat sejumlah kelas penulisan, atau ada penerbit yang mencari novel.

Artinya, secara ekosistem, kesusastraan ini bertumbuh. Media-media menyiarkan karya sastra meski dalam skala yang terbatas, Santarang, Bacapetra, Basabasi, Buruan. Situasi sekarang jauh lebih beragam. Tapi apakah pilihan menjadi penulis sastra pada masa ini masih masuk akal, atau harus dikaji ulang?

Kalau ada orang mau menjadi penulis sastra hari ini, dengan situasi seperti ini, apa yang harus mereka perbuat? Apa yang perlu seorang penulis baru lakukan, di tengah banyak sekali bengkel penulisan, ada banyak media yang menyiarkan karya-karya? Penulis baru, wanna-be, harus bersikap seperti apa—berkaca dengan pengalaman Anda dulu?

 

AYU

Mungkin, kalau pakai pengalaman saya, tentu sudah tidak relevan. Pada zaman saya, saya ke toko buku, enggak punya duit hari ini, datang tahun depan, bukunya masih ada. Sekarang, kan, buku hanya bertahan sebentar di toko. Jadi, pengalaman saya sudah tidak relevan.

Tapi, kalau saya ditanya tentang penulis yang ingin menjadi penulis hari ini, saya kira jalannya lebih banyak. Ada platform daring, ada kelas yang lebih banyak jumlahnya, sirkel yang lebih banyak, menerbitkan buku saat ini jauh lebih gampang. Jadi, sebetulnya jalannya banyak.

Cuma, mungkin, kalau kita punya pretensi buku kita akan dibaca pembaca seluruh Indonesia, saingannya jadi lebih banyak. Tapi, apakah seorang penulis pemula punya cita-cita semacam itu atau obsesi begitu? Sebenarnya boleh saja. Tapi sebagian dari mereka, saya kira, kenyataan bahwa satu buku masih terbit, itu karena kebutuhan orang untuk berekspresi. Ada kebutuhan penerbit untuk menerbitkan naskah. Ada kebutuhan pembaca untuk membaca. Secara ekosistem, ada kebutuhan itu.

Memang yang sekarang terasa kurang adalah kritik sastra. Bukan cuma kritik sastra, juga kritik seni rupa, dan kritik seni lainnya. Itu terasa kurang. Tapi apakah betul kurang? Saya masih bertanya juga soal ini. Kan, kita pantas meragukan apa yang kita percaya.

Dulu ada pusat-pusat, yang dipercaya orang banyak. Sekarang pusat-pusat itu runtuh, digantikan dengan channel YouTube. Semua orang bisa menjadi pusat. Dan tentu ada aturan main yang baru. Itu yang saya kira sekarang hilang. Tapi, kan, outlet untuk menulis sebetulnya banyak.

Kalau buat saya, terkait penulis pemula, ya biarkan saja mereka menulis. Sewaktu saya jadi penulis pemula, saya juga tidak banyak berpikir apa-apa. Punya dorongan bercerita saja, dan kebetulan berhasil. Mungkin kalau enggak berhasil, saya mengerjakan yang lain juga. Maksud saya, manusia punya dorongan untuk menulis. Di antara mereka yang menulis, ada beberapa yang berhasil. Yang berhasil, menurut pengalaman saya, akhirnya terjeblos ke kesusastraan. Itu saya kira suatu proses yang natural.

Yang penting, ada kebutuhan, dan lalu yang perlu diperkuat adalah lingkaran yang menyaring kebutuhan ini, untuk menjamin mutu kesusastraan kita, yang adalah mutu pemikiran kita, adalah mutu yang bagus. Penting adanya sistem yang membuat saringan ini. Jangan kita sebut sebagai gate keeper. Orang-orang sering menyebutnya secara sinis, gate keeper, seolah-olah gate keeper menghalangi mereka untuk maju atau mendapatkan hak yang layak.

Gate keeper sebetulnya, kan, berdebat, misalnya di Salihara atau di tengara.id, mencoba bertarung, mempertanggungjawabkan penilaian yang bagus. Kalau mereka tidak bisa masuk di satu wadah, mereka bisa pakai wadah yang lain. Sekarang ada banyak channel, tidak seperti dulu.

Jadi, masing-masing pusat yang kecil-kecil ini harus bertanggung jawab dengan standar mereka masing-masing. Kalau tidak cocok dengan standar tertentu, misalnya secara sederhana kalau kita punya hadiah untuk penulis perempuan, ya jelas penulis laki-laki tidak bisa masuk dalam kriteria, terus jangan bilang kita menghalangi hak. Jadi mungkin memang setiap pusat tidak usah mengklaim universalitas. Kita punya perspektif tertentu, jaga saja angle itu. Kalau tidak ada penulis yang masuk dalam angle atau saringan ini, ada saringan yang lain. Ini bukan pintu masuk tunggal yang segala-galanya. Jadi, menurut saya itu, yang penting dilakukan adalah untuk membangun pusat-pusat yang tidak pretensius mengatasnamakan yang universal, di sana dia menjaga mutu dari perspektif dan angle-nya.

 

ZEN

Saya mau minta Anda komentar, ini ada satu kalimat yang diucapkan dalam film Kawin Lari. Ibu itu diperankan oleh Tuti Indra Malaon. Bintangnya adalah Christine Hakim dan Slamet Rahardjo. Dia bilang kira-kira begini, “Menjadi penjahit yang baik lebih baik daripada menjadi penyair yang tidak berbakat.” Bagaimana Anda mengomentari ini?

 

AYU

Ha, ha, ha.

Kasihan.

Komentar saya, “Kasihan.”

Kalau bakat, kan, kita tidak bisa bicarakan. Kalau penjahit yang baik, kita bisa berusaha menjadi penjahit yang baik. Kalau penyair yang berbakat, bakat kan pemberian.

 

MICHELLIA

Jadi Anda tidak percaya adanya bakat, ya?

 

AYU

Saya percaya adanya bakat, dan bakat bukan atas usaha kita. Bakat di luar usaha kita. Kita diberi atau tidak diberi. Kalau untuk itu, saya selalu mengutip perumpamaan Yesus.

 

ZEN

Apa itu?

 

AYU

Itu perumpamaan yang selalu mengganggu aku sejak kecil.

Hal Tuhan: seperti orang yang memberikan talenta kepada budaknya.

Ya, kata talenta dari bakat itu karena ada perumpamaan ini. Talenta adalah mata uang yang berlaku ketika itu. Ada yang diberi satu, tiga, lima talenta. Si tuan mau jalan-jalan. Ini saya titipin satu, tiga, lima talenta masing-masing. Itu saja sudah mengganggu buatku. Kok, bisa memberi pemberian tidak sama jumlahnya? Yang lima talenta menggunakan talentanya, akhirnya bikin bisnis, jadi gede, yang tiga talenta juga. Sementara yang satu talenta ini melihat bahwa tuannya jahat, “Wah gue cuma dikasih satu talenta, gue pendam saja lah talentanya. Kalau nanti hilang, gue dihukum lagi.” Ketika tuannya pulang, kira-kira yang mengerjakan talentanya mendapatkan penghargaan, sementara yang tidak melakukan apa-apa dengan talentanya justru dihukum, karena tidak melakukan apa-apa dengan talentanya itu, menyimpan talentanya di tanah karena dia merasa diperlakukan tidak adil.

Ada banyak perumpamaan Yesus yang mengganggu buatku. Ini berbicara. Aku jadi lebih paham. Memang tidak adil. Alam ini tidak adil. Alam ini tidak memberi kita talenta yang sama. Tetapi sebetulnya ini soal cara pandang saja. Kalau kamu merasa talentamu cuma satu, kamu iri melihat yang tiga dan lima. Karena itu, jangan merasa kalau talenta cuma satu.

Maksud saya, bakat itu memang tidak sama. Ada orang yang bakatnya lebih dari kita.

 

Seksualitas adalah Menu Utama, Bukan Bumbu

Ayu mengaku bahwa selama ini dia jengah dengan komentar-komentar yang melulu membedah karyanya dari segi seksualitas semata, padahal ada banyak aspek yang juga ia tawarkan dalam novel-novelnya selain perkara seksualitas. Namun, di satu sisi, dia merasa bahwa dia tidak memiliki penolakan sama sekali pada hal-hal yang terkait dengan seksualitas, karena itu ia mencoba bereksperimen dan menyiapkan karya terbarunya yang padat dengan adegan seks di setiap babnya.

 

MICHELLIA

Apa saat ini Anda sedang mengerjakan karya terbaru, dan apakah karya Anda yang baru ini masih ada kaitannya dengan seri-seri ini? Adakah tokoh-tokoh yang belum dikembangkan?

 

AYU

Sebenarnya saya masih tetap ingin menjalankan seri Bilangan Fu. Ada yang saya kerjakan, cerita tentang Kalimantan. Agak terhambat sedikit. Ada beberapa hal yang menghambat.

Saya juga mengerjakan dua cerita lain. Yang saya ingin, sebetulnya saya ingin membuat cerita seks, yang isinya seks. Sepanjang cerita, dari awal sampai akhir, isinya seks semua. Selama ini, meski seksualitas adalah menu utama, saya selalu mengatakan saya tidak menulis pornografi dan erotisme, karena seks dalam karya-karya saya itu adalah bagian dari problem. Tapi saya jadi merasa bersalah juga dengan pernyataan itu, memang kenapa kalau menulis erotisme atau pornografi? Jadi, saya mau coba menulis novel yang isinya melulu seks. Di setiap bab, berisi adegan seks terus. Saya sedang mencoba menyelesaikan itu.

Ha, ha, ha. Maksud saya, ada teman saya yang kalau baca buku cerita seks, hanya cari yang ada adegan seksnya. Saya ingin coba menulis yang seluruh babnya full seks. Setiap bab isinya adegan seks. Semoga tahun depan bisa terbit.

 

ZEN

Menegangkan.

 

MICHELLIA

Last Tango in Jakarta

 

AYU

Bisa saja karya seperti itu malah jadi tidak erotis, karena isinya adegan seks semua dari awal sampai akhir. Dari awal sudah seks.

 

MICHELLIA

Jadi pertanyaannya, apakah cerita seks semacam itu justru jadi membosankan atau tidak, ya?

 

AYU

Ya, karena itu saya mau bereksperimen dengan itu. Bagaimana kita mengelola sebuah cerita yang setiap babnya mengandung adegan seks?

 

MICHELLIA

Menarik, akan kami tunggu.

 

AYU

Ini sebagai permintaan maaf bagi diri saya sendiri, karena selama ini saya menolak diri saya dianggap menulis erotisme dan pornografi. Jadi, ya, saya enggak merasa dua hal itu salah, lalu kenapa saya tidak mencoba menulisnya?

 

ZEN

Menulis erotisme dengan serius, ya.

 

AYU

Akhirnya, kan, kita jadi tidak tahu, apakah jadinya terasa pornografi atau erotis? Isinya adegan seks, tapi jangan-jangan erotis enggak, porno juga enggak.

 

MICHELLIA

Tapi itu jadi mengingatkan saya pada satu pertanyaan yang luput saya tanyakan sejak tadi. Pada masa-masa kemunculan Anda di gelanggang sastra, berbarengan dengan banyak julukan yang disandangkan kepada para perempuan penulis waktu itu. Terutama, para penulis setelah Anda. Apa pendapat Anda mengenai itu? Apa yang Anda petik dari pengalaman itu?

 

AYU

Istilah apa? Sastra Wangi, Gerakan Syahwat Merdeka? Apa saja, sih, sebutannya?

 

MICHELLIA

Sastra lendir.

 

AYU

Saya kira sastra lendir tidak cuma untuk perempuan, termasuk Moammar Emka.

 

ZEN

Ya, di masa setelah Saman itu, ada Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu, Henny Purnama Sari.

 

MICHELLIA

Kesannya, sekarang sudah kayak angin lalu saja, ya? Label-label itu enggak terlalu signifikan untuk hari ini? Apakah perempuan masa itu memang perlu dijuluki begitu?

 

AYU

Kalau saya mencoba menganalisis atau melihat ke belakang, sekarang kita bisa melihat sedikit ke belakang. Memang, kata penerbit saya, Saman menghidupkan kembali kesusastraan Indonesia, karena pada masa itu penerbit tidak menerbitkan novel-novel Indonesia. Mereka menerbitkan novel-novel terjemahan karena karya-karya lokal tidak laku, lesu. Tiba-tiba muncul Saman. Saya kira bukan karena Saman per se. Tapi, Saman itu membawakan suara zaman.

Penerbit saya bercerita, itu pertama kalinya mereka mengalami. Biasanya mereka datang ke toko buku, menawarkan buku. Ini pertama kalinya toko buku datang ke mereka untuk mengambil buku, karena permintaan yang tinggi.

Setelah itu, mereka melihat potensi, dan mereka memang mencari novel-novel yang ditulis perempuan, bercerita tentang seksualitas. Sehabis itu, diikuti juga oleh novel-novel LGBT. Tapi, sebelum itu, topik perempuan yang bicara seks memang dicari oleh penerbit. Jadi, kalau kemudian di pasar muncul buku-buku oleh penulis perempuan mengenai seks, sebagian yang perlu ditanyakan memang penerbit. Karena memang mereka yang lantas mencarinya ketika itu.

 

ZEN

Saya ingat, setelah Ayu muncul, di DKJ tahun 2003 ada sayembara menulis lagi, yang pemenangnya Ratih Kumala, Dewi Sartika dan Abidah El-Khalieqy. Dua ini adalah penulis yang hari ini masih dibicarakan. Dalam sebuah diskusi di DKJ, Sapardi Djoko Damono, kalau tidak salah, pernah bilang begini, “Masa depan sastra Indonesia ada di tangan penulis perempuan.” Karena, istilahnya, ada semacam booming setelah Saman. Penulis-penulis perempuan yang muncul di sayembara novel DKJ, kemudian berkembang, kemudian ada unsur yang tadi disebut Michellia, ada Dinar Rahayu, Djenar Maesa Ayu, yang menulis kurang-lebih wilayah perempuan membicarakan seksualitas dan tubuhnya secara terus terang dan berani. Itu tidak dikerjakan sebelum era Saman. Kurang lebih dudukan saat itu begitu, muncul novel-novel demikian.

 

AYU

Itulah, saya kira, istilah sastra wangi, gerakan syahwat merdeka, semua itu tanggapan. Mungkin sebagian orang merasa tidak nyaman dengan isu-isu yang digarap. Dan saya kira masuk akal juga kalau mereka tidak nyaman. Saman bercerita tentang banyak hal, bukan hanya soal seks, tapi sebagian orang hanya mengingatnya dari perkara seksnya saja. Memang ada kalangan pembaca yang hanya melihat unsur seksualitasnya saja, dan ekses-ekses ini yang membuat orang-orang yang agak konservatif merasa sebal. Itu dinamika yang menurut saya biasa terjadi.

Pada masa itu, Reformasi, kita melihat euforia kebebasan, juga dalam hal seksualitas. Ada yang bagus. Yang bagus, kita jadi lebih terbuka. Tapi juga ada yang jelek, muncul banyak tabloid, tabloid Lipstik dan segala macam itu, yang norak sekali, di jalan-jalan. Noraknya minta ampun lah. Isinya gambar-gambar nyaris telanjang. Dan itu tidak terkontrol, karena sudah tidak ada SIUPP. Acara malam di teve juga, norak sekali. Sangat mengumbar erotisme. Meski nanti subuhnya salat dan acara keagamaan, di tengah malam ada acara yang mengumbar erotisme. Jadi, memang ada periode itu, di mana KPI belum galak. Jadi, kalau ada orang yang jengah dengan over sexuality, itu masuk akal saja buat saya.

 

ZEN

Masa itu ada juga, misalnya, upaya Horison menghadirkan Eliza Vitri Handayani. Novelnya diluncurkan di Teater Utan Kayu. Area X, digadang-gadang sebagai suatu suara lain dari penulis perempuan era 2000-an, karena tidak bicara seks. Novel ini mengandung aspek-aspek yang mau dikonfrontasikan dengan apa yang sebelumnya ada pada Saman dan generasinya.

 

AYU

Menurut saya, Taufiq Ismail fair dengan caranya. Dia mungkin jengah dengan over sexuality di dalam kesusastraan. Tapi, kan, dia kemudian menawarkan sesuatu. Horison waktu itu punya program masuk sekolah, Sastrawan Bicara Siswa Bertanya. Di dalam program itu, di SMA Taruna Nusantara, dia menemukan Eliza yang berbakat ini. Dalam hal ini, Taufik menawarkan jalan yang bagus. Alih-alih kritik saja, dia menawarkan tokoh yang baru, Eliza. Dia juga meluncurkan karya itu di sini, di Utan Kayu.

 

ZEN

Horison waktu itu juga sampai membuat kanonisasi yang judulnya Dari Fanzuri ke Handayani. Jadi, awal sastra Indonesia adalah Hamzah Fansuri dan ujungnya saat itu adalah Eliza Vitri Handayani.

 

AYU

Kalau sekarang saya melihat ke belakang, itu dinamika yang cukup sehat. Lucu, tapi okelah.

Bagaimanapun, itu bagus.

 

ZEN dan MICHELLIA

Baik. Jadi cukup di sini. Terima kasih banyak untuk obrolan ini.

Percakapan27 September 2023

tengara.id


tengara.id adalah upaya strategis untuk meningkatkan kualitas karya sastra Indonesia melalui pembacaan, pembedahan, dan penilaian yang dilakukan dengan landasan argumen dan teori yang bermutu.