Sains di Balik Fiksi, Fiksi di Balik Sains
Menyambut Edisi Khusus Sastra/Sains

Ilustrasi: Nadya Noor

Pada 30 November 2022 lalu lembaga riset OpenAI merilis mesin percakapan (chat bot) bernama ChatGPT yang dalam waktu kurang dari seminggu telah berinteraksi dengan lebih dari satu juta pengguna dengan berbagai latar belakang, mulai dari para peneliti AI yang penasaran dengan kode di balik ChatGPT, seniman yang meminta dibuatkan uraian pengantar karya, sampai para siswa yang menanyakan jawaban dari tugas sekolah mereka. Kecerdasan buatan ini mampu memberikan jawaban yang terkesan alamiah sehingga para pengguna merasa seperti bercakap-cakap dengan manusia. Ia bahkan bisa diminta mencipta puisi, mengarang cerpen dan berdiskusi tentang hakikat kritik sastra. Dengan itu pembicaraan mengenai kemungkinan sastra dikerjakan oleh AI kembali mengemuka: mungkinkah ada suatu kesusastraan yang dikerjakan oleh entitas teknologis yang tidak memiliki suatu jeroan yang biasa disebut sebagai “jiwa”?

Ini bukan kali pertama OpenAI memantik pertanyaan sulit tentang kerja artistik. Pada 2021, lembaga riset itu merilis DALL-E (yang pada 2022 diperbarui menjadi DALL-E 2) sebagai sebuah kecerdasan buatan yang dapat menghasilkan lukisan berdasarkan perintah tertulis dari pengguna yang dirumuskan dalam bahasa sehari-hari. Sebelumnya, pada 2019, OpenAI juga merilis MuseNet yang dapat menghasilkan komposisi musikal sepanjang empat menit dengan sepuluh jenis pilihan instrumen dan memadukan sejumlah gaya yang dipilih pengguna.

Jika MuseNet membuat kita bertanya tentang makna musik di hadapan sains-teknologi sebagaimana DALL-E terhadap makna lukisan, maka ChatGPT mendorong kita bertanya tentang harkat dan martabat sastra di hadapan mesin. ChatGPT membuka kemungkinan baru dalam memandang masa depan yang boleh jadi lain dari apa yang kita bayangkan selama ini: sebuah masa depan ketika sastra diapresiasi dengan penuh perasaan sekalipun dihasilkan oleh mesin-mesin tidak berperasaan.

Memang betul bahwa mutu karya belum menjadi isu utama dalam ChatGPT versi sekarang. Ketika kami mencoba meminta ChatGPT menulis kalimat pembuka dari sebuah novel bergaya Marcel Proust tentang Indonesia, sedetik kemudian sang AI memberikan jawaban yang di sini diterjemahkan sebagai berikut: “Ketika aku melangkah menyusuri jalanan padat Jakarta, dengan aroma rempah dan dupa melayang di udara, tiba-tiba aku diliputi oleh gelombang nostalgia akan masa kecilku yang dihabiskan di hutan tropis Sumatra yang rimbun.” Bagi para pembaca In Search of Lost Time, kalimat pembuka karangan sang AI jelas mengambil bagian paling terkenal dari novel Proust, yakni episode tentang kue madeleine yang menggambarkan ingatan tidak disengaja. Dengan kata lain, ChatGPT cenderung mengambil yang paling klise dari gaya suatu sastrawan dan menerapkannya mentah-mentah untuk “mencipta” (jika memang bisa disebut demikian) kalimat pembuka tersebut.

Demikian pula ketika ia diminta menulis fiksi pascakolonial tentang sejarah spekulatif sastra Indonesia: sang AI menggunakan kelaziman dari genre fantasi untuk menggambarkan, misalnya, Pramoedya Ananta Toer sebagai “penyihir yang secara ajaib menyalurkan perjuangan rakyat Indonesia ke dalam tulisan”, Goenawan Mohamad sebagai “seorang petualang waktu yang mengambil cerita dan ide-ide dari berbagai zaman dan menjadikannya bahan untuk mendidik pembaca” dan Laksmi Pamuntjak sebagai “sesosok makhluk purba dan bijaksana [a wise and ancient being] yang dapat membuat ceritanya menjadi kenyataan hanya dengan mengucapkannya keras-keras.” ChatGPT, dengan demikian, secara vulgar menggunakan ciri-ciri lazim dari sebuah genre sastrawi dan menerapkannya begitu saja. Itulah sebabnya puisi-puisi yang dihasilkannya juga terasa begitu banal: semacam kumpulan kalimat perumpamaan yang dipotong-potong ke dalam larik dan bait tanpa mengindahkan efek puitik sama sekali.

Akan tetapi, terlepas dari mutu karya yang dihasilkan, ChatGPT setidaknya memaksa kita mengajukan pertanyaan yang semakin urgen hari-hari ini: apakah hubungan antara sastra dan sains-teknologi? Pada era ketika sains dan teknologi seperti menyentuh seluruh aspek hidup, masih adakah ruang sastrawi yang tidak terjamah oleh mesin? Ataukah justru dikotomi antara sastra dan seni, di satu sisi, serta sains dan teknologi, di sisi lain, adalah dikotomi yang keliru? Bukankah ada sejenis sains dalam laku kesusastraan (hukum-hukum prosodi dalam puisi, misalnya) dan semacam imajinasi artistik yang membimbing perkembangan sains (pertimbangan tentang keindahan dan proporsionalitas sebuah teori ilmiah, misalnya)? Jadi, bagaimana semestinya kita menempatkan relasi sastra dengan sains dan teknologi?

Barangkali salah satu jawaban yang paling mudah diberikan adalah dengan menunjuk salah satu genre sastra yang mengolah bahan-bahan keilmuan, yakni fiksi sains (science fiction). Mendengar genre sastra ini segera menerbitkan dalam benak kita imaji tentang pesawat luar angkasa yang ditelan cacing raksasa di samudra pasir Arrakis, tentang upaya sekelompok astronot meneliti planet Solaris dan menemukan diri mereka dipermainkan oleh sang planet yang ternyata berkesadaran, atau tentang sebuah superkomputer yang setelah berpikir selama 7,5 juta tahun berhasil menemukan bahwa jawaban terhadap pertanyaan tentang makna hidup, alam semesta dan segala sesuatu ternyata adalah “42”.

Fiksi sains—sebelum ini di Indonesia kerap disebut “fiksi ilmiah”—memperlihatkan pergulatan yang amat intens antara nalar sastrawi dan nalar ilmiah. Di satu sisi, karya yang ditulis dalam genre ini harus dapat menghadirkan imajinasi menyeluruh atas sebuah semesta fiksional, lengkap dengan seluruh detailnya, agar ceritanya tampak meyakinkan. Untuk itu, penulis harus menjalankan sebuah proyek raksasa yang disebut peneliti sci-fi Mark J.P. Wolf sebagai “reka-dunia” (world-building), suatu pembayangan yang nyaris total tentang sebuah dunia hingga komposisi atmosfer dan hukum-hukum fisika yang berlaku di dalamnya. Di sisi lain, karya itu juga harus masuk akal (sehingga dalam arti tertentu serupa dengan dunia aktual) agar pembaca dapat membayangkan diri berada di dalamnya. Untuk itu, sang penulis mesti membangun jembatan naratif yang membuat pembaca dapat menavigasikan diri dalam semesta rekaan itu tanpa harus setiap kali berhenti untuk memikirkan hukum-hukum fisika alternatif yang berlaku di sana. Racikan yang pas antara kemenyeluruhan dan kemasuk-akalan ini hanya mungkin dihasilkan melalui ketukangan sastrawi yang mumpuni sekaligus wawasan keilmuan yang mendalam. Racikan itu, dengan kata lain, adalah racikan antara nalar sastra dan nalar sains.

Fiksi sains bukan hanya memperlihatkan tegangan yang pelik antara sastra dan sains, melainkan juga antara berbagai versi sastra dan berbagai versi sains. Hal ini semakin mengemuka ketika kita meninjaunya dari sudut pandang sastra-dunia, khususnya jika kita mencermati aneka pengertian yang berbeda mengenai sastra dan sains di negeri-negeri bekas jajahan—yang secara peyoratif disebut sebagai “Dunia Ketiga”. Di sini, dapat ditemukan irisan lain dalam relasi sastra dan sains, sebuah irisan pascakolonial.

Pengertian “science” dalam “science fiction” cenderung mengandung bias Barat: sains yang digunakan sebagai dasar pijakan adalah sains modern Barat di masa yang akan datang. Dunia yang dibayangkan oleh Philip K. Dick dalam Do Androids Dream of Electric Sheep?, misalnya, adalah San Fransisco masa depan, atau dengan kata lain, sains modern yang dimajukan lagi. Penelitian terkini tentang perkembangan fiksi sains di negeri bekas jajahan, seperti di India sebagaimana dikaji Suparno Banerjee (Indian Science Fiction: Patterns, History and Hybridity; 2020), memperlihatkan kaitan erat antara perkembangan fiksi sains dan benturan epistemik yang tercermin dalam terjemahan science fiction dalam bahasa Bangla (kalpabigyaner golpo yang berarti “kisah-kisah tentang sains imajiner”) dan bahasa Hindi (vijnana katha yang berarti “kisah tentang kesadaran” atau “cerita spekulatif”). Dengan menerjemahkan fiksi sains menjadi “kisah tentang sains imajiner” atau bahkan kategori yang lebih umum seperti “cerita spekulatif”, kesusastraan India meleburkan batas antara genre fiksi sains, fantasi dan cerita rakyat yang dalam taksonomi genre di Barat dibedakan dengan jelas. Peleburan batas ini mengindikasikan suatu kesadaran menarik, yakni bahwa cara kita menggolongkan sebuah karya sebagai fiksi sains bertopang pada prasangka kita dalam memilah sains dari bukan sains, atau sistem pengetahuan Barat dan sistem pengetahuan non-Barat: seakan-akan jika berbasis yang pertama maka akan disebut fiksi sains, sedangkan jika berbasis yang kedua akan disebut fantasi atau cerita rakyat.

Seperti dicatat oleh Roy Ellen dan Holly Haris dalam Indigenous Environmental Knowledge and its Transformations (2005), sains modern sendiri kerap diperoleh dari apropriasi atas sains vernakular negeri-negeri jajahan, misalnya kasus Rumphius di Hindia Belanda yang sumbangsihnya bagi ilmu botani berutang dari para pengolah ramuan tradisional di Ambon. Dengan menyadari hal tersebut, agaknya sulit pula memagari fiksi sains sebagai fiksi yang dirancang berdasarkan imajinasi sains Barat; persis karena “sains Barat” itu sendiri tidak datang sepenuhnya dari Barat. Dengan penalaran yang sama, kita dapat pula mencurigai kesimpulan Rachel Haywood Ferreira dalam The Emergence of Latin American Science Fiction (2011) bahwa fiksi sains Amerika Latin cenderung lebih “lunak” dibandingkan fiksi sains Amerika Utara atau Eropa yang berbasis hard sciences. Membedakan fiksi sains dari negeri bekas penjajah dan fiksi sains dari negeri bekas jajahan melalui pembedaan antara hard sciences yang bercorak objektif-universal dan soft sciences yang bercorak subjektif-partikular hanya akan memperkuat asumsi Eurosentris mengenai fiksi sains.

Warisan pascakolonial dalam perkembangan genre fiksi sains di Indonesia tercermin dalam salah satu karya fiksi sains pertama di Indonesia adalah Terlontar ke Masa Silam (Pustaka Jaya, 1971) karya Djokolelono. Novel ini mengisahkan perjalanan Dwiyana, seorang mahasiswa Arkeologi Universitas Brawijaya yang terlontar ke Singasari abad ke-13 setelah menggunakan sebuah helm misterius yang dibawa dua peneliti dari Amerika Serikat. Dalam ide cerita ini terkandung tegangan yang segera terbaca sebagai tegangan epistemik yang menarik: seorang pemuda di negeri bekas jajahan mempelajari ilmu arkeologi dari Barat dan menggunakan “helm” Amerika untuk kembali ke masa lalu bangsanya sendiri. Segudang pertanyaan segera menyarankan dirinya: apakah fiksi sains Indonesia dapat dibaca sebagai simtom dari politik pengetahuan kolonial yang mewariskan sebuah masa lalu yang hanya bisa diakses melalui sebuah sistem pengetahuan Eropa bernama “sains”? Dapatkah perkembangan fiksi sains di Indonesia dibaca sebagai alegori dari formasi kebangsaan yang ditandai oleh separasi tajam antara sains modern dari sains vernakular? Problem ini juga menghantui perkembangan fiksi sains di Indonesia sesudah Djokolelono.

Uraian sejauh ini memperlihatkan bahwa kita tidak mungkin memastikan definisi fiksi sains tanpa menetapkan demarkasi antara sains dan bukan-sains, antara sains modern dan sains vernakular, dan akhirnya antara negeri bekas penjajah dan negeri bekas jajahan. Namun, terdapat sebuah isu lain tentang relasi antara sastra dan sains-teknologi yang lebih luas dari fiksi sains, yakni mengenai dampak perkembangan sains dan teknologi terhadap medium sastra itu sendiri. Hal ini penting untuk dibahas karena pembaruan medium niscaya mendorong terciptanya teknologi pengisahan yang baru.

Revolusi teknologi digital telah mendorong transformasi dalam teknologi antarmuka (interface) yang mempertemukan penulis dan pembaca. Para penulis dalam pengertian konvensional bekerja dalam medium buku fisik yang secara sangat spesifik membentuk cara pembaca dalam berelasi dengan teks. Di situ mengemuka hukum umum dari setiap aktivitas pembacaan: membaca dalam urutan waktu, satu kalimat demi satu kalimat, kata per kata. Narasi sastra, yang boleh jadi merupakan sebuah lukisan, menjadi sebuah urut-urutan peristiwa dalam waktu; sastra dipaksa menjadi sejarah dan bukan seni lukis yang mengutamakan keserempakan. Namun, perkembangan teknologi memungkinkan cara-cara lain dalam berantarmuka (interfacing) dengan teks: membaca sekaligus mendengar bunyi, melihat pola visual di layar digital atau bahkan memainkan sebuah cerita (seperti dalam sastra yang disajikan dalam medium video game).

Pengalaman pembacaan yang ditopang oleh teknologi digital ini membongkar aneka keterbatasan dan konsepsi lama mengenai hakikat sastra. Dengan demikian, muncul pertanyaan: apakah sastra pada dasarnya merupakan sebuah buku ataukah sebuah semesta multimodal yang mendorong pembaca bertransformasi menjadi agen sinestesia (pembaca, pendengar, pelihat sekaligus pemain) dalam mendekati sebuah “teks”?

Fiksi interaktif adalah salah satu ilustrasi paling terang dari peleburan batas antara sastra dan gim video. Colossal Cave (1976) yang berkisah tentang pencarian harta karun ajaib di sebuah gua penuh makhluk mitologis adalah fiksi interaktif atau “petualangan teks” (text adventure) paling awal. Dalam peranti lunak itu, pemain/pembaca membaca deskripsi keadaan dan merespons dengan mengetikkan perintah tertentu sehingga cerita berjalan sesuai dengan pilihan sang pemain/pembaca. Jika cerita berlatar fantasi semacam itu terasa kurang “sastra” bagi sebagian pembaca, kita dapat membandingkannya dengan novela elektronik seperti These Waves of Girls (2001) yang meraih penghargaan fiksi terbaik dari Electronic Literature Organization. Karya sastra elektronik ini melibatkan tema-tema berat seperti memori, seksualitas dan identitas queer yang dituturkan dalam sebuah semesta hipermedia yang di dalamnya pembaca dapat memilih aneka jalan cerita dan masuk ke setiap perincian cerita secara non-linear. Di situ, laku pembacaan bukanlah sebuah pergerakan maju dari titik mula naratif ke titik akhirnya, melainkan pergerakan menyamping dari alur cerita utama ke aneka perincian cerita. Sekalipun These Waves of Girls melibatkan tema-tema sastra serius dan dituliskan dengan pencanggihan-pencanggihan naratif, wahananya tetaplah sama dengan gim video pertualangan teks seperti Colossal Cave.

Dalam wahana baru itu, kerja kesusastraan menjadi lebih pelik. Apa yang bekerja dalam fiksi interaktif bukan hanya pengisahan (storytelling) melalui kata dengan satu cara berantarmuka (yakni membaca secara berurutan), melainkan juga keserempakan antara kata, citra dan suara serta keragaman cara berantarmuka yang dalam video game studies kerap disebut sebagai gameplay atau cara suatu narasi dimainkan.

Dalam genre tertentu seperti role-playing games (RPG), unsur permainan-peran itu menjadi sangat utama: pembaca/pemain dapat menjalankan kustomisasi terhadap kepribadian dan penampilannya serta menentukan nasib dari semesta rekaan melalui pilihan-pilihannya. Gim semacam itu biasanya juga memiliki akhir majemuk (multiple endings), sebagian seperti Star Ocean: Second Evolution (2008) bahkan memiliki seratus variasi akhir yang berbeda sebagai konsekuensi dari pilihan-pilihan kita sepanjang permainan. Selain itu, secara naratologis, sastra dalam wahana gim video juga menghadirkan kemungkinan fokalisasi yang lebih luas, yakni ketika sebuah dunia dapat dihadirkan tanpa narasi, misalnya dengan cara divisualkan tanpa diceritakan sama sekali oleh narator mana pun (suatu kemungkinan yang tertutup dalam sastra konvensional karena di sana setiap deskripsi harus diartikulasikan dari dalam narasi, baik itu narator sudut-pandang orang pertama, kedua, ketiga atau narator mahatahu). Kekayaan naratif ini masih ditambah lagi dengan keragaman cara pembaca/pemain menubuhkan pengalamannya menyelami cerita, misalnya melalui baju haptik yang memungkinkan umpan balik yang bersifat fisik terhadap tubuh pemain. Apa yang mengemuka di sini adalah suatu kesusastraan yang dialami oleh setiap pori-pori tubuh kita.

Pengayaan yang timbul dari perluasan wahana sastra sebagai dampak teknologi digital itu juga mendorong perluasan dalam kriteria estetis. Keindahan dan kesubliman boleh jadi tidak memadai untuk menggambarkan pengalaman yang timbul dari sastra yang dialami dalam wahana baru ini. Imersi atau ketenggelaman pembaca/pemain dalam semesta rekaan dewasa ini semakin menjadi salah satu kriteria estetik yang penting: sejauh mana pembaca/pemain terserap ke dalam semesta tersebut dan mulai melupakan batas antara dunia-dalam-wahana dan dunia-luar-wahana. Seperti halnya keindahan, imersi juga hanya dapat dihadirkan lewat keperajinan: tidak terutama dalam memanfaatkan teknologi visualisasi yang canggih, tetapi dalam menciptakan sebuah gameplay yang begitu adiktif dan menyedot seluruh perhatian pemain/pembaca.

 

 

Aneka perkembangan baru dalam teknologi pengisahan ini menunjukkan pula bahwa di era ChatGPT masih ada segudang persoalan elementer yang belum terpecahkan berkenaan dengan hubungan antara sastra dan sains. Termasuk, apakah sastra yang ditulis manusia sastrawan akan tergantikan oleh karya sastra yang ditulis oleh mesin berbasis algoritme digital? Bagaimana tegangan filosofis antara ilmu dan keindahan terkait karya-karya sastra di era ChatGPT ini?

Untuk menjelajahi aneka segi pelik itulah tengara.id menurunkan lima esai, sebuah timbangan buku dan sebuah wawancara dalam edisi “Sastra/Sains”.

Esai Ronny Agustinus, “Dari Nic-Nac sampai Exerión: Fiksi Sains di Amerika Latin,” adalah tinjauan komprehensif tentang perkembangan genre fiksi sains di Amerika Latin. Ia berangkat dari penulis Argentina dari abad ke-19, Eduardo Holmberg, yang memadukan unsur ilmu-ilmu okult dan spekulasi sains, suatu percampuran antara sains dan bukan-sains yang juga menandai banyak karya fiksi sains Amerika Latin selanjutnya. Ronny juga mencermati bagaimana imajinasi tentang utopia, situasi masyarakat jajahan dan Marxisme turut memengaruhi perkembangan genre fiksi sains di benua tersebut.

Esai Sandy Maulana, “Fiksi Sains Indonesia: Istilah, Sejarah, Tonggak,” menghadirkan penelusuran historis atas permulaan dan perkembangan genre fiksi sains di Indonesia. Dengan berangkat dari komik R.A. Kosasih, novel Djokolelono hingga novel Area X karya Eliza Vitri Handayani Sandy menunjukkan bekerjanya suatu strategi naratif pascakolonial dalam fiksi sains di Indonesia yang begitu banyak memanfaatkan elemen folklor Nusantara. Fiksi sains di Indonesia juga menjalani semacam bias penyebaran sains Barat di negara-negara bekas jajahan, semacam pascakolonialitas dalam fiksi sains. Ia juga mengkritik penerjemahan science fiction menjadi “fiksi ilmiah” karena terjemahan itu membebani fiksi dengan amanat untuk menjadi ilmiah dan didaktik.

Esai Ng Yi-Sheng, seorang penulis Singapura, berjudul “Manifesto Spicepunk: Menuju Gerakan Kritis untuk Fiksi Ilmiah dan Fantasi (SFF) Berbasis Warisan Asia Tenggara”, diterjemahkan dengan baik oleh Asri Pratiwi Wulandari ke dalam Bahasa Indonesia. Tulisan Yi-Sheng ini membahas perkembangan genre fiksi sains di Asia Tenggara, khususnya sub-genre spicepunk, suatu usulan yang dicetuskan oleh Yi-Sheng, yang memanfaatkan kekayaan narasi tentang rempah-rempah sebagai keunikan budaya Asia Tenggara dan menjadikannya modal untuk membangun semesta rekaan.

Esai Sabda Armandio berjudul “Hari ketika Sastra dan Video Game Tidak Lagi Dipertentangkan” memperluas topik pembicaraan kita dengan merambah ke persoalan wahana sastra di era teknologi digital. Dio mengisahkan pengalamannya pertama kali bertemu dengan gim video dan bagaimana wahana tersebut memengaruhi imajinasi sastrawinya. Esai ini memperlihatkan potensi gim video sebagai wahana sastra yang membawa masuk dimensi interaksi pembaca sehingga membuat semesta fiksional di dalamnya menjadi lebih imersif. Dio memperlihatkan bahwa kriteria-kriteria konvensional dalam menilai sastra mesti diperbarui dalam terang media baru, antara lain dengan memperluas kriteria estetik untuk mencakup juga unsur gameplay atau cara sebuah cerita dapat dimain-perankan.

Esai Sunlie Thomas Alexander berjudul “Memeriksa Kembali Max Havelaar adalah esai panjang dan tidak terkait tematik nomor ini yang menimbang kembali novel karya Multatuli tersebut. Jika selama ini Max Havelaar digadang-gadang sebagai novel yang membunuh kolonialisme Belanda di Hindia Belanda, esai ini juga justru membantahnya. Penulis, seraya bersetuju dengan sejumlah pendapat terdahulu, mengajukan fakta-fakta lain dari biografi pengarangnya untuk menggugurkan penggadang-gadangan tersebut. Penulis menyigi bukan hanya ciri-ciri formalistik Max Havelaar yang berkategori metafiksi, tetapi juga memeriksa fakta-fakta biografis pengarangnya yang membuat novel ini hanyalah alat untuk pembelaan dan pendukung nafsu kuasa pengarangnya.

Selain kelima esai tersebut, edisi ini juga memuat tinjauan buku pada rubrik Marginalia. Di sana Galeh Pramudianto menulis tentang rangkaian cerpen Indonesia 2038 yang diterbitkan oleh vice.com pada 2018. Tiga belas cerpen yang diterbitkan dalam kanal tersebut dibaca sebagai representasi dari perkembangan terkini fiksi ilmiah di Indonesia. Sekalipun mengandung unsur spekulasi sains masa depan, cerpen-cerpen itu menggarap isu-isu masa kini seperti banjir di Jakarta, korupsi di pemerintahan, fanatisme agama, serta situasi hidup antroposen hari ini. Perpaduan antara fiksi tentang masa depan, wawasan keilmuan dan keperihatinan atas keadaan dunia hari ini menyediakan pintu masuk untuk refleksi tentang beragam hal mengenai potensi fiksi ilmiah sebagai sebuah genre, khususnya di Indonesia.

Terakhir, edisi ini juga dilengkapi dengan sebuah wawancara dengan Karlina Supelli, seorang kosmolog sekaligus pengajar filsafat, yang mengupas aneka segi relasi antara sastra dan sains. Wawancara ini membongkar asal-usul pertentangan antara sastra dan sains sebagai gejala yang relatif baru, yakni terjadi sejak era Romantik dan mencapai bentuk kanoniknya pada abad ke-20. Karlina juga menanggapi perkembangan teknologi terkini seperti ChatGPT dalam relasinya dengan masa depan sastra. Ia menunjukkan secara meyakinkan bahwa sastra selalu punya kedudukan yang tak-tergantikan bahkan di zaman ketika hampir seluruh segi kehidupan digerakkan oleh algoritme digital.

Pembaca yang budiman, selamat membaca!

Editorial31 Desember 2022

tengara.id


tengara.id adalah upaya strategis untuk meningkatkan kualitas karya sastra Indonesia melalui pembacaan, pembedahan, dan penilaian yang dilakukan dengan landasan argumen dan teori yang bermutu.