Kolase Urban dan Resiliensi Kecerdasan Buatan
Fiksi VICE Indonesia 2038

Ilustrasi: Vice

Pada awal tulisan ini, pembaca akan mengetahui hal-hal yang lumrah dalam khazanah kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI). Salah satunya adalah bias algoritme. Ketika sistem operasi dasar bekerja dengan metode oposisi biner: Apa yang diberikan adalah apa yang didapatkan kembali. Atau semacam “jika x, maka y”. Hasil yang didapat cenderung parsial, miopis, dan bias. Sejak kecil, saat proses mengenali bahasa, kita diajarkan di sekolah lewat pola antonim. Dunia yang diwakilkan lewat pemikiran Ferdinand de Saussure dan Levi Strauss. Memahami kehidupan dengan dua model berlainan: hitam dan putih semata. Seolah-olah hidup hanya bertukar tangkap antara terang dan gelap, baik dan jahat.

Hal tersebut tentu berlaku bagi beberapa bahasa pemrograman. Salah satunya adalah Python, salah satu bahasa pemrograman universal, praktis, dan paling banyak digunakan, terutama soal mesin yang belajar. Dalam hal yang transendental atau relasi manusia dengan penciptanya, kita mengenal baris-baris ini: Bacalah dengan nama atau demi nama Tuhanmu atau Pada mulanya adalah Firman. Bahwa hal abstrak di dunia dapat menjadi konkret karena jasa sebuah pedoman yang dituliskan. Subagio Sastrowardoyo pada salah satu puisinya pernah menulis Asal mula adalah kata/Jagat tersusun dari kata. Seumpama alegori gua Plato, puisi Subagio diakhiri dengan Kita percaya kepada Tuhan karena kata/ Nasib terperangkap dalam kata/ Karena itu aku bersembunyi di belakang kata/ Dan menenggelamkan diri tanpa sisa. Demikian yang kita pahami akan nasib makhluk hidup, terjerembap pada hal yang tidak diketahui dan dikutuk maupun diberkahi melalui suatu sistem.

Mau tidak mau, berangkat dari hal didaktis itu, perangkat kecerdasan buatan bisa hadir dalam kandungan dan dirawat sedemikian rupa hingga menetas. Contohnya adalah manifesto “The Zen of Python” yang disusun oleh Tim Peters dan telah menjadi testamen yang jatmika bagi mesin untuk bertransformasi. Berikut ini saya kutip tiga baris awal yang saya terjemahkan bebas:

Cantik lebih baik daripada jelek.
Eksplisit lebih baik daripada implisit.
Sederhana lebih baik daripada kompleks.

Baris-baris itu hadir sebagai aforisme dan doktrin yang patut diikuti oleh mesin. Lalu pada baris terakhir bahasa Python, tersampaikan garis demarkasi: antara patuh yang saklek dan manut berorientasi kreativitas: Namespaces are one honking great idea–let’s do more of those!

Maka, ketika kita membaca beragam berita ajaib mengenai kinerja AI, seyogyanya hal itu berawal dari diktum yang telah dideklarasikan ke dalam jeroan awal mesin. AI memiliki intensionalitas turunan yang berasal dari intensionalitas pembuatnya. Serupa api yang dicuri Prometheus untuk manusia. Api tersebut dapat mengubah yang kelam jadi terang, yang jauh dari ilmu jadi berpengetahuan. Serupa sifat api lainnya, ia tentu dapat dengan cepat menyambar dan membakar. AI serupa dengan Prometheus, tidak hanya menyala dengan nyalang, tetapi juga dapat membakar hampir seluruh bagian dunia.

Berbicara mengenai AI, seturut fiksi sains itu sendiri, pembaca bersiap pada rombongan prediksi yang kental akan angka-angka. Tahun-tahun disebutkan sedemikan rupa dengan centang perenang. AI menjadi penanda zaman di kurun waktu tertentu dan dalam bingkai cerpen Indonesia, kita mengenal Danarto dengan eksplorasi estetiknya.

Salah satu cerpennya “Jakarta 2020 atawa Holobot” menjadi salah satu penanda. AI dengan gembar-gembornya bisa berperan sebagai juru selamat, bisa pula menghadirkan kiamat. Danarto menulis cerpen tersebut di tahun 1995 dan membayangkan kondisi Jakarta 25 tahun kemudian. Penyebutan titimangsa pada judul cerpen maupun rubrik, mengindikasikan strategi pengisahan tertentu dan membangun jembatan bagi pembaca untuk membayangkan imajinasi kolektif di suatu era.

Vice.com, portal berita yang dekat dengan dunia kebatinan anak muda, turut andil dengan titimangsa dan prediksi-prediksi itu. Pengelola portal ini membuat rubrik fiksi bertajuk Indonesia 2038. Bicara tentang tahun-tahun yang jauh dari masa kini, saya jadi teringat majalah djakarta! dengan kolom “Black Interview”. Kolom yang diasuh Andre Syahreza itu membuat ruang dialogis spekulatif: bagaimana kira-kira wajah Jakarta 100-an tahun ke depan? Sketsa-sketsa yang terhimpun di djakarta! kemudian disatukan menjadi buku: Black Interview: 100-an Tahun Kemudian.

Menurut klaim penulis di pengantar buku, kumpulan tulisan tersebut bukanlah cerpen, melainkan “laporan jurnalistik imajinatif”. Menurutnya karangan-karangan tersebut kental dengan aroma jurnalistik. Andre mengatakan tema cerita “Black Interview” setiap edisinya selalu dikaitkan dengan isu utama yang disepakati redaksi. Baginya, cerpen tidak dibuat dengan motif seperti itu. Pernyataan itu menyisakan lubang. Beberapa cerpen yang pernah tayang di majalah fiksi ilmiah

Ketika sebuah media mengurasi karya untuk edisi khusus secara tertutup maka ada tendensi tertentu di dalamnya. Hal-hal tersebut bisa demikian: kepercayaan pada penulis-penulis terpilih, karier dan biografi kepengarangan, politik estetika dan kesepahaman selera atau horizon pembacaan yang karib. Dalam hal ini, Vice, media yang dekat dengan isu progresif dan lean left, merespons isu-isu aktual di Indonesia kurun 2017 hingga 2018. Basis fakta tersebut mewedarkan opsi untuk membaca cerita-cerita di dalamnya tidak melulu terfokus pada closed-reading, alih-alih parateks muncul di beberapa cerita. Antara lain saya kutipkan di sini: Alih-alih fokus pada apa saja peristiwa bakal terjadi sepanjang 2018, kami meminta penulis-penulis muda potensial negara ini menjelajahi kemungkinan perubahan yang dialami Indonesia pada 2038.

Lalu apa yang terjadi pada 2038? Beberapa hal itu saya coba himpun lewat pemberitaan dekat dan selintas, dari pseudo-sains hingga analisis dangkal: (1) Pembacaan parsial dan semborono tentang kiamat komputer. Komputer tersebut tidak mampu membedakan 2038 dengan 1970. Hal yang sebenarnya begitu teknis: beralih ke bit lebih tinggi, (2) Bonus demografi habis di 2038, Indonesia batal jadi negara maju? (3) Indonesia bisa jadi tuan rumah Piala Dunia 2038 dengan rekayasa genetika, (4) Lisensi 7-Eleven habis pada 2037, (5) Dua tahun sebelum John Titor muncul di dunia.

 

Parade Parateks

Munculnya tajuk Indonesia 2038 pada sebuah rubrik fiksi tentu menyenangkan. Kita bisa menerka autentisitas pengisahan wajah Indonesia pada ketigabelas cerita di dalamnya. Cerita tersebut ditulis oleh penulis yang berbeda, sehingga selain menggali ceruk cerita yang beragam, mereka juga menyisipkan pandangan tertentu dalam memandang Indonesia versi yang dekat dengan mereka.

Jika frasa Indonesia 2038 disematkan pada kemajuan teknologi atau fetisisme komoditas semata, maka peran media selaku garba budaya, perlu dipertimbangkan kembali. Ada ruang-ruang rumpang dari fiksi bila dihimpun sebagai perpanjangan/varietas dokumentasi sosial—pun bila imajinasi kolektif akan sebuah negara pada tahun-tahun terbayang—tidak hendak menampilkan premis cerita dan tokoh yang bertungkus lumus dengan pengetahuan lokal (indigenous knowledge).

Misalnya, tentang penanaman pohon pinus dan kakao yang menggerus nasib petani  di Sulawesi Selatan. Bagaimana di 2038 nanti? Apakah deforestasi terus berlanjut atas nama akselerasi dan datakrasi? Penulis buku Melihat Desa dari Dekat Nurhady Sirimorok pernah berseloroh, “Masyarakat kota menganggap hutan pinus sebagai folk, sedangkan masyarakat desa menganggap bahwa itu pertanda bencana.”

Atau bagaimana Indonesia 2038 memotret fenomena hibridasi desa-kota seperti yang diamini Terry McGee? Saya belum menemukannya. Suara-suara dari kampung kota dengan segala kontestasi konflik antar-ruang; kampung kota yang “latah” mengikuti tren atas nama pariwisata, menukil Melani Budianta, “lumbung budaya di sepanjang gang”. Ada pohon yang perlu dijaga keberlangsungannya, ada kue yang perlu dipotong dan dibagikan bersama, selain reportase dan jurnal sastrawi yang telah rutin terhampar di meja redaksi Vice.

Cerita-cerita dalam Indonesia 2038, dekat dengan bentuk pengisahan kolase dengan latar kota atau hiruk pikuk urban. Setiap cerpen yang terpublikasi bersandar pada parateks. Tentu dalam hal ini media perlu memberikan konteks, mengingat tiga belas cerita yang hadir mewakili wacana tertentu sebagai satu kesatuan topik dan rubrik.

Pengantar cerpen itu sendiri, ilustrasi, hipogram atau teks sumber, dan korpus lainnya menjadi pintu bagi setiap tamu. Fungsi parateks seperti kita ketahui untuk membangun jembatan dan memandu pembaca. Parateks dalam Indonesia 2038 seolah-olah meyakinkan pembaca bahwa teks-teks yang terhimpun memiliki legitimasi fiksi sains kontemporer di Indonesia.

Simak misalnya cerpen dengan artikel-artikel penyanding berikut ini: “Softie” (Akan Jadi Seperti Apa Hidup Kita Jika di Mana-mana Ada CCTV?), “Profesor T” (Apa Kata Para Ahli Tentang Kemungkinan Kehidupan di Mars) dan “Heels of Apocalyptic End”    (Mungkinkah di Tahun 2038 Warga Jakarta Tak Lagi Bisa Berjalan Kaki?)

Pada artikel penyanding cerpen “Softie” kita diberikan keleluasaan informasi terkait hidup di bawah bayang-bayang Bung Besar. Artikel tersebut berisi wawancara dengan kriminolog, menyikapi panoptikon yang kerap menginvasi keseharian masyarakat. Berikut kutipan awalnya:

Cerpen berjudul ‘Softie’ itu terdapat satu bagian yang membahas soal ICU, semacam alat perekam yang melekat di mata. Gambar-gambar yang direkam oleh alat itu ternyata tak hanya bisa dimanfaatkan oleh si empunya, tapi juga pihak-pihak lain yang belum tentu punya maksud baik. Apakah mungkin hal seperti itu terealisasi di dunia nyata? Simak apa kata pengamat dan ahli tentang itu. . . .”

Pembaca telah dibocorkan sejak paragraf pembuka. Tentang dunia rekaan yang terbangun beserta prinsip naratif Chekhov’s gun. Bahwa alat perekam yang melekat di mata, benar-benar melekat dan tidak mubazir di sekujur tubuh cerita. Parateks tersebut menghasilkan beberapa kemungkinan bagi horizon pembaca: mengganggu kenikmatan pembaca atau sebaliknya, membantu pembaca menemukan makna tekstual dan referensial secepat desingan peluru.

Pada cerpen “Profesor T” dan “Heels of Apocalyptic End” pun demikian. Pembaca diberikan sesuatu yang remeh-temeh. Hal yang memudahkan pembaca dalam menyerap diskursus dan intensionalitas pengarang. Dalam hal ini, pembaca dapat memperkirakan bahwa cerita-cerita yang terhampar di Indonesia 2038 adalah saling-silang kemauan redaktur atau murni landasan biografi penulis yang dekat dengan kegelisahan, preferensi maupun motif-motif lainnya. Soal kolonisasi Mars dan masyarakat yang terpinggirkan adalah hal yang kerap dibicarakan masyrakat urban. Jalur yang menghubungkan setiap warga negara dunia ketiga: aksesibilitas dan ketimpangan.

 

Ruang Urban sebagai Kawan dan Tawanan

Marco Kusumawijaya di esainya “Jakarta, Sang Metropolis” mengatakan “Jalan raya menjadi ruang kolektif yang sangat penting, karena melalui fragmen metropolis yang satu ke fragmen yang lain. Kenyamanan atau ketidaknyamanan semua orang—kaya atau miskin, bermobil atau berjalan kaki—di jalan akan menentukan hubungan pribadi dengan kotanya.” Seturut dengan itu, kita seolah memaklumi kesemrawutan tata kota akibat berfokus pada kendaraan pribadi. Ketika ruang liminal atau heterotopia seolah jadi barang langka di kota. Ruang untuk merenung dan berjalan santai seolah tergerus dengan dualisme modernitas. Di satu sisi harus cepat sampai, di sisi lain abai pada keselamatan.

Simak cerpen “Buyan” karya Utiuts. Serupa formula di slogan-slogan perusahaan rintisan “Orangnya cerdas, masa gawainya enggak?” persoalannya adalah setiap prototipe memiliki celah dan lanskap kota yang kian dinamis. AI yang tertanam pada aplikasi masih belum bisa mengikuti gerbong modernitas yang bergerak cepat. Permasalahan transportasi di kota-kota besar Indonesia masih berkubang pada hal yang sama: banjir, macet dan disparitas antara jalan tikus dan jalan protokol. Akses dan distribusi yang tidak merata.

Bertalian dengan Jakarta yang terus kebanjiran—berapa pun tahun-tahun disebut—tecermin pada cerpen “churning waters” karya Madina. Seorang politisi dengan apologia politiknya mencoba merevitalisasi memori Jakarta lewat rangkaian tur nostalgia virtual. Hal itu terjadi karena perubahan iklim tidak terhindarkan, yang menyebabkan museum-museum bersejarah karam dan Jakarta tenggelam. Cerpen ini ditulis dalam bahasa Inggris dan terdapat alih kode di bagian tertentu, yaitu ketika politisi tersebut diwawancarai di televisi. Pada bagian akhir cerita, optimisme semu hadir dan Jakarta nampak masih keukeuh menjadi prioritas atas masalah di kota-kota lain meski telah blangsak: and jakarta, even after its destruction, does not stop for anyone.

Simak pula bagaimana Jakarta dan hal-hal yang berkaitan dengan ibu kota, tetap menjadi bahan bakar cerita. Seamburadulnya perangai dan fisik Jakarta, ia tetaplah kawasan urban yang menggoda sekaligus menggerogoti keimanan tiap insan. Ambivalensi kapitalisme akhir itu tecermin dari cerpen “Metaxu” karya Norman Erikson Pasaribu. Kisah yang berimpitan dengan keluarga disfungsional dan latar Jakarta yang sudah menjadi mantan ibu kota. Melankoli itu dilakoni tokoh-tokoh di dalamnya sambil menggerutu dan menuntut hak yang memang patut direbut. Tentang absennya keadilan di dunia kerja. Tentang perampasan hak cipta. Tentang duka yang tersisa di kota lama dan migrasi sebagai persoalan struktural.

Perpindahan penduduk, alih fungsi lahan dan punahnya bahasa dan kearifan lokal terjadi bukan karena masyarakat setempat yang tidak setia dengan tanah leluhur, melainkan masalah struktural yang kerap terjadi di birokrasi pemerintahan: kongkalingkong pimpinan perusahaan dengan pebajat setempat demi lobi-lobi politik dan ragam keculasan lainnya. Pada cerpen “Kota” karya Rio Johan, kita melihat bagaimana mempertahankan bahasa dari kepunahan adalah persoalan yang dekat dengan lingkungan dan perubahan iklim. Kompleksitas kota bukan hanya terlihat dari fisik dan bangunan semata, tetapi bagaimana warga di dalamnya turut menduduki ruang tersebut dengan fungsi yang proporsional.

 

AI, Obsesi, dan Fetisisme Komoditas

Berbicara tentang kepunahan, bersinggungan pula dengan sebab dan muasal kepunahan itu. Tentang manfaat praktis bagi golongan tertentu. Salah satu kepunahan itu adalah penghilangan secara paksa. Tengok cerpen “Bram” karya Mikael Johani. Bagaimana dunia rekaan dibangun proporsional sesuai dengan vokalisasi dan konflik cerita. Dikisahkan Bram adalah sebuah AI yang menguasai dunia. Ada dua tokoh yang dihilangkan oleh Bram dan sampai penghujung cerita tidak ditemukan. Kisah yang bergulir menyentil ekosistem seni—seksis dan transaksional. Bagaimana kecerdasan buatan adalah soal resiliensi. Kesanggupan atau tidaknya bukan lagi soal, tapi determinasi di balik itu semua menjadi sumber konflik yang purba: AI melenyapkan manusia lewat eksperimen pikiran Roko’s Basilisk. Kini ChatGPT4 memiliki potensi akan itu. Bagaimana prompt yang diisi bisa lebih lentur dan menyeberangi imajinasi.

AI telah jauh berkembang. Ia telah lahir ke dunia adalah konsekuensi manusia dan turunannya. Resiliensi yang dialami AI bisa ditemukan pada cerpen “Abadi” karya Ratri Ninditya. Premisnya tentang pemulung data di masa depan. Bahwa pemulung, apa pun bentuk yang dipungut, merupakan roda integral kehidupan. Ratri menuliskan penindasan tidak dengan mata berkaca-kaca dan tokoh yang bergerak tidak berharap cuan dari blockchain semata. Melainkan dari solidaritas pekerja dan pentingnya merawat arsip sebagai kompas di masa depan.

Saya teringat akan eksperimen yang dilakukan Robert Nozick yaitu The Experience Machine. Dengan mesin pengalaman tersebut, kehidupan seseorang seolah telah manunggaling kawula AI. Transhumanisme yang efisien. Yang menjadi soal adalah terselip kata “seolah” dan bayang semu melingkupinya. Sebuah percobaan pikiran tersebut hadir untuk mempertanyakan ulang pandangan hedonisme. Apakah hidup bahagia seutuhnya tanpa cela adalah bayangan hidup ideal—yaitu ketika batok kepala telah terinjeksi di surga virtual? Apakah tokoh aku dalam cerita mengetahui bahwa itu eskapisme belaka atau perlawanan?

Pada cerpen “Abadi”, dunia di masa depan masih bertungkus-lumus pada relasi tuan dan budak yang diwakili oleh pejabat dan pemulung. Tidak lebih indah. Hal penting dari kisah ini adalah bagaimana arsip menjadi titik tolak sebuah bangsa, katakanlah dapat bergerak. Persoalan fundamental yang berulang macam “Jas Merah” dan oligarki kekuasaan yang berbuat onar dengan laku manipulatif. Salah satu yang dilakukan di dalam makna tekstual maupun referensial adalah fenomena greenwashing. Kita hidup dalam bayang-bayang manipulasi. Hidup berpindah antara indah dalam fatamorgana, dan gelisah dalam penderitaan tiada habisnya. Kisah AI di Indonesia 2038 dekat dengan obsesi dan pemberhalaan.

Sehubungan dengan itu pula “Keributan di Kamar Sebelah” karya Sabda Armandio menggenapi obsesi dan fetisisme terselubung; fanatisme agama berujung topeng muslihat. Cerpen ini berkisah tentang robot yang diciptakan untuk alat propaganda pemerintah, utamanya jalan populer dan arus utama: televisi. Soal perangkap Malthus dan populisme sayap kanan.

Beririsan dan oposisi biner dengan antinatalisme di cerpen Dio, maka hadir cerpen “Dioscuri” karya Dias Novita Wuri sebagai antitesis. Tentang manusia hasil kloning yang memiliki problem kesehatan mental karena merasa diobjektifikasi. Kisah ini diceritakan secara fragmentaris. Terhimpun dari kolase rekaman medis dan salinan laporan yang membentuk kesatuan cerita. Tokoh NN mengalami depresi karena beberapa sebab yaitu wacana pola asuh yang diinternalisasikan lewat pergulatan tokoh NN, surrogate mother (ibu pengganti) dan mendiang kakaknya.

Cerpen ini mempertanyakan persoalan etis yaitu kloning manusia, orang tua obsesif yang tidak bisa menerima kehilangan, objektifikasi dan dibanding-bandingkan oleh lingkungan. Muara dari itu semua adalah mengapa seseorang penting untuk dilahirkan. Bagaimana orang tua yang egois dapat menggulirkan banyak persoalan. Bukan persoalan fasis dan child free, tetapi soal kesiapan di masa mendatang dan bertanggung jawab dengan segala konsekuensi. Cerpen ini meminjam berbagai khazanah literatur dan tidak tersandera oleh name dropping agar memiliki bobot cerita. Kisah tie-in (pendamping) dari biografi kelahiran Salvadore Dali dan modifikasi Castor dan Pollux melalui jahitan yang koheren antara laporan medis dan monolog interior.

Kisah obsesif lainnya terdapat pada Profesor T”. Jika pada cerpen Kuntowijoyo, anjing digambarkan pada praktik olkutisme, pada Seno Gumira anjing hadir lewat representasi cinta platonik, maka anjing pada cerpen Rizaldy Yusuf tersebut mendayagunakan web3.0 dan AI. Bahwa anjing dalam agama Samawi, memiliki beragam versi tentang kisah-kisah kesalehan.

Jika anjing pada kisah populer dan formulaik diromantisasi, maka porsi anjing pada cerita Rizaldy kerap diobjektifikasi dan dieksploitasi untuk kepentingan manusia. Anjing di sini bisa diganti, begitu pula latarnya. Yang ingin digambarkan dalam cerita adalah kegilaan manusia yang tidak terbatas. Ungkapan “lebih setan dari setan” atau “setan pun sungkem sama kelakuan manusia” sangat cocok jika menilik Indonesia sebagai salah satu negara dengan penyiksa hewan terbanyak di dunia. Seolah semua hewan bisa didomestikasi sesuai kepentingan manusia; tiak ada lagi ruang dan makhluk lainnya. Profesor T dan kegilaan saintis digambarkan secara lempang saja, bahwa ilmuwan gila adalah cikal bakal peradaban dan kehancuran berikutnya.

Berkaitan dengan peradaban lanjutan, kita dipertemukan dengan cerpen “Ambang” karya Leopold Adi Surya. Tentang turunan dari AI super. Resiliensi dari AI itu sendiri. Daya tahan untuk hidup dan menghidupi kapitalisme akhir itu sendiri. Sebuah kondisi yang terus bergerak mendekat meski kita sudah menjauh. Dunia yang melihat konsep ideal lewat pandangan materialisme dan transhumanisme. Relasi tuan-majikan dalam tubuh sibernetik.

Seturut dengan relasi aku dan liyan, cerpen “Linus” karya Andina Dwifatma menjadi akhir dari bingkai yang menggenapi tema obsesi, fetisisme dan bagaimana AI terus berevolusi. Ketika kritikus sastra yang karib dengan tokoh utama meninggal dunia, maka unggah kesadaran dan berinteraki dengan pemilik otak yang telah mati menjadi cita-cita siapa saja. Kala kematian adalah keniscayaan dan AI dengan segala kemampuan dapat mewujudkannya, entah berapa lama bukanlah soal. Hal yang krusial dan utama adalah soal perizinan dan hak-hak yang mesti ditunaikan perusahaan bagi setiap karya buruh dan pekerja. Bukan soal efisiensi semata, melainkan musnahnya pengebirian hak dan segala tipu daya.

Cerita-cerita dalam Indonesia 2038 dekat dengan masyarakat perkotaan yang gandrung dan mudah terpapar media sosial serta isu-isu terkini. Redaksi Vice membidik demografi pembaca tertentu dan karena itu mereka mengundang penulis-penulis potensial yang cocok dengan horizon harapan pembaca. Empat cerpen dengan bahasa Inggris di dalamnya juga menjadi formula yang ideal. Tidak semua pembaca Vice bahasa ibunya adalah bahasa Indonesia. Semua sudah dipertimbangkan dari berbagai sisi. Saya melihat gelagat itu sebagai kemampuan membaca pasar. Bukan persoalan komoditas semata, tapi soal agenda dan cara kerja sebuah media. Semacam sekrup kecil pada mesin. Problemnya bukan pada strategi pengisahan dan bobot cerita, tetapi lebih kepada penamaan Indonesia di balik ketiga belas cerita tersebut.

Jauh dari demam AI, ChatGPT dan segala turunannya, Indonesia 2038 yang dipublikasikan pada 2018, mampu menawarkan teknik penceritaan yang beragam. Apabila di kemudian hari redaksi Vice membuka rubrik untuk karya sastra lainnya seperti Fiksi Indonesia 2045, Puisi Indonesia 2030, Lakon Indonesia 2065 maka persoalannya adalah soal akses dan distribusi yang lebih merata. Dus, meminjam baris puisi “Catetan Th. 1946” karya Chairil Anwar yang sudah sering dikutip: Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu. Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.

Marginalia31 Desember 2022

Galeh Pramudianto


Galeh Pramudianto, berdomisili di Tangerang Selatan. Dilahirkan pada Juni 1993. Sehari-hari ia mengajar di SMA Makarios, Jakarta. Bukunya Asteroid dari Namamu beroleh penghargaan Acarya Sastra 2019.