Dari Nic-Nac sampai Exerión
Fiksi Sains di Amerika Latin

Ilustrasi: Nadya Noor
Siapakah yang akan, di suatu masa depan yang tak jauh,
menjadi Kolumbus atas planet lain?
Siapakah yang akan, dengan mesin perkasa,
mengarungi samudra
dari eter
dan menggandeng tangan kita
ke tempat yang baru bisa didatangi
oleh mimpi-mimpi berani sang penyair?
— Amado Nervo, “Perjalanan Akbar” (1917)[1]

 

Pendahuluan

Para peneliti umumnya sepakat bahwa fiksi sains—sebagai sebuah genre—bermula dari majalah-majalah pulp fiction (roman picisan) yang mencapai popularitasnya yang luar biasa di Amerika Serikat pada 1920-an. Pemadanan istilah “pulp” dan “picisan” di sini memang berisiko karena mengandung konotasi penilaian atas kualitas karya yang terbit di majalah-majalah itu (picisan, murahan, dan dengan demikian: jelek). Padahal, istilah tersebut sesungguhnya dipakai untuk menandai bahwa majalah-majalah itu memang berharga “sepicis” (baca: sangat murah) karena dicetak di atas kertas berbahan dasar bubur kayu (pulp). Popularitasnya ditunjang terutama oleh harganya yang sangat terjangkau orang banyak serta cerita-ceritanya yang ada untuk semua kalangan (ada pulp fiction khusus cerita detektif, roman percintaan, dll).

Dari popularitas majalah-majalah ini, Hugo Gernsback mendirikan majalah Amazing Stories pada 1926 dan Science Wonder Stories pada 1929. Di sini ia menghimpun para penulis dan penggemar cerita-cerita dari jenis yang nantinya disebut sebagai “science fiction”—istilah yang ia cetuskan pada 1929.[2] Gernsback sendiri memang berkecimpung di bidang elektronika yang mengalami perkembangan pesat pada masa-masa itu dan ikut mendirikan majalah-majalah sains (sungguhan) seperti Modern Electrics, The Electrical Experimenter, dan Radio News.

Terlepas dari reputasinya yang buruk dalam menjalankan bisnis majalah—ia konon kerap membayar rendah para penulisnya atau tidak membayar mereka sama sekali—Hugo Gernsback tetap dianggap pionir karena telah membuka ruang bagi penulis dan penggemar cerita-cerita sejenis untuk membicarakan perkembangan genre ini dan perkembangan teknologi secara umum, sehingga namanya kini diabadikan sebagai nama penghargaan untuk genre ini, Hugo Award.

Ada dua ciri yang bisa kita lihat dari istilah “fiksi sains” ini. Pertama, ia adalah istilah yang diberlakukan secara retrospektif; dalam arti: ia kini dipakai untuk menyebut atau menggolongkan juga karya-karya yang muncul sebelum istilah itu sendiri lahir. Kita tahu sesungguhnya karya-karya yang memadukan fiksi/fantasi, impian/khayalan teknologis, atau dunia asing (baik di masa depan maupun di luar dunia yang diketahui manusia umumnya) telah ada jauh sebelum era roman pulp. Kita mengenal, misalnya, Mary Shelley (Inggris, 1797-1851) yang mengangankan pemakaian listrik untuk memberi hidup bagi potongan-potongan jenazah manusia yang disatukan; Jules Verne (Prancis, 1828-1905) yang mengangankan perjalanan ke pusat bumi (1864), ke bulan (1865), dan ke laut dalam (1869); H.G. Wells (Inggris, 1846-1946) yang mengangankan pengarungan waktu (1895) dan serbuan makhluk Mars ke bumi (1897). Semua karya tersebut kini lazim disebut sebagai para pendahulu genre fiksi sains atau “proto-fiksi sains”.

Kedua, seperti yang lazim terjadi pada labeling karya tulis lainnya, tidak ada kebulatan suara di antara para kritikus, penggemar, dan penulis fiksi sains sendiri mengenai apa yang sesungguhnya masuk dalam label tersebut. Ingatlah misalnya perdebatan pada sekitar 2009 antara Ursula Le Guin dan Margaret Atwood, mengenai apakah karya-karya Atwood termasuk fiksi sains atau bukan. Hal ini terjadi sejak awal kemunculan genre ini. Masing-masing penggiatnya punya definisi sendiri-sendiri tentang apa yang masuk dalam genre ini, meski hal itu tidak terungkap dalam pembicaraan. Seperti ditulis oleh peneliti fiksi sains Justine Larbalestier, “Pada tahun-tahun awal majalah pulp fiksi sains pada 1920-an dan 1930-an tidak ada banyak surat yang membicarakan apa fiksi sains atau scientifiction itu. Setiap orang tahu ‘itu’ apa—yang ada hubungannya dengan ‘sains’—tetapi setiap orang sepertinya punya gagasan berbeda-beda tentang apa yang dimaksud ‘sains,’ apa yang masuk dan tidak masuk dalam semesta fiksi sains, dan siapa yang punya hak memutuskan soal itu.

Apa itu fiksi sains, sebagai genre, diterima begitu saja dalam surat-surat, tetapi teksnya sendiri, contoh-contoh genre tersebut, tidak begitu terumuskan dengan jelas.”[3] Hugo Gernsback sendiri menulis semacam rumus tentang fiksi sains: “Harap dipahami bahwa pertama-tama, sebuah cerita fiksi sains harus merupakan eksposisi dari suatu tema saintifik dan ia juga harus sebuah cerita. Sebagai eksposisi suatu tema saintifik, ia harus masuk akal dan logis dan dipijakkan pada pinsip-prinsip saintifik yang diketahui […] Sebagai sebuah cerita, ia harus menarik.”[4]

Dua ciri dari label “fiksi sains” di atas dengan demikian juga berlaku dalam melihat tema utama artikel ini: fiksi sains Amerika Latin. Setiap orang mungkin punya pandangan sendiri tentang perbedaan-perbedaan kecil antara fiksi sains dengan, misalnya, fiksi spekulatif, cerita fantasi, dll. Bukan porsi artikel ini untuk mengulas semua detail subtil itu.[5] Lalu, sebutan “fiksi sains” di sini juga akan berlaku mundur dan dipakai untuk menjuluki karya-karya yang ada bahkan sejak abad ke-19.

 

Sains, Masyarakat Kolonial, dan Fiksi Sains

Fiksi sains lahir dengan premis untuk memadukan kejayaan nalar dengan kemajuan teknologi, mengajukan ciptaan-ciptaan baru atau merenungkan dampak sains melalui cerita-cerita fiksi.[6] Maka dalam membicarakan fiksi sains Amerika Latin, perlu kiranya kita mengulas terlebih dahulu sekilas bagaimana sains itu sendiri tumbuh dan dipahami dalam konteks sosial dan kultural Amerika Latin sebagai sub-benua bekas jajahan Eropa. Apabila rasionalitas, Pencerahan, empirisisme dikatakan lahir di Eropa, maka apakah sains modern, sebagai buah dari ketiga hal itu, hanya sekadar bawaan dari kolonialisme Eropa di Amerika Latin? Apakah penduduk asli Amerika Latin adalah masyarakat mistis yang tak mengenal sains dan pikiran logis sebelum kedatangan Kolumbus?

Cara pandang Eurosentris yang merendahkan kemampuan bernalar penduduk asli Amerika Latin atau wilayah pinggiran lainnya (baca: di luar Eropa yang mendaku diri sebagai pusat peradaban) ini tentu jamak didapati terutama pada era kolonial dahulu—bahkan mungkin juga masih terwariskan sebagiannya hingga kini.

Pandangan kolonial rasis selalu melihat penduduk pribumi bodoh, tak terpelajar, terbelakang. Contoh paling gamblang dari pandangan ini bisa kita lihat antara lain dari cerita komik Tintin Le Temple du Soleil (Tawanan Dewa Matahari) karya Hergé (terbit pertama secara bersambung mulai September 1946 hingga April 1948). Dalam petualangannya menemukan sisa peradaban Inca, Tintin dan kawan-kawannya dianggap melanggar wilayah suci bangsa Inca dan akan dihukum mati dengan cara dibakar dengan terik matahari pada waktu yang boleh dipilihnya sendiri. Berbekal info yang dibacanya dari potongan surat kabar, Tintin memilih hari penghukumannya bertepatan dengan hari saat gerhana matahari total akan terjadi. Pada hari H, dia lalu berlagak berseru-seru kepada matahari agar memadamkan terangnya dan membuat bangsa Inca ketakutan seakan-akan dia punya kuasa memerintah matahari. Bangsa Inca menyerah dan akhirnya membebaskan Tintin dkk. Sastrawan Guatemala Augusto Monterosso membalas pedas dan kocak kisah Tintin ini dengan sebuah cerita pendek sebagai berikut:[7]

 

Tatkala romo Bartolomé Arrazola merasa dirinya tersesat, ia pun pasrah menerima kenyataan bahwa takkan ada yang bisa menyelamatkannya. Belantara Guatemala yang digdaya telah membekapnya, kukuh dan pasti. Di hadapan ketidaktahuannya tentang topografi, ia duduk tenang menunggu ajal. Ia ingin mati di sana; tanpa asa, sendirian, dengan benak terpacak pada negeri Spanyol nun jauh, khususnya pada Biara Los Abrojos, di mana Carlos V pernah merendah dengan turun dari singgasana untuk memberitahunya bahwa ia percaya akan karya keselamatannya.
Lalu ia terbangun mendapati diri dikitari sekelompok orang Indian dengan muka tanpa ekspresi sedang menyiapkan pengurbanan dirinya di depan altar, altar yang bagi Bartolomé terlihat seperti ranjang tempat ia pada akhirnya bisa beristirahat dari rasa takutnya, dari takdirnya, dari dirinya sendiri.
Tiga tahun di pedalaman telah memberinya pengetahuan ala kadarnya tentang bahasa setempat. Ia mencobanya. Ia ucapkan beberapa patah kata yang bisa dimengerti.
Lantas dari situ mekarlah dalam dirinya sebuah ide yang ia anggap sepadan dengan bakat dan pendidikannya yang luas serta pengetahuannya yang mendalam mengenai Aristoteles. Ia ingat bahwa gerhana matahari total akan terjadi hari itu. Dan ia memutuskan, dari batinnya yang terdalam, untuk memakai pengetahuan itu guna mengelabui para penangkapnya dan menyelamatkan nyawanya.
“Bila kalian membunuhku,” ucapnya, “aku bisa membuat matahari menggelap di ketinggian.”
Orang-orang Indian menatapnya dan Bartolomé bisa menangkap rasa tak percaya di mata mereka. Ia melihat mereka berembuk satu sama lain dan ia pun menunggu dengan penuh percaya diri, bukannya tanpa suatu perasaan menghina.
Dua jam kemudian dari jantung romo Bartolomé Arrazola darah menyembur bancar ke atas batu kurban (berkilau diterpa redup sinar mentari yang tertutup gerhana) seraya salah satu orang Indian itu merapal datar, perlahan-lahan, satu demi satu, daftar tak terhingga tanggal-tanggal terjadinya gerhana matahari dan bulan, yang telah diprediksi dan dicatat oleh para ahli ilmu falak suku Maya dalam kodeks-kodeks mereka tanpa perlu pertolongan berharga Aristoteles.

 

Tak butuh raksasa-raksasa keilmuan Barat untuk membuat penduduk asli Amerika Latin bisa mempelajari dan memahami dunia sekitarnya secara saintifik. Fasilitas berpikir ilmiah dan logis jelas dimiliki secara inheren oleh setiap kelompok bangsa di dunia. Pengetahuan tak melulu bersumber dari Eropa. Budaya Inca dan Maya telah hidup ribuan tahun membangun sistem kanal dan perkotaan megah yang jelas membutuhkan sofistikasi teknik dan saintifik tersendiri. Romo Bartolomé dalam kisah di atas justru tak tahu apa-apa mengenai hutan Guatemala. Keilmuan mengenai jenis dan khasiat tanaman-tanaman lokal, misalnya, memang hanya bisa muncul pertama-tama dari masyarakat setempat,[8] dan kerapkali terintegrasi ke dalam kepercayaan serta ritual-ritual adat tradisional. Maka para ahli kini menyesali banyaknya sumber pengetahuan asli itu yang punah seiring dengan kolonialisme yang bukan saja banyak membantai penduduk adat secara fisik, melainkan juga menghapus kepercayaan tradisional dengan mengintegrasikan penduduk Amerika Latin ke agama Katolik bawaan dari Eropa. Menurut sejarawan sains Juan José Saldaña, cara pandang Eurosentris di atas sayangnya masih banyak menghinggapi historiografi sains di Amerika Latin sampai era 1950-an dan 1960-an sekalipun.[9]

Selain bahwa dikotomi frontal “penduduk pribumi tidak ilmiah – kolonialis Eropa ilmiah” itu keliru, juga posisi sains sendiri yang kemunculannya sering dicitrakan langsung menjungkirbalik dunia tak terjelaskan yang selama ini diliputi takhayul dan mistisisme ternyata juga tak sepenuhnya benar.

Sains menguat perlahan setelah sekian lama berjalan seiring dengan praktik-praktik yang kini terbukti tidak saintifik. Alkimia, okultisme, pseudo-sains adalah bagian tak terpisahkan dari perkembangan sejarah sains. Isaac Newton, misalnya, adalah praktisi okultisme dan alkimia hingga akhir hayatnya yang terobsesi untuk menemukan philosopher’s stone (bahan pengubah logam biasa menjadi emas) dan elixir of life (ramuan keabadian).[10]

Sebelum didiskreditkan sebagai “tidak ilmiah”, tema-tema seperti medium/cenayang, hipnotisme, telepati dan sejenisnya sangat lumrah dibahas serempak dalam satu tarikan napas seiring dengan penelitian mutakhir tentang magnet, listrik, atau gelombang.

Sebuah cerpen karya penulis Argentina Juana Manuela Gorriti (1818-1892) berjudul “Yerbas y alfileres” [“Jamu dan Jarum”] dalam bukunya Panoramas de la vida [Panorama Kehidupan] (1876)[11] menunjukkan bagaimana sains belum dapat dipisahkan benar-benar dari apa yang dianggap bukan sains. Dalam kisah ini, seorang dokter bernama Prof. Passaman bercerita tentang kasus aneh yang pernah ditanganinya: ia diminta datang untuk melihat kondisi seorang pemuda bernama Santiago yang telah dua tahun lumpuh tanpa penyebab jelas yang membuatnya harus berbaring terus di ranjang. Pendekatan medis yang lantas dilakukan oleh Prof. Passaman ternyata juga tidak membuahkan hasil. Suatu hari, kawannya bernama Dr. Boso, seorang ahli botani kenamaan, merekomendasikan herba yang ditemukan di pegunungan Apolobamba. Larutkan dalam alkohol, lalu minumkan sedikit dan oleskan juga ke badan si pasien. Dr. Boso menjamin ramuan ini ampuh. Malam itu, saat menegakkan badan Santiago untuk memberinya minum dan menggosoknya, Prof. Passaman menemukan sesuatu dalam bantal Santiago yang ternyata adalah boneka dengan jarum-jarum tertusuk. Sang dokter membawa boneka tersebut ke istrinya dan si istri yang percaya takhayul segera mencabuti jarum-jarum itu. Maka tak lama kemudian ketika pada akhirnya Santiago pulih, pembaca tidak akan bisa mengetahui pasti apakah kesembuhannya dikarenakan oleh jamu rekomendasi sang ahli botani atau karena ia sudah lepas dari pengaruh tenung.

Penulis Argentina lainnya dari abad ke-19, Eduardo Ladislao Holmberg (1852-1937), kini banyak diakui oleh para peneliti sastra dan sejarah sebagai penulis fiksi sains Amerika Latin yang pertama. Holmberg adalah seorang ahli ilmu alam, salah satu pakar pertama terpenting di bidang vegetasi dan zoologi Argentina, pendiri El Naturalista Argentino, jurnal ilmiah pertama yang ditulis oleh orang Argentina dan terbit di Argentina.

Ia berperan besar dalam penyebaran positivisme dan Darwinisme di Argentina dan penerjemah karya-karya Arthur Conan Doyle dan H.G. Wells ke bahasa Spanyol. Karyanya, yang akan disebut singkat di sini sebagai Viaje maravilloso del Señor Nic-Nac (Perjalanan Ajaib Tuan Nic-Nac; 1875-1876)[12] masih menunjukkan aspek-aspek yang kini dianggap tidak ilmiah seperti perpindahan jiwa dan medium yang banyak menjadi bahan riset di dunia sains saat itu.

Dengan bantuan seorang medium berkebangsaan Jerman, Señor Nic-Nac melepaskan “gambaran jiwanya” (espíritu-imájen) dari wujud ragawinya dan “terangkat” (elevarlo) ke Mars—atau dalam istilah Holmberg melakukan “transplanetacion” (lintas-planetasi). “Terangkat” di sini harus saya bubuhi tanda kutip karena yang sesungguhnya dilakukan Señor Nic-Nac untuk mencapai Mars adalah dengan berpuasa melaparkan diri. Tidak ada roket atau pesawat ruang angkasa dalam fiksi sains paling pertama di Amerika Latin ini. Yang ada malah tirakat untuk meluruhkan hal-hal yang memberati jiwa, karena sebagian rujukan Holmberg, menurut Lola López Martín, adalah “ilmu-ilmu okult [Neoplatonisme, Pythagorasisme], spiritualisme, dan antroposofisme, sebuah gerakan filsafat yang dicetuskan oleh Rudolf Steiner, yang berusaha mengintegrasikan jiwa manusia dengan jiwa semesta.”[13]

 

Utopia sebagai Fondasi

Señor Nic-Nac tidak sendirian ke Mars. Ia ditemani seorang dokter dan seorang medium Jerman bernama Friedrich Seele yang sudah disinggung di atas tadi. Dengan badan yang kini berpendaran—frasa “fosforescencia” dipakai berulang kali di sepanjang buku—mereka berkeliling Mars mengamati kehidupan di sana. Di satu sisi, Mars digambarkan secara cukup utopis sebagai peradaban yang jauh lebih maju (tidak ada penyakit, penduduk Mars lebih murah hati, dll). Namun, dalam beberapa segi lain Mars tampak serupa benar dengan bumi, atau bahkan dengan Buenos Aires masa itu. Di titik ini tujuan cerita Holmberg menjadi dapat kita pahami: dia bermaksud menyuguhkan komentar sosial atas situasi Argentina atau peradaban manusia secara lebih umum, dan menawarkan apa yang dianggapnya ideal sebagai cita-cita bersama yang harus dituju.

Nic-Nac tiba di kota kembar Theosophopolis (kota Tuhan dan kebijaksanaan). Di Theopolis (kota Tuhan), “pintu rumah-rumah nyaris tak pernah terbuka; keheningan mendalam meraja sepanjang siang, disela hanya oleh bunyi derit, atau ratapan perangkat yang oleh penghuni Bumi akan disebut sebagai genta.” Sementara di Sophopolis (kota kebijaksanaan), Akademi Ilmu Pengetahuan berfungsi sebagai tampuk pemerintahan dan pengganti lembaga keagamaan. Pernikahan diselenggarakan di sana alih-alih di gereja, karena akademi adalah “kuil yang lebih bernilai, gedung yang lebih keramat.” Menurut peneliti sastra Rachel Haywood Ferreira,[14] pembaca Argentina pada zaman itu pasti akan langsung mengenali Theosophopolis sebagai representasi kota Córdoba di Argentina, yang menjadi lokasi kaum Yesuit sekaligus Akademi Ilmu Pengetahuan Córdoba.

Warga Sophopolis, menurut penjelasan Seele kepada Nic-Nac, memandang warga Theopolis setara, tetapi tidak demikian sebaliknya. “[Warga Theopolis], dalam hati mereka yang terdalam, memandang rendah tiap warga Sophopolis.” Holmberg jelas menyindir perilaku kaum agamawan di Argentina sendiri, dan meski Mars digambarkannya sebagai suatu utopia teknokratik berlandaskan keilmuan, masyarakat Mars yang dikunjungi Nic-Nac jelas masih mengenal hierarki dan penggolongan. Holmberg, bagaimanapun, puluhan tahun lebih dulu dibanding penulis revolusioner Bolshevik Alexander Bogdanov, yang pada 1908 juga memakai Mars sebagai gambaran utopia masyarakat komunis yang sudah tak mengenal kelas dan hierarki, yang sistem ekonomi dan produksinya dituntun oleh kepentingan kolektif dan bukan pencarian laba.[15]

Atas ciri dan pesan utopis yang dikandung karya ini, Ferreira pun menggolongkan Viaje maravilloso del Señor Nic-Nac sebagai satu dari cerita-cerita “foundational utopias” yang membentuk tema utama fiksi sains perdana di Amerika Latin.

Dua cerita lain yang dibahas secara khusus oleh Ferreira adalah “Páginas da história do Brasil escripta no anno de 2000” (“Halaman-Halaman Buku Sejarah Brasil yang Ditulis pada Tahun 2000”; Brasil, 1868-1872) karya Joaquim Felício dos Santos (1828-1895), serta cerita berbentuk dialog “México en el año 1970” (“Meksiko pada Tahun 1970”; Meksiko, 1844) karya penulis bernama pena Fósforos. Saya ingin menambahkan dua karya lain pada daftar Ferreira itu, yaitu: novel Desde Júpiter: Curioso viaje de un santiaguino magnetizado (Dari Jupiter: Perjalanan Aneh Seorang Warga Santiago yang Terhipnotis; Cile, 1877) karya Francisco Miralles (1837-1890) serta “El remoto porvenir” (“Masa Depan yang Jauh”; Meksiko, 1862) karya Juan Nepomuceno Adorno (1807-1880).

Novel Desde Júpiter[16] yang terbit di Cile hanya berselang 2-3 tahun sesudah Señor Nic-Nac di Argentina bukan hanya sama-sama merupakan novel fiksi sains pertama di negaranya masing-masing, melainkan juga mengandung kemiripan lain. Narator kisah ini, Carlos, seorang pemuda Santiago, “tiba” di Jupiter dengan cara hipnotis dan di sana ia mendapati suatu peradaban alien yang jauh lebih maju dibanding bumi. Masyarakat Jupiter damai, tertata, tanpa masalah sosial sama sekali. Tidak ada rumah yang perlu digembok, trotoar dan gedung mulus sempurna, penduduknya tidak terburu-buru, menetapkan sendiri jam kerja mereka, orang dihargai dari kebaikan dan bakatnya, bukan hartanya, dan pengunggulan satu gender di atas yang lain tidak masuk akal buat mereka—benar-benar suatu utopia melebihi Mars yang dikunjungi Nic-Nac.

Dengan bantuan Abel, Eva, Nemrod, dan penghuni Jupiter lainnya, Carlos bermaksud mempelajari sebisa mungkin masyarakat Jupiter melalui pengamatan langsung, sementara sebaliknya, para ilmuwan Jupiter sendiri ternyata juga mempelajari bumi—Cile khususnya—dan mengamati perilaku penghuninya.

Seabad lebih sebelum Google Earth, Miralles telah menulis tentang miskroskop tak terbatas (microscopio indefinido) yang bisa memotret bumi dari luar angkasa, yang “karena gambarnya diambil secara vertikal, semua objeknya terlihat dari arah atas kepala, tetapi detailnya halus, luar biasa […] Foto ini diambil dengan cepat sehingga tak ada gerakan yang terlihat dalam objeknya.”

Miralles menyisipkan kritik sosial dalam komentar dan pemikiran kedua pihak, baik Carlos tentang kehidupan di Jupiter, maupun para ilmuwan Jupiter tentang kehidupan di Cile. Bagi para ilmuwan Jupiter, kehidupan di bumi terbelakang sekitar 147.500 tahun dibanding mereka: tiadanya bahasa universal, dipakainya hewan untuk kerja kasar, bahkan sistem politik maupun kebiasaan keseharian seperti merokok atau minum alkohol pun dipandang sebagai tanda keterbelakangan oleh orang Jupiter. Sebaliknya bagi Carlos, utopia teknologi Jupiter juga bukan sesuatu yang serba menyenangkan: “Aku merasa payah di dunia bedebah itu, di mana kesempurnaan begitu paripurna sampai-sampai tidak ada distraksi sedikit pun yang diperbolehkan.”

Sistem politik baik demokrasi maupun monarki turun-temurun di bumi sama-sama membingungkan penghuni Jupiter, sebab yang pertama memungkinkan orang yang tak cakap memimpin bisa terpilih sebagai pemimpin oleh orang dungu yang mayoritas, sementara pada sistem yang kedua, seorang keturunan raja bisa otomatis menjadi pemimpin tak peduli seberapa dungunya dia. Selain itu, sama seperti Señor Nic-Nac, kritik Desde Júpiter juga terarah ke otoritas keagamaan: “Mereka [penghuni bumi] memiliki orang yang meyakinkan mereka bahwa penderitaan kekal itu ada dan bahwa hukuman dari Sang Bapak Semesta itu kejam dan tiada akhir. Namun mereka memilih memercayai ini, atau tidak memercayai apa pun, daripada berusaha menyelidiki apa yang riil dan benar.” Bagi penduduk Jupiter, pencarian kebenaran secara rasional harus dijadikan prinsip utama untuk bisa mencapai kemajuan.

Bila Señor Nic-Nac dan Desde Júpiter sama-sama bercerita tentang “perpindahan” spasial dari bumi ke Mars dan Jupiter, maka dua tulisan berikut membangun utopianya dari perpindahan temporal ke masa depan. “Halaman-Halaman Buku Sejarah Brasil yang Ditulis pada Tahun 2000” dimuat secara bersambung sejak 23 Agustus 1868 di O Jequitinhonha, koran mingguan 4 halaman yang bermarkas di kota Diamantina dengan pembaca utama penduduk di wilayah utara negara bagian Minas Gerais. Penulis cerita tersebut, Joaquim Felício dos Santos, yang juga sang pemilik surat kabar, adalah seorang ahli hukum, pengusaha, dan politisi—bagian dari keluarga terpandang di Minas Gerais. Sebagai seorang republikan liberal tulen, Felício dos Santos juga memaksudkan cerita ini sebagai kritik atas sistem politik Brasil pada zamannya. Kerasnya karya ini mengkritik monarki menurut Ferreira hanya bisa dipahami dari keyakinan Felício dos Santos sendiri bahwa O Jequitinhonha tidak akan menjangkau lebih luas daripada pembaca rutinnya. Maka, karya ini sengaja dirancang untuk hidup sesaat saja—Felício dos Santos tidak pernah menerbitkannya ulang di koran lain atau dalam bentuk buku—dan karena itulah ia nyaris terlupakan dan yang tersisa sekarang adalah fragmen-fragmen yang tidak begitu lengkap dan kehilangan bagian awal serta akhirnya. Sebelum Ferreira, hanya peneliti Alexandre Eulálio yang pernah melakukan telaah atas karya ini secara mendalam, dan itu pun tidak ia baca sebagai sebuah karya fiksi sains. Status cerita ini sebagai fiksi sains baru dikokohkan pada awal 1990-an oleh penulis Bráulio Tavares, yang mengisi lema tentang fiksi sains Brasil untuk The Encyclopedia of Science Fiction edisi kedua susunan Peter Nicholls dan John Clute.

Dengan memakai strategi narasi kutipan dari buku sejarah di masa depan, Felício dos Santos ingin menegaskan keyakinannya—yang kerap tepat—bahwa monarki tidak sejalan dengan dunia modern, bahwa monarki Brasil akan jatuh bahkan sebelum tahun 2000. Republiklah yang akan menang. Dengan cara ini pula, halaman-halaman buku sejarah dari masa depan ini tidak perlu banyak mengangankan seperti apakah kemajuan-kemajuan dahsyat di masa depan itu, tetapi justru menguraikan Brasil abad ke-19, bagaimana ia dikenang kemudian di masa depan, bahwa sistem kerajaan—dan khususnya Raja Pedro II sebagai personifikasi kekuasaan yang korup, tersentral, konservatif, dan terbelakang—hanya menghambat kekuatan-kekuatan progresif yang bakal mendatangkan kemajuan bagi Brasil sebagai bangsa.

Pada tahun 2000 itu, transportasi dijalankan lewat “paket aerostatis” (paquete aeróstatico) dan komunikasi melalui “telegrafi listrik” (telegraphia electrica) yang memungkinkan kekuasaan dan pengaruh terbagi rata di antara kota-kota dan pedesaan Brasil, mempersatukan seluruh negeri dan tidak memusatkan kekuasaan di ibukota. Orang zaman itu sudah tak ingat lagi siapa Raja Pedro II dan kejayaannya, bahkan tak ingat Brasil pernah berupa kerajaan. Selain dengan tepat memprediksi berubahnya Brasil menjadi republik, Felício dos Santos juga meramalkan berakhirnya perbudakan bahkan pembentukan badan serupa Perserikatan Bangsa-Bangsa.[17]

Pada edisi 12 Desember 1869, karya ini menulis bahwa “Kita berutang kepada pembaca penjelasan mengenai judul kita […] Bagaimana bisa pada tahun 1869 kau menerbitkan potongan-potongan dari sebuah buku sejarah yang baru akan ditulis 131 tahun mendatang?” Maka dijelaskanlah bahwa mengingat pada zaman itu komunikasi lintas ruang antara benua Amerika dan Eropa sudah bisa berlangsung instan, maka bukan tak masuk akal bila halaman-halaman buku sejarah ini berkelana mundur melintasi waktu. Bagaimana caranya? Melalui seorang medium! Sama seperti Nic-Nac. Spiritisme pada zaman itu menjadi sarana pengarungan spasial sekaligus temporal. Maka bukan hanya roket dan pesawat ruang angkasa yang tak hadir dalam fiksi sains perdana di Amerika Latin, melainkan juga mesin waktu—perangkat cerita yang begitu populer dalam fiksi sains kontemporer kita sekarang.

Karya terakhir yang akan dibahas dari golongan “foundational utopias” adalah “El remoto porvenir” (“Masa Depan yang Jauh”; Meksiko, 1862) karya Juan Nepomuceno Adorno (1807-1880). Ferreira sendiri, entah kenapa, tidak membahas karya ini secara khusus, dan awalnya memang agak meragukan apakah Nepomuceno Adorno bisa dikategorikan sebagai penulis fiksi sains, mengingat dia adalah filsuf dan “Masa Depan yang Jauh” sesungguhnya adalah satu bab dari buku filsafatnya Armonía del universo: Sobre los principios de la armonía física y matemática (Harmoni Semesta: Perihal Prinsip-Prinsip Harmoni antara Fisika dan Matematika; 1862). Namun banyak kajian dan bunga rampai lainnya secara sah memasukkan Nepomuceno Adorno, khususnya “Masa Depan yang Jauh”, sebagai fiksi sains.[18]

Saya sendiri merasa “Masa Depan yang Jauh” perlu disinggung karena ia contoh ekstrem dari utopia yang dibasiskan kepada kepercayaan buta akan sains dan supremasi manusia atas alam.[19]

Nepomuceno Adorno bukan hanya bicara tentang kemajuan teknologi transportasi dan telekomunikasi (“Jalan-jalan yang aku saksikan, mudah, aman, dan panjang, dilalui oleh mesin-mesin canggih yang meluncur mulus lintas benua atau menghubungkan pulau ke pulau melintasi lautan luas”), melainkan juga pemanfaatan sains untuk apa yang kini bisa kita sebut sebagai rekayasa genetika (“Semua makhluk hidup telah menjalani modifikasi menguntungkan di bawah kejeniusan manusia, dan spesies-spesies yang semata-mata merugikan sudah tidak lagi ada […] Bahkan sapi pun kehilangan senjata masa lampau mereka; dahi banteng yang perkasa tidak lagi bersenjatakan tanduk kokoh nan tajam”). Lebih jauh lagi, narasinya juga menyerempet-nyerempet proyek fasis untuk penciptaan ras unggul, meski harus ditekankan bahwa ras unggul di sini bukan kulit putih Arya, melainkan perpaduan antara “orang-orang Ethiopia purba dengan kulit gelap mereka yang mengkilap” dan “putra-putra Albion […] dengan warna gading dan rambut pirang mereka” (“Lenyap sudah perbedaan-perbedaan! […] Manusia telah disempurnakan dalam ukuran dan bentuk!”). Alam subur dan permai bukan karena bebas dari campur tangan manusia, melainkan justru karena sains dan teknologi berhasil menundukkannya sedemikian rupa sehingga ia sepenuhnya patuh kepada kebutuhan dan keinginan manusia (O Bumi, tidak lagi kau memiliki tebing-tebing gelap suram […] Manusia telah menjinakkan murka lautanmu. Mereka mengatur aliran sungai-sungaimu dan memanfaatkan danau-danaumu. Jejak umat manusia ada di mana-mana, dan itu adalah tanda para pahlawan […]”).

 

Mars dan Marx

Apabila karya-karya di atas memberi contoh warna utopian pada karya-karya fiksi sains perdana Amerika Latin—bahwa modernisme harus direngkuh demi kemajuan masyarakat, rasionalitas, sains dan teknologi harus didorong bahkan sedapat mungkin menjadi prinsip utama dalam tatanan kehidupan—kecenderungan yang berbeda bisa didapati sesudahnya. Meski selalu menjadi basis pijakan cerita, sains dan teknologi tidak lagi dirayakan secara optimistis dalam genre ini, kerapkali ia justru dipertanyakan dan digugat dampaknya bagi kemanusiaan. Hal ini sudah tampak menjelang akhir abad ke-19, misalnya pada cerpen “Fantasía nocturna” (“Khayalan Malam”) dalam buku Perfiles y miniaturas (1889) karya Martín García Mérou (Argentina, 1862-1905).[20] Saat sedang khusyuk bereksperimen di laboratoriumnya, bakteriolog dan filantropis dokter Hidrocéfalo, “salah satu sosok paling terpandang dalam sains kontemporer”, menyadari sebuah bakteri terlepas dari piringan dan dengan cepat menghancurkan segala sesuatu yang dilaluinya. “Melewati ladang-ladang dan kota-kota, melewati iklim dan masyarakat yang berbeda-beda”, makhluk mikroskopik yang digambarkan secara berganti-ganti sebagai “gurita terpiuh” (pulpo deforme), “Hydra yang mengerikan” (hidra aterrado), “pijahan setan” (engendro demoníaco) ini menimbulkan bencana di mana-mana. Dokter Hidrocéfalo pada akhirnya terbangun masih berada di laboratoriumnya dengan kultur bakteri dalam jangkauan tangannya. Meski cuma mimpi buruk, tetapi mimpi ini membangkitkan kesadaran sang dokter tentang kemungkinan-kemungkinan sains, bahwa ia bisa saja justru menghancurkan dunia alih-alih membawa kebaikan.

Kita tahu Marxisme punya penyikapan serupa dalam memandang perkembangan teknologi. Di satu sisi, ia merayakan kemajuan-kemajuan dahsyat yang dicapai oleh kelas borjuis dan kapitalisme teknologis mereka dalam mengubah dunia lama dan meruntuhkan feodalisme. Namun, di sisi lain, ia juga mencermati bahwa tenaga manusia terdepak tergantikan oleh mesin-mesin baru selama Revolusi Industri, memperparah ketimpangan dan membentuk kelas pengangguran sebagai bagian inheren dan permanen dari kapitalisme. Bab terpanjang dalam Das Kapital diperuntukkan untuk mengulas dampak teknologi bagi kelas buruh. Sebagai gaya penulisan yang banyak menggali dan bereksperimen dengan dinamika antara sains, teknologi, hubungan sosial di bawah kapital, dan tubuh manusia, tak heran apabila genre fiksi sains mendapat perhatian besar dari para penulis Marxis, sosialis, dan komunis—baik sebagai pencipta maupun pengamat.[21] Subbab ini akan mencontohkan sebagian fiksi sains Amerika Latin dari berbagai periode dan negara dalam mengulas tema-tema tersebut.[22]

Penulis Meksiko Juan José Arreola (1918-2001) yang terkenal atas fiksi mininya pada 1952 mengangankan bagaimana kapitalisme bisa mendayagunakan anak-anak—yang selama ini dipandang tidak produktif—agar bermanfaat bahkan bisa “merevolusi perekonomian rumah tangga” melalui alat bernama Baby H.P. yang diproduksi oleh J.P. Mansfield & Sons.[23] Alat ini—struktur logam ringan tetapi kuat yang diikatkan “dengan nyaman” ke badan si anak—mengubah gerakan si balita tak kenal capek yang biasanya sungguh merepotkan dan melelahkan bagi orangtua, menjadi cadangan energi yang tersimpan di stoples yang juga dipasang ke dada atau punggung anak tersebut. Jarum indikator akan menunjukkan bila stoples sudah penuh untuk diganti dengan yang kosong. Stoples yang penuh bisa dipakai sebagai cadangan listrik atau menghidupkan perkakas lainnya. Baby H.P. disebut “tidak menimbulkan trauma fisik atau psikologis dalam diri anak-anak”, malah bagus untuk “memupuk ambisi individual” dengan menghadiahi bocil-bocil ini bila mereka “melampaui capaian produksinya.” Beri mereka yang manis-manis, dan biarkan mereka mengubah kalori itu menjadi energi lagi.

Bila novelis sosialis Inggris William Morris dalam News From Nowhere (1890) mengangankan masyarakat komunis masa depan yang di dalamnya kerja merupakan aktivitas kreatif yang menyenangkan, maka kerja dalam kapitalisme lanjut di dua karya fiksi sains Amerika Latin berikut ini telah berubah menjadi semacam “kediktatoran kerja”: novel Mañana, las ratas (Kapan-Kapan, Tikus-Tikus; 1984) karya José B. Adolph (Peru, 1933-) dan cerpen “Acronia” (1968) karya Pablo Capanna (Argentina, 1939-).

Mañana, las ratas berlatar tahun 2034.[24] Adolph dengan sangat jenial seperti mengantisipasi kebangkitan Tiongkok dalam tatanan global—sesuatu yang belum terjadi pada saat novel ini dikarang, ketika Uni Soviet masih kokoh berdiri sebagai lawan tanding Amerika Serikat dalam Perang Dingin. Pada 2034, sistem negara-bangsa dan PBB diceritakan sudah tiada karena dunia kini dibagi-bagi seturut Direktorat yang dibentuk oleh perusahaan-perusahaan raksasa. Namun pembelahan tetap terjadi antara blok Asia yang kadang disebut sebagai “Imperium Revolusioner Asiatik” (Imperio Asiático Revolucionario) kadang “Imperium Marxis-Konfusianis Timur” (imperio marxo-confuciano del oriente) dengan blok Barat yang bersistem “superkapitalisme teknotronik” (supercapitalismo tecnotrónico). Di blok Barat perdagangan bebas digenjot sampai ke perkembangan teknisnya yang paling ekstrem. Muncul moralitas baru yang menempatkan kepuasan seksual sebagai tujuan yang menghalalkan segala cara. Seperti kita ketahui, kapitalisme percaya bahwa perdagangan bebas tanpa intervensi dan jaminan kebebasan individu akan membawa harmoni sosial, meski kenyataan bicara sebaliknya. Demikian juga pada 2034 di blok Barat. Kemiskinan dan ketimpangan antara wilayah utara dan selatan tetap ada dan menghebat. Dengan hilangnya negara-bangsa, Lima bukan lagi ibukota Peru, melainkan ibukota Kawasan Administratif Amerika Selatan Wilayah Timur. Sebagian besar dari 25 juta penduduk Lima adalah “las ratas” atau tikus-tikus, sebutan bagi kaum miskin dengan konotasi rasial yang kental (“blasteran, kulit hitam, orang Indian, hitam campuran, Asia” [cholos, negros, indios, zambos, asiaticos]). Dipimpin oleh seorang tokoh misterius bernama Kardinal Hitam (Cardenal Negro), kelompok ratas yang menyebut diri sebagai Katolik Ortodoks (los Católicos Ortodoxos) bersiap melancarkan pemberontakan yang bukan hanya berlangsung di bumi, tetapi juga menjangkau ke satelit-satelit luar angkasa yang mengorbit mengitari bumi, tempat kaum super-elite berlindung. Tidak hanya mengantisipasi kebangkitan Tiongkok menjadi raksasa dunia, novel ini juga mengantisipasi kemunculan gerakan keagamaan ortodoks yang justru menghebat belakangan setelah globalisasi, dan ceritanya tentang elite superkaya yang kabur membentuk hunian-hunian mewah baru di satelit luar angkasa mengingatkan kita akan film Elysium (2013) yang dibuat jauh sesudahnya.

Sementara dalam cerpen “Acronia,”[25] dunia secara harfiah telah berubah sepenuhnya menjadi dunia korporat, dan manusia menjadi tidak mampu berbuat apa-apa selain bekerja untuk perusahaan yang menyediakan segala kebutuhan mereka kapan saja:

 

Solusinya adalah Bioplan.
[…]
Hingga berkembangnya pabrik, rumah telah selalu menjadi pusat kehidupan. Pabrik mengubah perspektif ini sedikit, meski baru dengan transformasi pekerja menjadi pegawai (berkat kemajuan robotik dan antigravitasi) kondisinya memungkinkan untuk perubahan akbar.
Lalu apa yang bisa diperbuat untuk mengisi jam-jam luang yang dihasilkan dari kerja robot bagi manusia? Tambahan lembur? Pengurangan berangsur apa yang disebut hari kerja menjadikan orang bekerja “melebihi” waktu “normal”. Memberlakukan hari kerja yang lebih panjang? Mustahil bila tak ada alasan untuk menjustifikasinya, dan semakin hari robot kian menangani semakin banyak fungsi. Bikin bentuk-bentuk hiburan yang lebih banyak lagi? Tidak efisien bila tidak ada perangkat legal yang mewajibkan orang harus bersenang-senang dengannya.
Bioplan lahir dan memecahkan semua masalah ini dengan sekali tebas […] Dari sebuah masyarakat “Copernican”, di mana industri-industri bergantung kepada kekuatan-kekuatan eksternal dan harus menjaga hubungan berlapis dengannya, masyarakat pun berubah menjadi semesta-semesta kecil yang tertutup, atau Acronia, di mana setiap perusahaan pada dasarnya adalah sebuah dunia.
Ringan, ekonomis, fungsional, dunia-dunia tanpa waktu ini melipatganda di angkasa, mengambang-ambang bebas tanpa gravitasi, ibarat sel-sel kompleks yang diberkahi hukum-hukum internal yang mengatur pertumbuhan, evolusi, dan kondisi optimal bagi kesetimbangan mereka. Tingkat kematangan dicapai melalui sarana sintesis yang berimbang antara kontrol populasi, jaminan kerja, dan perencanaan waktu sampai detail sekecil-kecilnya.
Setiap orang punya nukleus, unit kerjanya sendiri-sendiri […] Dengan cara ini, bukan hanya tidak ada lagi yang main-main, tetapi waktu untuk itu telah lenyap. Tidak juga ada lagi kebutuhan untuk mengisi waktu atau menghibur diri, karena setiap detik entah diisi oleh rutinitas atau penuh masalah untuk dipecahkan atau tugas-tugas yang terus diciptakan oleh robot-robot untuk menyibukkan manusia.

 

Bagaimana bila kerja manusia sepenuhnya diambil alih oleh robot/mesin pernah diangankan secara berbeda dalam cerpen berjudul “Futuro” (“Masa Depan”; 1970)[26] karya penulis Marxis serba bisa dari Venezuela, Luis Britto García (1940-). Dengan suatu dialektika yang ganjil ia menarik kemungkinan logis paling jauh dari apa yang bisa terjadi apabila tujuan kesempurnaan hidup sudah tercapai oleh manusia. Ada perlunya cerita ini kita kutip utuh di sini:

 

TESIS
Masyarakat yang sempurna pun tercapai, dan kegilaan spesies manusia berkurang, dan umat manusia siap mencurahkan energinya untuk mengejar sasaran tertentu.
ANTITESIS
Lantas mereka mendapati tidak ada lagi sasaran tempat mereka bisa mencurahkan diri.
SINTESIS
Maka dari itu, mereka mendewakan tiadanya semua sasaran sebagai sasaran itu sendiri, yang berarti stagnasi.
TESIS
Pertama-tama, manusia harus membebaskan dirinya dari kerja, maka dimulailah kegopohan kerja tim paling gila yang pernah ada untuk mencapai sasaran tidak bekerja.
ANTITESIS
Akhirnya, semua kerja manusia dilakukan oleh mesin, dan mesin-mesin itu dibuat oleh mesin-mesin lainnya, yang pada gilirannya juga dijalankan oleh mesin-mesin lain; maka umat manusia pun terbebas dari kerja.
SINTESIS
Maka demikianlah semua kemampuan mekanik tubuh—otot, organ, dan kapasitas menggerakan diri atau menggerakkan objek—tidak lagi berguna; mereka berhenti berkembang dan pada akhirnya, menghilang.
TESIS
Lalu kedua, manusia harus membebaskan dirinya dari perbudakan pangan.
ANTITESIS
Semua kemampuan kimia dikerahkan dalam mensintesa protein dan karbohidrat dari materi tak bergerak dan panas, dan akhirnya, melalui penggunaan kekuatan atom, materi dan energi ditransmutasi di laboratorium sehingga membentuk saripati gizi paling murni yang telah disuling, mampu masuk langsung ke aliran darah tanpa dicerna terlebih dahulu.
SINTESIS
Bilamana mulut dan perut dan usus dan hati dan organ dalam secara umum sudah tidak lagi dibebani tugas berat memerah energi dari pangan, mereka berhenti berkembang dan pada akhirnya, menghilang.
TESIS
Lalu ketiga, umat manusia harus membebaskan dirinya dari kematian.
ANTITESIS
Dan di laboratorium-laboratorium dikumpulkan toksin yang menghasilkan degenerasi yang di zaman dulu dikenal sebagai penuaan; dan mereka mengoreksi gen-gen yang mendorong bunuh diri pada individu; dan dari materi organik lahirlah sintesis protoplasma, dan dari sintesis protoplasma muncullah sintesis keabadian.
SINTESIS
Saat prokreasi menjadi tidak dibutuhkan dan organ-organ reproduksi sudah tidak lagi berguna; mereka berhenti berkembang dan pada akhirnya, menghilang.
TESIS
Dan pada masa fajar jiwa inilah, nalar—kini penguasa dan tuan semesta alam—diberdayakan untuk menjalani petualangan paling berani di ranah abstraksi paling murni.
ANTITESIS
Terbebas dari kerja, terbebas dari rasa lapar, terbebas dari seks, terbebas dari kematian, otak manusia bersiap meluncurkan ke hadapan semua ciptaan buahnya yang paling ampuh: yang lahir bukan dari keharusan perut atau nafsu daging. Sebuah peristiwa monumental hendak berlangsung.
SINTESIS
Alhasil, otak manusia juga sudah tidak lagi diperlukan; ia pun berhenti berkembang dan pada akhirnya, menghilang.

 

Lain lagi cara penyair Meksiko Amado Nervo (1870-1919)—yang puisinya sudah kita baca sebagai epigraf tulisan ini—mengangankan hubungan antara manusia, kerja, dan masa depan sosialis. Dalam cerpennya “La última guerra” (“Perang Penghabisan”; 1906)[27] yang naratornya berasal dari tahun 5532 Masehi, Nervo menyatakan bahwa makhluk manusia di masa depan akan berevolusi menjadi dua jenis kelas yang secara fisik berbeda: kaum elite dan proletar. Pada 2030 Masehi, ras proletar yang berjari enam akan mencetuskan revolusi sosialis. Dengan keberhasilan revolusi ini, kelas-kelas menjadi tiada, dan dengan itu segala jenis kerja berat dan kerja kasar dibebankan oleh manusia kepada hewan. Ribuan tahun berlalu, hewan berevolusi untuk belajar berpikir dan berbicara. Lalu akhirnya, pada 5532 Masehi (atau tahun 3502 era baru), hewan-hewan yang termanusiakan ini (animales humanizados) melancarkan “perang penghabisan” yang lantas memunahkan narator dan sesama spesies manusia terakhir. Kisah ini bisa kita baca berkat alat bernama “fonteleradiograf” (fonotelerradiografo) yang bisa mentranskrip pikiran sang narator secara langsung.

 

Fiksi Sains dan Realisme Magis

Melihat bahwa fiksi sains adalah genre yang luas dengan tradisi yang sungguh panjang di Amerika Latin, maka timbul pertanyaan mengapa kita sedikit sekali mendengar soal fiksi sains Amerika Latin. Telah sejak 1980-an peneliti sastra Amerika Latin David William Foster menyatakan bahwa fiksi sains adalah ranah produksi kebudayaan Amerika Latin yang sangat kurang diteliti.[28] Mengapa demikian? Mengapa kita lebih mengenal “realisme magis” sebagai representasi sastra Amerika Latin? Bisakah keduanya disamakan?

Penulis dan peneliti fiksi sains asal AS James E. Gunn (1923-2020) pernah membikin geger dengan mengatakan bahwa “sumbangsih terbesar Amerika Latin kepada fiksi sains dan fantasi (serta sastra itu sendiri) adalah ‘realisme magis’.” Kekeliruan fatal pelabelan ini menurut Rachel Haywood Ferreira disebabkan karena realisme magis merupakan ekspor utama Amerika Latin ke dunia berbahasa Inggris, dan gencarnya ekspor tersebut—menurut Foster—“memiuhkan secara serius gambaran tentang sastra Amerika Latin seturut apa yang diterjemahkan ke bahasa Inggris.”[29]

Pendapat senada dilontarkan oleh Darrell B. Lockhart: “Penggunaan realisme magis yang meledak pada 1960-an menghasilkan awan jamur pemasaran yang menjualnya sebagai ‘suara otentik’ Amerika Latin.”[30] Ferreira menegaskan—dan saya setuju—fiksi sains jelas berbeda dengan realisme magis. Tak ada satu pun penulis dan ahli Amerika Latin yang mempersamakan keduanya. Kondisi ini menunjukkan ketimpangan betapa di tengah dominasi bahasa Inggris dalam ekosistem penerbitan dunia, suatu karya jauh lebih berpotensi untuk diterjemahkan ke aneka bahasa lain bila sudah ada terlebih dahulu terjemahan bahasa Inggrisnya. Namun lebih dalam dari sekadar persoalan mana yang lebih dominan diterjemahkan atau diekspor, Fernández-Delgado merasa karakterisasi ngawur seperti yang dilakukan oleh Gunn adalah hasil dari “prasangka … yang berakar dalam pola pikir masyarakat-masyarakat negara maju”[31] bahwa apa yang dilakukan oleh orang Amerika Latin pastilah “magis” dan bukan “sains”.

Istilah fiksi sains memang sejak semula mengandung problematikanya tersendiri. Awal tulisan ini sudah menggambarkan bagaimana fiksi sains adalah bagian dari tren pulp fiction yang sering dicap sebagai hiburan murahan (baca: ngepop) atau kurang bermutu (baca: kurang sastrawi). Selain itu, latar sejarah kemunculannya juga membuat fiksi sains menjadi genre yang terkesan “Anglo-Saxon” atau bahkan Amrik banget. Beberapa penulis Amerika Latin sendiri agak kurang nyaman dengan cap ini karena terasa membatasi apa yang sesungguhnya mereka kerjakan. José Adolph, misalnya, lebih suka sebutan “fiksi spekulatif” karena “fiksi sains adalah istilah yang membikin takut orang.”[32]

Namun hal yang berbeda justru dirasakan oleh para penulis Brasil, satu-satunya negeri di Amerika Latin yang berbahasa Portugis. Pamor internasional “realisme magis” yang bermula dari para penulis Amerika Latin berbahasa Spanyol ikut mengangkat para penulis fiksi sains Brasil, dan dalam satu cara mereka berusaha mengkapitalisasinya. Hal ini terbaca dari “pengakuan” Bráulio Tavares dalam katalog resmi buku fantasi Brasil yang disusunnya untuk disertakan di pameran-pameran buku internasional:[33]

 

Pada 1970-an, kesusastraan Brasil terpengaruh oleh karya-karya Amerika Latin yang diterima dengan sukses di Eropa, terutama yang masuk di bawah tajuk “realisme magis”. Label ini menjadi sangat menarik bagi para penulis Brasil atas lebih dari satu alasan, salah satunya adalah karena “fiksi sains” punya konotasi Amerika Utara yang kuat, sementara “realisme magis” menyiratkan kemungkinan sastra yang lebih dekat dengan akar kultural Amerika Latin. Dengan kesuksesan internasional para penulis seperti Jorge Luis Borges, Miguel Ángel Asturias, Gabriel García Márquez, dan Julio Cortázar, para penerbit Brasil mencari persamaan khas Brasil dari realisme magis Amerika Hispanik. Hal ini berdampak memberi sorotan kepada beberapa penulis baru yang berkutat dengan […] berbagai ragam fiksi fantasi yang diproduksi di Brasil…

 

Namun tetap saja, saya rasa hingga kini fiksi sains terus menjadi marjinal di Amerika Latin—bukan dalam praktik penulisan dan keluaran produksinya, tetapi dalam cara ia dibahas dan diwacanakan. Stigma “kurang sastrawi” dan “bukan sastra serius” terus menjangkitinya. Saya iseng menakarnya dengan membandingkan dua karya berikut dan bagaimana masing-masingnya diterima di dunia berbahasa Inggris (dan dengan demikian, internasional). Kedua karya ini sama-sama ditulis oleh penulis Cile kelahiran 1970-an, berlatar cerita kediktatoran Pinochet era 1980-an, berbasiskan video game sebagai inspirasi utamanya. Yang pertama adalah novelet Space Invaders (2013) karya Nona Fernández (1971-); yang kedua adalah cerpen “Exerión” (2000) karya Pablo A. Castro (1974-).

Space Invaders berkisah tentang kenangan atas Estrella González dari kawan-kawan sekelasnya. Video game Space Invaders yang mereka mainkan bersama menjadi struktur novelet ini. Anak-anak ini tumbuh bersama di sekolah dasar Katolik yang taat dengan latar situasi sosial pembunuhan para aktivis penentang kediktatoran Pinochet. Tahun demi tahun berlalu hingga 1985, saat Estrella tak lagi bersekolah bersama mereka, tetapi ia tetap mengirimi mereka surat yang mengabarkan bahwa ia kini masuk ke sekolah Jerman dan akan jarang berhubungan. Menginjak remaja, pertengahan 1990-an, saat situasi politik berubah dan orang-orang rezim lama mulai diadili, para remaja ini mengenali orang-orang yang diadili atas kejahatan penyiksaan dan pembunuhan aktivis adalah ayah dan paman Estrella. Space Invaders adalah karya yang luar biasa efektif dalam bernarasi. Terjemahan Inggrisnya masuk nominasi National Book Award di AS untuk kategori sastra terjemahan. Halaman wikipedia berbahasa Inggris ada khusus untuknya.

“Exeríon” adalah karya yang tak kalah hebatnya. Saat diikutsertakan dalam “Fixión 2000”, sayembara fiksi sains nasional Cile yang pertama, dewan juri dengan suara bulat memberinya juara pertama. Narator kisah ini, Victor Morales, kini berusia 55 tahun, dan dalam lima belas menit ke depan ia menduga dan berfirasat bahwa divisi khusus Intelijen Komputer akan datang meringkusnya dengan membawa personil dari seluruh cabang angkatan bersenjata. Lima belas menit terakhir itu ia gunakan untuk bermain Exerion, video game lawas kegemarannya dari tahun 1980-an, yang ia mainkan saat ayahnya diculik oleh militer, dan yang selalu ia mainkan untuk menghindari realitas dunia dan mengisi kekosongan batinnya. Exerion pulalah yang akan menjadi jalan keluar untuk melestarikan ingatannya, ingatan akan seluruh nama orang yang dihilangkan semasa kediktatoran.

Sekarang, cobalah googling “Exerion Pablo Castro” dan bandingkan hasilnya dengan bila Anda meng-googling “Space Invaders Nona Fernandez”. Kita bisa melihat jelas betapa bedanya perlakuan dan penerimaan atas apa yang disebut “sastra” dan “fiksi sains”.

Karena itu sangat tepat rasanya bila tulisan ini saya tutup dengan nukilan dari novel Roberto Bolaño yang terbit secara anumerta, El espíritu de la ciencia-ficción (Jiwa Fiksi Sains; 2016). Novel ini bukan fiksi sains tetapi bercerita tentang Jan Schrella, seorang pemuda 17 tahun yang bercita-cita “mungkin suatu hari nanti aku akan menulis cerita-cerita fiksi sains yang layak.” Saat Jan mendengar ada seorang penulis dari AS yang menyatakan niatnya membentuk “sebuah komite para penulis fiksi sains Amerika untuk mendukung negara-negara Dunia Ketiga,” Jan mengiriminya surat menanyakan apa arti “mendukung”:[34]

Jadi menurut Anda ada harapan bahwa kami bisa menulis fiksi sains yang bagus? Apakah komite Anda bakal, demi Tuhan, menganugerahkan hadiah-hadiah—Hadiah Hugo, Hadiah Nebula—kepada pribumi-pribumi Dunia Ketiga yang paling bagus dalam menjabarkan robot? Atau barangkali kelompok yang Anda kepalai mengajukan diri untuk bersaksi demi diri kami—dalam solidaritas, tentunya—di panggung politik? Saya tunggu jawaban Anda segera.

 

Catatan Kaki

[1] Versi daring lengkap dari puisi “El gran viaje” bisa dibaca di: http://comunidades.com.mx/cfm/?cve=631:21

[2] Istilah orisinal yang dipakai Gernsback pertama-tama adalah scientifiction, yang lantas disingkat stf dan dilafalkan stef. Para penggemarnya disebut st(e)fnist dan cerita yang menurut mereka bagus mendapat adjektiva st(e)fnal. Lihat Grant Wythoff (ed.), The Perversity of Things: Hugo Gernsback on Media, Tinkering and Scientifiction (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2016), hlm. 2. Buku ini menurut saya adalah buku terlengkap yang memuat semua tulisan Gernsback, mencari kaitan-kaitan di antaranya, dan menyuguhkan premis (sekaligus pembuktian) bahwa segala yang dilakukan Gernsback di bidang fiksi tidak sepenuhnya baru, melainkan merupakan lanjutan/perpanjangan dari apa yang sudah dieksplorasinya di bidang elektronika dan majalah-majalah non-fiksinya. Dalam cerpen “The Killing Flash” (1929) misalnya, Gernsback mendalami gagasan bahwa ketika berita, opera, dan drama saat itu sudah bisa disebarkan melalui gelombang udara, maka adalah mungkin untuk menjalankan suatu aksi pembunuhan secara nirkabel (Wythoff [ed.], hlm. 50-51).

[3] Justine Larbalestier, The Battle of the Sexes in Science Fiction (Middletown: Wesleyan University Press, 2002), hlm. 33.

[4] Hugo Gernsback, “How to Write ‘Science’ Stories”, Writer’s Digest, Februari 1930, dimuat dalam Wythoff (ed.), The Perversity of Things, hlm. 337-341.

[5] Lihat, misalnya, Angela B. Dellepiane, “Narrativa argentina de ciencia ficción: Tentativas liminares y desarrollo posterior”, Asociación Internacional de Hispanistas (AIH), Actas IX (1986), untuk pembedaan-pembedaan detail antara hard/engineer SF, science fantasy, science opera, speculative SF, dll.

[6] Yuli Kagarlitski, ¿Qué es la ciencia ficción? (Barcelona: Guadarrama, 1974).

[7] Augusto Monterroso, “El eclipse”, dalam Obras completas (y otros cuentos) (México DF: Imprenta Universitaria, 1959). Saya menerjemahkan cerita ini sebagai “Gerhana” dalam Ronny Agustinus (ed.), Matinya Burung-Burung: Kumpulan Cerita Sangat Pendek Amerika Latin (Jakarta: Moka Media, 2015).

[8] Misalnya, Libellus de Medicinalibus Indorum Herbis (Kitab Kecil Tanaman-Tanaman Obat Orang Indian) awalnya disusun dalam bahasa Nahuatl di Meksiko pada 1552 oleh seorang Indian dengan nama baptis Martín de la Cruz, lalu diterjemahkan ke bahasa Latin oleh seorang Indian baptis lainnya bernama Juan Badiano.

[9] Juan José Saldaña, La historia social de las ciencias en América Latina (México: UNAM dan M.A. Porrúa Librero-Editor, 1996), khususnya bab “Teatro científico americano. Geografía y cultura en la historiografía latinoamericana de la Ciencia”, hlm. 7-41. Saldaña menyebut karya-karya pionir seperti Tomás Romay y el origen de la ciencia en Cuba oleh José López Sánchez (Kuba, 1950), As ciências no Brasil oleh Fernando de Azevedo (Brasil, 1955), dan La ciencia en la historia de México oleh Eli Gortari (Meksiko, 1963) masih sama-sama memindahkan begitu saja secara tidak kritis historiografi Eropa yang positivis, reduksionis, dan ahistoris ke konteks Amerika Latin. Dengan asumsi bahwa segala kondisi yang memunculkan sains di Eropa harus ada pula di Amerika Latin agar sains bisa muncul, maka konsekuensi logis dari pendekatan macam ini adalah di Amerika Latin tidak ada sains.

[10] John Maynard Keynes, yang juga esais brilian selain ekonom terkemuka, menulis tentang Newton dan risalah-risalah okultismenya sebagai berikut: “Newton dipandang sebagai yang pertama dan yang terbesar dari zaman modern kaum saintis, kaum rasionalis, orang yang mengajari kita untuk berpikir seturut garis nalar yang dingin dan jernih. Saya tidak melihatnya dalam terang demikian. Saya merasa, barangsiapa pernah mencermati isi peti yang ia bawa saat ia akhirnya meninggalkan Cambridge pada 1696, dan yang meski sudah tercerai berai, sebagiannya terwariskan kepada kita, akan sulit untuk bisa melihatnya seperti itu. Newton bukan yang pertama dari zaman nalar. Dialah yang terakhir dari para penyihir.” John Maynard Keynes, “Newton, The Man”, Essays in Biography (New York: WW Norton, 1963), hlm. 310-311.

[11] Untuk versi daring bisa dibaca di https://www.cervantesvirtual.com/obra/panoramas-de-la-vida-coleccion-de-novelas-fantasias-leyendas-y-descripciones-americanas-tomo-ii–0/

[12] Judul asli karya ini panjang sekali: Viaje maravilloso del Señor Nic-Nac en el que se refieren las prodijiosas aventuras de este señor y se dan á conocer las instituciones, costumbres y preocupaciones de un mundo desconocido: Fantasía espiritista. Versi daring dari edisi pertama bisa dibaca di https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/9/9d/Viaje_maravilloso_del_Se%C3%B1or_Nic-Nac_-_Eduardo_L_Holmberg.pdf

[13] Lola López Martín, “Radiografía del fantasma: orígenes de la ciencia-ficción y el cuento fantástico en Argentina”, dalam Teresa López Pellisa dan Fernando Ángel Moreno Serrano (eds.), Ensayos sobre ciencia ficción y literatura fantástica (Madrid: Asociación Cultural Xatafi dan Universidad Carlos III de Madrid, 2008), hlm. 247.

[14] Uraian tentang Perjalanan Ajaib Tuan Nic-Nac dan “Halaman-Halaman Buku Sejarah Brasil yang Ditulis pada Tahun 2000” berikut ciri utopis kedua karya tersebut sebagian besarnya diambil dari Rachel Haywood Ferreira, The Emergence of Latin Amercian Science Fiction (Middletown: Wesleyan University Press, 2011), hlm. 15-42.

[15] Alexander Bogdanov, Red Star: The First Bolshevik Utopia, trjmh. Charles Rougle (Bloomington: Indiana University Press, 1984). Judul asli Krasnaya zvezda (St. Petersburg, 1908).

[16] Versi daring dari edisi pertama novel ini bisa diunduh di: http://www.memoriachilena.gob.cl/602/w3-article-9716.html

[17] Ferreira, op. cit.

[18] Lihat, misalnya, lema tentang dirinya yang ditulis oleh Miguel Ángel Fernández Delgado dalam Darrel B. Lockhart (ed.), Latin American Science Fiction Writers : an A-to-Z Guide (Wesport: Greenwood Press, 2004),  hlm. 7-8; juga Pablo González Casanova, Un utopista mexicano (Mexico City: Secretaría de Educación Pública, Lecturas Mexicanas, 1987) yang memuat utuh “El remoto porvenir”.

[19] Versi daring “El remoto porvenir” bisa didapat di: http://comunidades.com.mx/cfm/?cve=631:04

[20] Versi daring dari edisi pertama Perfiles y miniaturas bisa dibaca di: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Perfiles_y_miniaturas_-_Martin_Garcia_Merou.pdf

[21] Mark Bould dan China Miéville (eds.), Red Planets: Marxism and Science Fiction (Middletown: Wesleyan University Press, 2009), hlm. x.

[22] Mungkin perlu ditekankan di sini bahwa tulisan ini tidak bermaksud ensiklopedik karena saya tidak punya kapasitas untuk itu. Ketika contoh-contoh diberikan, sangat bisa jadi ada banyak karya lain yang juga menyoal hal yang sama (misal utopia, kapitalisme, dll) yang tidak terlacak radar saya. Semua yang saya kutip di sini adalah yang memang telah saya punyai dan baca sehingga bisa saya pertanggungjawabkan. Demikian pula bila pembaca menemukan nyaris tiadanya penulis perempuan yang dikutip di sini, itu bukan berarti tidak ada penulis fiksi sains perempuan di Amerika Latin, melainkan permasalahannya adalah pada kurangnya pembacaan saya. Saya telah membaca para penulis seperti Angélica Gorodischer (Argentina) atau Daína Chaviano (Kuba), tetapi sayangnya bukan karya fiksi sains mereka.

[23] Juan José Arreola, “Baby H.P.”, Confabulario (Mexico City: Fondo de Cultura Económica, 1952).

[24] José B. Adolph, Mañana, las ratas (Lima: Mosca Azul Editores, 1984).

[25] Pablo Capanna, “Acronia”, dalam Eduardo Goligorsky (ed.), Los argentinos en la Luna (Buenos Aires: La Flor, 1968), hlm. 133-152. Capanna bukan hanya pengarang fiksi sains, melainkan juga salah satu pengkajinya yang paling mumpuni.

[26] Luis Britto García, “Futuro”, Rajatabla (Caracas: Monte Avila Editores Latinoamericana, 2004 [1970]). Britto García adalah pakar pemikiran politik, rujukan wajib bagi siapa pun yang ingin memahami perpolitikan Venezuela. Sebagai kritikus Marxis ia aktif menulis kolom dan opini tentang berbagai permasalahan aktual, tetapi banyak penghargaan sastra diraihnya juga untuk naskah drama, naskah humor, serta fiksi sains.

[27] Versi daring “La última guerra” bisa dibaca di https://aparatocifi.press/indice/guerra/textos/index.html

[28] David William Foster, Alternate Voices in the Contemporary Latin American Narrative (Columbia: University of Missouri Press, 1985), hlm. 136-143.

[29] David William Foster, dikutip dalam Ferreira, op.cit., hlm. 8-9.

[30] Lockhart (ed.), op. cit., hlm. xii. Pada banyak kesempatan berbeda, saya sering mengingatkan bahwa sastra Amerika Latin bukan cuma realisme magis dan sebaiknya kita tidak bergantung kepada apa yang terbit dalam bahasa Inggris untuk menilai khazanah sastra dari bahasa-bahasa di luar Inggris. Lihat buku saya Ronny Agustinus, Macondo, Para Raksasa, dan Lain-Lain Hal Seputar Sastra Amerika Latin (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

[31] Miguel Ángel Fernández-Delgado, dikutip dalam Ferreira, op.cit., hlm. 233 cat. 10.

[32] Pernyataan ini dikutip dari lembar biografi penulis dalam Andrea l. Bell dan Yolanda Molina-Gavilán (eds.), Cosmos Latinos: An Anthology of Science Fiction from Latin America and Spain (Middletown: Wesleyan University Press, 2003), hlm. 153.

[33] Bráulio Tavares, “Presentation”, Fantastic, Fantasy and Science Fiction Literature Catalog (Rio de Janeiro: Fundação Biblioteca Nacional dan Departamento Nacional do Livro, tanpa tahun).

[34] Roberto Bolaño, trjmh. Natasha Wimmer, The Spirit of Science-Fiction (New York: Penguin Press, 2019), hlm. 32.

Esai31 Desember 2022

Ronny Agustinus


Ronny Agustinus (Malang, 1976) menempuh pendidikan formal di Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta. Salah satu pendiri ruangrupa. Pada 2004 mendirikan penerbit Marjin Kiri dan terus mengelolanya hingga kini. Menekuni penerjemahan sastra Amerika Latin. Wakil koordinator jaringan bahasa Inggris dalam Aliansi Penerbit Independen Internasional.